PERAN BAHASA DALAM HEGEMONI POLITIK, SOSIAL, DAN BUDAYA Oleh : Walfajri STAIN Jurai Siwo Metro Email:
[email protected]
Abstrak
Bahasa adalah sebuah simbol universal yang digunakan oleh manusia untuk mengekspresikan dan mengemukakan benda-benda, fenomena, fakta, pemikiran dan perasaannya.Meskipun demikian, bahasa bukanlah sistem sisbol yang bebas nilai dan tidak ada hubunganya dengan dunia di luar bahasa itu sendiri, sebagaimana anggapan kaum strukturalis. Sebaliknya, bahasa adalah dunia yang penuh makna. Makna itu sendiri dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep, pemikiran, atau ide yang diberikan oleh penulis, pembaca atau pembicara dalam bentuk linguistik seperti kata, kalimat, atau wacana yang diciptakan oleh pengguna bahasa tersebut.Sehingga, makna kata tersebut sangat subjektif. Di samping itu, bahasa merupakan produk budaya dan kejadian social yang kompleks yang berkaitan dengan sejarah dan proses sosial dimana bahasa itu dibuat.Oleh karena itu, bahasa selalu hadir dalam seluruh dimensi kehidupan manusia: politik, social, dan budaya yang penuh dengan berbabagai ketertarikan dalam perjuangan hegemoni diantara penguasa dan menguasai. Lebih lanjut, dengan dukungan media masa, bahasa memainkan peran yang sangat penting sebagai instrumen yang efektif untuk membangun dan meemelihara hegemoni politik, social, dan budaya. Kata kunci: Bahasa, hegemoni dan media massa Abstract The language is a universal symbol used by a human to express and present objects, phenomena, facts, his thought and feeling. Nevertheless, the language is not just a free-value (objective) system of symbol which does not relate to another world out of the language itself, as the assumption of structuralists. On the contrary, the language is a meaningful world. The meaning itself can be defined as a concept, thought or idea given by a writer, a reader, or a speaker to the linguistic forms such as words, sentences, or discourses that are created according to the language user. So, the meaning of word is very subjective. Besides, the language is a product of culture and a complex social event that relates to the history and social process where the language is produced. So, the language always presents in all dimensions of human life: politic, social, and culture that are full of interests in a struggle of hegemony between the dominant and the dominated. Furthermore, with the support of mass media, the language plays a very vital role as an effective instrument to build and maintain the political, social, and cultural hegemony. Keywords: Language, Hegemony, Mass Media.
1
A. Pendahuluan Semenjak
lahirnya
linguistik
deskriptif
(descriptive
linguistics)
yang
diperkenalkan oleh kaum linguistik strukturalis, telah banyak kontribusi yang diberikan dalam memecahkan berbagai persoalan kebahasaan (internal bahasa). Namun di sisi lain, ia juga telah memunculkan permasalahan baru. Bahasa menjadi terasing atau terpisah dalam jarak yang sangat jauh dari makna dan fungsi yang sesungguhnya dalam konteks politik, sosial, dan budaya di mana bahasa itu diproduksi. Makna dan fungsi bahasa menjadi sempit. Bahasa dinilai seolah sebagai sesuatu yang obyektif dan tidak memihak. Menurut Mudjia Rahardjo, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam linguistik. Bahasa memiliki dunianya sendiri yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan dunia lain, seperti sosial, politik, budaya, agama, dan sebagainya.1 Bahasa merupakan wilayah kajian linguistik, sedangkan dunia di luar bahasa tersebut merupakan wilayah kajian ilmu lain, seperti ilmu sosial, ilmu politik, ilmu budaya, teologi, dan sebagainya. Lebih lanjut, Mudjia Rahardjo, dalam kajiannya terhadap bahasa, pemikiran, dan peradaban, menyimpulkan bahwa antara ketiga aspek (bahasa, pemikiran, dan peradaban) tersebut terdapat hubungan yang sangat kuat dan cukup rumit. Terdapat sinergi yang sangat kuat antara bahasa, pemikiran, dan peradaban manusia.2 Tanpa bahasa, sehebat apapun pemikiran tidak akan bisa disampaikan kepada dan dipahami oleh orang lain. Demikian pula, tanpa pemikiran, bahasa manusia tidak akan berkembang sebagaimana sekarang. Sinergi antara bahasa dan pemikiran manusia ini menyempurnakan kebudayaan, dan secara lebih khusus peradaban manusia. Sementara itu, kemajuan pemikiran dan peradaban manusia, yang memiliki hubungan sangat kuat dengan bahasa, mencakup berbagai dimensi kehidupan; sosial, politik, budaya, sejarah, seni, agama, dan sebagainya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahasa hadir dalam berbagai ranah kehidupan manusia. Di samping itu, di dalam berbagai ranah kehidupan manusia tersebut sarat dengan berbagai kepentingan antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai. Pihak 1Mudjia
Rahardjo, “Bahasa dan Kekuasaan”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012. 2Mudjia Rahardjo, “Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012.
2
yang berkuasa, dengan berbagai cara, media, dan sarana, terus berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya (hegemoni) terhadap pihak yang dikuasai. Di lain pihak, mereka yang dikuasai, dengan berbagai cara, media, dan sarana, terus berupaya untuk melawan hegemoni tersebut. Pertanyaannya, bagaimanakah peran bahasa dalam kancah perebutan hegemoni (kekuasaan) tersebut? Apakah bahasa itu bersifat netral dan bebas nilai (obyektif), tak lebih dari sistem lambang yang berdiri sendiri, tidak ada hubungan dengan dunia lain di luar bahasa, sebagaimana anggapan kaum linguistik strukturalis? Ataukah justru bahasa memainkan peran sebagai medium dan instrumen yang sangat vital dan efektif dalam pertarungan hegemoni (kekuasaan)? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan fokus pembahasan pada peran bahasa dalam hegemoni politik, sosial, dan budaya.
B. Peran Bahasa Dalam Hegemoni Politik Manusia memiliki ciri khas yang membedakannya dari makhluk lain (hewan), yaitu kemampuan menandai aneka benda dan peristiwa secara simbolik, dan sekaligus memaknai simbol-simbol seolah sebagai benda dan kejadian sebenarnya. Oleh karena kemampuannya yang unik ini, manusia dijuluki homo symbolicum (makhluk pengguna lambang).3 Di antara sejumlah simbol yang berkembang dan dikembangkan manusia, bahasa merupakan simbol yang paling universal digunakan, serta paling generatif untuk mempresentasikan benda, kejadian, dan gagasan. Dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan dunia yang penuh makna. Makna diartikan sebagai objek, arti, fikiran, gagasan, konsep atau maksud yang diberikan oleh penulis, pembaca atau pembicara terhadap suatu bentuk kebahasaan baik berupa kata, kalimat maupun wacana (teks).4 Sementara itu, ahli komunikasi memandang makna kata sangat subyektif dan tidak pernah tunggal, “words do not mean what people mean”. Makna diciptakan sesuai kepentingan penggunanya. Hal ini terlihat dalam praktek politik bahwa kekuasaan
3Mudjia
Rahardjo, “Bahasa, Media, dan Kuasa: Fenomenologi Hegemoni Politik di Abad Informasi”, http://mudjiarahardjo.blogspot.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012. 4Mudjia Rahardjo, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 57.
3
menyebar bukan saja lewat alat-alat produksi termasuk di dalamnya birokrasi, tetapi juga melalui bahasa. Pada masa Orde Baru, politisasi bahasa sudah menjadi karakter dari penggunaan bahasa kekuasaan. Penguasa Orde Baru telah menjadikan bahasa sebagai subordinat dari kekuasaan politik yang tercermin dalam pembangunan. Bahasa telah direkayasa sebagai komoditas politik demi kepentingan kelompokkelompok dominan. Munculnya istilah-istilah yang secara makna dikudeta oleh para penguasa Orde Baru telah mengubah pandangan dan cara berpikir masyarakat Indonesia yang menjadi subjek bahasa. Kata “demi persatuan” atau “demi stabilitas negara” dieksploitasi untuk kepentingan politik agar kita tidak berpikir kritis. Demikian kuatnya politisasi bahasa pada masa Orde Baru tersebut, sehingga seolah sudah menjadi sebuah ideologi kebahasaan. Menurut Lewuk, sebagaimana dikutip Dadang Anshori, terdapat empat kategorisasi ideologi kebahasaan yang dipergunakan oleh kelompok kekuasaan.5 Pertama, bahasa berdimensi satu, suatu ideologi kebahasaan yang menuntut orang yang menyatakan sikap dan pernyataan yang sama (satu), sesuai dengan kemauan penguasa. Di sini tidak ditemukan “logika protes”, seperti halnya tidak ada tempat bagi para oposisi di masa Orde Baru. Di masa Orde Baru setiap pemikiran harus relevan dan tidak boleh berbeda dengan konsep pembangunan. Bagi mereka yang mengkritik konsep pembangunan, penguasa menyebut dengan “anti-pembangunan” atau “anti-Pancasila”. Kedua, orwelianisme bahasa, dalam konteks ini adalah teknik penyatuan dua pengertian yang sebenarnya bertentangan, sehingga perbedaan antara yang benar dengan yang salah menjadi kabur. Ungkapan-ungkapan tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, diartikan sebagai kepatuhan terhadap instruksi yang dikeluarkan pihak penguasa. Untuk menunjukkan “sikap demokratis”, dipakai istilah “kritik konstruktif” atau “kritik membangun” yang maknanya setiap kritik tidak boleh menyinggung kebijakan dan tidak boleh bertentangan dengan kehendak kekuasaan.
5Dadang
S. Anshori, “Hegemoni dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca Orde Baru: Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik di Indonesia”, Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI, 30 Agustus 2008.
4
Ketiga, bahasa takut-takut, yaitu bahasa yang diucapkan masyarakat yang memiliki kepanutan monoloyalitas terhadap berbagai instruksi yang dilambangkan melalui simbol bahasa. Pada saat Pemilu, kita mendengar “Golput haram” atau “Golput berarti tidak bertanggung jawab terhadap demokrasi”. Keempat, bahasa menyembunyikan pikiran, artinya bahasa bukan lagi sebagai alat menyatakan pikiran. Di balik pikiran itu terdapat kepentingan yang memanipulasi bahasa itu sendiri. Kita bisa menyaksikan model bahasa yang terakhir ini di saat kampanye Pemilu. Idiom-idiom berupa janji-janji partai dengan mudah bertebaran dilontarkan oleh partai politik hanya untuk memanipulasi rakyat yang awam politik. Jenis bahasa terakhir ini termasuk di dalamnya bahasa-bahasa propaganda. Selain itu, Melanie Barnes menuturkan ada dua model bahasa politik yang sering digunakan oleh pemerintah, para politikus, para aktivis, dan masyarakat umum. Pertama, model singkatan-singkatan, akronim, dan jargon yang lebih banyak digunakan oleh Pemerintah (penguasa) dan para politikus. Kedua, model ungkapanungkapan plesetan, yang sering digunakan oleh para aktivis dan masyarakat umum, yang berada di luar struktur pemerintahan dan tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi secara langsung keputusan politik.6 Selama masa kampanye pemilu 2004 – 2009 (Pemilu Legislatif, Pilpres, dan Pilkada), ada banyak contoh singkatan, akronim, atau jargon politik yang sering digunakan oleh para calon. Antara lain: pemberantasan/bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), penegakkan HAM (Hak Asasi Manusia), pemilu yang Jurdil (Jujur dan Adil), dan sebagainya. Namun demikian, banyak semboyan atau jargon yang terlalu sering digunakan dan keluar dari mulut pemerintah dan para politikus, tetapi tidak disertai dengan bukti tindakan nyata, akibatnya ungkapan-ungkapan tersebut menjadi kering dan klise, kehilangan maknanya, dan menjadi kata kosong yang tidak dipercaya lagi oleh masyarakat. Di pihak yang lain, masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan dan berada di luar struktur pemerintahan, lebih sering mengungkapkan bahasa politiknya dalam bentuk plesetan, sebagai salah satu bentuk ketidakpuasan dan kekecewaan masyarakat terhadap realitas politik, juga sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka 6Melanie
Barnes, Bahasa dan Politik: Wacana Poiltik dan Plesetan, Laporan Penelitian Australian Consortium for In-Country Indonesian Students (ACICIS) bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, September 2004.
5
terhadap pemerintah dan para politikus, serta bentuk perlawanan secara tidak langsung terhadap hegemoni pemerintah (penguasa). Beberapa contoh plesetan yang sering muncul dalam bahasa politik antara lain: 1. Harmoko yang menjabat Menteri Penerangan pada masa Orde Baru, diplesetkan masyarakat dengan ungkapan „Hari-hari Omong Kosong‟. 2. UUD (Undang Undang Dasar) diplesetkan menjadi „Ujung Ujungnya Duit‟. 3. KUD (Koperasi Unit Desa) diplesetkan menjadi „Ketua Untung Duluan‟. 4. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) diplesetkan menjadi „Kasih Uang Habis Perkara‟. 5. PDI-P yang memiliki jargon „Partainya Wong Cilik‟, namun begitu berkuasa banyak rakyat kecil yang tidak puas dan kecewa. Kemudian jargon tersebut diplesetkan menjadi „Partainya Wong Licik‟, dan sebagainya. Dengan demikian, bahasa memainkan peran yang sangat vital sebagai medium dan alat yang sangat efektif untuk mempengaruhi opini publik dalam membangun atau mempertahankan hegemoni (kekuasaan) politik.
C. Peran Bahasa Dalam Hemegoni Sosial-Budaya Budaya dalam bahasa Inggris disebut „culture‟, yang berarti “setiap seni dan manifestasi-manifestasi atas kemampuan intelektual manusia secara kolektif, termasuk di dalamnya adat istiadat, ideologi, dan tindak-tanduk sosial dari sekelompok masyarakat tertentu”. Dalam bahasa Indonesia, budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, bentuk jama‟ dari kata buddhi (budi atau akal), yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan budi dan akal manusia. Sedangkan menurut Selo Soemardjan, kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta suatu masyarakat.7 Jadi, budaya bersifat abstrak karena ia merupakan sistem pengetahuan yang di dalamnya terdapat ide dan gagasan pemikiran manusia. Namun, bentuk perwujudannya adalah berupa “benda-benda” yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk berbudaya, seperti etika masyarakat dan hasil karya (artefak) yang berbentuk materi dan nyata. Berbicara tentang kehidupan politik, sosial, dan budaya pada era sekarang ini tidak bisa lepas dari persoalan globalisasi. Globalisasi merupakan peristiwa 7Alfina Hidayah, “Global Pop Culture: Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni Sosial Budaya”, dalam http://suarapembaca.detik.com. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.
6
mendunia yang telah menyebar dengan sangat cepat dan memasuki seluruh aspek kehidupan manusia sekitar abad 21. Peristiwa tersebut berdampak pada pergeseran pusat kekuasaan dari tanah, lalu capital (modal), dan selanjutnya penguasaan terhadap sains, teknologi, dan informasi. Proses globalisasi juga merupakan bagian yang berperan penting dalam perubahan dunia yang sangat cepat. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi dalam dunia ekonomi, politik, dan teknologi, tetapi juga meliputi ranah kehidupan masyarakat yang lebih luas, seperti dunia sosial, budaya, seni, pendidikan, bahkan agama. Semua itu merupakan obyek globalisasi yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Produk yang ditawarkan adalah konsep global masyarakat Barat kepada dunia Timur, khususnya negara-negara berkembang, sehingga muncullah negara-negara dengan ideologi, budaya, dan moral atau etika tunggal dan seragam yang terangkum dalam sebuah masyarakat global (baca: masyarakat Barat). Ada beragam pengertian globalisasi – beserta berbagai isme yang memiliki kesamaan maksud dengannya, seperti westernisme, modernisme, liberalisme, dan lain-lain – yang dikemukakan para ahli. Namun, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa globalisasi merupakan sebuah proses tatanan masyarakat universal yang tidak mengenal batas wilayah. Suatu tatanan tertentu muncul dari suatu negara tetentu kemudian ditawarkan kepada masyarakat dari negara-negara lain, yang disadari atau tidak, telah menjadi panutan dan „kiblat‟ bagi bangsa-bangsa di seluruh penjuru dunia.8 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa globalisasi merupakan suatu bentuk hegemoni: sebuah system melakukan pemaksaan kekuasaan terhadap pihak lain melalui cara yang halus, yaitu suatu proses bagaimana kesadaran manusia dikuasai. Hegemoni sosial dan budaya juga sering kali dilakukan melalui bahasa. Mekanisme yang dilakukan ada dua cara: Pertama, dengan cara tidak memberikan ruang bagi bahasa-bahasa lain karena dianggap sebagai ancaman. Kedua, bahasa digunakan untuk menyampaikan informasi yang berafiliasi dengan kepentingan
8
Ibid.
7
kekuasaan.9 Dalam hal ini, Bahasa menjadi perpanjangan tangan dari sebuah system kekuasaan yang hegemonik untuk menyebarluaskan ideologi dominan. Representasi budaya global dunia dewasa ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara peran bahasa-bahasa dunia dengan proses munculnya suatu budaya menjadi budaya global. Uraian-uraian yang disampaikan oleh Pennycook dalam bukunya “The Cultural Politics of English as an International Language” mengindikasikan bahwa bahasa, dalam hal ini Bahasa Inggris, telah menjadi alat yang sangat ampuh untuk menyebarkan budaya penutur bahasa tersebut ke seluruh dunia.10 Itulah sebabnya ketika kita telusuri ke belakang kita akan menemukan bahwa hampir seluruh budaya populer yang sifatnya mendunia saat ini berasal dari negaranegara yang penduduknya berbahasa Inggris, terutama Amerika Serikat. Beberapa contoh di antaranya adalah musik pop, film, makanan dan minuman, pakaian ala Barat, dan pengunaan istilah-istilah berbahasa Inggris baik dalam bentuk lisan ataupun tulisan. Tidak dapat dipungkiri bahwa peran bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah tak tersaingi oleh bahasa-bahasa dunia lainnya dalam rentang waktu yang cukup lama. Fenomena seperti ini bahkan tetap berlangsung ketika dunia berada dalam perang dingin, dimana sebagian negara di dunia terpolarisasi dalam blok barat yang dimotori oleh Amerika Serikat dan blok timur yang dimotori oleh Uni Soviet. Kenyataan bahwa pada waktu itu Uni Soviet merupakan salah satu negara super power dunia ternyata tidak mampu menempatkan peran bahasa Rusia sejajar dengan bahasa Inggris dalam percaturan dunia internasional. Sejak zaman Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy sampai Ronald Reagen yang mengakhiri perang dingin bersama Michael Gorbachev dunia lebih terekspos dengan budaya populer asal Amerika daripada budaya populer asal Uni Soviet yang hampir sama sekali tak terdengar gaungnya pada waktu itu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa status sebuah negara sebagai negara
super
power
dunia
plus
kemapanan
tekhnologi
atau
media
jurnalistik/komunikasinya tanpa keunggulan dominasi bahasa tidaklah mencukupi 9Taufik
Bilfagih, “Media dan Hegemoni”, dalam http://buntu-grup.blogspot.com. Diakses Tanggal 5 Maret 2012. 10Abdul Hadi, “Peran Bahasa Inggris Terhadap Keseimbangan Budaya Global”, dalam http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.
8
untuk mengantarkan budaya ataupun gaya hidup yang dimiliki negara tersebut menjadi budaya atau gaya hidup global. Di samping sebagai produk budaya, bahasa juga merupakan peristiwa sosial yang kompleks dan terkait erat dengan sejarah serta proses sosial dimana bahasa itu diproduksi. Pertukaran linguistik sebagai sebuah relasi komunikasi antara pengirim dan penerima pesan disamping dilihat sebagai peristiwa dan konteks sosial, juga bisa dianggap sebagai pertukaran ekonomi. Di dalamnya berlaku logika ekonomi seperti produsen dan konsumen, modal linguistik, dan pasar di mana orang bisa memperoleh keuntungan baik material ataupun simbolik. Dalam hal antisipasi keuntungan simbolik ini, Bourdieu melihat bahasa memiliki tiga makna.11 Pertama, bahasa adalah kapital budaya, karena bahasa adalah kemampuan khas manusia yang didapat dari pengalaman empirisnya berhubungan dengan manusia lain. Bahasa adalah kapital budaya yang erat kaitannya dengan kapital simbolik, karena melalui bahasalah pemaknaan-pemaknaan simbolik dapat dilakukan oleh manusia. Penguasaan yang canggih atas bahasa, memungkinkan seseorang memiliki posisi tawar yang tinggi di dalam pertarungan sosial. Kedua, bahasa adalah praktik sosial. Bahasa di sini adalah wacana atau teks. Sebuah wacana tidak bisa muncul begitu saja sebagai sesuatu yang steril, tetapi merupakan hasil interaksi aktif antara struktur sosial yang obyektif dengan habitus linguistik yang dimiliki pelaku sosial. Ketika kita memilih suatu kata, atau ketika kita menggunakan sebuah konsep, maka bukan kata atau konsep itu saja yang kita ambil, tetapi asumsi-asumsi, nilai, bahkan lebih jauh lagi ideologi yang melekat pada kata dan konsep itu juga kita bawa, sadar atau tidak. Singkatnya, bahasa sebagai praktik sosial erat kaitannya dengan kepentingan. Ketiga, bahasa erat kaitannya dengan pertarungan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan, bukan hanya sekedar keuntungan material tetapi juga keuntungan yang bersifat simbolik. Di dalam pertarungan kekuasaan inilah, ditentukan identitas individu dan sosial, juga kekuasaan simbolik, yaitu mendapatkan kehormatan dan pengakuan atas posisinya di dalam hirarki sosial. Kapital simbolik dan kekuasaan simbolik sangat penting, karena dengan memilikinya maka kita memiliki legitimasi untuk 11 Suma Riella Rusdiarti, “Bahasa, Kapital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan: Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu”, dalam http://www.lontar.ui.ac.id. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.
9
menentukan wacana kita sendiri yang artinya menentukan aturan permainan kita sendiri.
D. Bahasa dan Perlawanan terhadap Hemegoni Selain sebagai alat membangun dan mempertahankan sebuah hegemoni, bahasa juga bisa menjadi senjata ampuh dalam melakukan perlawanan bahkan meruntuhkan kekuasaan hegemonik. Sebagai contoh, di Indonesia tanda-tanda akan jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru, tampak jelas dari berbagai bentuk penggunaan bahasa masyarakat lewat aneka performance symbol komunikasi (bahasa). Perlawanan bahasa terhadap hegemoni kekuasaan pemerintah tersebut terefleksikan dalam penggunaan bahasa di berbagai perbincangan pribadi, retorika sosial, diskusi ilmiah, media massa cetak dan elektronik, di samping spanduk, baliho, leaflet, booklet, dan aneka bentuk lainnya sejak pertengahan 1997 hingga pertengahan Mei 1998. Berita (news) dan opini sedemikian bebas dimuat atau disiarkan oleh media cetak atau elektronik. Bahkan, muatan media massa yang mengarah trial by the press begitu leluasa membentuk wacana publik. Terutama yang memiliki tujuan “menghabisi” hegemoni kekuasaan rezim Orde Baru. Hal tersebut bisa terjadi sebab dalam konteks kekuasaan, bahasa adalah sarana komunikasi politik yang dapat dimanfaatkan sedikitnya untuk mewujudkan dua kepentingan. Petama, untuk membela dan mempertahankan kekuasaan (status quo). Kedua, untuk melawan dan menghancurkan kekuasaan.12 Namun, ada sebuah pertanyaan yang menarik, jika bahasa memiliki peran penting sebagai instrument dalam pertarungan kekuasaan (hegemoni), baik oleh pihak yang dominan (penguasa) maupun pihak yang didominasi, lantas siapakah yang akan memenangkan pertarungan hegemoni tersebut? Di sinilah media massa memainkan peran yang sangat besar dalam menjadikan bahasa sebagai alat hegemoni. Siapa yang menguasai media massa, dialah yang akan menang. Sebagaimana dikatakan oleh Mudjia rahardjo, menguasai media massa berarti pula menguasai sekian banyak dunia batin manusia. Bahkan
12 Novel Ali, “Bahasa, Komunikasi, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Negara”, dalam http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732. Diakses Tanggal 5 Maret 2012.
10
media massa, sekarang ini, telah diakui sebagai pilar keempat kekuasaan, di luar tiga pilar dalam trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).13 Media massa pada gilirannya akan diposisikan menjadi agent politik, sosial, dan budaya dari kelas dominan dengan kekuasaan modal. Realitas yang disajikan oleh media massa bukanlah realittas yang sesungguhnya, melainkan realitas yang telah melewati proses “seleksi” oleh sekelompok orang (jurnalis, pekerja di rumah produksi, produser, sutradara, hingga pemilik modal dan penguasa) yang memiliki sistem nilai dan ideologi tertentu. Bahasa media mampu menghegemoni sebagian besar masyarakat, sehingga mereka, sadar atau tidak, mengikutinya (melihat, mendengar, mendiskusikan, dan membenarkannya). Hegemoni politik, sosial dan budaya melalui bahasa media tersebut masuk ke wilayah pemikiran dan perasaan masyarakat, bergerak di wilayah publik dan wilayah domestik.14 Coba perhatikan, media televisi kita selalu memproduksi tayangan-tayangan hyperrealita, misalnya sinetron dan infotainment. Sadar atau tidak, sebagian besar masyarakat terhipnotis oleh tayangan media, akibatnya memandulkan kesadaran realitas. Dampak dari tayangan-tayangan TV yang hyperrealita itu adalah terjadinya perubahan secara drastis dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mereka lebih bangga dan memilih cita-cita untuk menjadi artis atau aktor sinetron dari pada menjadi seorang ilmuwan dan peneliti. Perilaku pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan menjadi hal wajar dan biasa. Pola hidup, pola makan, dan berpakaian pun berubah mengikuti trend modern. Pola fikir masyarakat menjadi pragmatis dan hedonis (mengejar kesenangan materi sesaat). Hal inilah yang menyebabkan media massa – khususnya televisi – menjadi tidak bebas nilai. Dapat kita lihat sekarang ini hampir seluruh tayangan TV mempresentasikan kepentingan budaya di Negara Maju (baca: Amerika dan Eropa). Di samping itu, karena televisi dikuasai pemilik modal, maka siaran yang ditayangkan akan mengukuhkan dominasi kaum pemilik modal (kapitalis) dan tidak akan mengganggu eksistensi mereka. Dengan semakin mengglobalnya televisi, maka tidak aneh bila kebudayan yang ada di dunia ketiga akan semakin terintegrasi dengan kebudayaan yang ada di negara maju (Amerika dan Eropa). Bila hal ini terjadi terus menerus, maka Amerika 13 14
Mudjia Rahardjo, Op. Cit. Taufik Bilfagih, Op. Cit.
11
dan Eropa akan selalu dianggap sebagai impian jutaan manusia. Ini artinya, kebudayaan
Amerika
dan
Eropa
akan
terus
menguasai
(menghegemoni)
kebudayaan dunia ketiga (berkembang), termasuk Indonesia. Dengan demikian, sadar atau tidak, media masa dihadapkan pada salah satu dari dua pilihan antara: “maju tak gentar membela yang benar” atau “maju tak gentar membela yang bayar”.
E. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa, sebagai simbol yang paling universal digunakan oleh manusia untuk mempresentasikan benda, kejadian, dan gagasan, bukanlah sekedar sistem lambang yang bebas nilai (obyektif) dan bersifat netral, tidak ada hubungan dengan dunia lain di luar bahasa itu sendiri, seperti sosial, politik, budaya, seni, agama, dan sebagainya, sebagaimana anggapan kaum linguistik strukturalis. Lebih dari itu, bahasa merupakan dunia yang penuh makna yang diciptakan sesuai dengan kepentingan penggunanya. Oleh karena itu, makna kata sangat subyektif dan tidak pernah tunggal. Di samping sebagai produk budaya, bahasa juga merupakan peristiwa sosial yang kompleks dan terkait erat dengan sejarah serta proses sosial di mana bahasa itu diproduksi. Oleh karena itu, bahasa selalu hadir dalam berbagai ranah kehidupan manusia: politik, sosial dan budaya yang sarat dengan berbagai kepentingan dalam pertarungan hegemoni (kekuasaan) antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai. Bahkan dengan dukungan media massa, bahasa justru memainkan peran penting sebagai
instrumen
yang
sangat
vital
dan
efektif
dalam
membangun,
mempertahankan atau melawan hegemoni (kekuasaan) politik, sosial, dan budaya. F.
Referensi
Ali, Novel, “Bahasa, Komunikasi, dan Perlawanan Terhadap Hegemoni Negara”, dalam http://groups.yahoo.com/group/ambon/message/3732. Diakses Tanggal 5 Maret 2012. Anshori, Dadang S., Hegemoni dan Dominasi Bahasa Pejabat Dalam Media Massa Pasca Orde Baru: Analisis Wacana Kritis Tentang Idiom Politik di Indonesia, Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Nasional, diselenggarakan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia SPS UPI, 30 Agustus 2008. Barnes, Melanie, Bahasa dan Politik: Wacana Poiltik dan Plesetan, Laporan Penelitian Australian Consortium for In-Country Indonesian Students (ACICIS) bekerja
12
sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang, September 2004. Bilfagih, Taufik, “Media dan Hegemoni”, dalam http://buntu-grup.blogspot.com. Diakses Tanggal 5 Maret 2012. Hadi, Abdul, “Peran Bahasa Inggris Terhadap Keseimbangan Budaya Global”, dalam http://www.pk-sejahtera.us/kastra/?p=17. Diakses Tanggal 6 Maret 2012. Hidayah, Alfina, “Global Pop Culture: Sebuah Proses Globalisasi atau Hegemoni Sosial-Budaya”, dalam http://suarapembaca.detik.com. Diakses Tanggal 6 Maret 2012. Rahardjo, Mudjia, “Bahasa dan Kekuasaan”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012. --------------, “Bahasa, Pemikiran dan Peradaban (Telaah Filsafat Pengetahuan dan Sosiolinguistik)”, dalam http://mudjiarahardjo.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012. --------------, “Bahasa, Media, dan Kuasa: Fenomenologi Hegemoni Politik di Abad Informasi”, http://mudjiarahardjo.blogspot.com. Diakses Tanggal 4 Maret 2012. --------------, Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gusdur, Malang: UIN-Malang Press, 2007. --------------, Relung-Relung Bahasa: Bahasa Dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer, Aditya Media, 2002. Rusdiarti, Suma Riella, “Bahasa, Kapital Simbolik, dan Pertarungan Kekuasaan: Tinjauan Filsafat Sosial Pierre Bourdieu”, dalam http://www.lontar.ui.ac.id. Diakses Tanggal 6 Maret 2012.
13