BAB IV BANK INDONESIA DAN PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN Bab ini merupakan interpretasi dari analisis fakta-fakta yang terkumpul

73

BAB IV BANK INDONESIA DAN PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN 1953-1966

Bab ini merupakan interpretasi dari analisis fakta-fakta yang terkumpul tentang peranan Bank Indonesia dalam perekonomian di Indonesia Tahun 1953-1966. Pembahasan dikembangkan menjadi tiga sub pokok yang mengacu kepada rumusan dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan pada bab I. Hal ini dilakukan agar dapat memudahkan peneliti dalam penyusunan permasalahan yang sedang dikaji. Fakta-fakta dalam bab ini diperoleh melalui berbagai sumber tertulis seperti buku, arsip, maupun karya tulis ilmiah. Sub-sub pokok antara lain pertama, mengenai latar belakang berdirinya Bank Indonesia dengan melihat keadaan politik dan ekonomi dalam negeri pada waktu sekitar kemerdekaan RI. Kedua, perkembangan Bank Indonesia yang meliputi aspek fungsi dan tugas Bank Indonesia, struktur organisasi Bank Indonesia dan masalah modal awal Bank Indonesia. Ketiga, mengenai kedudukan Bank Indonesia dalam sistem ekonomi Indonesia tahun 1953-1966, dengan melihat aspek kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia meliputi kebijakan moneter Bank Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia tahun 1953-1966 serta kebijakan ekspor-impor Bank Indonesia dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia tahun 1953-1966.

Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

74

4.1. Latar Belakang Berdirinya Bank Indonesia 4.1.1 Kondisi Sosial-Politik Indonesia Tahun 1945-1953 Sejak dideklarasikannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, status negara Indonesia berubah menjadi negara yang merdeka dari penjajahan kolonial Belanda dan pendudukan tentara Jepang. Namun, status itu baru secara de facto, sedangkan status de jure belum didapatkan oleh Indonesia karena pihak Belanda belum mau mengakui Indonesia merdeka. Oleh karena itu, pihak Belanda masih melakukan suatu agresi di Indonesia yaitu Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda II tahun 1948 dengan tujuan untuk dapat menduduki kembali wilayah Indonesia. Namun, tujuan dari agresi tersebut tidak tercapai dengan diadakannya beberapa perundingan yang melibatkan kedua belah pihak, seperti perundingan renville, perundingan linggar Jati, RoemRoyen dan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Dari semua perundingan yang dilakukan, hanya Konferensi Meja Bundarlah yang berhasil menjadikan Indonesia diakui oleh pihak Belanda. Pada tanggal 27 Desember 1949, Indonesia sah menjadi negara yang merdeka secara de facto dan de jure. Tahun 1945-1949 merupakan kurun waktu yang dipenuhi oleh perjuangan fisik dan militer disamping usaha-usaha politik untuk memperoleh pengakuan resmi kemerdekaan Indonesia, baik dari pihak Belanda maupun dunia Internasional. Perlawanan terhadap agresi Belanda telah menelan banyak korban dari masyarakat Indonesia yang rela memperjuangkan bangsanya sehingga menyebabkan pula terpurukya perekonomian negara. Hasil dari perundangan KMB di antaranya ialah Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

75

pembentukan Uni-Indonesia-Nederland, pembayaran utang Pemerintah HindiaBelanda oleh Pemerintah Indonesia, dan kesepakatan undang-undang mata uang baru yang akan dikeluarkan yang juga harus dimusyawarahkan dengan pemerintah Belanda. Selain itu, hasil keputusan KMB pun menetapkan sebuah bank sentral untuk megatur perekonomian Indonesia yaitu dengan ditetapkannya De Javasche Bank yang awalnya merupakan bank sirkulasi pada masa Hindia-Belanda. Setelah masa Revolusi kemerdekaan berakhir, Indonesia memasuki masa dengan konsep Demokrasi Liberal. Demokrasi Liberal ditandai dengan berlakunya UUDS tahun 1950 dengan menetapkan berlakunya sistem perlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala negara berserta menterinya yang memiliki tanggung jawab politik. Sementara itu kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang memiliki kekuasaan melebihi Presiden. Dalam hal ini Presiden dianggap sebagai simbol atau lambang negara saja sedangkan yang mengatur pemerintahan dan memiliki kekuasaan utuh ialah Perdana Menteri. Disetujuinya hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag, maka terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS menjadi bentuk negara pada awal masa Demokrasi Liberal, RIS terdiri dari 16 negara bagian yang terdiri dari Negara Republik Indonesia, Negara Pasundan, Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Indonesia Timur, dll. Presiden atau Kepala Negara RIS yang pertama ialah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai perdana menteri yang pertama.


76

Kabinet pada masa Demokrasi Liberal ini disebut dengan Zaken Kabinet yaitu kabinet yang mengutamakan keahlian dari anggota-anggotanya dan bukan kabinet koalisi yang bersandar pada kekuatan partai-partai politik (Poesponegoro, 1984: 205). Keanggotaan dalam kabinet ini lebih mengutamakan pada pembubaran negara federal RIS dan membentuk negara kesatuan yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Tujuan dari pembubaran negara federal dan pembentukan NKRI tersebut disebakan karena pembentukan negara federal itu tidak beradsarkan landasan konsepsional. Pembentukan negara federal itu bermula kepada usaha Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia sebagai hasil dari Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Pembentukan negara kesatuan dimulai setelah Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali pada NKRI. Setelah pertimbangan mengenai pokok-pokok pikiran tentang pembentukan negara kesatuan disetujui oleh pemerintahan RI dan RIS,

maka

realisasi

pembentukan

negara

kesatuan

terlaksana

setelah

ditandatanganinya piagam persetujuan antara pemerintah RI dan RIS pada tanggal 19 Mei 1950, sehingga pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesi. Undang-undang yang digunakan pada masa peralihan ini ialah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950) yang merupakan gabungan unsur dari UUD 1945 dan konstitusi RIS. Setelah berubah menjadi negara kesatuan, pemerintah pun segera mengeluarkan kebijakan yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat yaitu dengan mulai menasionalisasi Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

77

perusahaan milik Belanda sebagai upaya menghilangkan unsur kolonial di Indonesia. Pembentukan NKRI juga mendorong pemerintah Indonesia untuk mengatur pemerintahannya secara mandiri tanpa campur tangan dari pihak Belanda khususnya dalam bidang politik dan ekonomi. Kebijakan ini dilakukan oleh setiap kabinet yang berkuasa pada masa Demokrasi Liberal. Setelah pembentukan NKRI, Indonesia dibagi menjadi 10 provinsi yang diperintah oleh beberapa kabinet yang silih berganti. Sejak tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat 4 buah kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata setiap tahunnya terjadi pergantian kabinet. Kabinet-kabinet yang memimpin itu di antaranya ialah Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951Febbruari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-1953) dan Kabimet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-1955). Dari gambaran waktu memerintah dapat disimpulkan bahwa dalam waktu rata-rata satu tahun tersebut, tidak ada kabinet yang dapat melaksanakan programnya secara tuntas karena parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinet bila kelompok oposisi kuat (Poesponegoro, 1984: 213). Dalam masa ini, para politisi sipil membentuk banyak partai politik, tetapi hanya beberapa partai saja yang benar-benar memiliki arti penting dalam pemerintahan, seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dipimpin oleh Sjahrir, PNI (Partai Nasionalis Indonesia) yang dianggap sebagai partai terbesar kedua setelah Masyumi. Masyumi mewakili kepentingan-kepentingan politik Islam namun tidak memiliki organisasi yang teratur sehingga tahun 1952 golongan-golongan ini terpecah. Parkindo (Partai Kristen Indonesia) mewakili kaum Kristen di Indonesia. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

78

PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dihancurkan namun tidak dilarang pada tahun 1948 mengambil alih keuasaan atas politbiro generasi tua yang selamat dari peristiwa Madiun 1948, pada bulan Januari 1951. Pada masa ini partai ini mulai melebarkan sayap ke sektor-sektor kemasyarakatan lainnya, termasuk kaum tani, yang menjadikannya kehilangan banyak sifat proletarnya (Ricklefs, 2007: 361). Kemunculan partai-partai ini pun tentu saja mempengaruhi pula pada sektor perekonomian negara karena pada masa ini pemerintah jadi lebih terfokus pada urusan politik yang mengakibatkan kesejahteraan ekonomi rakyat tergeserkan. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang diperkuat oleh partai Masyumi dan PSI. Di dalam parlemen PNI menolak turut serta dalam kabinet karena merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai. Program utama dari kabinet ini ialah mengenai persoalan keamanan dan memperkuat ekonomi rakyat. Salah satu yang diprioritaskan ialah masalah pembebasan Irian Barat dari Belanda. Namun perundingan mengenai Irian Barat tidak mendapatkan kesepakatan sehingga memunculkan emosi tidak percaya dari parlemen terhadap kabinet sehingga kabinet Natsir jatuh dan mengembalikan mandatnya pada Presiden Soekarno. namun kelebihan dari masa kabinet ini ialah kegiatan ekspor negara meningkat. Pada tanggal 26 April 1951 diumumkan susunan kabinet baru dibawah pimpinan Dr. Sukiman dari Masyumi dan Suwirjo dari PNI. Kabinet ini sengaja dibentuk berdasarkan koalisi PNI dan Masyumi karena kedua partai ini merupakan partai yang terkuat dalam DPR dan jika kedua partai ini bersatu maka memungkikan terjadinya stabilitas politik. Namun pemerintahan dari kabinet ini pun tidak Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

79

berlangsung lama yang juga disebabkan oleh masing-masing ideologi masing-masing partai yang sulit disatukan. Selain itu, faktor penyebab utama jatuhnya kabinet ialah ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat kepada Indonesia atas dasar Mutual Security Act (MSA). Persetujuan ini menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat (AS), yang berarti bertentangan dengan program kabinet khususnya dalam politik luar negeri bebasaktif. Selain itu, pada masa kabinet ini mulai diadakan pembentukan panitia penasionalisasian De Javasche Bank untuk dijadikan sebagai Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia. Pada Bulan April 1952, dibentuklah kabinet baru yang dipimpin oleh Mr. Wilopo dari PNI. Mr. Wilopo mencoba membagi rata anggota kabinet dari berbagai partai dalam susunan kabinetnya dan mengusahakan adanya suatu tim yang disebut dengan zaken kabinet. Program utama kabinet Wilopo ialah mempersiapkan pelaksanaan pemilihan umum untuk Konstituante, DPR dan DPRD dan tetap terfokus pada permasalahan pembebasan Irian Barat. Namun dalam pelaksanaanya kabinet ini mendapat banyak hambatan yaitu di antaranya timbulnya masalah kesukuan dan gerakan separatis yang disebabkan oleh ketidak puasan masyarakat daerah terhadap hak otonomi daerah. Selain itu, masalah juga timbul pada tanggal 17 Oktober 1952 dalam persoalan ketidak puasan dari pihak Angkatan Darat terhadap Parlemen yang terkenal dengan nama peristiwa 17 Oktober. Kedudukan kabinet yang telah goyah diperparah dengan peristiwa Tanjung Morawa di

Sumatera Timur

yang

mempersoalkan mengenai pengijinan pengusaha asing kembali mengusahakan tanahRendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

80

tanah perkebunan. Selain itu pada masa kabinet ini, ekonomi memburuk yaitu dengan ditandainya jatuhnya nilai ekspor Indonesia pada barang-barang seperti karet, timah dan kopra. Namun pada akhir pemerintahan kabinet ini, terdapat satu kebijakan penting yang dilakukan yaitu diresmikannya Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia yang memiliki peranan dalam megatasi permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi dan mengatur perekonomian Indonesia serta mengeluarkan kebijakan moneter. Setelah mengalami masa krisis, pemerintah membentuk kabinet baru dengan Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) sebagai perdana menterinya. Kabinet ini lebih dikenal dengan Kabinet Ali I atau Kabinet Ali Wongso yang diresmikan pada tanggal 31 Juli 1953. Dalam kabinet Masyumi tidak ikut serta dalam Parlemen dan sebagai gantinya Nahdathul Ulama (NU) muncul sebagai kekuatan politik baru. Masalah yang dihadapi kabinet ini ialah gerombolan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, DI/TII Daud Beureuh di Aceh dan DI/TII Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Selain itu kabinet Ali I pun menghadapi persoalan yang harus segera diselesaikan yaitu persiapan pemilihan umum yang akan dilaksanakan pada pertengahan tahun 1955. Selain itu masa kabinet ini pun mengalami suatu fenomena unik dimana munculnya pedagang asing yaitu pedagang Cina dan India yang menguasai kegiatan perekonomian sehingga diperlukan adanya penasionalisasian perekonomian. Meskipun kabinet ini dapat dikatakan sebagai kabinet yang paling lama bertahan namun pada tanggal 24 Juli 1955 Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandatnya.


81

Setelah Pemilihan Umum pertama terlaksana kondisi politik Indonesia tidak jauh berbeda dengan masa sebelumnya dalam hal ini masih terjadi pegantian kabinet yaitu kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957) dan kabinet Djuanda (Maret 1957-Juli 1959). Kabinet-kabinet ini masih berupa koalisi dari kedua partai yang kuat dan berpengaruh yaitu PNI dan Masyumi. Program utama yang harus segera diselesaikan ialah pemilihan umum. Pada tanggal 29 September 1955 pemilihan umum dilaksanakan di seluruh wilayah Indonesia. Hasil pemilihan umum pertama dimenangkan oleh 4 partai yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI. Pada tanggal 28 Oktober 1955 diputuskan bahwa Kolonel A.H. Nasution kembali diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat. Dengan dilaksanakannya pemilihan umum tugas dari kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pada tanggal 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap jatuh akibat desakan dari berbagai pihak dan pada tanggal 8 Maret 1959 menunjuk kembali Ali Sastroamidjojo untuk membentuk kabinet baru. Kabinet ini disebut sebagai kabinet Ali II. Program kabinet Ali II disebut Rencana Lima Tahun yang mengandung rencana jangka panjang seperti merebut Irian Barat, memperbaiki keuangan negara sehingga tercapai keseimbangan anggaran belanja serta berusaha mewujudkan perubahan ekonomi kolonial mejadi ekonomi nasioanal untuk kepentingan rakyat. Selain itu, pada masa kabinet ini pun pemerintah Indonesia menolak pembayaran hutang pemerintah Belanda berdasarkan keputusan KMB sebesar 36 milyar gulden. Kebinet ini menghadapi hambatan yang utama yaitu munculnya gerakan anti Cina di Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

82

masyarakat dan adanya kekacauan di daerah. Hasil dari pemilu pertama memperlihatkan gambaran munculnya NU dan PKI sebagai partai besar menyaingi Masyumi dan PNI. Sampai akhir kekuasaan Kabinet Ali II pertentangan politik dalam parlemen masih terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1956 Presiden Soekarno menyatakan bahwa ada baiknya partaipartai dibubarkan dengan alasan menyelamatkan negara. Presiden Soekarno mengajukan suatu konsepsi yaitu Demokrasi Terpimpin (Poesponegoro, 1984: 224225). Pada bulan Februari 1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsep terpimpin dengan asas gotong royong dan tidak ada dominasi partai melaikan zaken kabinet (kabinet ahli). Lalu dibentuk kabinet gotong royong sebagai dewan nasehat. Pada tanggal 2 Maret 1957 muncul gerakan Permesta. Pada tanggal 9 April 1957 dibentuk Kabinet Djuanda yang disebut sebagai kabinet transisi yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno sebagai formatur dan menunjuk Djuanda sebagai perdana menteri. Kabinet ini disebut juga sebagai kabinet ekstra parlementer namun Masyumi, Partai Katolik dan PKI menolak keadaan ini yaitu dengan dipilihnya Djuanda. Sementara itu hambatan lain ialah didirikannya PRRI di Sulawesi dengan perdana menterinya yaitu Syafrudin Prawiranegara. Pada akhirnya masa Demokrasi Liberal berakhir secara resmi melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit 5 Juli 1959 tidak hanya didukung oleh masyarakat tetapi didukung oleh KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959 diganti dengan Kabinet Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

83

Kerja. Dalam kabinet ini, Presiden Soekarno menjabat sebagai Perdana Menteri, sedangkan Ir. Djuanda menjadi menteri pertama. Program kabinet meliputi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Barat dan masalah sandang pangan. Dengan penetapan Presiden No. 2 tahun 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden. Keanggotaan MPR terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan wakil-wakil golongan. Adanya ketidak sepakaatan dalam Anggaran Belanja Negara tahun 1960 menyebabkan dikeluarkannya penetapan Presiden No. 3 tahun 1960 yang menyatakan pembubaran DPR hasil pemilu tahun 1955 dan pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Soekarno menyusun Dewan Perwakilan Rakyak Gotong Royong (DPR-GR). Keanggotaan DPR-GR seluruhnya ditunjuk oleh Presiden Soekarno dengan komposisi mewakili golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis. Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno menyampaikan pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita, pidato tersebut dijadikan sebagai garis besar haluan Negara dan dinamakan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Tindakan Presiden soekarno selanjutnya dalam menegakkan Demokrasi Terpimpin adalah mendirikan lembaga-lembaga lainnya misalnya Front Nasional. Front Nasional merupakan organisasi masa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Selain itu Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR) yang membatu Pemimpin Besar Revolusi. Hal lain yang menojol dalam Demokrasi Terpimpin ialah Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

84

disebarluaskannya konsep Nasakom oleh Presiden Soekarno untuk menyatukan tiga kekuatan besar di Indonesia yaitu Nasionalis yang diwakili oleh PNI, Agama yang diwakili oleh NU, dan Komunis diwakili oleh PKI. Hal in dianggap sangat menguntungkan PKI. Kedudukan PKI semakin kuat karena banyaknya angota PKI yang masuk keanggotaan kabinet. Hal ini menyebabkan reaksi yang sangat keras dari masyarakat karena PKI dianggap tidak sesuai dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Penentangan lain ditunjukkan oleh sebagian besar pihak TNI AD yang kontra terhadap Presiden Soekarno sehingga dalam masa ini mucul tiga kekuatan politik yang saling bertentangan yaitu antara Presiden Soekarno, TNI AD dan PKI. Tiga kekuatan tersebut saling menanamkan pengaruhnya di Indonesia hingga mencapai klimaksnya yaitu dengan terjadinya gerakan 30 September 1965 yang sampai saat ini masih menjadi misteri mengenai pelakunya. Selain itu peristiwa tersebut mendorong munculnya peristiwa kudeta melalui surat perintah 11 Maret (SUPERSEMAR) pada tauhun 1966 ynag menandai beralihnya kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Jenderal Soeharto. 4.1.2 Kondisi Ekonomi Indonesia Tahun 1945-1953 Sejak Proklamasi Indonesia, kondisi perekonomian negara masih mengalami ketidak stabilan hal ini dikarenakan biaya akibat perang kemerdekaan diberbagai daerah yang menguras kas negara selama Indonesia menjadi negara jajahan sebenarnya Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam hanya saja kekayaan tersebut jatuh pada negara penjajah sehingga Indonesia menjadi negara di Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

85

bawah kekuasaan penjajah. Setelah Indonesia merdeka, Bangsa Indonesia mulai mencoba mengatur perekonomiannya sendiri dan mencoba mengatasi masalah ketidak stabilan ekonomi pada saat itu. Namun usaha tersebut mengalami hambatanhambatan dari dalam negeri dan luar negeri seperti terjadinya Agresi Militer Belanda I dan II serta pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah. Di dalam pemerintaha Republik Indonesia perbedaan pendapat diantara pemimpin bangsa terus terjadi dan mengakibatkan perubaha-perubahan kabinet yang silih berganti dalam waktu yang singkat terbaginya wilayah Indonesia secara de facto menjadi dua menyulitkan pemerintah Indonesia sebagai satu kesatuan moneter melalui pengedaran uang rupiah yang dietrbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Jumlah Oeang Republik Indonesia Indonesia (ORI) yang dapat dicetak dan diedarkan tidak mencukupi kerena kurangnya dana dan sulitnya mendistribusikan keseluruh wilayah Indonesia, termasuk ke wilayah pendudukan Belanda. Di samping itu, pada kenyataannya di wilayah Republik Indonesia sendiri juga masih beredar mata uang Belanda dan mata uang Jepang. Dalam keputusan KMB antara lain menyetujui pembentukan Uni IndonesiaNederland, pembayaran kembali utang lama pemerintah Hindia-Belanda oleh Indonesia, dan kesepakatan bahwa apabila RIS ingin mengubah undang-undang mata uang atau membuat undang-undang mata uang baru, maka RIS harus bermusyawarah lebih dahulu dengan pemerintah Belanda. Untuk mengubah undang-undang

De

Javasche Bank atau membentuk bank sirkulasi baru, pemerintah RIS juga melakukan musyawarah dengan pemerintah Belanda. Dengan keputusan KMB tersebut, maka De Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

86

Javasche Bank berfungsi sebagai bank sirkulasi bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Sedangkan Bank Negara Indonesia (BNI) yang didirikan pada tahu 1946 sebagai bank sirkulasi tidak berfungsi. Keputusan KMB mengenai persetujuan Pemerintah Indonesia untuk membayar utang Pemerintah Hindia-Belanda banyak ditentang oleh para menteri dalam Kabinet Somitro. Utang Pemerintah Hindia-Belanda yang dibebankan kepada Pemerintah Indonesia menyebabkan sulitnya upaya Pemerintah Indonesia untuk melakukan rehabilitasi yang hancur akibat pendudukan Jepang dan perjungan melawan Belanda. Dalam persetujuan Finansial-Ekonomi yang dicapai KMB, tututan Belanda memperoleh jaminan bahwa bisnis Belanda tetap dapat beroperasi di Indonesia tanpa hambatan terpaksa dipenuhi oleh pihak Indonesia. Oleh karena itu, setelah persetujuan KMB, berbagai sektor ekonomi penting masih di kuasai Belanda karena sebagian besar saham Belanda yang ada di Indonesia merupakan penghasilan terbesar untuk merehabilitasi negeri Belanda. Namun setelah tahun 1950-an penghasilan Belanda terus menurun sehingga pada tahun 1957 sebagian besar perusahaan milik Belanda di Indonesia diambil alih. Setelah bentuk negara federal, Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) maka secara de facto maupun de jure, kecuali wilayah Irian Barat, seluruh wilayah Republik Indonesia menjadi satu kesatuan. Jika ditinjau dari sudut pandang moneter, keadaan tersebut memungkinkan dilakukannya langkah-langkah untuk menyatukan mata uang sebagai alat pembayaran yang sah bagi Republik Indoneisa. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

87

Selain itu, kembalinya bentuk NKRI dan tidak adanya turut campur pemerintah Belanda

di

Indonesia

mendorong

Pemerintah

Indonesia

untuk

mengatur

perkenomiannya sendiri sehingga memerlukan lembaga keuangan milik negara untuk mengatur ekonominya. Keputusan untuk menetapkan De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi kemudian akan dikembangkan menjadi bank senteral untuk memperkokoh kedaulatan negara. Oleh karena itu, pada tahun 1951 pemerintah mengambil keputusa politik untuk melakukan nasionalisasi De Javasche Bank dan menjelaskan keputusan tersebut kepada parlemen RI. Keputusan politik tersebut kemudian diikuti penggantian Presiden De Javasche Bank dari Dr. A. Houwink kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara pada bulan Juli 1951 dan pelaksanaan nasionalisasi pada bulan Desember 1951. Nasionalisasi De Javasche Bank ditidaklanjuti dengan pembentukan Bank Indonesia sebagai bank senteral dengan undang-undang No. 11 tahun 1953 tanggal 2 Juni 1953 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953 sebagai Banker’s bank serta mengeluarkan kebijakan moneter dan memegang peranan penting dalam mengatur kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi dan moneter (Bank Indonesia, 2005: 9). Meskipun Bank Indonesia baru berdiri pada pertengahan tahun 1953, tapi perlu dicatat bahwa berdasar Surat Kuasa Pemerintah tanggal 16 September 1945 yang ditanda tangani oleh Soekarno-Hatta kepada anggota Dewan Pertimbangan Agung, R.M. Margonmo Djojohadikusumo, telah dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia pada tanggal 14 Oktober 1945 sebagai langkah pertama untuk membentuk bank sirkulasi bagi Indonesia. Melalui Undang-Undang No. 2 Prp. Tahun 1946 Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

88

tanggal 5 Juli 1946 membentuk dan menetapkan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi dan bank senteral milik negara, tetapi baru dibentuk kemudia pada tanggal 17 Agustus 1946 di Yogyakarta sebagai adaptasi dari Jajasan Poesat Bank Indonesia (Rhardjo, 1995: 23). Namun hasil keputusan KMB menetapkan bahwa bank senteral bagi Indonesia diambil alih oleh De Javasche Bank sebuah bank swasta milik Belanda sedangkan Bank Negara Indonesia ditugasi sebagai bank pembangunan. Hal ini mencerminkan adanya pergantian fungsi dari setiap bank yang ditetapkan. Ketidak stabilan ekonomi di Indonesia sejak tahun 1950-an juga didorong oleh faktor ketidak stabilan politik seperti peristwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa itu, seperti yang dikemukakan dalam buku kelembagaan Bank Indonesia, Perang Korea tahun 1950 menyebabkan permintaan terhadap komoditi ekspor Indonesia meningkat tajam dan memberika pengaru terhadap peningkatan posisi cadangan divisa tahun 1951. Selain pengaruh positif dari perang Korea, fluktuasi perekonomian dunia yang mempengaruhi lalu lintas perdagangan Internasional telah memberikan pengaruh yang baik terhadap perkembangan ekonomi dan kebijakan yang harus ditempuh pemerintah Republik Indonesia di masa berikutnya. Permiontaan terhadap barang-barang komoditi primer di pasaran dunia pada tahun 1955 meningkat seiring dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat dan kurangnya stok bahan-bahan mentah di negara-negara industri. Perkembangan tersebut menyebabkan naiknya harga komoditi primer di Indonesia dan memperoleh keuntungan dari perkembangan tersebut berupa meningkatnya ekspor dari Rp. 9.759 juta pada tahun 1954 menjadi Rp. 10.618 juta pada tahun 1955 (Bank Indonesia, 2005: 13). Dalam bidang moneter, akhir periode Demokrasi Liberal ditandai dengan meningkatnya inflasi sebagai akibat ekspansi pengeluaran pemerintah dan keadaan politik dalam dan luar negeri yang tidak stabil. Untuk mengatasi inflasi tersebut,Bank Indonesia melakukan pengetatan moneter dengan mengahuskan bank membeli kertas Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

89

perbendaharaan negara. Periode ini berakhir pada saat keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, seperti yang dikemukakan dalam buku kelembagaan yang dikeluarkan Bank Indonesia, menyatakan bahwa: Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 1957-1958, penerimaan ekspor Indonesia mengalami tekanan cukup berat karena melemahnya perdagangan dunia yang disebabkan oleh tindakkan berjaga-jaga yang dilaksanakan oleh negara-negara industri dengan penumpukan persediaan barangbarang mentah sehubungan dengan krisis Suez pada tahun 1956-1957. Selain itu disebabkan oleh terjadinya resesi ekonomi di amerika Serikar dan Eropa Barat pada tahun 1957 sampai dengan awal tahun 1958 yang menyebabkan penurunan permintaan dari negara-negara tersebut di pasar dunia. Walaupun pemerintah telah menganbil berbagai kebijakan dalam bidang ekonomi dan moneter, namun tidak menentunya perkembangan ekonomi dunia serta ketidak stabilan politik dalam negeri mengakibatkan kondisi ekonomi Indonesia pada akhir periode 1956-1959 memburuk perkembangan ekonomi tersebut mendorong Bank Indonesia mulai melaksanakan kebijakan moneter melalui pembatasan kredit dan cash ratio pada tahun 1957 dan diperketat pada tahun 1959 (Bank Indonesia, 2005: 13). Ketika keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 konsep Demokrasi yang dipakai di Indonesia ialah Demokrasi Terpimpin. Konsep ini dikeluarkan lansung oleh Presiden Soekarno untuk mengganti konsep Demokrasi Liberal. Konsep ini menghendaki agar Indonesia memiliki seorang pemimpin yang dapat mengatur negara termasuk dalam urusan ekonomi. Ketika masa Demokrasi Terpimpin berjalan, Presiden Soekarno menghendaki adanya suatu sistem ekonomi nasional yaitu yang dinamainya sebagai sitem ekonomi terpimpin. Kondisi perekonomian Indonesia pada masa ini belum mengalami perkembangan yang berarti dari kondisi sebelumnya. Dengan kata lain pada masa ini kondisi perekonomian Indonesia masih tidak stabil kecuali adanya perbaikan neraca pembayaran sebagai akibat membaiknya kondisi ekonomi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Menurut Soetikno Slamet,


90

gunernur Bank Indonesia pada saat itu dalam buku Sejarah Bank Indonesia Periode II: 1959-1966, menyatakan bahwa: Perkembangan ekonomi dalam tahun 1959 dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni: 1. Tindakan-tindakan mengubah struktur perekonomian ke arah susunan sosialisme Indonesia, yang tercermin pada perubahan-perubahan dalam sistem penyaluran barang; 2. Suasana moneter yang masih terus berkembang ke arah inflasi yang lebih cepat; 3. Naiknya tingkat kegiatan ekonomi di luar negeri yang tercermin pada naiknya harga bahan-bahan ekspor terpenting di luar negeri sehingga mendorong berkembangnya ekspor (Bank Indonesia 2005: 13-14). Perkembangan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin ditandai oleh rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya pertumbuhan uang beredar, laju inflasi yang berkepanjangan, dan membengkaknya devisit keuangan negara. Gambaran mengenai laju inflasi dan devisit sejak tahun 1958 sampai 1960 dapat dilihat dalam buku Sejarah Bank Indonesia Periode II: 1959-1966 yang mencatat bahwa: Posisi uang beredar pada akhir tahun 1958 sebesar Rp. 19,6 miliar telah meningkat menjadi Rp. 29,9 miliar pada tanggal 31 Maret 1959 atau naik dengan persentase sebesar 53%. Laju inflasi pada tahun 1959 meskipun lebih rendah dari laju inflasi pada tahun 1958 yakni 46%, masih berada pada tingkat yang tinggi yakni 26% dan meningkat lagi menjadi 38% pada tahun 1960. Devisit keuangan negara pada tahun 1959 dan 1960 masing-masing sebesar Rp. 13.324 juta dan Rp. 2.569 juta dibandingkan dengan Rp. 9.434 juta pada tahun 1958 (Bank Indonesia, 2005: 14). Dalam upaya memperkecil tingkat inflasi dari pengedaran uang, bank sentral melakukan pembatasan pemberian kredit dengan mengenakan plafon bank baik secara kelompok maupun individu kepada sektor partikelir atau swasta. Upaya ini didukung pula oleh membaiknya negara-negara maju dari krisis ekonomi pada tahun


91

1958 yang telah memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan permintaan akan bahan mentah yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Perbaikan tersebut telah meningkatkan ekspor barang-barang penting Indonesia sehingga dapat memperbaiki posisi neraca pembayaran pada tahun 1959 dan 1960. Hal ini dapat tergambarkan dalam buku Sejarah Bank Indonesia Periode II: 19591966 yang mencatat bahwa: Neraca pembayaran Indonesia yang pada tahun 1958 menunjukan devisit sebesar Rp. 149 juta telah berubah menjadi surplus sebesar Rp. 5,732 juta pada tahun 1959 dan Rp. 3.066 juta pada tahun 1960. Perbaikan tersebut telah memperkuat posisi kekayaan emas dan cadangan devisa dari Rp. 6.987 juta pada akhir tahun 1958 menjadi Rp. 10.599 juta pada akhir Maret 1959 dan Rp. 13.570 juta pada akhir Maret 1960. Perbaikan ini disebabkan oleh meningkatnya ekspor yang cukup besar dan masih kecilnya kenaikan impor karena dilakukannya pembatasan penggunaan devisa untuk impor (Bank Indonesia,2005: 15). Sejalan dengan ekonomi terpimpin, Presiden membentuk Dewan Perancang Nasional yang di ketuai oleh Mohammad Yamin yang diberi tugas untuk menyusun Rencana Pembangunan Delapan Tahun. Berbeda dengan Rencana Pembangunan Lima Tuhun 1956-1960 yang disusun sebelumnya oleh ahli-ahli ekonomi. Rencana ini merupakan daftar kumpulan proyek-proyek yang akan dibangun tanpa menyebutkan prioritas dan tidak memberikan cukup perhatian pada alokasi sumber yang efisien dalam situasi dana yang terbatas sebagai akibat dari menurunya anggaran penerimaan pemerintah dan penerimaan ekspor. Konsep ekonomi lain yang muncul pada masa ini ialah Deklarasi Ekonomi (Dekon). Pokus utama dari Dekon adalah Dekonsentrasi yang berisi program-program deregulasi dan debirokratisasi.


92

Kondisi ekonomi pada tahun 1961 hingga tahun 1966 makin terpuruk karena timbulnya berbagai tantangan baik eksternal maupun internal. Tantangan dari luar ialah pengaruh dari perkembangan ekonomi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat yang kembali memburuk akibat makin menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi mereka. Hal tersebut memberikan dampak negatif berupa menurunnya permintaan barang-barang ekspor dari Indonesia sehingga neraca pembayaran yang telah membaik pada tahun 1959 dan 1960, mulai tahun 1961 kembali mengalami kemerosotan. Secara internal, kebutuhan pembiayaan Pemerintah makin tinggi khususnya pembiayaan bidang keamanan dan penyelenggaraan Asian Games, Ganepo, dan proyek Conefo. Pengeluaran lain yang cukup besar ialah untuk kenaikan gaji pegawai negeri sebesar 5 kali PGPN pada tahun 1961, konfrontasi dengan Malaysia serta untuk mengatasi pemberontakan PRRI/Permesta, DI/TII, penumpasan G-30S/ PKI. Jika dilihat dari sisi produksi untuk kegiatan ekspor maka dapat digambarkan bahwa jumlah penerimaan ekspor semakin menurun yang juga disebabkan oleh kegiatan impor yang meningkat untuk memenuhi kebutuhan Pemerintah. Dalam hal ini barang-barang hasil pertanian, produsi karet alam dan karet sintetik yang semula menunjukan kenaikan dari tahun ke tahun telah terdesak oleh persaingan yang berat dari negara pesaing. Kemerosotan produksi karet alam dunia pada tahun 1963 terutama disebabkan oleh turunya produksi karet rakyat Indonesia sebagai konsekuensi politik konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia. Sementara itu, jumlah utang luar negeri pemerintah makin meningkat yang disebabkan oleh peminjaman Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

93

pada negara blok Timur. Utang luar negeri ini telah menambah berat beban Pemerintah bila diukur dengan kemampuan membayar kembali baik dari sisi keuangan negara atau tersedianya devisa dari ekspor. Berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan ekonomi tidak mampu mengurangi kemerosotan kondisi ekonomi yang memburuk. Inflasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Kondisi ekonomi yang sangat parah dalam periode ini diperburuk lagi dengan hasil panen yang kurang baik pada tahun 1964. Upaya menurunkan laju inflasi dilakukan Pemerintah seperti menurunkan harga tekstil, mengendaliakan harga barang, memperlancar distribusi barang. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka pelaksaan Deklarasi Ekonomi. Dalam usaha untuk menjaga stabilitas ekonomi, pada akhir tahun 1965 Pemerintah melakukan perubahan nilai mata uang rupiah dari Rp. 1.000 uang lama menjadi Rp. 1 uang baru. Pada awal tahun 1965 sistem ekonomi sudah dikatakan memburuk. Kegiatan ekonomi berhenti, inflasi sangat tinggi, dan perdagangan luar negeri macet serta pasar gelap valuta asing menjamur, cadangan devisa terkuras dan utang luar negeri Pemerintah membengkak. Program politik terlalu diperhatikan mengakibatkan biaya ekonomi dan sosial sangat besar. Kehancuran ekonomi yang disertai dengan pertikaian politik berpuncak pada pemberontakan G30S/PKI yang mengakibatkan jatuhnya pemerintaha Presiden Soekarno.


94

4.2 Perkembangan Bank Indonesia Tahun 1953-1966 Kembalinya bentuk negara Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1950 mendorong Pemerintah untuk menghapus segala unsur kolonial dan menggatikannya dengan unsur nasional. Tidak adanya campur tangan lagi dari pihak Belanda mendorong pemerintah Indonesia mendirikan negara secara independen dalam berbagai bidang khusnya dalam bidang ekonomi. Termasuk dalam hal lembaga keuangan sentral yang harus dimiliki oleh setiap negara untuk mengatur perekonomiannya. Bank Indonesia diputuskan untuk menjadi bank sentral bagi Indonesia dengan segala fungsi dan tugasnya sebagai bank sentral. 4.2.1 Fungsi dan Tugas Bank Indonesia Dalam membahas tugas dan fungsi Bank Indonesia, maka akan berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral. Kebijakan bank sentral meliputi berbagai macam jenis tugas dan pekerjaan yang dilakukan bank sentral yang paling penting diantaranya ialah merumuskan dan melaksanakan suatu kebijakan moneter yang diperlukan dalam situasi perkembangan moneter tertentu dengan tujuan memelihara stabilitas moneter dan menjaga pertumbuhan politik. Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab tersebut, bank sentral harus berkerja sama dengan pemerintah karena pada hakikatnya kebijakan moneter hanya merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan perekonomian yang merupakan tanggung jawab pemerintah sepenuhnya sedangkan bank sentral hanya sebuah perantara. Diantara tugas-tugas tersebut termasuk didalamnya ialah tugas pembatasan perkreditan secara kuantitatif dan kualitatif, penetapan dan perubahan Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

95

tingkat bunga, mengatur sirkulasi uang serta penetuan jumlah uang beredar, dan menjalankan kebijakan pasar terbuka, kebijakan devisa serta neraca pembayaran selain itu bank sentral juga bertugas untuk membimbing dan mengawas bank-bank serta lembaga keuangan lain sehingga berperan sebagai lender of last resort atau bankers’ bank. Tugas-tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral tersebut diatur dalam Bab II pasal 7 sampai dengan pasal 20 Undang-Undang No. 11 tahun 1953. Tugas pokonya diatur dalam pasal 7, yang intinya mencakup tiga fungsi tradisional suatu bank sentral, yaitu fungsi kebijakan moneter, kebijakan perbankan, dan kebijakan sistem pembayaran. Rumusan dari pasal 7 tersebut seperti yang dikutip dalam buku yang ditulis oleh Drs. Oey Beng TO (1951): Pasal 7 (1) Bank bertugas mengatur nilai satuan uang Indonesia menurut cara yang sebaik-baiknya bagi kemakmuran nusa dan bangsa dan dalam hal itu menjaga sebanyak mungkin supaya nilai itu seimbang (stabiel). (2) Bank menyelenggarakan peredaran uang di Indonesia, sekadar peredaran uang itu terdiri dari uang kertas bank, mempermudah jalannya uang giral di Indonesia dan memajukan jalannya pembayaran dengan luar negeri. (3) Bank memajukan perkembangan yang sehat dari urusan kredit dan urusan bank di Republik Indonesia pada umunya dan dari urusan kredit nasional pada khususnya. (4) Bank melakukan pengawasan terhadap urusan kredit. (5) Menunggu terlaksananya suatu peraturan undang-undang tentang pengawasan terhadap urusan kredit maka dengan Peraturan Pemerintah dapat diadakan peraturan-peratusan lebih lanjut bagi bank untuk menjalankan pengawasan termaksud guna kepentingan-kepentingan kemampuan membayar (“solvabiliteit”) dan kelanjutan keuangan (“liquiditeit”) badan-badan kredit, begitu juga untuk pembelian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksaan bank yang tepat (Beng To, 1991: 253).


96

Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan peredaran uang di Indonesia, atau sistem pembayaran kartal Bank Indonesia diberi wewenang untuk mengeluarkan uang kertas bank, yaitu uang kertas yang nilainya tidak lebih rendah dari Rp. 5 (lima rupiah), sedangkan untuk mata uang di bawah Rp. 5 dilakuakan oleh pemerintah, namun peredaranya oleh Bank Indonesia. Pasal 16 menetapkan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan jaminan bagi jumlah uang kertas bank. Adapun rumusan dari pasal 16 dikutip dari buku yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (2005): Pasak 16 (1) Jumlah sumua uang kertas bank, saldo rekening-koran dan tagihan-tagihan lain yang segera dapat ditagih dari bank harus satu perlima dijamin dengan emas, mata uang emas bahan mata uang emas atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukartukarkan, begitu pula dengan hak-hak atas International Monetary Fund dan WorldBank yang diserahkan atau akan diserahkan kepada bank dengan undang-undang. (2) Jaminan yang termasuk dalam ayat 1 sekurang-kurangnya satu perlima bahagian harus ada di Indonesia. (3) Dalam keadaan luar biasa bank dapat menentukan, bahwa untuk suatu masa selama-lamanya tiga bulan bank boleh menyimpang daripada peraturan ayat 1 pasal ini sampai pada suatu batas yang ditentukan pada waktu itu. (4) Keputusan yang diambil menurut ayat ketiga dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara dan dalam Berita Negara. (5) Bila mana bank dalam waktu tiga bulan yang dimaksudkan seperti dalam ayat 3 pasal ini tidak dapat mengembalikan keadaan seperti tercantum dalam ayat 1 pasal ini, maka pemerintah mengajukan permintaan kepada Dewab Perwakilan Rakyat untuk memperpanjang waktu tersebut dalam ayat 3 pasal ini dengan tiga bulan lagi (Bank Indonesia, 2005: 41). Bank Indonesia juga diberikan tugas-tugas penting lainnya, diantaranya dalam hubungan dengan pemerintah seperti: a) Bertidak sebagai kuasa atau bankir Pemerintah Republik Indonesia pada transaksi-transaksi keuangan.


97

b) Memberikan bantuan teknis pada perjanjian-perjanjian dengan negara asing dan organisasi-organisasi luar negeri atau internasional, keduanya atas permintaan pemerintah. c) Memberikan bantuan cuma-cuma untuk mengeluarka dengan langsung surat-psurat utang atas beban Republik Indonesia, demikian pula membayar dengan cuma-cuma kupon dan surat utang yang telah diuraikan di atas kepada para pemegangnya atas beban rekening kas negara di tempat pembayaran tersebut; dan d) Setiap kali Menteri Keuangan menganggap perlu menguatkan kas negara untuk sementara waktu, BI memberikan uang muka dengan rekening koran kepada republic Indonesia, yang disediakan atas tangguangan yang cukup dalam kertas perbendaharaan dan penegluaran atau pengadaannya akan diijikan dengan atau berdasarkan undang-undang. Uang muka tersebut tidak boleh melebihi 30% dalam tahun anggaran yang bersakutan. Permintaan uang muka yang melebihi batas tersebut harus dilakukan dengan persetujuan DPR (Bank Indonesia, 2005: 41-42). Selain dari tugas yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tercantum dalam Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, Bank Indonesia juga memiliki fungsi sebagai pimpinan dari lembaga-lembaga keuangan lainnya. Fungsi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Sebagai perusahaan pencetak uang. 2. Biro lalu litas devisa. 3. Perusahaan negara pegadaian (Bank Indonesia, 2005: 32-36). 4.2.2 Struktur Organisasi Bank Indonesia Dalam keputusan KMB, De Javasche Bank ditunjuk sebagai bank sentral bagi bangsa Indonesia namun karena De Javascha Bank merupakan bank swasta milik Belanda oleh kerena itu Pemerintah Indonesia perlu melakukan nasionalisasi terhadap bank tersebut untuk menghilangkan unsur kolonial di dalamnya. Sebelum dinasionalisasikannya De Javasche Bank, Pemerintah Indonesia


98

telah mendirikan Bank Negara Indonesia sebagai aplikasi dari Jajasan Poesat Bank Indonesia untuk dijadikan sebagai bank sentral. Hanya saja karena hasil keputusan KMB dan berbagai pertimbangan lainnya yang salah satunya menyatakan bahwa De Javasche Bank telah memiliki pengalaman yang lama sebagai bank sirkulasi dan aparatur yang lengkap oleh karena itu De Javasche Bank lah yang ditunjuk sebagai bank sentral Indonesia. Alasan penting lainnya mengenai penugasan bank sentral kepada De Javasche Bank tersirat pada dokumen dalam buku Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, yang menyatakan bahwa: Selama Republik Indonesia Serikat (RIS) berutang kepada Nederland, maka RIS akan bermusyawarah dulu dengan Nederland, baik jika bermaksud hendak mengubah undang-undang mata uang dan undang-undang De Javasche Bank yang berlaku saat penyerahan kedaulatan… RIS akan bermusyawarah lebih dahulu dengan Nederland pasal mengangkat dan memberhentikan Presiden dan direkturdirektur bank sirkulasi… sampai undang-undang bank sirkulasi yang baru mulai berlaku (Rahardjo, 1995: 53). Dari kutipan dokumen di atas dapat digambarkan bahwa Pemerintah Belanda membebankan utang terhadap Pemerintah Indonesia yang dinilai sebagai salah satu usaha belanda untuk dapat terus ikut serta dalam Pemerintahan Indonesia. Babak baru dalam sejarah Perbankan Indonesia terjadi, ketika sebuah undangundang baru yaitu Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1953 dan melahirkan Bank Indonesia yang dicitacitakan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan undang-undang (Bank Indonesia, 2005: 5). Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

99

Pada masa awal perkembanganya kedudukan dan peranan Bank Indonesia tidak semata-mata ditentukan kemampuan manajemen internalnya, melaikan juga dipengaruhi oleh situasi ekonomi nasional, bahkan perkembangan politik yang penuh dengan pergolakan di masa-masa antara tahun 1953-1966. Dengan dilakukannya nasionalisasi terhadap De Javasche Bank, yang kemudian menjadi Bank Indonesia, maka setidak-tidaknya secara formal dan simbolis pemerintah Indonesia telah menegakkan kedaulatan ekonomi. Lahirnya Bank Indonesia dianggap sebagai simbol dari kedaulatan dalam hubungan moneter dan ekonomi, sekalipun baru terjadi setelah delapan tahun sejak kemerdekaan (Oey, 1991: 244). Pada hakikatnya ditunjuknya Bank Indonesia sebagai bank sentral merupakan sesuatu yang baru dan dianggap sebagai sebuah lembaga modern yang baru bagi masyarakat Indonesia. Banyak para ahli asing berpendapat bahwa masih terlalu lama bagi bangsa Indonesia untuk dapat menguasai dan mengembangkan Bank Indonesia secara professional (Rahardjo, 1995: 88). Modal utama Bank Indonesia, sebenarnya merupakan warisan organisasi yang berasal dari De Javasche Bank, yang tidak saja memiliki pengalaman yang kaya, baik sebagai bank sirkulasi maupun bank komersial, tetapi juga sistem organisasi dan budaya kerja perusahaan dan staf yang berpengalaman serta pucuk pimpinannya masih banyak dipegang oleh orang Belanda. Meskipun telah resmi menjadi bank sentral, staf dalam jajaran pimpinan cabangcabang utamanya masih dipegang oleh orang Belanda karena kurangnya staf dari orang Indonesia asli yang telah berpengalaman dalam bidang administrasi dan akuntansi. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

100

Namun perlu dicatat bahwa sejak tahun 1950 telah terjadi perubahan staf tenaga kerja di lingkungan De Javasche Bank yaitu ketika Mr. R.B. Gandasoebrata ditunjuk sebagai orang Indonesia sebagai orang Indonesia pertama yang menduduki posisi cukup tinggi yaitu pejabat Kepala Urusan Devisa, pada bulan April 1950. Hal ini disusul dengan penunjukan Mr. Loekman Hakim sebagai Komisaris Pemerintah pada Bank pada tanggal 9 Juli 1950 dan Ir. R.M.T. Sarsito Mangunkoesoemo sebagai anggota Direksi. Selanjutnya orang-orang Indonesia yang menduduki posisi eksekutif puncak adalah Mr. Indra Kasoema, sejak 15 Agustus 1950 dan Mr. Loekman Hakim sebagai Wakil Presiden De Javasche Bank. Kabinet Natsir menilai bahwa terdapatnya orang-orang Indonesia dalam De Javasche Bank itu, akan lebih menjamin terpeliharanya kepentingan Indonesia pada bank milik Belanda yang telah ditunjuk oleh KMB sebagai bank sirkulasi untuk Indonesia. Dari sinilah timbul persoalan tentang dua macam nasionalisasi. Pertama adalah nasionalisasi dalam arti pengambil alihan hak milik dan ke dua, proses yang pada saat itu disebut sebagai “Indonesianisasi” staf De Javasche Bank. Gagasan nasionalisasi pertama kali dilontarkan dalam Muktamar Partai Masyumi bulan Desember 1949 sebagai reaksi atas Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan Dr. Sukiman Wirjosandjojo sebagai ketua Partai Masyumi serta Perdana Menteri pada saat itu. Pada tanggal 28 Mei 1951 pemerintah mengumumkan rencana nasionalisasi tersebut kepada parlemen (Rahardjo, 1995: 59). Sejak pengumuman rencana nasionalisasi diumumkan, Dr. A. Houwink selaku presiden De Javasche Bank saat itu mengundurkan diri secara terhormat dari Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

101

jabatannya melalui Surat Keputusan Republik Indonesia No. 122 tanggal 12 Juli 1951. Untuk menggantikan posisi tersebut, sejak tanggal 15 Juli 1951 diangkatlah Sjafruddin Prawiranegara yang resmi menjabat sebagai Presiden De Javasche Bank. Pertimbangan dipilihnya Sjafruddin sebagai Gubernur Bank Indonesia karena Sjafruddin dipandang sebagai orang yang paling paham tentang fungsi sebuah bank sentral, walaupun pandangannya itu sering berbenturan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya dalam kabinet seperti Sumitro Djojohadikusumo, Dr. Ong Eng Die dan Mr. Iskaq Tjokroadisoerjo, bahkan berbeda pandangan pula dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Gambar 4.1 Sjafruddin Prawiranegara Gubernur Pertama Bank Indonesia (Sumber: http//id.wikipedia.org/wiki/GubernurBI) [26 Mei 2012] Sejak disahkannya Bank Indonesia sebagai bank sentral Indonesia pada 1 juli 1953 berdasarkan Undang-Undang No. 11/1953 dan melalui proses pembelian saham De Javasche Bank, Sjafruddin Prawiranegara ditetapkan sebagai Gubernur Bank Indonesia pertama oleh Presiden Soekarno. Pada perkembangan awal Bank Indonesia, Sjafruddin Prawiranegara menjalankan peranannya sebagai gubernur Bank Indonesia melalui persetujuan dari parlemen. Dalam peranannya itu, Sjafruddin


102

membawa Bank Indonesia untuk melakukan fungsinya sebagai Bank Sentral dengan pengawasan dari pemerintah dan parlemen. Sjafruddin menjabat sebagai Gubernur Indonesia sampai tahun 1958. Pada akhir-akhir periode sebelum De Javasche Bank dinasionalisasi, Direksi bank tersebut terdiri dari Sjafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Bank Indonesia dan para Direktur, yang terdiri dari tiga orang pihak Belanda dan dua orang dari pihak Indonesia. Mereka ialah Mr. Loekman Hakim sebagai wakil Presiden I Bank Indonesia; Mr. Indra Kasoema sebagai wakil Presiden II Bank Indonesia; dan H. Tuenisseen, sebagai Direktur; Mr. F.H. Parmentier, sebagai Wakil I Direktur; dan L.Swaan, sebagai Wakil II Direktur. Dipegangnya jabatan-jabatan penting Bank Indonesia oleh pihak Indonesia membantu untuk memudahkan proses nasionalisasi yang akan dilakukan. Bank Indonesia memulai usahanya sebagai bank sentral bertolak dari organisasi pada masa De Javasche Bank yang tergambarkan di atas, hanya saja organisasi ditingkat pimpinan mengalami perubahan. Susunan organisasi tersebut dapat digambarkan dalam bagan di bawah ini:


103

Bagan 4.1 Struktur Organisasi Bank Indonesia per 1 Juli 1953 Dewan Moneter Komisaris Pemerintah

Dewan Penasehat

Direksi

Bagian Pembukuan Cabang Manado Bagian Kas & Uang Kertas Bank

Cabang Makasar Cabang Pontianak Cabang Banjarmasin

Bagian Administrasi Pusat Cabang Surabaya Bagian Urusan Efek

Cabang Malang Cabang Kediri

Bagian Pemb. Kredit Jakarta

Cabang Solo Cabang Yogyakarta

Bagian Sekretarie 7 Urusan Pegawai

Cabang Semarang Cabang Cirebon

Bagian Urusan Wesel Cabang Bandung Bagian Pemb. Kredit Pusat

Cabang Palembang

Dana Devisien

Cabang Medan

Cabang Padang

Cabang Amsterdam Bagian Statistik Ekonomi

Kantor Perwakilan New York

Bagian Urusan Umum Bagian Luar Negeri

Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahunan De Javasche Bank, 1952/1953 serta Undang-Undang No. 11 Tahun 1953


104

Sesuai dengan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia Tahun 1953, Dewan Moneter, adalah policy-making body, yang terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perekonomian dan Gubernur Bank Indonesia (pasal 23) yang tugasnya, menurut pasal 22 ayat 1 a,b dan c adalah sebagai berikut: (1) Menetapkan kebijaksanaan moneter umum dari Bank. (2) Memberi penunjuk-petunjuk kepada Direksi tentang kebijaksanaan bank dalam urusan-urusannya yang lain, sekadar kepentingan umum memerlukannya. (3) Pekerjaan-pekerjaan Bank sebagai tersebut dalam pasal 7 ayat 1, 3 dan 4, pasal 13 ayat 9, pasal 16 ayat 3 dan pasal 20, begitu pula penetapan tariptarip bunga dari Bank yang bagaimanapun pula dianggap sebagai urusan kebijaksanaan moneter umum atau urusan Bank yang mengenai kepentingan umum (Rahardjo, 1995: 91). Namun meskipun begitu, tanggung jawab atas kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Dewan Moneter itu tetap berada ditangan pemerintah sesuai dengan ayat 2 dalam Undang-Undang. Menurut pasal 26 a, b dan c Direksi bertugas sebagai berikut: (1) Menyelenggarakan kebijaksanaan moneter umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Moneter. (2) Menyelenggarakan pemberian kredit oleh Bank, teristimewa mengenai pemberian dan untuk memperpanjang kredit dengan penetapan syaratsyarat yang berhubungan dengan kredit-kredit tersebut, begitu pula untuk menghentikan kredit yang lagi berjalan dan menolak pemberian kredit. (3) Menyelenggarakan segala pekerjaan Bank yang lain dengan memperhatikan pasal 22 ayat 1, huruf b dan c (Rahardjo, 1995: 92). Dengan tugas ini, maka Direksi Bank Indonesia hanyalah menyelenggarakan kebijaksanaan moneter umum yang telah di tetapkan oleh Dewan Moneter, di mana Gubernur adalah salah seorang anggotanya, namun dalam hal ini memiliki otonomi dalam mencapai tujuan itu.


105

Dalam laporan Gubernur Bank Indonesia Tahun Pembukuan 1953-1954 (masa 1 Juli 1953 sampai dengan 31 Maret 1954), dilaporkan bahwa sejak 1 Juli 1953 Gubernur Bank Indonesia adalah Mr. Sjaruddin Prawiranegara, dengan Mr. Loekman Hakim dan Mr. Indra Kasoema sebagai para Direktur, merangkap Gubernur pengganti. H. Teunisseen, diberhentikan secara hormat karena proses nasionalisasi sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 121/M tanggal 21 Juli 1953, terhitung sejak 1 Juli 1953. Beliau digantikan oleh Ir. Darmawan Mangoenkoesoemo dan T.R.B. Sabaruddin, dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 65 tanggal 10 Maret dan mulai berfungsi tanggal 1 Maret 1954. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122/M tanggal 22 Juli 1953, Mr. Soetikno Slamet diberhentikan secara hormat dari jabatannya sebagai Komisaris Pemerintah pada De Javasche Bank terhitung mulai tanggal 1 Juli 1953. Hal ini tentu saja berkaitan dengan dilikuidasinya Bank tersebut dan karena tidak adanya lagi jabatan Komisaris Pemerintah pada Bank Indonesia berdasarkan undangundang yang baru. Berdasarkan pasal 32 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, maka dibentuk Dewan Penasehat yang diangkat dari kalangan ahli dan kalangan orang-orang yang terkemuka dalam hal perusahaan, pertanian dan perburuhan sesuai dengan aspirasi yang tercetus di parlemen pada waktu membicarakan rencana undang-undang tersebut. Mereka diangkat langsung oleh pemerintah dengan maksud agar Bank Indonesia dapat berkomunikasi secara timbal balik dengan kalangan masyarakat dan para ahli, walaupun mereka tidak mewakili kalangan manapun. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

106

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 194 tanggal 14 November 1953, telah diangkat Rh. Koesnan, yang bertindak sebagai Ketua Dewan Penasehat, dengan anggota yang terdiri dari A.A. Achsien, Ir. S. Sosrohadikoesoemo, M.I. Dauley, S. Gondokoesoemo, Mr. Jusuf Wibisono, I. Tedjasukamana, O. Rondonuwu, dan Soele. Untuk mendampingi P.A. Van Garderen, sebagai Pemegang Kuasa Eropa dari Bank Indonesia, telah diangkat Khouw Bian Tie. Pada masa awal berdirinya, pegawai Bank Indonesia berjumlah 1.338 orang, 787 orang (58,8%) di antaranya, di kantor pusat. Komposisi personalia kantor pusat terdiri dari 8 orang Direktur Muda, 130 orang Staf dan Pejabat, 363 orang Pegawai Tata Usaha dan Kasir, dan 286 orang Pegawai Dasar. Di kantor-kantor cabang, terdapat 551 orang, yang terdiri dari 62 orang Staf dan Pejabat, 305 orangg Pegawai Tata Usaha dan 184 orang Pegawai Dasar. Tenaga ahli dirasaha masih sangat kurang, terutama di eselon atas dan di tingkat pejabat. Dari 8 orang Direktur Muda, tidak seorang pun yang dipegang oleh orang Indonesia langsung. Pada jajaran pejabat, diantara 32 orang pejabat di kantor pusat, hanya 4 orang yaitu sebesar 12,5% saja yang dipegang oleh orang Indonesia langsung. Tetapi ditingkat cabang jumlah orang Indonesia memang lebih besar 43% dari keseluruhan dipegang langsung oleh Indonesia. Namun ada pula diantaranya adalah keturunan Cina. Selama masa Gubernur Sjafruddin Prawiranegara dilakukan pembinaan staf sebagai kelanjutan dari program Indonesianisasi. Sejalan dengan perkembangan staf, terjadi pula perubahan dalam struktur organisasi dan pembagian fungsi dan tugas. Perubahan kecil pertama yaitu dalam struktur organisasi Bank Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

107

Indonesia, terjadi pada tahun 1954 ketika Direksi menciptakan jabatan kordinator dan pengawas bagi beberapa uni kerja yang menjadi bentuk awal struktur organisasi kantor pusat Bank Indonesia. Pada tahun 1955 dibentuk pula bagian bangunan, bagian ini menjawab kebutuhan untuk mendirikan gedung kantor pusat Bank Indonesia yang representatif di masa mendatang. Pada tahun 1957, bagian kas dan uang kertas Bank dipindahkan kebagian umum pula. Pada akhir tahun 1957 telah terjadi peristiwa yang sangat mempengaruhi situasi personal Bank Indonesia, yaitu tindakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, khususnya Belanda di Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), selaku Penguasa Militer No. Kpts/PM/080/1957 tanggal 8 Desember 1957, semua bank-bank milik Belanda berada di bawah kekuasaan Penguasa Militer (Pusat maupun Daerah), sedangkan pengawasan teknisnya dilakukan oleh Badan Pengawas Bank-Bank Pusat yang terdiri dari Kordinator Finek/Staf Harian Penguasa Militer sebagai anggota merangkap Wakil Ketua dan wakil-wakil dari Departemen Keuangan sebagai anggota dan beberapa orang dari Penguasa Militer sebagai anggota. Di daerah didrikan pula Badan Pengawas Bank-Bank Daerah. Pada awal tahun 1958, jabatan-jabatan penting yang tadinya dipegang oleh staf Belanda, telah berhasil dialihkan ketangan orang-orang Indonesia. Demikian pula tugas pada cabang dan perwakilan di luar negeri telah dialihkan pula ketangan orang Indonesia. Perubahan dibidang organisasi pada tingkat Direksi terjadi pada awal tahun 1958, ketika Mr. Sjafruddin Prawiranegara diberhentikan sebagai Gubernur Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

108

Bank Indonesia karena keterlibatannya dalam Pemberontakan PRRI/PERMESTA. Untuk menggantikannya, diangkat Mr. Loekman Hakim, sejak tanggal 8 April 1958. Susunan Dewan Moneter sejak tanggal 31 Juli 1959 terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Distribusi, Menteri Produksi, Menteri Pembangunan, dan Menteri Muda Keuangan. Sejak berdirinya Bank Indonesia tahun 1953 sampai tahun 1966 telah terjadi pergantian Gubernur yang disebabkan oleh beberapa hal. Gubernur-gubernur yang telah menjabat ialah Mr. Sjafruddin Prawiranegara (1953-1958), Mr. Loekman Hakim (1958-1959), Mr. Soetikno Slamet (1959-1960), Mr. Soemarno (1960-1963) dan Teuku Jusuf Muda (1963-1966). Dalam menjalankan tugasnya, para Gubernur tersebut didampingi oleh Gubernur Pengganti I dan Gubernur Pengganti II serta para Direktur. Perkembangan organisasi dan manajemen Bank Indonesia ke arah yang lebih konpleks terjadi sejak tahun 1959 dan pada awal tahun 1960-an yaitu pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada masa itulah, peranan Bank Indonesia mulai mengarah kepada palaksanaan fungsi bank sentral. Langkah pengorganisasian Bank Indonesia terjadi kembali dengan diciptakannya unit kerja tingkat urusan sehingga menyebabkan perubahan-perubahan struktur organisasi dalam tubuh Bank Indonesia pasa masa ini. Bersama-sama dengan para Direktur, Gubernur ikut mengawasi penyelenggaraan semua urusan dan tetap menjadi pengambil semua keputusan. Struktur organisasi Bank Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin tergambar pada bagan berikut: Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

109

Bagan 4.2 Struktur Organisasi Bank Indonesia 1960-1964 1. Inspeksi Direktur Muda Mr. Hertijanto

2. Administrasi Pusat 3. Pembukuan 1. Pegawai

Direktur Urusan Umum

Kordinato r

Mr. Boerhanoedin

2. Rumah Tangga 3. Bangunan 1. Umum dan sekretariat

Inspektur Muda Tang Lian Oen

Gubernur Dan Direksi

2. Kas 3. Uang Kertas Bank 1. Tabungan

Direktur Urusan Pembangunan Ekonomi

2. Bank Pembangunan

Drs. Soerjadi 3. Koperasi 1. Research

Direktur Urs. Research Ekonomi dan Statistik

2. Neraca Pembayaran

Drs. Soerjadi 3. Laporan Direktur Urusan Moneter Mr. Indra Koesuma

Direktur Muda Mr.Djoena Koesoemahardja

1. Pemerintah Dan Keredit 2. Pengawasan Bank-bank 3. Pasar Uang dan Modal

Direktur Urusan Luar Negeri Mr. R.B. Gandasoebrata

Direktur Muda Drs. Oey Beng To

1. Luar Negeri 2. Dana Devisa 3. Wasel Hubungan Dengan LAAPLN/BDP Kantor-kantor Cabang Dan Perwakilan


110

Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahunan BI 1959-1960 per Oktober 1961 Penyempurnaan organisasi dilakukan pada tahun 1962 di bawah Gubernur Bank Sentral yang baru, yaitu Mr. Soemarno, bertitik tolak pada perubahan organisasi yang telah dilakukan pada masa Gubernur Bank Indonesia sebelumnya yaitu Mr. Soetikno Slamet. Namun pada saat itu, di luar lingkungan moneter telah terjadi perubahan-perubahan politik yang mendasar sejak 1959, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik, yang menimbulkan dampak pada kebijaksanaan ekonomi dan pembangunan negara. Berdasarkan penetapan Presiden No. 6 tahun 1960, Bank Indonesia harus menyesuaikan tugas dan tata kerjanya kepada Amanat Presiden tentang Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) yang disusun oleh Dewan Perancang Nasional (DEPERNAS), pada tahun 1959 (Rahardjo, 1995: 113). Perubahan yang paling berpengaruh dalam perkembangan struktur organisasi Bank Indonesia terjadi pada tahun 1963, ketika Gubernur Bank Sentral ditetapkan sebagai anggota kabinet dengan sebutan Menteri Urusan Bank Sentral. Dengan lahirnya Menteri Bank Sentral, maka Dewan Moneter tidak lagi berfungsi dalam aplikasinya. Sebenarnya konsep awal dari Dewan Moneter merupakan suatu badan koordinasi antara pemerintah dan Gubernur Bank Sentral dalam merumuskan kebijaksanaan moneter. Namun dengan diangkatnya Gubernur Bank Sentral menjadi Menteri Kabinet, maka koordinasi itu tidak diperlukan lagi, karena berada di satu tangan. Untuk mendampingi Menteri Urusan Bank Sentral, pada tahun 1964 dibuat


111

jabatan baru pada kabinet yaitu Menteri Urusan Penerbitan Bank dan Modal Swasta. Dengan jabatan baru itu, maka tugas dan tanggung jawab Menteri Urusan Bank Sentral dipecah menjadi dua yaitu fungsi pengawasan dan pembinaan sistem perbankan bersama-sama dengan kekuasaan untuk menertibkan modal swasta menjadi wewenang Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta. Karena ada perubahan tersebut maka pada tanggal 10 April 1964 dilakukan penyusunan kembali struktur organisasi Bank Indonesia seperti yang tergambar dalam bagan berikut: Bagan 4.3 Struktur Organisasi Bank Indonesia 1964-1966

Menteri Urusan Bank Sentral

Badan Pertimbangan

Gubernur Bank Sentral

Rapat Pimpinan

Dewan Pembantu Pimpinan

Urusanusrusan

Direksi Biro Direksi

LAAPLN Dan BDP

Cabang cabang

Perwakilan

PN. Percetakan Kebayoran

Sumber: Rahardjo, Dawam (1995) Bank Indonesia dalam Kilasan sejarah Bangsa


112

Struktur baru seperti yang tergambar di atas tidak berjalan lama, karena setahun kemudian yaitu pada tahun 1965 dilakukan penyederhanaan kembali menjelang proses integrasi bank-bank milik negara lainnya. Urusan pembangunan ekonomi diintegrasikan ke dalam Urusan Pemberian Perkreditan dan Urusan Perbankan/Pembimbingan. Urusan Perencanaan Kredit disubordinasikan ke dalam Urusan Perkreditan. Bidang perbankan yang semula diletakkan pada segi Pengawasan Perbankan, diubah menjadi pembimbingan. Selain itu pada Urusan Umum, ditambah bagian lain sedangkan bagian Rumah Tangga diubah menjadi peralatan. Pada Urusan Riset ditambah satu bagian yaitu bagian pengarahan dana. Sementara itu, Urusan Luar Negeri, sesuai dengan perkembangan politik dan meningkatnya hubungan ekonomi dan pembangunan dengan negara-negara Blok Timur dan negara Non Blok maka ditambahkan empat bagian baru yaitu bagian Eropa Barat, bagian Benua Eropa, bagian Eropa Timur, dan bagian Asia, Afrika, dan Australia. Struktur organisasi Bank Indonesia dalam perkembangannya mengalami perubahan. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor utama yang menyebabkan perubahan tersebut. Pertama adalah perkembangan volume pekerjaan Bank itu sendiri yang semakan besar dan beraneka ragam yang menimbulkan bagian-bagian baru yang memerlukan koordinasi. Kedua, proses penyesuian diri dalam rangkan perkembangan menuju pada pelaksanaan fungsi-fungsi bank sentral, antara lain dengan meninggalkan fungsi komersial dan melaksanakan fungsi sebagai the bankers’ bank. Oleh karena itu maka Bank Indonesia semakin aktif dalam pembinaan bank-bank seperti bank-bank pemerintah, bank pembangunan dan bank-bank swasta, nasional Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

113

maupun asing serta pembinaan pasar uang dan pasar modal. Faktor ketiga adalah perkembangan ekonomi yang dalam periode 1953-1959 serta 1959-1966, sangat dipengaruhi oleh perkembangan politik. 4.2.3

Modal Awal Bank Indonesia. Pembentukan sebuah lembaga keuangan khususnya bank, tentu tidak dapat

dilepaskan dari adanya permodalan, karena dengan modal ini suatu lembaga bank dapat beroperasi. Fungsi permodalan menurut Teguh Pudjo Mulyono (1999: 10) antara lain: Fungsi permodalan adalah sebagai ukuran kemampuan bank untuk menyerap kerugian yang tidak bisa dihindarkan sebagai sumber dana yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usahanya sampai batas-batas tertentu, sebagai alat pengukur besar kecilnya kekayaan bank tersebut atau kekayaan yang dimiliki oleh para pemegang saham, dan sebagai alat pendorong manajemen bank untuk bekerja secara efisien (Mulyono, 1999: 10). Setelah ditetapkannya Bank Indonesia sebagai Bank Sentral menggantikan De Javasche Bank. Pemerintah Indonesia segera melakukan nasionalisasi terhadap seluruh bagian yang berkaitan dengan De Javasche Bank. Dimulai dari pembentukan panitia nasionalisasi De Javasche Bank. Selanjutnya panitia melakukan pembelian saham-saham atas dasar sukarela untuk dijadikan sebagai modal awal pembentukan Bank Indonesia. Pada tanggal 3 Agustus 1951, pemerintah mengumumkan bahwa dengan mendahului Rencana Undang-undang tentang nasionalisasi De Javasche Bank yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, pemerintah bersedia membeli saham-saham dan surat-surat yang ada pada pemegang-pemegang saham atau pun sertifikat dari saham-saham De Javasche Bank dengan kurs 120% mata uang


114

Nederland c.q nilai lawan dalam satuan uang dari negeri tempat mereka tinggal. Pemegang surat-surat yang memiliki kewarganegaraan Indonesia akan menerima pembayaran dalam rupiah dengan kurs 360%. Jangka waktu untuk penawaran secara sukalela yang berakhir pada akhir bulan September 1951 diperpanjang secara resmi sampai dengan 15 Oktober 1951. Dalam kenyataannya setelah tanggal tersebut pun masih diterima saham-saham atas dasar yang sama karena ternyata banyak pemegang saham yang tidak dapat menyerahkan sahamnya dalam waktu yang ditetapkan sebagai akibat dari keadaan yang berada diluar kemampuan mereka. Penyerahan berjalan dengan lancar. Nilai nominal saham-saham dan sertifikat yang ditawarkan berjumlah seluruhnya Rp. 8,95 juta. Dalam laporan tahunan De Javasche Bank juga disebutkan bahwa surat-surat yang belum ditawarkan boleh dikatakan dengan pasti bahwa sebagian besar telah hilang dan tidak akan muncul lagi. Permasalahan modal awal Bank Indonesia ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Bank Indonesia Tahun 1953 namun pada tahun 1960 modal Bank Indonesia mengalami perubahan sesuai dengan ditetapkan peraturan mengenai perubahan modal Bank Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1960 No. 32, Tambahan Lembaran Negara No. 1958). Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut, maka modal Bank Indonesia yang semula sebesar Rp. 25 juta dinaikan menjadi Rp. 100 juta. Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tersebut, dikemukakan bahwa penetapan modal Bank Indonesia dalam Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1953 sebesar Rp. 25 juta diperkirakan dapat Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

115

menampung jumlah dari aktiva tetap dan perlengkapan lainnya dari Bank Indonesia. Dalam perkembangannya, jumlah modal tersebut terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah kewajiban-kewajiban Bank Indonesia serta jika dibandingkan dengan bankbank sentral di luar negeri, perbandingan antara jumlah modal dengan kewajiban Bank Indonesia terlalu rendah sehingga perlu dinaikkan.

4.3 Kedudukan Bank Indonesia dalam Sistem Ekonomi Indonesia Tahun 19531966 Sejak proses nasionalisasi Bank Indonesia berlangsung, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan Bank Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 1953 mengenai Bank Indonesia. Berdasarkan undang-undang tersebut, kedudukan atau posisi Bank Indonesia ditentukan sebagai pengganti De Javasche Bank yaitu sebuah bank sirkulasi milik Belanda. Berdasarkan keputusan KMB, Bank Indonesia diposisikan sebagai bank sentral Indonesia. Bentuk hukum Bank Indonesia berbeda dengan De Javasche Bank, yaitu sebagai badan hukum milik negara yang diberi hak untuk melakukan tugastugas berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 1953 (Pasal 1 dan 2). Dalam menjalankan tugas-tugasnya berdasarkan undang-undang tersebut, bagi Bank Indonesia berlaku hukum perdata Eropa dan hukum dagang Eropa. Oleh sebab itu, segala ketentuan hukum yang sebelumnya berlaku untuk De Javasche Bank, kini berlaku pula untuk Bank Indonesia. Selain itu, Bank Indonesia dapat menjalankan hak-hak atas kebendaan dan tetap tunduk pada hukum adat yang berlaku. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

116

Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral menyebabkan fungsi dan tugas yang dipegang oleh Bank Indonesia pun harus sesuai dengan ketentuan dari bank sentral pada umunya di setiap negara. Bank sentral pada mulanya berkembang dari suatu bank yang mempunyai tugas sebagaimana dilakukan oleh bank-bank lainnya. Secara gradual bank tersebut diberi tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan bank lainnya, seperti menerbitkan uang kertas dan bertindak sebagai agen dan bankir pemerintah. Pada umumnya bank sentral merupakan suatu lembaga yang bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dan mengawasi serta mengontrol sistem keuangan dan perbankan. Dalam perkembanganya peranan dan fungsi bank sentral telah mengalami perubahan dari yang awalnya sebagai bank sirkulasi menuju ke bank sentral yang memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan moneter, pengatur perkreditan, dan pengawas perbankan. Dengan kata lain peran bank sentral selain sebagai bankers’ bank yaitu sebagai sumber dana bagi bank-bank dan lender of last resort yaitu sumber dana pinjaman terakhir bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas juga sebagai penjaga stabilitas moneter melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan moneter, termasuk mengatur, mengawasi, serta mengendalikan sistem moneter. Tempat kedudukan Bank Indonesia ditetapkan di Jakarta agar dapat mendukung pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia dapat memiliki kantor-kantor cabang, kantor koresponden dan jika diperlukan kantor-kantor agen besar yang jumlahnya diatur sesuai dengan kebutuhan. Saat awal berlakunya undang-undang No. 11 Tahun 1953 pada 1 Juli 1953, jaringan kantor yang dimiliki terdiri dari 15 kantor Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

117

cabang yang terdiri atas 8 kantor cabang di pulau Jawa, 3 kantor cabang di pulau Sumatera, 2 kantor cabang di Sulawesi dan 2 kantor cabang di pulau Kalimantan. Di luar negeri Bank Indonesia telah memiliki satu kantor perwakilan di New York dan satu kantor bank tambahan (Bijbank) di Amsterdam. Pada perkembangannya Bank Indonesia mengalami perubaha-perubahan struktur organisasi yang berpengaruh terhadap posisi Bank Indonesia itu sendiri. Dengan adanya perubahan tersebut, untuk pertama kalinya Gubernur Bank Indonesia memperoleh kedudukan setara dengan menteri sebagai Menteri Urusan Bank Sentral.

4.3.1 Kebijakan Moneter Bank Indonesia dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia Tahun 1953-1966

Kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh suatu bank sentral akan berkaitan erat dengan situasi moneter yang terjadi di negara yang bersangkutan. Kebijakan moneter tersebut tidak hanya semata-mata dikeluarkan langsung oleh bank sentral melainkan juga hasil persetujuan pemerintah khususnya kementrian dan Departemen Keuangan. Defisit dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara akan berdampak inflasi, karena defisit akan dibiayai oleh pencetak uang yang menambah volume uang beredar. Namun jika program-program pemeritah dapat mendorong produktivitas masyarakat dan perkembangan bisnis, sehingga meningkatkan produksi nasional dan arus barang, maka tekanan inflasi akan dapat diimbangi oleh pertumbuhan produksi. Logika inilah yang menimbulkan gagasan disementara negara Amerika Latin sebelum Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

118

dan sesudah pereng Dunia dua, yang juga memberikan pengaruh kepada pemimpin Indonesia pada kurun waktu 1950-an untuk membiayai pembangunan dengan pencetakan uang yang diciptakan oleh anggaran defisit. Sejak proklamasi kemerdekaan hingga masa Demokrasi, gambaran kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia mengalami inflasi bahkan hiperinflasi. Kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi yang memberi dampak terhadap perkembangan moneter dalam periode 1953-1959 diarahkan untuk membantu Pemerintah dalam mengatasi krisis devisa dan kredit keuangan negara yang kronis. Langkah-langkah

yang ditempuh

pemerintah diupayakan untuk

menambah

penerimaan pemerintah dan meningkatkan penerimaan devisa serta membatasi pengeluaran-pengeluaran devisa. Dalam bidang moneter, upaya untuk menahan laju inflasi dilakukan dengan membatasi jumlah uang muka Bank Indonesia kepada pemerintah dan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif. Dalam undang-undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, Bank Indonesia diberi tugas utama untuk menjaga stabilitas moneter, terutama memelihara nilai mata uang rupiah. Namun dilain pihak, Bank Indonesia memiliki tugas pula untuk menciptakan likuiditas dalam masyarakat, dengan mengatur volume uang yang beredar, dan melancarkan jalannya pembayaran luar negeri, dengan resiko dapat menimbulkan tekanan inflatoir. Pertambahan volume uang yang direncanakan melalui anggaran moneter, ditetapkan berdasarkan kebutuhan masyarakat, dengan melihat perkiraan pertumbuhan produksi. Dalam kenyataannya, bank sirkulasi mengeluarkan uang kertas untuk memenuhi permintaan pemerintah atas dasar Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

119

kebutuhan anggaran, berupa uang muka, demikian pula berupa kredit likuiditas kepada bank-bank, terutama bank-bank pemerintah. Kebijakan moneter yang dikeluarkan Bank Indonesia tahun 1953-1959 diantaranya ialah dengan pembatasan jumlah uang primer sesuai dengan pasal 16 Undang-undang Pokok Bank Indonesia. Besarnya penyediaan jaminan berupa emas dan devisa ditetapkan sebesar 20% dari jumlah uang primer. Jaminan tersebut sekurang-kurangnya seperlima harus berada di Indonesia. Perkembangan posisi cadangan devisa yang terus-menerus memburuk menyebabkan Dewan Moneter menyetujui untuk menurunkan rasio tersebut menjadi 15% pada bulan Juli 1956. Perkembangan rasio tersebut dalam tahun-tahun berikutnya terus menurun sampai 9,28% pada akhir tahun 1958. Untuk mengatasi masalah tersebut, rasio jaminan dihapuskan dan diganti dengan ketentuan yang mewajibkan Bank Indonesia memegang devisa untuk membiayai kebutuhan impor paling sedikit selama tiga bulan. Dengan demikian kebijakan pembatasan jumlah uang primer melalui penjaminan emas dan cadangan devisa sejak tahun 1958 telah berakhir. Adapun cadangan emas dan devisa pada Bank Indonesia tahun 1953-1959 dapat tergambarkan tabel berikut ini:


120

Tabel 4.1 Cadangan Emas dan Devisa Resmi Pada Bank Indonesia dan Dana Devisa Tahun 1953-1959 Juta Rp. Devisa pada Dana Devisa Posisi Pada Emas pada BI dan Jumlah Akhir Dana Devisa Aktiva Pasiva 1953 1.688 173 -1097 746 1954 1.055 1.460 -1.738 777 1955 955 2.038 -1.555 1.436 1956 532 1.918 -1.787 463 1957 Maret 518 1.441 -1,885 74 Juni 485 1.413 -1.638 260 September 490 1.931 -1.683 738 Desember 469 1.674 -1.969 174 1958 Maret 465 1.382 -1.869 -22 Juni 458 1.251 -578 1.131 September 457 1.259 -434 1.282 Desember 452 1.646 -328 1.770 1959 Maret 1.753 8.017 -873 8.897 Juni 1.930 5.147 -809 6.268 September 1.922 6.830 -1.271 7.481 Desember 19566 10.094 -1.061 10.599 Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahun Pembukuan 1958-1959 dan 1959-1960

Selain pembatasan uang primer, Bank Indonesia juga melakukan pembatasan pemberian uang muka Bank Indonesia kepada pemerintah. Dalam pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953 ditetapkan bahwa uang muka yang dapat diberikan kepada pemerintah tidak boleh lebih dari 30% dari penghasilan negara. Dalam kenyataannya, uang muka yang diperlukan oleh pemerintah sering melebihi 30% karena besarnya keperluan pembiayaan untuk kegiatan pemerintahan


121

dan pembangunan dalam keadaan darurat. Besarnya uang muka Bank Indonesia kepada pemerintah ternyata menjadi pendorong laju inflasi. Oleh karena itu dikeluarkan Undang-Undang No. 84 tahun 1958 yang membatasi besarnya uang muka tidak lebih dari 30%, kecuali dalam keadaan darurat dapat dinaikan setinggitingginya 50% dari pendapatan negara. Jumlah cadangan yang diperlukan dalam keadaan darurat dapat diputuskan sendiri oleh Bank Indonesia tanpa persetujuan parlemen. Tabel dibawah ini memperlihatkan perkembangan penerimaan dan pengeluaran pemerintah tahun 1954-1959.

Tabel 4.2 Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Pemerintah Tahun 1954-1959 Juta Rp. Tahun Penerimaan Pengeluaran Kekurangan/Kelebihan 1954 8.467 12.069 -3.602 1955 10.307 12.397 -2.090 1956 15.733 18.081 -2.298 1957 16.873 21.912 -5.039 1958 19.656 31.696 -12.040 1959 26.822 40.602 -13.780 Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahun Pembukuan 1954-1955 sampai dengan 1959-1960. Kebijakan moneter lain yang dilakukan oleh Bank Indonesia ialah dengan pembatasan kredit bank-bank. Pembatasan ini dilakukan untuk menahan laju kenaikan uang beredar yang cenderung terus meningkat pada bulan Mei 1957 yaitu dengan menetapkan rasio antara alat likuid dengan posisi deposito dan bank-bank minimal 30%. Sejak 1 Juli 1957 Dewan Moneter juga memberlakukan pembatasan perkreditan bagi sejumlah besar bank swasta dengan mengharuskan bank-bank yang


122

posisi deposito dan gironya melebihi Rp. 75 juta untuk membeli Kertas Pembendaharaan Negara (KPN) sebanyak 10% dari uang kas dan saldo pada Bank Indonesia. Sejak tanggal 15 Oktober 1957, ketentuan rasio pembelian KPN tersebut dinaikan menjadi 20% bagi bank-bank swasta yang posisi deposito, giro dan weselnya mencapai di atas 150 juta. Selain itu pemberian kredit tidak hanya ditujukan untuk bank-bank swasta melainkan juga untuk perusahaan milik pemerintah maupun perusahaan perorangan partikelir. Pemberian kredit oleh Bank Indonesia ditujukan terutama untuk membantu pengusaha pribumi dan perusahaan-perusahaan negara untuk meningkatkan produksi pertanian, industri dan ekspor, serta memperlancar arus perdagangan dalam dan luar negeri. Tabel 4.3 Posisi Kredit Perbankan Tahun 1953-1959 Penerimaan Kredit 1953 Perusahaan & yayasan 162 Pemerintah Perusahaan yang dibiayai ta Pemerintah Perusahaan perorangan 2.096 partikelir Jumlah 2.258 Sumber: Bank Indonesia, Laporan 1959-1960

1954 321

1955 407

1956 407

1957 426

Juta Rp. 1958 1959 1.347 3.988

ta

ta

48

100

124

1.896

2.339

3.393

3.470

3.007

3.654

4.456

2.660 3.800 3.925 3.533 5.125 10.340 Tahun Pembukuan 1954-1955, sampai dengan

Perkembangan moneter dalam periode ini dipengaruhi oleh dampak dari perkembangan perekonomian dunia, peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam negeri dan berbagai kebijakan Pemerintah. Peristiwa-peristiwa politik dalam negeri, yaitu pemberontakan-pemberontakan di daerah telah meningkatkan perdagangan barter dan


123

penyelundupan sehingga mengurangi penerimaan devisa pemerintah pusat. Selain itu perkembangan tersebut juga menurunkan penerimaan dalam negeri, antara lain dari pajak. Penyedehanaan sistem impor menyebabkan kenaikan yang tinggi pada kredit perbankan untuk membiayai impor. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan pembatasan kredit. Pada akhir periode Demokrasi liberal ditandai dengan meningkatnya jumlah uang beredar yang disebabkan oleh pengaruh bertambahnya keuangan pemerintah dan terjadinya defisit pada Anggaran Belanja Negara yang sangat besar sejak tahun 1957. Hal ini disebabkan oleh besarnya pengeluaran Pemerintah terutama untuk mebiayai operasi militer dan memulihkan keamanan di Sumatra Barat dan Sulawesi Utara berkaitan dengan pemberontakan PRRI/Permesta. Penerimaan pemerintah terganggu karena tidak diserahkannya pajak hasil perdagangan barter oleh beberapa daerah di wilayah konflik antara Pusat dan daerah. Pada masa selanjutnya yaitu periode Ekonomi Terpimpin tahun 1959-1966 kebijakan moneter yang diambil pemerintah dan Bank Indonesia pada periode ini pada dasarnya melanjutkan kebijakan periode sebelumnya yaitu tahun 1953-1959 yang ditujukan untuk mengurangi tekanan inflasi yang terus meningkat yang mengarah pada melemahnya nilai tukar rupiah. Laju inflasi yang masih tinggi pada tahun 1958 yaitu sebesar 46% sangat dipengaruhi oleh pesatnya pertambahan uang beredar akibat dampak ekspasif dari sektor pemerintah. Sebagai upaya untuk mengurangi laju pertambahan uang beredar, pemerintah mengambil berbagai kebijakan, antara lain melalui pengawasan kredit baik secara kuantitatif maupun Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

124

kualitatif. Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengambil kebijakan Operasi Keuangan berupa devaluasi, sanering, kebijan devisa serta kebijakan untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor. Pertambahan jumlah uang beredar yang pesat baik pada tahun 1958 maupun pada awal tahun 1959 telah mendorong Bank Indonesia untuk tetap melakukan kebijakan pembatasan pemberian kredit bank-bank secara kuantitatif atau kualitatif. Untuk membatasi kemungkinan perluasan pemberian kredit oleh badan-badan kredit maka Dewan Moneter menetapkan kebijakan antara lain melarang badan-badan kredit memberikan kredit melebihi dari posisi yang ditentukan. Namun hal ini mengalami hambatan sehingga menyebabkaan jumlah kredit bank-bank lebih tinggi dari plafon yang telah ditetapkan sehingaa dewan moneter harus menetapkan plafon kredit baru bagi masing-masing bank secara individual. Pengawasan dan pembatasan terhadap perkreditan berupa pengawasan kuantitatif dan kualitatif pada dasarnya merupakan kelanjutan dari kebijakan yang telah mulai dilaksanatakan tahun 1957 yaitu dengan membatasi jumlah kredit yang dapat diberikan oleh bank-bank pada tingkat tertentu. Pengawasan kualitatif dilaksanakan dengan cara mengadakan pembatasan pemberian kredit kepada sektor-sektor tertentu dan mengarahkan pemberian kredit bank-bank kepada usaha untuk meningkatkan produksi dan ekspor. Untuk mengatasi keadaan kelangkaan uang pada akhir tahun 1959, maka pemerintah dan Bank Indonesia sangat perlu untuk melakukan pemberian kredit kepada perusahaan-perusahaan di bidang produksi, ekspor, distribusi, transportasi, dan lain-lain. Sedangkan dalam usaha meringankan beban anggaran negara, Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

125

memperbaiki posisi neraca pembayaran dan menekan laju inflasi maka Pemerintah mengeluarkan kebijakan operasi keuangan meliputi devaluasi mata uang, sanering, menyempurnakan ketentuan-ketentuan di bidang devisa serta ketentuan di bidang perdagangan internasional. Kebijakan devaluasi yang diambil Pemerintah berupa tindakan penurunan nilai tukar rupiah dari Rp. 11,40 menjadi 45 per USD 1 (basic rate) (Bank Indonesia, 2005: 67). Kebijakan devaluasi ini secara langsung mempengaruhi lalu lintas pembayaran dengan luar negeri. Meskipun dampaknya sulit dinilai dalam waktu yang singkat, perkembangan di bidang ekspor setelah dilakukannya devaluasi lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan masa sebelum diberlakukannya devaluasi. Oleh karena itu pendapatan dari ekspor pun meningkat. Devaluasi juga mengakibatkan adanya revaluasi pada pos Kekayaan Emas dan Devisen yang ada pada Dana Devisen, Bank Indonesia dan bank-bank devisa lainnya. Sedangkan kebijakan sanering yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan penurunan nilai uang kertas Rp. 500 dan Rp. 1000 menjadi Rp. 50 dan Rp. 100 serta pembekuan sebagian dari simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) yaitu sebesar 90% dari jumlah diatas Rp. 25.000 untuk setiap simpanan dengan ketentuan bahwa simpanan yang dibekukan akan diganti menjadi simpanan jangka panjang oleh Pemerintah. Kebijakan Operasi Keuangan yang meliputi devaluasi, sanering dan kebijakan devisa serta kebijaksanaan perdagangan luar negeri memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan moneter pada tahun 1959-1960. Sanering telah memberikan keuntungan kepada pemerintah sehingga mampu mengurangi saldo Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

126

pinjaman uang muka

Bank Indonesia. Kebijakan devaluasi yang dilakukan

bersamaan dengan membaiknya harga-harga barang ekspor Indonesia di luar negeri telah berhasil meningkatkan ekspor dan mengurangi impor. Sebagai akibatnya, posisi cadangan resmi Pemerintah meningkat. Kebijakan Operasi Keuangan tahun 1959 ini pun berdampak pada kenaikan uang kartal dan turunnya uang giral yang berpengaruh pada pertambahan uang yang beredar pada Tahun 1958-1960. Pertambahan Uang Beredar ini dapat tergambarkan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 4.4 Sektor-sektor yang Mempengaruhi Pertambahan Uang Beredar Tahun 1958-1960 (dalam jutaan rupiah) Sektor

1958

1959

1960

Sektor Resmi +10.858 +8.614 +2.519 Sektor Partikelir -850 +1.075 -1.224 Sektor Luar Negeri +580 +13.988 +4.472 Sektor Lainnya -135 -18.159 +7.186 Pertambahan Jumlah Uang +10.453 +5.518 +12.953 Beredar Sumber: Bank Indonesia, Laporan Tahun Pembukuan 1959-1960

Kebijakan moneter yang diambil pada tahun 1961-1966 merupakan kelanjutan dari kebijakan pada periode sebelumnya yang meliputi bidang perkreditan baik kualitatif maupun kuantitatif serta kebijakan di bidang devisa. Namun dalam periode ini pemerintah menambahkan kebijakan baru yaitu kebijakan pengeluaran uang rupiah baru. Kebijakan moneter melalui perkreditan berupa penbatasan kuantitatif dan kualitatif pada periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya. Pada Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

127

tahun 1963 dikeluarkan peraturan baru mengenai pembatasan kualitatif atas kreditkredit yang diberikan oleh bank-bank. Peraturan baru itu dilakukan untuk membantu usaha ke arah stabilisasi moneter sehingga efek inflatoir yang ditimbulkan oleh kredit perbankan dapat dibatasi sampai proporsi yang wajar. Sedangkan pada tahun 1966, telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Urusan Bank Sentral No. 6/UBS/66 yang pada hakikatnya menambah besarnya alokasi pemberian kredit ke sektor-sektor ekonomi dan ketentuan yang berkaitan dengan usaha meningkatkan produksi dan impor. Kebijakan tersebut diambil dalam upaya untuk menanggulangi inflasi yang sangat tinggi (hyperinflasi), dengan cara mendorong lebih lanjut pemberian kredit secara kualitatif untuk meningkatkan produksi dan ekspor. Kebijakan dibidang devisa tahun 1961-1966 dilakukan ketika tidak stabilnya harga yang terjadi di luar negeri yang sangat berpengaruh terhadap merosotnya penerimaan devisa terutama dari ekspor karet yang merupakan bagian paling besar dari nilai seluruh ekspor Indonesia. Selain itu juga karet alam mendapat saingan cukup keras dari karet sintetis. Penurunan devisa juga disebabkan oleh besarnya penggunaan untuk mengimpor beras. Jumlah impor beras dari tahun 1960-1966 menunjukkan angka yang tinggi terutama disebabkan oleh adanya ketidak seimbangan antara kenaikan produksi beras dalam negeri dan bertambahnya permintaan. Hal tersebut berakibat pada kacaunya pasar dalam negeri yang memicu terjadinya kenaikan harga-harga bukan saja harga beras melaikan juga harga barang lainnya, dan akhirnya Pemerintah terpaksa membuka kembali kran impor beras meskipun tidak sebanyak yang direncanakan. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

128

Krisis devisa terjadi sejak tahun 1950-an berlanjut hingga berakhir periode ekonomi terpimpin yang juga dapat dilihat karena posisi cadangan Dana Devisa menunjukan posisi negatif. Oleh kerena itu pada tanggal 5 Maret 1962, Pemerintah mengumumkan peraturan baru dibidang devisa. Pada saat itu tiap eksportir mendapat hak penggunaan valuta asing sebesar 15% dari Harga fob yang diberikan dalam bentuk Surat Izin Valuta Asing (SIVA) dengan jangka waktu penggunaan selama enam bulan setelah pengeluarannya. Pada tanggal 20 Mei 1963 pemerintah mengumumkan peraturan baru dibidang ekspor, impor dan jasa. Kepda setiap eksportir diperkenankan menahan dan menggunakan sebebas-bebasnya 5% dari hasil fob ekspornya yang berarti tidak perlu menyerahkan bagian 5% tersebut kepada Dana Devisa. Pada tanggal 27 Maret 1964, Pemerintah mengumumkan kembali peraturan baru mengenai ekspor, impor dan jasa. Nilai lawan rupiah terhadap valuta asing untuk ekspor ditentukan Rp. 250 per USD 1 yang disebut nilai transaksi (NT) yang dibayar untuk 100% hasil fob ekspor. Sedangkan pada tanggal 21 Desember 1965 berlaku peraturan baru dibidang ekspor dan impor. Hasil ekspor setelah dikurangi 5% untuk keperluan eksportir di luar negeri, dibayar sebesar Rp. 250 per USD 1 ditambah dengan premik ekspor sebesar Rp. 9.750 untuk tiap USD 1. Sedangka mulai tanggal 11 Februari 1966 peraturan tersebut ditambah dengan ketentuan bahwa ekspor dibagi kedalam tiga golongan. Untuk besarnya devisa setiat golongan mendapatkan jumal yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan.


129

Dalam upaya untuk mencapai kestabialn ekonomi, pada tahun 1965 melalui Penetapan Presiden No. 27 Tahun 1965 dikeluarkan uang rupiah baru dengan perbandinagn nilai Rp. 1 uang baru sama dengan Rp. 1.000 uang lama. Mulai 1 Oktober 1966 diinstruksikan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang-barang dan jasa serta untuk keperluan administrasi keuangan. Pada saat itu Direksi Bank Indonesia tidak sependapat dengan dikeluarkannya kebijakan Pemerintah tersebut, mereka memilih untuk mengundurkan diri namun permohonan tersebut ditolak. Sangat sulit untuk mengetahui dampak moneter dari kebijakan tersebut karena kebijakan tersebut diambil pada saat tingkat inflasi sangat tinggi (hyperinflasi) dan permintaan terhadap uang pun sangat tinggi. Dari sudut lain pemerintah mengahadapi kesulitan dalam mencetak uang baru tersebut. Pada akhir tahun 1966, defisit anggaran belanja makin meningkat karena pengeluaran negara sangat besar khususnya dikeluarkan untuk merehabilitasi negara akibat peristiwa G 30 S/PKI 1965. Pengeluaran ini tidak dapat diimbangi oleh penerimaan Pemerintah karena besarnya kebutuhan merealisir program baik di bidang politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pemberian kredit dan uang muka sangat diperlukan karena hal ini menyebabkan jumlah uang beredar pun meningkat pada tahun ini . Pada tahun 1966, sektor swasta juga telah memberikan pengaruh bertambahnya uang beredar. Tingginya pemberian kredit ini terutama disebabkan oleh makin hebatnya tingkat inflasi dalam negeri seperti terlihat pada harga barang dan jasa yang semakin tinggi. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

130

Terjadinya perubahan-perubahan dalam kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia ini disesuaikan dengan situasi moneter dalam negeri yang berubah-ubah. Namun, selama dua periode berlangsung yaitu masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin kehidupan perekonomian Indonesia tidak mengalami perubahan yang drastis. Selama dua periode itu berlangsing inflasi dan defisit pada anggaran belanja negara terus mengalami peningkatan. Peningkatan dalam kehidupan perekonomian hanya terjadi beberapa kali dan tidak berlangsung lama.

4.3.2 Kebijakan Ekspor-Impor Indonesia dan Dampaknya pada Perekonomian Indonesia Tahun 1953-1966 Kondisi perekonomian Indonesia pada tahun 1950-1959, tidak terlepas pula pada kegiatan ekspor-impor dan komoditi penghasil devisa negara. Pemulihan ekspor Indonesia berlangsung lambat. Minyak penghasil devisa terbesar kedua setelah karet merupakan komoditi yang dapat diandalkan untuk jangka waktu yang panjang. Hal ini sesuai dengan yang dipaparkan oleh Ricklefs (2007), ia menyatakan bahwa: Sebenarnya pada tahun 1957, produksi minyak mengalami peningkatan sebesar dua kali lipat dari tahun 1940, tetapi sebagian dari produksi ini dikonsumsi untuk kepentingan dalam negeri. Selama tahun 1950-1956, permintaan bensin di dalam negeri meningkat 64,5% dan permintaan minyak tanah meningkat 200,5%. Program-program infrastruktur pemerintah yang sangat penting untuk sektor ekspor (seperti jalan raya, pelabuhan, pengendalian banjir, irigasi, kehutanan) memburuk dan nilai tukar yang dibuat mendiskriminasikan para pengekspor (Ricklefs, 2008: 497).


131

Dalam masa ini, kepentingan-kepentingan non Indonesia tetap mempunyai arti yang penting. Perusahaan-perusahaan milik asing seperti Amerika memiliki posisi kuat di bidang industri minyak. Perbankan didominasi oleh perusahaanperusahaan Belanda, Inggris, dan Cina. Orang-orang Cina juga menguasai kebanyakan kredit pedesaan. Dengan lambannya pemulihan ekonomi dan meluasnya pengeluaran pemerintah maka tidak mengherankan jika nilai inflasi pun melambung tinggi. Ricklefs pun mengatakan bahwa sebenarnya kemerdekaan tidak menghasilkan kemakmuran umum yang diharapkan banyak orang (Ricklefs, 2008: 497-498). Sedangkan kemerosotan pada ekspor tanpa minyak dapat terjadi di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal yang juga disebabkan oleh banyak hal. Seperti yang dikemukakan oleh Soesastro, dkk (2005), ia menyatakan bahwa: Kemerosotan ekonomi pun terlihat pada ilustrati menurunnya angka ekspor Indonesia untuk beberapa hasil penting (tanpa minyak) dalam sejak 1953-1964. Misalnya, pada tahun 1953, ekspor Indonesai berkurang sampai pada angka 72% sedangkan pada tahun 1964, teh berkurang hasilnya berkurang sampai 27%, kopra berkurang menjadi 58%, kapuk 81% dan hasil-hasil hutan hanya 20%. Sedangkan dalam bidang pertambangan, hasil ekspor batu bara berkurang sampai sampai 97%, biji mangaan 62%, dan biji timah putih sampai 61%. Dapat disimpulkan bahwa hasil ekspor tahun 1964 berkurang sampai 74% dari hasil yang dicapai pada tahun 1953. Kemerosotan ekspor ini disebabkan oleh semakin tingginya hutang-hutang pada luar negeri dan bunganya. Pada akhir tahun 1965 hutang-hutang jangka panjang dan menengah yaitu mencapai US$ 2.224 juta. Selain itu, hal ini disebabkan pula oleh inflasi yang menimbulkan disparitas harga, berbagai peraturan seperti pungutanpungutan ekspor, keadaan infrastruktur yang buruk dan kurangnya fasilitas-fasilitas pengangkutan dan pelabuhan. Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

132

Terjadinya krisis devisa yang berkelanjutan sejak kemerdekaan menyebabkan peranan cadangan devisa sebagai salah satu sumber dana pembangunan negara sangat merosot. Oleh karena itu, pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan pada bidang lalu-lintas perdagangan yang ditujukan untuk memperkuat posisi cadangan devisa yaitu kebijakan pada bidang ekspor dan kebijakan dalam bidang impor. Dalam bidang ekspor, langkah awal yang dilakukan ialah dengan inducement ekspor yang bertujuan untuk meningkatkan ekspor hasil-hasil rakyat. Pada tanggal 6 Agustus 1956 Pemerintah memberlakukan Sistem Bukti Pendorong Ekspor (BPE) yang disediakan untuk eksportir kecuali untuk komoditi minyak, timah dan gula. Kebijakan tersebut dikeluarkan untuk mengatasi menurunnya devisa akibat liberalisasi impor yang dilakukan pada tahun 1955. Pada tanggal 20 juni 1957 Pemerintah memberlakukan Sistem Bukti Ekspor (BE). Eksportir akan menerima Sertifikat Bukti Ekspor dari bank pada saat menyerahkan valuta asing kepada bank tersebut. Kebijakan ini dapat meningkatkan nilai ekspor. Indeks kurs BE yang tercatat dibursa dengan cepat meningkat yaitu dari 220 pada tahun 1957 menjadi 250 pada akhir 1957, dan 322 pada Maret 1958. Meningkatnya kurs dengan cepat mencerminkan jumlah permintaan yang jauh lebih tinggi dari pada penawaran pada bursa BE sehingga prinsip fleksibilitas nilai rupiah terhadap valuta asing tidak dapat dipertahankan. Oleh karena itu pada tanggal 18 April 1958 kurs BE dibekukan pada tingkat 332. Dengan demikian sistem nilai tukar tetap diberlakukan kembali.


133

Dengan terbentuknya bursa BE maka nilai tukar rupiah ditentukan atas dasar permintaan dan penawaran. Pada saat itu nilai tukar rupiah lebih rendah dari kurs resmi sehingga merugikan eksportir. Untuk mengendalikan tingkat kurs di pasar, ditetapkan bahwa hanya pemegang izin impor yang dapat membeli devisa. Melalui kebijakan tersebut nilai tukar rupiah di pasar bebas bergerak meningkat dari tahun ke tahun. Kebijakan tersebut cukup menguntungkan eksportir selain itu pemerintah berusaha menghentikan perdagangan barter agar pengusaha di daerah dapat lebih banyak mendapatkan devisa hasil ekspor. Namun, usaha tersebut belum berhasil dengan baik, bahkan perdagangan barter semakin meningkat sehingga kebijakan penyesuaian sistem kurs tidak berhasil diterapkan di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan dibidang impor ditandai dengan pembatasan terhadap impor dan pengeluaran devisa. Kebijakan tersebut ditempuh melalui pembayaran di muka untuk kegiatan impor kepada Dana Devisa dinaikan dari 40% menjadi 75% namun pada bulan Oktober 1953 persentase tersebut diturunkan menjadi 50% untuk impor bahanbahan mentah tertentu yang diperlukan untuk membantu industri dalam negeri. Sejak bualn Juli 1953, ketentuan pengiriman laba dari dividen dari perusahaan-perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) ditetapkan sebanyak-banyaknya 40% dari laba buku yang kena pajak. Selanjutnya pengiriman laba disesuaikan, yaitu 60% dari laba bersih dan dapat dikirimkan setelah 40% dari laba bersih tersebut disetorkan kepada Bank Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 5 Tahun 1954 dikeluarkan ketentuan pengenaan pungutan Tambahan Pembayaran Transper. Ketentuan ini juga Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

134

dimaksudkan untuk menabah penerimaan Pemerintah. Di samping itu juga, dilakukan sistem alokasi devisa yaitu penjatahan pemakaian devisa untuk impor barang-barang tertentu dan dikeluarkan pungutan-pungutan untuk beberapa tambahan pembayaran khusus seperti Bukti Impor Tekstil (BIT). Pada bulan September 1955 Pemerintah meninjau kembali sistem impor yang telah ditentukan. Kebijakan tersebut dilakukan dengan perbaikan tata cara pelayanan impor, antara lain dengan menyederhanakan sistem serta prosedur impor, menghapuskan berbagai ketentuan yang mengaitkan persyaratan impor dan ekspor serta tidak lagi menempuh kebijakan pembatasan impor secara kuantitatif. Langkahlangkah tersebut diharapkan dapat mendorong pelaksanaan impor yang lebih cepat serta volume impor yang lebih besar dengan biaya yang lebih murah. Untuk membendung melonjaknya permintaan impor yang dapat mengurangi cadangan devisa, pemerintah juga mengambil kebijakan dengan meningkatkan pungutan Tambahan Pembayaran Impor (TPI). Kebijakan mengenai ekspor dan impor pada periode tahun 1959-1966 difokuskan pada kebijakan Pungutan Ekspor dan Pungutan Impor.

Berdasarkan

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 1959 tentang Pungutan Ekspor (PUEKS) dan Pungutan Impor (PUIM), untuk setiap ekspor yang dilakukan berdasarkan kontar valuta. Dalam hal ekspor dijalankan secara konsinyasi, PUEKS akan dipungut pada saat hasil konsinyasinya telah ditransfer ke Indonesia. PUIM besarnya ditetapkan menurut jenis barang impor pada hakikatnya dapat disamakan dengan Tambahan


135

Pembayaran Impor (TPI) yang pemungutannya ditetapkan atas dasar nilai c & f dalam rupiah dari barang-barang yang diimpor. Pada tahun 1959 dilakukan pula pembatasan secara kuantitatif dan pembatasan kredit secara kualitatif terhadap bank-bank untuk memberikan kredit terhadap pembiayaan susulan atas semua transaksi impor, kecuali bagi barang-barang yang hanya dapat diimpor oleh perusahaan dagang negara, serta beras dan cambrics yang hanya boleh diimpor masing-masing oleh Jajasan Urusan Bahan Makanan (JUBM) dan Gabungan Koperesi Batik Indonesia (GKBI). Pada tahun 1960, kebijakan mengenai PUEKS dan PUIM dicabut dan diganti dengan kebijakan di bidang devis pada tanggal 24 Agustus 1960 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 32, No. 33, dan No. 34 Tahun 1960 tentang Penggunaan Mata Uang Rupiah dalam lalu lintas pembayaran luar negeri. Ekspor barang atas hasil bumi ke luar daerah pabean Indonesia dikenakan bea keluar sebesar Rp. 45 per USD 1. Sedangkan impor barang dibagi kedalam dua golongan barang yaitu barang penting bagi perekonomian Indonesia dan barang yang dibutuhkan pemerintah. Kedua barang tersebut mendapatkan jumlah TPI yang berbeda. Pemerintah mengumumkan peraturan baru dibidang devisa pada tanggal 5 Maret 1962. Pada saat itu tiap eksportir mendapat hak penggunaan valuta asing sebesar 15% dari Harga fob yang diberikan dalam bentuk Surat Izin Valuta Asing (SIVA)

dengan

jangka

waktu

penggunaan

selama

enam

bulan

setelah

pengeluarannya. Pada tanggal 20 Mei 1963 pemerintah mengumumkan peraturan Rendi Rudiana, 2012 Peranan Bank Indonesia Dalam Kehidupan Ekonomi : Indonesia Tahun 1953-1966 Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

136

baru di bidang ekspor, impor dan jasa. Kepada setiap eksportir diperkenankan menahan dan menggunakan sebebas-bebasnya 5% dari hasil fob ekspornya yang berarti tidak perlu menyerahkan bagian 5% tersebut kepada Dana Devisa. Dikeluarkannya kebijakan ini pun tidak mempengaruhi kenaikan nilai ekspor Indonesia karena nilai inflasi yang terlanjur mengalami hiperinflasi. Pada tanggal 27 Maret 1964, Pemerintah mengumumkan kembali peraturan baru mengenai ekspor, impor dan jasa. Nilai lawan rupiah terhadap valuta asing untuk ekspor ditentukan Rp. 250 per USD 1 yang disebut nilai transaksi (NT) yang dibayar untuk 100% hasil fob ekspor. Sedangkan pada tanggal 21 Desember 1965 berlaku peraturan baru dibidang ekspor dan impor. Hasil ekspor setelah dikurangi 5% untuk keperluan eksportir di luar negeri, dibayar sebesar Rp. 250 per USD 1 ditambah dengan premik ekspor sebesar Rp. 9.750 untuk tiap USD 1. Sedangkan mulai tanggal 11 Februari 1966 peraturan tersebut ditambah dengan ketentuan bahwa ekspor dibagi kedalam tiga golongan. Untuk besarnya devisa setiat golongan mendapatkan jumal yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan. Kebijakan mengenai ekspor yang dikeluarkan tahun 1964 ini tidak didukung pula oleh meningkatnya nilai ekspor Indonesia karena masalah gagal panen yang dihadapi oleh Indonesia tahun 1964 sehingga menurunkan nilai cadangan beras.


BAB IV BANK INDONESIA DAN PERKEMBANGAN EKONOMI INDONESIA TAHUN Bab ini merupakan interpretasi dari analisis fakta-fakta yang terkumpul

Recommend Documents