perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Objek Penelitian Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdiri atas 108 halaman, diterbitkan oleh Balai Pustaka, cetakan pertama pada tahun 1936, cetakan kedua pada tahun 1940 dan cetakan ketiga pada tahun 1957. Novel Ngulandara memiliki 14 bab namun antar bab masih memiliki keterkaitan. Bab-bab tersebut yaitu: oto mogok, meksa batal, njonjah Oei Wat Hien, sampun kraos, ngadjari kapal, peken malem ing Magelang, manahipun kagol, ndjagi wiludjenging bendara, ngreksa namaning bendara, wonten grija sakit, pamit, serat saking Rapingun, let nem wulan, sasampunipun wolung wulan. Novel Ngulandara dari segi kepengarangan memiliki keistimewaan. Keistimewaannya hingga saat ini belum ditemukan biografi yang jelas mengenai Margana Djajaatmadja, setelah diterbitkannya novel Ngulandara ini juga belum ditemukan lagi novel karyanya. Pengarang di era Balai Pustaka baik riwayat hidup maupun latar belakang kehidupan mereka tidak banyak diungkapkan. Hal ini terjadi karena pada masa itu belum ada penulisan riwayat atau biografi pengarang dan masih terpengaruh oleh tradisi lama yang umumnya pengarang lebih suka tidak mencantumkan nama asli pada karyanya atau menggunakan sandi asma atau anonim. Hal tersebut selaras dengan pandangan hidup orang jawa yang tidak suka pamer sehingga mempersulit pencarian data mengenai pengarang sebuah karya. Margana Djajaatmadja menggambarkan latar sosial yang terjadi pada masa itu, kehidupan priyayi, dan kaum pribumi pada masa itu tergambar dalam penokohan dan dikemas dengan menarik sehingga walaupun novel ini tergolong novel lama namun cerita di dalamnya dapat menjadi referensi sejarah pada masa itu yang masih dipengaruhi tradisi Belanda. Novel ini juga mengubah pola pikir pembaca bahwa jaman dahulu kaum priyayi yang hidup dengan kemewahannya tidak peduli terhadap kaum pribumi, terbukti dengan adanya tokoh Rapingun dengan pengalaman hidupnya mengembara mencari jati diri. commit to user
54
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
Penelitian mengenai novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sudah pernah diteliti oleh Sugiarti dengan judul Kajian Intertekstual Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja dengan Serat Riyanto Karya R.M Sulardi dalam penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa novel Ngulandara merupakan novel yang dibuat saat tingkatan sosial antara priyayi atau bukan priyayi masih sangat terasa. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Sugiarti penelitian ini tidak terfokuskan terhadap teks saja namun juga nilai pendidikan budi pekerti serta relevansi sebagai materi pembelajaran. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan aspek penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung dalam novel serta relevansinya sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA. Data dalam penelitian diperoleh dari sumber data berupa dokumen novel Ngulandara, transkrip wawancara dengan beberapa guru mata pelajaran bahasa Jawa, beberapa siswa SMA dan pakar sastra. Novel yang dipilih diambil berdasarkan pertimbangan tertentu yang berkaitan dengan penelitian. Pertimbangan yang dijadikan dasar adalah penokohan dan nilai budi pekerti yang tergambar dalam tokoh belum pernah diteliti. Penelitian ini menggunakan data novel Ngulandara cetakan ketiga. Alasan peneliti menggunakan cetakan ketiga yang terbit thun 1957 karena novel tersebut telah mengalami perubahan dari segi penulisan ejaan yang lebih mudah dipahami daripada cetakan pertama tahun 1936 dan cetakan kedua tahun 1946 yang masih menggunakan ejaan lama, walaupun mengalami beberapa kali revisi namun tidak mengubah isi dari novel Ngulandara tersebut. Deskripsi data dilakukan berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya yaitu bagaimanakah penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta bagaimanakah relevansi penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA. Bab ini akan membahas tentang analisis penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara. commit to user
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Deskripsi Temuan Penelitian Analisis data menjadi sarana utama dalam menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini, analisis mengacu pada prosedur penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada bab IV akan dijelaskan mengenai penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta relevansi unsur penokohan serta nilai budi pekerti yang ada pada novel tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA kelas XI. Pertama peneliti akan membahas unsur penokohan dalam novel Ngulandara. Hal ini dikarenakan penokohan merupakan bagian dari unsur intrinsik dalam sebuah karya sastra maka dalam bab ini tentu akan dijelaskan pula mengenai: 1) unsur intrinsik dalam novel yang meliputi tema, alur, latar, sudut pandang, amanat, dan penokohan, 2) nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara. Analisis akan dilakukan terhadap tokoh-tokoh di dalam cerita yang berjumlah enam belas tokoh, 3) analisis penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti kemudian akan dilanjutkan dengan analisis relevansi kedua hal tersebut sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA. 1. Unsur Intrinsik Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja. a. Tema Pengertian tema untuk penelitian ini merujuk pada pendapat Waluyo (2011: 8) yang menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra, sebagai sebuah gagasan dasar tema merupakan sesuatu yang netral, tidak memihak. Selanjutnya melengkapi pendapat di atas Fananie (2000: 84) menyatakan tema dapat berupa apa saja, persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, masalah tradisi atau apa saja yang erat kaitannya dalam kehidupan yang disesuaikan dengan zamannya. Novel Ngulandara terdiri atas empat belas bagian, setiap bab memiliki tema tersendiri. Berikut merupakan tema temuan peneliti yang berkaitan dengan persoalan user etika, moral, tradisi, sosialcommit budaya to pada zaman novel tersebut dibuat.
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
Sub judul pertama yaitu berjudul Oto Mogok bertemakan tolong menolong. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa pada saat mobil keluarga Den Bei mogok ditengah hutan sewaktu senja hingga sekian lama menunggu munculah Rapingun bersama temannya Kasna kemudian menolong Den Bei yang tengah mengalami kesusahan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan dialog sebagai berikut: “Rewel mboten gelem mlaku” “Ingkang rewel punapanipun ndara?” “Kula kurang terang” “Punapa kepareng kula nuweni? Mbok menawi saged ngleresaken” “Engga we lah kebeneran”(hlm. 9). Terjemahan: ‘Rusak tidak mau jalan’ ‘Apa yang rusak Tuan?’ ‘Kurang tahu saya’ ‘Apa boleh saya membantu, siapa tahu bisa membetulkan’ ‘Wah silakan kebetulan sekali.’ Dalam dialog di atas jelas bahwa Rapingun menawarkan bantuan untuk memperbaiki mobil milik Den Bei dan disetujui dikarenakan Den Bei sendiri tidak tahu mengenai urusan mobil. Pada bab ini keluarga Den Bei merasa heran melihat tingkah laku seorang supir yang baik, ramah, sangat hormat dan memiliki sopan santun yang baik. Akhirnya setelah diceritakan Rapingun memperbaiki kerusakannya, mobil tersebut dapat dinyalakan kemudian Den Bei meneruskan perjalanan menuju Parakan dengan dikawal Rapingun dari belakang. Meksa Batal merupakan sub judul yang dipilih pengarang untuk sub bab II. Sub bab ini merupakan penguatan tema pada sub bab pertama, jika sub bab pertama mengusung tema tolong menolong maka pada sub bab II ini bertema tolong menolong tanpa pamrih atau tidak mengharap imbalan. Den Bei, istri, dan anaknya bermaksud untuk memberikan imbalan pada Rapingun karena telah membantu memperbaiki mobilnya, mereka berencana untuk melaksanakan maksud tersebut setelah tiba ditempat ramai. Namun ketika sampai di to Parakan commit user belum sempat berterima kasih
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
Rapingun sudah pergi tanpa menghiraukan Den Bei. Keluarga Den Bei merasa sangat tertarik pada kepribadian Rapingun, karena ia menolong tanpa mengharap imbalan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi sugih kaprawiran” “ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.” “Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa samangsa deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13). Terjemahan: ‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti banyak keterampilannya ‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’ ‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan, atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’ “Overland enggal nututi. Dumugi pratigan, inggih punika pakendelan taksi jen wanjti sijang, sepen, mboten wonten punapapunapa. Prijatun tetiga sanget gela manahipun, dening kadjengipun meksa batal mboten kelaksanan.” (hlm. 15). Terjemahan: ‘Overland segera menyusul. Sesampainya di pertigaan, tempat pangkalan taksi saat siang, sepi, tidak ada apa-apa. Mereka bertiga sangat kecewa, karena keinginannya tidak terlaksana.’ Sub judul III yaitu Njonjah Oei Wat Hien. Nyonyah Hien merupakan seorang wanita Tiong Hoa yang merupakan majikan Rapingun. Meskipun seorang Tiong Hoa Nyah Hien fasih menggunakan bahasa Jawa krama. Peneliti menemukan tema pada sub bab II ialah saling menghargai keberagaman, yang terwujud dalam sikap Nyah Hien yang mampu beradaptasi ditempat tinggalnya di Jawa meskipun adat dan budaya Jawa tidak sama dengan adat tradisi yang ia miliki. Tradisi orang Jawa yang terkesan malu dan tidak langsung pada pokok pembicaraan. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan berikut ini: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
“Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong Hoa ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang dasan taun. Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan....” (hlm. 15). Terjemahan: ‘Bertepatan hari Minggu, sekitar pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada oto. Tidak lama seorang Nyonyah Tiong Hoa yang kira-kira umurnya belum lebih dari tiga puluh tahun. Setelah turun dari mobil, lalu pergi ke gedung asisten....’ “Boten Den Aju! Sowan kula menawi kedjawi tuwi kasugengan, inggih perlu badhe nglajengaken rembag betah. Kula njuwun tulung Den Aju”(hlm. 17). Terjemahan: ‘Tidak Den Ayu! Kedatangan saya kemari selain untuk berkunjung, ada perlu membicarakan keperluan. Saya mau minta tolong Den Ayu.’ Sub judul IV yaitu Sampun Kraos yang berarti ‘sudah nyaman’. Diceritakan bahwa Rapingun akhirnya bekerja pada Den Bei karena ketidaksengajaan Nyah Hien yang ingin menjual mobilnya. Mobil yang akan dijual tersebut memiliki plat nomor yang sama dengan mobil yang digunakan supir saat menolongnya, akhirnya mereka bertemu kembali. Den Bei tidak menghendaki mobilnya tetapi jika diperbolehkan ia ingin memiliki supirnya saja untuk dijadikan supir pribadi. Pada sub judul IV bertema pengabdian tulus tanpa pamrih. Rapingun yang telah dipekerjakan sebagai supir oleh Den Bei melaksanakan tugasnya dengan baik, mobil menjadi baik dan kinerja Rapingun yang rapi membuat keluarga Den Bei senang, tidak hanya pekerjaan supir yang ia kerjakan, ia pun mengerjakan pekerjaan rumah seperti menata taman, membersihkan perabot dan lain sebagainya ia kerjakan dengan senang dan sangat baik. Hal ini dipertegas dengan kutipan berikut: “Rapingun keprije Bu, apa krasan?” “Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak sawang-sawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.” commit to user (hlm. 25).
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Rapingun bagaimana Bu, apa dia nyaman di sini?’ ‘Begini Pak, sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini wajahnya selalu terlihat bahagia’ “O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akeh-akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake (hlm. 27). Terjemahan: ‘Wah, jika dibandingkan dengan supir-supir lainnya, tidak ada yang menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan tentang mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Di rumah, saya perhatikan ia tidak beristirahat, semua dikerjakan, seperti menanam tanaman, menata kursi, membersihkan gambar, kemudian ditata kembali. Semua yang dia kerjakan selalu memuaskan’ Ketekunan merupakan tema sub judul V yang berjudul Ngajari Kapal ‘melatih kuda’. Den Bei memiliki kuda bernama Hel tetapi Hel belum mendapat pelatihan yang baik sehingga kuda itu menjadi liar dan tidak terkendali, Den Bei pun telah menyerah untuk melatih Hel. Rapingun dengan sifatnya yang tekun memutuskan untuk melatih Hel secara diamdiam. Hal itu ia lakukan dengan sabar, tekun dan tak putus asa walaupun Hel memang benar-benar kuda yang liar. Akhirnya setelah mendapat perhatian dari Rapingun Hel menjadi penurut. Den Bei kaget ketika bertemu Rapingun tengah menunggangi Hel di jalan raya, ia segera memerintahkan Rapingun pulang karena khawatir akan keselamatannya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: “.... Den Bei Asisten Wedana dawuh supados Rapingun terus wangsul. Lis ladjeng kadedet, Hel mlampah, ngentrag, sontansantun kalijan matjan nubruk. Tijang-tijang sami tjingak dene Rapingun saged wangsul kanti wiludjeng. Punapa malih sumerep lampahipun Hel sadjak gumagus. Mangka lampah makaten wau namung tumrap kapal ingkang sampun mbangun-turut lan sampun dipun-adjari.” (hlm. 39-40). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘.... Den Bei Asisten Wedana menyuruh Rapingun agar langsung pulang. Kendali kembali ditarik, Hel berjalan. Semua orang merasa lega Rapingun pulang dengan selamat. Hel berjalan dengan gagahnya. Padahal cara berjalan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh kuda yang penurut dan telah terlatih.’ “Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun, temtu saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken kalijan panggraitaning kapal.” (hlm. 40). Terjemahan: ‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang sudah jinak, tentu dapat berjalan demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu sendiri.’ Sub judul VI yaitu Peken Malem ing Magelang bertemakan tata krama, bagian ini menceritakan bagaimana Rapingun menjaga perilakunya terhadap anak majikannya yaitu Raden Ajeng Supartienah. Saat itu Raden Ajeng Tien akan pergi ke Magelang ketika akan menaiki mobil ia terpeleset dan membuat Mantri guru khawatir akhirnya Raden Ajeng Tien disarankan untuk duduk di depan bersama Rapingun. Rapingun merasa harus menjaga jarak dengan majikannya. Oleh karena itu, ia memilih duduk menjauh walaupun itu membuatnya tidak nyaman. Rapingun melakukan hal itu semata-mata untuk menjaga kehormatan majikannya, ia merasa kurang pantas duduk berdekatan dengan Raden Ajeng Tien karena pada saat itu ia hanya seorang supir. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut: “Rapingun ladjeng minggah ing bak ngadjeng sisih tengen. Linggihipun mepet nengen, ing pangangkah sampun ngantos nggepok badanipun Raden Adjeng Tien. Mangka kawontenanipun bak taksih kobet. Dados ingkang mekaten wau boten sanes namung kangge rumeksa ing bendara lan netepi tata krama” (hlm. 46). Terjemahan: ‘Rapingun lalu naik di jok sebelah kanan. Duduknya merangsek ke kanan, dengan harapan jangan sampai menyentuh badan Raden commit to user Ajeng Tien. Padahal keadaan jok masih longgar. Hal itu untuk
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
menjaga martabat majikannya dan mentaati peraturan atau tata krama.’ Selanjutnya pada sub judul VII yaitu Manahipun Kagol ditemukan tema tanggung jawab. Pada sub judul ini diceritakan Rapingun dengan penuh tanggung jawab menjaga majikannya. Cara Rapingun mengawal dan menjaga majikannya tidak terlalu terihat tetapi ia tetap memperhatikan siapa saja yang dianggap mencurigakan. Saat di gedung wayang orang terdapat dua lelaki yang mencurigakan, lelaki itu selalu melihat kearah Raden Ajeng Tien, mengetahui hal itu Rapingun hanya waspada, sebab lelaki itu belum berbuat sesuatu yang membahayakan majikannya. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut: “Djejaka kalih punika kedjawi patrap lan swantenipun gembargembor mekaten wau, tansah nolah-noleh ngiwa-nengen lan dateng wingking. Kala Raden Adjeng Tien saweg maspadakaken dununging swanten, dilalah djaka ingkang prakosa punika noleh dateng wingking, plek gatuk panjawangipun. Sanalika Raden Adjeng Tien tumungkul, ketingal bijas pasemonipun. Getering manah kados tinubruk ing sima lepat.” (hlm. 56). Terjemahan: ‘Dua pemuda itu selain memiliki tingkah laku dan suara yang keras, selalu menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang. Saat Raden Ajeng Tien sedang mencari sumber suara, kebetulan pemuda yang gagah itu menoleh ke belakang, bertemulah pandangan keduanya. Saat itu pula Raden Ajeng Tien berpaling, terlihat pucat wajahnya’ “Rapingun ingkang kapatah ing lurahipun kapurih momong putranipun, boten tilar weweka. Sesolah-tingkahipun djedjaka kekalih, ingkang andadosaken bijasipun Raden Adjeng Tien sampun kesumerepan sadaja. Rapingun saja migatosaken kawontenan punika, saparipolahipun djedjaka kekalih tansah kalirik. Nanging Rapingun pantjen sugih gelar, sadaja kaprajitnanipun boten ketawis babar pisan, ngantos ketingal kados lare boten open lan bodo banget, saged ugi ingkang dipun-emba kados ambeging sinatrija.” (hlm. 56). Terjemahan: ‘Rapingun yang diberi tanggung jawab oleh majikannya untuk menjaga putrinya sangat bertanggung jawab. Semua tingkah laku kedua pemuda, yang menjadikan commit to user Raden Ajeng Tien tidak nyaman sudah ia diketahui. Rapingun semakin memperhatikan keadaan itu,
perpustakaan.uns.ac.id
63 digilib.uns.ac.id
apapun gerak-gerik pemuda itu selalu diawasi. Rapingun memang pandai, semua tindakannya itu tidak terlihat mencolok, tidak ketahuan, ia seperti anak bodoh tidak tahu apa-apa.’ Novel Ngulandara pada sub judul VIII berjudul Ndjagi Wilujenging Bendara memiliki tema kesungguhan pengabdian. Tema tersebut didasarkan pada cerita bahwa ketika pulang dari Magelang mobil Rapingun dan Raden Ajeng Tien dihadang oleh dua orang laki-laki, tak lain merupakan laki-laki yang sama saat berada di gedung wayang orang. Laki-laki tersebut adalah teman Raden Ajeng saat masih bersekolah di Yogyakarta bernama Hardjana, ia menyukai Raden Ajeng Tien namun rupanya hanya bertepuk sebelah tangan. Hardjana marah dengan keadaan tersebut sehingga ingin berbuat yang baik. Akhirnya terjadilah perkelahian Rapingun dengan kedua laki-laki itu. Rapingun merasa bertanggung jawab atas keselamatan majikannya rela memberikan lengannya untuk dipukul, saat itu keadaan genting namun Rapingun dengan sigap menangani hal tersebut dan mereka berdua pun selamat. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut: “Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis njanding karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan nuding dateng Rapingun. Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono kurang adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane tetepungan, dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi sedulurku nak-sanak ngerti!” (hlm. 65). Terjemahan: ‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah bersama pemuda tampan itu! berkata seperti itu sambil menunjuk ke arah Rapingun.’ ‘Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: Wah kurang ajar sekali kamu, Hardjana. Baiknya kamu bertanya dulu, terlebih berkenalan, sehingga kamu tahu siapa yang kamu ajak bicara. Dia adalah saudaraku mengerti!’ “Hardjana kaget sumerep kawontenan mekaten punika, enggal mendet tosanipun gligen ingkang sampun kagletakaken ing treeplank, terus minger bade murugi Rapingun medal saking commit to user wingking oto. Nanging nalika punika Rapingun ugi bade murugi
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
Hardjana medal sawingkinging oto. Sareng Hardjana dumugi sawingking oto kepering tengen kepetuk Rapingun. Hardjana ngembat tosanipun bade kagebagaken ing sirahipun Rapingun. Sareng kaijan pandjeritipun Raden Adjeng Tien, Rapingun ngendani sarana mendak kalijan nyabet garesipun Hardjana mawi sendok ban. Hardjana dawah kelumah.” (hlm. 66). Terjemahan: ‘Hardjana kaget mengetahui keadaan itu, segera mengambil besi yang sudah diletakkan di treeplank, lalu berbalik ingin menghadang Rapingun lewat belakang mobil. Tetapi ketika itu Rapingun juga akan menghadang Hardjana dari belakang mobil. Bertemulah keduanya. Hardjana menghantam kepala Rapingun dengan besi. Seketika Raden Ajeng Tien menjerit, Rapingun menghindar dengan menunduk dan menghantam kaki Hardjana dengan sendok ban. Hardjana pun jatuh.’ Selanjutnya pada sub judul IX berjudul Ngreksa Namaning Bendara masih berhubungan erat dengan sub judul VIII. Bertemakan menjaga nama baik seseorang walaupun harus berkorban. Bagian ini menceritakan kekhawatiran Raden Ajeng Tien tentang anggapan Rapingun tentang dirinya. Ia merasa malu dengan hal yang baru saja ia alami, sebab pada zaman dahulu hubungan antara seorang wanita dan laki-laki masih dipengaruhi peraturan adat yang berdasarkan norma kesusilaan. Namun Rapingun mengerti keadaan tersebut, ia tidak akan menceritakan kejadian itu kepada Den Bei Asisten Wedana. Perkara tangannya yang patah ia akan beralasan sewaktu membetulkan mobil tangannya terkena slinger. Raden Ajeng Tien sangat terharu dengan apa yang dilakukan Rapingun sematamata untuk menjaga nama baiknya. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Mangke dumugi ndalem, pandjenengan matur dateng ingkang rama saha ingkang ibu, bilih tangan kula tengen kenging slinger” “O, ja talah Rapingun, pantes kowe dadi sedulurku, semono anggonmu ngajomi menjang awakku. Nanging keprije, wong slinger kok ngenani tangan?”(hlm. 72). Terjemahan: ‘Nanti sesampainya di rumah, katakan saja pada Bapak dan Ibu, kalau tangan saya terkena slinger.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
‘Oh, Rapingun, pantas jika kamu menjadi saudaraku, sampai seperti ini kamu melindungi dan menjagaku. Tetapi bagaimana, slinger dapat melukai tangan?’ “O, ija.” Sasampunipun tjarijos mekaten punika Raden Adjeng Tien ladjeng undjal napas: “saiki keprije pangiramu tumrap awakku Rap?” “Pandjenengan resik lan sutji”(hlm. 73). Terjemahan: ‘O, iya. Setelah bercerita seperti itu Raden Ajeng Tien lalu menghela napas. Sekarang bagaimana pandanganmu terhadapku Rap?’ ‘Anda bersih dan suci.’ Balas budi menjadi tema pada sub judul X yang berjudul Wonten ing Grija Sakit. Pada sub judul sebelumnya diceritakan bahwa cedera yang dialami Rapingun harus mendapat penanganan khusus maka ia dibawa ke rumah sakit. Raden Ajeng Tien yang merasa berhutang keselamatan pada Rapingun dengan tekun mengurusi segala kebutuhan Rapingun saat berada di rumah sakit. Namun Rapingun tidak pernah meminta apapun ia merasa telah diperlakukan secara istimewa sementara ia hanya seorang supir. Raden Ajeng Tien mengangkat Rapingun sebagai saudaranya hal itu ia lakukan sebagai balasan atas keberanian dan pengabdian Rapingun padanya. Terbukti dari kutipan berikut ini: “Saben dinten wantji djam tiga utawi sekawan, Raden Adjeng Tien tuwi dateng grija sakit, perlu njekapi punapa kabetahanipun Rapingun. Nanging salebetipun seminggu ingkang kepengker dereng nate Rapingun gadhah paneda punapa-punapa dateng Raden Adjeng Tien....(hlm. 79). Terjemahan: ‘Setiap hari pukul tiga atau pukul empat, Raden Ajeng Tien berkunjung ke rumah sakit, untuk mencukupi keperluan Rapingun. Namun sudah seminggu ini Rapingun belum memiliki permintaan yang aneh-aneh pada Raden Ajeng Tien.... ‘ “Tresnaku marang kowe, djalaran saka ketarik watak lan luhuring budimu, kang wis kelahir saka sakabehing pakartimu. Atas asmane Pangeran, kowe wis tak-ujubake sarana karep kang murni dadi sedulurku” (hlm. 88). commit to user
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Cintaku kepadamu, karena tertarik watak dan baiknya budimu, yang telah terlihat dari seluruh tingkah lakumu. Atas nama Tuhan, aku ikrarkan kamu menjadi saudaraku.’ Sub judul XI berjudul Pamit memiliki tema perhatian atasan kepada bawahannya. Hal ini ditunjukan dengan kecurigaan Den Bei Asisten Wedana terhadap sikap Rapingun. Sepulangnya dari rumah sakit Rapingun mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, namun raut wajah Rapingun yang terlihat gelisah kadang-kadang juga melamun, Den Bei khawatir sehingga menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Rapingun. Hasilnya Rapingun bersikap demikian karena ia rindu pada orang tuanya. Ia pun diijinkan pulang untuk mengunjungi kelurganya di Pacitan. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut ini: “Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal klintjutan, kados tiyang ngandut wewados ingkang bade kewiyak....” (hlm. 90-91). Terjemahan: ‘Setengah bulan setelah kepulangannya dari rumah sakit, saat sendiri Rapingun sering terlihat susah, kadang-kadang terlihat gelisah, seperti orang menyembunyikan rahasia dan akan terbongkar....’ “Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun ketingal suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak lungkrah, nanging dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden Aju asisten bade nuweni Rapingun wonten kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem, boten kados adat saben. Mila kakinten pijambakipun sakit” (hlm. 91). Terjemahan: ‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat sedih, badannya terlihat kurang sehat, tetapi ia belum bertanya sebabnya. Setelah tiga hari, pukul empat sore, Raden Ayu Asisten ingin menjenguk Rapingun di kamarnya, karena setelah makan siang langsung tidur, tidak seperti kebiasaannya. Diduga Rapingun sedang sakit.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
Tema sub judul XII yang berjudul Serat saking Rapingun adalah kesedihan keluarga Den Bei saat mengetahui Rapingun tidak akan kembali bekerja padanya. Keinginannya menemui orang tua hanya alasan agar dapat pergi dari rumah Den Bei. Rapingun bersikap demikian karena ia tidak tega melihat kesedihan Den Bei melihat kepergiannya. Sehingga dalam suratnya Rapingun menyebutkan ingin meneruskan tugasnya mencari Raden Mas Sutanta. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Sampun kula manah pandjang, wiwit kula nangis wonten kamar, upami kula njuwun pamit medal, temtu bade ndadosaken keparenging pengalih pandjenengan sekalijan saha Ndara Adjeng Tien. Mila kula ladjeng matur dora, bade tuwi tijang sepuh dateng Patjitan” (hlm. 98). Terjemahan: ‘Sudah saya pikir matang-matang, sejak saya menangis di kamar, seandainya saya meminta untuk keluar dari pekerjaan, tentu akan menjadi masalah untuk Den Bei beserta istri dan Raden Ajeng Tien. Jadi saya berbohong, untuk mengunjungi orang tua saya di Pacitan.’ “Wondene sebabipun kula njuwun medal, mboten djalaran saking kirang anggen pandjenegan peparing, nanging nedya angajuh idamidaman kula ingkang taksih sumimpen ing salebeting manah, ngiras madosi R.M. Sutanta....”(hlm. 98). Terjemahan: ‘Penyebab saya meminta keluar dari pekerjaan, bukan karena gaji yang kurang, tetapi masih ada keinginan yang tersimpan di hati, dan lagi saya harus mencari R.M Sutanta....’ “....djalaran saking kathahing gagasan, ngantos boten rumaos jen sami lelenggahan wonten ing patamanan ngadjeng. Sareng enget,bjar, sumerep rembulan sampun amameraken tjahjanipun njoroti gegodongan tuwin sekaran ing patamanan, rambjangrambjang asri tiningalan, kados suka pangari-arih dateng ingkang sami nandang prihatos” (hlm. 99). Terjemahan: ‘....karena banyaknya pikiran, sampai tidak terasa sudah lama duduk di taman. Setelah melihat rembulan yang bersinar barulah teringat, sinarnya mengenai daun-daun dan bunga di taman, bayang-bayang terlihat indah, seperti penghibur untuk yang sedang bersedih.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
68 digilib.uns.ac.id
Sub judul XII bertemakan segala sesuatu akan indah pada waktunya jika kita mau berusaha dan berdoa. Diceritakan setelah enam bulan pergi dari gedung asisten Ngadireja Rapingun yang juga merupakan Raden Mas Sutanta telah mendapatkan pekerjaannya kembali sebagai opzichter regenschap di daerah Kedungwuni. Secara kebetulan pula Den Bei Asisten Wedana kini telah diangkat sebagai Wedana di Kedungwuni. Pertemuan mereka terjadi secara kebetulan. Den Bei sekeluarga kaget mengetahui bahwa Rapingun adalah R.M Sutanta putra tunggal dari priyayi Solo R.M Gandaatmadja yang pergi untuk mengembara mencari jati dirinya. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut: “Saweg dumugi semanten, konten angin dipun-engakaken saking lebet, njedul R.M Sutanta medal. Sarehning saking nglebet sampun mireng jen wonten tamu, lampahipun kalijan mendak-mendak, nijatipun bade tumut manggihi. Sareng sumerep tamunipun, lampahipun kandeg, ndjeger, ngadeg djegreg. Kados tugu, lajeng tumungkul mboten purun ngawasaken. Tamu-tamu sareng sumerep Raden Mas sutanta, tiga pisan tjep, boten njuwanten ngantos sawetawis dangu” (hlm. 103). Terjemahan: ‘Saat itu, pintu dibuka dari dalam, R.M Sutanta keluar. Dari dalam sudah terdengar kalau ada tamu jadi untuk menghormati jalannya membungkuk, berniat ingin ikut menemui. Setelah mengetahui siapa tamu itu, jalannya terhenti, tertegun, mematung seperti tugu, lalu menunduk tidak berani melihat. Tamu-tamu yang mengetahui itu Raden Mas Sutanta, ketiganya terdiam, tidak bersuara sampai waktu yang lama.’ “Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M Sutanta, Opseter Kabupaten ngriki.” “Den Bei Wedana boten mangsuli, namung tansah matitisaken dateng Raden Mas Sutanta.” “Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis” “ O, anakku ngger!” (hlm. 103). Terjemahan: ‘Saya perkenakan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di Kabupaten ini.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M Sutanta.’ ‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’ ‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan menangis:’ “Oh, anakku” “Den Bei Mantri guru sekalijan ingkang meksa dereng ngertos larah-larahipun ketingal lingak-linguk. Den Bei Wedana ladjeng ngandharaken lelampahanipun Raden Mas Sutanta, nalikanipun santun nama Rapingun....” (hlm. 104). Terjemahan: ‘Den Bei Mantri guru bersama istri yang tidak tahu apa yang sedang terjadi terlihat bingung, Den Bei Wedana lalu menjelaskan cerita perjalanan Raden Mas Sutanta, saat berganti nama menjadi Rapingun....’ Sub judul terakhir berjudul Let Wolung Wulan bertemakan kebahagiaan. Setelah melalui masa-masa sulitnya menjalani kehidupan di masa pengembaraannya. Rapingun menjadi supir taksi dan mengabdi pada Nonyah Hien setelah itu ia mengabdi sebagai supir pribadi Den Bei Asisten Wedana. Pengabdiannya kepada Den Bei diwarnai dengan pengorbanan, Rapingun menunjukan loyalitas pengabdiannya kepada keluarga Den Bei. Raden Mas Sutanta akhirnya menikmati kebahagiaan ia menikah dengan Raden Ajeng Tien setelah mendapatkan pekerjaannya kembali. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut: “Apa iki dina libur, ta?” “Raden Mas Sutanta mangsuli”: “Boten, Bu. Bade njambut damel, nuweni margi Kabupaten ingkang saweg dipun-garap menika.” “Ana njambut gawe kok sangu bodjo. Kowe kok ndadak melu barang ta Tien.”(hlm. 106). Terjemahan: ‘Apa hari ini libur?’ ‘Raden Mas Sutanta menjawab: ‘Tidak, Bu. Mau bekerja, melihat jalan Kabupaten yang sedang dibangun .’ ‘Kerja kok membawa istri. Kamu itu kok ikut segala Tien’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
“Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan”. (hlm. 106). Terjemahan: ‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram merasa sangat beruntung hidup di dunia. Begitu pula Den Bei Wedana beserta istrinya.’ Novel Ngulandara seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya merupakan novel yang masih dipengaruhi oleh zaman Belanda dimana kaum priyayi dianggap lebih terhormat dan lebih memiliki kekuasaan saat itu. Dalam novel ini ditunjukan dengan adanya dialog antara Rapingun dan Den Bei Asisten Wedana saat bertemu di tengah hutan. Rapingun memanggil Den Bei dengan sebutan Ndara. Berikut merupakan kutipan dialog yang terjadi antara Rapingun dan Den Bei Asisten Wedana. “Sarehning taksih gremis, mangga ndara lenggah ngelebet kemawon” “Boten dadi napa” “Boten ndara, mangga lenggah kemawon kula sampun kulina dhateng djawah lan benter, panjenengan kirang prayogi”(hlm. 10). Terjemahan: ‘Karena masih gerimis, silakan Tuan duduk di dalam saja’ ‘Tidak apa-apa’ ‘Tidak Tuan, silakan duduk saja saya sudah terbiasa terkena panas dan hujan, untuk Tuan kiranya kurang baik’ Dialog tersebut sangat terlihat bagaimana seorang yang berpangkat rendah memperlakukan seseorang yang memiliki jabatan yang lebih tinggi. Rapingun yang saat itu hanya seorang supir bersikap sangan sopan dan tidak membiarkan orang yang ia temui tersebut kehujanan. Sebutan ndara yang berarti tuan menjadi ciri etika yang digambarkan dalam novel tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menemukan tema dalam novel Ngulandara secara umum adalah perjuangan hidup dalam pencarian jati diri. Dikatakan perjuangan hidup karena
Raden Mas Sutanta yang
merupakan anak priyayi harus keluar dari kehidupan mewahnya dan rela menjadi sopir merupakan hal yang sulit untuk dilakukan orang yang tidak commit to user terbiasa hidup susah. Pencarian jati diri, Raden Mas Sutanta pergi dari
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
rumah dengan tujuan mencari ketentraman hidup sebab dalam dirinya sedang bergejolak rasa malu karena dipecat dari pekerjaannya, ia juga malu bila harus hidup bergantung kepada orang tuanya, maka ia ingin membuktikan bahwa ia mampu untuk berdiri menggunakan kakinya sendiri, ia mampu menjalani kerasnya kehidupan. Hal yang dilakukan Raden Mas Sutanta tersebut seperti tersirat dalam tembang macapat pocung karya Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh yang berbunyi, ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekesing dur angkara yang bermakna bahwa orang mencari ilmu atau jati diri dengan sarana berusaha mempertahankan jati diri agar terhindar dari bahaya. Bahaya dalam konteks ini adalah keterpurukan yang berkepanjangan karena mengalami kegagalan. Hal tersebut ditunjukkan pada kutipan berikut: “O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang apaapa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup koanggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku, dene lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembar-lembara.” (hlm. 85) Terjemahan: ‘Oh, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, kamu tidak kekurangan suatu apapun. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’ b. Alur Merujuk pada pendapat Stanton alur atau plot adalah jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Pengertian plot diartikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, tetapi setiap kejadian itu dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu menyebabkan peristiwa yang lainnya (2012: 144). Rangkaian kejadian yang menjalin alur meliputi: (1) eksposition; (2) inciting moment; (3) ricing action; (4) compication; (5) climax; (6) falling action; dan commit to user (7) denouement (Waluyo dan Wardani, 2009: 10).
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Eksposition Tahap
eksposition
pada
novel
Ngulandara
karya
Margana
Djajaatmadja ini adalah tahap pengarang memaparkan, memperkenalkan latar cerita, tokoh, waktu dan beberapa sumber konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Awal mula diceritakan Den Bei Asisiten Wedana, istri dan anaknya saat perjalanan pulang menuju Ngadireja mobilnya mengalami kerusakan di tengah hutan daerah setelah dusun Kledung yang terletak di lembah gunung Sumbing dan Sundara yang termasuk dalam dua wilayah yaitu Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut: “Mogokipun oto wau wonten tengah-tengahing bulak, kaprenah sangandaping dusun Kledung. Dene dusun Kledung punika dumunung ing papan ingkang inggil , kleres ereng-erengipun redi Sumbing lan Sundara, wonten saantawisipun Parakan (Temanggung) kalijan Kreteg (Wanasaba). Saking Kledung dateng Parakan utawi Kreteg sami tumurunipun” (hlm: 7). Terjemahan: ‘Rusaknya mobil itu di tengah-tengah hutan, tepatnya di bawah dusun Kledung. Dusun Kledung sendiri terletak di dataran tinggi, di perbukitan gunung Sumbing dan Sundara, berada diantara Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Dari Kledung ke Parakan atau dari Kreteg sama-sama menurun.’ Nama-nama daerah yang digunakan dalam cerita ditemukan bahwa latar tempat kejadian cerita adalah di Jawa Tengah, sebab nama-nama tempat tersebut merupakan nama desa, kecamatan, dan kota di Jawa Tengah. Selain nama-nama tempat tersebut juga ditemukan nama kota Kedungwuni yang terletak di Klaten, dan Surakarta. Pengarang menggambarkan latar sosial kehidupan priyayi pada zaman novel tersebut dibuat dengan menggunakan bentuk nama seperti Raden
Bei,
Raden
Ayu,
dan
Raden
Ajeng,
pengarang
juga
memperkuatnya dengan menggunakan kata sapaan Ndara. Sapaan tersebut digunakan untuk menghormati orang yang dinilai memiliki strata sosial yang lebih tinggi. Hal ini terlihat pada kutipan berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
“Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun rentjang estri, matur: “Menika wonten tamu, Ndara.” “Bendaranipun estri taken:” “Sapa?” “Njonjah Hien Temanggung” (hlm. 15-16). Terjemahan: ‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, memberi tahu:’ ‘Ada tamu, Nyonya.’ ‘Majikan perempuannya bertanya:’ ‘Siapa’ ‘Nyonyah Hien Temanggung’ Pada awal novel juga diperkenalkan tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita yaitu Den Bei Asisiten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Raden Ajeng Supartienah, Rapingun, Kasna, dan Nyonyah Oei Wat Hien yang terlibat dalam tahap eksposition. Pengenalan tokoh ditandai dengan penggambaran bentuk fisik oleh pengarang. Hal tersebut dapat dilihat pada dialog antara Den Bei dengan istrinya yang melihat perawakan Rapingun, sebagai berikut: “Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi” “Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.” “Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?” (hlm. 12). Terjemahan: ‘Menurutku ya sudah, tapi belum tahu, sepertinya supir taksi’ ‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.’ ‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’ 2) Inciting Moment Tahap inciting moment pengarang mulai memunculkan problemproblem yang ditampilkan kemudian ditingkatkan dan dikembangkan. Diceritakan Rapingun yang telah menolong Den Bei memperbaiki mobilnya yang rusak tidak mau diberi imbalan. Den Bei merasa berhutang budi pada Rapingun ia ingin membalasnya suatu saat nanti, ia menghafal plat mobil yang dikendaraicommit Rapingun dengan harapan jika bertemu lagi ia to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
ingin memberikan hak Rapingun. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Overland enggal nututi. Dumugi pratigan, inggih punika pakendelan taksi jen tumudju wantji sijang, sepen, mboten wonten punapapunapa. Prijantun tetiga gela manahipun....” (hlm. 15) Terjemahan: ‘Overland segera menyusul. Sesampainya dipertigaan, yaitu yang menjadi tempat pemberhentian taksi diwaktu siang, sepi, tidak ada apa-apa. Mereka bertiga kecewa hatinya....’ 3) Ricing action Tahapan ini diceritakan permasalahan yang semakin kompleks yaitu saat Rapingun mengantar putri Den Bei yaitu Raden Ajeng Supartienah yang pergi ke Magelang di jalan dihadang oleh Hardjana. Rapingun terluka tangannya karena terkena pukulan Hardjana dan harus dirawat dirumah sakit. Rapingun merasa bingung karena ia telah merasa keluarga Den Bei begitu baik padanya, dalam dirinya ia merasa bersalah karena ia tidak akan dapat menetap di satu tempat. Ia harus tetap mengembara. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan berikut: “Lemes manah kula mboten saking kirang saening lampahipun rah, Ndara” “Lah saka apa?” “Saking kawraten nampeni sih pandjenengan ingkang samanten agengipun.”Witjantenan mekaten punika luhipun Rapingun saja deres wedalipun, amargi saja kraos-raos manahipun” (hlm. 77). Terjemahan: ‘Jantung saya lemah bukan karena kurang lancarnya aliran darah, Tuan’ ‘Lalu karena apa?’ ‘Karena terlalu berat menerima kasih sayang yang Tuan berikan kepada saya. Berkata demikian itu air mata Rapingun semakin deras, karena merasa berat hatinya.” 4) Complication Pada tahap ini merupakan tahap sebelum klimaks sehingga pemicu konflik lebih ditingkatkan lagi. Diceritakan saat di rumah sakit Raden to user Ajeng Tien memberikan commit surat yang ia temukan diantara barang-barang
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
milik Rapingun. Surat itu tak lain adalah surat dari ibu Rapingun atau R.M Sutanta dalam surat itu tersirat kerinduan mendalam ibunya, tetapi Rapingun masih ingin mengembara. Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah curiga
bila
Rapingun
adalah
Raden
Mas
Sutanta.
Ia
tetap
menyembunyikan jati dirinya dari Raden Ajeng Tien. Hal ini membuatnya bingung mengenai apa yang harus ia lakukan, karena ia juga tidak tega meninggalkan keluarga Den Bei yang sangat baik padanya, namun disisi lain mungkin ibu dan bapaknya akan mati dalam kesengsaraan karena menahan rindu padanya, ia memutuskan untuk pergi dari rumah Den Bei dengan alasan mengunjungi orang tuanya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: “Ing batos Raden Adjeng Tien radi eram sumerep pasemonipun Rapingun, boten punapa-punapa. Rumaos tuna panggrajanipun. Ingkang salebetipun manah Raden Adjeng Tien ngunandika, apa saking pintere nutupi, saka wis bisa ngereh atine dewe, apa saka ora ana gegajutaning bab babar-pisan” (hlm. 83). Terjemahan: ‘Di dalam hati Raden Ajeng Tien agak curiga melihat raut muka Rapingun, bukan apa-apa. Merasa kurang memperhatikan. Raden Ajeng Tien berbicara dalam hati, apa karena pandainya dia menutupi, dari kepandainya mengatur hatinya sendiri, atau karena memang tidak ada hubungannya dengan masalah ini.’ “Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal klintjutan, kados tijang ngandut wewados ingkang bade kewijak....” (hlm: 90-91). Terjemahan: ‘Setengah bulan sejak kepulangannya dari rumah sakit, saat Rapingun sendirian ia terlihat sedih, kadang-kadang terlihat gelisah, seperti seseorang yang memiliki rahasia yang akan terbongkar....’ “Nuwun Ndara, saestunipun sampun sawetawis dinten menika kula tansah kengetan dateng tijang sepuh kula. Sampun meh sadasa wulan menika kula mboten tuwi, mangka anakipun namung setunggal til kula pijambak” (hlm: 93). commit to user
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Maaf Tuan, sebenarnya beberapa hari ini saya teringat orang tua saya. Sudah hampir sepuluh bulan ini saya tidak pulang, padahal saya anak satu-satunya. 5) Climax Climax merupakan puncak dari keseluruhan cerita. Semua kisah atau peristiwa yang sebelumnya ditahan untuk ditonjolkan, pada tahap ini semuanya
dikisahkan.
Peneliti
menemukan
climax
pada
bagian
terbongkarnya rahasia Rapingun bahwa ia sebenarnya adalah Raden Mas Sutanta anak dari Raden Mas Gandaatmadja yang pergi dari rumah untuk mengembara. Terbongkarnya identitas Rapingun yang sebenarnya ketika ia berkunjung ke rumah Mantri guru Kedungwuni karena ia bekerja sebagai pengawas di daerah itu. Secara kebetulan Den Bei Asisten Wedana, Raden Ayu Asisten Wedana, dan Raden Ajeng Tien juga berkunjung karena ia adalah Wedana baru di daerah Kedungwuni, pertemuan mereka disambut tangis haru. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Saweg dumugi semanten, konten angin dipun-engakaken saking lebet, njedul R.M Sutanta medal. Sarehning saking nglebet sampun mireng jen wonten tamu, lampahipun kalijan mendak-mendak, nijatipun bade tumut manggihi. Sareng sumerep tamunipun, lampahipun kandeg, ndjeger, ngadeg djegreg. Kados tugu, lajeng tumungkul mboten purun ngawasaken. Tamu-tamu sareng sumerep Raden Mas sutanta, tiga pisan tjep, boten njuwanten ngantos sawetawis dangu” (hlm. 103). Terjemahan: ‘Saat itu, pintu dibuka dari dalam, R.M Sutanta keluar. Dari dalam sudah terdengar kalau ada tamu jadi untuk menghormati jalannya membungkuk, berniat ingin ikut menemui. Setelah mengetahui siapa tamu itu, jalannya terhenti, tertegun, mematung seperti tugu, lalu menunduk tidak berani melihat. Tamu-tamu yang mengetahui itu Raden Mas Sutanta, ketiganya terdiam, tidak bersuara sampai waktu yang lama.’ “Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M Sutanta, Opseter Kabupaten ngriki.” “Den Bei Wedana boten mangsuli, commit to usernamung tansah matitisaken dateng Raden Mas Sutanta.”
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
“Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis: “ O, anakku ngger!” (hlm. 103). Terjemahan: ‘Saya perkenakan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di Kabupaten ini.’ ‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M Sutanta.’ ‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’ ‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan menangis:’ ‘Oh, anakku’ 6) Falling action Tahap falling action merupakan tahap ketegangan konflik telah menurun karena telah mencapai climax. Setelah mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan Raden Mas Sutanta dan mengapa ia berbohong, Den Bei mengerti keadaan Raden Mas Sutanta. Selama menjadi pengawas Raden Mas Sutanta telah memiliki rumah yang baru dan meminta agar Den Bei sekeluarga menginap ditempatnya dan mereka menyetujuinya. Hal itu dapat diihat pada kutipan berikut: “.... Nanging kadadosanipun, Den Bei Wedana ladjeng sipeng wonten ing grijanipun Raden Mas Sutanta, awit Raden Mas Sutanta sampun gegrija pijambak, pirantosing balegrija sampun pepak, tur model enggal sadaja. Dene anggenipun sipeng wonten ing ngriku, inggih saking panedanipun Raden Mas Sutanta iangkang boten kenging dipuntulak” (hlm. 105). Terjemahan: ‘.... Namun yang terjadi, Den Bei Wedana lalu menginap dirumah Raden Mas Sutanta, karena Raden Mas Sutanta sudah memiliki rumah sendiri, perabotan rumah sudah lengkap dan model terbaru. Den Bei menginap karena keinginan Raden Mas Sutanta yang tidak bisa ditolak.’ 7) Denoument Tahap ini berarti penyelesaian dari semua cerita yang berupa akhir cerita. Diceritakan akhir dari novel Ngulandara Raden Mas Sutanta commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
78 digilib.uns.ac.id
akhirnya menikah dan hidup rukun serta bahagia. Terbukti dengan kutipan berikut: “Wiwit dinten punika grijanipun Raden Mas Sutanta kenging kawastanan kalih, ing Pekalongan sarta ing Kedungwuni” (hlm. 105). Terjemahan: ‘Sejak hari itu rumah Raden Mas Sutanta dapat dikatakan ada dua yaitu di Pekalongan dan di Kedungwuni.’ “Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan” (hlm. 106). Terjemahan: ‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den Bei Wedana beserta istrinya.’ Tahapan alur yang telah dijelaskan di atas menunjukkan alur yang digunakan dalan novel Ngulandara adalah alur utama karena dalam penceritaannya digambarkan secara runtut tidak menggunakan alur ganda atau alur sampingan yang menceritakan kisah lain di dalam kisah pengembaraan Raden Mas Sutanta. c. Sudut Pandang Analisis sudut pandang menggunakan teori menurut Abrams bahwa sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (1981: 101). Minderop berpendapat bahwa sudut pandang terbagi menjadi empat golongan yaitu, sudut pandang persona ketiga, sudut pandang persona pertama, sudut pandang campuran, dan sudut pandang dramatik (2005: 31). Novel Ngulandara gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang persona ketiga yaitu pengisahan cerita yang memposisikan pengarang sebagai yang maha tahu dan pengamat. Sudut pandang persona ketiga dalam commit to user menampilkan tokoh-tokoh ceritanya, yaitu dengan menyebut nama seperti
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Raden Mas Sutanta. Sedangkan tokoh pembantu Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru. atau kata gantinya misalkan keng ibu, bocah kae dan lain sebagainya. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini: “Wulan saja minggah, padangipun djingglang, makaten ugi pasemonipun Raden Adjeng Tien lan Rapingun ingkang kataman sunaring rembulan saja nglela, prasasat rembulan kembar” (hlm. 70). Terjemahan: ‘Rembulan semakin naik, terang benderang, begitu pula Raden Ajeng Tien dan Rapingun yang terkena pancaran sinar rembulan semakin jelas, seperti rembulan kembar.’ “Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten Ngahad, wantji djam 5 sonten, Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lelenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben” (hlm. 26). Terjemahan: ‘Selang satu bulan setelah kedatangan Nyonyah Hien, bertepatan hari Minggu pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang duduk di teras belakang sambil minum, minuman seperti biasa.’ d. Latar Peneliti sependapat dengan Stanton bahwa latar adalah lingkungan kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung. Latar dapat memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana seolah-olah sungguhsungguh terjadi (2012: 35). Dengan demikian, pembaca dapat dengan mudah
mengoperasikan
daya
imajinasinya
mengenai
cerita
dan
memungkinkan dapat berperan serta secara kritis dengan pengetahuan mengenai latar sebuah cerita (Sayuti, 2000: 126-127). Selanjutnya untuk commit useryaitu (1) latar tempat, (2) latar lebih memahami latar terbagi atastotiga
perpustakaan.uns.ac.id
80 digilib.uns.ac.id
waktu, dan (3) latar sosial. 1) Latar tempat Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar tempat menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi. Penggunaan nama tempat haruslah tidak bertentangan dengan sifat atau geografis tempat yang bersangkutan, karena setiap latar tempat memiliki karakteristik dan ciri khas sendiri. Latar tempat pada novel Ngulandara terjadi di tengah hutan tepat dibawah dusun Kledung, Parakan, gedung asisten di Ngadireja, Kwijen Pekalongan, Magelang, dan Kedungwuni. Ditengah hutan dibawah dusun Kledung merupakan tempat mobil Den Bei Asisten Wedana rusak, seperti yang tergambar pada kutipan di bawah ini: “Mogokipun oto wau wonten tengah-tengahing bulak, kaprenah sangandaping dusun Kledung. Dene dusun Kledung punika dumunung ing papan ingkang inggil , kleres ereng-erengipun redi Sumbing lan Sundara, wonten saantawisipun Parakan (Temanggung) kalijan Kreteg (Wanasaba). Saking Kledung dateng Parakan utawi Kreteg sami tumurunipun” (hlm. 7). Terjemahan: ‘Rusaknya mobil itu di tengah-tengah hutan, tepatnya di bawah dusun Kledung. Dusun Kledung sendiri terletak di dataran tinggi, di perbukitan gunung Sumbing dan Sundara, berada diantara Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wonosobo). Dari Kledung ke Parakan atau dari Kreteg sama-sama menurun.’ “Ing Kledung punika misuwur atisipun. Dasar angine sumribit, sinembuh gremisipun tanpa kendat....” (hlm. 7). Terjemahan: ‘Di Kledung sudah terkenal dingin. Ditambah angin berhembus perlahan dan gerimis yang tak kunjung usai....’ Latar tempat lain yaitu di perhentian atau pangkalan taksi di Parakan yang biasanya dipakai para supir taksi untuk beristirahat di siang hari. Ketika Den Bei telah sampai di Parakan dan ingin memberikan imbalan atas jasa Rapingun, terlihat pada kutipan berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
81 digilib.uns.ac.id
“Boten dangu saking katebihan ketingal soroting dilah-dilah margi, sumorot manginggil, kados wana kabesmen. Mratandani bilih sampun meh dumugi ing kitha. Ingkang mekaten wau inggih kajektosan, let seprasekawan djam oto sampai di Parakan” (hlm. 14). Terjemahan: ‘Tidak lama dari kejauhan terlihat sinar lampu-lampu jalan, cahayanya ke atas, seperti hutan terbakar. Pertanda bahwa hampir sampai di kota. Ternyata benar berselang 15 menit mobil sampai di Parakan.’ Latar tempat lain yang berpengaruh terhadap kehidupan Rapingun adalah di gedung asisten Ngadireja. Di tempat itu Rapingun dipertemukan kembali dengan Den Bei Asisten Wedana. Ia kemudian mengabdikan diri sebagai supir di sana. Rapingun mengalami banyak kejadian yang membuatnya semakin memahami arti pengembaraannya. Terlihat pada kutipan berikut: “Kaleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngajeng ngasistenan Ngadiredja wonten oto” (hlm. 15). Terjemahan: ‘Bertepatan hari Minggu, kira-kira pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada mobil.’ Di gedung asisten terdapat tempat khusus bagi Den Bei dan keluarganya untuk bercengkrama yaitu di gadri wingking ‘teras belakang’, pataman ‘taman’, ada juga tempat yang digunakan Rapingun yaitu kamar Rapingun dan kandang kuda tempat Rapingun mengajari Hel, kuda milik Den Bei. Tergambar pada kutipan berikut: “....,Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben” (hlm. 26). Terjemahan: ‘....,Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang bersama duduk di teras belakang sambil meminum minuman seperti biasa.’ “Hel mubeng–mubeng takur-takur, ladjeng gulung. Sareng sampun kaping kalih: tangi, dipun-ombeni toja sarem, meh telas saember. commit to user Ladjeng kalebetaken ing gedogan, pakean kabikak” (hlm. 43).
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘….Hel berputar-putar kakinya mengagaruk-garuk tanah, kemudian bergulung-gulung. Setelah kedua kali Hel bangun, diberi minum air garam, hampir habis satu ember. Lalu dimasukkan ke kandang kuda, perlengkapannya dibuka.’ “Rapingun ladjeng wangsul dateng kamaripin kalijan ambekta sindjang kalih sawit. Dene Raden Bei Asisten sekalijan medal dateng plataran ngadjeng, terus lelenggahan wonten ing patamanan” (hlm. 96). Terjemahan: ‘Rapingun lalu kembali ke kamarnya dengan membawa dua kain jarik. Sedangkan Den Bei Asisten beserta istrinya keluar ke halaman depan, kemudian duduk di taman.’ Rapingun juga mengantar Raden Ajeng Tien ke Magelang untuk berkunjung ke rumah Mantri gudang. Pada saat itu bertepatan di Magelang sedang digelar pasar malam. Berikut kutipannya: “Ladjeng kadospundi? Temtunipun dipunadjeng-adjeng.” “Inggih, mila kula bade dateng Magelang. Mangke djam-djam sewelas wangsul, terus dateng Ngadiredja”(hlm. 44). Terjemahan: ‘Lalu bagaimana? saat ini pasti sudah ditunggu ‘Iya, saya akan ke Magelang. Nanti kira-kira pukul sebelas bisa pulang langsung ke Ngadireja.’ Latar tempat yang diambil selanjutnya adalah rumah sakit di Parakan. Di rumah sakit tersebut Rapingun dirawat setelah mengalami cidera lengan saat menolong Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Dapat dilihat pada kutipan berikut: “Dilebokake rumah sakit ngendi ta, Pak?” “Rumah sakit Magelang bae.” “Ora pak betjike ana Parakan bae, bab pangane bisa dikirim saka Kemantren guron, Tien rak isa ngubetake ta?” “Saged Bu”(hlm. 78). Terjemahan: ‘Dibawa ke rumah sakit mana Pak?’ commit to user ‘Rumah sakit Magelang saja’
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
‘Tidak Pak lebih baik di Parakan saja, soal makanan bisa dikirim dari dinas pendidikan, apa Tien bisa mengusahakan?’ ‘Bisa, Bu’ Rumah mantri guru di kampung Kwijen Pekalongan dan rumah Wedana Kedungwuni juga menjadi latar tempat pada novel ini, hari itu Raden Mas Sutanta bertamu ke rumah mantri guru untuk sekedar silaturahmi, namun tidak disangka Den Bei Asisten dan keluarganya juga bertamu karena ia baru saja diangkat sebagai Wedana di Kabupaten Kedungwuni. Dapat dilihat pada kutipan berikut: “Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwidjen sawingking Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru (hlm. 100). Terjemahan: ‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’ “.... Nanging kadadosanipun, Den Bei Wedana ladjeng sipeng wonten ing grijanipun Raden Mas Sutanta, awit Raden Mas Sutanta sampun gegrija pijambak, pirantosing balegrija sampun pepak, tur model enggal sadaja. Dene anggenipun sipeng wonten ing ngriku, inggih saking panedanipun Raden Mas Sutanta iangkang boten kenging dipuntulak” (hlm. 105). Terjemahan: ‘.... yang terjadi, Den Bei Wedana menginap di rumah Raden Mas Sutanta, karena Raden Mas Sutanta sudah memiliki rumah sendiri, perabotan rumah sudah lengkap dan model terbaru. Den Bei menginap karena keinginan Raden Mas Sutanta yang tidak dapat ditolak.’ 2) Latar waktu Latar waktu merupakan segala seuatu yang mengacu pada saat terjadinya peristiwa dalam plot secara historis. Melalui pemerian waktu kejadian yang akan tergambar jelas. Penekanan waktu lebih kepada keadaan hari, misalnya pagi, siang, sore atau malam. Penekanan ini juga berupa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
penunjuk waktu yang telah umum digunakan atau cara lain yang menunjukan waktu tertentu. Novel Ngulandara digambarkan kejadian pada waktu pagi, malam, siang, sore, seperti yang digambarkan pada kutipan di bawah ini: “Endjingipun, sawangsulipun Rapingun saking Parakan, ngeteraken Raden Adjeng Supartienah, Rapingun ladjeng mlebet kamar panjimpenan lapak sapirantosipun sedaja...”(hlm. 30). Terjemahan: ‘Pagi hari sepulang Rapingun dari Parakan, mengantar Raden Ajeng Supartienah, Rapingun masuk ruang penyimpanan pelana dan perlengkapannya....’ “Dalu punika ringgit tijang lampahipun: Resi Brongsong inggih punika murtjanipun Raden Djanaka....” (hlm. 53). Terjemahan: ‘Malam ini wayang orang dengan lakon: Resi Brongsong yang tak lain adalah Janaka.... ‘ “.... Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden Aju Asisten badhe nuweni Rapingun dateng kamaripun, awit wiwit nedha sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem” (hlm. 91). Terjemahan: ‘.... setelah tiga hari, pukul empat sore, Reden Ayu Asisten ingin melihat Rapingun di kamarnya, karena sejak makan siang tadi Rapingun pergi tidur.... ‘ Pengarang menggambarkan kejadian waktu dengan menyebutkan nama hari, seperti pada kutipan berikut: “Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng ngasistenan ngadiredja wonten oto” (hlm. 15). Terjemahan: ‘Bertepatan hari Minggu, kira-kira pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada mobil.’ “Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten Ngahad, wantji djam 5 sonten ,Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben” (hlm. 26). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Selang satu bulan dari kedatangan nyonyah Hien, bertepatan hari Ahad, pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang bersama duduk di teras belakang sambil meminum minuman seperti biasa.’ “Dinten Ngahad pendakipun, langiting ketingal sumilak resik. Dalunipun mentas djawah, dados wit-witan sami ketingal seger, godhongipun ngrembujung idjem rojo-rojo, adamel seketcaning paningal....”(hlm: 32). Terjemahan: ‘Hari Ahad berikutnya, langit terlihat cerah dan bersih. Tadi malam turun hujan, sehingga pepohonan terlihat segar, daunnya hijau, sehingga indah dipandang’ “Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak” (hlm. 43). Terjemahan: ‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada mobil Overland berhenti, tendanya dibuka.’ “Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwijen sawingking Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru” (hlm. 100) Terjamahan: ‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah Mantri guru.’ “Dinten senen djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 taunan” (hlm. 105). Terjemahan: ‘Hari Senin pukul delapan pagi ada mobil Ostin sedan, dikemudikan oleh pemuda, tegap, berumur kurang lebih 25 tahun.’ Pengarang juga menggambarkan kejadian waktu menggunakan keterangan waktu seperti djam setengah enem, let seprasekawan jam, commit to user setengah kalih welas, djam tiga. Digambarkan pada kutipan di bawah ini:
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Njatane nek kaja ngene iki prije hara? Mangka ning tengah bulak, wis djam setengah enem, kathik atise kaja ngene”(hlm. 6). Terjemahan: ‘Kenyataannya kalau seperti ini bagaimana, di tengah hutan, sudah pukul 5.30 dan sangat dingin.’ “Boten dangu saking katebihan ketingal soroting dilah-dilah margi, sumorot manginggil, kados wana kabesmen. Mratandani bilih sampun meh dumugi ing kitha. Ingkang mekaten wau inggih kajektosan, let seprasekawan djam oto sampai di Parakan” (hlm. 14). Terjemahan: ‘Tidak lama dari kejauhan terlihat sinar lampu-lampu jalan, cahayanya ke atas, seperti hutan terbakar. Pertanda bahwa hampir sampai di kota. Ternyata benar selang 15 menit mobil sampai di Parakan.’ “Adate ngantos djam setengah kalih welas saweg kondur....” (hlm. 33). Terjemahan: ‘Biasanya sampai pukul 11.30 sudah pulang.’ “Saben dinten wantji djam tiga utawi sekawan, Raden Adjeng Tien tuwi dateng grija sakit, perlu njekapi punapa kabetahanipun Rapingun. Nanging salebetipun seminggu ingkang kepengker dereng nate Rapingun gadhah paneda punapa-punapa dateng Raden Adjeng Tien....’(hlm. 79). Terjemahan: ‘Setiap hari jam tiga atau empat, Raden Ajeng Tien berkunjung ke rumah sakit, untuk mencukupi keperluan Rapingun. Namun sudah seminggu ini Rapingun belum memiliki permintaan yang aneh-aneh pada Raden Ajeng Tien.... ‘ 3) Latar sosial Latar sosial merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seseorang atau beberapa tokoh dalam masyarakat
yang ada di
sekelilingnya. Status dalam kehidupan sosial dapat digolongkan menurut tingkatannya, seperti latar sosial bawah atau rendah, latar sosial menengah, dan latar sosial tinggi. commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Novel Ngulandara yang pertama terbit tahun 1936 masih menganut sistem novel yang berlatarkan kaum bangsawan atau priyayi. Di novel itu digambarkan
dengan
jelas
status
sosial
masing-masing
tokoh.
Penggambaran latar sosial tinggi ditegaskan dengan penggunaan gelar kebangsawanan yaitu Raden Mas, Raden Ayu, Raden Ajeng, dan Mantri. Gelar tersebut tidak boleh dipakai oleh orang biasa-biasa saja atau orang berlatar sosial rendah misalnya saat Raden Mas Sutanta yang menyamar menjadi supir ia hanya memakai nama Rapingun, Den Bei Asisten Wedana juga mendapat gelar tersebut karena ia menjabat sebagai Asisten Wedana. Pengarang ingin menunjukkan kepada pembaca betapa strata sosial dalam masyarakat sangat penting, menyebut nama saja menggunakan aturan seseorang yang berstrata sosial rendah harus menyebut Ndara yang berarti ’Tuan’ pada seseorang yang berstatus sosial tinggi. Berikut kutipan latar sosial tersebut: “Wonten menapa mas Rap?” “Ndara seten wau tindak pundi?” “Kala wau Ndara Den Ayu ngendika adjeng tindak kemantren guron”(hlm. 33). Terjamahan: ‘Ada apa mas Rap?’ ‘Tuan Asisten tadi mau kemana?’ ‘Tadi Den Ayu berkata mau pergi ke dinas pendidikan.’ e. Amanat Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. Selanjutnya dijelaskan bahwa amanat biasanya berupa nilai-nilai yang dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Amanat adalah ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pendapat tersebut peneiti gunakan sesuai dengan pendapat Ismawati (2013:73).
Adapun
amanat tersebut seperti dalam ungkapan-ungkapan Jawa di bawah ini.
commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Ajining Dhiri Dumunung ing lathi, Ajining Raga Dumunung ing Busana Amanat yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca ialah jangan menilai seseorang dari penampilannya saja, karena belum tentu hal yang demikian tersebut mampu mengungkapkan kepribadian seseorang dengan benar. Hal itu sesuai dengan pitutur luhur Jawa ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana maksudnya seseorang akan dihargai berdasarkan apa yang melekat pada tubuh dan jiwanya. Pada tubuh misalkan pakaian. Pakaian pada manusia terdiri atas dua yaitu pakaian lahir dan batin. Pakaian lahir berwujud kain, seseorang tidak harus berpakaian mewah namun cukup sederhana bersih dan sopan, sedangkan pakaian lahir berupa ilmu dan keluhuran
budi
yang
mampu
membawa
seseorang
dihormati.
Hendaknya setiap manusia memiliki kedua pakaian tersebut. Hal ini tampak pada kutipan berikut: “Awit sanadyan tjlananipun bregas, nanging sami ketingal pating dlemok tilas kenging lisah, tur rambutipun morak-marik, memper jen namung sopir taksi. Langkung-langkung manawi ngengeti anggenipun nyebut ndara. Ewadene ing manah dereng sreg” (hlm. 9). Terjemahan: ‘Walaupun celananya baik, tetapi terlihat cemong seperti terkena minyak, dan rambutnya acak-acakan, pantas jika hanya seorang supir taksi. Lebih-lebih mengingat ia menyebutnya (Den Bei) Tuan. Namun dalam hati belum yakin.’ 2) Sepi Ing Pamrih Rame ing Gawe Sepi ing pamrih rame ing gawe maksudnya sesuatu haruslah dikerjakan dengan ikhlas tanpa mengarap imbalan. Jika diperlukan harus rela berkorban demi tanggung jawab yang yang diberikan. Dalam novel ini disampaikan pula pengabdian yang tanpa pamrih. Saat kita mengabdikan diri kita harus rela berkorban. Seperti yang dilakukan Rapingun saat menjaga Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Tokoh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
89 digilib.uns.ac.id
Rapingun memberikan teladan rela berkorban demi keselamatan majikannya: berikut kutipan yang menunjukkan hal tersebut: “Apa kowe ora kuwatir mungsuh wong loro mau?” “Awit saking setya kula dateng bendara, boten wonten sumelanging manah sekedik-kedika. Alit sakit, agengipun pedjah dereng mantramantra nimbangi sihipun Bendara Seten sekalijan dateng kula.” (hlm. 73) Terjemahan: ‘Apa kamu tidak takut menghadapi dua musuh tadi?’ ‘Karena kesetiaan saya kepada Raden Ajeng Tien, tidak ada kekhawatiran sedikitpun. Kecilnya menjadi sakit, besar bisa sampai mati belum dapat menandingi belas kasih yang diberikan Tuan Asisten dan keluarga kepada saya.’ 3) Sepira Gedhening Sengsara yen Tinampa amung dadi Coba Pengarang melalui tokoh Raden Mas Sutanta ingin menunjukkan bahwasannya saat mengalami kegagalan jangan hanya duduk meratapi kegagalan tersebut, bangkit dan carilah ilmu agar kesalahan yang lalu tidak terulang kembali, karena Tuhan pasti memiliki rencana yang lebih baik. Segala sesuatu yang disikapi dengan ikhlas akan mudah dijalani. Raden Mas Sutanta yang dipecat dari pekerjaannya memilih pergi dari rumah untuk mengembara mencari ketenangan dan ilmu-ilmu kehidupan banyak kesusahan dan kebahagiaan ia alami hingga akhirnya ia menemukan kebahagiaan yaitu dengan mendapatkan pekerjaannya kembali dan menikah dengan Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya: “O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang apaapa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup koanggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku, dene lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembar-lembara.” (hlm. 85). Terjemahan: ‘Oh, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, tidak kekurangan suatu apapun kan. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’ “Apa iki dina libur, ta?” commit to user “Raden Mas Sutanta mangsuli:”
perpustakaan.uns.ac.id
90 digilib.uns.ac.id
“Boten, Bu. Bade njambut damel, nuweni margi Kabupaten ingkang saweg dipun-garap menika.” “Ana njambut gawe kok sangu bodjo. Kowe kok ndadak melu barang ta Tien”(hlm. 106). Terjemahan: ‘Apa hari ini libur?’ ‘Raden Mas Sutanta menjawab:’ ‘Tidak, Bu. Mau bekerja, meninjau jalan Kabupaten yang dibangun saat ini.’ ‘Kerja kok mmbawa istri. Kamu itu kok ikut segala Tien.’ “Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan” (hlm. 106). Terjemahan: ‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den Bei Wedana beserta istrinya.’ 2. Analisis Penokohan Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja Tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams, 1981: 20). Di antara tokoh dan kualitas pribadinya berkaitan erat dengan penerimaan pembaca. Perbedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Sebagai karya fiksi, novel merupakan suatu bentuk karya kreatif, maka pengarang dapat mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan kreativitasnya. Penokohan terbagi atas beberapa jenis yaitu tokoh protagonis, antagonis, sentral, peripheral, kompleks dan sederhana (Sayuti, 2000: 67). Penggambaran tokoh dapat dianalisis menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik pengarang langsung memaparkan tentang watak tokoh atau karakter tokoh. Sedangkan metode dramatis pengarang tidak menggambarkan watak tokoh secara langsung tetapi dapat disampaikan dengan cara: (1) pilihan commit tofisik user tokoh, cara berpakaian, tingkah nama tokoh, (2) melalui penggambaran
perpustakaan.uns.ac.id
91 digilib.uns.ac.id
laku, dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain, (3) melalui dialog, baik dialog tokoh dengan tokoh-tokoh lain atau dengan dirinya sendiri (Semi, 1993: 38). Tokoh dalam novel Ngulandara enam belas tokoh. Tokoh-tokoh tersebut secara garis besar menjadi subjek dan pencerita yang diceritakan. Tokoh dalam novel ini ialah Rapingun/ Raden Mas Sutanta Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru. Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan jenis dan teknik penggambaran tokoh dalam cerita. a. Rapingun/ Raden Mas Sutanta Tokoh Rapingun merupakan tokoh sentral atau tokoh utama karena tokoh Rapingun selalu ada dalam setiap peristiwa, novel ngulandara sendiri secara garis besar menceritakan perjalanan dan pengalaman pengembaraan tokoh Rapigun atau Raden Mas Sutanta. Lebih lanjut tokoh Rapingun merupakan tokoh kompleks karena seluruh sisi kehidupannya diceritakan dalam peristiwa cerita. Tokoh Rapingun merupakan tokoh protagonis karena di dalam cerita ia membawakan misi-misi kebenaran dan ajaran moral, ia digambarkan sebagai seseorang yang berbudi luhur dan suka menolong tanpa pamrih. Dalam khasanah kebudayaan Jawa tokoh Rapingun seperti pepatah sepi ing pamrih rame ing gawe yang bermakna bahwa dalam menanamkan kebaikan kepada orang lain kita tidak perlu mengharapkan imbalan apalagi imbalan yang bersifat material. Meninggalkan kesan baik kepada orang yang ditolong harganya akan lebih mahal daripada pamrih yang lain. Berikut kutipannya: “Ya ora ngalem ngono, wong njatane. Kono pikiren. Ing atase durung nganti di-endeg kok mandeg dewe! Ora dijaluki tulung, bandjur nulungi. Duwe pangeman menjang bapakmu, dening kegremisan, tur tembunge kaja ngono mau, hara ta andak watak kaja ngono mau dumunung angger uwong”(hlm. 12-13). Terjemahan: ‘Bukannya memuji, memang kenyataannya commit to user begitu. Coba pikirkan, belum sampai disuruh berhenti sudah berhenti. Tidak dimintai tolong malah
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menolong, bahkan langsung menawarkan bantuan. Punya rasa kasihan pada ayahmu, karena kehujanan, bahkan kata-katanya tadi, apakah sikap seperti itu ada pada setiap orang.’ “Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi sugih kaprawiran” “ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.” “Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa samangsa deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13). Terjemahan: ‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti banyak keterampilannya ‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’ ‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan, atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’ Tokoh Rapingun juga digambarkan sebagai tokoh yang sopan, giat bekerja, dan tekun. Seperti unen-unen Jawa sapa tekun golek teken bakal tekan maksudnya barang siapa tekun dalam mencari ilmu atau tekun dalam mengapai keinginan maka suatu saat akan mendapatkannya. Seperti saat Rapingun bertemu Den Bei menunjukkan seseorang yang sopan dengan bertanya mengapa Den Bei berhenti di tengah hutan. Giat bekerja dan tekun ia tunjukan saat bekerja di rumah Den Bei dan melatih Hel kuda yang liar karena jarang dipakai diperkuat dengan pernyataan Nyonyah Hien yang memuji kepribadian Rapingun. Hal itu semata-mata dilakukannya untuk mencari jati dirinya dalam pengembaraan. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini: “Punapa ndara, kendel wonten ngriki?” Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep (hlm. 9). Terjemahan: ‘Kenapa Tuan berhenti di sini?’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93 digilib.uns.ac.id
‘Lelaki itu turun dari mobil lalu memperhatikan orang yang bertanya. Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan santunnya bagus. “Boten saestu kok Den Aju.Tijang kula samenika menika boten kados sopir sanes-sanesipun. Watakipun alus, temen, prigel, gematosipun dateng oto inggih boten djamak. Mila oto wau ketingalipun inggih kintjlongkintjlong adjegan. Lengganan mindak katah. Dalah para lengganan kemawon sami ngalem. Pantjen pijambakipun saged nudju manahipun lengganan” (hlm. 20). Terjemahan: ‘Tidak, sungguh Den Ayu. Si Rapingun itu tidak seperti supir lainnya. Wataknya halus, tekun, pandai, dan perhatian dengan mobilnya. Oleh karena itu mobil saya terlihat kinclong sekali. Langganan semakin banyak. Para langganan saya selalu memujinya kok. Dia memang pandai mengambil hati langganan.’ “O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akehakeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake” (hlm. 27). Terjemahan: ‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainnya, tidak akan ada yang sama, biasanya supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi, membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu memuaskan.’ “Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun, temtu saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken kalijan panggraitaning kapal” (hlm. 40). Terjemahan: ‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang jinak, tentu dapat berjalan demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu sendiri.’ Selain itu Rapingun juga berwatak rela berkorban, hal ini selaras dengan cerita wayang Bambang Ekalaya. Bambang commit to user Ekalaya atau Palgunadi adalah
perpustakaan.uns.ac.id
94 digilib.uns.ac.id
kesatriya yang pandai memanah ia ingin sekali menjadi murid dari guru Durna, namun Durna sudah berjanji tidak menerima murid selain Pandawa dan Kurawa sehingga ia menolaknya. Palgunadi kemudian membuat patung yang menyerupai Durna agar dalam berlatih memanah ia seperti diawasi oleh Durna, hasilnya dia menjadi pemanah yang sangat hebat. Singkat cerita karena kecemburuan Arjuna pada kepandaian Palgunadi maka guru Durna meminta syarat pada Palgunadi ia mau menerimanya menjadi murid namun ibu jari tangan kanan Palgunadi harus dipotong untuk syarat itu. Hal ini dapat terlihat ketika Rapingun menolong Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana ia rela terluka tangannya untuk melindungi yang menjadi tanggung jawabnya serta tetap menjunjung tinggi norma kesusilaan dalam keadaan gentingpun Rapingun tetap menjaga sikapnya sebagai seorang supir. Berikut kutipannya: “Hardjana ngembat tosanipun gligen kaangkahaken ing sirahipun Rapingun. Sarehning Rapingun sampun mboten saged mingser malih, tanganipun tengen ingkang saweg njepeng setir kepeksa kangge anjagi sirah, setir kapepet dada, oto mampah, pres, tanganipun Rapingun kagebag saking wingking dening Hardjana.” (hlm. 66). Terjemahan: ‘Hardjana mengambil besi diarahkan ke kepala Rapingun. Rapingun tidak dapat menghindar lagi, tangan kanannya yang harusnya memegang kemudi terpaksa ia gunakan untuk melindungi kepala, dadanya ia gunakan untuk menjaga kemudi, mobil berjalan dan tangan Rapingun terkena pukulan Hardjana dari belakang.’ “Raden Adjeng Tien ngertos jen Rapingun anggenipun boten purun kablebed setagenipun punika namung saking pekewed. Sampun ngantos nama, murang tata, minggahipun nerak kasusilan, mila milih bade kablebed tjatokipun tjutjal kemawon” (hlm. 69). Terjemahan: ‘Raden Ajeng Tien mengerti alasan Rapingun tidak ingin dibalut dengan stagen miliknya karena sungkan. Jangan sampai melanggar nilai kesusilaan dan tata krama, oleh karena itu ia memilih dibalut dengan ikat pinggang celananya saja.’ Tokoh Rapingun juga memiliki loyalitas yang tinggi sekali ia mengabdi ia akan melakukan yang terbaik untuk majikannya. Hal yang dilakukan Rapingun commit to user yang selalu setia memberikan sama halnya dengan Punakawan abdi Pandawa
perpustakaan.uns.ac.id
95 digilib.uns.ac.id
nasehat-nasehat bijak walaupun sebenarnya mereka adalah seorang yang linuwih namun kecintaannya kepada tuannya membuat mereka mengesampingkan hal itu. Rapingun adalah seorang bangsawan namun demi mencapai pencarian jati dirinya ia mengembara apapun ia lakukan untuk tuannya walaupun itu membahayakan nyawanya. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut: “Apa kowe ora kuwatir mungsuh wong loro mau?” “Awit saking setya kula dateng bendara, boten wonten sumelanging manah sekedik-kedika. Alit sakit, agengipun pedjah dereng mantramantra nimbangi sihipun Bendara Seten sekalijan dateng kula” (hlm: 73). Terjemahan: ‘Apa kamu tidak takut menghadapi dua orang tadi?’ ‘Karena kesetiaan saya kepada Raden Ajeng Tien, tidak ada kekhawatiran sedikitpun. Kecilnya menjadi sakit, besar bisa sampai mati belum dapat menandingi belas kasih yang diberikan Tuan Asisten dan keluarga kepada saya.’ Penggambaran tokoh Rapingun dalam novel Ngulandara dilakukan secara analitik dan dramatik. Adapun uraian analisisnya sebagai berikut: 1) Analitik Secara analitik terihat dengan penggambaran watak yang dilakukan pengarang secara langsung dengan meliht pada penggambaran fisik Rapingun sebagai pemuda tampan. Selain itu pengarang juga menunjukkan sifat Rapingun yang baik dan sopan melalui prolog dalam novel yang menyebutkan bahwa Rapingun adalah seseorang yang sangat menghargai wanita terutama pada Raden Ajeng Tien yang merupakan tanggung jawabnya saat itu. Pengarang juga menggambarkan bentuk fisik Rapingun yang memiliki memiliki ciri khusus lesung pipi. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Keleres ing dinten Minggu, ing kampung Kwijen sawingking Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6 P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru” (hlm. 100). Terjemahan: ‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, commit to user lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
“Dinten Sebtu djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 tahun. Tjlananipun idjem, ngangge setiwel sawo mateng, sawitan kalijan sepatunipun, rangkepanipun rasukan sutra lurik, kawingkis dumugi sikut, rambutipun pating prentel mewahi wenesing tjahja. Dene ingkang linggih ing kiwanipun, prijantun estri, umur-umuranipun dereng langkung saking wolulasan taun, pasemonipun mbranjak, pantes lan badanipun lendjang kepara alit sekedik” (hlm. 105). Terjemahan: ‘Hari Sabtu pukul delapan pagi ada mobil sedan Ostin dikendarai oleh lelaki muda, tegap, umurnya kurang lebih 25 tahun. Celananya hijau, memakai kaus kaki sawo matang, serasi dengan sepatunya, pakaiannya sutra lurik, dilipat sampai siku, rambutnya ikal. Sedangkan yang berada di sisi kirinya, seorang wanita umurnya belum lebih dari delapan belas tahun, raut wajahnya bahagia, dan badannya tinggi agak kecil.’ “Boten dangu Kerta dateng ngirid sopir. Sapanduran Raden Bei Asisten Wedana radi pangling dateng sopir wau, amargi panggenanipun beda kalijan kala pinanggih wonten Kledung. Kala semanten pantalon, gundulan. Samangke tjara Mataram. Udengipun blangkon udan-riris bjur, rasukanipun surdjan ketan ireng, sindjangipun kawung beton Ngajodjan. Nanging sareng sumerep dekoking pipinipun, boten pangling, mila enggal dipun-atjarani” (hlm. 22). Terjemahan: ‘Tidak lama Kerta datang bersama supir itu. Sekilas Raden Bei Asisten Wedana tidak mengenali supir itu, karena pakaiannya berbeda sekali, ketika bertemu di Kledung. Saat itu pantalon tanpa lengan. Sekarang menggunakan cara Mataraman. Blangkon udan-riris membujur, bajunya surjan hitam ketan, jaritnya kawung corak Yogyakarta. Tetapi setelah mengetahui lesung pipinya ia langsung teringat dan mengenalinya, oleh karena itu langsung memulai pembicaraan.’ “Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep. Jen kaanggepa sopir limrah boten pantes” (hlm: 9). Terjemahan: ‘Lelaki itu lalu turun dari mobil memperhatikan orang yang bertanya. Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya orangnya agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan commit to user santunnya bagus. Jika dianggap sebagai supir tidak pantas’
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
“Rapingun ladjeng minggah ing bak ngadjeng sisih tengen. Linggihipun mepet nengen, ing pangangkah sampun ngantos nggepok badanipun Raden Adjeng Tien. Mangka kawontenanipun bak taksih kobet. Dados ingkang mekaten wau boten sanes namung kangge rumeksa ing bendara lan netepi tata krama” (hlm. 46). Terjemahan: ‘Rapingun lalu naik di jok sebelah kanan. Duduknya merangsek ke kanan, dengan harapan jangan sampai menyentuh badan Raden Ajeng Tien. Padahal keadaan jok masih longgar. Kejadian yang demikian tersebut hanya untuk menjaga martabat majikannya dan menjaga tata krama.’ Tokoh Rapingun digambarkan memiliki keahlian dalam melatih kuda. Pada zaman novel ini dibuat bukan orang biasa yang mampu memiliki kuda, hanya orang-orang terpandang yang mampu membelinya. Keahlian Rapingun melatih kuda tentu karena sikapnya yang selalu optimis dan selalu yakin atas segala sesuatunya. Hal ini dapat terlihat saat ia melatih kuda milik Den Bei, karena kuda tersebut tidak dilatih dengan benar sehingga saat ini cenderung liar. Berikut kutipannya: “Hel sampun wanuh dateng Rapingun. Mila sareng Rapingun dateng ladjeng gereng-gereng, endasipun dipun-angluhaken ing slarak kalijan ngambus-ambus tanganipun Rapingun, dene pisang dereng dipuntedakaken. Rapingun ladjeng mepet ing gedogan. Sirah lan badanipun dipun-ambus-ambus sajada, kados adat sabet. Hel gentos dipun-elus-elus saking tjitak ngantos dumugi djalakipun. Samangke tjeta bilih Hel boten namung wanuh kalijan piyambakpun, nanging kenging dipun-wastani sampun andjilma” (hlm. 33). Terjemahan: ‘Hel sudah menurut pada Rapingun. Saat Rapingun datang Hel mendengus-dengus, kepalanya dijulurkan keluar dan menciumi tangan Rapingun, tetapi pisang belum diberikan. Rapingun lalu mendekat ke kandang. Kepala dan badannya diciumi oleh Hel seperti biasa. Hel kemudian dielus-elus dari leher hingga punggung. Demikian itu menunjukkan bahwa Hel bukan hanya menurut tetapi sudah jinak.’ Tokoh Rapingun bukan hanya pandai dalam mengambil hati orang lain dengan sikapnya yang baik. Ia juga memiliki sikap yang selalu waspada serta mempersiapkan diri atas berbagai kemungkinan yang terjadi. Pengarang user seseorang harus selalu waspada mencoba menyampaikan pesancommit bahwa to sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
terhadap segala kemungkinan yang terjadi seperti pesan R. Ranggawarsita dalam karyanya serat Kalatidha bahwa amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane wong kang lali,luwih begja kang eling kelawan waspada. Di dunia ini banyak hal tidak terduga melalui tokoh Rapingun pengarang ingin menyampaikan agar pembaca selalu waspada terhadap segala kemungkinan. Seperti yang terlihat pada kutipan berikut ini: “ Rapingun ingkang kapatah ing lurahipun kapurih momong putranipun, boten tilar weweka. Sesolah-tingkahipun djedjaka kekalih, ingkang andadosaken bijasipun Raden Adjeng Tien sampun kesumerepan sadaja. Rapingun saja migatosaken kawontenan punika, saparipolahipun djedjaka kekalih tansah kalirik. Nanging Rapingun pantjen sugih gelar, sadaja kaprajitnanipun boten ketawis babar pisan, ngantos ketingal kados lare boten open lan bodo banget, saged ugi ingkang dipun-emba kados ambeging sinatrija” (hlm. 56). Terjemahan: ‘Rapingun yang diberi kewajiban oleh majikannya untuk menjaga putrinya sangat bertanggung jawab. Semua tingkah laku kedua pemuda, yang menjadikan Raden Ajeng Tien pucat sudah diketahui. Rapingun semakin memperhatikan keadaan itu, apapun gerak-gerik pemuda itu selalu diawasi. Tetapi Rapingun memang pandai, semua tindakannya itu tidak terlalu mencolok, tidak ketahuan, ia seperti anak bodoh tidak tahu apaapa.’ Tokoh Rapingun dinilai pandai dalam menyembunyikan perasaannya walaupun ia sedang sedih ia tetap terlihat tenang dan bahagia di depan orang lain, agar orang-orang disekitarnya tidak khawatir padanya. Hal ini lebih kepada falsafah orang Jawa mikul dhuwur mendhem jero yang bermakna bahwa segala sesuatu yang bersifat pribadi tidak boleh ditunjukkan kepada orang lain. Tokoh Rapingun melakukan hal itu karena tidak ingin rahasianya terbongkar, jika Raden Ajeng Tien tau bahwa ia adalah Raden Mas Sutanta maka ia akan diperlakukan berbeda olehnya. Berikut kutipannya: “Kados ingkang katjarijos ing ngajeng, Rapingun pantjen baut nutupi ewed pekeweding manahipun, langkung-langkung pasemonipun ingkang tansah padang, punika dados tameng ingkang kandel sanget” (hlm. 91). commit to user
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Seperti yang telah diceritakan di depan, Rapingun memang pandai menutupi suasana hatinya, terlebih raut wajahnya yang selalu bahagia, sehingga dapat menjadi tameng yang tebal untuknya.’ 2) Dramatik Penggambaran
dari
segi
dramatik
dilakukan
dengan
tidak
menggambarkan watak tokoh secara langsung tetapi disampaikan dengan cara piihan nama tokoh, penggambaran fisik tokoh, cara berpakaian, tingkah laku dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain serta melalui dialog, baik dialog dengan tokoh lain maupun dialog dengan dirinya sendiri. Pemberian nama tokoh oleh pengarang sangat menunjukkan identitas tokoh Rapingun yang sebenarnya bernama Raden Mas Sutanta. Penyamarannya sebagai seorang pribumi atau wong cilik ia bernama Rapingun pengarang tidak menggunakan nama Raden Mas Sutanta karena gelar Raden Mas hanya dipakai oleh seorang priyayi. Jika menggunakan nama tokoh Raden Mas Sutanta maka penyamarannya akan terbongkar. Perbedaan tersebut tergambar dalam peristiwa saat tokoh Rapingun masih menyamar dan sesudah penyamaran tersebut Kerta memanggil dengan sebutan berbeda dan tingkat bahasa yang berbeda pula. Berikut kutipannya: “Ampun mas Rap, ampun. Rijin di-limani, kok sakniki adjeng di-idjeni. Blai mengke.” “Di-idjeni pripun, ta. Rak enggih di-loroni ta kalih sampejan.” (hlm. 34) Terjemahan: ‘Jangan mas Rap jangan. Dulu saja berlima kok sekarang mau sendirian. Bahaya nanti.’ ‘Bagaimana bisa sendiri, kan berdua sama kamu.’ “Hus, hus Ta adja gemblung lo!” “Boten Ndara Rap e kesupen Ndara Seter.” “Kerta angger di-elikake malah mbambung.” “Kula kengetan saweg wonten Ngadiredja, kok Ndara.”(hlm. 106). Terjemahan: ‘Eh Ta jangan gila ya!’ ‘Tidak Tuan Rap, e lupa Tuan Seter.’ ‘Kerta kalau dinggatkan semakin commitmenjadi-jadi.’ to user ‘Saya teringat saat di Ngadireja kok Tuan.’
perpustakaan.uns.ac.id
100 digilib.uns.ac.id
Penggambaran fisik, tokoh, cara berpakaian tingkah laku dan sikapnya ditunjukan dengan dialog antar tokoh. Tokoh Rapingun digambarkan seseorang yang berbudi pekerti halus, sopan dalam berpakaian, sopan dalam perkataan. Pengarang mencoba menyampaikan pesan bahwa seseorang akan dihargai dan dihormati berdasarkan perkataan yang baik, dan cara berpakaian yang sopan. Hal itu sesuai dengan falsafah Jawa ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunug ing busana. Seperti digambarkan dalam cerita bahwa Rapingun dengan pakaiannya yang seperti supir, ia dianggap sebagai seorang supir. Orang akan mengargai dan menilai sesuatu dari apa yang dilakukan. Hal itu tergambar dalam kutipan berikut: “Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi” “Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.” “Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?” (hlm. 12). Terjemahan: ‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’ ‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan.’ ‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’ “O, Ndara, kula tadah deduka, boten pisan-pisan rumaos kekirangan menapa-menapa sadangunipun kula suwita wonten ngarsa pandjenengan. Malah kosok wangsulipun, rumaos kawratan tampi sih kadarman pandjenengan sekalijan mekaten ugi saking Ndara Adjeng Tien.” (hlm. 93) Terjemahan: ‘Oh, Tuan, saya salah, saya tidak pernah kekurangan suatu apapun selama saya mengabdi kepada Tuan. Sebaliknya saya merasa terbebani menerima belas kasih sayang Tuan sekeluarga begitu pula dari Ndara Ajeng Tien.’ “Ah, dikapak-kapakna kae botjah kuwi jen bagus patrap-patrape kok ja luwes. Matjak tjara Sala, kok ja kaya prijaji Sala” “Jen pinudju ngangge pantalon, plek setiden, tindak-tandukipin anggenipun bregas inggih matuk lan panganggenipun”(hlm. 96). Terjemahan: ‘Ah, bagaimanapun anak itu kalau sudah tampan tingkah lakunya juga luwes. Berpakaian gaya Solo, kok ya seperti priyayi Solo’ commit to user
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
‘Saat menggunakan pantalon, persis setiden, gagah cocok dengan pakaiannya’ Tokoh Rapingun merupakan tokoh yang selalu waspada terhadap segala situasi. Ia telah mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi. Hal ini seseuai
dengan
syair
pada
tembang
macapat
sinom
karya
R.Ng.
Ranggawarsita, sak begja begjane wong kang lali isih begja wong kang eling kalawan waspada, maksudnya eling’ingat berarti ingat kepada Tuhan Yang Maha Mengawasi, waspada maknanya harus berhati-hati terhadap manusia lain yang bisa menjerumuskan. Berikut kutipannya: “Sing ko-anggo ngantem Hardjana karo Suratna mau apa?” “Sendok ban. Menapa ingkang setunggal wau namanipun Suratna?” “Ija. Nanging aku gumun, dene kowe kok oleh sendok ban.” “Tijang sampun sedija wiwit pangkat saking Magelang” “Dadi kowe wis nyedijani wiwit ana Magelang?” “Inggih” (hlm. 72). Terjemahan: ‘Apa yang kamu gunakan untuk menghantam Hardjana dan Suratna tadi?’ ‘Sendok ban. Apa yang satunya tadi bernama Suratna?’ ‘Iya. Tapi saya bingung, darimana kamu mendapat sendok ban.’ ‘Saya sudah menyediakannya sejak berangkat dari Magelang’ ‘Jadi kamu sudah menyediakannya mulai dari Magelang?’ ‘Iya’ Penting
bagi
seseorang
untuk
memiliki
keterampilan
setelah
digambarkan memiliki keahlian mengendalikan kuda tokoh Rapingun digambarkan memiliki keahlian memperbaiki mobil. Hal itu ditunjukkan ketika tokoh Rapingun membantu tokoh Den Bei memperbaiki mobilnya yang rusak di tengah hutan. Rapingun yang saat itu kebetulan melintas di daerah Kledung melihat ada mobil yang berhenti di tengah hutan, bukan hal yang biasa kejadian demikian tersebut. Oleh karena itu Rapingun berhenti dan menanyakan apa yang terjadi, benar saja mobil itu sedang rusak dan pemiliknya tidak dapat memperbaikinya. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini: “Punapa kepareng kula bikak?” “Engga, engga!” commit to user “Na, padangana nganggo rek ja Na!”
perpustakaan.uns.ac.id
102 digilib.uns.ac.id
“Enggih.” “Nanging ngati-ati, adja ketjedaken, awit tenge (wadah bensin) oto iki ana ngarep, jen ana pipa sing borot barang”(hlm. 10). Terjemahan: ‘Apa boleh saya buka?’ ‘Silakan’ ‘Na, terangi pakai korek api ya Na.’ ‘Iya’ ‘Tapi hati-hati, jangan dekat-dekat karena tangki bensin mobil ini ada di depan, nanti kalau ada saluran yang bocor’ b. Raden Bei Asisten Wedana/ Den Bei Wedana Tokoh Den Bei merupakan tokoh protagonis yang mana ia membawa pesan moral yang sangat penting bahwasannya memperlakukan bawahan seperti keluarga sendiri karena mengingat bawahan atau pembantu yang melayaninya dengan sepenuh hati maka ia harus membalas demikian. Hal itu ditunjukkan dengan kasih sayangnya kepada Rapingun. Walaupun hanya seorang supir namun karena pengabdian Rapingun yang tulus ikhlas kepada keluarga Den Bei maka Den Bei memberikan balasan yang setimpal. Sesuai dengan pepatah Jawa rugi satak bathi sanak yang berarti rugi material tidak masalah namun keuntungan yang berupa persaudaraan dan pengabdian tak ternilai harganya. Berikut kutipannya: Rehning Rapingun sampun ketingal tentrem manahipun, Raden Bei Asisten ladjeng dawuh:”Betjike kowe sesuk tak gawa menjang rumah sakit bae, Rap.” “Inggih, ndara, kados seketja manggen ing grija sakit “ “Apa ora diopeni dewe ta Pak?” “Awake dewe mangsa ngertia, bareng dokter rak bisa weruh terang” (hlm. 75) Terjemahan: ‘Karena Rapingun sudah terlihat tenang, Raden Bei Asisten lalu berkata:’ ‘Sebaiknya besuk kamu dibawa ke rumah sakit saja, Rap.’ ‘Iya Tuan, lebih baik berada di rumah sakit.’ ‘Apa tidak dirawat sendiri saja Pak?’ ‘Kita kan tidak tahu, kalau dokter bisa tahu dengan jelas.’ Tokoh Raden Bei Asisten Wedana merupakan tokoh peripheral karena commit to user tokoh ini hanya mendukung tokoh utama dalam menyampaikan maksud cerita.
perpustakaan.uns.ac.id
103 digilib.uns.ac.id
Hal ini terlihat ketika Den Bei meminta kepada Nyah Hien bahwa Rapingun ingin dijadikan supir pribadinya dan lagi tokoh Den Bei menjelaskan kepada Mantri guru bahwa Raden Mas Sutanta adalah seseorang yang menyamar menjadi supirnya yaitu Rapingun. Berikut kutipannya: “Den Bei Mantri guru sekalijan ingkang meksa dereng ngertos larahlarahipun ketingal lingak-linguk. Den Bei Wedana ladjeng ngandaraken lelampahipun Raden Mas Sutanta, nalikanipun santun nama Rapingun. Sanadyan boten djlentreh, nanging tjeta saged ngertosaken dateng ingkang mireng, kadospundi gandenganipun Raden Mas Sutanta kalijan Wedana ing Kedungwuni enggal wau....”(hlm. 104). Terjemahan: ‘Den Bei Mantri guru dan istrinya yang tidak tahu apa apa bingung melihat apa yang sedang terjadi. Den Bei Wedana kemudian menjelaskan bagaimana kisah Raden Mas Sutanta, ketika berganti nama menjadi Rapingun. Walaupun tidak terlalu lengkap, tetapi jelas menggambarkan bagaimana hubungan Raden Mas Sutanta dengan Wedana Kedungwuni baru itu.... ‘ Den Bei merupakan tokoh yang baik hati, memiliki rasa balas budi dan tidak mudah panik sehingga tokoh tersebut dapat dikategorikan ke dalam tokoh kompleks, hal ini terlihat kepada ketenangan tokoh Den Bei saat berada dalam kesusahan. Selanjutnya tokoh Den Bei berniat memberikan imbalan kepada tokoh Rapingun sejumlah uang ketika ditolak justru ingin menambah imbalannya. Seperti tergambar pada kutipan berikut: “Sawise, keprije, lah ja kudu nrima. Mengko jen ana oto saka Wanasaba utawa Parakan sing wis ngglondhang, ja pada nunggang kuwi bae.” (hlm. 6). Terjemahan: ‘Mau bagaimana lagi, ya harus menerima. Nanti kalau ada mobil dari Wonosobo atau Parakan yang sudah kosong naik itu saja’ “Ning rasane kok kurang kepenak, wong ditulungi kok malah ngenakenak”(hlm. 10). Terjemahan: ‘Tapi rasanya kurang sopan diberi pertolongan kok malah enak-enakan.’ “Mau arep tak wenehi seringgit, rumangsaku wis memper. Nanging sopir commit to user mau durung nganti weruh pira anggonku menehi. Dadi tetep wae ora
104 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gelem nampani. Ja memper wong iku jen bagus, dasar watake alus, mesthi sugih kaprawiran” “ Ah bapak ki saiki tiru-tiru ibu.” “Wis ngene wae mengko jen tekan Parakan di endeg, utawa samangsa deweke mandeg, endang kanda aku”(hlm. 13). Terjemahan: ‘Tadi mau saya beri seringgit, menurut saya sudah pantas. Tetapi supir tadi belum tahu berapa yang akan saya berikan.Tetap saja tidak mau menerima. Ya memang orang itu kalau tampan, berbudi halus, pasti banyak keterampilannya ‘Ah bapak ini meniru ibu saja.’ ‘Ya sudah begini saja, nanti kalau sudah sampai Parakan kita hentikan, atau saat dia berhenti, segera beri tahu saya.’ Raden Bei merupakan tokoh yang kompleks karena telah digambarkan bahwa sisi kehidupannya lebih banyak dari pada tokoh lain selain tokoh utama. Tokoh Den Bei dijelaskan bagaimana karekternya dapat dilihat dari cara tokoh lain menghormatinya ataupun dialog antar tokoh, cara berpakaian, dan juga perjalanan kariernya dari Asisten Wedana menjadi Wedana. Berikut kutipannya: “Wah ora ngira aku ketamuan dimas Asisten Wedana sakalijan. Menika wau menapa rawuh saking Ngadireja kemawon?” “Inggih kangmas. Sowan kula mriki kedjawi sowan tuwi, ugi ngaturi priksa, saking pangestunipun para sepuh, kula samangke ditetepaken dados Wedana wonten ing Kedungwuni”(hlm. 103). Terjemahan: ‘Wah saya tidak menyangka akan kedatangan tamu asisten Wedana sekeluarga. Langsung dari Ngadireja?’ ‘Iya Mas. Kedatangan saya kemari selain untuk berkunjung, saya juga ingin memberi tahu bahwa saya sekarang diangkat sebagai Wedana di Kedungwuni.’ “Den Bei, mbok menawi salebetipun minggu ngadjeng menika oto dipun bajar” We lah saja keleresan. Saja enggal saja prajogi” (hlm. 25). Terjemahan: ‘Den Bei, kalau tidak salah minggu depan mobil itu akan dibayar’ ‘Wah kebetulan sekali, semakin cepat semakin baik.’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
105 digilib.uns.ac.id
1) Analitik Analisis mengenai tokoh Raden Bei Asisten Wedana dapat dilihat dari penggambaran watak dan ciri fisik tokoh oleh pengarang secara langsung. Raden Bei Asisten Wedana merupakan laki-laki berumur kurang lebih lima puluh tahun namun masih pantas jika disebut berumur empat puluh tahun dan juga rendah hati. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Prijantun wau umuripun udakawis seketan taun, nanging kabekta saking saening badan, lan saged ugi saking mboten alitan manah, ketingalipun saweg umur kawandasan taun” (hlm. 5). Terjemahan: ‘Lelaki itu umurnya kurang lebih lima puluhan tahun, tetapi karena badannya bagus lan mungkin karena kerendahan hatinya, sepertinya terlihat umur empat puluhan tahun.’ Den Bei juga digambarkan sebagai seseorang yang berhati-hati dalam berbicara apa lagi dengan orang yang baru ia kenal. Seperti saat pertama bertemu dengan Rapingun ia tidak tau kalau Rapingun seorang supir, karena untuk ukuran seorang supir Rapingun terlalu sopan, sehingga Den Bei memutuskan untuk menggunakan bahasa krama madya untuk menjaga kehormatannya. Berikut kutipannya: “Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade mangsuli,awit sanadyan tjlananipun bregas, nanging sami ketingal pating dlemok tilas kenging lisah, tur rambutipun morak-marik, memper jen namung sopir taksi. Langkung-langkung manawi ngengeti anggenipun nyebut ndara. Ewadene ing manah dereng sreg” (hlm. 9). Terjemahan: ‘Lelaki itu kemudian turun dari mobil dan memperhatikan orang yang bertanya. Dalam hati kesulitan bagaimana untuk menjawab, walaupun celananya pantas, tetapi terlihat kotor seperti terkena minyak, dan rambutnya acak-acakan, pantas jika hanya seorang supir taksi. Lebihlebih mengingat ia menyebutnya (Den Bei) Tuan. Namun dalam hati belum yakin.’ Tokoh Den Bei juga merupakan tokoh yang sayang terhadap keluarganya. Den Bei selalu meluangkan waktunya untuk sekedar minum teh atau commit to user bercengkrama dengan keluargannya di rumah. Alasan tokoh Den Bei
perpustakaan.uns.ac.id
106 digilib.uns.ac.id
menginginkan tokoh Rapingun menjadi supirnya adalah untyk membuat keluarganya senang. Terutama istri dan anaknya jika pergi aman bersama tokoh Rapingun. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Let sawulan saking datengipun njonjah Hien, kaleres dinten Ngahad, wantji djam 5 sonten, Raden Bei Asisten Wedana sakalijan tuwin putranipun sami lelenggahan ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang kados adat saben” (hlm. 26). Terjemahan: ‘Selang satu bulan setelah kedatangan Nyonyah Hien, bertepatan hari Minggu pukul 5 sore, Raden Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya sedang duduk diteras belakang sambil minum minuman seperti biasa.’ Raden Bei Asisten Wedana merupakan seorang priyayi dapat dilihat dari penggunaan nama dan cara berpakaiannya. Dari penggunaan nama Raden Bei Asisten Wedana, dapat dilihat bahwa Den Bei merupakan priyayi yang bekerja sebagai asisten Wedana kemudian diakhir cerita naik pangkat menjadi Wedana. Asisten Wedana merupakan jabatan pada zaman pemerintahan terdahulu yang bertugas membantu kerja Wedana. Wedana sendiri merupakan jabatan dibawah Bupati namun berada lebih tinggi dari seorang Camat. Cara berpakaian tokoh Den Bei pun tidak biasa, ia menggunakan jas dan kain jarit. Dapat dilihat dari kutipan berikut: “Kala semanten Den Bei Asisten Wedana sekalijan ingkang putri tuwin putranipun lenggah ing gadri wingking sinambi ngundjuk wedang” (hlm.15). Terjemahan: ‘Saat itu Den Bei Asisten Wedana bersama istri dan juga anaknya duduk di teras belakang sambil minum minuman.’ “....Wironipun kablesekaken menginggil, ngantos katokipun ketingal sekedik, djasipun sampun kabikak, kantun ngangge rangkepan. Patjaking badan metenteng radi mbungkuk. Nering pandulu tumudju dateng mesining oto. Sadjak migatosaken saget dateng kawontenaning motor punika”(hlm. 5). Terjemahan: ‘....lipatan-lipatan jaritnya dimasukkan ke atas, hingga celananya terlihat sedikit, jasnya sudah dibuka, hanya tinggal pakaian dalam. Badannya agak commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
107 digilib.uns.ac.id
membungkuk. Pandangannya tertuju pada mesin mobil. Terlihat sedang memperhatikan keadaan mobil itu.’ 2) Dramatik Cara tokoh lain menghormati tokoh Den Bei pun telah menunjukkan bahwa tokoh ini bukanlah orang biasa, melainkan seseorang yang memiliki strata sosial tinggi. Dan lagi pada zaman dahulu seseorang yang memiliki pembantu rumah tangga adalah seseorang yang kaya atau priyayi, Den Bei memiliki dua orang pembantu yaitu Kerta dan Salijem serta supir yaitu Rapingun. Seperti kutipan di bawah ini: “Wis genah kuwi pak.” “Wis terang.”Ladjeng ngundang rentjangipun, “Ta, Ta, Kerta!”(hlm. 21). Terjemahan: ‘Sudah pasti itu Pak’ ‘Sudah jelas, lalu memanggil pembantunya. Ta, Ta, Kerta!’ “.... Lajeng ngungak dateng margi ageng, Den Bei Asisten Wedana sampun mboten ketingal. Enggal-enggal madosi rentjang estri pun salijem. Sareng pinanggih, saweg njapu wonten emper wingking“ (hlm. 32) Terjemahan: ‘.... Lalu melihat ke jalan besar, Den Bei Asisten Wedana sudah tidak terlihat. Buru-buru mencari pembantu wanita yang bernama Salijem. Setelah bertemu, ternyata ia sedang menyapu di pekarangan belakang.’ “O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akehakeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake” (hlm. 27). Terjemahan: ‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainya, sudah tidak akan yang menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi, membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu memuaskan.’ commit to user
108 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Raden Ayu Asisten Wedana/ Den Ayu Wedana Tokoh Den Ayu Asisten Wedana merupakan tokoh protagonis, sebagai tokoh ini ia telah membawa misi menyampaikan pesan moral dan nilai-nilai kebaikan kepada pembaca. Tokoh Raden Ayu Asisten merupakan tokoh yang dermawan, baik hati, berbaik sangka, dan juga sayang kepada keluarga. Hal ini terlihat dengan usulnya untuk menambahkan uang imbalan yang akan diberikan kepada tokoh Rapingun. Tokoh Raden Ayu juga berbaik sangka kepada tokoh Rapingun karena tingkah laku Rapingun yang sopan dan penuh tata krama. Berikut kutipannya: “Ija Pak, aku rudjuk. Lan maneh di-imbuhi seringgit engkas minangka patukone kaprawirane lan pangemane menjang kowe” “Ija, karepku ja ngono kok Bu”(hlm. 13). Terjemahan: ‘Iya Pak, aku setuju. Dan ditambah seringgit penghormatannya padamu dan perhatiannya padamu’ ‘Iya maksudku juga begitu Bu’
lagi
sebagai
“Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi” “Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.” “Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?” (hlm. 12). Terjemahan: ‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’ ‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan. ‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’ Sebagai seorang istri dari Asisten Wedana ia sangat menjaga kehormatan keluarga, ramah, senang bergurau dan ia selalu memperhatikan anak serta pekerja yang bekerja pada keluargannya. Hal ini sesuai dengan kodrat wanita yang haruslah menjaga kehormatan keluarga. Tokoh Raden Ayu yang pandai bergurau ditunjukkan ketika berbicara dengan Nyonyah Hien, ia juga sangat perhatian kepada para pekerjanya. Ia tak segan untuk memberikan makanan atau minuman untuk mereka. Dapat dilihat pada kutipan dibawah ini: “Mangga Njah” “Inggih Den Aju”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
109 digilib.uns.ac.id
Sareng sampun sami lenggah sadaja, Raden Aju Asisten wedana ngendika sembranan: “Kadek terang, hla wong ana widadari tumurun!” “Jah Den Ayu ki kok nggretjoki”(hlm. 16). Terjamahan: ‘Mari silakan Nyah’ ‘Iya Den Ayu’ ‘Setelah semuanya duduk, Raden Ayu Asisten Wedana berkata: ‘Tumben ada bidadari turun!’ ‘Den Ayu ini kok mengejek’ “Rapingun keprije Bu, apa krasan?” “Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak sawangsawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.” (hlm. 25). Terjemahan: ‘Rapingun bagaimana Bu, apa nyaman dia sini?’ ‘Begini Pak, sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini saya perhatikan raut wajahnya selalu bahagia’ “O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akehakeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake” (hlm. 27). Terjemahan: ‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainya, sudah tidak akan yang menyamai. Biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi, membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu memuaskan.’ Tokoh Raden Ayu Asisten Wedana merupakan tokoh peripheral karena perannya dalam membantu tokoh utama dalam menyampaikan pesan moralnya. Hal ini dibuktikan dengan dialog-dialog tokoh Raden Ayu yang menunjukkan watak atau karakter Rapingun. Berikut kutipannya: “Kiraku ja uwis, nanging aku durung weruh. Ajakna sopir taksi” “Ah, kiraku, dudu pak. Wong botjahe bagus ki, polatane djetmika.” “Apa sopir taksi kuwi ora kene duwe rupa bagus lan polatan djetmika?” commit to user (hlm. 12).
perpustakaan.uns.ac.id
110 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Menurutku ya sudah, tapi aku belum tahu, sepertinya supir taksi’ ‘Ah, menurutku bukan Pak, orangnya tampan, tingkah lakunya sopan ‘Apa supir taksi itu tidak boleh tampan dan tingkah lakunya sopan?’ “Rapingun keprije Bu, apa krasan?” “Anu ki Pak, wiwit teka let rong dina nganti seprene iki tak sawangsawang pasemone tansah katon padhang lan bungah.” (hlm. 25). Terjemahan: ‘Rapingun bagaimana Bu, apa nyaman dia sini?’ ‘Begini Pak, Sejak datang dua hari yang lalu sampai saat ini saya perhatikan raut wajahnya selalu bahagia’ “O, jen di timbang karo sopir lija-lijane, wis ora mu-tinemu. Sing akeh akeh, sopir kuwi jen dudu pagawean babagan motor ora nindakake. Sedje karo Rapingun. Neng ngomah tak sawang-sawang ora leren-leren, samubarang di tandangi, kaja ta nanduri tamanan, nata-nata kursi, gambar diresiki, di tata maneh. Mangka kabeh tatanan sarwa ngresepake (hlm. 27). Terjemahan: ‘‘O, kalau dibandingkan dengan supir-supir lainya, sudah tidak akan yang menyamai. biasanya, supir itu kalau bukan pekerjaan mengenai mobil tidak mau mengerjakan. Berbeda dengan Rapingun. Saya perhatikan tidak beristirahat, semua ia kerjakan, seperti menanami taman, menata kursi, membersihkan gambar, ditata kembali. Semua yang ia kerjakan selalu memuaskan.’ 1) Analitik Tokoh Den Ayu Asisten Wedana dalam penggambarannya tidak diceritakan secara detail ia hanya digambarkan sebagai seorang istri dari Asisten Wedana karena dari nama yang digunakan oleh pengarang yaitu Den Ayu, nama itu digunakan untuk seseorang yang telah menikah sehingga tokoh ini dikategorikan sebagai tokoh sederhana. Berikut kutipannya: “Memperipun prijatun estri ingkang wonten sisih kiwa punika bodjonipun, ingkang wonten tengen anakipun” (hlm. 5) Terjemahan: ‘Sepertinya perempuan yang berada di kirinya adalah istrinya dan yang berada di kanannya adalah anaknya.’ commit to user
111 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun ketingal suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak lungkrah, nanging dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden Aju asisten bade nuweni Rapingun wonten kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem, boten kados adat saben. Mila kakinten pijambakipun sakit” (hlm. 91). Terjemahan: ‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat sedih, badannya terlihat kurang sehat, tetapi belum bertanya sebabnya. Setelah tiga hari, jam empat sore, Raden Ayu asisten ingin menjenguk Rapingun di kamarnya, karena setelah makan siang ia langsung tidur, tidak seperti biasaannya. Mungkin ia sakit.’ “Dereng ngantos tamat pamaosipun, Raden Aju Asisten wedana sampun brebel-brebel ngedalaken luh. Raden Adjeng Tien maos kalijan katjakatja. Den Bei Asisten wedana deleg-deleg” (hlm. 99). Terjemahan: ‘Belum selesai membaca, Raden Ayu Asisten Wedana sudah menangis. Raden Ajeng Tien membaca sambil berkaca-kaca. Den Bei Asisten Wedana tertegun.’ “Ing saladjengipun anggenipun palakrama tansah atut runtut. Manahipun tentrem, ngrumaosi begdja gesangipun wonten ngalam donja. Makaten ugi Den Bei Wedana sekalijan” (hlm. 106). Terjemahan: ‘Selanjutnya dalam membina rumah tangga selalu baik. Hatinya tentram merasa sangat beruntung hidup didunia. Begitu pula Den Bei Wedana beserta istrinya’ Penggambaran fisik tokoh Den Ayu Asisten tidak begitu kompleks pengarang hanya menggambarkan sebagai seorang wanita, tidak digambarkan postur tubuh atau ciri fisik lain yang menonjol. Dapat dilihat dari kutipan berikut: “Ing salebeting prijantun wau utek madosi ingkang ndjalari mogoking otonipun, ingkang estri ketingal suntrut. Tanganipun tengen sedakep, badan kasendeaken ing tjagaking tenda sirahipun kabantalaken tangan kiwa. Kados boten mokal jen ta kawastanana saweg susah manahipun” (hlm. 5). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
112 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Sementara lelaki tadi sibuk mencari tahu apa yang menyebabkan mobilnya mogok, istrinya terlihat cemberut. Tangan kanannya dilipat, badannya disandarkan pada tiang tenda kepalanya beralaskan tangan kirinya. Seperti itu pantas jika disebut sedang bersusah hatinya. 2) Dramatik Analisis dramatik terhadap tokoh Den Ayu Asisten Wedana diperkuat dengan dialog tokoh lain yaitu Raden Bei Asisten Wedana yang memangginya dengan sebutan “Bu” begitu pula anaknya Raden Ajeng Supartienah memanggilnya dengan sebutan “Ibu” dan lagi dialog dari tokoh lain yang memperjelas. Seperti kutipan dibawah ini: “Hem! Ibune mono wasis yen mung nutuh” “Anakipun njelani: “Jah Ibu ki! Punapa inggih oto menika namung murugaken kesusahan tok? Wong ya lagi sepisan bae dingendikakake akeh!” (hlm. 6). Terjemahan: ‘Hem! Ibu ini pandai kalau menuduh’ ‘Anaknya menyela: ‘Iya Ibu ini! Apa iya mobil ini hanya menimbulkan kesusahan saja? Baru rusak sekali saja dibilang berkali-kali!’ “Raden Nganten Mantri guru njelani: “Djeng Tien, ingkang Ibu menapa mboten estu tindak?” “Boten, amargi miturut sandjangipun Rapingun, Ibu saweg radi pujeng. Mangka kula sampun keladjeng ngaturi serat dateng Bu mantri Gudang Magelang”(hlm. 44). Terjemahan: ‘Raden Nganten Mantri guru menyela: ‘Djeng Tien, apa Ibumu benar-benar tidak berangkat?’ ‘Tidak, karena menurut Rapingun, Ibu agak pusing. Padahal saya sudah terlanjur mengirim surat pada Bu Mantri gudang Magelang.’ Karakter mudah curiga serta mudah panik juga digambarkan pada tokoh Raden Ayu Asisten Wedana. Ketika berada di tengah hutan karena mobilnya rusak tokoh ini panik dan curiga kepada mantan supirnya yang sengaja merusak mobil tersebut. Dan lagi ia menyalahkan suaminya yang memiliki mobil karena mobil itu sering rusak dan hanya menyusahkan saja. Kenyataannya mobil commit to user tersebut baru satu kali mengalami kerusakan. Berikut kutipannya:
113 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Njatane nek kaja ngene iki prije hara? Mangka ning tengah bulak, wis djam setengah enem, kathik atise kaja ngene gunung Sumbing wis kemul ampak-ampak, dalah ing Kledung ja wis meh putih, dasare dalane sumengka, kok jebul otone bobrok”(hlm. 6). Terjemahan: ‘Kenyataannya kalau seperti ini bagaimana, di tengah hutan, sudah pukul 5.30 pula, dan sangat dingin, gunung Sumbing sudah tersaput kabut, di Kledung juga hampir putih, sedang terburu-buru eh lha kok mobilnya rusak.’ “Ingkang risak menika menapanipun ta Pak? Mangke gek dipaeka sopir ingkang mentas medal menika.” “Mempere ya ngono Tien, nanging bapakmu ora priksa.” “Hara ibune kuwi rak tanduk meneh olehe nutuh...(hlm. 6). Terjemahan: ‘Yang rusak bagian apa Pak? Jangan jangan direkayasa oleh supir yang baru saja keluar itu.’ ‘Sepertinya begitu Tien tapi bapakmu tidak tahu’ ‘Ibu ini menuduh lagi kan...’ Sikap religius juga ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten Wedana, hal itu terjadi ketika berada di dalam kesusahan ia berdoa kepada yang Maha Membuat Hidup agar diberi keselamatan. Perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten Wedana sesuai dengan syair yang terdapat pada tembang dhandhanggula yang berbunyi kawruhana sejatining urip, manungsa urip ana ing donya, prasast mung mampir ngombe, umpamakna manuk mabur, oncat saking kurunganeki, ngendi pencokan mbenjang, ywa kongsi kaleru, umpama wong lunga sanja, njan-sinanjan nora wurung bakal mulih, mulih mula mulanira ‘ketahuilah bahwa sejatinya manusia di dunia, hanya seperi singgah untuk minum, bagai burung yang terbang lepas dari sangkar, kemana akan terbang, jangan sampai keliru, andaikan orang pergi berkunjung, suatu saat pasti akan pulang, pulang pada asalnya’. Raden Ayu Asisten Wedana menyadari bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan Tuhan oleh karena itu setiap makhluk wajib meminta pertolongan padanya. Seperti pada kutipan berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
114 digilib.uns.ac.id
“Nengna we rak uwis ta Tien! Ibumu kuwi lagi mudja semadi kok” “Kowe mono Tien, botjah ora Djawa, wong kuwi rak ija sabisa-bisane nenuwun marang sing Gawe Urip ta! (hlm. 8). Terjemahan: ‘Biarkan sajalah Tien, ibumu itu sedang berdoa.’ ‘Kamu itu Tien, kamu itu tidak tahu, orang itu seharusnya meminta kepada Yang Maha Membuat Hidup!’ d. Raden Ajeng Supartienah/ Raden Ajeng Tien/ Raden Ayu Tanta/ Raden Ayu Seter. Tokoh Raden Ajeng Supartienah merupakan anak semata wayang dari Den Bei Asisten dan Den Ayu Asisten. Tokoh ini tergolong ke dalam tokoh protagonis karena ia membawakan karakter sebagai seorang wanita yang berpendidikan karena Raden Ajeng Tien merupakan lulusan sarjana dari Yogyakarta, ia terkenal pandai dalam mengingat dan tenang dalam menghadapi masalah. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut: “Memperipun prijatun estri ingkang wonten sisih kiwa punika bodjonipun, ingkang wonten tengen anakipun” (hlm. 5) Terjemahan: ‘Sepertinya perempuan yang berada di kirinya adalah istrinya dan yang berada di kanannya adalah anaknya.’ “Nanging ija bener kandane ibumu kuwi, Tien. Apa kowe ora weruh nomere oto buri mau, Tien? “Menika wau terang wonten seratanipun, AA nomer 1013.”(hlm.13) Terjemahan: ‘Tetapi memang benar apa yang dikatakan ibumu itu Tien. Apa kamu tidak tahu berapa nomor belakang mobil tadi?’ ‘Tadi jelas terlihat tulisannya, AA nomor 1013.’ “Dadi kowe ontang-anting kaja Tien?” “Inggih Ndara”(hlm. 94). Terjemahan: ‘Jadi kamu anak tunggal seperti Tien?’ ‘Iya Tuan.’ “Rak inggih sami wiludjeng ta Njah?” commit to user “Pangestu pandjenengan wiludjeng, Den Bei.”
perpustakaan.uns.ac.id
115 digilib.uns.ac.id
Anakipun gentos mbagekaken: “Sugeng Njah?” “Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16). Terjemahan: ‘Sehat kan Nyah?’ ‘Atas doa anda sehat, Den Bei.’ Anaknya bergantian menyapa: ‘Sehat Nyah?’ ‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah) kok di rumah. Apa tidak mengajar?’ Raden Ajeng Tien merupakan seorang guru di H.C.S Partikelir (sekolah swasta) di Parakan, ia merupakan sarjana tamatan Yogjakarta. Ia juga pandai menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang wanita saat berada jauh dari orang tua semasa ia menempuh pendidikan. Hal itu sesuai dengan yang terdapat dalam serat Wulang Putri karya Pakubuwana VI yang berbunyi, iya sariranireki, dene denya nglakoni, eneng eninga ing kalbu, awas eling supata, sirna nepsu ta nini, anganak ana sih kalawan amirah maksudnya menjadi wanita utama dibutuhkan kecerdasan batiniah di samping kecerdasan intelektual. Keduanya saling melengkapi. Hanya wanita yang eling yang memiliki ketajaman emosi. Demikian pula dengan Raden Ajeng Tien yang selalu mengingat harkat dan martabatnya serta orang tuanya. Berikut kutipannya: “Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak. Inggih ing ngriku punika pondokanipun Raden Adjeng Supartinah. Raden Adjeng Supartinah punika dados guru H.C.S partikelir ing Parakan” (hlm. 43). Terjemahan: ‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada mobil Overland berhenti, tendanya dibuka. Disanalah tempat tinggal Raden Ajeng Supartinah. Raden Ajeng Supartinah menjadi guru di H.C.S Partikelir (sekolah swasta) di Parakan.’ “Pangrasamu keprije ta, Hardjana. Kowe tawa buku, mangka aku butuh sabab ana gandenge karo pasinaonku, mesti bae tak tampani. Adja sing kowe, sapa-sapaa pantes tak aturi panuwun sing gede banget. Dek semana kowe nawani buku-buku roman karangane sardjana Zola, commit to user kuwi ora pantes dadi watjane nanging aku nampik, awit buku-buku
perpustakaan.uns.ac.id
116 digilib.uns.ac.id
botjah kang lagi sinau kaja aku iki, awit sisip sembire bakal gawe rusaking budiku. Ija wiwit nalika kuwi aku duwe pangira jen atimu ora djujur” (hlm. 64). Terjemahan: ‘Perasaanmu bagaimana Hardjana. Kamu menawarkan buku, padahal buku itu ada kaitannya dengan yang ku pelajari, pasti aku terima. Jangankan kamu, aku bisa berterima kasih kepada siapa saja. Saat itu kamu menawarkan buku-buku roman karangan sarjana Zola, aku menolak, karena buku-buku itu tidak pantas menjadi bacaan anak yang sedang belajar sepertiku, karena sebabnya akan membuat rusak karakterku. Mulai saat itu aku mengira kamu memang tidak jujur.’ Dilihat dari segi keterlibatannya tokoh Raden Ajeng Tien merupakan tokoh peripheral. Tokoh Raden Ajeng Tien mendukung tokoh utama menunjukkan jalannya cerita. Raden Ajeng Tien lah yang menemukan surat milik Rapingun, sebenarnya surat itu adalah surat milik Rapingun namun ia mengelak karena takut penyamarannya sebagai Rapingun akan terbongkar. Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah mencurigainya jika ia adalah Raden Mas Sutanta. Namun keahlian menyembunyikan rahasianya membuat Raden Ajeng Tien mempercayai alasannya tersebut. Seperti terlihat pada kutipan berikut: “Anu kok Rap, Ibu kuwi mentas tampa lajang saka bu gede Sala kana. Ibu-gede kuwi lagi sekel banget penggalihe, djalaran putrane sidji tur kakung, wis kurang luwih pitung sasi iki lunga saka Sala tanpa pamit, nganti seprene ora ana kabare” (hlm. 82). Terjemahan: ‘Begini Rap, Ibu baru saja menerima surat dari bibi di Solo. Bibi itu sedang menderita, sedang bersedih, karena anak lelaki satu-satunya sudah tujuh bulan pergi dari Solo tanpa pamit, hingga saat ini tidak ada kabar.’ ”Ing batos Raden Adjeng Tien radi eram sumerep pasemonipun Rapingun, boten punapa-punapa. Rumaos tuna panggrajanipun. Ingkang salebetipun manah Raden Adjeng Tien ngunandika, apa saking pintere nutupi, saka wis bisa ngereh atine dewe, apa saka ora ana gegajutaning bab babar-pisan” (hlm. 83). Terjemahan: ‘Di dalam hati Raden Ajeng Tien agak curiga melihat raut muka Rapingun, bukan apa-apa. Merasa kurang memperhatikan. Raden Ajeng commit to user Tien berbicara dalam hati, apa karena pandainya dia menutupi, dari
117 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepandainya mengatur hatinya sendiri, atau karena memang tidak ada hubungannya dengan masalah ini.’ Berdasarkan segi watak dan karakternya yang mengacu pada keinginan, emosi, dan moral yang membentuk tokoh. Tokoh Raden Ajeng Tien merupakan
tokoh
yang
kompleks.
Karena
perjalanan
kehidupannya
diceritakan oleh pengarang mulai dari pekerjaannya, sikap budi pekertinya, serta pada akhir cerita ia menjadi istri dari Raden Mas Sutanta. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Rak inggih sami wiludjeng ta Njah?” “Pangestu pandjenengan wiludjeng, Den Bei.” “Anakipun gentos mbagekaken: “Sugeng Njah?” “Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16). Terjemahan: ‘Sehat kan Nyah?’ ‘Atas doa anda sehat, Den Bei.’ ‘Anaknya bergantian menyapa: ‘Sehat Nyah?’ ‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah) kok di rumah. Apa tidak mengajar?’ “Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak. Inggih ing ngriku punika pondokanipun Raden Adjeng Supartinah. Raden Adjeng Supartinah punika dados guru H.C.S partikelir ing Parakan” (hlm. 43). Terjemahan: ‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada mobil Overland berhenti, tendanya dibuka. Disanalah tempat tinggal Raden Ajeng Supartinah. Raden Ajeng Supartinah menjadi guru di H.C.S Partikelir (sekolah swasta) di Parakan.’ Sikap yang menunjukkan keluhuran budi pekerti Raden Ajeng Tien adalah ketika ia rela melepas kain stagen-nya untuk digunakan menolong Rapingun karena saat itu keduanya sedang kejugrugan gunung artinya sedang menemui kesusahan yang besar. Tanpa perasaan apapun ia tulus memberikan bantuan kepada Rapingun sebagai balas budinya karena telah ditolong oleh commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118 digilib.uns.ac.id
Rapingun. Terlihat pada kutipan di bawah ini: “O kelingan aku saiki.” “Kadospundi?” “Setagen rak kena kanggo mblebed ta? “Kangge pitulungan ingguh kenging, nanging pundi ingkang wonten?” “Iki setagenku”(hlm. 68) Terjemahan: ‘Oh aku teringat.’ ‘Bagaimana?’ ‘Apa setagen bisa untuk membalut?’ ‘Untuk pertolongan sementara bisa, tetapi dimana mendapatkan setagen?’ ‘ini setagen-ku’ “Raden Adjeng Tien ngertos jen Rapingun anggenipun boten purun kablebed setagenipun punika namung saking pekewed. Sampun ngantos nama, murang tata, minggahipun nerak kasusilan, mila milih bade kablebed tjatokipun tjutjal kemawon” (hlm. 69). Terjemahan: ‘Raden Ajeng Tien mengerti alasan Rapingun tidak ingin dibalut dengan stagen karena sungkan. Jangan sampai melanggar kesusilaan dan tata krama, oleh karena itu ia memilih dibalut dengan ikat pinggangnya saja’ “Manahipun Raden Adjeng Tien boten mekaten. Ing wekdal wonten kasangsaran ingkang mekaten wau perlu tetulung dados kajengipun ingkang semanten wau nama mboten bade tjengkah kalijan kasusilan” (hlm. 69). Terjemahan: ‘Menurut Raden Ajeng Tien tidak demikian. Saat dalam keadaan susah dan membutuhkan pertolongan yang demikian itu bukan berarti tidak mematuhi norma kesusilaan yang ada’ Pada akhir cerita Raden Adjeng Tien telah diperistri oleh Raden Mas Sutanta atau Rapingun kemudian tokoh tersebut disebut sebagai Raden Ayu Tanta karena nama dan gelar itu dipakai oleh orang yang telah menikah, pengarang juga memberikan nama tokoh ini menjadi Raden Ayu Seter nama itu sesuai dengan pekerjaan suaminnya. Hal itu terdapat pada kutipan berikut ini: “Wah Ndara Adjeng ki, e kesupen, Ndara Den Aju Seter, dumeh manten anjar ndur sija-sija”(hlm. commit 106). to user
perpustakaan.uns.ac.id
119 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Wah Ndara Ajeng ini, e lupa, Ndara Ayu Seter, mentang-mentang pengantin baru lalu semena-mena’ “Raden Aju wedana taken dateng Raden Aju Tanta:” “Kowe kok rada putjet Tien!”(hlm. 107). Terjemahan: ‘Raden Ayu Wedana bertanya pada Raden Ayu Tanta:’ ‘Kamu kok agak pucat Tien!’ 1) Analitik Penggambaran fisik Raden Ajeng Tien tidak disebutkan diawal cerita namun berada di akhir cerita saat tokoh tersebut telah menikah dengan tokoh Raden Mas Sutanta. Tokoh Raden Ajeng Tien digambarkan sebagai wanita muda berumur kurang dari delapan belas tahun, tinggi, dan langsing. Seperti terlihat pada kutipan berikut: “Dinten Sebtu djam wolu endjing wonten oto Ostin sedan dipunsetiri prijantun neneman, bregas, umur-umuranipun kirang langkung 25 tahun. Tjlananipun idjem, ngangge setiwel sawo mateng, sawitan kalijan sepatunipun, rangkepanipun rasukan sutra lurik, kawingkis dumugi sikut, rambutipun pating prentel mewahi wenesing tjahja. Dene ingkang linggih ing kiwanipun, prijantun estri, umur-umuranipun dereng langkung saking wolulasan taun, pasemonipun mbranjak, pantes lan badanipun lendjang kepara alit sekedik” (hlm. 105). Terjemahan: ‘Hari Sabtu pukul delapan pagi ada mobil sedan Ostin dikendarai oleh lelaki muda, gagah, umurnya kurang lebih 25 tahun. Celananya hijau, memakai kaus kaki sawo matang, serasi dengan sepatunya, pakaiannya sutra lurik, dilipat sampai siku, rambutnya ikal. Sedangkan yang berada di sisi kirinya, seorang wanita umurnya belum lebih dari delapan belas tahun, raut wajahnya ceria, bahagia, dan badannya tinggi agak kecil.’ 2) Dramatik Analisis dramatik terhadap tokoh Raden Ajeng Tien dapat dilihat dari nama yang digunakan tokoh, cara tokoh lain berdialog dengan tokoh ini, cara berpakaian serta kegiatan lain yang dilakukan oleh tokoh yanga memperkuat data bahwa tokoh Raden Ajeng Tientomerupakan tokoh yang baik, ramah, commit user
perpustakaan.uns.ac.id
120 digilib.uns.ac.id
senang bergurau, serta berpakaian dengan menggunakan setagen yang umumnya merupakan pakaian wanita Jawa zaman itu. Berikut kutipannya: “Wah Ndara Adjeng ki, e kesupen, Ndara Den Aju Seter, dumeh manten anjar ndur sija-sija”(hlm. 106). Terjemahan: ‘Wah Ndara Ajeng ini, e lupa, Ndara Ayu Seter, mentang-mentang pengantin baru lalu semena-mena’ “Raden Aju wedana taken dateng Raden Aju Tanta:” “Kowe kok rada putjet Tien!”(hlm. 107). Terjemahan: ‘Raden Ayu Wedana bertanya pada Raden Ayu Tanta:’ ‘Kamu kok agak pucat Tien!’ “Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16). Terjemahan: ‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah) kok di rumah. Apa tidak mengajar?’ “Bu,bu. Nuwun sewu nggih bu! Ibu kok ngendika klesak-klesik menika ngendika kalijan sinten ta, bu? Menapa saweg ndonga?” Anggenipun pitaken mekaten wau kalijan gumudjeng sarwi nutupi lambenipun mawi katju....” Terjemahan: ‘Bu, Bu, maaf ya Bu, ibu kok berbicara berbisik-bisik, ibu itu berbicara sama siapa? Apa ibu sedang berdoa? Pertanyaan itu terlontar dengan gelak tawa sambil menutupi mulutnya dengan sapu tangan.’ “Jen boten tumut, kuwatos manawi Mas Tanta minggat malih kok”(hlm.106) Terjemahan: ‘Kalau saya tidak ikut, saya khawatir Mas Tanta pergi lagi Bu’ “O kelingan aku saiki.” “Kadospundi?” “Setagen rak kena kanggo mblebed ta? “Kangge pitulungan ingguh kenging, nanging pundi ingkang wonten?” “Iki setagenku”(hlm. 68) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
121 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Oh aku teringat.’ ‘Bagaimana?’ ‘Apa setagen bisa untuk membalut?’ ‘Untuk pertolongan sementara bisa, tetapi dimana mendapatkan setagen?’ ‘ini setagen-ku’ e. Nyonyah Oei Wat Hien. Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien digambarkan oleh pengarang sebagai seorang Tiong Hoa yang berumur belum mencapai tiga puluh tahun. Nyonyah Hien merupakan majikan Rapingun sebelum Rapingun mengabdikan diri pada Den Bei. Dari hal tersebut maka tokoh Nyonyah Hien dapat digolongkan kedalam tokoh protagonis. Berikut kutipannya: “Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong Hoa ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang dasan taun. Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan. Lampahipun medal ngiringan grija, terus dateng ngiringan. Dene otonipun kaputer balik terus kendel wonten ngadjeng pasar” (hlm. 15). Terjemahan: ‘Kebetulan hari Minggu, antara pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada mobil. Tidak lama Nyonyah Tiong Hoa yang kirakira umurnya belum lebih dari tigapuluhan tahun. Turun dari mobil, lalu pergi ke gedung asisten. Jalannya lewat samping gedung. Sedangkan mobinya berputar balik lalu berhenti di depan pasar.’ “Mila kasinggihan dawuh pandjengan. Nanging atur kula minangka boten lelamisan. Salebetipun wulan Pebruari angsal-angsalan kula Rp. 150, wulan April angsal Rp. 176, wulan Mei Rp. 209 pantjen sopir kula enggal menika peng-pengan saestu kok!”(hlm. 20). Terjemahan: ‘Maka dari itu terserah anda saja. Tetapi saya tidak omong kosong. Selama bulan Februari pendapatan saya Rp. 150, bulan April dapat Rp. 176, bulan Mei Rp. 209 supir saya yang baru ini memang rajin.’ Meskipun tokoh ini digambarkan seorang Tiong Hoa namun ia begitu fasih dalam berbahasa Jawa sebagaimana undha-usuk basa yang benar. Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien melakukan sesuatu yang sesuai dengan budaya tempat to userJawa sebagai budaya tempat ia ia tinggal. Ia menghormati commit kebudayaan
perpustakaan.uns.ac.id
122 digilib.uns.ac.id
bernaung. Hal ini sesuai dengan pepatah Jawa desa mawa cara negara mawa tata setiap tempat memiliki aturan sendiri, haruslah dihormati meski tidak sesuai dengan kebiasaan yang dianut. Seperti dalam kutipan berikut: “Rak inggih sami wiludjeng ta Njah?” “Pangestu pandjenengan wiludjeng, Den Bei.” Anakipun gentos mbagekaken: “Sugeng Njah?” “Wiludjeng Den Adjeng. Lo Den Adjeng Tien (tjekakan saking Soepartinah) kok wonten dalem. Menapa mboten mulang? (hlm. 16). Terjemahan: ‘Sehat kan Nyah?’ ‘Atas doa anda sehat, Den Bei.’ ‘Anaknya bergantian menyapa: ‘Sehat Nyah?’ ‘Sehat Den Ajeng. Lho Den Ajeng Tien (kependekan dari Soepartinah) kok di rumah. Apa tidak mengajar?’ Ditinjau dari segi keterlibatannya dalam cerita tokoh Nyonyah Oei Wat Hien merupakan tokoh peripheral dimana tokoh ini merupakan tokoh yang membantu tokoh utama daam menyampaikan maksud cerita. Dalam hal ini Nyonyah Oei Wat Hien memberikan penguatan informasi bahwa Rapingun merupakan tokoh yang berwatak halus, tekun, pandai, dan memperhatikan mobil dengan baik. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Boten saestu kok Den Aju. Tijang kula samenika menika boten kados sopir sanes-sanesipun. Watakipun alus, temen, prigel, gematosipun dateng oto inggih boten djamak. Mila oto wau ketingalipun inggih kintjlongkintjlong adjegan. Lengganan mindak katah. Dalah para lengganan kemawon sami ngalem. Pantjen pijambakipun saged nudju manahipun lengganan” (hlm. 20). Terjemahan: ‘Tidak, sungguh Den Ayu. Si Rapingun itu tidak seperti supir lainnya. Wataknya halus, tekun, pandai, dan perhatian dengan mobilnya. Oleh karena itu mobil saya terlihat kinclong sekali. Langganan semakin banyak. Para langganan saya selalu memujinya kok. Dia memang pandai mengambil hati pelanggan.’ Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien merupakan tokoh sederhana karena tokoh tersebut hanya mengambil sedikit bagian dalam cerita setelah itu tidak commit to user diceritakan lagi. Kemunculan tokoh Nyonyah Oei Wat Hien hanya pada sub
perpustakaan.uns.ac.id
123 digilib.uns.ac.id
judul 3 yang mengenalkan tokoh Rapingun pada Den Bei. Secara kebetulan supir Nyonyah Hien merupakan supir yang menolong Den Bei saat dalam kesusahan. Sehingga Den Bei ingin melanjutkan niatanya memberi imbalan kepada Rapingun namun ia menolaknya. Rapingun justru diminta menjadi supir pribadi Raden Bei Asisten Wedana. Berikut kutipannya: “Kados pundi Den Bei? Sadjak kok le ngedeg-ngedegi kuwi!” “Boten punapa-punapa. Sampun kuwatos. Mekaten inggih. Kala semanten kula dateng Purwokerto, punika wangulipun sareng dumugi Kledung oto kula ladjeng mogok wiwit djam gansal dumugi djam sedasa dalu. Malah samuna sopiripun Njah Hien dateng, terkadang kula tetiga mboten saged wangsul. Lah dumugi sepriki dereng kula perseni (hlm. 21). Terjemahan: ‘Bagaimana Den Bei? Saya khawatir lho ini, ada apa?’ ‘Tidak apa-apa Nyah. Tidak usah khawatir. Begini, saat saya perjalanan pulang dari Purwokerto sesampainya di Kledung mobil saya ini rusak dari pukul lima sampai pukul sepuluh malam. Kalau supir Nyah Hien tidak datang, kami bertiga tidak bisa pulang. Nah sampai sekarang belum saya kasih imbalan.’ 1) Analitik Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien digambarkan secara langsung oleh pengarang sebagai wanita Tiong Hoa yang berumur kurang dari tiga puluh tahun yang datang ke gedung asisten dengan mengendarai mobil. Seperti terlihat dalam kutipan berikut ini: “Keleres dinten Minggu, wetawis djam wolu endjing, ing ngadjeng ngasistenan Ngadiredja wonten oto. Boten dangu njonjah Tiong Hoa ingkang umur-umuranipun dereng langkung saking tigang dasan taun. Mandap saking oto, terus dateng ngasistenan. Lampahipun medal ngiringan grija, terus dateng ngiringan. Dene otonipun kaputer balik terus kendel wonten ngadjeng pasar” (hlm. 15). Terjemahan: ‘Kebetulan hari Minggu, antara pukul delapan pagi, di depan gedung asisten Ngadireja ada mobil. Tidak lama Nyonyah Tiong Hoa yang kirakira umurnya belum lebih dari tigapuluhan tahun. Turun dari mobil, lalu pergi ke gedung asisten. Jalannya lewat samping gedung. Sedangkan mobinya berputar balik lalu berhenti di depan pasar.’ Tokoh ini juga digambarkan oleh pengarang telah menjalin hubungan commit to user baik dengan keluarga Den Bei. Terbukti bagaimana suasana akrab tercipta
124 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ketika Nyonyah Hien datang. Ia langsung disambut dengan baik oleh Raden Ayu dengan suara yang bergembira pertanda tamunya memang sudah sangat akrab dengannya. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini: “Boten dangu tamunipun dateng, kanti esem ingkang mratandani dateng supeketing tetepangan. Mekaten ugi Den Bei Asisten wedana kakung putri tuwin putranipun, lajeng sami menjat mapagaken, kairing gumrapjaking tembung.” Terjemahan: ‘Tidak lama datanglah tamunya dengan senyuman yang menandakan kedekatan hubungan. Demikian pula dengan Den Bei Asisten Wedana beserta istri dan anaknya seketika berdiri menyambut kedatangan tamu itu dengan ramah.’ 2) Dramatik Penggambaran tokoh Nyonyah Oei Wat Hien secara dramatik terlihat dari penggunaan nama yang jelas digunakan bukan oleh orang Jawa. Tokoh ini digambarkan ialah seorang pedagang dari Parakan yang mengambil setoran untuk hutang Den Bei. Ia juga berwatak ramah dan pandai dalam berkata-kata seprti ketika tokoh ini membujuk Raden Ayu untuk mau membeli dagangan miliknya. Dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: Raden Aju Asisten njambeti: “Ngantena menika rak tokonipun pijambak ta!” “Inggih” ”Jen ngono besuk utang karo bah Hien bae adja karo toko Hien?” (hlm. 17). Terjemahan: ‘Raden Ayu Asisten menyahut: ‘Berarti itu tokonya sendiri’ ‘Iya’ ‘Kalau begitu besok kita hutang pada Bah Hien saja jangan pada toko Hien?’ “Senadjan kula menika bakul, nanging tjaranipun boten saged kuwadean, anggenipun ngalem daganganipun ngantos mremen-mremen dateng ingkang bade tumbas. Menawi kula namung blejed menapa wontenipun kemawon” (hlm. 18). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
125 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Walaupun saya ini pedagang, tetapi cara saya bukan seperti pedagang lain, yang memuji barang dagangannya secara berlebihan. Saya hanya mengatakan apa adanya kepada pembeli.’ “Ambak wong sugih rembug ora kaja Njah Hien!” “Amargi sugih sambutan. Sampun kepareng”(hlm. 25-26). Terjemahan: ‘Tidak ada orang kaya seperti Nyah Hien!’ ‘Kaya hutang, sudah sudah mari’ f. Raden Aju Mantri Guru Tokoh Raden Ayu Mantri guru merupakan tokoh protagonis. Dalam cerita digambarkan bahwa Raden Ayu Mantri guru merupakan istri yang sangat setia, sebenarnya ia kan pergi ke Magelang bersama Raden Ajeng Tien, namun ia tidak pergi ke Magelang bersama Raden Ajeng Tien karena suaminya Raden Nganten guru sedang sakit dan ingin menjaga suaminya di rumah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan di bawah ini: “Mangga ta kalijan Ibu” “Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok. Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44) Terjemahan: ‘Ayolah dengan Ibu’ ‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau Bapak tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang berangkat.’ Tokoh ini juga digambarkan sangat mengkhawatirkan keselamatan Raden Ajeng Tien karena saat akan naik mobil tidak sengaja terpeleset dan hampir jatuh untunglah ada Rapingun yang menolongnya. Rapingun dengan sigap menangkap tubuh Raden Ajeng Tien yang hampir terjatuh. Tidak ingin Rapingun menjadi susah maka Raden Ajeng Tien diminta untuk duduk di depan saja. Berikut kutipannya: “Sukur ta sukur! Samenika lenggah wonten ngajeng kemawon, sampun lenggah wingking. Ingkang momong boten marengaken. “Menapa inggih ta Bu?” commit to user
126 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“E, nggegaa kemawon dateng tijang sepuh. Lan malih wonten wingking menika anginipun sumribid. Jen wonten ngajeng rak boten” (hlm. 45) Terjemahan: ‘Syukurlah, syukur! Sekarang duduk di depan saja, jangan duduk di belakang, yang menjaga tidak memperbolehkan’ ‘Apakah demikian Bu?’ ‘E, menurut sajalah pada orang tua. Dan lagi di belakang anginnya dingin. Kalau di depan kan tidak.’ Tokoh Raden Mantri guru merupakan tokoh peripheral. Dikarenakan tokoh tersebut mendukung jalannya cerita dan tidak menentang tokoh utama. Terlihat dari pembicaraannya dengan Rapingun mengenai keadaan Raden Ayu Asisten Wedana yang tidak jadi berangkat ke Magelang. Berikut kutipannya: Saking salebeting dalem wonten swantenipun prijantun taken dateng sopir: “Rap?” “Nun” “Lo Ibu endi?” “Boten tindak, amargi radi pujeng” “Dawuhe keprije?” “Dawuhipun, menawi pandjenengan estu badhe tindak Magelang, kedawuhan tindak pijambak. Menawi boten, inggih kedawuhan kondur.” (hlm. 44). Terjemahan: ‘Dari dalam rumah terdengar seseorang bertanya pada supir: ‘Rap?’ ‘Iya’ ‘Lho Ibu dimana?’ ‘Tidak berangkat, karena agak pusing tadi’ ‘Beliau berpesan apa?’ ‘Beliau berpesan jika Ibu Mantri guru sungguh ingin pergi ke Magelang, Ibu berpesan untuk dapat pergi sendiri. Kalau tidak, saya diperintahkan pulang. Ditinjau dari segi watak dan karakternya tokoh Raden Ayu Mantri guru merupakan tokoh sederhana karena tokoh ini hanya ditunjukan sebagian kecil kehidupannya yaitu sebagai pamomong Raden Ajeng Tien selama menjadi guru di Parakan. Selebihnya tokoh tersebut tidak muncul kembali. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
127 digilib.uns.ac.id
1) Analitik Tidak ditemukan data mengenai analisis penokohan secara analitik. Pengarang tidak menyebutkan perwatakan dan tingkah laku tokoh Raden Ayu Mantri guru secara langsung karena tokoh ini hanya sebagai tokoh peripheral dan sederhana yang sifatnya hanya mendukung cerita. 2) Dramatik Ditemukan data mengenai penokohan secara dramatik yaitu melalui dialog tokoh Raden Ayu Mantri guru dengan Raden Ajeng Tien, yang menunjukkan sifatnya yang setia pada suami dan bertanggung jawab pada anak asuhnya, seperti terlihat pada kutipan berikut: “Mangga ta kalijan Ibu” “Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok. Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44) Terjemahan: ‘Ayolah dengan Ibu’ ‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau Bapak tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang berangkat.’ “Sukur ta sukur! Samenika lenggah wonten ngajeng kemawon, sampun lenggah wingking. Ingkang momong boten marengaken. “Menapa inggih ta Bu?” “E, nggegaa kemawon dateng tijang sepuh. Lan malih wonten wingking menika anginipun sumribid. Jen wonten ngajeng rak boten” (hlm. 45) Terjemahan: ‘Syukur, syukur! Sekarang duduk di depan saja, jangan duduk di belakang, yang menjaga tidak memperbolehkan’ ‘Apakah demikian Bu?’ ‘E, menurut sajalah pada orang tua. Dan lagi di belakang anginnya dingin. Kalau di depan kan tidak.’ g. Raden Nganten Guru Tokoh Raden Nganten guru merupakan suami dari tokoh Raden Ayu Mantri guru. Berdasarkan ketelibatannya dalam cerita tokoh ini merupakan tokoh protagonis. Terlihat ketika Raden Ajeng Tien hampir terjatuh dari mobil ia commit user kutipannya: sangat khawatir kepada anak asuhnya itu.toBerikut
128 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Aduh ngger! Tudjune diparingi slamet. Dospundi ta Djeng kok le ora ngati-ati kuwi!” Tjrijosan mekaten kala wae kalijan megap-megap, kabekta saking kaget lan uwasing manah” (hlm. 45) Terjemahan: ‘Aduh nak, untung masih diberi selamat. Bagaimana ta Djeng kok tidak hati-hati’ berkata demikian sambil terbata-bata karena masih kaget dan khawatir.’ Tokoh ini merupakan tokoh peripheral sekaligus tokoh sederhana karena tokoh Raden Nganten guru hanya muncul dalam satu bab itupun tidak dijelaskan bagaimana watak dan karakternya. Tokoh ini merupakan suami dari Raden Ayu Mantri guru yang sedang sakit sehingga tidak dapat ikut ke Magelang. Berikut temuan tersebut: “Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok. Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44) Terjemahan: ‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau Bapak tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang berangkat.’ 1) Analitik Tidak ditemukan data mengenai analisis penokohan secara analitik. Pengarang tidak menyebutkan perwatakan dan tingkah laku tokoh Raden Nganten guru secara langsung karena tokoh ini hanya sebagai tokoh peripheral dan sederhana yang sifatnya hanya mendukung cerita. 2) Dramatik Hasi analisis secara dramatik pada toko Raden Nganten guru didapatkan data bahwa tokoh ini merupakan tokoh yang perhatian terhadap Raden Ajeng Tien, dan saat itu kondisinya sedang sakit. Berikut kutipannya: “Aduh ngger! Tudjune diparingi slamet. Dospundi ta Djeng kok le ora ngati-ati kuwi!” Tjrijosan mekaten kala wae kalijan megap-megap, kabekta saking kaget lan uwasing manah” (hlm. 45)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
129 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Aduh nak, untung masih diberi selamat. Bagaimana ta Djeng kok tidak hati-hati’ berkata demikian sambil terbata-bata karena masih kaget dan khawatir.’ “Djeng Tien ki kok ya aneh, genah keng Bapak saweg gerah ngaten kok. Upami keng Bapak boten saweg sakit, kua inggih ndherek. Malah keng Bapak pijambak terkadang inggih klaju.”(hlm.44) Terjemahan: ‘Djeng Tien ini kok aneh, jelas-jelas Bapak sedang sakit kok. Kalau Bapak tidak sakit tentu Ibu akan ikut. Malah kadang bapak sendiri yang berangkat.’ h. Kasna Tokoh Kasna adalah tokoh protagonis. Hal tersebut berdasarkan temuan peneliti bahwa tokoh Kasna merupakan teman Rapingun saat bekerja pada Nyonyah Oei Wat Hien sebagai supir taksi, tokoh Kasna digambarkan sebagai seorang yang patuh, apapun yang diperintahkan oleh Rapingun ia kerjakan dengan baik. Berikut kutipannya: “Na, Na, Kasna!” “Kula” “Hara djajal iki kabeh bukana” “Enggih”(hlm. 9) Terjemahan: ‘Na, Na, Kasna!” ‘Saya’ ‘Coba ini dibuka semua’ ‘Iya’ “Na, slinger kae jupuken!” “Enggih”(hlm. 10) Terjemahan: ‘Na, ambilkan slinger itu!’ ‘Iya’ “Wis Na, puteren sing ajeg ja, Na.” “Enggih” (hlm. 10) Terjemahan: commit to user ‘Sudah Na, tolong diputar yang teratur’
perpustakaan.uns.ac.id
130 digilib.uns.ac.id
‘Iya’ “Na, padangana nganggo rek ja Na!” “Enggih” Terjemahan: ‘Na, tolong terangi ini pakai korek api ya’ ‘Iya’ “Na, ndjupuka gombal” “Enggih” (hlm. 11) Terjemahan: ‘Na, ambilah kain’ ‘Iya’ Kasna merupakan tokoh peripheral karena ia hanya mengambil bagian kecil dalam cerita dan lagi tokoh ini hanya muncul satu kali yaitu pada bab I yang berjudul oto mogok setelah itu tidak muncul lagi. Sifat kemunculan tokoh Kasna dalam bab tersebut adalah untuk menguatkan profesi Rapingun sebagai supir taksi karena Kasna berperan sebagai kondektur. Berikut kutipan yang membuktikan: Kenekipun oto mandap rumijin, nggandjel roda wingking awit wonten margi sumengka....(hlm. 8) Terjemahan: ‘Kondektur mobil turun lebih dulu, mengganjal roda belakang karena di jalan menurun....’ Tokoh sederhana juga disandang oleh tokoh Kasna sebab ia merupakan tokoh yang kurang menampilkan personalitas secara utuh dan tidak di kisahkan secara utuh dalam cerita. Dalam cerita ia hanya digambarkan dengan watak yang patuh dan sedikit pamrih. Seperti terlihat pada kutipan dibawah ini: “....Mangka sajektosipun sampun kumetjer sumerep tanganipun prijantun wau isi arta. Mila semu gela sanget, dene mlesed pangadjeng-adjengipun tampi panduman....” (hlm. 12) Terjemahan: ‘....Padahal sebenarnya sudah bernafsu melihat tangan orang itu berisi uang. Karena itulah dia kecewa sekali, keinginannya untuk mendapat commit to user imbalan gagal.’
131 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Analitik Penggambaran
tokoh
Kasna
secara
analitik
dapat
dilihat
dari
penggambaran tokoh Kasna yang pamrih oleh pengarang. Kasna sangat ingin menerima uang itu, namun melihat Rapingun menolaknya ia menjadi kecewa. Seperti terlihat pada kutipan berikut ini: “....Sopir terus murugi otonipun pijambak ladjeng njambak rambutipun Kasna, awit Kasna mlongo dening lurahipun boten purun nampeni arta. Mangka sajektosipun sampun kumetjer sumerep tanganipun prijantun wau isi arta. Mila semu gela sanget, dene mlesed pangadjeng-adjengipun tampi panduman. Nanging dereng ngantos kasumerepan dening ingkang bade suka ganjaran kesesa dipunsered sopiripun” (hlm. 12) Terjemahan: ‘....Supir lalu kembali ke mobil dan menjambak rambut Kasna, karena Kasna terkesima atasannya tidak mau menerima uang. Padahal sebenarnya sudah bernafsu melihat tangan orang itu berisi uang. Karena itulah dia kecewa sekali, karena keinginannya untuk mendapat hasil gagal. Belum sampai orang yang ingin memberi tahu ia sudah diseret supir’ 2) Dramatik Hasil temuan peneliti berdasarkan analisis dramatik diperoleh data bahwa tokoh Kasna merupakan tokoh yang patuh dan juga senang bergurau, terlihat dari cara pengarang menggambarkan dengan dialog antara Rapingun yang memerintahkan Kasna dan Kasna selalu menjawab enggih ‘iya’ dilanjutkan dengan lagak Kasna yang seperti orang kaya membuat suasana penceritaan lebih segar. Berikut kutipannya: “Na, Na, Kasna!” “Kula” “Hara djajal iki kabeh bukana” “Enggih”(hlm. 9) Terjemahan: ‘Na, Na, Kasna!” ‘Saya’ ‘Coba ini dibuka semua’ ‘Iya’ “Na, slinger kae jupuken!” commit to user “Enggih”(hlm. 10)
perpustakaan.uns.ac.id
132 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Na, ambilkan slinger itu!’ ‘Iya’ “Wis Na, puteren sing ajeg ja, Na.” “Enggih” (hlm. 10) Terjemahan: ‘Sudah Na, tolong diputar yang teratur’ ‘Iya’ “Na, padangana nganggo rek ja Na!” “Enggih” Terjemahan: ‘Na, tolong terangi ini pakai korek api ya’ ‘Iya’ “Na, ndjupuka gombal” “Enggih” (hlm. 11) Terjemahan: ‘Na, ambilah kain’ ‘Iya’ “Pundi, ngriki adjeng kula engge kudung, wong teksih gremis. Kula niki sok mumet nek kegrimisan.” “Pambekanmu kaja ndara menggung, wis iki busine pasangen sing kentjeng ya Na!”(hlm. 11) Terjemahan: ‘Mana, sini mau saya pakai kerudung, masih gerimis ini. Saya ini pusing kalau terkena gerimis’ ‘lagakmu itu seperti ndara menggung, sudah ini businya dipasang yang kuat ya’ i. Kreta/Kerta Tokoh Kerta merupakan pembantu rumah tangga yang mengabdi pada tokoh Raden Bei Asisten Wedana. Tokoh Kerta merupakan tokoh protagonis karena dalam penggambarannya ia digambarkan sebagai seorang yang patuh dan senang membantu, seperti terlihat pada kutipan berikut: “Wis genah kuwi pak.” commit to user “Wis terang.”Ladjeng ngundang rentjangipun, “Ta, Ta, Kerta!”
perpustakaan.uns.ac.id
133 digilib.uns.ac.id
“Kae sopiri nyah Hien undangen mrene. Kandaa aku sing ngundang ja” “Nun inggih”(hlm. 21). Terjemahan: ‘Sudah pasti itu Pak’ ‘Sudah jelas’ lalu memanggil pembantunya. ‘Ta, Ta, Kerta!’ ‘Itu supir Nyah Hien undang kemari, bilang aku yang mengundang’ ‘Iya” Kreta dateng, ngrentjangi Rapingun. Kreta punika samangke prasasat dados kenekipun Rapingun ing samukawis padamelan (hlm. 31) Terjemahan: ‘Kreta datang, membantu Rapingun. Kreta seperti menjadi asisten Rapingun di semua pekerjaan’ Tokoh Kreta merupakan tokoh peripheral karena keberadaannya hanya bersifat mendukung tokoh utama yaitu Rapingun. Ia membantu menunjukan sifat-sifat Rapingun, seperti saat melatih kuda Rapingun terlihat sangat berani memegangi kuda sedangkan Kreta sangat penakut ia hanya berjaga-jaga diluar kandang. Berikut kutipannya: “Patrap sampejan sing dereng kebeneran. Wong sampejan niku djirihe boten djamak. Ngresiki gedogan mawon seking njaba. Bareng karo wedus kendele ora djamak. Wong wedus adjeng sampejan tunggangi. Betjike djeneng sampejan niku Kreta wedus mawon, ampun Kreta djaran” (hlm. 32). Terjemahan: ‘Tingkah laku kamu saja yang belum benar. Kamu itu sangat penakut. Membersihkan kandang saja dari luar. Kalau sama kambing saja berani. Apa kambing mau kamu tunggangi. Baiknya namamu itu Kreta kambing saja, jangan Kreta Kuda’ Analisis dari segi keterlibatannya dalam cerita menunjukkan tokoh ini merupakan tokoh sederhana karena kurang mewakili keutuhan personalitas manusia. Tokoh tersebut selain digambarkan seorang yang patuh dan suka membantu, oleh pengarang juga digambarkan senang bergurau. Seperti terdapat pada kutipan dibawah ini: Hus, hus Ta adja gemblung lo!” “Boten Ndara Rap e kesupen Ndara Seter.” commitmbambung.” to user “Kerta angger di-elikake malah
perpustakaan.uns.ac.id
134 digilib.uns.ac.id
“Kula kengetan saweg wonten Ngadiredja, kok Ndara.” (hlm. 106). Terjemahan: ‘Eh Ta jangan gila ya!’ ‘Tidak Tuan Rap, e lupa Tuan Seter.’ ‘Kerta jika diinggatkan semakin menjadi-jadi.’ ‘Saya teringat saat di Ngadireja kok Tuan.’ “Wah Ndara Adjeng ki, e kesupen, Ndara Den Aju Seter, dumeh manten anjar ndur sija-sija”(hlm. 106). Terjemahan: ‘Wah Ndara Ajeng ini, e lupa, Ndara Ayu Seter, mentang-mentang pengantin baru lalu semena-mena’ 1) Analitik Penggambaran tokoh Kerta secara analitik disampaikan oleh pengarang bahwa Kerta merupakan tokoh yang penakut. Telihat ketika Kreta melihat Rapingun menunggangi Hel yang hampir jatuh karena Hel bertingkah tidak terkendali. Berikut kutipannya: “Kreta sumerep Rapingun kabekta nglumba-lumba Hel manahipun geter, badanipun ngoplok, kuwatos mbok bilih Rapingun katjilakan. Sarehning mboten saged nulungi, tur Rapingun inggih boten betah dipuntulungi, Kreta namung ngetut wingking saking katebihan kemawon” (hlm. 37). Terjemahan: ‘Kreta melihat Rapingun menunggangi Hel yang diluar kendali jantungnya deg-degan, badannya lemas, khawatir jika Rapingun mendapat celaka. Karena tidak dapat menolong, dan Rapingun juga tidak ingin ditolong, Kreta hanya melihat dari kejauhan saja.’ 2) Dramatik Penggambaran tokoh Kreta secara dramatik ditemukan data bahwa Kreta merupakan abdi Raden Bei Asisten Wedana, yang patuh pada atasan serta suka membantu temannya, terlihat dari kesenangannya membantu Rapingun. Namun selain itu Kreta juga merupakan tokoh yang penakut sangat mengkhawatirkan Rapingun. Berikut kutipannya: “Wis genah kuwi pak.” “Wis terang.”Ladjeng ngundang rentjangipun, “Ta, Ta, Kerta!” commit to user “Kae sopiri nyah Hien undangen mrene. Kandaa aku sing ngundang ja”
perpustakaan.uns.ac.id
135 digilib.uns.ac.id
“Nun inggih”(hlm. 21). Terjemahan: ‘Sudah pasti itu Pak’ ‘Sudah jelas’ lalu memanggil pembantunya. ‘Ta, Ta, Kerta!’ ‘Itu supir Nyah Hien undang kemari, bilang aku yang memanggil ya’ ‘Iya” “Patrap sampejan sing dereng kebeneran. Wong sampejan niku djirihe boten djamak. Ngresiki gedogan mawon seking njaba. Bareng karo wedus kendele ora djamak. Wong wedus adjeng sampejan tunggangi. Betjike djeneng sampejan niku Kreta wedus mawon, ampun Kreta djaran”(hlm.32) Terjemahan: ‘Tingkah laku kamu saja yang belum benar. Kamu itu sangat penakut. Membersihkan kandang saja dari luar. Kalau sama kambing saja berani. Apa kambing mau kamu tunggangi. Baiknya namamu itu Kreta kambing saja, jangan Kreta Kuda’ j. Salijem Tokoh Salijem merupakan tokoh yang tidak banyak muncul tokoh ini hanya tiga kali muncul dalam penceritaan yaitu pada saat memberi tahu Raden Ayu Asisten Wedana bila ada tamu yaitu Nyonjah Oei Wat Hien, saat Rapingun bertanya keberadaan Den Bei dan ketika membuatkan es nangka untuk Rapingun. Sehingga peneliti menggolongkan Salijem sebagai tokoh protagonis, karena tidak ditemukan data yang menunjukan tokoh Salijem menyimpang atau menentang tokoh utama. Tokoh Salijem juga merupakan tokoh peripheral dan tokoh sederhana karena tidak memiliki waktu khusus dalam penceritaannya. Berikut bukti kemunculan tokoh Salijem: Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun rentjang estri, matur: “Menika wonten tamu, Ndara.” Bendaranipun estri taken: “sapa?” “njonjah Hien Temanggung” (hlm. 15-16). Terjemahan: ‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, berkata: ‘Ada tamu, Nyonya.” commit to user ‘Majikan perempuannya bertanya:
perpustakaan.uns.ac.id
136 digilib.uns.ac.id
‘Siapa’ ‘Nyonyah Hien Temanggung’ .... Lajeng ngungak dateng margi ageng, Den Bei Asisten Wedana sampun mboten ketingal. Enggal-enggal madosi rentjang estri pun salijem. Sareng pinanggih, saweg njapu wonten emper wingking (hlm. 32) Terjemahan: ‘.... Lalu melihat ke jalan besar, Den Bei Asisten Wedana sudah tidak terlihat. Buru-buru mencari pembantu wanita yang bernama Salijem. Setelah bertemu, ternyata ia sedang menyapu di pakarangan belakang’ “Maneh apa? Jen maneh si jem tak kon nggawekake maneh.”(hlm. 43). Terjemahan: ‘Lagi? Kalau mau nambah biar saya suruh si Jem untuk membuatkan lagi.’ k. Den Ayu Mantri Gudang/ Raden Ayu Mantri Tokoh Raden Ayu Mantri gudang merupakan tokoh protagonis. Hal ini telihat dari caranya memperlakukan Rapingun, walaupun Rapingun seorang supir tokoh ini tidak membeda-bedakan pekerjaan orang lain. Tokoh ini membawa pesan bahwa sebaiknya tidak memandang seseorang dari status sosialnya namun dari budi pekerti dan tingkah laku. Berikut kutipannya: Raden Aju Mantri ladjeng njambeti: “Ampun sing sopir, nadyan nak Rap niku kere upamane, wong kula kepingin nganggep anak, djandji nak Rap boten nampik rak kena-kena mawon ta” (hlm. 50). Terjemahan: ‘Raden Ayu Mantri melanjutkan: ‘Jangankan supir, walaupun kamu itu gelandangan, kalau saya ingin mengangkat anak kan tidak masalah asal kamu tidak menolak’ Tokoh ini merupakan tokoh peripheral karena tidak banyak diceritakan dalam cerita. Tokoh ini hanya dikisahkan mengantarkan Raden Ajeng Tien ke pasar malam di Magelang. Seperti telihat pada kutipan di bawah ini: “Jah bapakne ki kok aneh, olehe alot kuwi, rak padune digondeli gong. Saiki rak lagi momong botjah lah kok nganggo senenge dhewe” (hlm. 53) Terjemahan: ‘Bapak ini kok aneh, tidak mau pergi karena senang gamelan kan. commit to user Sekarang itu kita sedang mengantar lha kok malah mencari senang sendiri’
perpustakaan.uns.ac.id
137 digilib.uns.ac.id
Selanjutnya tokoh Raden Ayu Mantri merupakan tokoh sederhana karena dalam penggambarannya kurang menunjukan secara jelas keseluruhan kehidupan tokoh. Dalam cerita ditemukan data yang menunjukkan tokoh ini merupakan tokoh yang ramah, perhatian, dan tanggung jawab. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Nak Rap!” “Nun” “Ngriki mawon sing rada padhang!” “Sampun ngriki kemawon, Ndara” Raden Aju Mantri gudang ladjeng murugi Rapingun tanganipun dipungerd. Rapingun kapeksa boten saged suwala (hlm. 49). Terjemahan: ‘Nak Rap!’ ‘Saya’ ‘Di sini saja yang terang’ ‘Sudah di sini saja Ndara’ ‘Raden Ayu Mantri gudang lalu menghampirinya dan menggandheng tangan Rapingun. Rapingun tidak dapat menolak’ “Jah bapakne ki kok aneh, olehe alot kuwi, rak padune digondeli gong. Saiki rak lagi momong botjah lah kok nganggo senenge dhewe” (hlm. 53) Terjemahan: ‘Bapak ini kok aneh, tidak mau pergi karena senang gamelan kan. Sekarang itu kita sedang mengantar lha kok malah mencari senang sendiri’ 1) Analitik Analisis penggambaran tokoh secara analitik pada tokoh Raden Ayu Mantri gudang tidak ditemukan. Pengarang tidak menggambakan watak dan karakter tokoh Raden Ayu Mantri gudang secara langsung. 2) Dramatik Analisis penggambaran tokoh secara dramatik pada tokok Raden Ayu Mantri gudang dapat dilihat pada pemberian nama oleh pengarang dengan gelar Raden Ayu Mantri, hal ini telah menandakan bahwa tokoh ini adalah priyayi. Penggambaran lain adalah melalui dialog antar tokoh yang menunjukkan bahwa watak dari tokoh ini adalah ramah, perhatian, tanggung commit to user
138 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jawab, dan tidak membeda-bedakan status sosial seseorang. seperti kutipan di bawah ini: “Nak Rap!” “Nun” “Ngriki mawon sing rada padhang!” “Sampun ngriki kemawon, Ndara” Raden Aju Mantri gudang ladjeng murugi Rapingun tanganipun dipungerd. Rapingun kapeksa boten saged suwala (hlm. 49). Terjemahan: ‘Nak Rap!’ ‘Saya’ ‘Di sini saja yang terang’ ‘Sudah di sini saja Ndara’ ‘Raden Ayu Mantri gudang lalu menghampirinya dan menggandheng tangan Rapingun. Rapingun tidak dapat menolak’ “Jah bapakne ki kok aneh, olehe alot kuwi, rak padune digondeli gong. Saiki rak lagi momong botjah lah kok nganggo senenge dhewe” (hlm. 53) Terjemahan: ‘Bapak ini kok aneh, tidak mau pergi karena senang gamelan kan. Sekarang itu kita sedang mengantar lha kok malah mencari senang sendiri’ Raden Aju Mantri ladjeng njambeti: “Ampun sing sopir, nadyan nak Rap niku kere upamane, wong kula kepingin nganggep anak, djandji nak Rap boten nampik rak kena-kena mawon ta” (hlm. 50). Terjemahan: ‘Raden Ayu Mantri melanjutkan: ‘Jangankan supir, walaupun kamu itu gelandangan, kalau saya ingin mengangkat anak kan tidak masalah asal kamu tidak menolak’ l. Raden Bei Mantri gudang Tokoh Raden Bei Mantri gudang merupakan tokoh protagonis. Hal ini terlihat dari caranya memperlakukan Rapingun, walaupun Rapingun seorang supir tokoh ini tidak membeda-bedakan pekerjaan orang lain. Tokoh ini membawa pesan bahwa sebaiknya tidak memandang seseorang dari status sosialnya namun dari budi pekerti dan tingkah laku. Berikut kutipannya: commit to user
139 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Isin ta, dumeh sopir! Ampun ngoten nak Rap. Adjining wong nuku boten dumunung teng pangkat mawon. Tindak-tanduk lan luhuring budi, niku saged ndjundjung adji”(hlm. 50). Terjemahan: ‘Malu, karena kamu supir! Jangan begitu Rap. Harga diri seseorang itu tidak hanya dilihat dari pangkat seseorang. Tingkah laku dan budi luhur itulah yang dapat menjunjung martabat seseorang.’ Tokoh Raden Bei Mantri merupakan tokoh peripheral karena tidak banyak diceritakan dalam cerita. Tokoh ini hanya dikisahkan mengantarkan Raden Ajeng Tien ke pasar malam di Magelang. Seperti telihat pada kutipan di bawah ini: Sadaja ladjeng sami mlebet ing peken malem. Ing peken malem ngriku sampun rame sanget. Sadaja tetingalan sampun sami wiwit. Bango-bango sesadean lan mainan sampun katah ingkanag sami ngrubung. Sadaja tiyang sami ketingal bingah lan gembira....(hlm. 51-52) Terjemahan: ‘Kemudian mereka bersama-sama masuk ke pasar malam. Di pasar malam sangat ramai. Terlihat sudah mulai. Tenda-tenda pedagang dan permainan sudah banyak yang mengerumuni. Semua orang terlihat bahagia dan senang....’ Selanjutnya tokoh Raden Bei Mantri merupakan tokoh sederhana karena dalam penggambarannya kurang menunjukan secara jelas keseluruhan kehidupan tokoh. Dalam cerita ditemukan data yang menunjukkan tokoh ini merupakan tokoh yang sangat menyukai gamelan. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Wong swara kok sae, nek aku sing ngarani ja kepenak.”mangsuli mekaten wau kalijan mesem-mesem, dening manahipun kepranan dateng swantening klenengan. Mila anggenipun mirengaken dipunmataken saestu (hlm. 52). Terjemahan: ‘Suara kok bagus, kalau aku yang mendengakan ya enak’ menjawab demikian itu dengan tersenyum, hatinya terpesona pada suara gemelan. Oleh karena itu ia mendengarkan dengan baik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
140 digilib.uns.ac.id
1) Analitik Analisis penggambaran tokoh secara analitik pada tokoh Raden Bei Mantri gudang tidak ditemukan. Pengarang tidak menggambakan watak dan karakter tokoh Raden Bei Mantri gudang secara langsung. 2) Dramatik Analisis penggambaran tokoh secara dramatik pada tokok Raden Bei Mantri gudang dapat dilihat pada pemberian nama oleh pengarang dengan gelar Raden Bei Mantri, hal ini telah menandakan bahwa tokoh ini adalah priyayi. Penggambaran lain adalah memalui dialog antar tokoh yang menunjukkan bahwa watak dari tokoh ini adalah ramah, tidak membedabedakan status sosial seseorang dan ia juga menyukai gamelan. Seperti kutipan di bawah ini: “Isin ta, dumeh sopir! Ampun ngoten nak Rap. Adjining wong nuku boten dumunung teng pangkat mawon. Tindak-tanduk lan luhuring budi, niku saged ndjundjung adji”(hlm. 50). Terjemahan: ‘Malu, karena kamu supir! Jangan demikian Rap. Harga diri seseorang itu tidak hanya dilihat dari pangkat seseorang. Tingkah laku dan budi luhur itulah yang dapat menjunjung martabat seseorang.’ “Wong swara kok sae, nek aku sing ngarani ja kepenak.”mangsuli mekaten wau kalijan mesem-mesem, dening manahipun kepranan dateng swantening klenengan. Mila anggenipun mirengaken dipunmataken saestu (hlm. 52). Terjemahan: ‘Suara kok bagus, kalau aku yang mendengakan ya enak’ menjawab demikian itu dengan tersenyum, hatinya terpesona pada suara gemelan. Oleh karena itu ia mendengarkan dengan baik. l. Hardjana Tokoh Hardjana merupakan tokoh antagonis dalam cerita novel Ngulandara dikarenakan tokoh tersebut mengambil bagian penentang tokoh utama dalam cerita dan lagi sifat-sifat yang diberikan pengarang kepada tokoh Hardjana menimbukan rasa benci dan antipati pembaca terhadap tokoh tersebut. Tokoh Hardjana merupakan yang tidak tahu tata krama, commit topemuda user
perpustakaan.uns.ac.id
141 digilib.uns.ac.id
meskipun ia sebenarnya mengetahui aturan-aturan yang berlaku namun tokoh Hardjana tidak menghiraukannya. Sifat sifat yang terdapat pada tokoh Hardjana seperti pepatah Jawa yaitu adigang, adigung, adiguna maksudnya seseorang yang mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan kepandaiannya. Hal tersebut sesuai dengan kutipan di bawah ini: “....Tijang estri ingkang linggih satjelakipun Raden Adjeng Tien ladjeng grenengan:”nitik wong lan panganggone mono kaja prijaji, nanging kelakuane kok kaja mengkono. Wiwit mau gembar-gembor kaja wong edan”(hlm. 55). Terjemahan: ‘ .... Wanita yang duduk di dekat Raden Adjeng Tien menggumam, jika di lihat dari orang dan pakaiannya mirip seperti priyayi, tapi kelakuannya dari tadi berteriak-teriak seperti orang gila saja’ “Djejaka kalih punika kedjawi patrap lan swantenipun gembar-gembor mekaten wau, tansah nolah-noleh ngiwa-nengen lan dateng wingking. Kala Raden Adjeng Tien saweg maspadakaken dununging swanten, dilalah djaka ingkang prakosa punika noleh dateng wingking, plek gatuk panjawangipun. Sanalika Raden Adjeng Tien tumungkul, ketingal bijas pasemonipun. Getering manah kados tinubruk ing sima lepat.” (hlm. 56). Terjemahan: ‘Dua pemuda itu selain memiliki tingkah laku dan suara yang keras, selalu menoleh ke kanan-kiri dan ke belakang. Saat Raden Ajeng Tien sedang mencari datangnya sumber suara, kebetulan pemuda yang gagah itu menoleh ke belakang, bertemulah pandangan keduanya. Saat itu pula Raden Ajeng Tien berpaling, terlihat pucat wajahnya. Dilihat dari segi keterlibatannya dalam cerita tokoh Hardjana merupakan tokoh peripheral dikarenakan Hardjana hanya sebagai pendukung tokoh utama dalam menyampaikan pesan jikalau tokoh utama merupakan pribadi yang selalu waspada. Tokoh Hardjana yang telah menunjukkan gelagat kurang baik sejak di pasar malam di Magelang, membuat Rapingun waspada jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan benar saja ternyata Hardjana memiliki niat jahat terhadap momongane yaitu Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya: “Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis njanding karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan nuding dateng Rapingun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
142 digilib.uns.ac.id
Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono kurang adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane tetepungan, dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi sedulurku nak-sanak ngerti!” (hlm. 65). Terjemahan: ‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah bersama pemuda tampan itu! berkata seperti itu tadi sambil menunjuk ke arah Rapingun.’ Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: kurang ajar sekali kamu, Hardjana. Sebaiknya kamu bertanya dulu, atau berkenalan, sehingga tahu dengan siapa kamu bicara. Dia saudaraku mengerti!’ Hardjana ngembat tosanipun gligen kaangkahaken ing sirahipun Rapingun. Sarehning Rapingun sampun mboten saged mingser malih, tanganipun tengen ingkang saweg njepeng setir kepeksa kangge anjagi sirah, setir kapepet dada, oto mampah, pres, tanganipun Rapingun kagebag saking wingking dening Hardjana. (hlm. 66). Terjemahan: Hardjana mengambil besi diarahkan ke kepala Rapingun. Karena Rapingun tidak dapat menghindar lagi, tangan kanannya yang harusnya memegang kemudi terpaksa ia gunakan untuk melindungi kepala, dadanya ia gunakan untuk menjaga kemudi, mobil berjalan dan tangan Rapingun terkena pukulan Hardjana dari belakang. Segi perwatakan dan karakternya tokoh Hardjana merupakan tokoh sederhana, dikarenakan tokoh ini kurang mewakili keutuhan personalitas manusia hanya sisi tertentu saja yang diperlihatkan. Hal yang menyebabkan Hardjana bertindak kasar adalah saat mengetahui perasaannya kepada Raden Ajeng Tien bertepuk sebelah tangan. Terlihat pada kutipan di bawah ini: “Keprije ta, kok kowe gawe sengasaraning awakku?” “Aku ora rumangsa gawe sengsaramu.” “Genea saiki kowe nampik aku?”(hlm. 63). Terjemahan: ‘Bagaimana, kok kamu sampai tega membuat aku sengsara?’ ‘Aku tidak merasa begitu’ ‘Kenapa sekarang kamu menolakku’ Hardjana juga merupakan tokoh yang tempramen dan mudah emosi. Dengan mudah ia tersulut kemarahan ketika Raden Ajeng Tien tidak menanggapinya, hal tersebut mendorong ia melakukan hal-hal commit to user yang tidak pantas. Namun pada
143 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
akhirnya seseorang yang memiliki niat jahat akan kalah kepada kebaikan sesuai dengan falsafah Jawa becik ketitik ala ketara. Seperti kutipan di bawah ini: “Sarehning Raden Adjeng Tien boten nanggapi, Hardjana ladjeng minggah dateng treeplank tanganipun badhe nggajuh tanganipun Raden Ajeng Tien....”(hlm. 66). Terjemahan: ‘Karena Raden Ajeng Tien tidak menanggapi, Hardjana lalu naik ke treeplank ingin memengang tangan Raden Ajeng Tien....’ 1) Analitik Penggambaran tokoh secara analitik dapat dilihat ketika pengarang menggambarkan bentuk fisik tokoh Hardjana sebagai pemuda gagah dan terlihat garang sesuai dengan badannya yang besar, seperti tergambar pada kutipan di bawah ini: “Djejaka kalih punika, ingkang setunggal tjekapan ageng inggilipun, pakulitanipun abrit asat, pasemon ketingal kereng, sembada kalijan sentosaning badanipun...”.(hlm. 56). Terjemahan: ‘Dua pemuda tadi yang satu seimbang antara besar dan tingginya, kulitnya merah, terlihat garang, cocok dengan badannya yang besar....’ “Djejaka ingkang prakosa ladjeng pitaken dateng Raden Adjeng Tien kanti taklim lan ulat sumeh. Gineman kanthi tembung Welandi” (hlm. 63). Terjemahan: ‘Pemuda yang gagah lalu bertanya kepada Raden Ajeng Tien dengan sopan dan ramah menggunakan bahasa Belanda’ 2) Dramatik Analisis dramatik tokoh Hardjana dapat dilihat dari dialog tokoh lain, dari dialog tersebut diketahui bahwa nama tokoh yang berbadan besar dan gagah bernama Hardjana. Hardjana adalah seorang diploma dan Hardjana juga seorang yang mudah emosi. Kutipannya sebagai berikut: “Samangke Rapingun mangertos jen djejaka ingkang prakosa wau namanipun Hardjana, manut panjebuting Raden Adjeng Tien punika” (hlm. 63). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
144 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Rapingun akhirnya tahu pemuda yang gagah itu bernama Hardjana, seperti Raden Ajeng Tien memanggillnya’ “O tjetek temen budimu iku Hardjana? Diplomamu saka Mulo rak kena kanggo ular-ular nglaras sawijining bab (hlm. 64). Terjemahan: ‘O, dangkal sekali pemikiranmu Hardjana? Gelar diploma yang kamu peroleh dari Mulo seharusnya bisa kamu jadikan dasar menganalisis suatu perkara’ “Hardjana medot ginemipun Raden Adjeng Tien.” “Kok obong apa kok suwek-suwek potretku, Tien!” (hlm. 65). Terjemahan: ‘Hardjana memotong pembicaraan.’ ‘Kamu bakar atau kamu robek fotoku, Tien!’ Hardjana juga menggunakan bahasa Belanda untuk memanggil Raden Adjeng Tien saat itu, seperti berikut: “Slamet bengi, juffrouw Supartinah!” “Slamet bengi, meneer Hardjana” (hlm. 63). Terjemahan: ‘Selamat malam, Ibu Supartinah!’ ‘Selamat malam, Bapak Hardjana’ Tokoh Hardjana digambarkan memiliki sikap yang kurang baik karena ia menghadang perjalanan Raden Ajeng Tien ditengah hutan. Seharusnya ia membicarakan permasalahan seperti itu dengan jalan yang baik dan terhormat dan tentunya dengan tata cara yang sesuai peraturan di masyarakat. Seperti halnya kurang menghargai seseorang, tidak menghormati seseorang berbicara, ia juga terkesan memaksakan perasaannya kepada Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya: “Dadi wose kowe pantjen ora demen karo aku, amarga kowe wis njanding karo botjah bregas kuwi!”Tjariyos mekaten wau kalijan nuding dateng Rapingun. Raden Adjeng Tien prempeng, ladjeng mangsuli:”wah semono kurang adjarmu, Hardjana. Pantjene kowe rak takon disik, utamane tetepungan, dadi ngerti kuwi sapa. Kuwi sedulurku nak-sanak ngerti!” (hlm. 65). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
145 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Jadi intinya kamu memang tidak menyukaiku, karena kamu telah bersama pemuda tampan itu! berkata seperti itu tadi sambil menunjuk ke arah Rapingun.’ Raden Ajeng Tien berkaca-kaca, kemudian menjawab: Kurang ajar sekali kamu, Hardjana. Seharusnya kamu bertanya dulu, atau berkenalan, sehingga kamu tahu dengan siapa kamu bicara. Dia saudaraku mengerti!’ “O Tien sanadjan jagad iki djembar, nanging mung kowe sing dadi gantilaning atiku. Jen aku ora bisa oleh kowe, uripku ing donja iki ora ana tegese babar pisan, mulane tampanana salamku”(hlm. 66). Terjemahan: ‘ Oh Tien walaupun dunia ini luas, tetapi hanya kamu yang menjadi wanita pujaan hatiku. Kalau aku tidak bisa memiliki kamu, hidupku di dunia ini tidak ada artinya, oleh karena itu Tien terimalah cintaku’ n. Suratna Tokoh Suratna merupakan tokoh antagonis. Tokoh Suratna adalah tokoh yang membantu Hardjana dalam menghadang mobil Rapingun bersama Raden Ajeng Tien. Dalam cerita bahwa tokoh Suratna tidak begitu banyak dijelaskan namun tokoh tersebut bertugas menodongkan pistol ke arah Rapingun selagi Hardjana berbicara dengan Raden Ajeng Tien. Tokoh Suratna sebenarnya tidak memiliki masalah namun seperti halnya cedhak kebo gupak maka ia terseret dalam masalah Hardjana. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Sareng oto sampun kendel, djaka ingkang prakosa ladjeng njelaki Raden Adjeng Tien, dene ingkang putjet minggah treeplank njelaki Rapingun, tanganipun kiwa njepeng tenda, ingkang tengen ngagag-agak pistul. Sanalika Rapingun ketingal njekukruk, adjrih sanget, tanganipun kalih ontjat saking setir, dipun kempit ing pangkonipun” (hlm. 63). Terjemaahan: ‘Setelah mobil berhenti pemuda yang gagah lalu mendekati Raden Ajeng Tien, sedangkan yang pucat naik ke treeplank mendekati Rapingun, tangan kirinya memegang tenda, tangan kanannya menodongkan pistol. Seketika Rapingun terlihat ketakutan tangannya hanya sembunyikan diantara pahanya saja.’ Tokoh Suratna menurut segi watak dan karakternya dalam cerita merupakan tokoh sederhana karena tokoh ini tidak digambarkan secara jelas commit to userRapingun dan Raden Ajeng Tien. dan hanya muncul saat penghadangan mobil
146 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dijelaskan bahwa Suratna memiliki wajah yang pucat, berkulit kuning, tinggi dan berwajah sinis. Kutipannya sebagai berikut: ....Dene ingkang setunggal pakulitanipun djene, dedegipun lentjir, pasemonipun njluring, ulatipun putjet, nelakaken jen awon manahipun (hlm. 56). Terjemahan: ‘....Sedangkan yang satunya berkulit kuning, bertubuh tinggi, wajahnya sinis dan dingin, menunjukkan bahwa hatinya buruk’ 1) Analitik Analisis penggambaran tokoh Suratna digambarkan secara tersirat terlebih dahulu ditandai dengan penggunaan kata djejaka kalih ‘dua pemuda’ yaitu Hardjana dan Suratna Dijelaskan bahwa Suratna memiliki wajah yang pucat, berkulit kuning, tinggi dan berwajah sinis. Perhatikan kutipan dibawah ini: “Djejaka kalih punika, ingkang setunggal tjekapan ageng inggilipun, pakulitanipun abrit asat, pasemon ketingal kereng, sembada kalijan sentosaning badanipun. Dene ingkang setunggal pakulitanipun djene, dedegipun lentjir, pasemonipun njluring, ulatipun putjet, nelakaken jen awon manahipun” (hlm. 56). Terjemahan: ‘Dua pemuda tadi yang satu seimbang antara besar dan tingginya, kulitnya merah padam, terlihat garang, cocok dengan badannya yang besar. Sedangkan yang satunya berkulit kuning, bertubuh tinggi, wajahnya sinis dan dingin, menunjukkan bahwa hatinya buruk’ 2) Dramatik Analisis secara dramatik disebutkan bahwa djejaka kalih merupakan priyayi, namun bertingkah seperti orang gila dan lagi dari dialog Raden Ajeng Tien yang menjelaskan bahwa tokoh berwajah pucat adalah Suratna. Kutipannya sebagai berikut: “....Tijang estri ingkang linggih satjelakipun Raden Adjeng Tien ladjeng grenengan:”nitik wong lan panganggone mono kaja prijaji, nanging kelakuane kok kaja mengkono. Wiwit mau gembar-gembor kaja wong edan”(hlm. 55).
commit to user
147 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: ‘ .... Wanita yang duduk di dekat Raden Adjeng Tien menggumam,”jika dilihat dari orang dan pakaiannya mirip seperti priyayi, tapi kelakuannya dari tadi berteriak-teriak seperti orang gila saja’ “Sing ko-anggo ngantem Hardjana karo Suratna mau apa?” “Sendok ban. Menapa ingkang setunggal wau namanipun Suratna?” “Ija. Nanging aku gumun, dene kowe kok oleh sendok ban.” “Tijang sampun sedija wiwit pangkat saking Magelang” “Dadi kowe wis nyedijani wiwit ana Magelang?” “Inggih” (hlm. 72). Terjemahan: ‘Apa yang kamu gunakan untuk menghantam Hardjana dan Suratna tadi?’ ‘Sendok ban. Apa yang satunya tadi bernama Suratna?’ ‘Iya. Tapi saya bingung, darimana kamu mendapat sendok ban.’ ‘Saya sudah menyiapkan sejak berangkat dari Magelang’ ‘Jadi kamu sudah menyiapkan mulai dari Magelang?’ ‘Iya’ o. Raden Bei Mantri Guru Kedungwuni Tokoh
Mantri
guru
Kedungwuni
merupakan
tokoh
protagonis.
Dikarenakan tokoh ini tidak menentang tokoh utama dan menyampaikan pesan moral dimana setiap ada yang datang bertamu kerumah sebagai orang Jawa harus ewuh, suguh lan lungguh. Berikut kutipannya: “Mangga .... mangga lenggah Den Mas!” “Inggih Pak.” “Mentas tindak pundi menika wau?” “Namung mubeng-mubeng kemewon”(hlm. 100). Terjemahan: ‘Silakan...silakan duduk Den Mas!’ ‘Iya Pak’ ‘Dari mana tadi’ ‘Hanya berputar-putar saja’ Tokoh Raden Bei Mantri guru Kedungwuni merupakan tokoh peripheral karena tidak banyak diceritakan dalam cerita. Tokoh ini hanya dikisahkan seorang mantri yang berada di Kwijen. Seperti telihat pada kutipan di bawah ini: “Keleres ing dinten Minggu, commit toing user kampung Kwidjen sawingking Pekalongan, wonten tijang neneman numpak sepeda motor Norton 6
perpustakaan.uns.ac.id
148 digilib.uns.ac.id
P.K model enggal, ladjeng kendel ing ngadjeng grijanipun mantri guru” (hlm. 100). Terjemahan: ‘Bertepatan dengan hari Minggu, di kampung Kwijen belakang Pekalongan, ada seorang pemuda mengendarai sepeda motor Norton 6 P.K model baru, lalu berhenti di depan rumah mantri guru.’ Tokoh Raden Bei Mantri merupakan tokoh sederhana karena dalam penggambarannya kurang menunjukan secara jelas keseluruhan kehidupan tokoh. Dalam cerita ditemukan data yang menunjukkan tokoh ini merupakan tokoh yang ramah. Hal itu dapat dilihat pada kutipan berikut: “Den Bei Mantri guru mbageaken: “Rak inggih sugeng ta dimas?” “Pangestunipun kangmas sekalijan inggih wiludjeng” “Di Adjeng lan Tien rak ja sugeng ta!” “Pangestunipun kangmas wiludjeng”(hlm. 102) Terjemahan: ‘Den Bei Mantri guru mempersilakan:’ ‘Sehat kan dimas’ ‘Atas doa kangmas semuanya sehat’ ‘Diajeng dan Tien sehat’ ‘Atas doa kangmas sehat 1) Analitik Analisis penggambaran tokoh Raden Bei Mantri Guru digambarkan sebagai tokoh yang bisa membimbing siapa saja yang berbicara dengannya akan merasa cocok dan sampai lupa waktu, ia juga seorang penyabar. Perhatikan kutipan dibawah ini: “Den Bei Mantri guru pantjen saged momong kantja nem sepuh, tur jembar memanahipun tjutjut tjetjerijosanipun Para prijantun ingkang sami dhateng ngriku adjeg ladjeng kesupen dateng wantji, amargi keremenen mirengaken tjetjerijosanipun. Mila sadaja prijantun, ageng alit sami kumraket dateng Den Bei Mantri guru” (hlm. 102). Terjemahan: ‘Den Bei Mantri Guru memang bisa momong teman muda atau tua, dan lagi penyabar dan menyenangkan’ commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
149 digilib.uns.ac.id
‘Orang yang datang sampai lupa waktu karena senang mendengar ceritanya. Maka semua orang tua muda dapat akrab dengan Den Bei Mantri guru’ 2) Dramatik Analisis penggambaran tokoh secara dramatik pada tokok Raden Bei Mantri guru dapat dilihat pada pemberian nama oleh pengarang dengan gelar Raden Bei Mantri, hal ini telah menandakan bahwa tokoh ini adalah priyayi. Penggambaran lain adalah memalui dialog antar tokoh yang menunjukkan bahwa watak dari tokoh ini adalah ramah. Seperti kutipan di bawah ini: “Mangga .... mangga lenggah Den Mas!” “Inggih Pak.” “Mentas tindak pundi menika wau?” “Namung mubeng-mubeng kemewon”(hlm. 100). Terjemahan: ‘Silakan...silakan duduk Den Mas!’ ‘Iya Pak’ ‘Dari mana tadi’ ‘Hanya berkeliling saja’ “Den Bei Mantri guru mbageaken: “Rak inggih sugeng ta dimas?” “Pangestunipun kangmas sekalijan inggih wiludjeng” “Di Adjeng lan Tien rak ja sugeng ta!” “Pangestunipun kangmas wiludjeng”(hlm. 102) Terjemahan: ‘Den Bei Mantri guru mempersilakan:’ ‘Sehat kan dimas’ ‘Atas doa kangmas semuanya sehat’ ‘Diajeng dan Tien sehat’ ‘Atas doa kangmas sehat o. Prijantun Estri Setengah Sepuh/ Den Ayu Mantri guru Tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh merupakan tokoh yang tidak banyak muncul tokoh ini hanya satu kali muncul dalam penceritaan yaitu pada saat menyambut kedatangan Rapingun ke rumahnya, ia digambarkan sangat menyukai Rapingun. Sehingga peneliti menggolongkan Prijantun Estri Setengah Sepuh sebagai tokoh protagonis, commit to userkarena tidak ditemukan data yang
perpustakaan.uns.ac.id
150 digilib.uns.ac.id
menunjukan tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh menyimpang atau menentang tokoh utama. Tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh juga merupakan tokoh peripheral dan tokoh sederhana karena tidak memiliki waktu khusus dalam penceritaannya. Berikut bukti kemunculan tokoh Prijantun Estri Setengah Sepuh: “Saking nglebet wonten swantenipun prijantun estri setengah sepuh gumrapjak sadjak supaket: “E,e toblas ana kamadjaja tumurun” “Ibu ki angger-angger kok ngono” “Pancen ngono kok pak. Anaa dalan kane angger aku kepethuk Den Mas, tukku ngaturi nek ora Pamadi ja Abimanju. Saiki tak elih Kamadjaja ngeja wantah. Arep mrengut ja ben.”(hlm. 101) Terjemahan: ‘Dari dalam terdengar suara seorang wanita setengah tua ramah seperti sudah kenal: ‘E,e ada Kamajaya turun’ ‘Ibu ini kok pasti begitu’ ‘Memang demikian kok pak, di jalan pun kalau bertemu Den Mas ini, aku selalu memanggilnya Pamadi atau Abimanyu, sekarang tak ganti Kamajaya turun ke bumi. Biarkan saja.’ 2. Analisis Nilai pendidikan Budi Pekerti pada novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Munculnya pendidikan budi pekerti bukanlah hal yang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia sebab pendidikan budi pekerti telah ada sejak dahulu yang terintergrasi kedalam mata pelajaran atau berdiri sendiri, saat ini pemerintah tengah mengupayakan kembali penanaman nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang dikenal dengan istilah pendidikan karakter. Peneliti dalam analisis nilai budi pekerti merujuk pada pendapat Suparno dkk. (2003) dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Budi Pekerti untuk SMU-SMK menjelaskan 10 nilai budi pekerti yang mewakili empat sikap yaitu sikap terhadap Tuhan, sikap terhadap sesama, sikap terhadap diri sendiri dan sikap terhadap alam semesta. Kesepuluh nilai budi pekerti tersebut antara lain: 1) religiositas, 2) sosialitas, 3) gender, 4) keadailan, 5) demokrasi, 6) kejujuran, 7) kemandirian, 8) daya juang, 9) tanggung jawab, commit to user 10) penghargaan terhadap lingkungan. Selanjutnya Endraswara (2003: 24)
perpustakaan.uns.ac.id
151 digilib.uns.ac.id
menyatakan bahwa sumber dari nilai budi pekerti bersumber dari kearifan tradisonal Jawa. Kearifan tersebut berasal dari para pendahulu yang terucap dengan penuh kesederhanaan dan penuh suasana prihatin. a) Nilai Religiusitas Religiusitas adalah sikap dan kesadaran manusia bahwa dalam hidup ini ada kekuatan atau kekuasaan yang jauh melampaui kekuatan dan kekuasaan manusia. Manusia terdiri atas dua dimensi yaitu lahiriah dan batiniah. Dimensi batin inilah yang menyadarkan bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah dan masih ada kekuatan dan kekuasaan yang mutlak. Dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdapat nilai religiusitas yang menunjukkan kepasrahan seorang manusia kepada yang Maha Mengatur Kehidupan, hal tersebut terbukti ketika tokoh Raden Ayu Asisten Wedana berdoa ketika ia dalam kesusahan karena mobilnya rusak di tengah hutan dan tidak ada pertolongan. Sikap religius juga ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten Wedana, hal itu terjadi ketika berada di dalam kesusahan ia berdoa kepada yang Maha Membuat Hidup agar diberi keselamatan. Perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh Raden Ayu Asisten wedana sesuai dengan syair yang terdapat pada tembang macapat dhandhanggula yang berbunyi kawruhana sejating urip, manungsa urip ana ing donya, prasasat mung mampir ngombe, umpamakna manuk mabur, oncat saking kurunganeki, ngendi pencokan benjang, ywa kongsi kaleru,umpama wong lunga sanja, njan-sinanjan nora wurung bakal mulih, mulih mula mulanira, maknanya bahwa orang hidup di dunia ini hanya seperti orang minum yang tak seberapa lama, diibaratkan juga dengan seekor burung yang lepas dari sangkarnya, kemanapun ia terbang pada akhirnya harus kembali ke tempat asalnya, andaikan orang pergi berkunjung, suatu saat pasti akan pulang, pulang pada asalnya’. Raden Ayu Asisten Wedana menyadari bahwa kekuasaan tertinggi terletak di tangan Tuhan oleh karena itu setiap makhluk wajib meminta pertolongan padanya. Seperti pada kutipan berikut: commit to Ibumu user kuwi lagi mudja semadi kok” “Nengna we rak uwis ta Tien!
perpustakaan.uns.ac.id
152 digilib.uns.ac.id
“Kowe mono Tien, botjah ora Djawa, wong kuwi rak ija sabisabisane nenuwun marang sing Gawe Urip ta! (hlm. 8). Terjemahan: ‘Biarkan sajalah Tien, ibumu itu sedang berdoa.’ ‘Kamu itu Tien, kamu kan tidak tahu, orang itu seharusnya meminta kepada Yang Maha Membuat Hidup!’ Dari kutipan diatas menggambarkan tokoh Raden Ayu Asisten wedana sebagai seorang yang menjunjung tinggi nilai religiusitas karena dalam kesusahan tokoh tersebut menyadari bahwa ada ekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia yaitu kekuasaan Tuhan, sudah sepantasnya berpasrah diri kepada Yang Maha Kuasa. b. Nilai Sosialitas Nilai sosialitas adalah sikap yang perlu dikembangkan manusia dalam kehidupan bersama dan dijadikan sebagai nilai hidup. Manusia pada hakikatnya hidup dalam masyarakat yang mana dalam masyarakat tersebut terdapat nilai yang dijunjung tinggi atas kesepakatan bersama. Nilai yang menyangkut kepentingan orang lain dalam masyarakat. Nilai yang dijunjung tinggi sesuai latar waktu pada novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja adalah bahwa masih terdapat sistem kasta dalam masyarakat dimana seseorang yang berstatus sosial rendah haruslah menghormati seseorang dengan status sosial tinggi. Sesuai dengan pepatah Jawa desa mawa cara negara mawa tata bahwasannya setiap lapisan masyarakat memiliki aturan atau norma yang harus ditaati, karena norma itu telah menjadi kesepakatan yang disetujui bersama. Ungkapan lain adalah ingkang pantes dhawah ing sambhawa kaliyan sembada ‘yang pantas sesuai keadaan dan mumpuni’. Maknanya bertindak dengan mempertimbangkan empan papan atau suasana, waktu, dan tempat agar pantas. Dalam filsafat Jawa seseorang dituntut untuk bertanggung jawab dam memperhatikan desa’tempat’, kala’waktu’ dan patra’suasana’. Seperti tercermin dari panggilan Bendara/ndara, dan nyonyah kedua kata sapaan tersebut digunakan oleh orang yang berstrata lebih rendah untuk commit to user memanggil seseorang dengan status sosial lebih tinggi atau disebut priyayi.
perpustakaan.uns.ac.id
153 digilib.uns.ac.id
Kutipan sebagai berikut: “Sarehning taksih gremis, mangga ndara lenggah ngelebet kemawon” “Boten dadi napa” “Boten ndara, mangga lenggah kemawon kula sampun kulina dhateng djawah lan benter, panjenengan kirang prayogi” (hlm. 10). Terjemahan: ‘Karena masih gerimis, silakan tuan duduk di dalam saja’ ‘Tidak apa-apa’ ‘Tidak Tuan, silahkan duduk saja saya sudah terbiasa terkena panas dan hujan, kurang baik untuk Tuan’ Tokoh Rapingun yang saat itu menyamar menjadi seorang supir memanggil nama tokoh yang menjadi lawan dialognya dengan sebutan Ndara karena tokoh tersebut menyadarai bahwa ia hanya sebagai supir yang berpangkat lebih rendah daripada seorang Asisten Wedana. Hal tersebut juga terjadi kepada tokoh Nyonyah Oei Wat Hien karena ia lebih tinggi atau sama dengan tokoh Den Bei maka memanggil tokoh Oei Wat Hien dengan sebutan Nyonyah Hien. Berikut kutipannya: “Saweg kepjek anggenipun sami tjetjriosan, kasaru datengipun rentjang estri, matur: “Menika wonten tamu, Ndara.” “Bendaranipun estri taken: “Sapa?” “Njonjah Hien Temanggung” (hlm. 15-16). Terjemahan: ‘Asik bercerita, terhenti oleh datangnya pembantu wanita, Berkata: ‘Ada tamu Nyonya.’ ‘Majikan perempuannya bertanya: ‘Siapa” ‘Nyonyah Hien Temanggung” c. Nilai Gender Nilai gender merupakan nilai yang mengajak memahami bahwasannya baik laki-laki atau wanita pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan yang diberi kesempatan hidup yang sama, dalam masyarakat pun memiliki kewajiban commit to user dan hak tersendiri yang sama dalam konteks tertentu. Nilai gender yang
perpustakaan.uns.ac.id
154 digilib.uns.ac.id
terdapat pada novel Ngulandara adalah adanya persamaan hak antara pria dan wanita dalam bidang pendidikan. Novel Ngulandara mencoba memberikan pola pikir yang baru pada masyarakan zaman itu bahwa wanita yang biasanya hanya disebut sebagai kanca wingking atau suarga nunut neraka katut, juga berhak memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Dan lagi wanita juga berhak memiliki pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Digambarkan dalam novel Ngulandara tokoh Raden Ajeng Tien seorang wanita juga memperoleh pendidikan sampai sarjana dan akhirnya menjadi pengajar di H.C.S partikelir di Parakan, bahkan tokoh ini didapati bersekolah bersama teman laki-laki dan wanita lainnya disatu tempat yaitu Yogyakarta. Berikut kutipannya: “Dinten sebtu djam gangsal sonten ing ngadjeng Kamantren guron Parakan wonten oto Overland kendel, tendanipun kabikak. Inggih ing ngriku punika pondokanipun Raden Adjeng Supartinah. Raden Adjeng Supartinah punika dados guru H.C.S partikelir ing Parakan” (hlm. 43). Terjemahan: ‘Hari Sabtu pukul lima sore di depan dinas pendidikan Parakan ada mobil Overland berhenti, tendanya dibuka. Disanalah tempat tinggal Raden Ajeng Supartinah. Raden Ajeng Supartinah menjadi guru di H.C.S Partikelir (sekolah swasta) di Parakan.’ “Pangrasamu keprije ta, Hardjana. Kowe tawa buku, mangka aku butuh sabab ana gandenge karo pasinaonku, mesti bae tak tampani. Adja sing kowe, sapa-sapaa pantes tak aturi panuwun sing gede banget. Dek semana kowe nawani buku-buku roman karangane sardjana Zola, nanging aku nampik, awit buku-buku kuwi ora pantes dadi watjane botjah kang lagi sinau kaja aku iki, awit sisip sembire bakal gawe rusaking budiku. Ija wiwit nalika kuwi aku duwe pangira jen atimu ora djujur” (hlm. 64). Terjemahan: ‘Perkiraanmu bagaimana Hardjana. Kamu menawarkan buku, padahal buku itu ada kaitannya dengan yang ku pelajari, pasti aku terima. Jangankan kamu, aku bisa berterima kasih kepada siapa saja. Saat itu kamu menawarkan buku-buku roman karangan sarjana Zola, aku menolak, karena buku-buku itu tidak pantas menjadi bacaan orang yang sedang belajar sepertiku, karena commit to user karakterku. Mulai saat itu aku sebabnya akan membuat rusak
155 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mengira kamu memang tidak baik.’ d. Nilai Keadilan Nilai keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang dalam situasi yang sama dan untuk menghormati setiap hak semua orang yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan falsafah orang Jawa crah agawe bubrah, rukun agawe santosa maksudnya lebih pada menciptakan kerukunan antar manusia jika semua mendapatkan perlakuan yang sama maka kerukunan akan tercipta dengan sendirinya. Jika kita dihormati oleh orang lain maka harus menghormati orang lain pula. Novel Ngulandara memberika pelajaran bahwa tidak benar jika memperlakukan orang secara tidak adil apalagi hanya melihat dari drajat dan pangkatnya. Memperlakukan seseorang tidak boleh emban cindhe emban siladan yang maknanya memperlakukan seseorang secara berbeda yang satu diperlakuan bagai emas yang merupakan barang yang sangat berharga. Sedangkan yang satunya seperti sisa-sisa bilahan bambu yang biasanya tidak diperdulikan dan hanya merupakan barang sisa yang tidak berguna. Penggambaran nilai keadilan pada novel Ngulandara sesuai konteks di atas terdapat pada kisah kesopanan tokoh Rapingun kepada Tokoh Den Bei membuat tokoh Den Bei bingung untuk mrenahke ‘memposisikan’ diri harus berbahasa krama alus atau ngoko. Akhirnya tokoh Den Bei menggunakan bahasa krama madya karena menghargai kesopanan Rapingun
yang
sedari
pertama
berbicara
tokoh
Rapingun
amat
menghormati tokoh Den Bei. Hal di atas sesuai dengan falsafah orang Jawa ajining dhiri dumunung aneng lathi, ajining raga dumunung aneng busana yang artinya harga diri seseorang berada pada kemampuannya menghargai orang lain dan seseorang akan dihargai sesuai dengan pakaiannya. Pakaian disini bukan hanya pakaian yang berwujud kain yang melekat pada badan namun juga pakaian yang berupa ilmu pengetahuan. Berikut kutipannya: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
156 digilib.uns.ac.id
“Punapa ndara, kendel wonten ngriki?” Prijantun djaler wau ladjeng mandap saking oto lan maspadakaken dateng tijang ingkang taken. Ing manah kewedan anggenipun bade mangsuli, awit ingkang taken wau radi ngodengaken manah. Sababipun tijangipun bregas, tatakramanipun djangkep (hlm. 9). Terjemahan: ‘Kenapa Tuan berhenti di sini?’ ‘Lelaki itu lalu turun dari mobil memperhatikan orang yang bertanya. Di hati sedikit bingung bagaimana akan menjawab, karena yang bertanya tadi orangnya agak membingungkan. Sebab orangnya baik, dan sopan santunnya bagus.’ “Ingkang risak menika menapanipun ta Pak? Mangke gek dipaeka sopir ingkang mentas medal menika.” “Mempere ya ngono Tien, nanging bapakmu ora priksa.” “Hara ibune kuwi rak tanduk meneh olehe nutuh...(hlm. 6). Terjemahan: ‘Yang rusak bagian apa Pak? Jangan jangan direkayasa oleh supir yang baru saja keluar itu.’ ‘Sepertinya begitu Tien tapi bapakmu tidak tau’ ‘Ibu ini menuduh lagi kan...’ e. Nilai Demokrasi Nilai demokrasi dapat diwujudkan dalam beberapa tindakan yaitu menghargai pendapat, memperlakukan orang dengan cara yang sama tanpa diskriminatif tanpa memandang agama, suku, derajat, tingkat ekonomi, menerima kekalahan dan berani mengungkapkan gagasan. Dalam novel Ngulandara terdapat nilai demokrasi yang beragam, diantaranya adalah menghargai pendapat. Hal ini dilakukan oleh tokoh Raden Bei Asisten Wedana yang menghargai pendapat istrinya jika tokoh Rapingun dibawa ke rumah sakit di Parakan saja karena lebih dekat dengan tempat tinggal Raden Ajeng Tien. Berikut kutipannya: “Dilebokake rumah sakit ngendi ta, Pak?” “Rumah sakit Magelang bae.” “Ora pak betjike ana Parakan bae, bab pangane bisa dikirim saka Kemantren guron, Tien rak isa ngubetake ta?” “Saged Bu”(hlm. 78). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
157 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Dibawa ke rumah sakit mana Pak?’ ‘Rumah sakit Magelang saja’ ‘Tidak Pak lebih baik di Parakan saja, soal makanan bisa dikirim dari dinas pendidikan, apa Tien bisa mengusahakan?’ ‘Bisa, Bu’ Selanjutnya adalah menghargai orang lain tanpa memandang suku, agama atau derajat atau tingkat ekonomi. Hal itu tercermin pada cara keluarga tokoh Den Bei terhadap tokoh Nyonyah Hien. Keduanya berasal dari dua kebangsaan yang berbeda, adat, budaya, kebiasaan yang berbeda pula namun dapat saling menghargai satu sama lain tanpa ada perbedaan yang menjadi masalah. Pada falsafah orang Jawa terdapat pitutur luhur yaitu aja mbedakake marang sapadha-padha maknanya setiap orang perlu mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang sama, karena sesungguhnya perbedaan yang ada akan melahirkan dinamika hidup bersama dalam rangka terwujudnya rasa sejahtera bersama. Pada dialog dibawah ini ditunjukkan betapa fasihnya tokoh Nyonyah Hien dalam berbahasa Jawa, hal ini semata-mata karena Nyah Hien menghargai adat Jawa yang dipegang oleh keluarga tokoh Den Bei. Berikut kutipan yang menunjukkan nilai demokrasi tersebut: “Boten Den Aju! Sowan kula menawi kedjawi tuwi kasugengan, inggih perlu badhe nglajengaken rembag betah. Kula njuwun tulung Den Aju”(hlm. 17). Terjemahan: ‘Tidak Den Ayu! Kedatangan saya kemari selain untuk berkunjung, memang karena ada perlu. Saya mau minta tolong Den Ayu.’ “Kados pundi Den Bei? Sadjak kok le ngedeg-ngedegi kuwi!” “Boten punapa-punapa. Sampun kuwatos. Mekaten inggih. Kala semanten kula dateng Purwokerto, punika wangulipun sareng dumugi Kledung oto kula ladjeng mogok wiwit djam gansal dumugi djam sedasa dalu. Malah samuna sopiripun Njah Hien dateng, terkadang kula tetiga mboten saged wangsul. Lah dumugi sepriki dereng kula perseni (hlm. 21). Terjemahan: commit to user ‘Bagaimana Den Bei? Saya khawatir lho ini, ada apa?’
158 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
‘Tidak apa-apa Nyah. Tidak usah khawatir. Begini, saat saya perjalanan pulang dari Purwokerto sesampainya di Kledung mobil saya ini rusak dari pukul lima sampai pukul sepuluh malam. Kalau supir Nyah Hien tidak datang, kami bertiga tidak bisa pulang. Nah sampai sekarang belum saya kasih imbalan.’ f. Nilai Kejujuran Kejujuran merupakan segala sesuatu yang dilakukan seseorang sesuai dengan hati nurani dan norma peraturan yang ada, jujur berart menepati janji atau kesanggupan. Sikap kejujuran perlu ditanamkan secara terus menerus baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, ataupun masyarakat. Sikap jujur memang tidak diperlihatkan secara langsung pada novel Ngulandara karena dalam novel ini tokoh utama memang sengaja untuk menyembunyikan jati dirinya, bukan untuk berbuat yang tidak baik namun karena ada tujuan lain yaitu mencari jati dirinya. Namun
dalam
novel
Ngulandara
diperlihatkan
konsekuensi
atas
ketidakjujuran, seseorang yang tidak jujur akan merasa gelisah dan tidak tenang dalam dirinya. Konsekuensi seseorang yang tidak jujur oleh Sri Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh ditunjukkan dalam pupuh gambuh yaitu: aja nganti kabanjur, sabarang polah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur kang sayektos. Maknanya segala hal yang yang tidak jujur bila terlanjur benar-benar akan tidak baik, lebih baik utamakan kejujuran karena itu adalah nasehat yang sejati. Tokoh Rapingun merasa gelisah karena ketidakjujurannya akan jati dirinya kepada keluarga tokoh Den Bei, padahal keluarga itu telah memberikan kasih sayang yang tulus kepadanya sebagai Rapingun bukan Raden Mas Sutanta. Berikut kutipannya: “Let setengah wulan sawangsulipun saking grija sakit, Rapingun jen pinudju pijambakan asring ketingal susah, kala-kala ketingal klintjutan, kados tiyang ngandut wewados ingkang bade kewiyak....” (hlm. 90-91). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
159 digilib.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Setengah bulan setelah kepulanganya dari rumah sakit, Rapingun saat sendirian sering terlihat susah, kadang-kadang terlihat gelisah, seperti orang menyembunyikan rahasia yang akan terbongkar....’ “Sampun kalih dinten Raden Bei Asisten sumerep Rapingun ketingal suntrut pasemonipun, badanipun ketingal sadjak lungkrah, nanging dereng purun pitaken sabebipun. Sareng tigang dintenipun, wantji djam sekawan sonten, Raden Aju asisten bade nuweni Rapingun wonten kamaripun, awit wiwit bibar neda sijang ladjeng kemawon terus mapan tilem, boten kados adat saben. Mila kakinten pijambakipun sakit” (hlm. 91). Terjemahan: ‘Sudah dua hari Raden Bei Asisten mengetahui Rapingun terlihat sedih, badannya terlihat kurang sehat, tetapi belum bertanya sebabnya. Setelah tiga hari, saat jam empat sore, Raden Ayu asisten ingin menjenguk Rapingun di kamarnya, karena setelah makan siang langsung tidur, tidak seperti biasanya. Mungkin ia sakit.’ g. Nilai Kemandirian Nilai kemandirian yang dimaksud merupakan sikap penuh kepercayaan dan dapat dipercaya, sikap penuh tanggung jawab terhadap keputusan, keberanian untuk menghadapi masalahnya sendiri, kemampuan berinisiatif, tidak gampang terpengaruh dan mengambil keputusan secara sadar. Sikap penuh percaya diri dan keberanian dalam mengambil keputusan merupakan sifat yang harus dikembangkan. Dalam novel Ngulandara sikap tersebut berada pada pengkisahan Rapingun yang ngulandara ‘mengembara’ tanpa membawa sepeserpun harta milik orang tuanya kecuali baju yang melekat di badannya. Hal ini ia lakukan untuk berjuang mencari jati dirinya dan dalam rangka lelaku ‘tirakat’ atas musibah yang menimpanya. Ajaran Jawa melalui pitutur luhur menyebutkan yen wani aja wedi wedi, yen wedi aja wani-wani. Falsafah orang Jawa yang demikian itu mengandung makna bahwa dalam mengambil keputusan jangan sekalipun ada ragu di dalam hati jika tidak katakan tidak. Demikian juga terdapat pada perwatakan tokoh Rapingun yang mengambil keputusan pergi dari commitsana to user rumah. Apa yang terjadi diluar akan menjadi pelajaran hidup yang
perpustakaan.uns.ac.id
160 digilib.uns.ac.id
berarti baginya. Ketegasan diperlukan dalam mengambil keputusan hal ini sesuai dengan salah satu ajaran astha brata yaitu laku hambeging dahana dimana seseorang harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggung jawabkan sehingga tidak membawa kerusakan. Berikut kutipan dari novel Ngulandara yang menunjukkan hal tersebut: “O, ngger , sanadyan kowe ora njambut gawe, rak ora kurang apa-apa ta. Duwit saka sewan omah sesasine, kuwi rak wis cukup ko-anggo nuruti keseneganmu. Saja keranta-ranta maneh atiku, dene lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin salembarlembara.” (hlm. 85) Terjemahan: ‘O, anakku, walaupun kamu tidak bekerja, tidak kekurangan suatu apapun kan. Uang sewa rumah setiap bulan, itu sudah cukup untuk menuruti keinginanmu. Semakin menderita hatiku, karena kepergianmu tanpa uang atau pakaian walau hanya sepotong.’ h. Nilai Daya Juang Suatu sikap untuk tidak mudah menyerah, tidak gampang putus asa, memiliki daya kemauan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, serta keyakinan bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan usaha. Di dunia ini tidak ada segala sesuatu yang tercipta demikian saja namun selalu ada proses yang mendahului sebelum terciptanya sebuah hasil yang diinginkan yang tentu saja hasil yang baik. Proses menuju baik tidaklah mudah pasti terhadap cobaan dan rintangan yang hanya akan teratasi jika memiliki sikap tidak mudah putus asa dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Hal tersebut di atas tercermin dalam sebuah pitutur luhur orang Jawa yang berbunyi sepira gedhening sengasara yen tinampa amung dadi coba artinya seberapa besar kesengsaraan yang di alami jika ikhlas hal itu hanya akan menjadi sebuah cobaan. Keikhlasan menjadi kunci untuk menerima apa yang digariskan oleh Tuhan seperti falsafah Jawa narima ing pandum. Konsepsi ini tidak lantas dijadikan alasan untuk bermalas-malasan namun to user narima ing pandum berarticommit menerima apa yang diberikan Tuhan dengan
161 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
apa yang telah diusahakan, karena pengeran iku kuwasa dening manungsa iku bisa maksudnya manusia bisa berusaha namun semuanya kembali harus dipasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Rapingun yang dipecat dari pekerjaannya tidak putus asa karena menganggap hal itu adalah cobaan. Ia menyikapinya
dengan
lelaku
ngulandara
‘mengembara’
mencari
keutamaan hidup. Tidak mudah bagi Rapingun yang seorang bangsawan harus hidup di kerasnya dunia. Dan proses yang dijalani Rapingun membuahkan hasil manis, ia kembali mendapatkan pekerjaannya. Berikut kutipannya: “Kula aturi nepangaken dimas, menika momongan kula R.M Sutanta, Opseter Kabupaten ngriki.” “Den Bei Wedana boten mangsuli, namung tansah matitisaken dateng Raden Mas Sutanta.” “Mekaten ugi Raden Aju Wedana, anggenipun ngawasaken akedep tesmak. Sareng ampun tjeta, terus madjeng. Raden Mas Sutanta dipun-rangkul kalijan ndjerit nangis” “ O, anakku ngger!” (hlm. 103). Terjemahan: ‘Saya perkenalkan Dimas, ini anak saya R.M Sutanta, pengawas di Kabupaten ini.’ ‘Den Bei Wedana tidak menjawab, hanya memperhatikan R.M Sutanta.’ ‘Begitu juga dengan Raden Ayu Wedana, melihat tanpa berkedip.’ ‘Setelah jelas, lalu berjalan. Raden mas Sutanta dipeluk dan menjerit menangis:’ “Oh, anakku” i. Nilai Tanggung Jawab Nilai tanggung jawab berarti keberanian, kesiapan, keteguhan hati untuk menerima konsekuensi atas segala keputusan dan tindakan yang telah dipilih. Seorang yang bertanggung jawab akan secara sadar mengambil keputusan, menjalankan keputusan tersebut dan menerima konsekuensi atas keputusan tersebut. Tokoh Rapingun yang merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan harga diri Raden Ajeng Tien memutuskan untuk berbohong pada Den Bei hal itu semata-mata dilakukan untuk menjaga martabat Raden Ajeng tiencommit dimatatokedua user orang tuanya. Dalam khasanah
perpustakaan.uns.ac.id
162 digilib.uns.ac.id
kebudayaan Jawa penjelasan mengenai hal tersebut terdapat dalam pepatah mikul dhuwur mendhen jero. Selain pepatah tersebut ada falsafah Jawa yang terkenal dengan sebutan Trilogi Mangkunegaran yaitu rumangsa melu handarbedi, rumangsa wajib hangrungkepi, mulat sarira hangrasa wani. Rumangsa melu handarbeni ’merasa ikut memiliki’ makna kata simbolis tersebut adalah seseorang harus bertanggung jawab atas tugas-tugas yang ada padanya, tugas itu harus dirasakan, disadari sebagai miliknya. Rumangsa wajib hangrungkepi ‘siap berkorban untuk melindungi’ maknanya seseorang harus siap berkorban dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan padanya. Selanjutnya mulat sarira hangrasa wani ‘berani melihat diri sendiri’ menjadi seseorang yang bertanggung jawab harus dapat melihat ke dalam dirinya sendiri bagaimana menyikapi tanggung jawab itu. Pepatah di atas mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersifat rahasia harus benar-benar dijaga agar orang lain tidak mengetahuinya. Rapingun menjaga rahasia akan kejadian yang menimpa Raden Ajeng Tien walaupun ia harus berbohong, namun ia berbohong untuk kebaikan Raden Ajeng Tien yang khawatir pada anggapan orang tuanya jika tau ia dihadang dua pemuda temannya semasa sekolah di Yogyakarta. Saat itu hubungan antara wanita dan pria belum seluwes saat ini, karena masih menganut paham Jawa bahwa hubungan antara pria dan wanita benar-benar harus diawasi. Berikut kutipannya: “Mangke dumugi ndalem, pandjenengan matur dateng ingkang rama saha ingkang ibu, bilih tangan kula tengen kenging slinger” “O, ja talah Rapingun, pantes kowe dadi sedulurku, semono anggonmu ngajomi menjang awakku. Nanging keprije, wong slinger kok ngenani tangan?”(hlm. 72). Terjemahan: ‘Nanti sesampainya dirumah, katakan saja kepada Bapak dan Ibu, kalau tangan saya terkena slinger.’ ‘O, Rapingun, pantas kamu menjadi saudaraku, begitu dalam olehmu menjagaku. Tetapi bagaiman, slinger bisa mengenai tangan?’ commit to user
163 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
j. Nilai Penghargaan terhadap Lingkungan Nilai penghargaan terhadap lingkungan adalah sikap untuk mencintai kehidupan.
Perlu
adanya
kecintaan
terhadap
kehidupan
untuk
mengungkapkan kecintaan terhadap alam. Dalam novel Ngulandara terlihat kecintaan Rapingun pada Hel kuda milik Den Bei, dengan sabar ia melatih kuda yang liar itu. Modal Rapingun hanya ketekunan dan keyakinan bahwa sesuatu hal pasti akan tercapai jika kita mau dan mampu untuk berusaha, sapa sing tekun bakal tekan atau sapa tekun bakal tinemu yang berarti siapa saja yang tekun akan mencapai keinginannya. Ketekunan Rapingun dalam mencintai alam dikarenakan filsafat Jawa pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam sakisine kang katon lan ora kasat mata ‘Tuhan itu berkuasa tanpa alat, menciptakan alam dan seluruh isinya baik yag terlihat atau tidak terlihat’ dari hal itu dapat dijelaskan bahwa alam dan segala isinya adalah milik Tuhan manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang ada di alam ini harus dipelihara karena bukanlah milik kita. Berikut kutipan yang menunjukkan kecintaan Rapingun kepada Hel: “.... Den Bei Asisten Wedana dawuh supados Rapingun terus wangsul. Lis ladjeng kadedet, Hel mlampah, ngentrag, sontansantun kalijan matjan nubruk. Tijang-tijang sami tjingak dene Rapingun saged wangsul kanti wiludjeng. Punapa malih sumerep lampahipun Hel sadjak gumagus. Mangka lampah makaten wau namung tumrap kapal ingkang sampun mbangun-turut lan sampun dipun-adjari.” (hlm. 39-40). Terjemahan: ‘.... Den Bei Asisten Wedana menyuruh Rapingun agar langsung pulang. Kendali kembali ditarik, Hel berjalan. Orang-orang merasa lega Rapingun pulang dengan selamat. Apalagi tahu jalannya Hel yang nampak gagah. Padahal cara berjalan yang demikian tersebut hanya dapat dilakukan oleh kuda yang penurut dan telah terlatih.’ “Jektosipun, meh sadaja kapal Sandel ingkang wanter manahipun, temtu saged lampah mekaten punika, uger ingkang numpaki prigel anggenipun ngolahaken kendalinipun, saged andjumbuhaken kalijan panggraitaning kapal.” (hlm. 40). commit to user
164 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Terjemahan: ‘Sebenarnya, hampir semua kuda yang jinak, tentu dapat berjalan demikian, asalkan ditunggangi oleh orang yang pandai dalam mengolah kendali dan dapat mengerti keingginan si kuda itu sendiri.’ “Hel sampun wanuh dateng Rapingun. Mila sareng Rapingun dateng ladjeng gereng-gereng, endasipun dipun-angluhaken ing slarak kalijan ngambus-ambus tanganipun Rapingun, dene pisang dereng dipun-tedakaken. Rapingun ladjeng mepet ing gedogan. Sirah lan badanipun dipun-ambus-ambus sajada, kados adat sabet. Hel gentos dipun-elus-elus saking tjitak ngantos dumugi djalakipun. Samangke tjeta bilih Hel boten namung wanuh kalijan piyambakpun, nanging kenging dipun-wastani sampun andjilma” (hlm. 33). Terjemahan: ‘Hel sudah menurut pada Rapingun. Saat Rapingun datang Hel mendengus-dengus, meringkik kepalanya dijulurkan keluar dan menciumi tangan Rapingun, tetapi pisang belum diberikan. Rapingun lalu mendekat ke kandang. Kepala dan badannya diciumi oleh Hel seperti biasa. Hel kemudian dielus-elus dari leher hingga punggung. Demikian itu jelas menunjukkan bahwa Hel bukan hanya menurut tetapi sudah jinak.’ 3. Relevansi Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 butir 19 menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Jika demikian kurikulum merupakan satu kesatuan fungsi antara rencana, tujuan, isi, bahan, dan pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Sehubungan dengan undang-undang tersebut maka kurikulum harus mengikuti perkembangan zaman dan merumuskan apa yang harus dikuasai oleh peserta didik. Kurikulum merupakan perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggaraa pendidikan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
165 digilib.uns.ac.id
berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta didik dalam satu periode jenjang pendidikan. Pembelajaran bahasa Jawa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk dapat memahami dan berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa yang baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusastraan Jawa. Pembelajaran yang demikian tersebut disusun pula dengan cara disesuaikan kurikulum yang berlaku yaitu kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk mengantisipasi kebutuhan kompetensi Abad 21. Pada abad ini kreativitas dan komunikasi amatlah penting. Atas dasar itu, maka rumusan kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan dipergunakan dalam kurikulum ini. hal tersebut tercantum dalam silabus. Pengembangan kurikulum yang diterapkan pada Kurikulum 2013 mengacu pada Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat pada kompetensi sikap (attitude), keterampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Silabus merupakan penjabaran Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar ke dalam materi pokok pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Konsep tersebut memberikan peluang sekolah merumuskan dan menyusup silabusnya. Tetapi tidak berarti Kurikulum 2013 menekankan hanya pada pencapaian tujuan pendidikan saja. Penekanan tersebut berlaku pada standar kompetensi, pemerintah memberikan peraturan untuk menyusun materi pembelajaran sedangkan guru menentukan silabus yang sesuai dengan tujuan dan karakter sekolah. Dengan demikian, guru dan sekolah diberi kebebasan untuk menjabarkan materi dan mengembangkan indikator-indikator sehingga materi pembelajaran yang diajarkan selaras dengan karakteristik siswa dan potensi daerah setempat dengan tetap mempertimbangkan peraturan pemerintah. Dari sini maka guru dituntut untuk memahami kurikulum dan mampu menyajikan bahan pembelajaran yang menarik minat peserta didik. Kurikulum 2013 untuk bahasa Jawa di SMA mencantumkan apresiasi commit to user novel Jawa berupa petikan teks novel Jawa sebagai materi pembelajaran kelas XI
166 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
semester ganjil apresiasi sastra Jawa siswa dituntut untuk dapat menganalisis unsur pembangun novel dan nilai-nilai pitutur luhur. Penjelasannya, siswa tidak hanya mampu membaca petikan novel Jawa tetapi lebih mendalam siswa mampu memahami nilai-nilai budi pekerti yang terdapat di dalamnya. Pada bagian materi ajar guru diberi kebebasan untuk menentukan bahan ajar yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan siswa dan mampu menjadi sarana penanaman nilai pendidikan budi pekerti. Hal ini selaras dengan harus adannya pembentukan sikap siswa dalam proses pembelajaran. Nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara dapat menjadi contoh oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada kutipan silabus Kurikulum 2013 berikut. Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk SMA kelas XI semester ganjil berkenaan dengan apresiasi karya sastra Jawa yaitu novel. Dalam silabus disebutkan pembelajaran novel Jawa berupa petikan teks novel Jawa. Maka novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat menjadi materi novel karena sudah terbagi atas beberapa bab, dengan penceritaan yang menarik akan mampu menarik peserta didik untuk mempelajarinya. Kelas XI semester ganjil Kompetensi Inti 3 yaitu Kompetensi Dasar pengetahuan
memahami,
menerapkan,
menganalisis
dan
mengevaluasi
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. Kompetensi Dasar yaitu menganalisis unsur-unsur pembangun, menyimpulkan nilai-nilai yang terkandung di dalam dan mengevaluasi relevansi pitutur luhur dengan kondisi masyarakat saat ini petikan teks novel secara lisan atau tulisan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
167 digilib.uns.ac.id
a. Kompetensi dasar menganalisis unsur-unsur pembangun, menyimpulkan nilai-nilai yang terkandung di dalam dan mengevaluasi relevansi pitutur luhur dengan kondisi masyarakat saat ini petikan teks novel secara lisan atau tulisan. Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan sebagai novel yang dapat dianalisis siswa. Novel ini dapat disampaikan dengan media cetak berupa petikan teks novel Ngulandara. Unsur-unsur yang dimiliki novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dipahami siswa dan sesuai dengan kebutuhan siswa SMA, sebagai contoh pada bab 1 novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja yang berjudul oto mogok. Bab ini memiliki unsur-unsur yang lengkap dan mengandung nilai pendidikan budi pekerti yang layak untuk dikaji. Siswa diajak untuk menganalisis unsur-unsur dan menyimpulkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dan dalam menganalisis nilai budi pekerti dapat dilihat salah satunya dari penokohan. Analisis unsur-unsur pembangun dan nilai-nilai pendidikan dapat dideskripsikan dalam kajian berikut ini: 1) tema, 2) alur, 3) latar, 4) sudut pandang, 5) amanat 6) penokohan dan 7) nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ahmad Nugraha (dosen sastra nusantara UGM dan pakar sastra) yang menyebutkan bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sangat kaya dengan nilai budi pekerti dan untuk anak SMA novel ini dalam pembelajarannya harus didampingi oleh guru. Nugraheni Eko Wardani (dosen FKIP UNS dan pakar sastra) memiliki pendapat yang hampir sama bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja memang membutuhkan bimbingan guru karena ada beberapa kata yang sekarang tidak familiar di kalangan pembaca. b. Kompetensi dasar menginterpretasi isi dan menceritakan kembali petikan novel yang dibacanya. Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan sebuah commit tooleh usersiswa. Untuk dapat menceritakan contoh novel yang akan diinterpretasi
168 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kembali petikan novel yang dibaca maka perlu memahami struktur dan nilai pendidikan terlebih dahulu. Dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja memiliki nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang tercermin dari penokohan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Ngatiyem (Guru bahasa Jawa SMA Negeri 1 Karanganyar) yang menyatakan bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja merupakan novel yang memiliki nilai pendidikan yang baik untuk membentuk karakter siswa dan lagi dalam satu bab dapat dijelaskan hal apa saja yang mampu dijadikan pembelajaran untuk siswa baik dari segi struktur novel ataupun nilai yang dapat digunakan sebagai pemicu pendidikan karakter siswa. Selaras dengan pendapat tersebut Vitalia Magistra (Guru bahasa Jawa SMA Batik 2 Surakarta) yang menyebutkan dalam menyajikan materi ajar berupa petikan novel dapat mengambil novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sebagai alternatif karena sudah terdiri dari beberapa bab yang masing-masing bab memiliki struktur dan nilai-nilai pendidikan yang baik sehingga siswapun akan tertarik mempelajari. Walaupun bahasa yang digunakan adalah bahasa krama namun hal ini tidak akan menjadi terkendala karena guru akan membimbing siswa dalam belajar. Berdasarkan
kedua
kompetensi
dasar
mengenai
memahami
dan
menginterpretasi petikan teks novel Jawa memerlukan proses pemahaman untuk menyerap gagasan, pengalaman dan pesan yang ditulis pengarang. Penggunaan materi ajar novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dalam pembelajaran apresiasi sastra Jawa merupakan pemilihan materi ajar yang dapat digunakan untuk memahami isi novel. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan materi ajar bahasa Jawa di SMA. Hal tersebut dikarenakan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti dan unsur pembangun yang dapat dipahami. Dengan demikian Kompetensi Inti mata pelajaran bahasa Jawa yang meliputi kompetensi dasar seperti telah diuraikan diatas, guru dapat commit to user
169 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merelevankan antara materi yang akan diajarkan kepada peserta didiknya terhadap Kompetensi dasar yang diinginkan dalam Kompetensi Inti. Kelayakan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sebagai materi pembelajaran diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada siswa sebagai subjek pembelajaran, guru sebagai pembimbing pengajaran serta para pakar sastra dan pakar linguistik yang telah membaca novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Peserta didik dapat memahami unsur pembangun dan nilai-nilai pendidikan budi pekerti serta menginterpretasi novel dengan menggunakan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja melalui penokohan di dalamnya. Novel tersebut layak dijadikan materi pembelajaran mengingat materi yang dipilih hendaknya valid untuk mencapai tujuan pengajaran sastra, materi tersebut harus bermakna dan bermanfaat bagi peserta didik, serta berada dalam batas keterbacaan dan intelektual peserta didik. Hal itu sesuai dengan pendapat Semi (1993: 13) bahwa ciri materi ajar yang baik salah satunya adalah bahan atau materi berada dalam batas keterbacaan dan intelektual pesera didik, artinya bahan tersebut dapat dipahami, ditanggapi dan diproses peserta didik sehingga mereka merasa pengajaran sastra merupakan pengajaran yang menarik, bukan pengajaran yang berat. Secara terperinci materi pembelajaran terdiri dari keterampilan sikap religius dan sosoal, pengetahuan
dan
keterampilan.
Novel
Ngulandara
karya
Margana
Djajaatmadja mudah dipahami oleh siswa walaupun menggunakan bahasa krama. Seperti yang dikatakan oleh Ahmad Nugraha, Novel ini memiliki keunikan karena bahasanya yang menggunakan bahasa krama namun untuk anak SMA bahasa yang digunakan dalam novel ini tidak terlalu sulit mengingat tingkat pembelajaran sastra semakin tinggi jenjang pendidikan tentunya kesulitannya akan disesuaikan (Nugraha: 4) Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja layak dijadikan materi pembelajaran karena di dalamnya mengandung unsur pembangun diantarannya adalah penokohan yang mana dalam penokohan tersebut dianalisis berdasarkan commit to user jenis tokoh, keterlibatannya dalam cerita serta penggambaran tokoh. Hal itu
perpustakaan.uns.ac.id
170 digilib.uns.ac.id
akan merangsang imajinasi peserta didik dalam mewujudkan tokoh tersebut, seuai dengan ciri materi ajar bahwa materi ajar haruslah dapat mengembangkan insting estetis dan daya imajinasi siswa. Uraian tersebut selaras dengan pendapat Winkel (1996: 297) bahwa materi ajar yang baik haruslah dapat memotivasi siswa untuk dapat berpikir sendiri maupun melakukan berbagai kegiatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraheni Eko Wardani, Penokohan dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan refleksi peserta didik bagaimana cara memahami karakter orang lain dan juga dalam hal ini pengarannya menggambarkan penokohan dengan lengkap baik car berpakaian, atau tingkah laku semuanya di gambarkan dengan baik. (Wardani: 3) Dasar pemilihan bahan ajar yang baik menurut Semi bahan ajar harus bermakna dan bermanfaat jika ditinjau dari segi kebutuhan peserta didik yang meliputi kebutuhan pengembangan insting estetis dan etis, imajinasi dan daya kritis (Semi, 1993: 13). Keunggulan novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja daripada novel-novel jawa saat ini adalah keindahan bahasanya dan juga nilai-nilai yang sangat relevan dan diperlukan peserta didik untuk menyikapi kondisi sosial saat ini. hal ini sesuai dengan pernyataan Vitalia Magistra, Selain bahasanya yang indah dalam menggambarkan tokoh, keadaan latar, dan pesan di dalamnya, nilai-nilai yang ada di dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja sangat baik untuk menumbuh kembangkan karakter siswa. (Magistra: 6) Materi pembelajaran yang baik dan tepat perlu mendapat dukungan dari tenaga pendidik. Bagaimanapun juga dua hal itu tidak bisa dipisahkan. Sebaik apapun atau setepat apapun materi yang ingin disampaikan tetapi apabila tenaga pendidiknya tidak ada minat di dalamnya tentu akan mengalami pengabaian tujuan yang harusnya dapat dicapai. Guru memiliki pekerjaan yang tidak hanya sebagai fasilitator saja melainkkan juga sebagai motivator dan evaluator siswa dalam belajar. Jika guru memiliki minat sastra yang tinggi commit to sastra user novel tidak akan diabaikan atau maka kemungkinan besar pembelajaran
perpustakaan.uns.ac.id
171 digilib.uns.ac.id
diajarkan sembarangan. Ditambah dengan dukungan sistem yang jelas, akan memudahkan guru dalam mencapai tujuan pembelajaran sastra di SMA. Hal ini didasarkan pada pendapat Sani dan Kurniasih (2014: 25-26) bahwa materi pembelajaran yang baik harus sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan siswa tentunya. Pendapat tersebut diperjelas dengan pemaparan Ngatiyem bahwa, Selama ini pembelajaran novel cenderung monoton tidak ada pembaruan materi yang digunakan pun hanya itu-itu saja. Perlu adannya inovasi menegani materi novel agar siswa lebih tertarik dan mau mempelajarinya.(Ngatiyem: 5) Kondisi materi pembelajaran juga berpengaruh terhadap pencapaian Kompetensi dasar apresiasi sastra Jawa. Kondisi tersebut dipertegas dengan pendapat Vitalia bahwa, Pembelajaran novel memang sulit untuk menemukan materi novel yang cocok dengan kebutuhan peserta didik, banyak novel saat ini yang menyimpang dari kriteria materi yang baik. Novel saat ini terkadang memuat hal yang tidak pantas seperti perselingkuhan atau kehidupan rumah tangga yang berantakan. Hal tersebut harus dihindari oleh guru, pemilihan materi harus dapat dikemas denga sopan dan baik. (Magistra: 7) Kondisi demikian dapat terjadi pada bahasa novel. Bahasa memang tergantung seberapa banyak kosa kata yang dikuasai oleh siswa. Apalagi yang bersangkutan menggunakan bahasa krama. Tetapi jika guru bisa mengarahkan keinginan belajar siswa maka tidak akan terjadi yang namanya malas melainkan keinginan yang tinggi untuk mempelajari hal baru. Pendapat tersebut diperjelas dengan pemaparan Ngatiyem bahwa, Kata-kata yang sulit atau sudah tidak relevan saat ini dapat dibimbing oleh guru untuk memahaminya, karena memang bahasa zaman novel itu dibuat berbeda dengan saat ini. (Ngatiyem: 6) Novel Ngulandara dilihat dari segi keterbacaan, dinilai siswa mudah karena bahasa yang digunakan walaupun menggunakan bahasa Jawa ragam krama. Karena merupakan percakapan sehari-hari sehingga siswa tidak terlalu commit toFirda userNurul Fauziyah, sulit untuk memahami seperti pendapat
172 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kata-katanya lumayan dapat dipahami, ada yang sulit tapi guru memberi penjelasan arti dan maknanya sehingga tidak mengalami kesulitan dalam memahami maksud ceritanya. (Fauziyah: 4) Cerita yang dikisahkan dalam novel ini pun menarik dan mampu memberi motivasi siswa untuk belajar dan memahami lebih dalam mengenai novel Ngulandara.
Novel
tersebut
menceritakan
mengenai
seseorang
yang
mengembara mencari jati diri dalam perjalanannya mengalami kesulitan dan kesusahan namun akhirnya menemukan kebahagiaan. Seperti yang dikatakan Alfiani, Ceritanya bagus ingin sekali membaca inginnya membaca selanjutnya, penasaran ceritanya bagaimana. Tokoh Rapingun ini kasihan sekali ia harus menderita karena mengembara, namun akhirnya ia bahagia dengen menikahi Raden Ajeng Tien. (Alfiani 6) Penelitian mengenai unsur penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja serta relevansinya sebagai materi ajar dapat membantu siswa dalam mengidentifikasi unsur pembangun novel seperti tema, alur, latar, sudut pandang, amanat dan penokohan. Penelitian ini akan memberikan informasi pada siswa tentang analisis penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti pada lirik lagu dan relevansinya sebagai materi ajar merupakan hal yang penting untuk diteliti. Penelitian ini digagas untuk mengetahui dari hasil analisis tentang variasi pembelajaran
yang
nantinya
dapat
membantu
guru
sebagai
cara
membangkitkan motivasi, keingintahuan, dan minat dari peserta didik. Hal tersebut terkait dengan novel Jawa yang tidak familiar dikalangan peserta didik. Tinggal bagaimana guru dapat mengarahkannya ke jalur yang positif. Secara terperinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari sikap religius, pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat digunakan sebagai materi pembelajaran bahasa Jawa. commit to user
173 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Pembahasan Penelitian ini berjudul Analisis Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja serta Relevansinya sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA dengan rumusan masalah yang pertama berkaitan dengan unsur penokohan dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Temuan yang didapatkan akan dianalisis dengan teori Abrams yakni A Glossary of Literary Terms, Semi mengenai Penokohan Karya Fiksi dan Sayuti yakni Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Rumusan masalah yang kedua mengenai nilai pendidikan budi pekerti yang terdapat dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja yang selanjutnya dianalisis menggunakan teori Suparno dkk. yakni Nilai Pendidikan Budi Pekerti untuk SMU/SMK. Setelah memaparkan temuan tentang penokohan dan nilai pendidikan budi pekerti, pembahasan selanjutnya akan berkenaan dengan relevansinya sebagai materi ajar apresiasi sastra Jawa di SMA 1. Unsur Intrinsik Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. a. Tema Pengertian tema untuk penelitian ini merujuk pada pendapat Waluyo (2011: 8) yang menyatakan bahwa tema adalah makna cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra, sebagai sebuah gagasan dasar tema merupakan sesuatu yang netral, tidak memihak. Selanjutnya melengkapi pendapat di atas Fananie (2000: 84) menyatakan tema dapat berupa apa saja, persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, masalah tradisi atau apa saja yang erat kaitannya dalam kehidupan yang disesuaikan dengan zamannya. Novel Ngulandara terdiri atas empat belas bagian, setiap bab memiliki tema tersendiri. Berikut merupakan tema temuan peneliti yang berkaitan dengan persoalan etika, moral, tradisi, sosial budaya pada zaman novel tersebut dibuat. Berdasarkan teori di atas dan temuan peneliti tema novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja adalah perjuangan hidup dan pencarian jati commit to user diri. Tema tersebut didukung dengan penemuan sub tema pada setiap sub
perpustakaan.uns.ac.id
174 digilib.uns.ac.id
judulnya yaitu, tolong menolong, menolong tanpa pamrih, saling menghargai keberagaman, pengabdian tulus tanpa pamrih, ketekunan, tata krama, tanggung jawab, pengabdian, rela berkorban, balas budi, perhatian atasan terhadap bawahannya, kesedihan, sesuatu akan indah pada saatnya, dan kebahagiaan. Hal yang dilakukan Raden Mas Sutanta tersebut seperti tersirat dalam tembang macapat pocung karya Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh yang berbunyi, ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekesing dur angkara yang bermakna bahwa orang mencari ilmu atau jati diri dengan sarana berusaha mempertahankan jati diri agar terhindar dari bahaya. b. Alur Merujuk pada pendapat Stanton alur adalah jalinan cerita yang disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab dan akibat dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa yang akan datang. Pengertian alur diartikan sebagai cerita yang berisi urutan kejadian, tetpi setiap kejadian itu dihubungkan secara sebab-akibat, peristiwa satu menyebabkan peristiwa yang lainnya (2012: 144). Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja memiliki alur utama karena dalam penceritaannya digambarkan secara runtut tidak menggunakan alur ganda atau alur sampingan yang menceritakan kisah lain dalam cerita, denan tahapan alur meliputi tahap Rangkaian kejadian yang menjalin alur meliputi: (1) eksposition; (2) inciting moment; (3) ricing action; (4) compication; (5) climax; (6) falling action; dan (7) denouement (Waluyo dan Wardani, 2009: 10). Tahap eksposition pada novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja ini adalah tahap pengarang memaparkan, memperkenalkan latar cerita, tokoh, waktu, dan beberapa sumber konflik yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Awal mula diceritakan Den Bei Asisiten Wedana, istri dan anaknya saat perjalanan pulang menuju Ngadireja mobilnya mengalami commitsetelah to userdusun Kledung terletak di lembah kerusakan di tengah hutan daerah
175 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
gunung Sumbing dan Sundara yang termasuk dalam dua wilayah yaitu Parakan (Temanggung) dan Kreteg (Wanasaba). Tahap inciting moment pengarang mulai memunculkan problemproblem yang ditampilkan kemudian ditingkatkan dan dikembangkan. Diceritakan Rapingun yang telah menolong Den Bei memperbaiki mobilnya yang rusak tidak mau diberi imbalan. Den Bei merasa berhutang budi pada Rapingun ia ingin membalasnya suatu saat nanti, ia menghafal nomor mobil yang dikendarai Rapingun dengan harapan jika bertemu lagi ia ingin memberikan hak Rapingun. Tahap ricing action diceritakan permasalahan yang semakin kompleks yaitu saat Rapingun mengantar putri Den Bei satu-satunya Raden Ajeng Supartienah yang pergi ke Magelang di jalan dihadang oleh Hardjana. Rapingun terluka tangannya karena terkena pukulan Hardjana dan harus dirawat di rumah sakit. Rapingun merasa bingung karena ia telah merasa keluarga Den Bei begitu baik padanya, dalam dirinya ia merasa bersalah karena ia tidak akan dapat menetap di satu tempat. Ia harus tetap mengembara. Tahap complication merupakan tahap sebelum klimaks sehingga pemicu konflik lebih ditingkatkan lagi. Diceritakan saat dirumah sakit Raden Ajeng Tien memberikan surat yang ia temukan diantara barangbarang milik Rapingun. Surat itu tak lain adalah surat dari Ibu Rapingun atau R.M Sutanta dalam surat itu tersirat kerinduan mendalam Ibunya, tetapi Rapingun masih ingin mengembara. Sebenarnya Raden Ajeng Tien telah curiga bila Rapingun adalah Raden Mas Sutanta. Ia tetap menyembunyikan jati dirinya dari Raden Ajeng Tien. Hal ini membuatnya bingung mengenai apa yang harus ia lakukan, karena ia juga tidak tega meninggalkan keluarga Den Bei yang sangat baik padanya, namun disisi lain mungkin Ibu dan Bapaknya akan mati dalam kesengsaraan karena menahan rindu padanya, ia memutuskan untuk pergi dari rumah Den Bei dengan alasan mengunjungi orang tuanya. commit to user
176 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Climax merupakan puncak dari keseluruhan cerita. Semua kisah atau peristiwa yang sebelumnya ditahan untuk ditonjolkan, pada tahap ini semuanya
dikisahkan.
Peneliti
menemukan
climax
pada
bagian
terbongkarnya rahasia Rapingun bahwa ia sebenarnya adalah Raden Mas Sutanta anak dari Raden Mas Gandaatmadja yang pergi dari rumah untuk mengembara. Terbongkarnya identitas Rapingun yang sebenarnya ketika ia berkunjung ke rumah Mantri guru Kedungwuni karena ia bekerja sebagai pengawas di daerah itu. Secara kebetulan Den Bei Asisten Wedana, Raden Ayu Asisten Wedana, dan Raden Ajeng Tien juga berkunjung karena ia adalah Wedana baru di daerah Kedungwuni, pertemuan mereka disambut tangis haru. Tahap falling action merupakan tahap ketegangan konfik telah menurun karena telah mencapai climax. Setelah mengetahui kebenaran yang selama ini disembunyikan Raden Mas Sutanta dan mengapa ia berbohong, Den Bei mengerti keadaan Raden Mas Sutanta. Selama menjadi pengawas Raden Mas Sutanta telah memiliki rumah yang baru dan meminta agar Den Bei sekeluarga menginap ditempatnya dan mereka menyetujuinya. Selanjutnya tahap denoument ini berarti penyelesaian dari semua cerita yang berupa akhir cerita. Diceritakan akhir dari novel Ngulandara Raden Mas Sutanta akhirnya menikah dan hidup rukun serta bahagia. c. Sudut Pandang Analisis sudut pandang menggunakan teori menurut Abrams bahwa sudut pandang adalah cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca (1981: 101). Minderop berpendapat bahwa sudut pandang terbagi menjadi empat golongan yaitu, sudut pandang persona ketiga, sudut pandang persona pertama, sudut pandang campuran, dan sudut pandang dramatik (2005: 31). Novel Ngulandara gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang commit tocerita user yang memposisikan pengarang persona ketiga yaitu pengisahan
177 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebagai yang maha tahu dan pengamat. Sudut pandang persona ketiga dalam menampilkan tokoh-tokoh ceritanya, yaitu dengan menyebut nama seperti Rapingun, Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri mantri Guru. d. Latar Latar adalah lingkungan kejadian atau dunia dekat tempat kejadian itu berlangsung. Latar dapat memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas, untuk memberikan kesan realitas kepada pembaca, menciptakan suasana seolah-olah sungguh-sungguh terjadi (Stanton, 2012: 35). Dengan demikian, pembaca dapat
dengan
mudah
mengoperasikan
daya
imajinasinya dan memungkinkan dapat berperan serta secara kritis dengan pengetahuan mengenai latar dalam cerita. Selanjutnya untuk lebih memahami latar terbagi atas tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Sayuti, 2000: 126-127). Latar tempat pada novel Ngulandara terjadi ditengah hutan tepat di bawah dusun Kledung, rumah sakit Parakan, gedung asisten Ngadireja, Kwijen, Pekalongan, pasar malam di Magelang dan rumah mantri Kedungwuni. Latar waktu digambarkan pada waktu pagi, malam, siang dan sore. Selain itu juga ditemukan latar waktu yang menyebutkan nama hari seperti hari Minggu, hari Sabtu, hari Senin ataupun sebulan kemudian. Pengarang juga menyebutkan keterangan waktu menggunakan djam setengah enem, let seprasekawan jam, setengah kalih welas, dan djam tiga. Latar sosial dalam novel ini adalah kehidupan para priyayi karena novel Ngulandara terbit dengan latar waktu tahun 1936 yang masih menganut sistem priyayi. e. Amanat Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. commit to userbiasanya berupa nilai-nilai yang Selanjutnya dijelaskan bahwa amanat
perpustakaan.uns.ac.id
178 digilib.uns.ac.id
dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Amanat adalah ajaran moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pendapat tersebut peneliti gunakan sesuai dengan pendapat Ismawati (2013:73). 1) Ajining Dhiri Dumunung ing Lathi, Ajining Raga Dumunung ing Busana Pitutur luhur Jawa ajining dhiri dumunung ing lathi, ajining raga dumunung ing busana maksudnya seseorang akan dihargai berdasarkan apa yang melekat pada tubuh dan jiwanya. Pada tubuh misalkan pakaian. Pakaian pada manusia terdiri atas dua yaitu pakaian lahir dan batin. Pakaian lahir berwujud kain, seseorang tidak harus berpakaian mewah namun cukup sederhana bersih dan sopan, sedangkan pakaian lahir berupa ilmu dan keluhuran budi yang mampu membawa seseorang dihormati. Hendaknya setiap manusia memiliki kedua pakaian tersebut. 2) Sepi Ing Pamrih Rame ing Gawe Sepi ing pamrih rame ing gawe maksudnya sesuatu haruslah dikerjakan dengan ikhlas tanpa mengarap imbalan. Jika diperlukan harus rela berkorban demi tanggung jawab yang yang diberikan. Dalam novel ini disampaikan pula pengabdian yang tanpa pamrih. Saat kita mengabdikan diri kita harus rela berkorban. Seperti yang dilakukan Rapingun saat menjaga Raden Ajeng Tien dari ulah Hardjana. Tokoh Rapingun memberikan teladan rela berkorban demi keselamatan majikannya. 3) Sepira Gedhening Sengsara yen Tinampa amung dadi Coba Pengarang melalui tokoh Raden Mas Sutanta ingin menunjukkan bahwasannya saat mengalami kegagalan jangan hanya duduk meratapi kegagalan tersebut, bangkit dan carilah ilmu agar kesalahan yang lalu tidak terulang kembali, karena Tuhan pasti memiliki rencana yang lebih baik untuk kita. Raden Mas Sutanta yang dipecat dari pekerjaannya memilih pergi dari rumah untuk mengembara mencari ketenangan dan ilmu-ilmu kehidupan banyak kesusahan dan kebahagiaan ia alami commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
179 digilib.uns.ac.id
hingga akhirnya ia menemukan kebahagiaan yaitu dengan mendapatkan pekerjaannya kembali dan menikah dengan Raden Ajeng Tien. 2. Analisis Penokohan dari Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja. Tokoh cerita (karakter) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams, 1981: 20). Di antara tokoh dan kualitas pribadinya berkaitan erat dengan penerimaan pembaca. Perbedaan antara tokoh yang satu dengan tokoh lainnya lebih ditentukan oleh kualitas pribadi daripada dilihat secara fisik. Sebagai karya fiksi, novel merupakan suatu bentuk karya kreatif, maka pengarang dapat mewujudkan dan mengembangkan tokoh-tokoh ceritanya pun tidak terlepas dari kebebasan kreativitasnya. Penokohan terbagi atas beberapa jenis yaitu tokoh protagonis, antagonis, sentral, peripheral, kompleks dan sederhana (Sayuti, 2000: 67). Penggambaran tokoh dapat dianalisis menggunakan metode analitik dan metode dramatik. metode analitik pengarang langsung memaparkan tentang watak tokoh atau karakter tokoh. Sedangkan metode dramatis pengarang tidak menggambarkan watak tokoh secara langsung tetapi dapat disampaikan dengan cara: (1) pilihan nama tokoh, (2) melalui penggambaran fisik tokoh, cara berpakaian, tingkah laku, dan sikap-sikapnya terhadap tokoh lain, (3) melalui dialog, baik dialog tokoh dengan tokoh-tokoh lain atau dengan dirinya sendiri (Semi, 1993: 38). Tokoh dalam novel Ngulandara 16 tokoh. Tokoh-tokoh tersebut secara garis besar menjadi subjek dan pencerita yang diceritakan. Tokoh sentral dalam cerita ini adalah Raden Mas Sutanta. Sedangkan tokoh pembantu Raden Ayu Supartinah, Den Bei Asisten Wedana, Den Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Kerta, Kasna, Salijem, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Hardjana, Suratna, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru. Selanjutnya akan dianalisis berdasarkan jenis dan teknik penggambaran tokoh commit to user dalam cerita.
180 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Tokoh Protagonis Tokoh
protagonis
dalam
novel
Ngulandara
karya
Margana
Djajaatmadja adalah Rapingun, Raden Ajeng Supartienah, Raden Bei Asisten wedana, Raden Ayu Asisten wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru, Kerta, Kasna dan Salijem. Hal ini sesuai dengan pendapat Waluyo (2011: 24) bahwa tokoh protagonis merupakan tokoh yang mendukung jalannya cerita dan tokoh yang mengundang atau mendatangkan simpati atau tokoh baik. Penentuan tokoh-tokoh tersebut sebagai tokoh protagonis dianalisis dengan metode analitik dan dramatik menurut Sayuti (2000: 112) sehingga dapat digolongkan ke dalam jenis tokoh tersebut. b. Tokoh Antagonis Tokoh antagonis dalam novel Ngulandara adalah Hardjana dan Suratna. Hal ini karena kedua tokoh tersebut menimbulkan perasaan benci, antipati kepada pembaca karena tindakannya yang tidak baik dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Tokoh tersebut juga diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama dalam menyampaikan cerita. Selaras dengan pendapat Budianta (2003: 83) bahwa tokoh antagonis merupakan tokoh yang brtugas mengimbangi utama. c. Tokoh Sentral Tokoh sentral dalam novel Ngulandara adalah tokoh Rapingun hal ini merujuk pada keterlibatan tokoh ini dalam keseluruhan cerita. Tokoh Rapingun mengambil bagian terbesar dalam peristiwa cerita. Pada novel Ngulandara
mengisahkan
perjalanan
pengembaraan
Rapingundalam
usahanya menjari jati diri dan merenungi kegagalannya. Berdasarkan analisis dengan teori Sayuti (2000: 67) Tokoh Rapingun mewakili keseluruhan tema dan makna atau amanat, selanjutnya tokoh Rapingun paling banyak berinteraksi dengan tokoh lain, terbukti pada keseluruhan sub bab tokoh Rapingun pasti muncul sebagai pusat penceritaan sehingga tokoh commit to dalam user penceritaan. Rapingun memerlukan banyak waktu
perpustakaan.uns.ac.id
181 digilib.uns.ac.id
d. Tokoh Peripheral Tokoh peripheral merupakan tokoh yang mendukung tokoh sentral dalam menjalankan cerita. Pada novel Ngulandara yang termasuk tokoh peripheral adalah Raden Ajeng Supartienah, Raden Bei Asisten Wedana, Raden Ayu Asisten Wedana, Nyonyah Oei Wat Hien, Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei Mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru, Kerta, Kasna dan Salijem. Tokoh-tokoh tersebut membantu tokoh sentral dalam menjalankan cerita sebagai contoh adalah tokoh Den Bei Asisten Wedana membanti tokoh Rapingun dalam pencapaian cerita, jikalau tokoh Den Bei tidak menghendaki tokoh Rapingun sebagai supirnya maka jalan ceritanya akan lain. e. Tokoh Kompleks Tokoh kompleks merupakan tokoh yang dalam segi watak dan karakternya disebutkan secara rinci dan dapat dilihat dari semua sisi kehidupannya yang termasuk dalam tokoh kompleks adalah tokoh Rapingun, Raden Ajeng Supartienah, Raden Bei Asisten Wedana, Raden Ayu Asisten Wedana dan Nyonyah Oei Wat Hien. Tokoh-tokoh tersebut lebih terlihat watak dan karakternya serta kebiasaan kehidupannya dibandingkan dengan tokoh yang lain. Tokoh-tokoh yang tergabung di dalam tokoh kompleks membutuhan waktu penceritaan yang lebih banyak daripada tokoh yang lain. f. Tokoh Sederhana Tokoh sederhana lebih merujuk pada tokoh yang kurang mewakili personalitas manusia atau hanya satu sisi saja yang ditunjukkan. Tokoh sederhana dalam novel Ngulandara adalah Raden Mantri guru ing Parakan, Raden Ayu Mantri guru, Den Bei mantri gudang, Den Ayu Mantri gudang, Mantri guru Kedungwuni, Istri Mantri guru, Kerta, Kasna dan Salijem. Tokoh-tokoh ini tidak mewakili secara utuh kehidupan manusia, karena dalam penceritaannya baik digambarkan dengan analitik atau dramatik commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
182 digilib.uns.ac.id
kurang mewakili perwatakan seseorang. Dalam cerita pun intensitas kemunculan juga sangat sedikit dibandingkan dengan tokoh kompleks. 3. Nilai pendidikan Budi Pekerti dalam Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja. Analisis nilai budi pekerti pada penelitian ini mengacu pada pendapat Suparno dkk. yang membagi nilai budi pekerti untuk SMA/SMK ke dalam sepuluh nilai budi pekerti yaitu: 1) religiusitas, 2) sosialitas, 3) gender, 4) keadilan, 5) demokrasi, 6) kejujuran, 7) kemandirian, 8) daya juang, 9) tanggung jawab, dan 10) penghargaan terhadap lingkungan. Selanjutnya Endraswara (2003: 24) menyatakan bahwa sumber dari nilai budi pekerti bersumber dari kearifan tradisonal Jawa. Kearifan tersebut berasal dari para pendahulu yang terucap dengan penuh kesederhanaan dan penuh suasana prihatin. a. Nilai Religiusitas Religiusitas adalah sikap dan kesadaran manusia bahwa dalam hidup ini ada kekuatan atau kekuasaan yang jauh melampaui kekuatan dan kekuasaan manusia. Manusia terdiri atas dua dimensi yaitu lahiriah dan batiniah. Dimensi batin inilah yang menyadarkan bahwa manusia merupakan makhluk yang lemah dan masih ada kekuatan dan kekuasaan yang mutlak. Dalam novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja terdapat nilai religiusitas yang menunjukkan kepasrahan seorang manusia kepada yang Maha Mengatur Kehidupan. Hal itu sesuai dengan syair yang terdapat pada tembang macapat dhandhanggula yaitu kawruhana sejating urip, manungsa urip ana ing donya, prasasat mung mampir ngombe, umpamakna manuk mabur, oncat saking kurunganeki, ngendi pencokan benjang, ywa kongsi kaleru, umpama wong lunga sanja, njan sinanjan nora wurung bakal mulih, mulih mula mulanira. Makna tembang macapat tersebut ialah hakikat hidup di dunia ini tidaklah lama sehingga diibaratkan seperti orang yang sedang minum. Dan manusia itu pada akhirnya akan kembali lagi kepada penciptanya sehingga commityang to user diibaratkan seperti seekor burung lepas dari sangkar ia akan hinggap
perpustakaan.uns.ac.id
183 digilib.uns.ac.id
dimana saja yang disukai namun harus diingat bahwa semuanya akan kembali kepada tempat asalnya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Novel Ngulandara mengajarkan nilai religiusitas melalui tokoh Raden Ayu Asisten Wedana, di dalam kesulitan kesusahan dan kesengsaraan tokoh tersebut mengisyaratkan bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah, masih ada kekuatan mutlak yang tidak mampu ditandingi oleh kekuatan manusia manapun yaitu kekuatan Tuhan. Maka, sudah sepantasnya jika dalam kesulitan atau kesusahan memohon dan meminta pertolongan kepada yang Maha Mengatur Kehidupan. b. Nilai Sosialitas Nilai sosialitas adalah sikap yang perlu dikembangkan manusia dalam kehidupan bersama dan dijadikan sebagai nilai hidup. Manusia pada hakikatnya hidup dalam masyarakat yang mana dalam masyarakat tersebut terdapat nilai yang dijunjung tinggi atas kesepakatan bersama. Nilai yang menyangkut kepentingan orang lain dalam masyarakat. Nilai yang dijunjung tinggi sesuai latar waktu pada novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja adalah bahwa masih terdapat sistem kasta dalam masyarakat dimana seseorang yang berstatus sosial rendah haruslah menghormati seseorang dengan status sosial tinggi. Sesuai dengan pepatah Jawa desa mawa cara negara mawa tata bahwasannya setiap lapisan masyarakat memiliki aturan atau norma yang harus ditaati, karena norma itu telah menjadi kesepakatan yang disetujui bersama. Ungkapan lain adalah ingkang pantes dhawah ing sambhawa kaliyan sembada ‘yang pantas sesuai keadaan dan mumpuni’. Maknanya bertindak dengan mempertimbangkan empan papan atau suasana, waktu, dan tempat agar pantas. Dalam filsafat Jawa seseorang dituntut untuk bertanggung jawab dam memperhatikan desa’tempat’, kala’waktu’ dan patra’suasana’. Tokoh Nyonyah Oei Wat Hien telah menunjukkan bagaimana cara menghormati adat budaya dan kebiasaan dimana tempat tinggalnya sesuai dengan pepatah di atas. Tokoh ini merupakan tokoh Tiong Hoa yang telah to user lama hidup di Jawa bahkancommit tergolong sebagai kaum priyayi pada saat itu.
perpustakaan.uns.ac.id
184 digilib.uns.ac.id
Namun dapat dilihat pada subbab Nyonyah Oei Wat Hien bagaimana tokoh tersebut sudah menerapkan unggah-ungguh basa yang benar dan memiliki tata cara bertamu yang sesuai dengan kebiasaan orang Jawa serta tokoh tersebut menerapkan sistem orang Jawa yang tidak suka to the point namun ada kalanya harus menyembunyikan maksudnya terlebih dahulu. c. Nilai Gender Nilai gender merupakan nilai yang mengajak memahami bahwasannya baik laki-laki atau wanita pada hakikatnya adalah ciptaan Tuhan yang diberi kesempatan hidup yang sama, dalam masyarakat pun memiliki kewajiban dan hak tersendiri yang sama dalam konteks tertentu. Nilai gender yang terdapat pada novel Ngulandara adalah adanya persamaan hak antara pria dan wanita dalam bidang pendidikan. Novel Ngulandara mencoba memberikan pola pikir yang baru pada masyarakan zaman itu bahwa wanita yang biasanya hanya disebut sebagai kanca wingking atau suwarga nunut neraka katut. Kanca wingking lebih mengarah kepada makna bahwa wanita hanya sebagai pendukung saja sehingga tidak boleh ikut campur dalam urusan tertentu sehingga melahirkan sebuah pepatah suwarga nunut neraka katut maknanya lebih kepada perempuan yang penurut harus patuh kepada laki-laki dan tidak berhak memperoleh kebebasan. Praktiknya saat ini wanita juga berhak memperoleh pendidikan yang setara dengan pria. Dan lagi wanita juga berhak memiliki pekerjaan yang sesuai dengan tingkat pendidikannya. Seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Raden Ajeng Tien, sebagai wanita Jawa pada zaman itu ia sudah menunjukan adanya emansipasi, ia bersekolah seperti anak laki-laki pada umumnya dan ia juga memperoleh kebebasan untuk bekerja sehingga jika wanita hanya sebagai kanca wingking atau suarga nunut neraka katut tidaklah benar wanita pun dapat melakukan kewajiban atau pekerjaan yang sama dengan laki-laki. d. Nilai Keadilan Nilai keadilan adalah perlakuan yang sama terhadap semua orang commit user dalam situasi yang sama dan untuktomenghormati setiap hak semua orang
185 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan falsafah orang Jawa crah agawe bubrah, rukun agawe santosa, maksudnya lebih pada menciptakan kerukunan antar manusia jika semua mendapatkan perlakuan yang sama maka kerukunan akan tercipta dengan sendirinya. Jika kita dihormati oleh orang lain maka harus menghormati orang lain pula. Novel Ngulandara memberika pelajaran bahwa tidak benar jika memperlakukan orang secara tidak adil apalagi hanya melihat dari drajat dan pangkatnya. Memperlakukan seseorang tidak boleh emban cindhe emban siladan yang maknanya memperlakukan seseorang secara berbeda yang satu diperlakuan bagai emas yang merupakan barang yang sangat berharga. Sedangkan yang satunya seperti sisa-sisa bilahan bambu yang biasanya tidak diperdulikan dan hanya merupakan barang sisa yang tidak berguna. Nilai keadilan ditunjukkan oleh tokoh Raden Bei Asisten Wedana beserta
keluarganya,
hal
itu
terlihat
dari
bagaimana
caranya
memperlakukan bawahan. Meskipun Rapingun, Kerta, dan Salijem adalah pembantu namun ketiganya diperlakukan secara layak bahkan dianggap seperti keluarga. Raden Bei juga menghormati hak-hak mereka sebagai manusia, ketika Rapingun meminta izin untuk dapat pulang menemui keluarganya Den Bei memberikan izin dan memberikan uang saku dari hasil kerja Rapingun selama itu. e. Nilai Demokrasi Nilai demokrasi dapat diwujudkan dalam beberapa tindakan yaitu menghargai pendapat, memperlakukan orang dengan cara yang sama tanpa diskriminatif tanpa memandang agama, suku, derajat, tingkat ekonomi, menerima kekalahan dan berani mengungkapkan gagasan. Dalam novel Ngulandara terdapat nilai demokrasi yang beragam, diantaranya adalah menghargai pendapat. Pada falsafah orang Jawa terdapat pitutur luhur yaitu aja mbedakake marang sapadha-padha maknanya setiap orang perlu mendapatkan
penghormatan dan penghargaan yang sama, karena to user maka hendaknya keberagaman keberagaman yang berada commit di masyarakat
186 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut tidak menjadi penghalang namun sebagai pemersatu kebhinekaan di masyarakat. Karena sesungguhnya perbedaan yang ada akan melahirkan dinamika hidup dalam rangka terwujudnya rasa sejahtera bersama. Nilai demokrasi pada novel Ngulandara ditunjukkan oleh tokoh Den Bei yang menghargai pendapat istrinya untuk membawa Rapingun ke rumah sakit di Parakan saja karena di Magelang terlalu jauh. Tokoh Den Bei menghormati pendapat istrinya tidak ada rasa kecewa karena kehendaknya tidak terpenuhi. Sifat beran mengungkapkan gagasan juga ditunjukkan oleh Rapingun ketika menyikapi ketakutan Raden Ajeng Tien jika orang tuannya tau bahwa ia dihadang oleh Hardjana di tengah hutan, Rapingun menyarankan agar Raden Ajeng Tien berkata kepada orang tuanya bahwa luka di tangan Rapingun tersebut karena terkena slinger. f. Nilai Kejujuran Kejujuran merupakan segala sesuatu yang dilakukan seseorang sesuai dengan hati nurani dan norma peraturan yang ada, jujur berart menepati janji atau kesanggupan. Sikap kejujuran perlu ditanamkan secara terus menerus baik menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, ataupun masyarakat. Sikap jujur memang tidak diperlihatkan secara langsung pada novel Ngulandara karena dalam novel ini tokoh utama memang sengaja untuk menyembunyikan jati dirinya, bukan untuk berbuat yang tidak baik namun karena ada tujuan lain yaitu mencari jati dirinya. Namun
dalam
novel
Ngulandara
diperlihatkan
konsekuensi
atas
ketidakjujuran, seseorang yang tidak jujur akan merasa gelisah dan tidak tenang dalam dirinya. Konsekuensi seseorang yang tidak jujur oleh Sri Pakubuwana IV dalam serat Wulang Reh ditunjukkan dalam pupuh gambuh yaitu: aja nganti kabanjur, sabarang polah kang nora jujur, yen kabanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur kang sayektos. Maknanya segala hal yang yang tidak jujur bila terlanjur benar-benar akan tidak baik, lebih baik utamakan kejujuran karena itu adalah nasehat yang sejati. Sebaik-baiknya commit to user yang menyakitkan. ketidakjujuran masih lebih utama kejujuran
perpustakaan.uns.ac.id
187 digilib.uns.ac.id
Tokoh Rapingun memberikan gambaran ketidakjujurannya nyata memberikan kesedihan kepada keluarga Den Bei. Rapingun berbohong ingin mengunjungi orang tuanya di Pacitan namun nyatanya itu hanya alasan agar ia dapat pergi dari rumah Den Bei. Keluarga Den Bei pun merasa bersedih dan kehilangan akan kepergian Rapingun. Ketidakjujuran Rapingun juga menyulitkan dirinya sendiri bagaimana tidak Rapingun harus pandai menyembunyikan jati dirinya sehingga ketika Raden Ajeng Tien menemukan surat dari ibunya perasaannnya merasa bingung dan serba salah sehingga menyulitkan dirinya sendiri. g. Nilai Kemandirian Nilai kemandirian yang dimaksud merupakan sikap penuh kepercayaan dan dapat dipercaya, sikap penuh tanggung jawab terhadap keputusan, keberanian untuk menghadapi masalahnya sendiri, kemampuan berinisiatif, tidak gampang terpengaruh dan mengambil keputusan secara sadar. Sikap penuh percaya diri dan keberanian dalam mengambil keputusan merupakan sifat yang harus dikembangkan. Dalam novel Ngulandara sikap tersebut berada pada pengkisahan Rapingun yang ngulandara ‘mengembara’ tanpa membawa sepeserpun harta milik orang tuanya kecuali baju yang melekat di badannya. Hal ini ia lakukan untuk berjuang mencari jati dirinya dan dalam rangka lelaku ‘tirakat’ atas musibah yang menimpanya. Ajaran Jawa melalui pitutur luhur menyebutkan yen wani aja wedi wedi, yen wedi aja wani-wani. Falsafah orang Jawa yang demikian itu mengandung makna bahwa dalam mengambil keputusan jangan sekalipun ada ragu di dalam hati
jika tidak katakan tidak. Ketegasan diperlukan dalam mengambil
keputusan hal ini sesuai dengan salah satu ajaran astha brata yaitu laku hambeging dahana dimana seseorang harus tegas seperti api yang sedang membakar. Namun pertimbangannya berdasarkan akal sehat yang bisa dipertanggung jawabkan sehingga tidak membawa kerusakan. Nilai kemandirian ditunjukkan tokoh Rapingun dengan tegas mengambil keputusan untuk lelaku ngulandara atau mengembara dalam commit to user rangka menyikapi kegagalan yang sedang dialami. Tokoh Rapingun
perpustakaan.uns.ac.id
188 digilib.uns.ac.id
mengembara mencari apa sebenarnya yang menjadikan dirinya gagal dan berniat untuk memperbaiki segala kekuragan yang ada pada dirinya dengan mencari ilmu sebanyak-banyaknya, berbagai pekerjaan ia lakukan asalkan tidak melanggar norma yang berlaku. Ajaran astha brata ia terapkan dalam mengambil keputusan pergi dari rumah namun keputusan yang menyalanyala itu tidak lantas menjadikan dirinya buta akan norma dan tanggung jawab. Tokoh Rapingun bertanggung jawab atas apa yang diputuskan. h. Nilai Daya Juang Suatu sikap untuk tidak mudah menyerah, tidak gampang putus asa, memiliki daya kemauan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, serta keyakinan bahwa segala sesuatu membutuhkan proses dan usaha. Di dunia ini tidak ada segala sesuatu yang tercipta demikian saja namun selalu ada proses yang mendahului sebelum terciptanya sebuah hasil yang diinginkan yang tentu saja hasil yang baik. Proses menuju baik tidaklah mudah pasti terhadap cobaan dan rintangan yang hanya akan teratasi jika memiliki sikap tidak mudah putus asa dan tidak mudah menyerah pada keadaan. Di dalam proses terdapat tantangan dan kegagalan yang tentunya harus disikapi dengan ikhlas bangkit dan temukan apa yang diinginkan. Hal tersebut tercermin dalam sebuah pitutur luhur orang Jawa yang berbunyi sepira gedhening sengasara yen tinampa amung dadi coba artinya seberapa besar kesengsaraan yang di alami jika ikhlas hal itu hanya akan menjadi sebuah cobaan. Keikhlasan menjadi kunci untuk menerima apa yang digariskan oleh Tuhan seperti falsafah Jawa narima ing pandum. Konsepsi ini tidak lantas dijadikan alasan untuk bermalas-malasan namun narima ing pandum berarti menerima apa yang diberikan Tuhan dengan apa yang telah diusahakan, karena pengeran iku kuwasa dening manungsa iku bisa maksudnya manusia bisa berusaha namun semuanya kempali harus dipasrahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tokoh Rapingun memberikan pesan sepira gedhening sengsara yen tinampa amug dadi coba kegagalan yang dialamunya karena dipecat dari commit to user pekerjaan tidak menjadikannya lemah dan meratapi nasib. Namun harus
189 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bangkit menghadapi hidup ia menyadari bahwa ilmu dan pengalaman di dunia sangatlah banyak. Rapingun memutuskan untuk pergi meninggalkan orag tuanya yang bergelimang harta. Rapingun tidak mau hanya bergantung kepada orang lain, ia harus berhasil atas usaha dan doanya sendiri. Rapingun mengembara berusaha mencari panglaman dan jati dirinya hingga akhirnya Tuhan menjawab usaha dan doanya, Rapingun kembali memperoleh pekerjaan dan kebahagiaan dengan menikahi Raden Ajeng Tien. i. Nilai Tanggung Jawab Nilai tanggung jawab berarti keberanian, kesiapan, keteguhan hati untuk menerima konsekuensi atas segala keputusan dan tindakan yang telah dipilih. Seorang yang bertanggung jawab akan secara sadar mengambil keputusan, menjalankan keputusan tersebut dan menerima konsekuensi atas keputusan tersebut. Dalam khasanah kebudayaan Jawa penjelasan mengenai hal tersebut terdapat dalam pepatah mikul dhuwur mendhen jero. Pepatah tersebut mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang bersifat rahasia harus benar-benar dijaga agar orang lain tidak mengetahuinya. Selain pepatah tersebut ada falsafah Jawa yang terkenal dengan sebutan Trilogi Mangkunegaran yaitu rumangsa melu handarbedi, rumangsa wajib hangrungkepi, mulat sarira hangrasa wani. Rumangsa melu handarbeni’ merasa ikut memiliki’ makna kata simbolis tersebut adalah seseorang harus bertanggung jawab atas tugas-tugas yang ada padanya, tugas itu harus dirasaka, disadari sebagai miliknya. Rumangsa wajib hangrungkepi ‘siap berkorban untuk melindungi’ maknanya seseorang harus siap berkorban dalam
melaksanakan
tanggung jawab
yang dibebankan
padanya.
Selanjutnya mulat sarira hangrasa wani ‘berani melihat diri sendiri’ menjadi seseorang yang bertanggung jawab harus dapat melihat kedalam dirinya sendiri bagaimana menyikapi tanggung jawab itu. Nilai tanggung jawab dalam novel Ngulandara ditunjukkan oleh tokoh Rapingun yang diberi tanggung jawab oleh Den Bei untuk menjaga commit usermenjalankan amanah yang yang purtinya yaitu Raden Ajeng Tien. toSaat
190 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diberikan padanya terdapat halangan yaitu dihadang oleh Hardjana, perkelahian untuk mempertahankan keselamatan Raden Ajeng Tien pun harus dilakukan hingga tangan Rapingun mengalami cidera dengan kondisi yang demikian Rapingun harus menyelesaikan tugasnya membawa Raden Ajeng Tien sampai rumah. Menahan rasa sakit di lengannya Rapingun berhasil membawa Raden Ajeng Tien kembali kerumah tanpa kekurangan suatu apapun. Sikap Rapingun tersebut telah menunjukkan nilai tanggung jawab atas tugas yang diberikan padanya, mengambil keputusan dengan tepat serta menyelesaikannya dengan baik. j. Nilai Penghargaan terhadap Lingkungan Nilai penghargaan terhadap lingkungan adalah sikap untuk mencintai kehidupan.
Perlu
adanya
kecintaan
terhadap
kehidupan
untuk
mengungkapkan kecintaan terhadap alam. Dalam novel Ngulandara terlihat kecintaan Rapingun pada Hel kuda milik Den Bei, dengan sabar ia melatih kuda yang liar itu. Modal Rapingun hanya ketekunan dan keyakinan bahwa sesuatu hal pasti akan tercapai jika kita mau dan mampu untuk berusaha, sapa sing tekun bakal tekan dan sapa tekun bakal tinemu yang berarti siapa saja yang tekun akan mencapai keinginannya. Ketekunan Rapingun dalam mencintai alam dikarenakan filsafat Jawa pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine kang katon lan ora kasat mata ‘Tuhan itu berkuasa tanpa alat, menciptakan alam dan seluruh isinya baik yag terlihat atau tidak terlihat’ dari hal itu dapat dijelaskan bahwa alam dan segala isinya adalah milik Tuhan manusia, hewan, tumbuhan dan segala yang ada di alam ini harus dipelihara karena bukanlah milik kita. Tokoh Rapingun memberikan pesan untuk menghargai lingkungan bukan hanya lingkungan alam saja namun juga lingkungan antara manusia dengan manusia. Tokoh Rapingun sangat pandai dalam merawat kuda tokoh ini dapat menjinakkan kuda yang sangat liar dengan kasih sayang yang diberikan serta ketekunan yang ia miliki. Rapingun juga sangat menjaga hubungan baik antar manusia karena keluhuran budinya ia disukai commit to yang user merasa tersakiti oleh perkataan oleh banyak orang. Tidak ada orang
perpustakaan.uns.ac.id
191 digilib.uns.ac.id
ata perbuatannya. 3. Relevansi Penokohan dan Nilai Pendidikan Budi Pekerti dalam Novel Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja sebagai Materi Ajar Apresiasi Sastra Jawa di SMA. Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja selain sebagai bacaan penikmat novel, ternyata juga dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran bahasa Jawa di SMA. Mengingat sastra dalam pembelajaran bahasa Jawa di SMA memiliki tempat dalam proses pembelajaran kelas XI. Di dalam Kurikulum 2013, secara tertulis Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar mengenai apresiasi karya sastra novel. Namun seperti yang diutarakan Ngatiyem dan Vitalia Magistra bahwa pembelajaran novel cenderung monoton dan membosankan karena materi yang digunakan hanya itu-itu saja. Hal itu karena sulitnya mencari novel jawa yang memiliki nilai-nilai sesuai konteks dan kebutuhan peserta didik. Dan lagi novel-novel kebanyakan memuat nilainilai yang terlalu dewasa sehingga tidak cocok untuk diajarkan di SMA. Kelayakan atau tidaknya sebagai alternatif materi pembelajaran juga didasarkan pada pendapat Winkel (1996: 297) berpendapat materi atau bahan ajar harus relevan terhadap tujuan instruksional yang harus dicapai, yaitu dari segi isi maupun jenis perilaku yang dituntut siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Lebih lanjut materi pembelajaran harus sesuai dengan taraf kesulitannya dengan kemampuan siswa untuk menerima dan mengolah bahan itu. Materi ajar juga dapat menunjang motivasi siswa, antara lain karena relevan dengan pengalaman hidup sehari-hari siswa, sejauh hal itu mungkin dan harus sesuai dengan media pelajaran yang tersedia. Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja mengandung nilai-nilai budi pekerti yang dapat mencapai tujuan pembelajaran pembentukan sikap. Dari novel tersebut juga memuat unsur-unsur pembangun novel yang lengkap sebagai pemicu pengetahuan peserta didik. Dasar pemilihan materi ajar yang baik juga perlu diperhatikan. Menurut Semi (1993: 13) dasar pemilihan bahan ajar yang baik diantaranya adalah commit to usertujuan pengajaran sastra, materi bahan atau materi tersebut valid dengan
perpustakaan.uns.ac.id
192 digilib.uns.ac.id
tersebut bermakna dan bermanfaat sesuai dengan kebutuhan siswa, materi tersebut dalam batas keterbacaan dan intelektual siswa. Melengkapi pendapat tersebut Sani dan Kurniasih (2014: 25-26) berpendapat bahwa materi ajar yang baik harus sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan siswa. Novel Ngulandara sesuai dengan Kurikulum 2013 yang menekankan pada aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dilihat dari aspek pembelajaran sikap, novel Ngulandara memiliki nilai-nilai pendidikan yang baik dan dapat dijadikan bahan renungan dan bahan pembelajaran peserta didik. Dari segi pengetahuan dan keterampilan jelas bahwa novel Ngulandara dapat dijadikan materi pembelajaran yang di dalamnya telah memenuhi permintaan kurikulum yang disebutkan dalam silabus bahwa peserta didik dapat menemkukan unsur-unsur pembangun novel serta menyebutkan nilai pitutur luhur yang terdapat pada novel tersebut. Isi dari novel Ngulandara memberikan wawasan kepada peserta didik tentang bagaimana seharusnya seseorang menyikapi kegagalan. Peserta didik akan mampu merenungkan hal itu, pemahaman peserta didik akan mempengaruhi pola pikir peserta didik, sehingga seluruh tujuan dan kompetensi yang harus dicapai dapat dikuasai oleh peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat Prastowo (2011: 17) bahwa bahan ajar merupakan segala bahan yang disusun secara sistematis yang menampilkan segala kompetensi yang akan dikuasai peserta didik dan digunakan daam proses pembelajaran dengan tujuan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan sebagai alternatif materi ajar dilihat dari unsur pembangun yang memberikan informasi lengkap kepada peserta didik. Peserta dapat mempelajari sastra dan budi pekerti yang baik serta mampu mengetahui bagaimana kehidupan pada era tahun 1936 melalui novel ini. Belajar sastra karena dalam novel Ngulandara terdapat kata-kata yang dikemas secara halus, indah dan sesuai dengan undhausuk basa yang tepat. Dalam novel ini juga memuat nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang mana sesuai dengan khasanah budaya Jawa yang memuat pitutur commitdalam to usermenjalani kehidupan sehari-hari. luhur sehingga dapat dipraktikan
193 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Peserta didik juga mengetahui bahwa kehidupan pada tahun 1936 sangatlah berbeda dengan saat ini peserta didik akan mampu membandingkan keduanya dan merangsang daya pemahaman siswa untuk memilih dan memilah hal baik dan buruk yang berguna bagi peserta didik sendiri. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja merupakan novel yang baik karena tidak hanya sebagai bacaan yang sifatnya menghibur namun juga memberikan pengetahuan serta nilai-nilai budi pekerti di dalamnya. Novel tersebut yang dapat digunakan sebagai alternatif materi ajar adalah isi novel yang memiliki banyak nilai pendidikan budi pekerti. Novel Ngulandara juga merupakan novel yang lengkap baik dari segi isi ataupun nilai pendidikan yang relevan digunakan zaman ini, sebagai pembelajaran bagi peserta didik mengenai sikap dan berperilaku yang baik. Novel ini dapat menjadi alternatif materi ajar karena dalam novel Ngulandara memuat unsur pembangun yang lengkap serta isinya tidak mengandung SARA, ataupun penceritaan yang vulgar sehingga sesuai untuk kebutuhan di SMA. Novel Ngulandara karya Margana Djajaatmadja dapat dijadikan materi ajar pembelajaran sastra Jawa berbasis pendidikan budi pekerti sekaligus materi pembelajaran yang terintegrasi dengan apresiasi sastra Jawa di SMA kelas XI.
commit to user