BAB IV EVALUASI DAN PEMBAHASAN
IV.1
Analisis Surat Permohonan Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPh Badan Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara perlakuan akuntansi
dan pajak akan mengakibatkan perbedaan laba komersial dan laba fiskal. Dalam laporan keuangan komersil, setiap laporan keuangan perusahaan dalam operasinya dapat dijadikan beban. Namun sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, tidak semua beban komersial itu dapat dijadikan beban fiskal. Hal ini mendorong terjadinya koreksi fiskal positif yang dilakukan oleh fiskus dalam penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB). Dalam penerbitan SKPKB tersebut sering terjadi perbedaan pendapat antara fiskus dan Wajib Pajak. Oleh karena itu untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat Wajib Pajak, didirikanlah Pengadilan Pajak untuk Wajib Pajak mencari keadilan di bidang perpajakan. Wajib Pajak berhak mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak setelah keberatannya ditolak oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dengan ditolaknya keberatan yang diajukan CV.W atas diterbitkannya SKPKB PPh Badan oleh DJP, CV.W mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas koreksi yang dilakukan oleh fiskus, sebagai berikut : Bahwa sesuai pemberitahuan Hasil Pemeriksaan Nomor : Pem-068/WPJ.20/RP.01/2005 tanggal 05 April 2005 terdapat koreksi fiskal positif, koreksinya adalah :
54
a. Pokok Sengketa : Koreksi Positif atas Peredaran Usaha sebesar Rp. 284.807.865 Dalam surat bandingnya, CV.W menyatakan bahwa pemindahan kredit antar bank di Bank Negara Indonesia (BNI) di luar jumlah uang yang diterima sesuai dalam faktur pajak adalah bukan merupakan penghasilan bagi perusahaan. Pemindahan kredit tersebut dilakukan agar perusahaan seolah-olah mempunyai aktivitas, karena dalam mengikuti tender PT. Kereta Api Indonesia wajib melampirkan rekening koran. Selama tahun 2002 CV.W telah melaporkan semua penghasilan dengan jumlah omset sebesar Rp. 940.056.503, atas omset tersebut diatas telah CV.W laporkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Badan Tahun 2002. Selain itu CV. W juga menyatakan bahwa perbedaan jumlah uang masuk di rekening koran dengan nilai kontrak pekerjaan yang dilaksanakan terjadi karena adanya PPh Pasal 23 terkandung dalam jumlah omzet pada Surat Pemberitahuan PPh Badan Tahun Pajak. Bukti-bukti yang disampaikan CV. W yaitu : a. Bukti rincian uang masuk sesuai Surat Perintah Kerja (SPK) b. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 (5 lembar) c. Bukti Surat Pemberitahuan PPh Badan Tahun Pajak 2002, Surat Pemberitahuan Masa PPN Sedangkan menurut fiskus, koreksi sebesar Rp. 284.807.865 dilakukan karena adanya perbedaan antara rekening koran CV.W dengan nilai kontrak proyek yang didapat oleh CV. W, sehingga nilai uang tersebut dianggap sebagai omzet yang belum dilaporkan oleh CV. W.
55
Berdasarkan penelitian atas bukti-bukti tersebut, penulis berkesimpulan bahwa tidak terdapat bukti-bukti dan penjelasan mengenai uang masuk sebesar Rp 284.087.865 yang dinyatakan oleh pihak Fiskus sebagai Omset yang kurang dilaporkan oleh CV. W. Penulis berpendapat dari bukti potong PPh Pasal 23 dan bukti uang masuk pada rekening koran diketahui jumlah uang masuk pada rekening koran adalah nilai penghasilan bruto setelah dikurangi PPN dan PPh Pasal 23. Oleh karena itu argumentasi CV. W yang menyatakan selisih rekening koran dengan kontrak terjadi karena adanya unsur PPh Pasal 23 dalam nilai transaksi pada rekening koran menjadi tidak relevan. Sehingga alasan yang dikemukakan oleh CV. W kurang tepat dan koreksi Fiskus atas Peredaran Usaha sebesar Rp 284.087.865 dapat diterima.
b. Pokok Sengketa : Koreksi Positif atas Harga Pokok Penjualan sebesar Rp. 40.328.000 Dalam surat bandingnya, CV.W menyatakan bahwa koreksi atas harga pokok penjualan sebesar Rp. 40.328.000 tidak perlu dilakukan karena terdapat arus uang dan arus barang. Dalam melakukan pembelian, CV. W tidak hanya menggunakan kontrak tetapi juga menggunakan kwitansi atau bon. Koreksi yang dilakukan fiskus berdasarkan penelitian buku besar CV. W menyatakan bahwa terdapat pembelian yang tidak sesuai dengan pembelian yang terdapat di dalam kontrak.
56
Menurut analisis yang dilakukan oleh penulis di persidangan, koreksi yang dilakukan oleh fiskus karena terdapat pembelian yang tidak sesuai dengan kontrak sehingga tidak dapat dibebankan sebagai harga pokok penjualan. Sedangkan menurut CV.W tidak semua pembelian dilakukan dengan kontrak karena ada pembelian yang hanya menggunakan kwitansi dan bon saja. Dalam persidangan, CV.W menyatakan pembelian diluar kontrak tersebut wajar terjadi untuk persediaan, fiskus menanggapi dan menyatakan pembelian mungkin saja terjadi, akan tetapi tidak terdapat bukti pendukung yang lengkap seperti faktur/invoice, purchase order, dan delivery order yang menunjukkan hubungan pengeluaran tersebut dengan Harga Pokok Penjualan. Selanjutnya dalam persidangan, CV.W hanya mengemukakan argumentasi tentang kewajaran transaksi diluar Surat Perintah Kerja (SPK), namun tidak terdapat bukti yang menunjukkan hubungan pembelian tersebut dengan Harga Pokok penjualan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penulis berpendapat bahwa alasan yang dikemukakan oleh CV. W tidak dapat diterima, sedangkan koreksi fiskus atas Harga Pokok Penjualan sudah benar.
c. Pokok Sengketa : Koreksi positif atas Pengurang Penghasilan Bruto sebesar Rp. 22.111.400 Koreksi positif atas pengurang penghasilan bruto sebesar Rp. 22.111.400 antara lain : a) koreksi positif terhadap biaya natura
Rp 1.200.000
b) koreksi positif terhadap pembagian laba kepada karyawan yang merupakan pembagian keuntungan
Rp 5.050.400
57
c) koreksi positif terhadap biaya perjalanan dinas
Rp 4.511.000
d) koreksi positif terhadap penghapusan piutang
Rp 2.000.000
e) koreksi positif terhadap biaya bunga
Rp 9.350.000
Total
Rp 22.111.400
a) Koreksi positif terhadap biaya natura sebesar Rp 1.200.000 Menurut CV.W dalam surat bandingnya atas koreksi biaya natura, CV.W menyediakan makan-minum untuk pegawai. Menurut fiskus penyediaan makan-minum tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, CV. W memberikan kepada pegawainya natura atau kenikmatan yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan bukan objek PPh Pasal 21. Hasil analisis penulis berpendapat koreksi yang dilakukan oleh fiskus sudah benar karena sudah sesuai dengan Undang-undang PPh Pasal 4 (3) yang berbunyi “ Penggantian/imbalan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah tidak termasuk objek pajak ”.
b) Koreksi positif terhadap pembagian laba kepada karyawan yang merupakan pembagian keuntungan sebesar Rp 5.050.400. Dalam surat banding CV.W mengungkapkan bahwa koreksi atas biaya yang dikeluarkan bukan merupakan pembagian keuntungan. Karena biaya tersebut merupakan bonus atas karyawan yang berprestasi dan bukan merupakan pembagian keuntungan.
58
Menurut Fiskus atas koreksi pembagian laba kepada karyawan yang merupakan pembagian keuntungan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-16/PJ.44/1992 Tanggal 12 Mei 1992 yang berbunyi “Pembayaran bonus, gratifikasi, jasa produksi, tantiem dan. Dari masalah diatas, menurut analisis penulis koreksi fiskus atas bonus yang diberikan perusahaan tidak bisa dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-16/PJ.44/1992 Tanggal 12 Mei 1992 yang berbunyi “Pembayaran bonus, gratifikasi, jasa produksi, tantiem dan sebagainya kepada karyawan yang merupakan bagian keuntungan (pembagian laba) atau dibebankan ke laba yang ditahan (retained earning), bagi perusahaan tidak dapat dikurangkan (non-deductible) tapi bagi pegawai merupakan objek PPh Pasal 21”. Dan atas koreksi ini penulis berpendapat koreksi yang dilakukan oleh Fiskus sudah benar.
c) Koreksi positif terhadap biaya perjalanan dinas sebesar Rp 4.511.000. Dalam surat banding CV.W menjelaskan perjalanan dinas dilakukan oleh karyawan berdasarkan tugas yang diberikan oleh perusahaan, bukan perjalanan atas kepentingan pribadi. Dan karyawan tersebut juga dilengkapi dengan surat tugas. Menurut fiskus, koreksi biaya perjalanan dinas pegawai CV. W tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karena dalam rangka menjalankan tugas perusahaan tidak didukung oleh bukti-bukti (tiket, kuitansi, hotel dan akomodasi).
59
Selain itu, CV. W juga mengurangkan biaya perjalanan dinas atas keluarga pegawai yang dibayar oleh perusahaan. Hasil analisis penulis menyatakan bahwa koreksi fiskus atas biaya perjalanan dinas sudah benar, karena biaya perjalanan dinas pegawai (tidak termasuk keluarga) dalam rangka menjalankan tugas perusahaan harus didukung oleh bukti-bukti seperti tiket, kwitansi agen, hotel dan akomodasi. Kalau buktibukti yang dimaksud ada, maka biaya perjalanan dinas tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Honor atau uang saku dalam perjalanan dinas merupakan objek PPh Pasal 21 dan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sebaiknya tidak digunakan lump-sum berdasarkan anggaran, karena dalam pemeriksaan pajak kemungkinan akan dikoreksi (tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto) atau akan dikenakan PPh Pasal 21. Biaya perjalanan keluarga pegawai tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Penulis dalam analisisnya di persidangan berpendapat koreksi fiskus dapat diterima.
d) Koreksi positif terhadap biaya kerugian penghapusan piutang sebesar Rp. 2.000.000. Dalam surat banding, CV.W menyatakan biaya kerugian penghapusan piutang dikurangkan dari penghasilan bruto karena dalam penghapusan piutang CV.W terdapat beban yang harus dikeluarkan atas utang pihak lain yang belum dibayar. Jadi CV.W membebankan penghapusan piutang tersebut ke beban perusahaan dan dikurangkan dari penghasilan bruto.
60
Menurut fiskus atas koreksi biaya kerugian penghapusan piutang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto karena CV. W tidak menjadikan biaya kerugian piutang tersebut menjadi penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, karena didalam perpajakan piutang harus ada perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. Selain itu dalam memasukan biaya kerugian penghapusan piutang, CV. W tidak mengumumkan pada penerbitan umum atau khusus dan CV. W tidak menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak. Menurut analisis yang dilakukan penulis dalam persidangan, koreksi oleh fiskus sudah benar, karena sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP238/PJ/2001 yang berbunyi : Penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih : 1.
Dalam penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak dapat membedakan penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagai biaya dengan syarat : a. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi laba komersial; dan b. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan piutang (perjanjian restrukturasi utang usaha) antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; dan
61
c. telah diumumkan dalam penerbitan umum atau khusus; dan d. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, dilampirkan dalam SPT. Tahunan PPh. 2.
Penyerahan perkara penagihan piutang yang memenuhi persyaratan atau kriteria sebagai piutang negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dilakukan kepada Pengadilan Negeri atau kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) adalah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Departemen Keuangan. Penyerahan perkara penagihan piutang selain piutang Negara hanya dapat dilakukan pada Pengadilan Negeri.
3.
Perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang (perjanjian restrukturisasi utang usaha) antara kreditur dan debitur harus memuat secara jelas data dan informasi mengenai kreditur, debitur, pihak ketiga terkait, pinjaman dan bentuk perjanjian restrukturasi yang dilakukan, serta harus disahkan oleh Notaris.
4.
Yang dimaksud dengan penerbitan umum atau khusus adalah : a. Penerbitan Koran/majalah atau media massa cetak yang lazim lainnya yang berskala nasional; atau b. Penerbitan khusus Himpunan Bank-Bank Milik Negara (HIMBARA) persatuan Bank-Bank Swasta Nasional (PERBANAS); atau c. Penerbitan/pengumuman khusus Bank Indonesia.
62
5.
Kewajiban penyerahan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, bersama dengan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan (sebagai lampiran). Daftar piutang memuat data dan informasi mengenai debitur, yaitu : nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), serta jumlah piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
6.
Keharusan Pencantuman NPWP dalam “Daftar Piutang” berlaku bagi : a. Seluruh debitur Wajib Pajak Badan; b. Debitur Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah kredit atau utangnya lebih dari Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) c. Debitur Wajib Pajak orang pribadi yang jumlah kredit atau utangnya tidak lebih dari Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sepanjang telah memiliki NPWP.
7.
Dalam hal jumlah debitur lebih dari 100 (seratus) dan sepanjang nilai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dari masing-masing debitur tidak lebih dari Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah), daftar piutang dapat dibuat secara kumulatif dengan menyajikan data dan informasi debitur
yaitu jumlah
debitur kecil dan jumlah total nilai piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih. 8.
Wajib Pajak harus dapat menunjukkan bukti pendukung masing-masing debitur apabila diminta atau diperlakukan untuk kepentingan pemeriksaan pajak.
63
9.
Kewajiban penyerahan daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih harus disertai pula dengan fotokopi bukti penyerahan perkara penagihannya ke Pengadilan Negeri atau Badan Usaha Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau fotokopi perjanjian restrukturisasi utang usaha yang telah dilegalisir oleh Notaris, dan fotokopi bukti pengumuman dalam penerbitan umum atau khusus.
10. Penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan telah memenuhi persyaratan sebagai biaya dapat dilakukan sekaligus oleh kreditur Wajib Pajak dalam negeri meskipun debitur memperoleh perlakuan penundaan
penghasilan
atas
keuntungan
karena
pembebasan
utang
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001. 11. Penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih bagi kreditur bank dan sewaguna usaha dengan hak opsi haruslah dilakukan melalui pembentukan cadangan yang diperkenankanuntuk itu. 12. Apabila di kemudian hari penghapusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan dibebankan sebagai biaya dilunasi oleh debitur seluruhnya atau sebagian, maka jumlah piutang yang dilunasi tersebut merupakan penghasilan bagi kreditur pada tahun pajak diterimanya pelunasan.
64
e) Koreksi positif terhadap biaya bunga sebesar Rp 9.350.000. Dalam surat bandingnya CV.W menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk membayar bunga seharusnya bisa dikurangkan dari penghasilan bruto karena membeli saham merupakan investasi perusahaan. Dan dari penghasilan atas penjualan saham tersebut CV.W masukkan ke penghasilan luar usaha. Menurut fiskus, CV.W tidak dapat memasukkan biaya bunga yang dibayarkan CV.W atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham sebagai pengurang penghasilan bruto tetapi harus mengkapitalisasikan biaya bunga tersebut ke harga perolehan saham. Penulis berpendapat bahwa biaya bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. CV. W mengurangkan biaya bunga dari penghasilan bruto atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham dan CV. W tidak mengkapitalisasikan biaya bunga tersebut pada harga perolehan saham. Atas analisis penulis di persidangan, koreksi yang dilakukan oleh fiskus sudah benar.
65
Tabel 4.1 Hasil Analisis Penulis atas SKPKB PPh Badan
No.
Pos-pos yang dikoreksi
Menurut
dan Perhitungan Pajak
SPT – WP
Terutang
(Rp)
Menurut
Menurut
Pemeriksa
Penulis
(Rp)
(Rp)
(Rp)
Koreksi
1.
Peredaran Bruto Usaha
940.056.503
284.807.865
1.224.864.368
1.224.864.368
2.
Harga Pokok Penjualan
881.246.000
40.328.000
840.918.000
840.918.000
Penghasilan Bruto
58.810.503
325.135.865
383.946.368
383.946.368
Pengurang Penghasilan Bruto
38.911.400
22.111.400
16.800.000
16.800.000
19.899.103
347.247.265
367.146.368
367.146.368
-
-
-
-
19.899.103
347.247.265
367.146.368
367.146.368
-
-
-
-
3.
4.
Penghasilan dari luar usaha Penghasilan Netto
5.
Kompensasi Kerugian Penghasilan Kena Pajak
19.899.103
347.247.265
367.146.368
367.146.368
6.
PPh terhutang
1.989.900
90.653.900
92.643.800
92.643.800
7.
Kredit Pajak
1.989.900
67.250
1.922.650
1.922.650
Kurang (lebih) disetor
-
90.721.150
90.721.150
90.721.150
8.
Sanksi Administrasi
-
43.546.152
43.546.152
43.546.152
9.
Kurang (lebih) dibayar
-
134.267.302
134.267.302
134.267.302
IV.2
Analisis Surat Permohonan Banding terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN CV. W a. Koreksi dasar pengenaan pajak pada penyerahan yang terutang PPN sebesar Rp.284.807.865 Dalam penerbitan SKPKB PPh Badan pada koreksi peredaran usaha fiskus menerbitkan SKPKB PPN akibat dari koreksi peredaran usaha. Dalam menjalankan operasional perusahaan, CV. W melakukan pemindahan kredit antar bank di Bank Negara Indonesia (BNI) di luar jumlah uang yang diterima sesuai dalam faktur pajak adalah bukan merupakan penghasilan bagi perusahaan. Pemindahan kredit tersebut dilakukan agar perusahaan seolah-
66
olah mempunyai aktivitas, karena dalam mengikuti tender PT. Kereta Api Indonesia wajib melampirkan rekening koran. Selama tahun 2002 CV.W telah melaporkan semua penjualan dengan total omset sebesar Rp. 940.056.503, atas penjualan tersebut diatas telah CV.W laporkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2002. Atas penjelasan yang dikemukakan oleh CV.W tersebut, Fiskus menolak keberatan CV.W. Menurut fiskus, berdasarkan rekening koran di BNI terdapat pemindahan kredit antar Bank dimana nilai yang tersebut ada sebagian yang tidak sesuai dengan nilai kontrak proyek yang didapat oleh CV. W sehingga nilai uang tersebut dianggap sebagai penjualan yang belum dilaporkan oleh CV. W. Dari analisis yang dilakukan atas peredaran usaha, koreksi dilakukan Fiskus karena ada perbedaan nilai kontrak dengan jumlah penjualan yang tercantum pada rekening koran, sedangkan menurut CV. W dalam surat bandingnya perbedaan tersebut terjadi karena ada arus uang masuk pada rekening koran yang bukan merupakan penerimaan penghasilan tapi penjualan yang dilakukan CV. W untuk memberikan gambaran adanya aktifitas perusahaan untuk meningkatkan performa CV. W dalam mengikuti tender pada PT Kereta Api Indonesia. Dalam penelitian persidangan, CV. W menyatakan perbedaan jumlah uang masuk di rekening koran dengan nilai kontrak pekerjaan yang dilaksanakan CV. W terjadi karena adanya PPh Pasal 23 yang terkandung dalam jumlah omset pada Surat Pemberitahuan (SPT)
67
PPN Tahun Pajak. Selanjutnya CV. W menyampaikan bukti-bukti yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Bukti rincian uang masuk sesuai Surat Perintah Kerja (SPK) b. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 (5 lembar) c. Bukti Surat Pemberitahuan PPh Badan Tahun Pajak 2002, Surat Pemberitahuan (SPT) PPN. Berdasarkan penelitian atas bukti-bukti tersebut penulis berkesimpulan tidak terdapat bukti-bukti dan penjelasan mengenai uang masuk (penjualan) sebesar Rp 284.087.865 yang dinyatakan pihak Fiskus sebagai omzet yang kurang dilaporkan oleh CV. W. Penulis berpendapat dari penelitian bukti potong PPh Pasal 23 dan bukti uang masuk pada rekening koran diketahui jumlah uang masuk pada rekening koran adalah nilai penghasilan bruto setelah dikurangi PPN dan PPh Pasal 23, oleh karena itu argumentasi CV. W yang menyatakan selisih rekening koran dengan kontrak terjadi karena adanya unsur PPh Pasal 23 dalam nilai transaksi pada rekening koran menjadi tidak relevan, oleh karena itu berdasarkan analisis, alasan yang dikemukakan oleh CV. W tidak dapat diterima. Koreksi Fiskus atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN sebesar Rp 284.087.865 dapat diterima.
68
b. Koreksi pajak masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp. 8.062.106 terdiri dari : 1) Koreksi pajak masukan karena pengkreditan melebihi 3 bulan masa pajak sebesar Rp. 5.374.738. Dalam surat bandingnya CV. W mengemukakan bahwa dalam mengkreditkan pajak masukan masih dalam jangka waktu 3 bulan karena CV. W menerima faktur atas pembelian tersebut melewati 3 bulan, dan itu bukan tanggung jawab CV. W. Berdasarkan
kertas
kerja
pemeriksaan
dan
laporan
hasil
pemeriksaan menurut fiskus bahwa koreksi pajak masukan sebesar Rp. 5.374.738 disebabkan karena CV. W dalam mengkreditkan pajak masukan melebihi batas 3 bulan masa pajak. Tabel 4.2 Faktur Pajak melebihi 3 Bulan No. 1. 2.
Transaksi CV.W PT. Narda Tita PT. Inti Data Utama
No. Faktur Pajak CZNUO-035-0036038 EGENM-011-0000155
Tanggal Faktur Pajak 10 April 2002 7 Mei 2002
Masa Pengkreditan Agustus 2002 Oktober 2002
PPN Rp. 1.791.579 Rp. 3.583.158
Total
Rp. 5.374.738
Berdasarkan penelitian penulis terhadap 2 faktur pajak di atas, diketahui faktur pajak seluruhnya dikreditkan lebih dari 3 bulan dari masa pajak yang bersangkutan. Dengan demikian pengkreditan 2 faktur pajak tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,
69
yang menyatakan bahwa “pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan”.
2) Koreksi pajak masukan atas jawaban konfirmasi yang dijawab tidak ada sebesar Rp. 2.687.368. Dalam surat bandingnya CV. W menyatakan bahwa koreksi pajak masukan atas jawaban konfirmasi yang dijawab tidak ada, itu sepenuhnya bukan kesalahan CV. W karena transaksi yang dilakukan oleh CV. W sudah benar. Pajak masukan dikoreksi oleh fiskus sebesar Rp. 2.687.368 karena jawaban konfirmasi yang menyatakan tidak ada. Berdasarkan penelitian penulis diketahui hal-hal sebagai berikut : Tabel 4.3 Faktur Pajak atas Konfirmasi Tidak Ada No.
Transaksi CV.W
No. Faktur Pajak
1.
PT. Mulia Shandra Tehnik PT. Margautama Kiranatara PT. Indotruck Utama
2. 3.
EYABN-401-0000106
Tanggal Faktur Pajak 25 Agustus 2002
Masa Pengkreditan November 2002
Rp. 895.789
DQGGV-035-0002421
1 Desember 2002
Desember 2002
Rp. 391.578
CXTVG-043-0100127
17 November 2002
Desember 2002
Rp. 1.400.000
Total
PPN
Rp. 2.687.368
70
Hasil penelitian penulis terhadap pembuktian yang dilakukan oleh CV. W atas 3 faktur pajak diatas, diketahui bahwa untuk 2 faktur pajak telah dapat dibuktikan melalui uji arus kas dengan didukung bukti pembayaran yaitu : Tabel 4.4 Pembuktian Konfirmasi Tidak Ada No.
Transaksi CV.W
1.
PT. Mulia Shandra Tehnik PT. Indotruck Utama
2.
No. Faktur Pajak EYABN-401-0000106
Tanggal Faktur Pajak 25 Agustus 2002
Masa Pengkreditan November 2002
Rp. 895.789
CXTVG-043-0100127
17 November 2002
Desember 2002
Rp. 1.400.000
Total
PPN
Rp. 2.295.789
Sedangkan untuk faktur pajak yang diterbitkan oleh PT. Margautama Kiranatara dengan Nilai Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp. 391.578 CV. W tidak dapat menunjukkan bukti bayarnya. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa oleh karena CV. W dalam persidangan dapat membuktikan bahwa pajak masukan sebesar Rp. 2.295.789 terbukti benar telah dibayar. Analisis penulis terhadap koreksi fiskus atas pajak masukan jawaban konfirmasi tidak ada harus dibatalkan. Untuk koreksi fiskus atas pajak masukan jawaban konfirmasi tidak ada sebesar Rp. 391.578 oleh karena CV. W dalam persidangan tidak dapat menyampaikan bukti bayar atas faktur pajak dimaksud, atas analisis penulis, koreksi fiskus sebesar Rp. 391.578 sudah benar.
71
Tabel 4.5 Hasil Analisis Penulis atas SKPKB PPN Pos-pos yang dikoreksi
Menurut
dan Perhitungan Pajak Terutang
SPT - WP
Koreksi
Menurut
Koreksi di
Menurut
Pemeriksa
persidangan
penulis
DPP PPN •
Penyerahan Ekspor (Tarif 0%)
•
Penyerahan Yang PPN-nya tidak
-
-
-
-
-
663.928.693
-
663.928.693
-
663.928.693
-
-
-
-
-
276.127.810
284.807.865
560.935.675
-
560.935.675
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
940.056.503
284.807.865
1.224.864.368
-
1.224.864.368
27.612.781
28.480.786
56.093.567
-
56.093.567
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
27.612.781
28.480.786
56.093.567
-
56.093.567
27.612.781
8.062.106
19.550.675
5.766.317
25.316.992
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
27.612.781
8.062.106
19.550.675
5.766.317
25.316.992
Pajak yang kurang (lebih) dibayar
-
36.542.892
36.542.892
5.766.317
30.776.575
Sanksi bunga/denda/kenaikan
-
36.542.892
36.542.892
5.766.317
30.776.575
PPN yang masih harus dibayar
-
73.085.784
73.085.784
11.532.634
61.553.150
dipungut •
Penyerahan kepada Pemungut PPN
•
Penyerahan
yang
PPN-nya
dikenakan Tarif 10% •
Tarif 10%
•
Tarif Efektif
•
Dikurang Retur Penjualan
Jumlah DPP PPN Pajak Keluaran •
Dengan Tarif 10%
•
Dengan Tarif Efektif Dikurangi :
•
PPN yang dipungut
•
Dikurangi
PPN
dibayar
dimuka Jumlah PPN yang harus dipungut sendiri Pajak yang dapat diperhitungkan : a.
Pajak
masukan
yang
dapat
dikreditkan b.
Dibayar dengan NPWP sendiri
c.
Dikurangi
:
PPN
atas
pembelian Jumlah
retur
72