167
BAB VI FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI PENGUASAAAN CENDANA
6.1 Faktor-Faktor Penyebab Hegemoni Pemerintah Hegemoni pemerintah dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan dilatarbelakangi kekhawatiran pemerintah akan kepunahan cendana. Kekhawatiran pemerintah diungkapkan dalam sebuah tulisan oleh Tim Penyusun Bagian Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan bahwa citra Kabupaten Timor Tengah Selatan yang melekat dengan kayu cendana putih sekarang sudah di ambang kepunahan. Pemandangan masa lampau ketika bukit dan gunung-gunung ditupi cendana seperti digambarkan oleh Groeneveldt, Tom Pires, dan Fe Hsin. Sekarang, tutupan hutan cendana sudah tidak ada lagi, dan Pulau Timor sudah tidak relevan lagi disebut pulau cendana putih. Tinggal menunggu waktu saja, sampai saatnya nanti anak cucu negeri ini menangisi kepunahan cendana putih peninggalan leluhurnya (Oematan, 2006 : 21). Kenyataannya, populasi cendana saat ini telah mengalami kemerosotan secara signifikan. Data tahun 2000 menyebutkan bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya memiliki 112.710 pohon cendana yang tersebar di seluruh kecamatan (Oematan, 2006 : 22). Kemerosotan tersebut disebabkan berbgai faktor baik faktor internal dari pohon cendana itu sendiri maupun faktor eksternal dari luar tanaman
168 cendana. Baik faktor internal maupun eksternal berpengaruh terhadap keberadaan cendana yang kini semakin langka dan ditengarai telah berada di ambang kepunahan. Faktor yang menyebabkan kelangkaan cendana dan mendukung hegemoni pemerintah terdiri atas faktor genetik atau botanikal cendana dan faktor sosial masyarakat. Faktor botanikal adalah faktor genetik tanaman cendana menjadi salah satu penyebab lambatnya perkembangan populasi cendana. Faktor sosial merupakan bentuk aktivitas masyarakat yang menyebabkan kelangkaan cendana seperti penebangan secara berlebihan, kebakaran hutan, atau pun gangguan ternak.
6.1.1 Faktor Genetik Cendana Faktor genetik merupakan salah satu penyebab lambatnya perkembangan populasi cendana. Sebagai tumbuhan endemik kawasan Pulau Timor cendana memiliki sifat khusus dengan tingkat keberhasilan hidup yang sangat rendah, pertumbuhan lambat, mudah terserang penyakit. Sifat-sifat genetis demikian menyebabkan cendana dikenal sebagai tanaman liar yang tidak cocok dibudidayakan. Pembudidayaan cendana dianggap sebagai kegiatan sia-sia dan tidak memberi hasil maksimal.
Meskipun
demikian,
pemerintah
(Dinas
Kehutanan)
berupaya
mengembangkan cendana menerapkan sistem silvikultur (cara-cara pembudidayaan, pengembangan, pemanfaatan cendana sesuai rangkain prosedur yang menerapkan sesuai pola teknologi tepat guna). Namun, silvikulasi seringkali mengalami kendala karena sifat-sifat genetis cendana itu sendiri yakni tingkat keberhasilan hidup cendana
169 sangat rendah, pembudidayaan terbatas, pertumbuhan lambat, dan mudah terserang penyakit.
6.1.1.1 Tingkat Keberhasilan Hidup Rendah Cendana dikenal sebagai tumbuhan yang memiliki tingkat keberhasilan hidup sangat rendah berkisar antara 20-40% dari keseluruhan jumlah pembibitan. Keberhasilan hidup 20% merupakan hal biasa ketika melakukan pembibitan cendana, keberhasilan 40% tergolong pencapaian hasil maksimal. Masalah utama yang dialami dalam pembibitan cendana adalah kelangkaan sumber benih berkualitas dan serangan hama penyakit. Kelangkaan pasokan biji berkualitas disebabkan terbatasnya pohonpohon tua yang menyediakan bunga dan biji bermutu. Kualitas bibit sangat ditentukan oleh kualitas pohon induk, waktu panen, dan cara penanganan benih. Di samping itu, teknik penangan benih terutama teknik pengunduhan (pemanenan) buah bakal bibit, pembersihan, penyimpanan, dan pendederan (penaburan) yang kurang tepat menyebabkan tingkat keberhasilan hidup cendana tidak maksimal (Surata dkk, 2003:16; Wawo dan Nalola, 2003:25). Rendahnya tingkat keberhasilan hidup tanaman cendana juga disebabkan sistem parasitisme akar pada masa-masa awal pertumbuhannya. Layaknya tanaman parasit, cendana mengalamai modifikasi pada bagian perakarannya ketika terjadi persinggungan dengan objek sentuh dengan
membentuk alat kontak disebut
haustorium. Haustorium berfungsi menghubungkan tanaman cendana dengan inangnya sebagai objek sentuh. Modifikasi sistem perakaran ini merupakan bentuk
170 adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang kurang kondusif terutama pada musim kering (Sunaryo dan Safudin, dalam Berita Biologi LIPI Vol.5 edisi 5 Agustus 2001:575). Parasitisme akar cendana dimulai sejak masa perkecambahan dan masa pertumbuhan awal, merupakan proses memenuhi kebutuhan makanan karena sistem perakaran yang belum sempurna. Masa-masa awal pertumbuhannya, cendana hanya mengandalkan makanan dari tanaman inang sebagai penyuplai bahan makanan. Oleh sebab itu, tanaman inang yang mendampingi pertumbuhan cendana harus tanaman kecil dan mempunyai sistem perakaran kuat. Sebaiknya tanaman inang memiliki kadar air tinggi dan memiliki kemampuan mensuplai kebutuhan air seperti cabai, bayam, tomat, atau pun bibit jati
seperti dikemukanan seorang peneliti Litbang
Kehutanan Nusa Tenggara di Kupang. “Masa awal penanaman cendana ini tidak boleh menggunakan tanaman inang yang sudah tumbuh besar dan kuat karena kekuatan akar dan rimbunnya daun pohon inang akan mematikan anakan cendana di bawahnya. Demikian pula masa-masa selanjutnya harus didampingi tanaman inang yang cukup kuat tetapi tidak terlalu rimbun dan teduh untuk memberi kesempatan memperoleh paparan sinar matahari yang cukup. Paparan sinar matahari penting untuk proses fotosintesis dan menyerap bahan makanan dengan akarnya sendiri. Fotosintesis bermanfaat mengurangi parasitisme akar dan mengubahnya menjadi tanaman mandiri. Intensitas cahaya matahari mendukung proses fotosintesa untuk memenuhi kebutuhan makannya sendiri dan meningkatkan pertumbuhan batang” (wawancara dengan I Komang Surata, Kepala Seksi Silvikultur Balai Litbang Kehutanan Nusa Tenggara dan Maluku di Kupang, tanggal 13 Agustus 2010). Hasil wawancara tersebut menunjukkkan tingkat kerumitan dan kesulitan penanaman cendana. Di kalangan masyarakat lokal, kesulitan penanaman cendana diwujudkan dalan bentuk perilaku simbolis masyarakat yang menganggap cendana
171 adalah tanaman yang tidak cocok dibudidayakan. Tanaman cendana yang baik adalah tanaman yang tumbuh sendiri atas bantuan angin, air, dan burung-burung. Kesulitan pembudidayaan cendana menjadi salah satu faktor penyebab kemerosotan populasi cendana, kemudian memunculkan inisiatif pemerintah menguasai cendana secara total. Penguasaan cendana ini bertujuan menghindarkan keterpurukan populasi cendana dan berupaya melestarikan dengan menetapkan peraturan yang bersifat menghegemoni.
6.1.1.2 Rentan Penyakit Cendana dikenal sebagai tanaman yang rentan terhadap penyakit. Jenis-jenis penyakit yang menyerang cendana antara lain penyakit busuk batang, kutu sisik, dan ulat daun. Penyakit busuk batang merupakan penyakit terparah dan paling sering yang menyerang cendana. Penyakit ini dapat menyerang tanaman cendana tua maupun muda tanpa diprediksi terlebih dahulu. Penyakit busuk batang disebabkan serangan sejenis jamur (fusarium oxyform), membuat pangkal batang cendana membusuk, kemudian daun menjadi layu dan gugur, dan akhirnya pohon meraggas dan mati (lihat gambar 6.1). Gejala-gejala penyakit busuk batang ditandai adanya bintik-bintik coklat pada daun kemudian daun menjadi layu dan gugur. Lama-kelamaan batang tanaman menjadi kering dan rapuh. Penyakit busuk batang yang menyerang cendana tidak semata-mata pada muda tetapi juga menyerang cendana tua. Gejala demikian seringkali menyerang cendana secara tiba-tiba tanpa tanpa penampakan gejala-gejala
172 awal. Cendana yang semula tumbuh subur tiba-tiba daunnya berbintik-bintik ciklat, menguning, kemudian layu, gugur, dan cendana pun kemudian mati. Penyakit ini tidak dapat diatasi, tetapi dapat dcegah dengan membongkar tanaman kemudian membakarnya agar jamur tidak berkembang dan merembet menuju tanaman lain. Seperti dikemukakan I Komang Surata, peneliti sekaligus kepala seksi silvikultur Litbang Kehutanan NTT di Kupang berikut. “Selain penyakit busuk batang, hama kutu sisik dan ulat daun seringkali menyerang daun cendana. Kutu sisik menyerang bagian daun dan pucuk daun sehingga terjadi pembentukan puru (bintik-bintik sejenis penyakit kulit) pada permukaan daun maupun pucuk, tidak lama kemudian daun menjadi keriting dan gugur. Serangan ulat daun menyerang secara bergerombol dan memamah habis bagian daun serta pucuk sehingga tanaman cendana menjadi gundul. Daun yang gundul sangat menghambat proses fotosintesa dan akhirnya menghambat pertumbuhan cendana. Apabila kondisi demikian berlangsung terus menerus dapat menyebabkan tanaman cendana mati. Kedua penyakit ini dapat diatasi dengan menyemprot daun cendana menggunakan air sabun atau pestisida” (wawancara dengan I Komang Surata, tanggal 14 Agustus 2010). Cendana sebagai tanaman yang ringkih dan mudah terserang penyakit menyebabkan peningkatan populasi cendana tidak berhasil maksimal. Upaya memaksimalkan pengembangan cendana dapat dilakukan dengan menghindarkan serangat penyait melalui proses pemeliharaan yang tepat. Misalnya melakukan penetesan air, penyemprotan hama, dan pemberian obat anti jamur. Pemeliharaan maksimal memerlukan biaya cukup besar dan memerlukan uluran tangan pemerintah. Dengan demikian, pemerintah berupaya menguasai cendana (menghegemoni) untuk memberi keleluasaa penanganan terhadap tanaman cendana yang terserang penyakit.
173
Gambar 6.1 Cendana mati diserang penyakit busuk batang (Dokumentasi : I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)
6.1.1.3 Pertumbuhan Lambat Secara fisik, cendana memiliki pohon kecil sampai sedang mencapai tinggi 20 meter. Batang cendana bertajuk ramping, batang bulat agak berlekuk-lekuk berdiameter diameter 40 cm atau lebih tergantung usia pohon. Daun cendana merupakan daun tunggal, berwarna hijau, berukuran kecil-kecil, sekitar 4-8 cm x 2-4 cm dan relatif jarang. Bentuk daun bulat memanjang dengan ujung daun lancip dan dasar daun lancip, seperti dikemukakan peneliti Litbang Kehutanan. Cendana (Santalum album L) merupakan salah satu marga dari 25 suku santalaceae yang penyebarannya mulai dari Malaysia bagian Timur, Australia, sampai di sebelah timur kepulauan Polynesia. Di Australia dan Kepulauan Polynesia terdapat tiga spesies cendana merah, tetapi kualitasnya kurang baik. Kandungan minyak atsiri cendana merah tergolong rendah sehingga kurang bagus dimanfaatkan sebagai minyak wangi, kosmetik, dan obat-obatan (wawancara dengan I Komang Surata, tanggal 14 Agustus 2010).
174 Cendana putih merupakan jenis yang tumbuh alami di kawasan Indonesia khususnya Pulau Timor dinggap memiliki kualitas terbaik dibanding cendana lain. Beberapa pakar meyakini bahwa Kepulauan Indonesia, terutama Pulau Timor merupakan habitat atau tempat asal cendana putih seperti dikemukakan Kepala Litbang kehutanan NTT, Soenarno berikut. “Persebaran cendana menuju berbagai belahan dunia memungkinkan tanaman cendana dikenal di berbagai penjuru dunia. Masing-masing negeri memberi nama sendiri bagi tanaman cendana ini. Dalam Bahasa Inggris cendana diberi nama sandalwood. Spanyol dan Italia memberi nama bois santal, Belanda echte sandal, Jerman echtes sandelholtz, chendana (Malaysia), santaku (Burma), chantana (Thailand), sandal, chandal, chandam, gundala (India). Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, pohon cendana dikenal dengan nama hau meni berarti kayu wangi” (wawancara dengan Bapak Soenarno, Kepala Litbang Kehutanan NTT dan Maluku, 13 Agustus 2010). Dari Pulau Timor cendana diperkirakan menyebar ke beberapa wilayah di Nusantara, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain termasuk ke India dibawa para pedagang yang berniaga ke wilayah Nusa Tenggara Timur. Persebaran cendana ke penjuru dunia memungkinkan cendana dikenal dengan berbagai nama. Cendana tumbuh di daerah tepi laut hingga daerah pegunungan pada ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan antara 500-3.000 mm/tahun. Kondisi optimal pertumbuhan cendana berada pada ketinggian antara 6001.000 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan antara 600-1.000 mm/tahun. Pada daerah beriklim kering dan berkapur, cendana mengalami pertumbuhan yang cenderung lambat namun kualitas kayu yang dihasilkan sangat baik. Umur 12-15 tahun tinggi pohon rata-rata mencapai enam meter dan diameter sekitar 15
175 centimeter. Sebaliknya, cendana yang tumbuh di daerah dengan curah hujan tinggi secara vegetatif tumbuh subur tetapi tidak menghasilkan kayu berkualitas baik. Kondisi tanah yang sesuai untuk pertumbuhan cendana adalah lahan kering, bertekstur lempung, batu pasir gamping, batu lanau (tanah yang mengandung batu), maupun endapan vulkanik (endapan batu lahar). Lahan berbatu dengan lapisan tanah dangkal dan sulit untuk pertanian merupakan lahan ideal untuk pertumbuhan cendana. Pada kondisi tanah demikian cendana tumbuh sangat lambat, diameter batang kecil, namun menghasilkan kayu kualitas terbaik dengan aroma wangi optimal. Sesuai kondisi alam yang kering dan tandus, pertumbuhan fisik pohon cendana tergolong lambat. Usia 15 tahun vegetasi pohon cendana masih tergolong kecil, seperti halnya cendana di halaman Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan telah ditanam sejak tahun 1987-an memiliki lingkar batang tidak lebih dari 50 centimeter (lihat gambar 6.2). Besar kecilnya pohoh tidak menentukan kualitas cendana, yang terpenting pohon telah tua. Pohon tua berkisar antara 20–40 tahun mempunyai aroma wangi dan
kandungan minyak cendana tinggi. Wangi
cendana usia pohon cendana di bawah 20 tahun belum maksimal karena isi atau inti batang yang disebut teras belum terbentuk. Sebaliknya, jika usia pohon terlalu tua (umur ratusan tahun) inti batang (teras) berubah menjadi gubal, kemudian lapuk, hancur dan mengeronggang. Dalam kondisi seperti ini teras atau inti yang wangi akan berpindah ke bagian akar dan cabang-cabang yang lebih kecil.
176
Gambar 6.2 Cendana di halaman Kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan dalam usia lebih dari 15 tahun memiliki lingkar batang tidak lebih dari 50 centimeter (Dokumentasi : I Gusti Ayu Armini, tahun 2010) Pertumbuhan cendana yang lambat menyebabkan populasi cendana tidak berkembang dengan baik, sebaliknya kebutuhan akan produksi cendana terus meningkat. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah menerapkan strategi hegemoni penguasaan cendana. Melalui hegemoni penguasaan cendana pemerintah memperoleh hak penguasaan untuk meningkatkan populasi dan produksi cendana sekaligus memanfaatkannya sebagai komoditas pemerintah.
6.1.2 Faktor Sosial Faktor sosial meliputi berbagai aktivitas masyarakat yang dianggap menjadi penyebab penurunan populasi cendana. Dalam kaitan ini, pemerintah menetapkan peraturan yang menguasai cendana untuk menghindari kepunahan cendana. Proposisi kekuasaan berlaku signifikan bahwa semakin besar kekuasaan yang dipegang pihak
177 pemerintah maka posisinya semakin kuat untuk mempertahankan kepentingan (Berry, 2003:25). Legalitas dan kekuasaan yang dimiliki pemerintah memposisikannya sebagai penguasa untuk menguasai dan melestarikan cendana. Pemerintah selaku penguasa daerah tetap menganggap bahwa peraturanperaturan yang dibuat sudah sesuai dengan konsep-konsep pelestarian cendana. Sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat memaksa masyarakat untuk mematuhinya, meskipun peraturan-peraturan yang ditetapkan cenderung merugikan masyarakat. Sebaliknya masyarakat selaku kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan cenderung memandang berbeda, bahwa peraturan yang ditetapkan pemerintah tidak mewakili aspirasi masyarakat dan tidak menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Faktor-faktor sosial yang yang dianggap merusakkan populasi cendana berhubungan erat dengan pola-pola aktivitas masyarakat memanfaatkan potensi alam untuk mempertahankan hidup. Masyarakat memanfaatan alam (termasuk cendana) untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Namun, pola-pola aktivitas masyarakat dianggap tidak tepat dan merusak kelangsungan hidup cendana. Faktor-faktor penyebab kemerosotan cendana yang mendukung hegemoni pemerintah dijelaskan sebagai beikut.
6.1.2.1 Ekspliotasi dan Ekstraksi Cendana Penebangan cendana terjadi sejak adanya hubungan dengan bangsa-bangsa dari luar Pulau Timor pada abad ke-3. Perahu-perahu dagang dari beberapa kerajaan Nusantara (Sriwijaya, Majapahit) berniaga membeli kayu cendana langsung ke Pulau
178 Timor. Diperkirakan sejak saat itu telah terjadi praktek jual beli kayu cendana yang memungkinkan penebangan cendana sebagai salah satu komoditi dagang meskipun belum dapat dikategorikan sebagai eksploitasi (penebangan secara berlebihan). Eksploitasi atau penebangan secara besar-besaran terjadi setelah Bangsa Eropa terlibat dalam perdagangan cendana di Pulau Timor. Mereka adalah bangsa Portugis dan Belanda yang ingin memonopoli langsung perdagangan kayu cendana. Disebutkan dalam surat Albuquerque tanggal 6 Februari 1510 bahwa telah terjadi pengiriman kayu cendana dari pedagang-pedagang Gujarat sebanyak 1000 bahar atau sebanyak 5000 pikul (Ardana, 2005:41). Satu pikul setara 62,50 kilogram, jadi 5.000 pikul berjumlah sekitar 312.500 kilogram atau sekitar 312,5 ton. Sejalan dengan proses eksploitasi, dilakukan proses ekstraksi (penyulingan) kayu cendana untuk memperoleh minyak cendana. Th. Rahm menyebutkan bahwa penebangan kayu cendana terjadi secara besar-besaran ketika ada usaha-usaha ekstraksi dengan kemunculan pabrik minyak cendana di Kupang pada pertengahan abad ke-19. Estraksi ini bertujuan untuk menghasilkan minyak cendana yang nantinya dijual sebagai bahan baku obat-obatan dan kosmetika. Dalam proses ekstarksi ini, cendana ditebang tanpa usaha peremajaan kembali yang menyebabkan kerusakan populasi cendana. Mengantisipasi kerusakan populasi cendana pada tahun 1921 Pemerintah Belanda yang berkuasa pada masa itu telah berusaha memberi perhatian akan nasib kayu cendana tetapi kurang berhasil karena dimakan ternak, rusa, dan kebakaran hutan (Parimartha, 2002:284; Koppins, 2005:7). Kerusakan dan ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan penurunan populasi cendana,
179 kemudian pemerintah Belanda melarang masyarakat menjual dan melakukan penebangan kayu cendana. Meskipun cendana mulai melangka dan telah melarang masyarakat menebang cendana, eksploitasi dan ekstraksi justru dilakukan oleh Belanda.
Pemerintah
Belanda
menguasai
pengelolaan
kayu
cendana
dan
memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri. Eksploitasi dan ekstraksi terus berlanjut pada masa-masa berikutnya dan mencapai puncak pada masa Orde Baru. Esploitasi dan ekstraksi secara berlebihan telah menyebabkan kemerosotan populasi cendana. Kabupaten Timor Tengah Selatan yang dikenal sebagai penghasil cendana terbesar pada tahun 1996 masih mampu menghasilkan 1.744.161 kilogram kayu cendana. Namun pada tahun berikutnya hanya mampu menyediakan 25.650 kilogram (Oematan, 2006:23). Pentingnya fungsi kayu cendana baik bagi masyarakat lokal, regional, maupun global menyebabkan ekspoitasi dan ekstraksi berlebihan. Kayu cendana ditebang untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya tanpa ada usaha penanaman kembali anakan-anakan kayu baru. Di samping itu, proses produksi cendana tergolong lamban, hanya bisa dipanen setelah kayu cukup tua berusia di atas 20 tahun. Hal tersebut menyebabkan penurunan drastis jumlah tumbuhan cendana. Dari waktu ke waktu kayu cendana semakin sulit diperoleh. Menurut catatan Penerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan, populasi pohon cendana tahun 1973 berjumlah 178.995 pohon. Pada tahun 1977 tercatat sekitar 92.939 pohon, dan tahuntahun selanjutnya diperkirakan menurun secara signifikan.
180 Kemerosotan populasi cendana telah diantisipasi dengan beberapa peraturan tentang penguasaan cendana oleh pemerintah. Namun, pemberlakuan peraturan pemerintah ternyata tidak mampu mendongkrak peningkatan populasi cendana. Justru penurunan populasi cendana masih terus berlangsung. Keadaan demikian memaksa penerintah kembali menetapkan aturan pelarangan penebangan pohon cendana. Namun, pemberlakuan peraturan tersebut ternyata belum juga mampu meningkatkan populasi cendana secara optimal. Data tahun 2000 mencatat bahwa Kabupaten Timor Tengah Selatan hanya memiliki 112.710 pohon cendana yang tersebar di seluruh kecamatan (Oematan, 2006 : 26). Saat ini eksploitasi dan ekstraksi cendana tidak berjalan optimal seperti dikemukakan Bapak Unang, seorang karyawan asal tanah Sunda yang bekerja di perusahaan penyulingan minyak cendana di Desa Supul. “Sekarang produksi penyulingan minyak cendana tidak berjalan lancar karena pasokan kayu terbatas. Dalam tiga bulah hanya memperoleh kayu sekitar sepuluh kilo, itu tidak cukup untuk operasi mesin. Jadinya, sekarang banyak mesin yang nganggur dan sudah banyak pegawai yang berhenti “ (wawancara dengan Bapak Unang tanggal 12 Agustus 2010). Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa proses eksploitasi dan ekstraksi cendana masih berjalan sampai sekarang. Hanya saja, saat ini proses ekstraksi tidak berjalan dengan baik karena keterbatasan pasokan kayu cendana. Bukti-bukti demikian menjadi indikator terjadinya kemerosotan populasi cendana, yang ikut membawa andil untuk mendukung pemerintah menghegemoni penguasaan cendana.
181 6.1.2.2 Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan gejala yang kerap dijumpai di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Hal ini disebabkan faktor iklim yang kering akibat pengaruh musim panas yang lebih panjang dari musim hujan. Pada musim panas padang rumput dan ilalang yang banyak dijumpai dikawasan Timor mengering dan mudah terbakar. Gesekan-gesekan antara batang-batang kering secara terus menerus menyebabkan sulutan api. Ditambah pula dengan hembusan angin yang kencang memungkinkan kobaran api semakin membesar melalap semua kawasan hamparan padang yang kering kerontang. Kebakaran hutan yang selalu terjadi pada musim panas ditengarai menjadi salah satu faktor yang menghambat bahkan mematikan pertumbuhan pohon cendana. Selain faktor alam, pola pertanian tebas bakar menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan. Pada musim kering sekitar bulan Mei sampai Agustus dianggap waktu yang tepat untuk mencari areal perladangan baru. Dalam kaitan ini, orang-orang meninta bantuan mnae (dukun kampung) yang dianggap mempunyai kekuatan supernatural untuk melakukan kontak dengan roh-roh penguasa alam untuk menentukan lokasi ladang yang tepat. Jika sang dukun sudah memutuskan bahwa suatu tempat cocok untuk dijadikan ladang, maka segera dilakukan upacara ritual mohon izin ditujukan kepada uis pah (dewa penguasa bumi) dan para nitu (roh-roh) penghuni hutan agar pertanian berlangsung lancar serta tanaman tumbuh subur. Lahan-lahan yang menjadi pilihan tidak boleh terlalu luas yang ditetapkan atas persetujuan seorang ana‟ tobe (petugas adat yang mengurus masalah pertanian).
182 Setelah melakukan upacara ritual, dilanjutkan dengan penebasan pohon dan pembersihan semak semak belukar. Penebasan ini seringkali mengorbankan anakan pohon cendana yang tumbuh liar di areal pembukaan ladang baru itu. Dua atau tiga bulan kemudian setelah pohon dan semak-semak yang ditebas mulai mengering dilakukan tahap pembakaran. Abu hasil pembakaran di ketahui dapat menyuburkan tanah, tetapi api juga diketahui menimbulkan panas sehingga setelah pembakaran perlu di lakukan pendinginan tanah melalui upacara adat. Sebelum melalukan pembakaran, terlebih dahulu dibuat siko (sekat bakar) untuk menghindari pelebaran jelajah api penyebab kebakaran hutan. Pembuatan siko ini harus dibersihkan dari bahan-bahan yang mudah terbakar seperti daun-daun dan ranting-ranting kering. Meskipun masyarakat telah memiliki pengetahuan menghindari pelebaran jelajah api, bara api sisa-sisa pembakaran yang diterbangkan angin seringkali menyebabkan kebakaran hutan. Pola ladang berotasi menerapkan sistem budidaya tanaman pada beberapa bidang lahan juga melakukan pembakaran sebagai proses awal pengolahan lahan. Biasanya sebidang lahan yang cukup luas dibagi menjadi lima atau enam bidang yang ditanani secara bergiliran setiap tahun. Proses ladang rotasi dilakukan dengan melakukan lahan secara bergiliran pada masing-masing bidang dengan sela waktu sekitar 4-5 tahun pada masing-masing bidang lahan. Penaman dilakukan secara bergiliran dalam selang beberapa musim tanam kemudian berpindah ke ladang berikutnya, dan akhirnya kembali lagi menuju lahan semula yang telah ditinggalkan selama empat atau lima tahun. Ladang lama yang telah ditinggalkan dibersihkan dari
183 semak-semak, setelah sisa-sisa pembersihan mengering lalu dibakar, dan sisa abu dibiarkan untuk menambah kesuburan tanah. Proses pembersihan dan pembakaran semak-semak seringkali disertai dengan penebasan dan pembakaran anakan pohon cendana yang tumbuh liar. Sejalan dengan peraturan pemerintah yang mengembalikan posisi cendana ke tangan masyarakat, beberapa masyarakat yang melakukan ladang berotasi telah berupaya membiarkan anakan kayu cendana tumbuh di areal ladang itu dengan memberikan dinding-dinding batu di sekitar anakan cendana tersebut. Tetapi, alam yang kering, hembusan angin yang kencang, membuat lidah api cepat menjalar kedaerah-daerah sekitarnta sehingga menyebabkan kebakaran hutan. Kebakaran hutan tersebut menghanguskan anakananakan cendana maupun pohon cendana yang sudah tua. Dengan demikian, pola perladangan berpindan dan tebas bakar ditengarai menyebabkan kebakaran yang mengancam kelangsungan hidup pohon cendana. “Selain faktor kekeringan alam, mata pencaharian ladang berpindan dan tebas bakar ditengarai menyebabkan kebakaran hutan. Pola ladang berpindah dibedakan menjadi dua jenis yakni ladang berpindah dan ladang berotasi. Ladang berpindah dilakukan dengan pencarian ladangladang baru yang dianggap subur dan ladang lama ditinggalkan karena dianggap tidak produktif lagi. Pencarian ladang baru dilakukan dengan merambah hutan secara acak, menebas pohon dan semak-semak, disertai proses pembakaran “ (wawancara dengan Dominggus da Costa tanggal 29 Juni 2008). Wawancara di atas menunjukkan bahwa, sebagian masyarakat, khususnya para pemerhati lingkungan menganggap bahwa pola pertanian tebas bakar menjadi salah satu faktor pendukung kelangkaan populasi cendana. Kelangkaan cendana yang disebabkan
pola
mata
pencaharian
masyarakat
menyebabkan
pemerintah
184 mengeluarkan peraturan yang bersifat menghegemoni. Khususnya peraturan yang menetapkan denda atau hukuman penjara bagi orang yang membakar belukar yang menyebabkan daun cendana gugur atau cendana mati.
6.1.2.3 Gangguan Ternak Beternak sapi, kerbau, kuda, kambing, babi, itik, dan ayam merupakan pekerjaan sampingan yang dilakukan dalam setiap keluarga batih di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pada masa lampau memelihara ternak merupakan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terkait penyelenggaraan upacara adat. Masyarakat pada masa itu jtidak mau memotong ternak untuk lauk-pauk kecuali untuk kepentingan upacara atau pesta-pesta adat. Mereka merasa tabu menukarkan ternak dengan bahan makanan kecuali pemiliknya benar-benar berada dalam kesulitan. Ternak dianggap sebagai kekayaan, benda berharga, dan barang warisan yang dapat digunakan sebagai belis (mas kawin). Kepemilikan ternak pada masa itu ikut menentukan status sosial seseorang. Orang yang memiliki banyak ternak dianggap kaya serta memiliki status sosial tinggi di masyarakat. Sejak tahun 1930 ternak yang semula dipelihara untuk kepentingan adat diarahkan agar mempunyai nilai ekonomis. Bibit sapi didatangkan dari Bali dan Madura dan diusahakan dalam jumlah besar untuk memenuhi komsumsi daging di kalangan masyarakat Timor sendiri maupun dikirin ke pulau-pulau lain di Indonesia. Tata cara pemeliharaan menerapkan tata cara pemeliharaan ternak di Eropa yakni dilepas bebas di padang rumput. Pola peternakan lepas masih diterapkan sampai saat
185 ini, khususnya di daerah-daerah yang memilik hamparan padang rumput luas seperti wilayah sekitar Gunung Mutis dan beberapa desa di Amanuban Barat. Sapi-sapi dibiarkan berkeliaran bebas di padang rumput dengan sapi-sapi orang lain tanpa rasa khawatir tertukar atau kehilangan sapi. Penerapan pola peternakan lepas dimungkinkan karena tersedianya padang rumput alami yang tersebar luas di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Padang rumput tersebut umumnya merupakan tanah ulayat adat yang kepemilikannya merupakan hak kolektif masyarakat. “Di kampung sapi kita lepas semua di hutan, sapi-sapi tidak tukar dengan sapi orang lain, kita punya cara supaya sapi ikut kita. Sapi suka cari rumput di semak-semak, di bawah hutan ampupu, pinus, ya....namanya binatang ada cendana tumbuh sapi tidak tahu, sapi tetap makan itu cendana” (wawancara dengan Cornelis Tapatab, tanggal tanggal 11 Agustus 2010). Wawancara di atas menunjukkan bahwa pola ternak dilepas mencari padang rumput yang masih subur. Rumput yang subur banyak ditemukan di daerah hutan ampupu (eucalyptus urophylla). Padang rumput di bawah naungan hutan ampupu merupakan tempat ideal pertumbuhan alami anakan pohon cendana. Sebab pohon ampupu adalah tempat ideal burung-burung pemakan biji-bijian, sehingga ditempat tersebut banyak tumbuh anakan cendana. Pucuk-pucuk anakan cendana yang tumbuh liar di daerah ini menjadi sasaran makanan ternak. Dengan demikian, dapat dipastikan anakan cendana di daerah tersebut tidak dapat berkembang dengan baik bahkan gagal hidup karena gangguan binatang ternak.
186 Pola peternakan lepas (tanpa kandang) dalam jumlah besar berdampak signifikan terhadap penurunan populasi cendana. Ternak yang dilepas bebas di padang rumput seringkali memakan pohon-pohon muda dan anakan cendana yang tumbuh secara alami sehingga merusak tumbuhan dan akhirnya mengakibatkan kematian vegetasi tumbuhan tersebut. Di samping itu, injakan kaki-kaki ternak dalam jangka waktu lama menyebabkan pemadatan tanah yang menghambat pertumbuhan tanaman muda. Akibatnya, kualitas tanah dan persediaan rumput sebagai pakan ternak semakin menurun, sedangkan pengembangan tanaman pakan alternatif belum memadai. Akibatnya tanah menjadi terbuka tanpa tutupan pohon di atasnya. Kondisi demikian menyebabkan kekurangan zat hara yang diperoleh dari perontokan dedaunan dan menghambat pertumbuhan anakan cendana secara alami.
6.1.2.4 Keterbatasan Pembudidayaan Keterbatasan
pembudidayaan
cendana
disebabkan
dua
faktor
yakni
keterbatasan dana dan keterbatasan pengetahuan teknik pembudidayaan yang tepat. Kurangnya anggaran dan keterbatasan teknologi dapat menghambat upaya pengembangan cendana. Keterbatasan dana merupakan gejala klasik yang dialami pemerintah, dengan dana terbatas pemerintah tidak mampu mengembangkan cendana secara maksimal seperti dikemukakan seorang pegawai Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. “Dinas Kehutanan tidak membudidayakan anakan cendana karena dana terbatas dan resiko tinggi. Pembudidayaan itu sulit, cari bibit bagus susah, biaya pemeliharaan cukup besar. Kalau budidayakan cendana, mampu
187 hidup 40 persen saja itu sudah sangat istimewa. Kita pernah coba buat persemaian, ada hujan.....pohon mati. Daripada dianggap buang-buang anggaran ya...., lebih baik beli saja untuk konservasi hutan” (wawancara dengan Honorius Gale, Kasubag Program Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan, tanggal 9 Agustus 2010). Selain faktor dana, keterbatasan teknologi menghambat pengembangan budidaya cendana. Sementara ini, prinsip-prinsip sivikultur merupakan cara tepat meningkatkan pembudidayaan cendana, mencakup penyempurnaan teknik budidaya, kajian penyempurnaan teknik budidaya, dan pengembangan model-model budidaya intensif. Silvikultur mulai dilakukan lembaga penelitian Departemen Kehutanan dan menunjukan hasil memadai dengan teknik sebagai berikut; 1) Pemilihan media tanam menggunakan polybag, 2) Variasi penggunaan tanaman inang, 3) Identifikasi sifatsifat tumbuhan yang dapat meningkatkan daya tahan cendana terhadap kekeringan, 4) Teknik irigasi tetes untuk meningkatkan prosentase hidup tanaman cendana. Namun, penemuan hsil-hasil penelitian tersebut belum diimbangi dengan diseminasi yang intensif serta lemahnya mekanisme koordinasi antar lembaga sehingga hasil penelitian tersebut belum dapat diimplementasikan secara optimal kepada masyarakat. Hasil budidaya tersebut masih terbatas hanya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan program pengembangan cendana kalangan internal Departemen Kehutanan (Departemen Kehutanan, 2010:24). Pembudidayaan dalam jumlah terbatas dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan, untuk kegiatan pelestarian khususnya penanaman kayu cendana di kawasan hutan negara dan di halaman kantor-kantor pemerintah.. Misalnya program pembudidayaan di Desa Polen dan di Desa Nule menerapkan
188 teknik pembibitan menggunakan polybag (kantong plastik) tampak pada gambar 6.3. Kantong-kantong plastik yang sudah berisi tanah dan pupuk ditata dan didiamkan beberapa hari sampai struktur tanah agak memadat. Setelah tanah agak padat mulai diisi biji cendana bersamaan dengan biji tanaman inang. Masa-masa ini membutuhkan pemeliharaan tepat khususnya penyiraman secukupnya untuk mempercepat perkecambahan biji cendana.
Gambar 6.3 Pembibitan menggunakan polybag dikembangkan secara terbatas di Desa Nule (Dokumentasi : I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)
6.2 Faktor-Faktor Penyebab Kontra Hegemoni Masyarakat Sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap hegemoni pemerintah, kontra hegemoni masyarakat cenderung memandang dari sudut pandang masyarakat. Kemunculan kontra hegemoni masyarakat dilatarbelakangi sudut pandang masyarakat sesuai konsep-konsep pemikiran masyarakat lokal. Menurut pemahaman masyarakat lokal, semua hasil alam termasuk cendana dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Kesejahteraan hidup manusia diperoleh dengan pemenuhan
189 kebutuhan hidup yang bersumber dari alam. Alam dan hutan dianggap sebagai sumber makanan yang tidak pernah habis. Tumbuhan dan binatang hutan dapat diambil apabila terjadi musim paceklik dan persediaan pangan di kebun sudah menipis, dengan mematuhi pakem-pakem tertentu yang telah ditentukan adat. Beranjak dari pola-pola pemikiran demikian, manusia sebagai bagian dari biota alam berinteraksi secara terus-menerus dengan lingkungan hidupnya. Dalam interaksi itu manusia memiliki rambu-rambu tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap alam dan lingkungan Maka, secara naluriah manusia berusaha menjaga alam agar tidak rusak dan mengancam kesejahteraan hidup manusia. Keharmonisan hubungan manusia dengan alam merupakan diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk norma-norma yang direalisasikan dalam perilaku masyarakat. (Soemarwoto, 2004: 102-111). Sejalan dengan perubahan zaman, alam dan manusia bukan lagi rangkaian ekologis yang harmonis. Alam dan berbagai potensi di dalamnya mengalami ekplotasi. Kayu cendana sebagai salah satu potensi alam mengalami pergeseran ke arah komodifikasi yang menempatkannya sebagai salah satu komoditi perdagangan penting. Selanjutnya, cendana pun menjadi ajang perebutan kekuasaan dan menjadi incaran monopoli pihak penguasa. Kondisi demikian terus berlanjut sampai kini yang mengharuskan pemerintah terlibat langsung dalam penguasaan kayu cendana. Eksploitasi dan komodifikasi cendana melibatkan kekuasaan lembaga negara (pemerintah) dan mengesampingkan hak masyarakat memanfaatkan sumber-sumber alam (cendana) untuk menjamin kelangsungan hidup mereka. Peraturan pemerintah
190 yang menuasai semua kepemilikan cendana tanpa memberi hak penguasaan kepada masyarakat dianggap telah mengingkari aturan adat sehingga kontra hegemoni masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan kontra hegemoni masyarakat diuraikan dalam sub bab berikut.
6.2.1 Faktor Budaya Lokal Kebudayaan meliputi semua hasil karya manusia berwujud kebudayaan ideal, sistem sosial, dan kebudayaan fisik. Semua wujud kebudayaan terangkum dalam kebudayaan universal meliputi sistem keyakinan, ilmu pengetahuan, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, maupun peralatan hidup (Koentjaraningrat, 1984:5-8; 1990:186; 1992:7). Raymond Williams (1965) menyebutkan bahwa kebudayaan mempunyai aspek makna dan arahan-arahan normatif yang sudah dikenal dan dilatihkan pada anggotanya memalui proses belajar terus-menerus dan makna-makna baru yang ditawarkan dan diuji. Semua ini merupakan proses biasa dalam masyarakat dan jiwa manusia. Melalui proses tersebut dapat dilihat bahwa kebudayaan bersifat tradisional sekaligus kreatif. Jadi, kebudayaan itu memiliki dua pengertian yakni
sebagai keseluruhan cara hidup
meliputi makna-makna umum dan menunjuk pada kesenian, pembelajaran, penemuan, dan usaha kreatif (Barker, 2005:50). Pentingnya arti kebudayaan sebagai pengalaman hidup sehari-hari suatu masyarakat, dimiliki hampir semua kelompok-kelompok manusia pendukung suatu kebudayaan. Termasuk pendukung kebudayaan masyarakat Etnis Dawan di
191 Kabupaten Timor Tengah Selatan. Masyarakat Etnis Dawan memiliki sistem keyakinan, ilmu pengetahuan, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, maupun peralatan hidup yang khas sesuai dengan kondisi alam sekitarnya. Cendana sebagai pohon khas Kabupaten Timor Tengah Selatan juga tidak terlepas dengan konsep-konsep kearifan ekologis, sistem kepercayaan, konsepsi, dan tradisi masyarakat lokal. Sistem kepercayaan, konsepsi, dan tradisi yang berhubungan dengan benda-benda alam selalu ada dalam kehidupan masyarakat, karena sejak masa lampau masyarakat di wilayah tersebut telah menggantungkan hidup kepada alam (termasuk cendana) sebagai sumber kehidupan. Beberapa konsep-konsep dan pemahaman lokal yang mendukung kontra hegemoni masyarakat dapat diuraikan dalam uraian berikut.
6.2.1.1 Mitos dan Kepercayaan Masyarakat Pola-pola penguasaan cendana yang dikuasai oleh penguasa (pemerintah), dianggap sebagai pola-pola penguasaan yang tidak mampu mengakomodir kepentingan masyarakat. Pola-pola hegemoni penguasaan oleh pemerintah dinggap telah mengangkangi hak masyarakat untuk menguasai cendana yang tumbuh di alam sekitarnya. Pengangkangan hak rakyat oleh pemerintah tidak sesuai dengan makna yang tertuang dalam mitos dan bertentangan dengan kepercayaan yang diyakini secara turun-temurun. Baik mitos dan kepercayaan adalah proyeksi emosi manusia, pola pikir kolektif, alat pendidikan, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam (Dananjaya, 2002:3-5). Mitos dan kepercayaan merupakan bagian dari kebudayaan
192 kolektif yang diwariskan secara turun-temurun, mempunyai fungsi dalam menata kehidupan masyarakat, dan sarat dengan nilai-nilai pemahaman budaya lokal. Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan percaya bahwa setiap gejalagejala alam, tokoh manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan suarasuara yang luar biasa memiliki kekuatan gaib. Mereka percaya bahwa semua tanaman memiliki roh atau jiwa. Hasil bumi seperti padi, jagung, kentang, dan kayu cendana diyakini memiliki jiwa dan memberi kehidupan bagi manusia. Sebelum di tanam jiwa-jiwa padi, jagung, kentang, dan ubi harus dipanggil dengan memercikkan air menggunakan daun cendana agar tanaman tersebut tumbuh subur dan panen berlimpah. Tanaman yang subur dan panen melimpah memberi manfaat besar bagi kelanjutan jiwa serta kesejahteraan hidup manusia. Di samping itu, berkembang pula mitos bahwa semua bahan makanan manusia seperti jagung, padi, ubi, labu, kacangkacangan, sayur-sayuran, termasuk pohon cendana merupakan penjelmaan dari daging dan tulang-belulang puteri bernama Bi Sobe Sonba’i. Puteri tersebut sengaja dibunuh sebagai korban untuk para nitu (roh) untuk menjamin kesuburan tanah dan menjaga semua tumbuhan termasuk cendana agar tetap hidup dan memberi hasil berlimpah. Kemudian mayat puteri tersebut dikubur, di tempat penguburan mayat puteri tersebut tumbuh jagung, kacang, dan sayur-sayuran, dan kayu cendana. Konon, semua tumbuhan itu berasal dari bagian daging sang puteri sedangkan tulangbelulang puteri tumbuh menjadi pohon cendana. Mitos kematian Puteri Sobe Sonba’i terhadap kesuburan tanaman pangan berkaitan dengan tradisi mausufa atau pena nakan yakni tradisi memasukkan hulu
193 hasil atau sejenis upeti kepada usif khususnya Usif Sonba’i. Mausufa atau pena nakan merupakan tradisi membawa hasil ladang dan kayu cendana menuju sonaf (istana) sebagai tanda terimakasih kepada usif selaku penguasa wilayah dan pengorbanan puteri Sonba’i. Tata cara pemasukan hulu hasil disertai tradisi membawa seorang laki-laki dan beberapa orang gadis. Laki-laki tersebut digunakan sebagai korban (dibunuh) untuk menemani kematian Bi Sobe Sonba’i, sedangkan para gadis digunakan sebagai pelayan istana. Pengaruh mitos ini berjalan cukup lama tetapi akhirnya ditentang rakyat. Penentang paling awal adalah penguasa wilayah Insana dan Biboki (daerah Timor Tengah Utara sekarang) beserta para rakyatnya, kemudian dilanjutkan dengan penentangan dari pihak kerabat Kerajaan Oenam sendiri, dan terakhir ditentang pendukung setia Usif Sonba’i yakni penguasa wilayah Mollo di bawah pimpinan keluarga Oematan (wawancara dengan Jacobus Oematan di Desa Fatumnasi tanggal 23 Mei 2007). Aksi penentangan terakhir terjadi pada masa pemerintahan usif Talus Sonba’i ketika ada upacara penyerahan ulu hasil dari Kono Oematan. Ketika rombongan pembawa ulu hasil beserta calon korban bernama Nai Nenosaban memasuki gerbang istana, usif Talus Sonbai telah bersiap-siap akan menombak calon korbannya. Tetapi Nai Nenosaban tidak menyerah begitu saja, ia seorang yang cekatan sehingga dapat mengelak dari sasaran mata tombak usif. Karena tidak mengenai sasaran Talus Sonba’i kembali meluncurkan tombak tetapi tombak tersebut dapat ditangkap oleh Nai Nenosaban, kemudian membalikkan lemparan tombak itu ke tubuh usif Talus Sonba’i. Serangan balik itu menyebabkan usif Talus Sonba’i terbunuh dan
194 menimbulkan kerusuhan. Setelah kematian usif, semua permaisurinya melarikan diri menuju daerah asal mereka masing-masing. Beberapa permaisuri membawa serta putera-puterinya, salah satu di antaranya putra mahkota dari permaisuri Bi Lalan Mella. Putra mahkota kemudian diasuh dan disembunyikan di Gunung Laob oleh keluarga Mella Sanam di Bijeli (wilayah Mollo Selatan sekarang). Tidak berselang lama sejak kematian usif Talus Sonba’i, wilayah Kerajaan Oenam mengalami kemarau panjang yang menyebabkan masyarakat kekurangan pangan. Kecuali daerah tempat persembunyian putera mahkota di sekitar Bukit Laob tidak terjadi kekeringan dan masyarakat tidak kekurangan pangan. Menurut keyakinan masyarakat, keganjilan ini terjadi karena kesaktian usif Sonba’i sebagai neno anan (anak dewa) Kesaktian yang dipancarkan neno anan diyakini membuat wilayah Bukit Laob tidak mengalami kekeringan. Melihat keajaiban tersebut datang utusan dari wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan menemui keluarga Mella Sanam meminta putera mahkota kembali menduduki posisi penguasa. Mella Sanam menyetujui tetapi ia meminta imbalan atas jasa mereka memelihara putera mahkota berupa muti salak (perhiasan terbuat dari rangkaian batu mulia dan manik-manik). Permintaan Mella Sanam dalam Bahasa Dawan disebutkan sebagai berikut : “.....Onam peu-peu ma neos puse Nai Mella ma Nai Sanam, an senam nafani silu ba‟besi Paenenom Oenam an nonim natol nasnau mamaspeit, aenfini paenen ma Oenam monim natol nasnau ma maspeit, aenfini ma penfini Paenenom ma OEnam ma”naka ma ma‟kuli mau usi „ ma matua.........” artinya: ...sebagai penghapus keringat dan kelelahan Mella Sanam, menenangkan kembali penguasa Paenenom-Oenam agar pohon (cendana), bibit padi, dan bibit jagung tumbuh dengan subur, bibit jagung dan bibit padi ada penguasanya kembali...(wawancara dengan F.H. Fobia tanggal 26 Mei 2007).
195 Berdasarkan keyakinan demikian, masyarakat Dawan menganggap seorang usif adalah penjelmaan uis neno (penguasa langit) maupun uis pah (penguasa bumi). Mitos dan keyakinan demikian memposisikan usif sebagai penguasa legal atas padi, jagung, kacang, maupun cendana. Oleh karena itu, setiap panen padi, jagung, kacangkacangan, dan cendana harus sepengetahuan usif. Hal ini berkaitan dengan keyakinan bahwa usif sebagai penjelmaan uis neno yang telah menumbuhkan pohon cendana dari tulang belulang salah seorang puteri usif Sonba’i. Berdasarkan mitos tersebut kayu cendana dianggap kayu keramat dan hanya boleh dimiliki oleh usif khususnya keturunan usif Sonba’i. Semua cendana yang ada di wilayah suatu keusifan (kerajaan) adalah milik usif dan keturunannya. Hanya usif yang memiliki kuasa terhadap kayu cendana, setiap penebangan kayu cendana harus sepengetahuan usif
dan usif
memperoleh porsi pembagian terbesar. Meskipun demikian, hasil cendana tidak dinikmati sendiri oleh usif, ia memberi porsi pembagian kepada fettor; temukung, amaf, meob, mnae, sampai tukang tebang. Masing-masing memperoleh bagian sesuai porsi yang telah diatur sesuai kesepakatan adat. Pola-pola penguasaan cendana sesuai aturan adat lokal demikian dianggap sebagai pola-pola penguasaan ideal dan mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat.
6.2.1.2 Konsepsi Masyarakat Masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan memiliki konsep pemikiran lokal dan pola pandang tertentu berkaitan dengan alam sekitar maupun tumbuhtumbuhan termasuk kayu cendana. Hutan, satwa, dan semua tumbuhan diyakini
196 memiliki jiwa yang memberi kehidupan bagi manusia. Semua tumbuhan dan binatang hidup dan tumbuh subur di hutan dianggap sebagai sumber makanan yang tidak pernah habis. Pada musim kering ketika persediaan pangan di kebun sudah habis, tumbuhan dan binatang hutan liar dapat diambil untuk memenuhi kebutuhan pangan (Bele, 2009: 45-49). Konsep demikian disebut dengan ungkapan oin oef ma sisi maka sin balan (hutan merupakan sumber madu, daging, dan makanan). Ketika merambah hutan harus menerapkan konsep kio (hutan adat yang dipertahankan untuk tempat berlindung binatang-binatang hutan). Kio diterapkan ketika membuka ladang baru atau pun membersihkan ladang, tidak semua tumbuhan ditebang. Beberapa spesies tumbuhan harus dibiarkan hidup, misalnya sejenis pohon cemara atau pinus disebut ampupu (eucaliptus urophylia) sebagai tumbuhan yang melindungi dan menyuburkan tanah. Pohon hue atau sejenis beringin (ficus septica) dibiarkan tumbuh karena dianggap dapat mendinginkan udara dan menjadi tempat burung hinggap sehingga dapat dijadikan tempat memasang jerat. Di Mollo Utara, pohon beringin tidak boleh ditebang karena masyarakat menjadikannya lambang pemerintahan yang memberi perlindungan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, para pejabat pemerintahan sering diidentikkan dengan pohon beringin yang disebut nunuh tuakin lete tuakin berarti setiap level pemerintahan berfungsi melindungi masyarakat. Pengambilan hasil hutan harus mematuhi aturan adat berupa larangan mengambil hutan secara sembarangan disebut banu, talas atau le‟u. Banu adalah aturan-aturan adat yang mengatur pemanfaatan alam oleh masyarakat lokal yang memuat peraturan turun-temurun tentang pola-pola pemanfaatan potensi alam seperti
197 hutan, ladang, air, tanaman, maupun binatang. Banu mengatur pemanfaatan potensi alam yang memperhatikan kelestarian lingkungan, tidak semua pohon dan binatang boleh diambil sebagai bahan makanan. Harus disediakan beberapa bagian tanaman atau
binatang
hutan
untuk
memberi
kesempatan
mereka
berkembang
mempertahankan populasi. Sedangkan talas atau le‟u adalah konsep pemahaman yang menganggap suatu benda memiliki nilai sakral dan keramat. Sehingga dikenal istilah nais talas untuk menyebut kawasan hutan keramat atau hutan lindung. Di kawasan nais talas, banu atau aturan adat tentang pemanfaatan hasil hutan termasuk kayu cendana berdampak positif terhadap kelestarian alam. Seperti dikemukakan beberapa tokoh masyarakat dan tokoh adat. “Mata pencaharian kita dulu mengumpulkan cendana, madu, dan lilin (malam lebah). Banu atur semua itu, kita tidak boleh ambil semua cendana, madu, dan lilin. Harus sisakan supaya dia dapat berkembang lagi. Kalau itu dilanggar kita kena hukuman, ada berat ada ringan. Dulu, kesalahan besar hukuman berat bisa kubur hidup-hidup, bisa celup tangan ke air panas. Sekarang pelanggaran hutan adat hanya denda uang” (wawancara dengan M. Anin di Fatumnasi tanggal 25 Mei 2007; F.H. Fobia di So’e tanggal 27 Mei 2007; Cornelis Tapatab di So’e tanggal 14 Agustus 2010). Terkait aturan adat banu yang mengatur pemanfaatan alam oleh masyarakat lokal, berkembang pula konsep banu haumeni yakni aturan adat terkait penguasaan dan pemanfaatan hasil cendana. Banu haumeni dibentuk oleh usif beserta lembaga pemerintahan adat yang membantu usif menjalankan roda pemerintahan seperti fettor, temukung, nakaf, dan amaf. Khususnya ana‟tobe pemimpin yang bertanggung jawab pada penataan wilayah pertanian pertanian, kelestarian alam, dan lingkungan hidup dan ana amnes (petugas yang mengatur upacara keagamaan). Menurut konsep banu
198 haumeni, cendana adalah pohon keramat yang tumbuh atas kemurahan uis neno (penguasa langit) dan uis pah (penguasa bumi) yang dapat memberkahi kehidupan masyarakat. Dengan demikian cendana harus dijaga dan diperlakukan dengan baik, dan tidak baik di tanam. “Itu kayu sonda boleh kita lakukan hal-hal jahat, kita harus jaga terus. Kalau mau tebang harus izin bapak desa, ada izin uis neno, uis pah. Selesai tebang sonda boleh dibiarkan. Kalau mau jual harus jaga sampai kayu itu dorang beli. Siang malam kita jaga, kita perlu makan, minum, untuk dorang jaga itu cendana, sonda begitu kita bisa sakit” (wawancara dengan M. Hanin, seorang mafefa merangkap Kepala Desa Fatumnasi tanggal 25 Mei 2007). Menurut konsep banu haumeni, cendana yang baik adalah cendana yang tumbuh sendiri atas kehendak uis neno dan uis pah melalui perantaraan burungburung. Pemanenan cendana harus memperhitungkan saat tepat dan ketuaan pohon, memperhatikan hari baik, dan mengikuti aturan-aturan adat. Pohon cendana boleh ditebang setelah berusia tua di atas 20 tahun dilakukan pada bulan-bulan kering. Menebang pohon cendana harus di siang hari pada saat cuaca cerah tidak boleh pada saat cuaca mendung ataupun malam hari. Hal ini melambangkan bahwa menebang pohon cendana harus dengan hati yang tulus, bersih, dan jujur. Setelah pohon cendana ditebang, kayunya tidak boleh dibiarkan tergeletak sendirian begitu saja tanpa dijaga. Kayu-kayu tersebut harus diangkut ke tempat yang aman, kemudian dijaga terus menerus sampai tiba waktunya kayu itu dimanfaatkan. Jika akan di jual, harus dijaga terus sampai kayu itu laku terjual. Berdasarkan pengetahuan masyarakat masyarakat, penebangan cendana sebaiknya dilakukan pada bulan-bulan kering (Juli-Agustus) dan pada saat hari terang
199 (siang hari saat menuju bulan purnama, tidak boleh hari-hari menjelang bulan mati). Pada saat itu cendana berada pada kondisi baik pada bulan kering saat menuju bulan purnama karena pada saat tersebut teras cendana dalam posisi maksimal, padat dan wangi. Sebaliknya pada bulan-bulan basah (musim hujan), air hujan mempengaruhi kualitas teras cendana yang mengakibatkan inti cendana mencair seperti bubur dan tidak memberi aroma wangi. “Cendana bagus tebang saat musim kering, saat bulan terang. Musim kering isi cendana padat tidak campur air. Bulan basah isi cendana campur air, tidak wangi” (wawancara dengan Ismael Tefnay, di Desa Nule, tanggal 10 Agustus 2010). Setelah pohon cendana ditebang, kayunya tidak boleh dibiarkan tergeletak tanpa dijaga. Kayu-kayu tersebut harus diangkut ke tempat yang aman, kemudian dijaga terus menerus sampai tiba waktunya kayu itu dimanfaatkan. Jika akan di jual, harus dijaga terus sampai kayu itu laku terjual. Pelanggaran terhadap banu haumeni diimbangi dengan pemberian sangsi berupa denda ternak, uang, ataupun hukuman fisik tergantung berat ringannya pelanggaran yang dilakukan Konsep banu, talas atau le‟u memotivasi masyarakat melestarikan lingkungan alam. Kearifan tradisional tersebut mengajarkan manusia selalu menjaga alam yang diimplementasikan dalam berbagai perilaku mistis dan relegius. Bahwa manusia dan alam merupakan satu kesatuan holistik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Kehidupan manusia sangat tergantung pada kondisi alam sebaliknya kondisi alam ditentukan pula oleh perilaku manusia terhadap alam. Baik atau buruknya kondisi alam yang disebabkan perilaku manusia berdampak terhadap kualitas kehidupan
200 manusia itu sendiri. Perilaku baik terhadap alam memberi dampak positif bagi kehidupan manusia, sebaliknya berbuat semena-mena pada alam maka alam akan menyengsarakan hidup manusia. Tetapi, kearifan banu, talas, atau le‟u yang dijunjung masyarakat tidak diindahkan oleh pemerintah terkait penguasaan hasil hutan cendana. Pemerintah mengambil alih penguasaan cendana dan tidak memberikan hak pemanfaatan kepada masyarakat. Padahak, sesuai pemahaman tradisi lokal, dalam kondisi tertentu, semua hasil hutan termasuk cendana dapat diambil oleh masyarakat. Pengambilan hasil hutan harus mematuhi aturan adat yakni melakukan tebang pilih dan harus disediakan beberapa bagian tanaman untuk memberi kesempatan berkembang mempertahankan populasi. Tetapi pola pemahaman demikian tidak dihargai pemerintah, justru pemerintah mengambil alih semua cendana yang tumbuh di hutan dan tidak memberi hak pemanfaatan kepada masyarakat. Pengingkaran konsep banu, talas, dan le‟u menjadi faktor pendukung munculnya kontra hegemoni masyarakat.
6.2.1.3 Subjektivitas Masyarakat Sesuai pemahaman masyarakat, cendana adalah salah satu tumbuhan memiliki manfaat sosioreligius. Masyarakat lokal di Kabupaten Timor Tengah Selatan telah memanfaatkan cendana sebagai wadah kesinambungan sosial, ekonomi, dan budaya secara turun-temurun. Di dalamnya ada subjektivitas masyarakat lokal sehubungan dengan pemanfaatan cendana untuk memenuhi kebutuhan material dan spiritual manusia. Dalam hal ini, cendana dianggap sebagai kayu wangi, kayu arwah, kayu
201 berkah yang berperan penting bagi kesejahteraan kehidupan lahiriah dan batiniah masyarakat.
6.2.1.3.1 Hau Meni: Cendana sebagai Kayu Berkah Dalam Bahasa Dawan, cendana disebut hau meni yang berasal dari istilah hau kamelin. Hau kamelin berarti kayu wangi kemudian mengalami perubahan lafal menjadi hau kameni atau disingkat pengucapannya menjadi hau meni kayu berkah. Sebagai kayu berkah, cendana diyakini tumbuh atas kemurahan Tuhan disebut uis neno (penguasa langit) dan uis pah (penguasa bumi). Oleh sebab itu, cendana yang tumbuh secara alami tanpa unsur rekayasa dianggap yang terbaik karena tidak menentang kodrat dan kehendak Tuhan sebagai penguasa alam. Cendana sebagai kayu berkah (hau meni) sejak dahulu kala telah digunakan sebagai bahan obat da upacara keagamaan. Fungsi cendana yang sedemikian penting bagi kesejahteraan lahir dan batin, memungkinkan cendana disebut kayu berkah. Sebagai kayu berkah, cendana dianggap sebagai benda suci dimanfaatkan dalam upacara keagaamaan untuk mendekatkan hubungan dengan Tuhan. Berkah cendana diperoleh dari aroma wangi yang dimanfaatkan sebagai sarana mendekatkan diri dengan Tuhan. Aroma wangi cendana diyakini membantu aktivitas spriritual yang membantu kenenangan jiwa dan memberi kedamaian hidup. Sebagai bahan obat cendana juga dianggap memberi berkah kebahagiaan karena mampu menyebuhkan manusia dari deraan penyakit. Berkah cendana untuk menyembuhkan penyakit diperoleh dari kandungan minyak santalol yang berfungsi
202 mengurangi rasa sakit, mengatasi insomnia, relaksasi, dan menghalangi karsinogenik (Agusta
dan
Jamal,
2001:561).
Masyarakat
Dawan
secara
turun-temurun
memanfaatkan bagian-bagian pohon cendana untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit seperti panas dalam, demam, dan bengkak. Daun cendana yang ditumbuk halus dibalurkan pada bagian-bagian tubuh tertentu untuk obat penurun panas pada anak-anak dan obat bengkat akibat luka dalam. Daun cendana yang telah ditumbuk dicampur air dan disaring menjadi racikan sejenis jamu untuk mengobati panas dalam. Atau, kulit batang cendana diiris tipis-tipis dimakan bersama sirih pinang untuk menghilangkan bengkak di mulut. Sejalan dengan penerapan peraturan pemerintah, cendana sebagai kayu berkah yang digunakan untuk obat dan upacara keagamaan tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat. Pemerintah telah menetapkan peraturan yang melarang masyarakat mengambil atau memotong cendana tanpa izin pemerintah. Orang yang mengambil, memotong, dan merusak cendana dijatuhi denda atau hukuman penjara. Penghalangan hak masyarakat merupakan salah satu faktor pendorong munculnya kontra hegemoni masyarakat karena dianggap tidak sesuai dengan nilai subjektivitas kayu berkah yang melekat erat sosok tanaman cendana.
6.2.1.3.2 Hau Nitu: Cendana sebagai Kayu Arwah Pemahaman masyarakat yang mengidentikkan cendana sebagai hau nitu (kayu arwah) menempatkannya pada posisi keramat yang dihargai masyarakat lokal. Sebagai kayu arwah, cendana diyakini menebarkan penyakit dan mendatangkan
203 kesengsaraan apabila diperlakukan buruk, dan mendatangkan kebahagiaan apabila diperlakukan dengan baik. Perilaku manusia yang tidak menghargai cendana dianggap perbuatan tidak baik yang mengakibatkan malapetaka, sebaliknya apabila cendana diperlakukan dengan baik akan mendatangkan kebahagiaan. Hal ini menandakan bahwa perilaku manusia yang tidak baik akan mendatangkan kesengsaraan, sebaliknya perilaku yang baik mendatangkan kebahagiaan. Oleh sebab itu, subjektivitas cendana sebagai kayu arwah mengajarkan manusia senantiasa berhati tulus, bersih, dan jujur untuk meraih kebahagiaan hidup. Cendana disebut sebagai hau nitu (kayu arwah), diyakini mampu mengusir roh jahat. Pada masa lampau, cendana dimanfaatkan untuk mengusir roh jahat dalam upacara penyambutan para meob (prajurit) yang datang dari medan perang dengan membakar kayu cendana dan memercikkan air menggunakan daun cendana. Saat ini, pemanfaatan cendana sebagai pengusir roh jahat dilakukan ketika anak-anak baru kembali dari bepergian jauh atau seseorang yang baru datang dari tempat-tempat angker. Sebelum memasuki rumah terlebih dahulu diperciki air kelapa menggunakan daun cendana. Hal ini bertujuan untuk mengusir roh-roh jahat yang mengikuti seseorang agar tidak mengganggu ketenangan orang-orang di dalam rumah. Sebagai kayu arwah, cendana juga dinilai memiliki kekuatan roh digunakan sebagai amulet (jimat) pemikat. Jimat terbuat dari potongan inti teras kayu cendana yang beraroma paling wangi. Potongan kayu cendana tersebut dibungkus secarik kain bersama tumbuh-tumbuhan atau akar-akaran lain kemudian diberi doa-doa tertentu. Bungkusan ini dibawa setiap hari terutama ketika akan bertemu dengan lawan jenis
204 yang diincar. Sebagian masyarakat masih yakin bahwa jimat cendana mampu menaklukkan lawan jenis karena kekuatan magis dan aroma wangi cendana Hegemoni dan intervensi pemerintah dalam memanfaatkan cendana telah mengurangi intensifitas masyarakat menggunakan cendana. Masyarakat kesulitan memperoleh cendana untuk bahan pengusir roh jahat, bahan obat tradisional, dan bahan jimat, karena sebagian besar cendana dimiliki pemerintah dan pengambilan cendana harus mendapat izin pemerintah. Kesulitan memperoleh cendana merupakan penghambat aktivitas masyarakat, sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor pendukung kontra hegemoni masyarakat.
6.2.1.3.3 Hau Nitu: Cendana sebagai Kayu Setan Pandangan masyarakat yang menganggap kayu cendana sebagai kayu setan (hau nitu) muncul sejalan dengan keberadaan cendana yang seringkali memunculkan kesengsaraan atau penderitaan hidup manusia sejak masa lampau. Pada masa kerajaan, mitos Puteri Sonba’i yang sengaja dibunuh dan dikorbankan untuk menghindarkan rakyat dari derita kelaparan akibat kemarau panjang dan kegagalan panen, merupakan latar belakang cendana dianggap kayu setan. Di samping itu, pada masa lampau, orang-orang yang melakukan pencurian cendana di kawasan hutan mendapat hukuman keras dan kejam. “Mencuri kayu cendana di hutan tanpa memperhatikan jenis kayu, ukuran, tempat mengambil, atau tidak memberitahu pada ketua adat akan mendapat hukuman berat maupun ringan sesuai tingkat pelanggaran yang dilakukan. Hukuman bagi pencuri adalah tangan si pencuri dimasukkan ke dalam air panas, bahkan dikubur hidup-hidup. Hukuman demikian
205 tidak diterapkan lagi sejak adanya pembenahan tata pemerintahan baru setelah zaman kemerdekaan. Bagi pelanggar-pelanggar adat dikenakan sangsi berupa sejumlah barang seperti mutisalak (manik-manik atau permata), sapi, kerbau, atau sejumlah uang. Denda sejumlah uang dan beberapa ekor sapi masih berlaku sampai saat ini bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran di hutan” (wawancara dengan mafefa M.Hanin di Fatumnasi pada tanggal 25 Mei 2007). Cendana sebagai kayu setan muncul sejak adanya peraturan pemerintah yang memonopoli penguasaan cendana cendana. Terutama setelah pemberlakuan peraturan pemerintah No.16 tahun 1986 yang memposisikan pemerintah sebagai penguasa cendana. Cendana yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah. Kayu cendana di lahan petani pembagiannya adalah 15 % untuk petani 85 % untuk pemerintah. Denda atau hukuman penjara bagi orang yang menebang, memotong, merusak kayu cendana hidup atau mati, dan menyimpan kayu cendana tanpa izin pemerintah. Peraturan demikian mendorong aksi kejahatan. Pencurian cendana semakin marak, bahkan dilakukan sampai menggali ke akar-akarnya semata-mata untuk memperoleh keuntungan. Walaupun di tempat-tempat tertentu sudah digelar sweeping (pemeriksaan) oleh aparat, namun kayu cendana masih dapat lolos melalui “jalan tikus”. Pada kasus tertentu aparat sipil maupun keamanan bersama pengusaha ikut terlibat dalam penyelundupan kayu cendana di luar izin pemerintah. Carut-marutnya pengaturan penguasaan cendana, menyababkan cendana yang semula dipercaya mempunyai kekuatan magis dan mendatangkan kebahagiaan, berubah mendatangkan kesengsaraan hidup manusia. Masyarakat yang memiliki cendana tanpa izin pemerintah dipastikan akan mengalami kesusahan yakni mendapat
206 ganjaran hukuman atau denda. Berdasarkan kondisi demikian, cendana yang semula dianggap kayu berkah (hau meni) berubah menjadi kayu setan (hau nitu). Hal ini menjadi faktor yang mendorong masyarakat melakukan kontra hegemoni terhadap pemerintah.
6.2.1.3.4 Hau Sonaf: Cendana sebagai Kayu Istana Strata masyarakat Etnis Dawan masa lampau menggolongkan masyarakat menjadi kelompok-kelompok tertentu terdiri dari golongan usif, tob, dan ate. Golongan usif terdiri dari para raja dan keluarganya yang merupakan pah tuaf atau penguasa wilayah. Peran usif dalam sistem pemerintahan tradisional sangat besar. Ia beserta keluarganya menempati rumah disebut sonaf (istana). Usif menjalankan pemerintahan dari dalam sonaf dibantu beberapa orang kepercayaan. Usif dan sonaf memiliki posisi sosial tertinggi dan memiliki hak absolut mengatur wilayah kekuasaannya termasuk menguasai cendana di wilayah tersebut. Pola
pemerintahan
tradisional
dan
sistem
kepercayaan
masyarakat
memposisikan peran usif dan sonaf selaku penguasa tertinggi sekaligus menggiring cendana sebagai simbol legitimasi kekuasaan usif selaku penguasa lokal. Mereka yang berhak menguasai cendana hanya usif (raja). Hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan setiap penebangan pohon cendana harus sepengetahuan usif. Usif dan sonaf (istana) sebagai pemilik dan agen penjualan cendana menjadikan cendana disebut hau sonaf (kayu istana). Sebagai hau sonaf, cendana menjaga kelangsungan istana melalui aktivitas perdagangan cendana. Perdagangan
207 cendana dilakukan apabila kapal atau perahu dagang telah datang berlabuh. Saat itu usif yang menempati sonaf (istana) di daerah daerah pegunungan akan turun ke pesisir dikuti anak, istri, selir, dan para pembantunya. Mereka membawa kayu cendana untuk ditukar dengan barang-barang yang dibawa oleh saudagar perahu. Barang-barang kegemaran usif dan anggota sonaf adalah kain lena, porselen, gelas, sendok, garpu. Kayu cendana tidak boleh ditukar sebelum usif dan anggota sonaf datang dan pertukaran cendana harus disaksikan langsung oleh usif. Hasil perdagangan kayu cendana sebagian besar diserahkan kepada usif selaku penguasa wilayah. Usif memperoleh separuh dari seluruh hasil penjualan. Separuhnya lagi, dibagi dengan perangkat penguasa bawahannya seperti meob, mafefa, amaf, dan tukang tebang. Pola-pola demikian menjadikan cendana sebagai tiang penyangga perekonomian sonaf. Usif selaku pengayom masyarakat tidak menguasai sendiri hasil panen cendana, ia memberi porsi-porsi pemanfaatan kepada semua bawahannya. Usif memberi pembagian yang jelas untuk fettor, temukung, meob, para amaf, termasuk masyarakat yang bertugas menebang. Selaku penguasa wilayah usif memperoleh porsi terbesar namun tidak melupakan pembagian secara hirarkis ke bawah, khususnya para amaf yang mengatur kepemilikan tanah ulayat adat. Para amaf memperoleh hak penguasaan cendana yang tumbuh pada wilayah adatnya. Tidak jarang hasil penjualan cendana dimanfaatkan sebagai salah satu pendapatan untuk menjaga kelangsungan hidup keluarga atau klen. Ketika bahan pangan lain khususnya hasil ladang mengalami pasang surut antara musim panen dan musim paceklik,
208 cendana tetap tumbuh dan digunakan sebagai penopang kehidupan keluarga. Sehingga cendana diidentikkan dengan puteri sonaf atau puteri rumah yang selalu setia menopang kehidupan keluarga (Ataupah, 1992 : 63). Seiring perkembangan zaman dan munculnya sistem pemerintahan moderen, peran usif dan sonaf terkait kepemilikan cendana di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan hampir tidak ada lagi. Pola-pola pemerintahan moderen telah mengubah pola-pola penguasaan cendana secara tradisional. Usif dan anggota sonaf tidak memiliki hak menguasai cendana yang ada di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Pola pemerintahan nasional memposisikan pemerintah formal sebagai penguasa cendana Dalam hal ini pemerintah berhak menguasai dan mengontrol penguasaan cendana, pemerintah mengambil alih penguasaan cendana sehingga cendana kini tidak lagi disebut hau sonaf (kayu milik istana atau kayu milik raja). Demikian pula hak amaf untuk menguasai cendana di wilayah adatnya tidak ada lagi, diambil alih pemerintah. Pengambialihan hak-hak masyarakat lokal ini menjadi salah satu faktor pendorong kontra hegemoni masyarakat.
6.2.1.3.5 Hau Plenat: Cendana sebagai Kayu Milik Pemerintah Perjalanan panjang sejarah penguasaan cendana yang memposisikan pihak penguasa sebagai pemilik cendana memuncuklan konsep pemikiran hau plenat (kayu milik pemerintah). Istilah hau plenat diilhami kondisi real bahwa sejak zaman kolonial beberapa abad lampau sampai sekarang kepemilikan cendana selalu dimonopoli oleh pemerintah. Pada zaman penjajahan Portugis maupun Belanda,
209 pemerintah kolonial menetapkan bahwa seluruh tanaman cendana berada di bawah kontrol pemerintah kolonial. Pada masa kolonial, pola-pola transaksi dan peraturan perdagangan cendana hanya diperbolehkan apabila transaksi dilakukan dengan pihak pemerintah kolonial. Hak monopoli perdagangan cendana dilatarbelakangi tendensi ekonomis dan menjadi ajang perebutan kekuasaan antar penguasa. Pada masa kemerdekaan, khususnya masa-masa awal pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan bahwa seluruh wilayah pegunungan yang menjadi lahan subur pertumbuhan cendana dikuasai oleh pemerintah dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Hegemoni pemerintah tampak nyata pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama sejak pemberlakuan Peraturan Pemerintan No.16/1986. Peraturan tersebut menetapkan bahwa semua cendana yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Timur. Pelaksanaan peraturan penguasaan cendana meliputi penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian diatur oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Era reformasi dan otonomi daerah, peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penguasaan cendana mengalami perubahan. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan mulai menata penguasaan cendana melalui beberapa peraturan antara lain menetapkan semua cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat
210 menjadi hak milik pemilik tanah dengan pembagian 90 % untuk masyarakat pemilik dan 10 % sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Meskipun demikian keberadaan cendana masih di bawah kontrol pemerintah. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan menetapkan mekanisme pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat serta menentukan harga jual yang berlaku umum di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan pemungutan cendana pada lahan miliknya harus memiliki izin mulai dari tingkat desa camat, dinas kehutanan, dan terakhir bupati. Pola-pola demikian tetap memposisikan cendana sebagai hau plenat (kayu milik pemerintah). Hal ini menjadi salah satu faktor pendukung munculnya kontra hegemoni masyarakat.
6.2.1.3.6 Hau Malasi : Cendana sebagai Kayu Bermasalah Cendana sebagai kayu bermasalah bermula dari hegemoni penguasa. Aspek sosiorelegi cendana ditumpangi berbagai tendensi kekuasaan yang bermuara pada tujuan keuntungan ekonomi. Bahkan kedatangan bangsa-bangsa asing menempatkan cendana sebagai barang komoditas dengan nilai jual yang cukup tinggi. Cendana digunakan sebagai ajang pengerukan keuntungan ekonomi sehingga memunculkan berbagai bentuk permasalahan sehingga disebut hau mamalasi, hau malasi, atau hau lasi yang berarti kayu bermasalah. Permasalahan (mamalasi) terkait penguasaan cendana telah ada sejak zaman kolonial sampai sekarang. Pemerintah kolonial memonopoli cendana melalui
211 berbagai bentuk peraturan legal. Yang menetapkan denda dan hukuman penjara bagi orang yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan liar, dan mencuri kayu cendana. Pola-pola demikian tetap berlangsung setelah masa kemerdekaan sampai dengan masa reformasi. Pemerintah menguasai semua cendana berupa tanaman hidup atau pun telah mati. Bagi orang yang menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu cendana tanpa izin diancam hukuman kurungan atau denda. Maka setiap pohon cendana yang ada di hutan, ladang masyarakat, dan di pekarangan rumah harus dijaga oleh pemilik lahan agar tidak rusak atau mati. Bila cendana itu mati atau hilang maka pemilik lahan menerima hukuman penjara atau denda karena dianggap lalai atau mengabaikan tegakan cendana. Masyarakat yang melanggar aturan-aturan tersebut dapat ditagkap, dituntut, didenda, dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak sedikit para petani kena denda atau masuk penjara gara-gara memotong cendana secara tidak sengaja atau mati terbakar ketika membersihkan semak-semak yang tumbuh di ladang atau pun di halaman rumahnya sendiri. Kondisi demikian menyebabkan cendana identik dengan hau mamalasi (kayu bermasalah). Cendana sebagai hau mamalasi semakin menguat setelah berlakunya peraturan pemerintah No.16 tahun 1986 yang menetapkan semua cendana yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dikuasai oleh pemerintah, dengan pembagian masyarakat 15 % untuk petani 85 % untuk pemerintah. Denda atau hukuman penjara bagi orang yang merusak, menebang, memotong, menyimpan kayu cendana tanpa izin Departemen Kehutanan.
212 Peraturan demikian menimbulkan masalah yang mengganggu ketenangan hidup pemilik cendana beserta keluarganya. Jika anakan cendana itu dibiarkan tumbuh dan diregistrasi oleh pemerintah maka setelah besar dan layak panen akan diambil oleh pemerintah. Sedangkan pemilik lahan yang telah memelihara sejak masih anakan tidak mendapat konpensasi apapun kecuali upah tebang yang jumlahnya tidak sebanding. Sebaliknya, jika cendana itu mati si pemilik lahan kena hukuman penjara atau denda karena dianggap lalai. Permasalah demikian mejadi salah satu faktor pendukung kontra hegemoni masyarakat yang tidak mau menghadapi malasi (masalah) kemudian hari.
6.2.2 Faktor Kebijakan Pemerintah Kontra hegemoni masyarakat disebabkan karena kebijakan pemerintah semata-mata mendukung kepentingan pemerintah dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Di antaranya, cndana dikuasai pemerintah sebagai komoditas perdagangan, mendukung program pelestarian cendana, meningkatan pendapatan daerah, keterbatasan pembudidayaan. Masing-masing faktor tersebut diuraikan dalam sub bab berikut.
6.2.2.1 Cendana sebagai Komoditas Perdagangan Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa cendana merupakan komoditas perdagangan masyarakat Timor jauh sebelum kedatangan Bangsa-Bangsa Eropa. Sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, di Timor sudah terdapat kerajaan-
213 kerajaan kecil, yang raja-rajanya menguasai penebangan kayu cendana untuk diperdagangkan dengan Cina (Fox, 1996 :20). Kayu cendana, madu, dan lilin menjadi komoditi perdagangan masyarakat lokal dengan bangsa-bangsa Asia seperti Cina dan India. Pedagang-pedagang tersebut secara rutin mengunjungi Pulau Timor untuk menukar kayu cendana, madu dan lilin (Ormeling, 1955:174). Keterangan tentang perdagangan kayu cendana telah ditulis dalam catatan perjalanan orang-orang Cina maupun Eropa yang datang melakukan perdagangan ke kawasan Asia. Sumber-sunber Cina tahun 1436 menyebutkan bahwa Timor menghasilkan kayu cendana dan gunung-gunungnya ditutupi pohon cendana. Kayu cendana, madu, dan lilin menjadi komoditi perdagangan masyarakat Pulau Timor dengan bangsa-bangsa Asia seperti Cina, India, Melayu, Jawa, Bugis, Mandar (Parimartha, 2002:101-103). Pentingnya fungsi kayu cendana bagi masyarakat dunia memungkinkan perdagangan cendana berkembang pesat. Pola perdagangan pada masa awal masih sangat sederhana dengan menerapkan sistem perdagangan barter dengan menukar dengan barang-barang logam, keramik, mangkok, sendok, dan garpu (Kase, 2004 : 21). Pedagang asing mendatangi pesisir Pulau Timor menjelang akhir musim angin barat yakni sekitar bulan Februari atau Maret. Mereka membawa kain lena, saputangan, pisau, porselin, alat-alat logam, dan perhiasan. Para usif pun datang dari pedalaman diiringi para pembantunya yang bertugas mengangkut barang-barang yang akan ditukarkan. Mereka lalu saling berhadapan dengan pedagang-pedagang perahu dan melakukan tawar-menawar menggunakan bahasa isyarat. Apabila pihak penguasa
214 lokal menyetujui jumlah penawaran, maka para pengiringnya akan mengambil barang-barang orang asing, kemudian mereka pergi (Parimartha, 2002 : 150-151). Sejak kedatangan bangsa-bangsa asing, cendana seringkali menjadi ajang pertikaian antar kelompok yang berkepentingan dan memunculkan konflik antara penguasa-penguasa lokal dengan bangsa-bangsa asing. Disebutkan bahwa orangorang asing seringkali menukar kayu cendana dengan harga yang sangat rendah. Sepikul kayu cendana hanya sebanding dengan harga sebuah piring atau garpu. Sampai-sampai hasil kayu cendana di wilayah Kerajaan Amanuban tidak mampu membayar hutang pembelian alat-alat rumah tangga raja (Wadu, 2003 : 87-88). Ajang perebutan monopoli perdagangan cendana tidak pernah surut. Masingmasing berkeinginan menanamkan kekuasaan dan menguasai perdagangan kayu cendana. Bangsa Portugis yang datang ke pulau Timor pada tahun 1550 mencoba melakukan pendekatan dan kerjasama terhadap raja-raja lokal. Ia berhasil mengusai perdagangan kayu cendana di Pulau Timor pada tahun 1645. Kekuasaan Portugis di Pulau Timor tidak berlangsung lama, ia mendapat saingan Belanda yang menduduki Kupang tahun 1653. Belanda dengan Portugis seringkali berselisih memperebutkan kekuasaan ekspor lilin lebah dan kayu cendana putih (Ardana, 2005:51). Perselisihan tersebut mengharuskan mereka membuka batas-batas demarkasi wilayah yang jelas. Perundingan pembagian wilayah kekuasaan ditetapkan pada tahun 1859 bahwa wilayah Pulau Timor bagian barat menjadi kekuasaan Belanda, sedangkan wilayah bagian timur di bawah kekuasaan Portugis (Kase, 2004 : 19-26).
215 Setelah penentuan batas wilayah, pemerintah Belanda yang menguasai wilayah Pulau Timor bagian barat mulai mengekstraksi kayu cendana dengan mendirikan pabrik penyulingan minyak cendana di Kupang pada pertengahan abad ke-19. Raja-raja lokal dihegemoni untuk meningkatkan jumlah tebangan dan menyerahkan seluruh hasil tebangan guna memenuhi permintaan pasar dunia. Dalam hal ini, cendana sebagai komoditi perdagangan dimanfaatkan selama beabad-abad untuk kepentingan ekonomi penerintah kolonial. Perdagangan cendana ke luar Pulau Timor dan mengalami puncak ekspor pada tahun 1838. Pada tahun tersebut jumlah ekspor kayu cendana mencapai 7.126 pikul atau 445,375 ton. Tahun 1877 sebanyak 6435 pikul atau 402.187 ton (Parimartha, 2002 : 278). Cendana sebagai komoditas perdagangan dunia tetap berlangsung sampai kini. Indonesia sebagai salah satu daerah penghasil cendana selain Australia, India, dan Kepulauan Fiji, ikut berkontribusi terhadap ekspor kayu cendana. Hasil olahan cendana yang diekspor meliputi minyak cendana, kayu tatalan (kayu lepengan), ampas kayu, aneka dupa, kipas, alat tulis, dan tasbih. Selain memenuhi pasar dunia, cendana juga diperdagangkan untuk komoditas pasar dalam negeri khusunya Bali dan beberapa daerah lain di Indonesia. Semua komoditas cendana dikuasai pemerintah, hanya pemerintah yang berhak menjual cendana untuk di pasaran nasional maupun internasional. Akhir-akhir pasokan kayu cendana semakin berkurang dan harga jual melambung tinggi. Permintaan produksi cendana yang ramai dan harga jual yang tinggi tidak dapat dipenuhi masyarakat, karena adanya peraturan pemerintah yang
216 melarang penebangan cendana semua cendana dikuasai pemerintah. Masyarakat tidak boleh memiliki cendana, semua cendana yang masih hidup maupun berupa kayu gelondongan harus diserahkan kepada pemerintah. Penguasaan cendana oleh pemerintah mengakibatkan masyarakat kehilangan hak pemanfaatan cendana dan tidak memperoleh kontribusi ekonomi dari cendana. Hal ini menjadi salah satu faktor pendukung kontra hegemoni masyarakat.
6.2.2.2 Pelestarian Cendana Penebangan secara besar-besaran terjadi sejak zaman Kolonial Belanda tanpa usaha peremajaan yang memadai menyebabkan kerusakan populasi cendana dan penurunan kuantitas pohon cendana di Pulau Timor. Meskipun kuantitas cendana mulai langka, penebangan masih dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah. Kabupaten Timor Tengah Selatan yang dikenal sebagai penghasil kayu cendana terbesar, pada tahun 1992 masih mampu menghasilkan 3.276.040 kilogram, thun 1996 menghasilkan 1.744.161 kilogram kayu cendana. Namun pada tahun berikutnya hanya mampu menyediakan 25.650 kilogram (Fernandes, 2002:17; Oematan, 2006:20-26). Penebangan yang berlebihan dan ekstraksi yang berlangsung sejak berabadabad lambat laun mengancam keseimbangan populasi pohon cendana. Kemerosotan populasi cendana berjalan terus-menerus tanpa henti. Cendana selaku tumbuhan endemik yang mulai langka dipandang perlu mendapat perhatian segera. Beberapa usaha peremajaan telah dilakukan sejak zaman Belanda sampai sekarang namun
217 belum menampakkan hasil maksimal. Peremajaan dan pelestarian yang dilakukan pemerintah sangat terbatas, terbentur pada beberapa kendala. Kendala utama yang dihadapi pemerintah meliputi keterbatasan dana, rendahnya tingkat keberhasilan hidup cendana, kurangnya bibit berkualitas, keterbatasan teknologi, serta kurangnya partisipasi masyarakat untuk melestarikan cendana. Di ambang kepunahan populasi cendana, menyebabkan kelangkaan pasokan, serta mahalnya harga pasaran kayu cendana. Kondisi demikian memaksa pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melindungi cendana. Pemerintah selaku penguasa memiliki kekuasaan dan wewenang menciptakan peraturan dalam rangka meregulasi kehidupan sosial, ekonomi, politik, termasuk pengelolaan cendana. Peraturan terkait penguasaan cendana diciptakan untuk melestarikan populasi cendana. Peraturan tersebut memiliki otoritas legal yang harus ditaati oleh anggota masyarakat. Sasaran dan tujuan yang ingin dicapai pemerintah adalah melestarikan cendana sebagai identitas daerah sekaligus memanfaatkannya untuk mendukung pendapatan daerah. Dalam prakteknya, peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana yang bertujuan untuk melestarikan cendana justru melegalisir hegemoni pemerintah untuk menguasai pohon cendana secara total. Melalui peraturan tersebut, semua bentuk tumbuhan cendana, baik tumbuhan hidup, mati, potongan, belahan, kepingan, dan akar yang belum diolah menjadi hak milik pemerintah, tanpa memberi secuil pun hak penguasaan pada masyarakat. Masyarakat yang melanggar peraturan tersebut ditindak sesuai hukum yang berlaku. Pemberlakuan peraturan pemerintah memunculkan berbagai bentuk kontra hegemoni atau respon masyarakat. Respon masyarakat
218 cenderung bersifat menentang peraturan pemerintah yang justru menyebabkan populasi cendana semakin punah.
6.2.2.3 Peningkatan Pendapatan Daerah Kayu cendana merupakan salah satu hasil hutan yang bernilai ekonomi tinggi yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Data Biro Ekonomi Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur mencatat bahwa besarnya produksi dan kontribusi hasil penjualan cendana dalam bentuk PAD tahun 1990–1998 rata-rata sebanyak 760.126 kilogram atau setara Rp 4.071.925.587 pertahun atau sekitar 22,61 % dari total pendapan daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur (BanoEt, 2001:471). Cendana yang dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan daerah adalah hasil penebangan cendana yang tumbuh secara alami dan tidak dibudidayakan. Mayoritas produksi cendana tersebut berasal dari kawasan hutan lindung dan sedikit cendana dari ladang-ladang penduduk yang telah diregistrasi. Sebelum tahun 1999 PAD diperoleh dari pembagian hasil produksi cendana antara pemerintah provinsi dengan kabupaten ditetapkan 50 % untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur dan 50 % untuk pemerintah kabupaten tempat asal produksi cendana bersangkutan. Setelah tahun 1999 khususnya pasca pemberlakuan otonomi daerah penguasaan cendana dikembalikan kepada pemerintah kabupaten. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan menyikapi era otonomi daerah dengan menetapkan beberapa peraturan giantaranya, peraturan Nomor 25 tahun 2001 tentang pengaturan hak kepemilikan cendana yang menetapkan bahwa semua
219 cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sedangkan cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak pemilik tanah bersangkutan dengan pembagian 90 % untuk masyarakat pemilik cendana dan 10 % sebagai retribusi kepada Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai wilayah yang memiliki potensi tutupan hutan cendana yang cukup luas, menggunakan produksi cendana sebagai penunjang pendapatan daerah. Periode tahun 2005-2006 produksi cendana dalam kontribusi pendapatan daerah mencapai 50 % dari total pendapatan daerah. Namun, sejak tahun 2006 produksi kayu cendana tidak ada lagi, hanya ada produksi dalam bentuk gubal (cendana kualitas kurang bagus) dan ampas cendana seperti tampak pada tabel 6.1. Pemanfaatan produksi cendana untuk peningkatan pendapatan daerah menjadi salah satu faktor pendukung kontra hegemoni masyarakat, karena masyarakat ingin memperoleh hak memanfaatkan cendana sebagai wadah kesinambungan sosial, ekonomi, dan budaya. Tabel 6.1 Produksi Cendana Tahun 2005 – 2006 No.
Komoditi
1
Kayu Cendana
2
Minyak Cendana
3 4
2005
2006
1.741.784 kg
-
1.400 liter
-
Gubal Cendana
-
78,78 ton
Ampas Cendana
-
51,6 ton
Sumber : BPS Kabupaten Timor Tengah Selatan tahun 2007