120
BAB V BENTUK-BENTUK HEGEMONI DAN KONTRA HEGEMONI PENGUASAAN CENDANA Hegemoni dan kontra hegemoni penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan bemula dari dua konsep pemikiran berbeda yang melibatkan pihak penghegemoni dan pihak yang dihegemoni. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai penghegemoni dan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni. Pemerintah menjalankan hegemoni penguasaan cendana sebaliknya masyarakat melakukan kontra hegemoni. Sesuai pandangan Gramsci, hegemoni sebagai pemerolehan supremasi (kekuasaan tertinggi) melalui kepemimpinan intelektual dan moral dengan dukungan kekuatan dan persetujuan, maka kontra hegemoni adalah kebalikannya. Dalam kaitan ini, kontra hegemoni merupakan ketidaksetujuan atau penentangan atas perilaku hegemoni. Dengan demikian, pihak yang memiliki peluang sebagai penghegemoni hanya pihak yang memiliki kekuasaan, khususnya pihak penguasa formal yakni pemerintah. Sedangkan kontra hegemoni merupakan perlawanan atau reaksi ketidaksetujuan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni atas peraturan yang ditetapkan pemerintah. Sudut pandang yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat memunculkan hegemoni pemerintah dan kontra hegemoni masyarakat. Dalam hal ini pemerintah berposisi sebagai penghegemoni sedangkan masyarakat sebagai pihak yang dihegemoni kemudian meresponnya dengan kontra hegemoni. Pemerintah
121 nenetapkan atuan tentang penguasaan cendana bertujuan untuk melestarikan cendana dan meningkatkan pendapatan daerah. Hal ini memunculkan beberapa bentuk hegemoni pemerintah. Ide-ide pemerintah tidak sejalan dengan ide-ide masyarakat, terutama masyarakat primer cenderung lebih mementingkan kebutuhan hidup dalam usaha memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Masyarakat menganggap pemerintah sebagai pihak penguasa telah memaksa masyarakat untuk mematuhi peraturan yang cenderung memonopoli penguasaan kayu cendana tanpa memberi hak kepemilikan kepada masyarakat. Hal ini memunculkan berbagai bentuk kontra hegemoni masyarakat baik secara manifes maupun simbolik
5.1 Bentuk-Bentuk Hegemoni Pemerintah Hegemon pemerintah dalam penguasaan cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah ekpresi wewenang dan kekuasaan pemerintah menguasai dan mengatur cendana yang terlegitimasi dalam bentuk peraturan pemerintah. Pemerintah selaku penguasa wilayah beserta jajarannya (Dinas Kehutanan) memiliki wewenang dan kekuasaan mengatur penguasaan cendana di wilayah tersebut. Selaku penguasa tertinggi pemerintah mampu menghegemoni masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang pemhuasaan cendana. Dengan demikian hegemoni dalam penguasaan cendana merupakan wewenang pemerintah untuk melakukan berbagai bentuk pengawasan dan cendana di wilayah tersebut. Bentuk-bentuk hegemoni berupa pengawasan merupakan kelanjutan dari munculnya peraturan pemerintah. Peraturan yang telah ditetapkan pemerintah
122 didukung dengan kekuasaan negara sebagai alat kekerasan atau paksaan untuk mejaga kekuasaan kelas dominan. Dengan demikian. hegemoni pemerintah yang bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran selalu didampingi aparat koersif. Bahkan antara hegemoni dan koersi (dominasi) berjalan secara berdampingan. Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai penguasa wilayah tertinggi, berwewenang menetapkan peraturan untuk meregulasi cendana di wilayahnya. Sebaliknya, masyarakat selaku pihak yang dikuasai harus mentaati peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Guna menjamin ketaatan masyarakat terhadap peraturan, pemerintah melakukan pengawasan dengan meregistrasi cendana, membentuk polisi penjaga hutan, dan melakukan operasi sahabat.
5.1.1 Peraturan Pemerintah Bentuk-bentuk hegemoni yang tertuang dalam peraturan pemerintah telah berlangsung sejak zaman kerajaan sampai zaman reformasi. Bahkan, peraturan pemerintah yang mengatur penguasaan cendana saat ini merupakan ketetapan yang mengacu pada aturan-aturan masa lampau khususnya peraturan masa Portugid dan kolonial Belanda. Dalam kaitan ini, pemerintah selaku pelaksana kekuasaan tertinggi negara berkaitan dengan teori kekuasaan dan pengetahuan, bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menyadarkan masyarakat akan kemauan-kemauannya sendiri sekaligus menerapkan tindakan-tindakan sesuai kemauannya terhadap pihak lain. Kekuasaan sangat tergantung hubungan antara pihak yang memiliki kemampuan atau pengetahuan untuk melancarkan pengaruh
123 dengan pihak lain yang menerima pengaruh tersebut baik secara sukarela maupun terpaksa. Berkat hegemoni, dominasi, dan kekuasaan yang dimiliki, pemerintah berwewenang mengatur keberadaan cendana yang tertuang dalam bingkai peraturan pemerintah.
5.1.1.1 Peraturan Masa Kerajaan Lokal Peraturan masa kerajaan lokal merupakan peraturan adat tidak tertulis yang dilaksanakan berdasarkan kontrol para usif (raja lokal). Dalam kaitan ini, seorang usif (raja atau penguasa wilayah) memiliki kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang ada di wilayah kekuasaannya. Usif dianggap keturunan uis neno disebut neno ana (anak Tuhan atau anak dewa penguasa alam). Kerkuasaan usif mengatur masyarakat disebutkan dalan hasil wawancara berikut dengan seorang tokoh masyarakat F.H. Fobia. “Dulu, dorang percaya usif sakti, neno ana punya (anaknya dewa) turunan uis neno (dewa penguasa alam tertinggi). Usif kuasai semua wilayah, dia hormati dorang semua di sini, cendana usif punya, kalo tebang cendana usif yang atur, hasilnya usif dapat paling banyak, tapi usif juga beri bagian pada fettor, temukung, amaf.... “ (wawancara dengan F.H. Fobia, tanggal 24 Mei 2007). Hal ini menunjukkan hegemoni penguasa (usif) dalam segala bidang kehidupan masyarakat termasuk penguasaan cendana. Hegemoni usif didukung kekuasaan, kepercayaan masyarakat, dan keberadaan lembaga pemerintahan tradisional sehingga muncul mitos bahwa hanya usif yang berhak menguasai cendana yang tumbuh di wilayah kekuasaannya. Hegemoni usif sejalan dengan pemikiran Weber, penguasa
124 mempunyai wewenang sah untuk berkuasa sesuai peraturan yang berlaku sehingga pihak yang dikuasai wajib mentaati kehendak penguasa. Hegemoni dan dominasi memerlukan keabsahan (legitimacy) yakni pengakuan dan atau pembenaran masyarakat terhadap kekuasaan tersebut, agar penguasa dapat melaksanakan kekuasaannya secara sah. Dalam hal ini hegemoni dan dominasi lebih menekankan pada aspek ekonomi serta penggunaan kekuasaan untuk mendapat kesejahteraan. Weber membedakan tiga jenis hegemoni dan dominasi yakni dominasi karismatik, tradisional, dan legal rasional. Dominasi karismatik didasarkan atas kepercayaan bahwa pihak penguasa mempunyai kemampuan luar biasa dan kesetiaan bawahan. Dominasi tradisional, penguasa menjalankan tradisi yang telah ditegakkan oleh pemimpin karismatik sebelumnya dan legitimasi kepemimpinan didasarkan pada tradisi sebelumnya. Dominasi legal rasional, keabsahan penguasa didasarkan pada hukum dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum. Hegemoni dan dominasi masa kerajaan lokal berkaitan dengan dominasi karismatik dan dominasi tradisional. Hegemoni dan kekuasaan diperoleh berdasarkan kepercayaan, mitos-mitos, dan nilai-nilai subjektivitas. Sistem kepercayaan masyarakat telah menggiring kayu cendana sebagai simbol legitimasi kekuasaan penguasa lokal. Jadi, hanya usif yang memiliki kuasa terhadap cendana, dan setiap penebangan cendana harus sepengetahuan usif. Mereka yang berhak menguasai kayu cendana hanya para usif (raja) yang dianggap keturunan uis neno. Hegemoni usif terkait penguasaan cendana tampak dalam hubungan dagang dengan pihak-pihak asing. Pihak-pihak yang ingin membeli kayu cendana harus
125 melakukan kontak dengan usif selaku penguasa wilayah. Usif berhak menyetujui dan melakukan penjualan langsung dengan pedagang-pedagang asing dengan menerapkan sistem barter. Perdagangan cendana dilakukan apabila kapal atau perahu dagang datang berlabuh di perairan pada hari-hari tertentu. Saat itu usif yang menempati sonaf (istana) di daerah turun ke pesisir. Mereka membawa kayu cendana untuk ditukar dengan barang-barang yang dibawa oleh saudagar seperti kain lena, barangbarang porselen, gelas, sendok, garpu. Barter tidak boleh ditukar sebelum usif datang dan harus disaksikan langsung oleh usif. Hasil pertukaran cendana dibagi sesuai kesepakatan adat yang berlaku. Keuntungan perdagangan kayu cendana memberi porsi terbesar bagi usif selaku penguasa wilayah. Usif memperoleh separuh dari pemerolehan penjualan secara keseluruhan. Separuhnya lagi, dibagi dengan perangkat penguasa bawahannya. Pola pembagian hasil cendana diatur berdasarkan ketentuan sebagai berikut ; 1). Pembagian 5/10 atau 0,5 untuk usif, 2). Pembagian 2/10 atau 0,2 untuk fettor; 3). Pembagian 1/10 atau 0,1 untuk temukung, 4) Pembagian 2/10 atau 0,2 untuk tukang tebang. Meskipun usif memperoleh pembagian terbesar dan menguasai sebagian besar produksi cendana, porsi-porsi tertentu diberikan kepada perangkat lembaga pemerintahan tradisional berdasarkan kesepakatan bersama. Terutama pembagian untuk para amaf selaku pemimpin-peminpin klen. Seorang amaf yang memiliki jumlah anggota cukup besar seringkali diangkat menjadi temukung atau perangkat pemerintahan tradisional setingkat kepala desa. Dengan demikian seorang amaf yang
126 menjabat sebagai temukung juga mendapat hak pembagian pemungutan dan penjualan cendana yang tumbuh di wilayah pemerintahan adatnya.
5.1.1.2 Peraturan Masa Portugis Bangsa Potugis datang ke Pulau Timor khususnya ke wilayah Timor tengah Selatan pada abad ke-16 sekitar tahun 1522. Pada masa ini di wilayah Pulau Timor terbentuk beberapa kerajaan lokal yang masing-masing berdiri sendiri secara independen. Awalnya, kedatangan Bangsa Portugis ke pulau Timor semata-mata bertujuan mencari hasil alam, kemudian berusaha mengadakan pendekatan dengan para penguasa lokal. Portugis berupaya menguasai perdagangan cendana dan menundukkan raja-raja dengan menggunakan strategi penyebaran agama. Namun strategi demikian tidak membawa hasil maksimal. Strategi Portugis menguasai perdagangan cendana berjalan lebih ekspresif setelah menempatkan Simon Louis, seorang kapten kapal yang memimpin armada perdagangan. Ia berusaha menundukkan raja-raja Timor untuk memperoleh hak monopoli perdagangan cendana diwilayah tersebut. Namun usahanya belum berhasil maksimal karena pola-pola yang diterapkan Portugis dianggap menipu para usif dan masyarakat Timor, sehingga muncul pertentangan antara Bangsa Portugis dengan masyarakat lokal. Maka, kayu cendana seringkali menjadi ajang pertikaian antar kelompok yang berkepentingan. Portugis berhasil mengusai perdagangan kayu cendana di Pulau Timor pada tahun 1645 setelah berhasil meredam berbagai bentuk penentangan masyarakat
127 seperti dituturkan seorang tokoh masyarakat F.H. Fobia berdasarkan penuturan kakeknya seorang meob (panglima perang) bernama Kau Fobia sebagai berikut. “Orang-orang Portugis suka tukar kayu cendana dengan harga rendah. Satu pikul kayu cendana ada harga sangat rendah sebanding harga sebuah piring, sebuah garpu, keramik. Ketika itu usif Amanuban jual cendana, harga rendah ditetapkan Potugis sampai itu usif tidak mampu bayar hutang untuk beli alat rumah tangga itu piring, sendok, garpu tadi...” (wawancara dengan F.H. Fobia tanggal 24 Mei 2007). Berdasarkan hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni Portugis tampak dalam transaksi cendana. Portugis berhak menentukan pola dan nilai barter dengan perbedaan tajam. Pola-pola barter menetapkan bahwa Portugis memperoleh 2/3 bagian sedangkan usif dan masyarakat lokal memperoleh bagian 1/3. Apabila kondisi pasar sedang lesu, nilai barter menurun drastis. Bahkan seringkali kayu cendana dihargai sangat murah setara dengan harga sebuah sendok atau garpu. Pola-pola transaksi cendana pada masa Portugis sejalan dengan Teori Hegemoni dan Dominasi Gramsci maupun Teori Kekuasaan dan Pengetahuan Foucault. Sesuai pandangan Gramsci maupun Foucault, kelompok sosial (dalam hal ini Bangsa Portugis) memperoleh keunggulan atau supremasi mealui dua cara yakni; 1) dominio (dominasi) atau coercion (paksaan) dan 2) cara kepemimpinan intelektual dan moral. Setiap praktik sosial yang dilakukan Portugis tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan yang melandasinya serta relasi kekuasaan yang beroperasi di baliknya. Kekuasaan
merupakan
wujud
kemampuan
mereka
untuk
mempengaruhi masyarakat lokal untuk mengikuti keinginannya.
memaksa
atau
128 Ajang perebutan kekuasaan terkait hak monopoli perdagangan cendana di kalangan penjelajah barat tidak pernah surut. Portugis yang telah menguasai perdagangan cendana di wilayah Timor bagian barat mendapat saingan Belanda. Belanda berhasil menduduki Kupang pada tahun 1653 setelah merebut benteng Portugis di pesisir Teluk Kupang. Meskipun demikian, hubungan politik dan perdagangan Belanda dengan Portugis di Pulau Timor berlangsung relatif baik, namun seringkali terjadi perselisihan memperebutkan kekuasaan ekspor kayu cendana (Ardana, 2005:51). Perselisihan memperebutkan kekuasaan antara Portugis dan Belanda membuka batas-batas demarkasi wilayah yang jelas. Perundingan pembagian wilayah kekuasaan ditetapkan pada tahun 1859 bahwa wilayah Pulau Timor bagian barat menjadi kekuasaan Belanda dan menjadi wilayah Indonesia sekarang. Sedangkan wilayah Pulau Timor bagian timur di bawah kekuasaan Portugis dan menjadi bagian wilayah Timor Leste sekarang (Kase, 2004:19-26).
5.1.1.3 Peraturan Masa Kolonial Belanda Hegemoni penguasaan cendana oleh Bangsa Belanda tampak jelas sejak adanya pembagian wilayah kekuasaan antara Portugis dengan Belanda yang menyerahkan wilayah kekuasaan Pulau Timor bagian barat kepada Bangsa Belanda. Sejak saat itu perdagangan kayu cendana di Pulau Timor bagian barat dikuasai Belanda. Raja-raja lokal (usif) sebagai penguasa wilayah dipaksa untuk meningkatkan jumlah tebangan dan menyerahkan seluruh hasil tebangan kepada Pemerintah Belanda seperti dikemukakan F.H.Fobia tanggal 10 Agustus 2010.
129 “Belanda banyak tebang cendana, suruh usif tebang cendana jual untuk Belanda, Belanda yang bawa keluar, Belanda yang jual ke Eropa. Belanda juga tanam cendana, ada etu (ladang) punya Belanda tapi tidak banyak hasil, cendana banyak mati dimakan sapi, bakar api...” Peraturan demikian merupakan salah satu bentuk hegemoni dan dominasi pemerintah Belanda yang bertujuan memenuhi kebutuhan atas permintaan ekstrak minyak cendana di pasaran dunia. Semua produksi cendana pada masa ini dikuasai oleh penjajah Belanda, bahkan Belanda memonopoli perdagangan cendana sehingga keuntungan raja-raja lokal semakin berkurang (Ardana, 2006:69). Hegemoni dan dominasi pemerintah Belanda seringkali bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral yang dijalankan secara persuasif maupun koersif. Hal ini sejalan konsep hegemoni Horkheimer dan Adorno yang mengacu pada kegemaran Bangsa Barat menguasai alam dan melakukan dominasi atas alam untuk memenuhi kebutuhan makanan, pertanian, dan industri. Hegemoni di sini bersifat paksaan serta penggunaan kekuasaan negara untuk mendapat manfaat ekonomi dan kesejahteraan. Eksistensi alam (terutama produksi cendana) semata-mata digunakan sebagai objek yang harus dikuasai dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi manusia, terutama kepentingan ekonomi dan kesejahteraan Bangsa Belanda. Hegemoni bahkan memonopoli penguasaan cendana pemerintah Belanda dilatarbelakangi kepentingan politik dan ekonomi. Di dalamnya ada alat-alat kekerasan (means of coercion) dan alat penegakan kepemimpinan hegemonis (means of estabilishing hegemonic leedership). Pemerintah Belanda mulai mengekstraksi kayu cendana dengan mendirikan pabrik penyulingan ekstrak minyak cendana di
130 Kupang pada pertengahan abad ke-19. Estraksi ini bertujuan menghasilkan minyak cendana yang nantinya dijual di pasaran dunia sebagai bahan baku obat-obatan dan kosmetik. Sejak saat itu, ditengarai terjadi proses penebangan cendana secara besarbesaran, sehingga kerusakan dan penurunan populasi cendana secara drastis. Penebangan yang tidak teratur dan ekstraksi berlebihan menyebabkan cendana kian merosot dan mengancam keseimbangan populasi cendana. Menghindari kemerosotan cendana, beberapa usaha peremajaan dan antisipasi telah dilakukan oleh pemerintah Belanda namun tidak berhasil. Mengantisipasi kerusakan populasi cendana, pada tahun 1921 Pemerintah Belanda berusaha memberi perhatian akan nasib cendana melaui penetapan kawasan budidaya cendana tetapi kurang berhasil karena dimakan ternak, rusa, dan kebakaran hutan (Parimartha, 2002:284 ; Koppins, 2005:7). Kerusakan dan ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan penurunan populasi cendana. Kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang melarang masyarakat menjual dan melakukan penebangan cendana dan penebangan-penebangan selanjutnya akan dilakukan dan dikendalikan langsung oleh Belanda. Sejalan dengan pelarangan tersebut, Pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan penguasaan cendana yang bersifat menghegemoni masyarakat, dengan butir-butir sebagai berikut ; 1) Denda 10 rupiah uang perak dan penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi orang yang menyebabkan kayu cendana mati, terbakar, penebangan liar, dan mencuri kayu cendana. 2) Denda 5 rupiah uang perak atau penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi orang yang ketahuan mematikan anakan cendana. 3) Denda 1
131 ringgit uang perak atau penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi yang membakar belukar yang menyebabkan daun cendana gugur. 4) Denda 1 ringgit uang perak atau penjara maksimal 3 (tiga) tahun bagi orang yang memotong ranting cendana.
5.1.1.4 Peraturan Masa Kemerdekaan Kemerosotan populasi cendana semakin parah setelah masa kemerdekaan disebabkan maraknya penebangan oleh masyarakat. Sebaliknya, usaha-usaha peremajaan tidak dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah. Pihak pemerintah belum menaruh perhatian besar terhadap keberadaan cendana karena saat ini merupakam masa-masa awal pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada masa ini, terjadi perubahan tata pemerintahan kolonial menjadi tata pemerintahan Republik Indonesia, dan telah terjadi pergolakan sistem politik di seluruh Indonesia. Pergolakan tersebut bukan semata-mata berasal dari dalam wilayah Indonedia seperti pemberontakan-pemberontakan separatis seperti Darul Islam, TRI/ Permesta, PKI, dan perlawanan menghadapi pihak asing terutama tentara sekutu yang ingin kembali menguasai wilayah Indonesia. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah Indonesia berkonsentrasi penuh pada usaha-usaha mempersatukan Bangsa Indonesia yang baru saja terbentuk dan mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia dalam revolusi fisik melawan tentara sekutu. Berbarengan dengan berbagai pergolakan politik internal dan eksternal, konsolidasi sistem pemerintahan Nasional Indonesia tetap dilakukan. Sistem pemerintahan nasional berjalan efektif setelah berakhirnya masa revolusi fisik di
132 Indonesia atau setelah tahun 1950. Setelah tahun 1950, pola-pola pemerintahan lokal yang merupakan warisan Belanda ditata kembali, termasuk
jabatan usif selaku
penguasa wilayah dihapuskan diganti dengan sistem pemerintahan kabupaten. Meskipun demikian, mantan-mantan usif tetap memperoleh porsi sebagai pemimpin daerah seperti bupati, camat, dan kepala desa. Sama halnya dengan sistem pemerintahan sebelumnya, hegemoni pemerintah masih tampak dalam peraturan terkait penguasaan cendana. Sistem pemerintahan nasional Republik Indonesia menetapkan bahwa seluruh wilayah pegunungan yang menjadi lahan subur pertumbuhan cendana dikuasai oleh negara dan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Penguasaan cendana bukan lagi di bawah kekuasaan para usif (raja lokal) tetapi telah berada di tangan pemerintah daerah. Konsekuensi logis atas pemberlakuan sistem pemerintahan nasional adalah terjadinya penebangan cendana yang dilakukan pemerintah daerah untuk mendapat keuntungan ekonomi. Sementara itu, kontrol pemerintah pusat sangat longggar seperti dikemukakan Cornelis Tapatab, seorang tokoh masyarakat mantan Bupati Timor Tengah Selatan peride tahun 1973-1983. “Masa kemerdekaan saya masih remaja, saya kira kita sudah merdeka kita tidak bayar pajak, kakak saya tetap bayar pajak. Penguasaan cendana juga tetap seperti masa sebelumnya, tidak ada perubahan mencolok yang saya rasakan saat itu...”(wawancara dengan Cornelis Tapatab tanggal 11 Agustus 2011) Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah tetap ada dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah daerah Nomor 4 Tahun 1953. Peraturan tersebut tidak jauh berbeda dengan pola peraturan zaman Belanda dengan isi
133 peraturan sebagai berikut ; 1) Semua cendana berupa tanaman hidup atau pun telah mati di dalam daerah Timor dikuasai oleh Pemerintah Daerah Timor. 2) Pembagian hasil dan ketentuan bahwa rakyat yang memelihara, menebang, dan mengumpulkan mendapat bagian 40 % per kilogram. 3) Bagi orang yang menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan menyangkut kayu cendana tanpa izin diancam hukuman kurungan selama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100, dan semua kayunya disita.
5.1.1.5 Peraturan Masa Orde Baru Seperti masa-masa sebelumnya, peraturan pemerintah tentang penguasaan cendana masa pemerintahan Orde Baru masih bersifat menghegemoni. Beberapa peraturan dibentuk sejak tahun 1966 sampai dengan tahun 1996. Seperti peraturan masa-masa sebelumnya, semua peraturan pada kurun waktu tersebut pada intinya bersifat menghegemoni masyarakat. Semua cendana dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kepentingan pemerintah dan kesejakteraan bangsa. Bahkan beberapa peraturan dianggap memonopoli dan merampas hak masyarakat. Beberapa peraturan pemerintah pada era pemerintahan Orde Baru antara lain ; 1. Peraturan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 11/PD/1966, dengan butir-butir aturan berikut ; 1) Penguasaan, pembibitan, eksploitasi, dan pemasaran cendana diatur oleh Dinas Kehutanan Kabupaten. 2) Denda Rp.10.000 atau hukuman penjara selama 6 (enam) bulan bagi orang yang memotong, menebang, menjual kayu cendana tanpa izin Dinas Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 5.000
134 atau hukuman penjara 3 (tiga) bulan bagi yang merusak cendana hidup atau mati. 4) Denda Rp. 500 bagi yang tidak punya surat pas kayu cendana dalam pengangkutan. 5) Semua kayu cendana hasil pelanggaran disita untuk pemerintah. 2. Peraturan Daerah Propinsi NTT Nomor 17 Tahun 1974, menyerupai peraturan sebelumnya dengan beberapa penyesuaian berikut; 1)
Penguasaan
penetapan harga penjualan cendana ditetapkan oleh gubernur. 2) Denda Rp.50.000 atau hukuman enam bulan penjara bagi pemotong, penebang, pengumpulan kayu cendana tanpa izin Departemen Kehutanan Kabupaten. 3) Denda Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati. 4) Denda Rp 2.500 bagi yang tidak mengurus surat pas kayu cendana dalam pengangkutan. 6) Seluruh kayu cendana hasil pelanggaran disitan untuk pemerintah. 3. Peraturan Pemerintan No.16/1986, merupakan pembaharuan dari peraturan sebelumnya dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan Nusa Tenggara Timur. 2) Pelaksanaan pengaturan
kayu
cendana
meliputi
penanaman, pemeliharaan,
perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian diatur oleh Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur. 3) Pembinaan dan pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan. 4) Produksi, jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh gubernur berdasarkan inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di lahan petani pembagiannya adalah 15 % untuk petani 85 % untuk pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam
135 tahun penjara bagi orang yang menebang, memotong, menyimpan kayu cendana tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati. 4. Keputusan Gubernur NTT Nomor 2/1996, isi peraturan sama dengan peraturan sebelumnya hanya ada beberapa penyesuaian terkait pembagian hasil antara pemerintah dengan masyarakat dengan butir-butir aturan sebagai berikut ; 1) Cendana yang ada di dalam maupun di luar kawasan hutan negara dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur dikuasai oleh pemerintah melalui Departemen Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2) Pelaksanaan pengaturan kayu cendana meliputi penanaman,pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian diatur oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3) Pembinaan dan pemeliharaan kayu cendana dilakukan oleh Departemen Kehutanan. 4) Produksi, jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan inventarisasi Departemen Kehutanan. 5) Kayu cendana di lahan petani pembagiannya adalah 40 persen untuk petani 60 persen untuk pemerintah. 6) Denda Rp 50.000 atau enam tahun penjara bagi orang yang menebang, memotong, menyimpan kayu cendana tanpa izin Departemen Kehutanan. 7) Denda Rp 25.000 atau tiga bulan penjara bagi yang merusak kayu cendana hidup atau mati. 5. Instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur No.12 Tahun 1997, menetapkan larangan penebangan pohon cendana. Instruksi ini ditetapkan karena populasi cendana ditengarai telah merosot tajam. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah (Gubernur Nusa Tenggara Timur) melarang aktivitas penebangan cendana. Peraturan
136 ini ditetapkan berlaku selama lima tahun, tetapi tidak dapat berjalan optimal karena adanya penyerahan penguasaan cendana kepada pemerintah kabupaten.
5.1.1.6 Peraturan Masa Reformasi Setelah masa pemerintahan Orde Baru berakhir digantikan masa reformasi, beberapa peraturan penguasaan cendana juga disesuaikan dengan situasi politik saat itu. Era reformasi yang membawa arus demokrasi serta rencana realisasi sistem pemerintahan otonomi memberi keleluasaan daerah mengelola potensi daerahnya, maka beberapa peraturan yang ditetapkan masa sebelumnya ditinjau kembali dan diperbaharui sesuai kondisi masyarakat saat itu. Beberapa peraturan yang ditetapkan pada masa reformasi cenderung bersifat sementara sebatas penyerahan urusan pemerintahan propinsi kepada daerah kabupaten sebagai bentuk persiapan menyongsong pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana berikut terbit pada masa reformasi. 1) Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1998, berisi tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada pemerintah kabupaten. Termasuk penyerahan penguasaan dan pengelolaan cendana kepada pemerintah kabupaten. Namun, pemberlakuan perda dan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah kabupaten belum terealisasi sepenuhnya dan pengelolaan penjualan kayu cendana
masih
dipegang
oleh
pemerintah
(http://www.goverment.co.id, 3 April 2008).
provinsi
sampai
tahun
2001
137 2) Peraturan Daerah Nusa Tenggara Timur Nomor 2 Tahun 1999, dikeluarkan tanggal 26 Maret 1999 yang isinya berupa legitimasi penyerahan penguasaan cendana kepada pemerintah kabupaten. Peraturan dibuat untuk mempertegas peraturan sebelumnya dan memberi wewenang kepada pemerintah kabupaten untuk mengatur penguasaan cendana di wilayah pemerintahan masing-masing. Peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana pada masa reformasi masih menerapkan dalil-dalil Teori Hegemoni bahwa hegemoni masih bekerja pada lapangan budaya dan di tingkat moral atau kesadaran. Di sela-sela tingkat moral atau kesadaran aparat koersif tetap aktif bekerja, bahkan antara hegemoni dan koersi (dominasi) berjalan secara berdampingan. Peraturan pemerintah yang berhubungan dengan penguasaan cendana yang memberi hak penguasaan kepada masyaraka belum terealisasi. Bahkan pemberlakuan peraturan masa ini masih mengacu pada peraturan sebelumnya. Revisi peraturan pemerintah pada masa ini hanya berisi penyerahan penguasaan dan pengelolaan cendana kepada pemerintah kabupaten. Pemberlakuan perda dan pelimpahan kewenangan kepada pemerintah kabupaten pun belum terealisasi sepenuhnya dan pengelolaan penjualan kayu cendana masih dipegang oleh pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
5.1.1.7 Peraturan Masa Otonomi Daerah Sistem pemerintahan otonomi daerah yang memberi kekuasaan penuh pada pemerintah kabupaten dalam mengelola potensi daerahnya. Dengan demikian, peraturan pemerintah yang berkaitan dengan penguasaan cendana juga mengalami
138 perubahan. Perturan pemerintah yang semula ditetapkan oleh gubernur secara berangsur-angsur dikembalikan kepada pemerintah kabupaten. Sejak berlakunya pemerintahan otonomi daerah secara penuh, pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan mulai menata penguasaan cendana melalui beberapa peraturan antara lain; 1. Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001, tentang pengaturan hak kepemilikan cendana dengan butir-butir berikut ; 1) Semua cendana yang tumbuh di hutan dan di atas tanah negara di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2) Cendana yang tumbuh di tanah milik masyarakat menjadi hak milik pemilik tanah bersangkutan dengan pembagian 90 persen untuk masyarakat pemilik cendana dan 10 persen sebagai retribusi kepada pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan. 2. Keputusan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 8 Tahun 2002, tentang penetapan harga dasar penjualan kayu cendana. Berdasarkan keputusan tersebut ditetapkan bahwa harga jual kayu teras kelas A (kelas bagus dan wangi) mimimal Rp 2.500 perkilogram. Sedangkan kayu gubal (kayu kelas rendah) minimal Rp 800 perkilogram. Penetapan harga jual tersebut merupakan harga dasar minimal yang dijadikan acuan bagi pemerintah kabupaten untuk memungut iuran hasil cendana. 3. Peraturan Bupati Timor Tengah Selatan Nomor 12 Tahun 2005, tentang mekanisme dan sistem pemungutan hasil hutan cendana pada lahan milik masyarakat. Peraturan ini merupakan lanjutan atau penyempurnaan peraturan sebelumnya khususnya Peraturan Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 25 tahun 2001 tentang pengaturan hak kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Inti
139 peraturan tersebut menetapkan butir-butir aturan sebagai berikut: 1) Setiap orang atau badan usaha yang akan melakukan pemungutan hasil hutan cendana pada lahan miliknya harus memiliki izin dari Dinas Kehutanan. 2) Pemelohan izin harus melalui kepala desa tempat kayu cendana itu tumbuh untuk mendapat surat keterangan kepemilikan kayu cendana yang sah. Berdasarkan surat keterangan tersebut dapat mengajukan izin kepada Dinas kehutanan yang kemudian dilanjutkan kepada bupati. Selanjutnya, bupati menunjuk instansi terkait untuk melakukan pemeriksaan lokasi dan layak atau tidaknya cendana ditebang. 3) Setiap orang dan atau badan usaha yang menyimpan, menimbun cendana wajib dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) dari Dinas Kehutanan. Peraturan pemerintah terkait penguasaan cendana di era reformasi telah mengembalikan kepemilikan cendana kepada masyarakat. Meskipun demikian unsurunsur hegemoni pemerintah masih tampak dalam pengurusan izin kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Hegemoni di sini merupakan proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalamproses penguasaan cendana.Teori Hegemoni Gramsci tetap mengakui bahwa dalam kehidupan masyarakat selalu ada pihak yang memerintah (pemerintah) dan pihak yang diperintah (masyarakat), ada pihak dominan dan subordinan. Guna melindungi yang memerintah dan yang diperintah serta menghormati hukum-hukum yang berlaku di masyarakat, maka fungsi kedua kelompok tersebut hanya dapat dibatasi dan dijalankan oleh kekuatan negara atau pemerintah. Sesuai Teori Hegemoni, negara atau Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan menjadi pusat penyebaran proses
140 hegemoni melalui Peraturan Daerah Nomor 25 tahun 2001 tentang pengaturan hak kepemilikan cendana di lahan milik masyarakat. Terutama butir-butir ketentuan yang mengatur pemelohan izin kepemilikan kayu cendana yang sah melalui birokrasi pemerintah dan pelaksanaan penanaman cendana di wilayah milik ilakukan secara swadaya oleh pemilik lahan bersangkutan. Pemerintah tidak memberi bantuan anakan untuk penanaman di lahan milik masyarakat.
5.1.2 Registrasi Cendana Pelaksanaan penguasaan cendana oleh pemerintah meliputi meliputi pengaturan sejak proses penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan, dan penelitian produksi, jatah tebang, harga penjualan, biaya eksploitasi. Semua proses tersebut diatur oleh gubernur melalui Departemen Kehutanan. Sehubungan dengan pengaturan tersebut dilakukan registrasi atau pencatatan untuk mengetahui jumlah cendana di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Registrasi cendana dilakukan dengan aktif sejak ditetapkannya peraturan pemerintah Nomor 16 Tahun 1986, terutama sejak dilibatkannya para pengusaha oleh pemerintah untuk membeli hasil penebangan cendana. Sejalan dengan isi peraturan tersebut dilakukan beberapa upaya untuk mengetahui jumlah tegakan dan usia cendana yang layak tebang dengan melakukan registrasi. Registrasi pohon cendana dilakukan di tanah negara maupun di lahan masyarakat. Berdasarkan hasil registrasi pemerintah dapat menentukan waktu tebang cendana dan produksi penjualan cendana ke depan. Pohon cendana yang sudah diregistrasi diberi tanda khusus yang tidak
141 dimengerti oleh masyarakat seperti dikemukakan Advent Tunu, seorang karyawan perusahaan swasta. “Tahun 1980-an semua cendana pemerintah catat, isi cap... cap sonda bisa hapus..... itu cap arti apa kita sonda tahu. Di hutan, cendana juga pemerintah catat, isi cap, isi tanda T itu arti cendana milik usaha Tommy, juga isi tanda panah. Tanda panah kiri, tunjuk ke kiri tidak jauh dari sana ada cendana lagi, panah kanan tunjuk di kanan ada cendana lagi...” (wawancara dengan Advent Tunu tanggal 14 Agustus 2010) Cendana yang sudah diregistrasi terus dipantau, tidak boleh dipotong, ditebang, atau pun hilang. Pemantauan cendana di kawasan hutan negara dilakukan polisi penjaga hutan dari Departemen Kehutanan. Jika cendana yang sudah diregistrasi itu berada di ladang-ladang milik penduduk, tanggung jawab pemeliharaan dan penjagaan keamanannya dibebankan kepada pemilik ladang. Jika cendana itu hilang maka yang menanggung akibatnya adalah pemilik lahan tempat cendana itu tumbuh. Resiko yang dihadapi pemilik lahan cukup besar, harus berhadapan dengan peraturan hukum yang berlaku. Terutama jika cendana tersebut mati atau pun hilang, pemilik lahan harus siap menerima resiko berupa denda atau hukuman penjara seperti dikemukakan Daniel Neolaka ” ... cendana sudah pemerintah catat dan mati, kita punya ladang jadi susah, kita bisa kena penjara, kita bisa kena denda....” (wawancara dengan Daniel Neolaka tanggal 30 Juni 2008). Hegemoni pemerintah terkait registrasi cendana sejalan dengan Teori Hegemoni dan Teori Kekuasaan, bahwa penggunaan kepemimpinan hegemonik secara kultural moral tidak berhasil, maka kepemimpinan dominasi atau koersif digunakan untuk mencapai tujuan. Guna mencapai tujuan diterapkan dalil teori
142 kekuasaan dan pengetahuan, khususnya konsep panoptikon. Panoptikon sebagai metafora kekuasaan memungkinkan aparatus pemerintah melakukan pendisiplinan melalui observasi dan pengawasan secara menyeluruh melalui melalui legalitas aturan hukum yang telah ditetapkan. Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan pemerintah, masyarakat akan mulai mengawasi perilakunya sendiri dan berperilaku disiplin untuk tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, penguasa atau pemerintah tetap mempertahankan otoritas penguasaan cendana sekaligus melakukan kontrol terhadap masyarakat yang menentang. Termasuk kekuasaan mengontrol, menangkap, dan menghukum anggota masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin pemerintah.
5.1.3 Polisi Hutan Mengacu pada aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan pemerintah, termasuk kekuasaan mengontrol dan menangkap, anggota masyarakat yang mengambil cendana tanpa izin pemerintah dibutuhkan pelaksanaan pengawasan cendana secara intensif. Sesuai peraturan pemerintah, pengawsan cendana di lahan masyarakat dilakukan oleh masyarakat pemilik lahan, sedangkan pengawasa di kawasan tanah milik negara dilakukan oleh pemerintah. Pengawasan cendana yang tumbuh di hutan atau di tanah milik negara dilakukan oleh penerintah khususnya polisi hutan di bawah koordinasi Departemen Kehutanan. Pengawasan cendana dikawasan hutan negara yang dilakukan satuan polisi hutan belum berjalan secara optimal. Kurang optimalnya pengawasan hutan
143 disebabkan jumlah polisi hutan dengan luas areal hutan tidak seimbang, kawasan hutan yang harus dijaga sangat luas, medan hutan sulit dan berbuki-bukit, sedangkan jumlah satuan polisi hutan terbatas. Kabupaten Timor Tengah Selatan yang memiliki luas hutan negara di wilayah utara dan selatan hanya memiliki puluhan petugas polisi hutan. Puluhan jumlah penjaga hutan harus dibagi di beberapa kawasan hutan lindung. Jumlah penjaga hutan yang kurang memadai memungkinkan rendahnya kualitas pengawasan pemerintah yang dijalankan oleh penjaga hutan dari Dinas Kehutanan. Pengawasan polisi hutan kurang intensif karena keterbatasan petugas patroli seperti dikemukakan salah seorang pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. “.......pencurian kayu sangat ramai karena harga tinggi. Di hutan pencurian kayu banyak, karena hutan sangat luas tidak sebanding dengan tenaga yang bertugas mengawasi wilayah itu. Penjaga sedikit, dikalahkan pencuri yang berkelompok. Mereka curi kayu bersama-sama, pernah petugas kehutanan mereka ikat, kayu mereka tebang......ya, petugas tidak bisa berbuat apa-apa.” (wawancara dengan Honorius Gale, Kasubag Program Dinas Kehutanan Kabuapeten Timor Tengah Selatan, tanggal 9 Agustus 2010)” Meskipun petugas keamanan hutan tidak berjalan optimal, hegemoni pemerintah terkait penguasaan cendana tetap ada melalui peran polisi hutan yang bertugas mengawasi hutan dan mengontrol perilaku masyarakat. Menurut Althusser, hegemoni adalah salah satu bentuk dominasi yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam beberapa kasus bersifat umum mendasar dan solusi teoritis yang luar biasa dalam memberikan garis besar masalah penetrasi silang antara ekonomi dan politik. Penekanannya terletak pada fungsi kekuasaan negara melalui penggunaan perangkat
144 negara represif melalui pengawasan yang melibatkan polisi hutan. Polisi hutan berhak menangkap orang-orang yang melakukan penebangan tampa menunjukkkan bukti surat izin dari pemerintah.
5.1.4 Operasi Sahabat Operasi sahabat merupakan instruksi Gubernur Nusa Tenggara Timur sehubungan dengan prediksi bahwa produksi cendana yang ada di masyarakat cukup banyak dan tidak dilaporkan kepada pemerintah akibat penebangan liar oleh masyarakat. Praktek penebangan liar memang kerap terjadi karena para penebang liar yang tergolong masyarakat ekonomi lemah tergiur dengan harga jual kayu cendana di pasaran semakin tinggi. Di samping itu, ditengarai terjadi konspirasi antara masyarakat, oknum aparat sipil, oknum aparat keamanan, dan oknum pengusaha. Beberapa oknum masyarakat bekerjasama dengan oknum aparat melakukan penebangan liar, hasil penebangan itu dijual kepada oknum penguasaha dengan harga relatif murah. Kemudian pengusaha tersebut menyelundupkannya ke luar wilayah Pulau Timor tanpa dokumen resmi. Dalam operasi sahabat, pemerintah melakukan sweeping atau pemeriksaan pada daerah-daerah yang diprediksi menjadi tempat penebangan liar. Semua cendana yang ditebang dan disimpan oleh masyarakat harus diserahkan kepada pemerintah. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan kayu ilegal, maka pemerintah berhak menyita kayu hasil penebangan liar atau kayu ilegal yang tidak dilaporkan. Tetapi dalam praktek operasi sahabat terjadi penyimpangan-penyimpangan hasil penyitaan kayu
145 ilegal tidak diketahui dengan jelas arahnya. Penerapan sangsi hukum etrhadap pengusaha seringkali dianggap sebagai kesalahan prosedur, seperti dikemukakan Bapak Cornelis Tapatab mantan Bupati Timor Tengah Selatan era tahun 1973-1983. “Memang, tahun 80-an ada pencurian kayu cendana, ada masyarakat simpan kayu cendana, tetapi tidak banyak. Gubernur instruksikan operasi sahabat dan ada kayu temuan. Adanya kayu temuan, gubernur izinkan pengusaha masuk beli kayu cendana, pengusaha boleh simpan kayu cendana, ada sisa kayu tahun lalu yang belum diangkut....aparat ada yang ikut, banyak penyimpangan saat itu” (wawancara dengan Cornelis Tapatab, tanggal 11 Agustus 2010). Pola-pola demikian menerapkan prinsip-prinsip hegemoni bahkan cenderung dominan melalui peta politik dan aspek koersif (kekerasan). Hegemoni maupun dominasi pemerintah sebagai pemegang otoritas kekuasaan tertinggi mampu menggerakkan dan melakukan pengawasan terhadap objek dalam bidang-bidang sosial dengan jangkauan luas, di antaranya kemampuan untuk mengatur ruang gerak. Di samping penggunaan otoritas secara paksaan maupun kerelaan, hegemoni menurut Gramsci adalah kepemimpinan kultural yang dilaksanakan oleh kelas penguasa. Operasi sahabat merupakan instruksi pemerintah sehubungan dengan prediksi adanya kayu cendana ilegal dan penebangan liar menunjukkan bukti-bukti hegemoni kekuasaan pemerintah.
5.2 Bentuk-Bentuk Kontra Hegemoni Masyarakat Kontra hegemoni masyarakat merupakan proses berulang dari pola-pola penguasaan cendana yang cenderung menghegemoni dan telah berlangsung sejak masa lampau. Pada masa penjajahan Bangsa Portugis, Belanda, maupun Jepang pihak
146 penjajah selaku penguasa yang menghegemoni (bahkan memonopoli) cendana memunculkan reaksi atau perlawanan masyarakat. Misalnya perlawanan masyarakat Timor yang menyebabkan perdagangan cendana dengan Portugis terhenti sama sekali pada tahun 1652-1655. Kemudian ada pula gerakan anti pajak terhadap Belanda pada awal abad ke-20 sebagai bentuk kontra hegemoni masyarakat terhadap kolonial Belanda karena dianggap ada penekanan dan hambatan terhadap kepentingan masyarakat Timor (Fobia, 1995:32). Pada masa kemerdekaan, masa Orde Baru, masa Reformasi, maupun masa otonomi daerah, kontra hegemoni tetap ada yang dilakukan secara manifes maupun simbolik. Kontra hegemoni atau perlawanan masyarakat secara manifes maupun simbolik sesuai dengan teori interaksionisme simbolik yang menyatakan bahwa perilaku manusia terbagi menjadi perilaku lahiriah dan perilaku tersembunyi. Perilaku lahiriah adalah perilaku sebenarnya atau perilaku nyata yang dilakukan seseorang aktor, sedangkan perilaku tersembunyi adalah proses berfikir yang melibatkan simbol dan arti. Tindakan sosial itu sendiri adalah tindakan ketika individu bertindak dengan orang lain dalam kerangka pikiran. Ketika melakukan tindakan, seseorang pelaku atau aktor mencoba menaksir pengaruhnya pada aktor lain yang terlibat. Proses reaksi dan interaksi sosial manusia secara simbolik mengkomunikasikan arti terhadap orang lain, sedangkan orang lain mengorientasikan tindakan balasan berdasarkan penafsiran mereka (lihat Ritzer dan Goodman, 2004:293). Aksi, reaksi, dan interaksi sosial manusia tindakan meliputi
147 keseluruhan proses yang terlibat dalam aktivitas manusia.dan selalu berada pada situasi saling mempengaruhi. Sejalan dengan pandangan teori interaksionisme simbolik, hegemoni pemerintah memunculkan beberapa bentuk perilaku kontra hegemoni di kalangan masyarakat. Kontra hegemoni merupakan bentuk reaksi masyarakat atas adanya stimulasi peraturan pemerintah yang bersihat menghegemoni. Peraturan tersebut memunculkan berbagai bentuk response atau reaksi baik reaksi verbal maupun non verbal di kalangan masyarakat yang dapat disebut tindakan kontra hegemoni. Bentukbentuk reaksi dan perilaku masyarakat sejalan dengan ide-ide Mead bahwa perilaku masyarakat didasari atas tindakan lahiriah maupun tersembunyi yang berperan sebagai ekspresi tingkah laku manusia baik menggunakan simbol-simbol penting maupun praktek langsung. Beberapa bentuk kontra hegemoni masyarakat yang tersirat maupun tersurat dalam bentuk perilaku verbal (manifes) dan perilaku non verbal (simbolik) dapat diidentifikasi sebagai berikut.
5.2.1 Keengganan Mengembangkan Cendana Keengganan masyarakat mengembangkan cendana merupakan salah satu bentuk kontra hegemoni terhadap hegemoni pemerintah. Keengganan tersebut disebabkan peraturan yang menetapkan bahwa semua cendana yang tumbuh di atas tanah negara maupun di ladang-ladang milik masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur termasuk di KabupatenTimor Tengah Selatan menjadi milik pemerintah. Peraturan tersebut memberi hak penguasaan secara total kepada pemerintah tanpa
148 memberi hak yang memadai kepada masyarakat. Peraturan pemerintah tersebut dianggap tidak memihak kepentingan umum sehingga memicu keengganan masyarakat mengembangkan cendana, seperti dikemukakan Bapak Abdullah warga Muslim asal Timor Leste yang telah menetap Desa Supul sejak tahun 1980-an. “Kita rugi tanam cendana, kita tanam, kita dipelihara baik-baik, su besar pemerintah ambil, kita tidak dapat apa. Kita usaha atau tanam yang lain saja, tanam jati, jagung, kacang, itu kita bisa makan. Di pabrik mereka ada tanam cendana, tidak banyak“ (wawancara dengan Bapak Abdullah tanggal 09 Agustus 2010). Ungkapan salah satu anggota masyarakat tersebut, menunjukkan reaksi represif masyarakat atas peraturan pemerintah. Pemerintah dianggap tidak memberi peluang kepada masyarakat untuk mengembangkan cendana, karena secara legalitas formal pemerintah dianggap tidak menciptakan iklim yang kondusif. Beberapa peraturan pemerintah dianggap telah mengkebiri hak masyarakat. Terutama sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1986, yang menguasai semua cendana di wilayah Pulau Timor termasuk di Kabupaten Timor Tengah Selatan secara total dan hanya memberi kontribusi kepada masyarakat hanya 15 %. Peraturan ini membuat cendana menjadi beban bagi masyarakat, sehingga masyarakat enggan menanam dan merawat cendana. Saat panen cendana harus dibagi banyak pejabat yang tidak terlibat dalam proses perawatannya (Arti, Edisi 032 Oktober 2010:103). Peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni tersebut menjadi titik tolak keengganan masyarakat mengembangkan cendana. Peraturan demikian dianggap tidak memihak dan tidak memberi kontribusi memadai kepada
149 masyarakat untuk mengembangkan cendana ke arah komersial untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi. Di samping itu, legalitas hukum yang merugikan masyarakat memicu keengganan masyarakat masyarakat mengembangkan cendana. Beberapa peraturan yang ditetapkan pemerintah memberlakukan sangsi bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran. Orang yang terbukti menyebabkan pohon cendana mati, menebang, merusak, memiliki, memperdagangkan, dan mengangkut kayu cendana tanpa izin diancam dengan hukuman penjara dan denda sejumlah uang. Masyarakat yang melanggar aturan-aturan tersebut dapat ditagkap, dituntut, didenda, dan dijebloskan ke dalam penjara. Sejak zaman reformasi pemerintah mulai memberi porsi memadai bagi masyarakat untuk memanfaatkan cendana sebagai komoditas perekonomian. Pemerintah merevisi peratutan penguasaan cendana untuk memotivasi masyarakat mengembangkan cendana, namun tanggapan masyarakat terhadap isu kebebasan tersebut masih relatif rendah. Masyarakat belum tergerak menanam cendana berbasis komoditas untuk peningkatan ekonomi. Menanam cendana masih dinggap menghambat budidaya tanaman pangan karena membutuhkan perhatian lebih dan belum tentu mencapai hasil maksimal. Keengganan
masyarakat
mengembangkan
cendana
akibat
kurangnya
dukungan pemerintah, baik di bidang peraturan, perundang-undangan, maupun pengembangan. Pemerintah semestinya menetapkan peraturan yang memotivasi masyarakat, memberi bibit atau anakan cuma-cuma, serta memberi fasilitas lain
150 terkait pengembangan cendana. Sejalan dengan pandangan Teori Interaksionisme simbolik, keengganan masyarakat mengembangkan cendana merupakan bentuk response atau reaksi reaksi verbal atas adanya stimulasi peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni.
5.2.2 Pemusnahan Anakan Cendana Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh di lahan milik pribadi merupakan gejala umum yang terjadi di kalangan masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan. Perilaku demikian merupakan salah satu bentuk kontra hegemoni masyarakat atas hegemoni pemerintah terkait sistem penguasaan cendana. Pemusnahan anakan cendana bermula dari pola penguasaan yang sepenuhnya dikuasai pihak pemerintah tanpa memberi porsi memadai kepada masyarakat. Di samping itu, tanggung jawab dan konsekuensi hukum yang diterima masyarakat pemilik lahan sangat memberatkan apabila cendana mati. Mereka dapat dijatuhi hukuman penjara atau denda apabila terbukti menyebabkan cendana mati. Pemusnahan anakan cendana yang tumbuh liar di lahan-lahan milik merupakan jalan pintas yang ditempuh masyarakat guna menghindari kerugian material dan menghindari permasalahan hukum dikemudian hari. Jika di ladangladang mereka diketahui tumbuh anakan cendana yang masih kecil, maka itu akan segera diterabas dan dimusnakan karena dianggap merugikan dan mendatangkan permasalahan di kemudian hari. Terutama cendana yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat strategis dan telah terdata oleh pemerintah. Resiko yang dihadapi pemilik
151 lahan cukup besar. Ia harus berhadapan dengan peraturan hukum yang berlaku. Terutama jika cendana tersebut mati atau pun hilang, pemilik lahan harus siap menerima resiko berupa denda atau hukuman penjara seperti dikemukakan Daniel Neolaka berikut. ” Di kebun ada cendana tumbuh kita harus hati-hati, pelihara baik-baik, itu cendana sonda boleh mati, kalo cendana sudah pemerintah catat dan mati kita yang punya ladang jadi susah, kita bisa kena kena penjara kita bisa kena denda. Sonda mau susah orang banyak tebas bibit cendana di ladang” (wawancara dengan Daniel Neolaka tanggal 30 Juni 2008). Hal serupa juga dikemukakan majalah Arti, Edisi 032 Oktober 2010:103-104) dengan mengutip pernyataan Milanus, salah seorang anggota masyarakat kota So’e, bahwa ada tetangganya masuk penjara gara-gara cendana yang tumbuh di ladang atau pun di halaman rumahnya sendiri. Mereka masuk penjara karena memotong, mencabut, dan menebang cendana sebelum waktunya. Alasan-alasan pemusnahan anakan cendana khususnya adanya aspek hukum yang melatarbelakangi, menunjukkan bahwa hegemoni pemerintah merupakan salah satu instrumen kekuasaan dan pengetahuan yang dikemukakan Michael Foucault. Menurut Foucault pendisiplinan adalah kemampuan aparatus negara untuk mengawasi semua yang dikontrol dengan sebuah pengawasan tunggal yang merujuk dari konsep panopticon yang mengacu pada sebuah konsep desain penjara dengan menara di tengah-tengah untuk mengawasi semua bangunan sel penjara. Panoptikon merupakan metafora kekuasaan dan pengawasan yang memungkinkan aparatus negara melakukan observasi dan pengawasan secara menyeluruh dan konstan. Dengan demikian, panoptikon merupakan teknologi kekuasaan disipliner yang
152 digunakan bukan hanya di penjara tetapi diberbagai bidang yang memerlukan kedisiplinan. Di wilayah ini terjadi proses pembentukan disiplin manusia sebagai individu-individu yang taat dan patuh pada aturan. Pemberantasan anakan cendana di lahan-lahan milik masyarakat sebagai jalan pintas menghindari dua permasalahan berikut. 1) Pemilik lahan merasa dirugikan karena tidak memperoleh kotribusi langsung baik secara ekonomis maupun keamanan cendana yang tumbuh di lahan miliknya. Pengambilalihan oleh pemerintah apabila anakan pohon cendana itu dibiarkan tumbuh dan dipelihara sampai tua, setelah siap panen nanti hak kepemilikan dan pengelolaan hasil panen akan diambil alih oleh pemerintah tanpa memberi konpensasi bagi pemilik lahan. 2) Menghambat kesempatan penanaman bahan pangan dan tumbuhan produktif lain. Pemeliharaan cendana dengan susah payah dalan jangka waktu panjang mengurangi kesempatan menanam tanaman pangan atau tanaman produktif lainnya seperti kayu jati, kemiri, nangka, jeruk, dan sebagainya. 3) Sangsi hukum dibebankan kepada pemilik lahan apabila cendana itu mati. Cendana yang tumbuh di lahan-lahan milik masyarakat dan didata oleh pemerintah maka masyarakat yang memiliki lahan tempat cendana itu tumbuh harus memeliharanya dengan baik. Jika cendana yang telah didata itu mati atau di potong maka pemilik lahan akan kena denda sesuai peraturan yang berlaku.
153 5.2.3 Pencurian Cendana Pemberlakuan aturan pemerintah yang menguasai cendana secara total direspon dengan maraknya kasus pencurian kayu cendana baik di hutan negara maupun di ladang-ladang masyarakat. Pencurian marak terjadi sehubungan dengan pemahaman budaya lokal, bahwa mereka berhak memanfaatkan potensi alam sekitar sesuai aturan adat yang berlaku. Sejak berlakunya peraturan pemerintah, masyarakat menilai bahwa keuntungan penguasaan sumber daya alam khususnya cendana tidak dapat dinikmati oleh masyarakat. Masyarakat selaku pemilik lahan tempat tumbuh kembang cendana hanya mendapat konpensasi terbatas atau sekedar ongkos tebang sebesar 15 %. Kondisi demikian dianggap sebagai ketidakadilan penguasaan sumber daya alam cendana oleh pemerintah. Bahkan pihak pemerintah selaku penguasa wilayah dianggap telah mengingkari aturan adat lokal disebut banu haumeni (lihat bab VI) dengan menguasai cendana secara total tanpa memberi kontribusi memadai kepada masyarakat. Berdasarkan pemahaman demikian, kemudian muncul keinginan untuk ikut menikmati potensi alam dengan melakukan penebangan secara sembunyi-sembunyi atau pencurian kayu cendana. Mereka beranggapan bahwa mereka juga punya hak menikmati hasil alam yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, pengambilan cendana tanpa izin pemerintah seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Cendana yang menjadi sasaran pencurian bukan hanya kayu-kayu tua dan muda di hutan-hutan negara tetapi juga cendana tua dan muda yang tumbuh di
154 halaman rumah pribadi. Sasaran pencurian cendana di kawasan hutan negara adalah kayu tua di kawasan hutan terpencil dengan medan yang sulit dijangkau. Didukung kondisi topografi Kabupaten Timor Tengah Selatan, kawasan cagar alam Gunung Mutis merupakan sasaran empuk pencurian kayu cendana. Kondisi hutan Gunung Mutis yang tepencil mempermudah akses pencurian, sedangkan pengawasan pemerintah yang dijalankan oleh penjaga hutan dari Dinas Kehutanan kurang intensif karena keterbatasan petugas patroli. Di samping pencurian di hutanhutan terpencil, kasus pencurian cendana di ladang-ladang dan di halaman rumah penduduk juga seringkali terjadi. Seperti dikemukakan Hendrik Taneo, tukang ojek yang sering mengantarkan penumpang menuju daerah daerah pedalaman. “.....di ladang su tumbuh cendana ko muda, tua, sedang......, kalau tidak dijaga itu kayu su hilang. Di jalan ada orang gotong kayu cendana, kita sonda berani tanya, kita tanya bisa kelahi.... itu mereka curi cendana (wawancara dengan Hendrik Taneo, tukang ojek, tanggal 02 Juni 2008). Maraknya kasus pencurian cendana merupakan bentuk respon represif masyarakat atas pemberlakuan peraturan pemerintah yang menguasai cendana secara total tanpa memberi hak penguasaan memadai kepada masyarakat. Hal ini merupakan perpaduan dalil Teori Kekuasaan dan Teori Interaksionisme Simbolik bahwa kekuasaan membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial represif dan produktif. Kekuasaan memunculkan subjek-subjek yang berperan penting dalam melahirkan kekuatan, hubungan pihak yang menguasai dengan pihak yang dikuasai, menundukkanya, dan menghancurkannya. Sehingga kasus pencurian cendana merupakan ekspresi tingkah laku manusia atas riak-riak ketidaksetujuan (kontra
155 hegemoni) terhadap penggunaan kekuasaan serta keputusan-keputusan yang telah ditetapkan pihak penguasa dengan melakukan pencurian cendana. Pencurian cendana terjadi hampir di seluruh wilayah Kabupaten Timor tengah Selatan. Cendana yang tidak dijaga langsung oleh pemiliknya dipastikan akan hilang meskipun usia cendana masih muda belum layak panen. Tidak terkecuali cendana yang tumbuh di halaman rumah juga menjadi sasaran pencurian. Percobaan pencurian cendana tua yang tumbuh di belakang rumah seorang warga di Desa Nule pernah terjadi malam hari, tetapi ketahuan sehingga pencurian dapat dicegah. Usaha-usaha mencegah aksi pencurian kayu tua di halaman rumah adalah membalut pangkal batang cendana dengan seng. Jika ada orang berupaya mencuri maka harus membuka seng pembungkus batang cendana tersebut. Pembukaan penutup seng ini menyebabkan bunyi berisik menjadi “alarm” memanggil pemilik rumah (gambar 5.1).
Gambar 5.1 Cendana dibungkus lapisan seng untuk menghindari pencurian (Dokementasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)
156 Maraknya kasus pencurian cendana disebabkan beberapa masalah yang dihadap masyarakat sebagai berikut. 1) Kondisi perekonomian masyarakat rendah. Kondisi perekonomian masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Nusa Tenggara Timur dikategorikan sebagai daerah miskin yang didukung kondisi geografis. Menurut Piet Alexander Tallo dalam Suara Nusa Tenggara Timur (2007:215-219) stigma kemiskinan di Nusa Tenggara Timur seolah-olah diciptakan untuk mendapatkan bantuan dana. Penciptaan stigma kemiskinan mengharuskan pemerintah mengutamakan pengembangan produksi pangan sebagai program yang mendesak. Pengutamaan pengembangan produksi pangan dapat menghambat pengembangan cendana yang membutuhkan waktu panjang. 2) Harga jual cendana yang relatif tinggi. Harga jual kayu cendana dari waktu ke waktu semakin meningkat karena cendana semakin langka dan jumlah pasokan terbatas. Kelangkaan kayu cendana disebabkan karena proses eksploitasi atau penebangan secara terus-menerus untuk mendapatkan hasil sebanyak-banyaknya, sedangkan usaha-usaha pembudidayaan dan penanaman kembali anakan-anakan baru sangat terbatas. Di samping itu, proses produksi cendana tergolong lamban hanya bisa dipanen setelah kayu cukup tua berusia di atas 20 tahun. 3) Hegemoni pemerintah yang menguasai cendana secara total. Kerusakan dan ketidakberhasilan usaha pembudidayaan mengakibatkan penurunan populasi cendana secara drastis. Kondisi demikian mengharuskan pemerintah menetapkan peraturan yang menguasai cendana secara total. Ternyata pemerintah belum
157 mampu meningkatkan populasi cendana, sehingga dipandang perlu membuat aturan yang melarang masyarakat menjual dan menebang cendana. 4) Pengamanan yang lemah. Harga jual kayu cendana yang tinggi dan pengawasan atau pengamanan yang lemah merupakan salah satu penyebab maraknya kasus pencurian cendana di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Terutama pengamanan cendana di hutan-hutan milik negara, khususnya hutan-hutan yang jauh dari pemukiman penduduk dan tidak mendapat pengawasan secara intensif.
5.2.4 Perdagangan Gelap Perdagangan gelap juga merupakan bentuk kontra hegemoni masyarakat terhadap hegemoni pemerintah yang mendominasi penguasaan cendana. Biasanya aktivitas perdagangan gelap dilakukan setelah adanya pencurian kayu cendana. Hasil pencurian kemudian dijual secara sembunyi-sembunyi atau ditawarkan kepada penadah kayu. Jika kayu telah terkumpul dalam jumlah yang cukup, penadah mengirim ke luar secara ilegal. Satu bukti bahwa praktek-praktek pencurian kayu cendana dan perdagangan gelap masih berlangsung hingga kini, dilaporkan bahwa pada tanggal 31 Juli 2008 Polda Nusa Tenggara Timur berhasil menggagalkan upaya pengiriman 1 ton kayu cendana tanpa dokumen resmi ke Surabaya (Kompas, 1 Agustus 2008 hal 23). Kayu-kayu ilegal tanpa dokemen resmi kemudian di sita dan dikumpulkan di Kantor Dinas Kehutanan sebagai barang bukti (lihat gambar 5.2).
158
Gambar 5.2 Beberapa kayu sitaan (termasuk kayu cendana) dikumpulkan di halaman kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan di So’e (Dokumentasi I Gusti Ayu Armini tahun 2010) Perdagangan secara sembunyi-sembunyi pernah dialami penulis ketika menginap di salah satu penginapan (Wisma Firdaus) di kota So’e sejak tanggal 28 Juni-03 Juli 2008. Penulis menanyakan kepada salah satu pegawai penginapan tempat-tempat yang bisa didatangi untuk membeli kayu cendana. Pegawai tersebut mengatakan tidak ada orang yang menjual cendana. Meskipun telah ditanya dengan sedikit memaksa ia tidak mau menyebutkan tempat atau orang-orang yang memiliki dan menjual cendana. Justru pegawai penginapan tersebut menawarkan cendana dengan harga jual satu juta rupiah perkilogram. Ia menawarkan kepada saya, bahwa jika memang berminat akan ada orang yang akan membawa ke penginapan, seperti petikan hasil wawancara berikut. “Wah... tidak ada orang jual cendana, cendana sekarang sudah habis, orang tidak bisa lagi cari cendana..... Ibu perlu cendana berapa? Nanti saya ambilkan di teman, harganya satu juta satu kilo.... itu cendana asli. Kalo Ibu jadi beli, saya hubungi teman. Sebelum Ibu balik ke Denpasar
159 cendana su pasti ada” (wawancara dengan Martinus Sabuna, karyawan Wisma Firdaus So’e, tanggal 30 Juni 2008) Wawancara tersebut menunjukkkan bahwa perdagangan cendana Kabupaten Timor tengah Selatan belum berjalan secara bebas dan terbuka. Transaksi cendana masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena tidak memiliki izin kepemilikan cendana dan menghindari pembayaran kontribusi kepada pemerintah 10 % kepada pemerintah. Dengan demikian, perdagangan gelap merupakan bentuk reaksi represif masyarakat
atas
pemberlakuan
peraturan
pemerintah
yang
menghegemoni
penguasaan cendana. Perdagangan gelap yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejalan dengan konsep dominasi legal rasional Weber dan teori kekuasaan pengetahuan Foucault bahwa relasi kekuasaan yang membentuk jaringan meliputi seluruh kehidupan manusia. Kekuasaan membentuk lapisan kapiler yang terajut dalam serat-serat tatanan sosial represif dan produktif. Keabsahan penguasa didasarkan pada hukum, berdasarkan kriteria tertentu pemimpin dipilih atas dasar hukum, dan pemimpin wajib menjalankan kekuasaan berdasarkan aturan hukum. Perdagangan ilegal pun dilakukan untuk menghindari sangsi hukum yang memberi ganjaran denda atau hukuman penjara bagi orang yang melakukan pencurian dan penyelundupan cendana. Perdagangan
gelap
atau
perdagangan
kayu
cendana
secara
ilegal
dilatarbelakangi dua hal berikut. 1) Kerumitan izin penguasaan cendana. Bagi masyarakat awam yang jarang berhadapan dengan birokrasi pemerintahan menganggap pengurusan izin
160 kepemilikan cendana terlalu rumit. Mengurus izin membutuhkan waktu panjang melalui beberapa tahap pemrosesan dimulai dari tingkat pemerintahan terendah sampai Bupati. Masyarakat awam jika berhadapan dengan birokrasi pemerintahan sering kagok dan tidak mengerti syarat-syarat yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan bangunan gedung pemerintah yang dianggap mewah, memasuki gedung pemerintah seorang petani yang tidak berpendidikan harus melepas sandal dan menghormat kepada petugas. 2) Menghindari sangsi hukum. Memiliki cendana tanpa izin resmi dari pemerintah adalah perilaku melanggar hukum dan diancam denda atau hukuman penjara. Satu-satu jalan pintas untuk menghindari sangsi hukum hanya dengan menjual cendana secara sembunyi-sembunyi. Biasanya ada penadah yang membeli cendana dari masyarakat umum. Setelah cendana terkumpul cukup banyak si penadah menjual kepada perusahaan resmi. Perusahaan resmi ini yang mengurus izin kepemilikan dari tingkat pemerintahan terbawah sampai memperoleh izin tertulis dari bupati.
5.2.5 Apatis (Acuh Tak Acuh) Sikap apatis atau acuh tak acuh terhadap cendana merupakan reaksi simbolik atau ekspresi rasa ketidakpuasan masyarakat atas hegemoni pemerintah. Masyarakat menganggap bahwa pemerintah telah memonopoli penguasaan kayu cendana melalui peraturan yang ditetapkan. Peraturan tersebut dianggap semata-mata menguntungkan pemerintah dan sangat merugikan masyarakat. Hal ini memicu sikap apatis (acuh tak
161 acuh) dengan munculnya beberapa perilaku simbolik seperti ; 1) masyarakat merasa tidak ikut memiliki cendana, 2) masyarakat merasa tidak memperoleh manfaat dari pohon cendana, 3) masyarakat tidak memiliki tanggung jawab menjaga cendana. Sikap acuh tak acuh masyarakat tampak jelas dengan adanya sikap tidak merasa ikut memiliki. Ketika menemukan cendana atau anakan cendana tumbuh liar baik di ladang-ladang maupun di tanah-tanah negara maka muncul sikap acuh karena mereka merasa tidak ikut memiliki cendana tersebut. Ketika penulis berjalan kaki menengok ladang milik Yusuf Tefnay, seorang petani merangkap Kaur Pemerintahan Desa Mnelalete, di pinggir jalan menuju ladangnya tumbuh liar dua batang cendana. Cendana itu kurus kering, tidak subur, tidak terawat. Ketika penulis menanyakan mengapa tidak dipelihara padahal lokasi tumbuhnya masih di tanah ulayat klennya, ia menjawab sebagai berikut. “Itu cendana dulu milik pemerintah, pemerintah yang urus. Sekarang memang sudah milik kita. Tapi kita malas pelihara, hanya dua batang, urus izin juga susah, hasil sedikit, lama baru bisa ambil. Sekarang kita tanam sayur kita jual bisa cepat ada uang” (wawancara dengan Yusuf Tefnay, tanggal 8 Agustus 2010). Hasil wawancara tersebut menunjukkkan adanya sikap apatis atau sikap acuh karena masyarakat merasa tidak memperoleh kontribusi memadai keberadaan cendana. Masyarakat tidak memiliki rasa tanggung jawab untuk ikut serta menjaga dan memeliharanya, karena cendana itu telah dianggap bukan hak miliknya yang perlu dijaga, tetapi cendana milik pemerintah, jika sudah besar dan layak tebang akan diambil alih oleh pemerintah. Jadi, mereka berpandangan bahwa semua cendana adalah milik pemerintah yang hasilnya hanya dinikmati oleh pemerintah. Maka yang
162 berkewajiban menjaga dan memelihara adalah pemerintah. Mereka menganggap cendana itu milik pemerintah, dipelihara, dan dipanen pemerintah. Sikap acuh tak acuh masyarakat tampak dari perilaku masyarakat terhadap cendana yang kini hanya tumbuh dan sengaja ditanam di lahan-lahan negara seperti hutan negara dan halaman kantor pemerintah. Pemeliharaan cendana di tempattempat demikian semata-mata untuk program pelestarian cendana. Pemeliharaan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah mulai dari penanaman, pemeliharaan, pengamanan, dan penebangan.
Masyarakat hanya
sebagai penonton tidak
berpartisipasi menjaga tanaman tersabut. Misalnya, dua batang pohon cendana yang kurang mendapat perhatian tumbuh meranggas di halaman depan kampus lama Universitas Nusa Cendana harus diberi pagar besi agar tidak diganggu tangan jahil. Sikap acuh juga tampak dalam perilaku masyarakat terhadap cendana yang ditanam pemerintah di kawasan hutan jati milik negara di Desa Nule. Penanaman tersebut merupakan salah satu program pemerintah untuk melestarikan cendana. Penanaman di kawasan ini telah dilakukan sejak tahun 2006, dan berhasil menumbuhkan beberapa tanaman cendana. Sekarang, cendana tersebut telah mulai tumbuh dan mencapai tinggi sekitar 1-2 meter. Cendana yang masih relatif masih muda itu banyak yang terkelupas kulit batangnya karena diambil kulit batangnya untuk obat atau teman makan sirih pinang (lihat gambar 5.3).
163
Gambar 5.3 Batang cendana terkelupas kulitnya (Dokumentasi I Gusti Ayu Armini tahun 2010) Sikap apatis masyarakat sejalan dengan pandangan Teori Interaksionisme simbolik, khusunya behaviorisme sosial dipengaruhi oleh bihaviorisme psikologis mengakui arti penting perilaku tersembunyi yang ada di balik perilaku yang dapat diamati maupun simbolisasi tindakan dan interaksi manusia. Perilaku yang dapat diamati berupa stimulus yang mendatangkan reaksi. Tetapi di balik stimulus dan reaksi tersebut terdapat proses mental yang tersembunyi yang terjadi ketika stimuli dipakai dan respon dipancarkan. Dengan demikian, perhatian, persepsi, imajinasi, emosi, dan sikap acuh terhadap cendana adalah perilaku tersembunyi sebagai bagian dari respon, tindakan, dan keseluruhan proses aktivitas manusia.
5.2.6 Pesimis (Tidak Mempunyai Harapan Baik) Hegemoni pemerintah menguasai cendana memunculkan sikap pesimis masyarakat. Sikap pesimis merupakan bentuk respon masyarakat terhadap hegemoni pemerintah yang menguasai cendana tidak pernah memberi keleluasaan masyarakat
164 memiliki cendana termasuk pohon cendana tumbuh di lahan-lahan miliknya. Hal ini memunculkan sikap pesimis dan terhadap cendana maupun pemerintah seperti dikemukakan petani berikut : . “Pemerintah ambil semua cendana, sekarang kata orang sudah boleh kita ambil, tapi ya tetap semua harus izin pemerintah, harus bayar urus-urus izin. Lagi pula cendana kita hanya tinggal satu dua batang, itu tumbuh sendiri hanya untuk upacara. Kita tidak tanam dan pelihara cendana, kita tanam jeruk, nangka, ......” (wawancara dengan Nama Benu Kepala Adat Desa Boti Dalam tanggal, 30 Mei 2008). Hasil wawancara tersebut menunjukkan perilaku pesimis masyarakat. Sikap pesimis adalah simbol dan arti memberikan ciri-ciri khusus pada tindakan dan interaksi sosial manusia. Peraturan pemerintah yang bersifat menghegemoni terakumulasi dalam persepsi masyarakat yang melibatkan citra mental akibat stimulasi penetapan aturan tersebut. Peraturan tersebut memunculkan berbagai bentuk response non verbal yakni sikap pesimis atau tidak mempunyai harapan baik. Sikap pesimis atau tidak mempunyai harapan baik terhadap pemerintah maupun cendana tampak jelas dalam dua keranga perilaku masyarakat yakni ; 1) citra negatif terhadap pemerintah maupun cendana, 2) cendana tidak berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup. Citra negatif terhadap pemerintah, muncul dari anggapan masyarakat bahwa pemerintah telah menjalankan peraturan yang tidak adil. Ketidakadilan pemerintah mengakibatkan pandangan sumir bahwa semua cendana adalah milik pemerintah bukan milik masyarakat umum. Hegemoni penguasaan cendana meliputi penanaman, pemeliharaan, perlindungan, pemungutan hasil, ekploitasi, pengangkutan, penjualan,
165 sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Peraturan pemerintah dianggap menguntungkan pihak pemerintah dan merugikan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat merasa tidak memperoleh manfaat positif atas semua cendana yang tumbuh di lahan-lahan miliknya, kemudian diekspresikan dengan berbagai sikap pesimis. Citra negatif terhadap pemerintah merembet kepada citra negatif cendana sehingga cendana disebut hau meni (kayu setan), hau mamalasi (kayu bermasalah), dan hau plenat (kayu milik pemerintah). Dengan demikian, memiliki pohon cendana sama artinya dengan menyimpan masalah dan tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan hidupnya. Memiliki cendana di ladang-ladang sendiri maupun menyimpan cendana sama dengan memiliki atau menyimpan masalah. Di samping itu, masyarakat menjadi pesimis dan tidak mempunya harapan baik terhadap pemerintah maupun keberadaan pohon cendana karena tidak merasakan keuntungan ekonomi langsung dari keberadaan pohon cendana tersebut. Mereka bersikap pesimis terhadap cendana melalui ungkapan “sonda hau meni sonda mamalasi” (tidak ada cendana tidak ada masalah). Tidak menanam cendana berarti salah satu cara menjauhkan diri dari permasalahan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki harapan baik terhadap pemerintah maupun cendana. Sejak
tahun
2005,
ada
keinginan
beberapa
masyarakat
untuk
membudidayakan cendana di lahan-lahan milik pribadi untuk meningkatkan kontribusi ekonomi. Keinginan demikian terganjal sikap pesimis yang telah bercokol selama berabad-abad. Menurut pandangan masyarakat menanam cendana suatu aktivitas yang sulit, tidak cocok ditanam oleh manusia, butuh ketelatenan, dan
166 memerlukan waktu produksi yang panjang. Pandangan demikian memungkinkan adanya anggapan bahwa penanaman cendana tidak memberi manfaat bagi peningkatan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan hidup dalam waktu cepat. Sikap pesimis dialihkan dengan membudidayakan tanaman produktif lain disebut mamar. Mamar adalah tanaman keras jangka panjang seperti kelapa, pisang, sirih, pinang, mangga, jeruk, alpukat, kemiri, dan lain-lain. Budidaya tanaman mamar dilakukan pada tempat-tempat yang memungkinkan seperti pinggiran ladang, pinggiran sungai, atau sekitar pekarangan rumah (lihat gambar 5.5).
Gambar 5.4 Mamar (kemiri, nangka, jeruk) dikembangkan di pekarangan rumah (Dokumentasi: I Gusti Ayu Armini, tahun 2010)