51
BAB IV INDUSTRI MOCI DAN PERUBAHAN SOSIAL-EKONOMI MASYARAKAT CIKOLE
Bab ini merupakan uraian analisis dari hasil penelitian di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi untuk memberikan gambaran umum mengenai perkembangan industri moci di Cikole selama 15 tahun (1990-2005) dengan melihat aspek modal, produksi, tenaga kerja dan pemasaran. Pembahasan pada bab ini terdiri dari beberapa sub bab, yakni (1) Kehidupan sosial – ekonomi masyarakat di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi. (2) Perkembangan industri moci di Cikole Kota Sukabumi pada periode 1990-2005, (3) Upaya yang dilakukan pengusaha dalam mengembangkan industri moci, (4) Kontribusi industri moci terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat Kota Sukabumi 1990-2005. Sub-sub judul tersebut kemudian dijabarkan menjadi beberapa bagian sehingga dapat memberikan gambaran yang menyeluruh. Pada bagian pertama akan dibahas mengenai kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Cikole yang di dalamnya dikaji tentang keadaan geografis dan administratif yang meliputi letak geografis, batas wilayah, luas wilayah serta hal-hal lainnya. Selain itu, akan diuraikan pula mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat diantaranya tingkat pendidikan, mata pencaharian, jumlah penduduk dan interaksi sosial.
51
52
Pembahasan kedua, menguraikan tentang gambaran umum industri moci cikole pada tahun 1990-2005 dengan memperhatikan beberapa aspek yang berkaitan erat dengan perkembangan industri seperti faktor permodalan yang mempengaruhi besar kecilnya perusahaan dan kapasitas produk yang dihasilkan, tenaga kerja sebagai salah satu sumber daya utama dalam perkembangan perusahaan, proses produksi dan proses pemasaran sebagai tahapan penyaluran produk yang dihasilkan agar sampai kepada konsumen. Pembahasan ketiga, menguraikan upaya yang dilakukan pengusaha industri moci di Kecamatan Cikole untuk mengembangkan, memajukan dan mempertahankan usahanya yang meliputi strategi, kreatifitas, motivasi, dan inovasi mereka dalam bekerja, khususnya pada tahun 1990-2005. Pembahasan keempat, adalah mengenai kontribusi industri moci terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kecamatan Cikole 1990-2005. Uraian yang terdapat dalam pembahasan ini adalah tingkat kesejahteraan masyarakat meliputi pendapatan pengusaha, upah pekerja, jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh masyarakat dengan keberadaan industri moci yang kemudian berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat setempat.
53
4.1 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kecamatan Cikole Kota Sukabumi 4.1.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Kajian mengenai keadaan geografis Kota Sukabumi diperlukan untuk memahami perkembangan industri moci di wilayah tersebut, dimana dari kajian ini kita dapat mengetahui bagaimana keadaan geografis tersebut berpengaruh terhadap keberadaan industri moci. Kota Sukabumi merupakan salah satu wilayah yang berstatus kotamadya di provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kota Sukabumi terletak pada 106º45’50” dan 106º45’10” Bujur Timur serta 6º49’29” dan 6º50’44” Lintang Selatan, terletak di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketinggiannya 584 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota Sukabumi 48,00231 Km persegi (Badan Pusat Statistik, Profil Kota Sukabumi tahun 2005) . Secara administratif wilayah Kota Sukabumi seluruhnya berbatasan dengan kabupaten Sukabumi yakni sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaat dan kecamatan Sukabumi Kabupaten Sukabumi, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi, sebelah barat berbatasan dengan Cisaat Kabupaten Sukabumi, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi (Badan Pusat Statistik, Profil Kota Sukabumi tahun 2005). Kota Sukabumi terdiri dari 5 kecamatan, dan pada tahun 2000 Kota Sukabumi mengalami pemekaran menjadi 7 kecamatan yaitu: Baros, Citamiang, Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembursitu, Cibeureum. Wilayah Sukabumi memiliki curah hujan yang cukup tinggi dan berudara
54
sejuk dengan ketinggian tempat antara 500 – 700 meter di atas permukaan laut dan terletak di kaki gunung sebelah selatan Gunung Gede-Pangrango sehingga hampir semua dataran yang ada diusahakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Namun udara sejuk Sukabumi sekarang sudah mulai terasa lebih gerah, karena laju pembangunan yang cukup pesat di kota Sukabumi dan sekitarnya yang mengalihfungsikan lahan bagi kehutanan, perkebunan dan pertanian menjadi tempat pemukiman, fasilitas umum, fasilitas komersial, industri dan sebagainya. Kota Sukabumi terhubung dengan jalur transportasi utama ketiga arah. Ke barat yaitu ke arah Cibadak, Bogor dan Jakarta. Ketimur yaitu menghubungkan dengan kota Cianjur dan Bandung. Serta keselatan yaitu ke wilayah Kabupaten Sukabumi, seperti Pelabuhan Ratu dan Surade. Di Kota Sukabumi juga tersedia Jalur kereta api, namun sudah tidak beroperasi lagi akibat kondisi rel yang rusak dan dalam perbaikan. Jika jalur kereta api diaktifkan lagi, maka sangat membantu mengurangi beban jalan raya yang cukup padat, terutama ke arah Bogor dan Jakarta. Sedangkan ke arah timur, bisa menghubungkan jalur kereta api antara Bogor dan Bandung. Untuk lebih jelasnya mengenai Kota Sukabumi dapat dilihat pada peta berikut:
55
Gambar 4.1
Peta Kota Sukabumi Sumber: Diolah dari http://www.sukabumikota.go.id/gis.asp tahun 2005. Kecamatan Cikole adalah salah satu kecamatan yang berada di Kota Sukabumi dan terletak ke arah Timur dan memiliki 6 kelurahan yakni Selabatu, Cikole, Gunung Parang, Kebonjati, Cisarua dan Subangjaya.
Luas wilayah
Kecamatan Cikole 708,280 Ha dengan batas sebelah selatan Kecamatan Citamiang, sebelah utara berbatasan dengan Desa Sukajaya Kecamatan Sukabumi, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gunung Puyuh.
56
Gambar 4.2
Peta Kecamatan Cikole Sumber: Diolah dari Kamtor Kecamatan Cikole. Tahun 2005. Kecamatan Cikole merupakan basis perekonomian rakyat dan usaha kecil serta rumah tangga. Salah satu industri rumah tangga yang berkembang di wilayah ini adalah industri moci yang menjadi fokus penelitian. Usaha industri moci merupakan jenis usaha turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut akan tercipta apabila pemilik usaha mampu untuk tetap eksis mempertahankan usahanya, sehingga pada perkembangannya industri ini dapat berkembang dengan maju pesat di Kecamatan Cikole, bahkan mampu menjadi trademark bagi Kota Sukabumi. Industri moci di Kecamatan Cikole tersebar di Kelurahan Cikole, Selabatu, dan Kebonjati. Kecamatan Cikole memiliki hawa yang sejuk, yang dimanfaatkan oleh masyarakatnya sebagai pertanian dan perkebunan. Salah satunya di Kecamatan
57
tersebut terdapat sumber daya alam berupa perkebunan bambu dan petani suji pandan. Masyarakat Cikole menjadikan bambu dan suji pandan sebagai sesuatu yang bernilai ekonomis yang dapat dijadikan sumber pendapatan. Hal ini menyebabkan di daerah tersebut banyak terdapat para pengrajin anyaman bambu dan petani suji pandan, yang secara tidak langsung mempengaruhi munculnya industri moci di Kecamatan Cikole. Melihat letak Kecamatan Cikole yang dilalui oleh jalan raya dan berada di pusat
kota
mendukung
kegiatan
ekonomi
masyarakat
terutama
bagi
perkembangan sektor industri, sehingga hasil-hasil produksinya dapat dipasarkan dengan lancar. Kondisi ini didukung pula oleh sarana transportasi yang cukup memadai selain karena daerahnya yang mudah dijangkau dari berbagai arah. Alat transportasi utama antar wilayah atau daerah adalah delman, ”ojek”, serta angkutan umum, sedangkan untuk transportasi jarak jauh menggunakan bus. Secara berpengaruh
tidak terhadap
langsung,
tersedianya
perkembangan
sarana
kehidupan
transportasi masyarakat.
tersebut Penduduk
Kecamatan Cikole dapat dengan mudah memperoleh pengaruh dari luar, apalagi letaknya berada di pusat kota. Pengaruh tersebut dapat pula dirasakan pada industri moci, karena daerah ini dapat dilalui oleh angkutan umum maka banyak orang mulai mengenal hasil produk industri moci di Cikole dan dengan mudah dapat memperolehnya, sehingga hasil dari industri moci ini memiliki nilai ekonomis (diperjualbelikan) bagi banyak orang.
58
4.1.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat kecamatan Cikole Kondisi kehidupan masyarakat Kecamatan Cikole yang akan penulis jelaskan ialah mengenai masalah kependudukan yang berkaitan dengan jumlah penduduk dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Penulis mengkaji kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Cikole meliputi jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan interaksi sosial. Pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah ditentukan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah jumlah dan kualitas penduduk atau sumber daya manusia yang dimilikinya. Suatu daerah yang memiliki kualitas sumber daya manusia yang memadai akan mengalami kemajuan yang cepat dan begitu pula sebaliknya. Pendapat ini didasarkan pada anggapan bahwa masyarakat dengan segala kemampuannya merupakan pelaksana pembangunan di daerahnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat statistik (BPS) Kota Sukabumi dapat dilihat perkembangan jumlah penduduk Kecamatan Cikole dari tahun 19902005 dalam tabel di bawah ini.
59
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Cikole Tahun 1990-2005 Tahun
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1990 15.806 16.917 32.723 1991 15.799 16.939 32.738 1992 15.743 16.859 32.602 1993 15.570 16.748 32.318 1994 15.419 16.712 32.131 1996 26.187 27.465 53.652 1997 26.609 27.925 54.534 1998 26.387 27.751 54.138 2000 26.007 27.487 53.494 2001 25.907 27.318 53.225 2002 26.554 27.580 54.134 2003 25.982 27.330 53.312 2004 26.112 27.420 53.532 2005 26.205 27.568 53.773 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Sukabumi Dalam Angka Tahun 1990-2005.
Dikarenakan keterbatasan sumber, maka data yang disajikan tidak berurutan berdasarkan tahun kajian. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui jumlah penduduk Kecamatan Cikole secara keseluruhan yang di dalamnya termasuk orang-orang produktif yang dapat dijadikan sumber tenaga kerja serta penduduk yang tidak produktif termasuk di dalamnya balita dan lansia. Perbandingan jumlah penduduk wanita dan laki-laki tidak jauh berbeda, namun secara kuantitatif jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan laki-laki. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang besar, sehingga dapat dijadikan sebagai modal sumber daya manusia dalam proses pembangunan Kecamatan Cikole. Akan tetapi, permasalahan yang kemudian muncul adalah apakah besarnya jumlah penduduk tersebut telah sesuai dengan keadaan Kecamatan Cikole dilihat dari berbagai aspek khususnya sosial dan ekonomi. Kebutuhan akan penyediaan
60
lapangan pekerjaan adalah hal utama yang harus lebih diperhatikan. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor dari munculnya industri moci di Kecamatan cikole di samping terdapat motivasi-motivasi lainnya. Selain mengembangkan industri moci, masyarakat Kecamatan Cikole memiliki mata pencaharian di bidang lainnya, diantaranya adalah petani, buruh, karyawan, pengrajin, pedagang, peternak, PNS dan lain sebagainya. Jumlah penduduk Kecamatan Cikole mengalami peningkatan drastis mulai tahun 1996, dikarenakan Kecamatan Cikole yang asalnya terdiri dari 4 kelurahan, pada tahun tersebut mengalami penambahan 2 kelurahan yakni Kelurahan Cisarua dan Kelurahan Subangjaya. Selain itu, karena adanya beberapa faktor seperti melahirkan dan warga pendatang dari daerah lain. Dalam bidang keagamaan, mayoritas masyarakat Kecamatan Cikole adalah pemeluk agama Islam. Berdasarkan data yang tersedia penganut agama Islam adalah 46.525 dari jumlah penduduk 53.773 (profil Kecamatan Cikole tahun 2005). Data tahun 2005 dapat mewakili bidang keagamaan di Kecamatan Cikole. Karena untuk tahun-tahun sebelumnya jumlah penganut agama Islam masih menjadi mayoritas utama masyarakat Kecamatan Cikole. Perkembangan suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh jumlah penduduk saja, akan tetapi juga oleh berbagai aspek diantaranya adalah pendidikan. Tingkat pendidikan suatu daerah sangat berpengaruh terhadap perkembangan daerah tersebut. Artinya kualitas sumber daya manusia sangat berperan penting dalam menciptakan kemajuan dan kesejahteraan suatu daerah. Manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan bermanfaat bagi manusia agar lebih
61
mengetahui dan mendalami segala aspek kehidupan ( Soekanto, 2005: 10). Dengan demikian, bahwa salah satu faktor yang menentukan keberhasilan program pembangunan suatu daerah adalah kualitas sumber daya manusianya yang berperan penting dalam menciptakan kemajuan suatu daerah. Oleh karena itu, pemerintah Kota Sukabumi berupaya meningkatkan pendidikan masyarakat dengan pembangunan sekolah-sekolah secara bertahap. Tersedianya sarana pendidikan tersebut secara langsung berpengaruh terhadap tingkat pendidikan masyarakat. Berikut adalah jumlah sekolah dan siswa di Kecamatan Cikole pada kurun waktu 1990-2005. Tabel 4.2 Perkembangan Jumlah Sekolah, Murid di Kecamatan Cikole tahun 1990-2005
Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1996 1997 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tingkat SD Unit Jumlah Sekolah Murid 38 22 22 37 37 44 44 41 42 42 42 42 42 42
6.524 6.736 6.509 6.451 6.387 7.225 7.005 7.152 7.716 7.732 7.785 7.662 7.591 7.572
Tingkat SMP Unit Jumlah Sekolah Murid 13 14 13 13 13 16 15 14 15 15 15 15 15 16
4.919 4.818 4.263 4.083 4.178 4.673 4.428 4.757 4.952 4.832 4.621 4.802 5.080 5.347
Tingkat SMU Unit Jumlah Sekolah Murid 8 8 9 8 7 8 8 8 8 8 8 8 8 8
3.562 3.451 4.060 2.543 3.317 3.307 3.316 3.326 3.309 3.370 3.542 4.137 4.502 4991
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Sukabumi Dalam Angka Tahun 19902005. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pada kurun waktu 19902005 masyarakat Kecamatan Cikole telah memiliki perhatian terhadap pendidikan, hal itu dapat dilihat dari perbedaan jumlah siswa setiap tahunnya
62
dalam jenjang pendidikan dari tingkat Dasar sampai tingkat Atas. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Cikole sudah mampu mengenyam pendidikan minimal sampai jenjang pendidikan sekolah dasar (SD). Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah murid dan lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah untuk jenjang sekolah Dasar. Penurunan jumlah siswa dari sekolah Dasar ke jenjang pendidikan lebih tinggi, menunjukan bahwa minat masyarakat untuk memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dapat dikatakan rendah. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor ekonomi dan cara pandang masyarakat sendiri. Masyarakat Kecamatan Cikole yang sudah dapat membaca, menulis dan berhitung dirasakan sudah cukup untuk bekal mendapatkan pekerjaan khususnya di industri moci untuk membantu orang tuanya meringankan beban ekonomi keluarga (Wawancara dengan E. Sulaeman, 2 Maret 2009). Faktor ekonomi merupakan hal utama yang mempengaruhi tingkat pendidikan di Kecamatan Cikole. Pada umumnya para orang tua menginginkan anaknya sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, namun mereka hanya mampu menyekolahkan anakanaknya sampai SD atau SMP. Hanya sedikit dari mereka yang mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Perkembangan pendidikan dalam suatu masyarakat akan mempengaruhi terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat yang berkecimpung dalam bidang industri pun pendidikan tidak kalah pentingnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Dharmawan (1986:19), bahwa: Sektor pendidikan memegang peranan pokok dalam perkembangan masyarakat industri, sebab masyarakat tersebut menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai fungsi yang terdapat di setiap bidang
63
kehidupan. Karenanya suatu sistem pendidikan yang utuh dan mantap sangat dibutuhkan. (Dharmawan, 1986:19). Hasil dari pendidikan diharapkan tidak sekedar hanya bisa membaca dan menulis, tetapi lebih dari itu seseorang diharapkan akan bertambah kepandaian, kecerdasan, kepribadiannya tumbuh berkembang dan mampu mengembangkan diri dengan masyarakat. Dengan pendidikanpun seseorang dapat mengembangkan potensi dirinya, hal ini berhubungan pula dengan lapangan pekerjaan yang akan dijalankannya. Jenjang pendidikan yang ditempuh oleh mayoritas penduduk Kecamatan Cikole sangat mempengaruhi kesempatan kerja yang akan dimasuki mereka. Mengingat jenjang pendidikan yang banyak ditempuh oleh masyarakat adalah sebatas SD-SMP, maka kesempatan kerja pun terbatas pada pekerjaan yang tidak memerlukan kualifikasi tingkat pendidikan yang khusus. Selain itu, tidak ada jaminan bagi mereka yang lulus SMP atau SMA bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan sesuai dengan jenjang pendidikan yang dimilikinya. Anggapan seperti ini mengakibatkan tidak banyak dari mereka yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas mendorong mereka untuk dapat menerima pekerjaan apa saja asalkan memperoleh penghasilan. Pada umumnya pekerjaan yang ditekuni adalah menjadi pekerja di industri kecil atau industri rumah tangga diantaranya industri moci, karena pekerjaan tesebut tidak memerlukan kualifikasi pendidikan tertentu. Hal terpenting yang diperlukan adalah keterampilan atau keahlian khusus yang diperoleh melalui proses pendidikan non-formal, yakni keterampilan yang
64
diperoleh dari orang tua. karena sebagian besar orang tua mereka bekerja pada industri tersebut. Para orang tua biasanya mengajarkan anak-anaknya bagaimana cara membuat moci. Terampil atau tidaknya seorang pekerja dalam membuat moci tidak ditentukan oleh jenjang pendidikan tertentu melainkan ditentukan oleh berapa lama mereka bekerja pada industri tersebut (wawancara dengan Nurmaninsih tanggal 5 Desember 2008). Berdasarkan kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara kuantitas jumlah penduduk di Kecamatan Cikole cukup besar akan tetapi secara kualitas sumber daya manusianya rendah apabila dilihat dari tingkat pendidikan. Hal ini akan mempengaruhi pada perkembangan usaha yang dikelola dan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompokkelompok manusia, maupun antara orang-orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2004: 61). Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa interaksi sosial merupakan bagian dalam kehiudupan sosial, yang terlihat dalam berbagai bentuk pergaulan seseorang dengan orang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, proses interaksi yang terjalin antara sesama warga masyarakat di Kecamatan Cikole didasarkan atas hubungan kekeluargaan, pekerjaan, dan gotong royong. Pada umumnya interaksi yang sering terjadi pada masyarakat Kecamatan Cikole adalah dengan orang-orang yang satu pekerjaan misalnya pada industri moci. Hal ini terjadi karena waktu mereka untuk berinteraksi lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang berbeda pekerjaannya karena sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk bekerja dari
65
sekitar pukul delapan pagi sampai empat sore atau diperkirakan sekitar delapan jam setiap harinya. Interaksi diantara warga setempat juga terlihat dalam kegiatan gotong royong yang biasa dilakukan masyarakat pada hari libur misalnya hari Minggu. Kegiatan gotong royong biasanya dilakukan dalam membersihkan lingkungan, membuat sarana peribadatan, membuat sarana umum seperti membangun pos ronda dan jalan- jalan gang kecil. Ketika diadakan kegiatan gotong royong biasanya antara satu masyarakat dengan yang lainnya saling tegur sapa, saling senda gurau yang merupakan pertanda keakraban dalam hubungan sosial mereka. Sistem gotong royong ini menciptakan tradisi saling ketergantungan dalam kehidupan bermasyarakat di Kecamatan Cikole dan selanjutnya dapat melahirkan suatu disiplin sosial yang biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk tradisi dan adat istiadat yang sangat dipatuhi oleh seluruh masyarakat.
4.1.3 Latar Belakang Berdirinya Industri Moci di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi Makanan ringan moci merupakan makanan khas yang menjadi primadona Kota Sukabumi, bahkan Sukabumi mendapat julukan sebagai Kota Moci, karena merupakan sentra industri kue moci. Salah satu daerah yang menjadi sentra industri ini ialah Kecamatan Cikole. Wilayah ini dapat dikatakan sebagai sentra industri makanan ringan moci karena daerah ini memang sudah lama terkenal sebagai
daerah
penghasil
makanan
ringan
moci
terbaik.
(http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0412/02/ekora/ 1382138.htm). Adapun pengertian sentra industri menurut Hasan (2002:18) adalah sebagai berikut:
66
a. Suatu daerah di mana terdapat agresi atau pengelompokan kegiatan-kegiatan produksi dari industri yang sejenis. b. Suatu daerah dimana terdapat pengelompokan kegiatan-kegiatan produksi dari industri yang bermacam-macam. c. Suatu daerah di mana terdapat pengelompokkan kegiatan berbagai jenis industri yang mempunyai kaitan yang erat satu sama lain. Industri moci ini dapat digolongkan sebagai industri kecil karena skalanya yang masih dalam lingkup skala yang kecil. Mengutip penjelasan Departemen Perindustrian RI dari buku yang ditulis Partomo dan Soejoedono (2004:14), bahwa: Departemen Perindustrian RI pada tahun 1983 membagi sektor industri dalam tiga kelompok. Pertama adalah kelompok industri dasar (basic industry), seperti metal kimia. Kedua adalah aneka industri yang menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan teknologi yang sifatnya tradisional atau yang sederhana. Kelompok ketiga ialah industri yang mempunyai investasi berupa aset tetap (fixed asset) kurang dari Rp. 70 juta di luar nilai tanah yang dikuasainya. (Partomo dan Soejoedono, 2004: 14). Selain itu, dengan mengacu pada pengertian industri kecil yang dikemukakan oleh Saripudin (2005:170), bahwa industri kecil ialah industriindustri yang mempergunakan modal kecil, dengan jumlah tenaga kerja yang umumnya kurang dari 50 orang, dan dengan teknologi yang masih sederhana. Dengan demikian industri moci dapat di golongkan kepada industri kecil karena jumlah modal yang kecil dan tenaga kerjanya yang sedikit dan juga teknologi yang digunakannya pun masih sangat sederhana. Sejarah berdirinya industri moci di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi berawal dari keinginan
seseorang untuk meningkatkan taraf perekonomian
67
keluarganya menjadi lebih baik. Seseorang sekaligus perintis tersebut adalah Dedi Kuswadi (Alm) yang mendirikan industri moci di Kecamatan Cikole pada tahun 1983. Sebelum mendirikan industri moci sebagai usahanya ia bekerja sebagai pegawai pemerintahan (PNS), (wawancara dengan Wanti, 20 Oktober 2008). Ketika menggeluti pekerjaan tersebut beliau sudah memiliki tingkat perekonomian yang cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Namun ketika beliau berteman dengan orang keturunan Cina yang memberikan resep pembuatan kue moci maka Dedi mulai tertarik dan menjadikan kue moci tersebut sebagai bisnisnya. Kue moci Dedi bermerk Lampion, pada awal kemunculannya rasa kue moci hanya satu yaitu kue moci tanpa isi atau yang dikenal dengan sebutan moci kiathong. Tujuan didirikannya industri moci tersebut adalah untuk melestarikan makanan khas Kota Sukabumi, mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin dan menciptakan lapangan pekerjaan khususnya masyarakat sekitar serta mensejahterakan para pekerja. Adapun visi dari industri ini adalah memuaskan konsumen melalui pelayanan dan kualitas produk yang diberikan. (hasil wawancara dengan Wanti, 20 Oktober 2008). Permulaan bisnis industri moci yang dilakukan oleh Dedi saat itu tidaklah mudah karena mayoritas masyarakat Sukabumi belum banyak yang mengetahui kue moci. Selain itu, bisnis kue moci Dedi harus bersaing dengan kue moci yang dihasilkan oleh warga keturunan Tionghoa. Namun Dedi tidak diam begitu saja, beliau mempromosikan kue moci dari mulut ke mulut ke masyarakat dan berbagai instansi pemerintahan khususnya tempat beliau bekerja. Usaha beliau tidak sia-sia karena pada tahun 1990, tempat usahanya didatangi oleh beberapa pejabat
68
pemerintah Kota Sukabumi yang sekaligus menyatakan bahwa kue moci adalah makanan khas Kota Sukabumi. Semenjak itu moci tersebar luas dan terkenal ke masyarakat sebagai makanan dan oleh-oleh khas Kota Sukabumi (wawancara dengan Nurmaninsih 20 Oktober 2008). Sejak saat itu, maka mulailah berkembang industri moci yang dirintis oleh Dedi, tepatnya berada di kaswari Desa Selabatu Cikole. Pada awal perkembanganya, industri moci tersebut dikelola secara kekeluargaan oleh semua anggota keluarga Dedi dan perkembangannya belum terlalu luas. Namun sekitar tahun 1990-an industri ini mulai menarik minat penduduk sekitar bahkan sampai ke luar daerah Cikole (Wawancara dengan Nurmaninsih dan Wanti tanggal 20 Oktober 2008). Suatu hal yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Dedi ternyata telah membawa perubahan yang besar dalam hidupnya. Kemunculan industri tersebut yang dirintis olehnya membawa daerahnya menjadi terkenal sebagai penghasil kue moci terbaik. Industri yang dikembangkan oleh Dedi telah membawa perubahan ekonomi bagi keluarganya dan masyarakat yang berada di sekitar Cikole. Kemunculan industri tersebut menjadi alternatif baru sebagai sumber pekerjaan bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Karena pada umumnya saat itu masyarakat memiliki pekerjaan tidak tentu (serabutan) dan bertani. Dengan semakin berkembangnya industri ini, maka semakin besar pula kesempatan kerja bagi masyarakat yang membutuhkan. Industri moci yang dimiliki oleh Dedi ini menerapkan sistem kerja yang tidak terlalu sulit. Pegawai yang ada di industri ini terdiri dari pekerja wanita dan laki-laki. Biasanya pekerja wanita bertugas sebagai pembentuk produk dan
69
pengemasan, sedangkan pekerja laki-laki bertugas sebagai pembuat adonan dan pengocek. Para pegawai tersebut diberikan fasilitas tempat tinggal sehingga pegawai yang bukan berasal dari cikole tidak mendapatkan kesulitan dalam memperoleh tempat tinggal. Seiring berjalannya waktu perkembangan industri moci memperlihatkan kemajuan yang cukup baik, keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada sektor pertanian dan serabutan. Keuntungan tersebut telah memotivasi sebagian masyarakat Cikole untuk beralih menjadi pekerja di industri moci ini. Bahkan ada juga beberapa masyarakat Cikole yang membuka usaha moci sendiri, dan mulai membuka
peluang
pekerjaan
bagi
masyarakatnya.
Hal
tersebut
tidak
dipermasalahkan oleh Dedi, karena beliau berpikir dengan semakin terbukanya kesempatan kerja bagi warga sekitar, maka akan terbantu pula sektor perekonomian masyarakat sekitarnya yang pada saat itu bekerja sebagai petani yang hanya mengandalkan pendapatan pada musim panen. (Hasil wawancara dengan Nurmaninsih, 20 Oktober 2008). Pemasarannya pun semakin luas yaitu ke daerah Cianjur, Bogor dan Bandung. Pemaparan di atas memperlihatkan bahwa latar belakang lahirnya industri moci di Cikole ini tidak lepas dari adanya keinginan Bapak Dedi untuk memperbaiki kehidupannya. Keinginan ini kemudian didukung oleh jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh masyarakat Kecamatan Cikole untuk tetap mempertahankan usahanya dan bersaing dengan produk makanan lainnya sehingga dapat bertahan sampai sekarang. Selain itu, didukung pula oleh faktor lingkungan, dimana di Kecamatan Cikole terdapat para pengrajin anyaman bambu
70
dan dengan mudah memperolehnya sehingga Bapak Dedi memanfaatkanya sebagai kemasan untuk kue moci.
4.2 Perkembangan Industri Moci di Cikole Kota Sukabumi Tahun 19902005 Seperti telah dijelaskan pada sub bab di atas bahwa pada awalnya industri moci di Cikole ini hanyalah sebuah industri yang dilaksanakan secara turun temurun yang dirintis pada tahun 1983 oleh Dedi Kuswadi. Pada saat itu industri moci di Cikole proses serta cara yang digunakan dalam mengolah moci pun masih tergolong sederhana, karena masih menggunakan tungku, namun setelah banyaknya permintaan terhadap moci, pengusaha beralih menggunakan kompor karena dirasa lebih cepat. Semenjak tahun 1990 masyarakat Sukabumi lebih kreatif dengan menambahkan kacang sebagai isi moci dan menambahkan berbagai rasa dan aroma yang masih bertahan sampai sekarang. Hal tersebut dilakukan karena banyaknya permintaan konsumen dan adanya perkembangan pasar. Modifikasi rasa dan aroma dilakukan dengan menambahkan lima rasa yaitu jahe, durian, suji pandan, strowberi, ketan hitam dan mocca sehingga konsumen bisa memilih rasa kue moci yang disukainya. Pada tahun tersebut industri moci di Cikole mengalami peningkatan yang cukup baik. Kue moci mulai dikenal sebagai makanan atau oleh-oleh khas Kota Sukabumi seiring dengan dikunjunginya industri moci Bapak Dedi oleh beberapa pejabat pemerintah Kota Sukabumi yang menyatakan bahwa moci adalah oleh-
71
oleh khas Kota Sukabumi. Dengan mulai dikenalnya moci sebagai makanan khas Kota Sukabumi mengakibatkan industri moci di Sukabumi semakin berkembang. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah industri yang bertambah, peningkatan jumlah produksi dan penyerapan jumlah tenaga kerja yang cukup banyak serta pemasaran yang semakin luas. (Wawancara dengan Jaja Zaenudin, 13 November 2008). Pada awal perkembangannya sekitar tahun 1990-an, industri moci ini dikelola secara kekeluargaan oleh semua anggota keluarga Dedi Kuswadi dan perkembangannya belum terlalu luas, yang kemudian akhirnya menarik minat dari penduduk sekitar bahkan sampai ke luar daerah Cikole diantaranya sagaranten, Jampang. Sekitar akhir tahun 1990-an, industri yang dikembangkan oleh Dedi Kuswadi telah membawa perubahan bagi keluarganya dan masyarakat yang berada di sekitarnya. Kemunculan industri ini menjadi alternatif baru sebagai sumber pekerjaan bagi masyarakat setempat, karena pada umumnya pada saat itu perekonomian masyarakat Cikole sangat tergantung pada sektor pertanian. Dengan semakin berkembangnya industri ini, maka semakin besar pula kesempatan kerja bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997, industri moci di Cikole turut terkena imbasnya dimana moci rasa jahe tidak diproduksi lagi karena terjadi inflasi harga yang menyebabkan harga jahe naik dan kesulitan dalam memperolehnya. Selain itu sama halnya dengan daun pandan/suji, penambahan rasa jahe juga membutuhkan waktu dan tenaga untuk memeras jahe tersebut, sedangkan untuk rasa yang lainnya hanya dengan menambahkan pasta
72
saja. Untuk aroma daun pandan/suji tetap diproduksi karena bahan bakunya diperoleh dari kebun pemilik dan tanpa menggunakan biaya. Yang menjadi ciri khas unggulan hasil industri moci di Cikole adalah rasanya yang beragam, tidak menggunakan bahan pengawet serta ukurannya lebih besar dibandingkan dengan moci-moci lainnya, yang hingga kini tetap dipertahankan bahkan semakin mengembangkan kreatifitas bentuk, rasa dan desain kemasan moci. Para pengusaha berusaha mempertahankan ciri khasnya tersebut, adalah sebagai salah satu bentuk usahanya untuk tetap mempertahankan serta melestarikan makanan khas lokal yang telah menjadi trademark Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil penelitian, pada umumnya masyarakat tetap menjadi konsumen moci karena rasa moci yang enak dan sesuai dengan selera konsumen (Hasil wawancara dengan Epih dan Soenar, tanggal 2 Maret 2009). Hal inilah yang menyebabkan moci tidak ditinggalkan oleh pelanggannya. Selain itu, kue moci mengandung suatu nilai filosofi yang melambangkan kesejahteraan dan keberkahan yang dipercayai oleh warga keturunan Tionghoa dan masyarakat pribumi di Sukabumi. Sehingga dengan melihat kondisi demikian, maka dapat dipastikan kue moci akan akan berkembang dan bertahan sampai beberapa tahun ke depan. Setelah mengalami pasang surut dalam perkembangannya, industri moci di Cikole mulai membangkitkan kembali eksistensinya pada tahun 2000. Hal tersebut ditandai dengan semakin banyaknya pengusaha moci dan kios-kios yang
73
menjual hasil industri moci di Cikole. Bahkan pada tahun tersebut mulai adanya perhatian dari pemerintah setempat. Pemerintah Daerah setempat menjadikan Cikole sebagai sentra penjualan moci unggulan sehingga pengusaha moci tidak lagi memasarkan moci ke luar daerah Sukabumi. Selain itu, pemerintah setempat melalui Deperindagkop dalam Proyek Pengembangan dan Pemberdayaan Industri Kecil melakukan pembinaan dan penyuluhan kepada para pengusaha industri moci mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh pengusaha seperti langkanya modal, pemasaran, inovasi dan teknologi. Selain itu, pemerintah setempat pun melakukan promosi. Hal tersebut dilakukan dengan cara mengikutsertakan para pengusaha industri moci dalam ajang-ajang pameran makanan khas daerah, diantaranya pada tahun 2000 sampai sekarang ajang-ajang promosi yang diikuti pengusaha adalah Pengenalan Pariwisata Daerah di TMII Jakarta, Cooperative Fair di Bandung, Mukernas (Musyawarah Kerja Nasional) Pemda Sukabumi, Sukabumi Economi Expo dan lain sebagainya. Dengan adanya ajang promosi tersebut industri moci di Cikole semakin dikenal luas oleh masyarakat. Bahkan ada beberapa pengusaha yang berhasil mendapatkan penghargaan dari pemerintah baik tingkat daerah maupun nasional, diantaranya dimulai pada tahun 1999 moci di Cikole mendapatkan piagam penghargaan dari Menteri Sosial Republik Indonesia sebagai Usaha Kesejahteraan Sosial
yang memberi kesempatan kerja bagi para penyandang
cacat, piagam penghargaan dari Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Sukabumi sebagai Pengusaha Kecil Kreatif, dan lain sebagainya.
74
Keterlibatan pemerintah daerah diakui oleh para pengusaha sangat penting karena dengan adanya pembinaan dari pemerintah daerah dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang berbagai macam masalah yang berkaitan dengan industri kecil salah satunya mengenai masalah modal, pemerintah daerah memberikan kesempatan bagi para pengusaha moci untuk meminjam modal apabila mengalami kekurangan modal hanya saja bantuan tersebut kurang dimanfaatkan oleh pengusaha moci karena berkaitan dengan banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh peminjaman (wawancara dengan Wanti, tanggal 20 oktober 2008). Belum adanya wadah yang menjembatani antara para pengusaha moci maupun antara tenaga kerjanya seperti Koperasi menyebabkan tidak adanya standar harga maupun standar kualitas produk. Selain itu, menyebabkan adanya sikap acuh antara pengusaha moci dan kurang diperhatikannya kesejahteraan tenaga kerja. Adapun perkembangan jumlah unit dan tenaga kerja industri moci di Kecamatan Cikole tahun 1990-2005 terdapat dalam tabel di bawah ini.
75
Tabel 4.3 Perkembangan jumlah produsen dan tenaga kerja moci di Kecamatan Cikole Kota Sukabumi 1990-2005 Klasfikasi Usaha Total Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja PenamUnit TK KeciKecilKecil- KecilKecilKecil- bahan Tahun Usaha TK Kecil Menengah Besar Kecil Menengah Besar 1990 1 14 1 14 1991 14 1992 14 1993 16 2 16 1994 16 1995 16 1996 1 1 4 8 12 3 28 1997 18 2 30 1998 1 5 10 7 4 37 1999 37 2000 1 1 7 12 20 21 6 58 2001 1 12 12 7 70 2002 -70 2003 70 2004 25 5 75 2005 29 4 79 Sumber: Deperindagkop Kota Sukabumi serta diolah dari data arsip yang ditemukan dilapangan dalam angka tahun 1990-2005. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah unit usaha industri moci dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini tentunya mempengaruhi jumlah tenaga kerja yang juga bertambah meskipun kurang signifikan. Kurun waktu 1983-1995 di Kecamatan Cikole hanya terdapat 1 produsen moci yaitu Lampion. Pada saat itu, industri moci Lampion yang didirikan oleh Dedi Kuswadi kewalahan menghadapi permintaan dari konsumen, sehingga menyebabkan menantu beliau yaitu Dedi Permana mendirikan industri moci yang lain. Bahkan adapula salah seorang pekerjanya yang juga mampu mendirikan industri moci sendiri (Wawancara dengan Dedi Permana dan Ujang
76
Sukarya pada tanggal 2 Maret 2009). Kemunculan industri moci Lampion memberikan inspirasi kepada masyarakat setempat dalam mendirikan sebuah usaha moci, hal ini terbukti di tahun 1996-2005 mulai bermunculan industriindustri moci baru. Peningkatan jumlah industri moci di Kecamatan Cikole mengalami kenaikan yang cukup lumayan pada tahun 2000, yaitu menjadi 6 perusahaan. Hal ini terjadi karena adanya pemulihan ekonomi pasca krisis ekonomi. Selain itu, dalam mendirikan usaha ini tidak memerlukan modal yang besar serta pengolahan mocipun dapat dilakukan di rumah karena proses pengolahannya tidak sulit. Demikian dalam hal jumlah tenaga kerja yang terserap tiap tahunnya mengalami peningkatan meskipun dalam jumlah kecil. Hal ini disebabkan industri moci merupakan industri kecil yang berbasis rumah tangga dan jumlah unit usaha moci yang sedikit sehingga tenaga kerja yang terserap pun terbatas. Industri moci di Cikole diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok industri kecil yaitu industri kecil-besar, industri kecil-menengah, dan industri kecil-kecil. Klasifikasi tersebut berdasarkan kriteria jumlah pekerja. Menurut BPS jumlah pekerja pada industri kecil paling sedikit 5 orang dan paling banyak 19 orang termasuk pengusaha. Sedangkan menurut Undang-undang N0. 9 tahun 1995, kriteria usaha kecil dilihat dari segi keuangan dan modal yang dimilikinya adalah memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha), atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 1 miliar/tahun. Mengacu pada pemaparan tersebut, penulis mengklasifikasikan bahwa industri kecil-kecil dengan jumlah tenaga kerja antara 4-7, industri kecil-
77
menengah dengan jumlah tenaga kerja antara 7-12, sedangkan industri kecil-besar dengan jumlah tenaga kerja 12-19 orang dengan hasil penjualan tidak lebih dari 1 miliar per tahun. Untuk mengetahui secara jelas mengenai perkembangan industri moci Cikole pada tahun 1990-2005, akan dijabarkan dalam sub bab bagian berikut yang dibagi dalam beberapa bagian yaitu segi pendapatan yang dijabarkan dalam faktor permodalan, jumlah tenaga kerja, proses produksi, dan pemasaran serta kemajuankemajuan lain yang terjadi pada periode 1990-2005.
4.2.1 Faktor Permodalan Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam setiap usaha, begitupun dalam bidang industri karena sangat mempengaruhi kelancaran produksi. Besar kecilnya sebuah usaha sangat ditentukan oleh jumlah modal yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Modal yang digunakan industri moci di Kecamatan Cikole dibagi menjadi dua yakni: a. Modal lancar, adalah modal yang diperlukan dalam kegiatan perusahaan sehari-hari. Modal ini diantaranya dipergunakan untuk pembelian bahan baku, konsumsi, dan gaji pegawai. b. Modal tetap, adalah modal yang dipakai dalam bentuk bangunan dan peralatan atau perlengkapan yang dipakai dalam perusahaan industri moci. Modal tetap yang digunakan untuk mendirikan industri moci di kecamatan Cikole terdiri dari peralatan. Alat-alat tersebut antara lain wajan, kompor, baki, alat pemotong, penggilingan kacang, timbangan, saringan, penumbuk, pengaduk, baskom, ember dan keranjang. Peralatan wajan, kompor, baki, alat pemotong,
78
penggilingan kacang merupakan peralatan utama yang diperlukan dalam memproduksi kue moci. Barang-barang tersebut merupakan modal yang penting dalam industri moci. Pada dasarnya semua peralatan di atas dimiliki oleh tiap-tiap industri moci di Kecamatan Cikole. Selain modal berupa alat-alat produksi di atas, modal yang diperlukan adalah modal dalam bentuk uang atau modal lancar yang digunakan untuk menyediakan bahan baku, gaji pekerja dan lain-lain. Modal dalam bentuk uang yang digunakan untuk menjalankan roda usaha bisa berasal dari modal sendiri atau modal yang berasal pinjaman dari Bank. Pada umumnya modal yang digunakan oleh industri kecil berasal dari modal sendiri (Hasan, 2002: 10). Hal tersebut juga terjadi pada industri moci di Cikole, ketika pertama kali mendirikan usahanya sebagian besar menggunakan modal sendiri atau keluarga. Pada umumnya modal yang dikeluarkan setiap industri moci di Cikole berbeda-beda, namun mengalami peningkatan tiap tahunnya. Adapun perkembangan rata-rata modal yang dikeluarkan pengusaha dalam satu kali produksi dapat dilihat dari tabel berikut ini.
79
Tabel 4.4 Rata-Rata Modal yang dikeluarkan dalam satu kali produksi Industri moci di Cikole Tahun 1990-2005 Klasifikasi Usaha Kecil-Kecil Kecil-Menengah Kecil-Besar 1990 Rp.40.000 1991 Rp.40.000 1992 Rp.50.000 1993 Rp.55.000 1994 Rp.60.000 1995 Rp.65.000 1996 Rp.25.000 Rp.50.000 Rp.70.000 1997 Rp.50.000 Rp.80.000 Rp.100.000 1998 Rp.70.000 Rp.100.000 Rp.150.000 1999 Rp.90.000 Rp.100.000 Rp.150.000 2000 Rp.100.000 Rp.100.000 Rp.150.000 2001 Rp.128.000 Rp.234.400 Rp.230.000 2002 Rp.130.000 Rp.234.400 Rp.314.100 2003 Rp.140.000 Rp.240.000 Rp.314.100 2004 Rp.150.000 Rp.250.000 Rp.320.000 2005 Rp.150.000 Rp.250.000 Rp.350.000 Sumber: Diolah berdasarkan hasil wawancara dengan wanti, U.Sukarya, Dedi Permana dan Jaja pada tanggal 25 maret 2009. Tahun
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa rata-rata modal yang dikeluarkan oleh pengusaha moci mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini dipengaruhi oleh naiknya harga-harga bahan baku moci dan meningkatnya permintaan terhadap moci. Rata-rata modal awal per satu kali produksi yang dikeluarkan pengusaha moci berskala kecil sebesar Rp.25.000, dan mengalami perkembangan modal dari tahun 1996-2005 sebesar Rp.50.000,-Rp.150.000, sehingga dari tahun tersebut pengusaha moci mendapatkan penambahan modal sebesar Rp.125.000. Sedangkan untuk industri moci berskala menengah, modal awal per satu kali produksi yang dikeluarkan sebesar Rp.50.000, yang mengalami perkembangan modal dari tahun 1996-2005 antara Rp80.000,- Rp.250.000,
80
sehingga dalam kurun waktu tersebut penambahan modal sebesar Rp.200.000. pengusaha moci dengan skala besar modal awal yang dikeluarkan sebesar Rp.40.000/satu kali produksi, dan mengalami perkembangan modal dari tahun 1990-2005 sebesar Rp.40.000,-Rp.350.000, sehingga memperoleh penambahan modal selama kurun waktu tersebut sebesar Rp.310.000,. Pada
kurun
waktu
1990-2005,
pengusaha
moci
kurang
begitu
mengandalkan bantuan dari pihak lain. Walaupun pada sekitar tahun 1990-an bantuan dari Pemerintah mulai ada, namun bantuan tersebut bukan bantuan langsung melainkan bantuan pinjaman dari berbagai instansi swasta dan Bank. Para pengusaha kurang begitu mengandalkan bantuan ini, karena bila mengandalkan bantuan pinjaman dari bank maka keuntungan yang diperoleh harus dipotong untuk membayar pinjaman beserta bunganya. Selain itu, banyaknya persyaratan yang harus ditempuh untuk memperoleh pinjaman membuat para pengusaha enggan memanfaatkan modal dari pihak bank. Sehingga usaha industri ini berkembang dengan mandiri. (Hasil wawancara dengan Dedi permana pada tanggal 25 Maret 2009). Jumlah industri moci di Cikole sekitar tahun 2005 sebanyak 7 perusahaan dengan skala permodalan yang berbeda. Perbedaan skala usaha diantara sesama pengusaha moci ini sudah tentu berpengaruh besar terhadap corak kesulitan yang dihadapinya. Untuk keperluan penelitian ini, penulis menyajikan perhitungan biaya produksi pada industri moci di Cikole berdasarkan klasifikasi modal, kelompok kecil Rp. 5000.000 – 15.000.000, kelompok menengah Rp.15.000.000
81
– 30,000.000,- dan kelompok usaha besar di atas Rp.30.000.000 – 100.000.000,seperti yang diuraikan pada tabel berikut. Tabel 4.5 Perhitungan Biaya Produksi Industri Moci di Cikole Tahun 2001/bulan Biaya Biaya Nama Klasifikasi Total Bahan Gaji Konsumsi pengusaha Usaha Produksi Baku Pekerja (Rp) (Rp) (Rp) (RP) Kelompok Ibu Wanti 26.384.400 224.000 8.900.000 35.508.400 Besar Dedi Kelompok 13.126.400 224.000 3.850.000 17.200.400 Permana Menengah Ujang Kelompok 3.586.500 224.000 2025.000 5.835.500 Sukarya Kecil Sumber : Diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Wanti, Dedi dan Ujang Sukarya pada tanggal 25 Maret 2009). Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa modal uang yang harus dimiliki pengusaha moci adalah untuk membeli bahan baku, biaya konsumsi dan gaji pekerja. Modal untuk membeli bahan baku tidak dikeluarkan dalam setiap proses produksi melainkan pada umumnya dikeluarkan setiap satu minggu atau bahkan satu bulan sekali. Dalam proses selanjutnya modal yang dikeluarkan hanya untuk upah dan biaya konsumsi pekerja saja. Selain itu, jumlah pekerja pada setiap kelompok besar biasanya berjumlah antara 12-28 orang, kelompok menengah 7-12 orang dan kelompok kecil 4-7 orang. Di samping itu, jika dilihat berdasarkan biaya untuk bahan baku, konsumsi, dan gaji pekerja, kelompok usaha besar mengeluarkan biaya yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok menengah dan kecil. Jumlah modal yang dikeluarkan oleh kelompok besar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok menengah dan kecil, maka jumlah keuntungan yang diperoleh pun jauh lebih besar. Keuntungan yang diperoleh seorang
82
pengusaha moci dapat dihitung dalam setiap produksi berdasarkan kapasitas jumlah produksi yang dibuat. Untuk lebih jelasnya penulis menampilkan perhitungan keuntungan industri moci pada tahun 2001 dalam tabel berikut. Tabel 4.6 Perhitungan Keuntungan yang Diperoleh Pengusaha Moci di Cikole pada Tahun 2001/bulan Pendapatan Keuntungan/ Klasifikasi Total Nama Harga Jumlah Pendapatan Usaha Pengusaha Barang Produksi/ Pendapatan Bersih Produksi bulan Kelompok Moci/besek 42.000 Ibu Wanti 67.200.000 31.691.600 Besar @ 1600 besek Bapak Dedi Kelompok Moci/besek 19.000 31.360.000 14.159.600 Permana Menengah @ 1600 besek Bapak Kelompok Moci/besek 9800 Ujang 15.680.000 9.844.500 Kecil @ 1600 besek Sukarya Sumber : Diolah berdasarkan hasil wawancara dengan Wanti, Dedi dan Ujang Sukarya pada tanggal 25 Maret 2009). Berdasarkan perhitungan pada tabel tersebut, industri Wanti dalam sehari melakukan tiga kali produksi menghasilkan 1500 besek, dalam satu kali produksi menghasilkan 500 besek sehingga dalam waktu sebulan menghasilkan 42.000 besek moci. Total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 35.508.400,- (berdasarkan tabel 4.5) untuk pembelian bahan baku dan sebagainya. Keuntungan yang diperoleh wanti Rp31.691.600.,- jauh lebih besar dibandingkan dengan Dedi dan U. Sukarya. Hal ini dikarenakan kapasitas produksi, jumlah modal, bahan baku, gaji, konsumsi dan jenis barang yang dihasilkan lebih besar. Industri moci milik Dedi Permana yang termasuk kelompok menengah, dalam sehari melakukan dua kali produksi menghasilkan 700 besek sehingga dalam sebulan menghasilkan 19000 besek. Total biaya yang dikeluarkan Rp.
83
17.200.400,- (tabel 4.5) untuk pembelian bahan baku dan sebagainya keuntungan yang diperoleh sebesar Rp. 14.159.600,-. Sedangkan industri moci milik U. Sukarya yang termasuk klompok kecil, dalam sehari melakukan produksi satu kali menghasilkan 200 besek sehingga dalam sebulan menghasilkan 9800 besek. Total biaya yang dikeluarkan Rp. 5.835.500,- (tabel 4.5) sehingga keuntungan yang diperoleh Rp. 9.844.500,- lebih kecil dari dua kelompok di atas. Keuntungan yang diperoleh ketiga pengusaha tersebut dijadikan tambahan modal. Jadi, pada dasarnya bantuan modal usaha para pengusaha moci di Cikole sebagian besar tidak didapatkan dari pemerintah, mereka menggunakan modal sendiri untuk mengembangkan usahanya. Meskipun demikian, keuntungan yang diperoleh pengusaha dapat dijadikan penambahan modal kembali.
4.2.2 Faktor Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan sumber daya utama dalam perkembangan sebuah industri. Maju mundurnya perusahaan ditentukan oleh baik buruknya tenaga kerja. Tenaga kerja yang terampil, berkualitas dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap perusahaan akan menjadikan perusahaan tersebut ke arah yang lebih baik. Sebelum munculnya industri moci sebagian masyarakat di Kecamatan Cikole bermata pencaharian sebagai petani dan serabutan. Keberadaan industri moci telah membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat sehingga masyarakat setempat memanfaatkanya sebagai lahan pekerjaan. Bahkan tidak sedikit tenaga kerja yang berasal dari luar Kecamatan Cikole bekerja pada industri
84
moci ini. Perekrutan tenaga kerja pada industri moci di Cikole sebagian besar berasal dari hubungan persaudaraan atau pihak keluarga dan sebagian lagi berasal masyarakat sekitar yang membutuhkan pekerjaan. Secara umum meskipun belum mempunyai keahlian dalam bidang tersebut, pengusaha memberi kesempatan pada mereka untuk belajar atau berlatih hingga mahir, biasanya pekerja baru dilatih oleh pekerja lama atau oleh pengusahanya dalam hal kegiatan produksi yang akan dilakukan. Namun pelatihan tersebut tidak membutuhkan waktu yang lama karena pekerjaan yang dilakukan cukup mudah. Pola pembagian kerja pada industri moci disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan saat produksi seperti pengadon/pengocek, pencetak dan pengemas serta bagian konsumsi. Secara umum pengadon dan pengocek dilakukan oleh laki-laki karena membutuhkan tenaga yang cukup kuat. Sedangkan untuk pembentuk produk dan pengemasan dilakukan oleh perempuan. Kegiatan proses produksi perusahaan dilakukan oleh semua pekerja secara bergantian sesuai dengan jadwal kegiatan yang telah ditetapkan oleh pengusaha. Namun, hal ini tidak berlaku untuk pekerja bagian pengadon dan konsumsi karena merupakan pekerja khusus yang menangani pekerjaan tersebut tapi turut juga membantu dalam pelaksanaan kegiatan lain seperti membentuk produk, pengemasan dan lain sebagainya. Pada umumnya industri moci di Cikole memiliki jumlah jam kerja tiap hari rata-rata delapan jam, yang dimulai dari pukul delapan pagi sampai empat sore dengan waktu istirahat satu jam yaitu dari pukul 12.00 WIB – 13.00 WIB. Waktu istirahat tersebut digunakan oleh pekerja untuk makan dan shalat. Namun
85
adakalanya jam kerja tersebut disesuaikan dengan banyaknya pesanan dan permintaan dari konsumen sehingga menyebabkan para pekerja harus lembur khususnya pada hari sabtu dan minggu dengan upah sebesar Rp.10.000,- per satu kali produksi setelah jam kerja usai (wawancara dengan E.Sulaeman, 5 April 2009). Para pekerja tersebut bekerja dari hari senin sampai hari minggu. Sistem kerja yang diterapkan oleh pengusaha tidak terlalu ketat/fleksibel. Hal tersebut terlihat pada saat jam kerja, pekerja bisa meninggalkan pekerjaannya jika ada kepentingan atau lainnya asal diizinkan oleh pemilik industri moci. Hal tersebut memperlihatkan adanya sifat kekeluargaan antara pekerja dan pengusaha yang menyebabkan hubungan yang terjalin baik dan adanya saling kepercayaan sehingga tidak menjadikan proses produksi terbengkalai. Namun demikian, para pekerja dituntut untuk disiplin dengan waktu yang telah dijadwalkan oleh pengusaha moci. Sistem penggajian yang diberikan pengusaha kepada pekerja berbeda-beda didasarkan pada bagian pekerjaan masing-masing. Selain gaji yang diberikan setiap minggunya, pengusaha juga menjamin pekerja dengan memberi jatah makan dua kali sehari. Khusus bagi pekerja yang melakukan pekerjaannya sampai lembur jatah makannya sebanyak tiga kali yang ditangani oleh pekerja bagian konsumsi dan memberikan fasilitas tempat tinggal bagi pekerja yang berasal dari luar daerah Cikole. Untuk mengetahui perkembangan upah yang diterima pekerja pada industri moci di Cikole, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
86
Tabel 4.7 Perkembangan Upah Pekerja Industri Moci di Cikole Tahun 1990-2005 Bagian Upah/bulan Pekerjaan 1990 1995 2000 2005 Pengocek dan 80.000 150.000 250.000 300.000 Pengadon Pembentuk Produk dan 65.000 100.000 200.000 250.000 Pengemasan Konsumsi dan 40.000 80.000 150.000 200.000 penunggu kios Sumber : Diolah berdasarkan wawancara dengan Wanti dan Nurmaninsih, 25 Maret 2009. Berdasarkan dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah upah yang diterima oleh pekerja berbeda sesuai dengan jenis pekerjaannya. Pembagian jenis pekerjaan pada setiap tenaga kerja berkaitan dengan sumber daya manusia dan keahlian yang dimilikinya karena hal tersebut menentukan jumlah penghasilan yang diperolehnya. Pekerja bagian pengadon dan pengocek mendapatkan upah yang lebih besar karena dalam proses ini sangat dibutuhkan tenaga yang kuat untuk mengocek dan tidak bisa sembarang pekerja yang melakukannya karena hasilnya akan menentukan kualitas kue moci. Berbeda dengan pekerja yang melakukan pembentuk produk dan pengemasan yang upahnya lebih kecil karena jenis pekerjaan tersebut tidak memerlukan keterampilan khusus dan tenaga yang besar. Adapun tenaga kerja yang terserap di industri moci dapat dilihat pada tabel 4.3. Ditinjau dari segi pendidikan, para pekerja yang bekerja di industri ini umumnya hanya merupakan tamatan SD sampai SMP. Dari segi usia para pekerja di industri moci sangat beragam, sekitar 20 – 45 tahun, diantara para pekerja tersebut ada pula pekerja yang usianya masih muda sekitar 13 – 17 tahun yang
87
ikut bekerja pada industri moci. Pekerja tersebut pada umumnya merupakan anak sekolah yang bekerja di luar waktu sekolah untuk membantu perekonomian keluarga. Selain itu, pekerja dibawah umur tersebut dimanfaatkan karena dapat dibayar murah, disamping sebagai transformasi keahlian membuat moci secara turun temurun. Pekerja tersebut merupakan pekerja tidak tetap pada industri moci di Kecamatan Cikole.
4.2.3 Proses Produksi Pada dasarnya faktor modal dan tenaga kerja dapat menentukan perkembangan suatu industri. Selain itu, faktor lain yang mendukung majunya suatu perusahaan dan merupakan bagian terpenting adalah proses produksi. Untuk perencanaan jumlah produksi pada industri moci di Cikole, pengusaha tidak melakukan perencanaan secara matang dalam melaksanakan kegiatannya terutama perencanaan jangka panjang. Dalam membuat rencana produksi pengusaha memperoleh informasi dari rata-rata penjualan setiap harinya kecuali ada pesanan yang datang dari konsumen. Adapunpun proses produksi dari pembuatan moci terbagi ke dalam beberapa tahapan, diantanranya sebagai berikut : 1. Pembuatan adonan dasar, pada proses ini pekerja mencampurkan bahanbahan menjadi satu adonan. Bahan-bahan tersebut adalah tepung ketan, garam, pasta, flavor dan air secukupnya. Kemudian bahan-bahan tersebut diaduk dan diuleni sampai rata. Adonan dasar yang telah diuleni dibagi menjadi beberapa bagian, kemudian dibentuk bulat pipih dan dimasukan ke dalam wajan yang berisi air mendidih. Perebusan dilakukan selama kurang
88
lebih
20
Menit
atau
sampai
adonan
tersebut
mengembang
dan
mengkilat.setelah itu adonan tersebut dipindahkan ke wajan lain untuk memisahkan air yang menempel pada adonan. 2. Pembuatan gula karamel, pada tahap ini, bahan lain seperti gula pasir dicampurkan dengan air secukupnya kemudian dimasak sampai mendidih hingga berwarna kecoklatan. Setelah itu, sedikit demi sedikit gula karamel tersebut dicampurkan ke dalam adonan dasar yang telah direbus tadi, kemudian diaduk sampai rata selama kurang lebih 30 Menit atau sampai adonan elastis atau mengkilat. 3. Proses penyangraian tepung tapioka, bahan lain seperti tepung tapioka disangrai dengan menggunakan wajan yang berukuran besar dengan kapasitas 10 Kg. Selama proses penyangraian dilakukan pengadukan untuk meratakan kematangan tepung. Lama penyangraian sekitar 15 Menit. 4. Proses pendinginan, setelah adonan tersebut siap kemudian diangkat dan diletakan pada baki yang telah ditaburi tepung tapioka yang telah disangrai untuk didinginkan. Proses pendinginan adonan dilakukan sekitar 1-3 jam. Pendinginan ini bertujuan untuk menurunkan suhu dari suhu panas akibat pemasakan ke suhu ruang untuk mendinginkan dan untuk mempermudah dalam pemotongan. 5. Pembuatan adonan isi moci, pada tahap ini bahan lain seperti kacang tanah disangrai dan dibuang kulitnya. Kemudian kacang tersebut dihancurkan dengan menggunakan alat penggiling. Setelah itu kacang yang sudah hancur disaring atau diayak kemudian dicampurkan dengan tepung gula dan flavor.
89
6. Pembentukan produk, adonan yang sudah didinginkan kemudian dipotongpotong berbentuk dadu berukuran sekitar 2,5 x 2,5 cm. Tiap potongan di isi dengan adonan kacang dan dibentuk bulat kemudian ditaburi dengan tepung tapioka yang sudah disangrai. 7. Pengemasan, tahap ini merupakan tahap akhir dalam proses produksi. Poses pengemasan masih dilakukan secara manual yaitu dengan menggunakan tangan. Kue moci dikemas dengan menggunakan keranjang besek yang terbuat dari bagian dalam bambu dengan ukuran panjang 8 cm, lebar 8 cm dan tinggi 5 cm sebelumnya di dalam keranjang tersebut telah diberi lapisan potongan kertas koran dan plastik tahan panas. Setiap keranjang besek diisi dengan 10 buah moci. Setelah keranjang di isi dan ditutup rapat kemudian diberi label moci dimana label tersebut bertuliskan merk moci dan gambar ciri dari perusahaan, daerah yang memproduksi, nomor izin dari Depkes RI, label halal, rasa moci, dan komposisi produk. Setelah pemberian label dilakukan maka selanjutnya keranjang besek yang berisi moci ditumpuk menjadi lima besek dan diikat, moci siap untuk dipasarkan.
90
Bagan 4.1 Proses Pengolahan Moci Adonan Dasar
Pembuatan Gula Karamel
Penyangraian Tepung Tapioka
Proses Pendinginan
Pembuatan Adonan Isi Moci
Pembentukan Produk
Pengemasan Proses pembuatan moci dalam satu kali produksi memerlukan waktu kurang lebih 4-5 jam. Sebelum melakukan kegiatan produksi, bahan-bahan tersebut terlebih dahulu ditimbang dengan menggunakan alat timbangan. Adapun komposisi atau berat bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi kue moci dalam satu kali produksi dapat dilihat pada tabel berikut.
91
Tabel 4.8 Komposisi dan Berat Bahan Pembuatan Moci untuk Satu Kali Produksi Klasifikasi usaha Harga No Komposisi satuan Kebutuhan Kebutuhan Kebutuhan Satuan (Rp) Kecil-Kecil Kecil Besar kecil-besar 1 Tepun Ketan 5000 5 8 9 Kg 2 Tepung Tapioka 2800 4 7 8 Kg 3 Tepung Gula 6500 1½ 2 3 Kg 4 Gula Pasir 5500 3 4 5 Kg 5 Kacang Tanah 5000 5 8 10 Kg 6 Pasta 2000 2 3 5 botol 7 Kertas koran 2000 ½ 1 1 Kg 8 Plastik tahan panas 18000 ½ ¼ 1 Kg 9 Tali rapia 11500 1 2 3 Bungkus 10 Kemasan 100 200 350 500 Besek 11 Label 27 200 350 500 Lembar 12 Minyak tanah 2900 4 5 7 Liter 13 garam 8 80 100 125 Gram Sumber : Diolah dari hasil wawancara dengan wanti, Usukarya, dan Dedi Permana tanggal 25 Maret 2009. Untuk satu kali berproduksi biasanya menghasilkan 5000 buah moci atau sama dengan 500 keranjang besek untuk yang berskala kecil-besar. Dalam sehari perusahaan wanti yang tergolong kedalam kelompok besar biasanya melakukan tiga kali produksi atau sama dengan 1500 keranjang besek untuk hari-hari biasa, sedangkan pada hari libur biasanya melakukan enam kali produksi atau sama dengan 3000 besek. Untuk perusahaan berskala menengah seperti Dedi Permana dalam satu kali produksi menghasilkan 350 besek dan dalam sehari melakukan dua kali produksi atau sama dengan 700 besek, sedangkan U. Sukarya yang tergolong kecil, dalam satu kali produksi menghasilkan 200 besek dan dalam sehari melakukan satu kali produksi sehingga jumlah yang dihasilkan sama. Kedua perusahaan tersebut melakukan penambahan produksi untuk hari-hari libur atau jika ada pesanan dari pelanggan.
92
Di Kota Sukabumi yang menjadi sentra kue moci, tidak hanya terdapat moci unggulan saja tetapi banyak juga kue-kue moci yang biasa dijajakan di terminal-terminal dan ukuranya lebih kecil yang tentu harganya lebih murah, oleh pengusaha moci di Cikole disebut moci palsu. Adanya moci-moci tersebut tidak menjadi kendala bagi para pengusaha moci di Cikole karena pada umumnya mereka sudah memiliki pelanggan yang setia yang lebih memilih kualitas kue moci. Selama kurun waktu 1990-2005 permintaan akan kue moci terus meningkat. Apalagi setelah adanya campur tangan dari Pemda setempat yang ikut mempromosikan kue moci. Pada tahun 1990-an sebelum adanya pembinaan dari Pemda, pengusaha moci mengaku dapat menjual hasil produksinya sekitar 200500 besek per hari namun setelah dilakukanya pembinaan dan promosi oleh Pemda pada tahun 2000-2005 para pengusaha moci mampu menjual 200-3000 besek per hari tergantung banyaknya modal yang dikeluarkan. Kondisi tersebut memberikan perkembangan yang cukup baik kepada industri moci dan memberikan dampak yang positif bagi masyarakat sekitar Cikole yang terlibat dalam industri moci. Adapun jumlah produksi moci/besek dalam satu kali produksi di Cikole pada tahun 1990-2005 mengalami peningkatan tiap tahunnya, dikarenakan jumlah permintaan terhadap moci yang semakin meningkat. Industri moci berskala besar menghasilkan kue moci antara 200-520/satu kali produksi. Sedangkan industri moci berskala menengah menghasilkan kue moci antara 220-380/satu kali produksi, dan industri moci berskala kecil dalam satu kali produksi menghasilkan
93
kue moci sebanyak 150-220/besek. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.9 Jumlah Produksi Moci/besek dalam satu kali produksi industri moci di Cikole tahun 1990-2005 Jumlah Moci/besek per satu kali produksi Tahun Kecil-kecil Kecil-Menengah Kecil Besar 1990 200 1991 200 1992 220 1993 220 1994 250 1995 300 1996 150 220 330 1997 170 300 350 1998 170 300 350 1999 170 300 400 2000 200 350 460 2001 200 350 500 2002 200 350 500 2003 210 350 500 2004 220 380 520 2005 220 380 520 Harga kue moci tiap tahunnya mengalami perubahan, hal ini di sesuaikan dengan harga-harga bahan pembuatan moci pada tahun tersebut. Puncak penjualan moci dalam setahun terjadi menjelang dan pasca hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Hal ini berhubungan dengan adanya kebiasaan pulang kampung dan juga halal bihalal sehingga umumnya konsumen ingin membawa moci sebagai panganan khas dari kota Sukabumi. Perkembangan harga moci dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
94
Tabel 4.10 Harga Rata-rata moci/besek Tahun Harga per besek 1990 Rp. 300,1995 Rp. 500,2000 Rp. 1600,2005 Rp. 2500,Sumber: Diolah berdasarkan Hasil wawancara dengan Wanti,tanggal 25 Maret 2009.
4.2.4 Pemasaran Pemasaran adalah proses akhir dalam sebuah industri, kegiatan pemasaran merupakan proses penyaluran hasil akhir produksi kepada distributor agar sampai kepada konsumen. Kegiatan pemasaran bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan barang atau jasa kepada konsumen. Pemasaran merupakan faktor yang menentukan keberhasilan dari sebuah industri, apabila pemasaran ini berjalan lancar dan hasil produksi diminati konsumen maka industri tersebut dapat dikatakan berhasil. Industri moci di Cikole Kota Sukabumi tergolong kedalam industri kecil. Pada tahun 1990-an distribusi industri moci di Cikole sudah mencapai Bogor, Cianjur, dan Bandung (wawancara dengan Nurmaninsih dan Wanti tanggal 25 Maret 2009). Pengusaha industri moci di Cikole, nampaknya harus mendorong dirinya untuk terus melakukan perbaikan dalam semua aspek kegiatan usahanya agar unit usaha yang dikelola dapat berjalan terus. Maju mundurnya suatu kegiatan usaha bukan hanya ditentukan oleh kualitas saja melainkan juga oleh kondisui pasar dan situasi pemasaran yang dihadapi. Kesulitan dalam pemasaran memang bisa
95
membuat jumlah produksi perusahaan banyak menganggur yang pada giliranya akan menyebabkan kerugian bagi para pengusaha moci. Pada awal kemunculannya hingga tahun 1990-an, Para pengusaha moci di Cikole memasarkan produknya ke luar kota seperti Bandung, Bogor dan Cianjur dengan cara menitipkan produknya ke toko-toko khusus penjualan oleh-oleh khas daerah sehingga pada saat itu sasaran pembeli utamanya adalah kaum pedagang. Secara sederhana pola pemasaran hasil produksi digambarkan melalui bagan sebagai berikut. Bagan 4.1 Proses Pemasaran tidak langsung Pengusaha moci
Pedagang/pengecer
Konsumen
Pada pola ini, pengusaha moci menyerahkan produknya pada pedagang untuk dijual. Hal ini memungkinkan interaksi antara pihak-pihak tersebut sehingga membuat harga jual lebih mahal karena telah melewati perantara sebelum akhirnya sampai pada konsumen. Dalam proses pembayaran pola ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena biasanya pedagang tidak membayar secara langsung melainkan setelah barang-barang terjual selama waktu yang telah ditentukan oleh kedua pihak tersebut. Namun semenjak terjadinya krisis ekonomi, para pengusaha moci beralih menggunakan pola pemasaran yang bersifat langsung. Hal ini didukung pula oleh Pemda setempat yang menjadikan daerah tersebut sebagai sentra jajanan oleh-oleh khas Kota Sukabumi sehingga membuat para pengusaha moci tidak lagi melakukan pemasaran ke luar daerah Sukabumi kecuali bila ada pesanan.
96
Pemasaran langsung dilakukan karena besarnya biaya pemasaran dan biaya pengiriman yang dikeluarkan oleh pengusaha. Selain itu juga sering terjadi produk sisa yang menyebabkan kerugian bagi pengusaha. Pola pemasaran secara langsung dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut. Bagan 4.2 Proses Pemasaran langsung
Pengusaha moci
Konsumen
Dengan sistem pemasaran langsung, memungkinkan konsumen datang langsung ke pabrik atau toko sehingga mendapatkan produk yang masih baru dan dapat bertahan dalam jangka waktu lima hari. Hal ini tentunya berbeda bila membeli ditoko/kios atau dari pedagang asongan yang kurang diketahui daya tahannya. Adapun harga yang diperoleh konsumen apabila membeli di toko/pabrik secara langsung tentu saja lebih murah jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan pada toko lain ataupun pedagang asongan. Dengan demikian, perusahaan ini sekarang memproduksi setiap hari terutama hari libur. Dari kedua pola pemasaran di atas, yang umumnya dilakukan oleh pengusaha moci di Kecamatan Cikole adalah pola yang kedua yakni pemasaran secara langsung. Pola ini dianggap lebih efektif oleh para pengusaha moci dalam memperoleh keuntungan karena tidak ada perantara dan keuntungan dapat langsung diterima oleh pemilik industri moci. Meskipun demikian masih ada juga yang menggunakan pola pemasaran yang pertama dengan alasan untuk memperkenalkan produknya agar dikenal masyarakat luas.
97
4.3 Usaha-usaha yang dilakukan Pengusaha Dalam Mengembangkan Industri Moci di Kecamatan Cikole Pada sub bab ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang ketiga, yaitu tentang upaya pengusaha industri moci dalam mengembangkan industrinya di Kecamatan Cikole serta erat kaitannya dengan jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh para pemilik usaha industri tersebut. Industri moci di Cikole merupakan industri kecil yang bersifat turun temurun yang mampu bersaing dan bertahan sampai sekarang ini. Kemampuan bertahan di sini diartikan sebagai kemampuan unit usaha untuk tetap bertahan dalam melaksanakan aktivitas produksi dan memperoleh penghasilan atau pendapatan dari kegiatan produksi tersebut. Para pengusaha industri moci pada umumnya tidak memiliki suatu upaya khusus yang direncanakan untuk kemajuan dan perkembangan industrinya. Mereka hanya melakukan upaya strategi berdasarkan intuisi atau kondisi yang dihadapinya. Hal tersebut disebabkan tidak adanya suatu organisasi baik formal maupun informal yang bisa menjadi wadah seperti koperasi bagi para pengusaha moci untuk mengembangkan usahanya. Usaha yang dilakukan oleh para pengusaha moci diantaranya adalah beradaptasi. Adaptasi adalah proses melakukan penyesuaian terhadap bisnis dan fokus strateginya (Susilo, 2008: 183). Para pengusaha berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap produknya sesuai dengan perkembangan zaman, permintaan pasar dan konsumen. Diantara penyesuaian yang dilakukan oleh para pengusaha adalah menghemat biaya dan melakukan perubahan komposisi bahan baku. Dengan kondisi tersebut pengusaha mampu meningkatkan
98
jumlah produksinya atau setidaknya mempertahankan tingkat produksi yang ada (wawancara dengan Dedi Permana tanggal 2 Maret 2009). Dalam permodalan, salah satu upaya yang dilakukan adalah memanfaatkan modal luar untuk mengembangkan usaha moci seperti yang dilakukan oleh Dedi Kuswadi. Pihak luar yang telah membantu perkembangan modal usaha Dedi Kuswadi
cukup
banyak.
Berdasarkan
modal
tersebut
beliau
mampu
mengembangkan usahanya sehingga akhirnya pinjaman dari luar tersebut dapat dilunasi. Adapun pihak luar yang telah bekerjasama membantu permodalan Bapak Dedi Kuswadi dapat dilihat dari tabel berikut. Tabel 4.11 Modal Luar yang Dimanfaatkan oleh Bapak Dedi Kuswadi 1995-2005 No Pihak Kerjasama Tahun Jumlah Keterangan 1 PT. Sucopindo 1995-2000 Rp.15.000.000,Lunas 2 Pos dan Giro dan PT. Telkom 2000-2003 Rp.35.000.000,Lunas 3 PT.PAN 2003-2004 Rp.15.000.000,Lunas 4 BRI 2005Rp.40.000.000,Lunas Sumber: Diolah berdasarkan hasil wawancara dengan wanti dan Nurmaninsih pada tanggal 25 Maret 2009. Berdasarkan tabel di atas, Dedi Kuswadi mulai memperoleh pinjaman pada tahun 1995. hal ini dikarenakan beliau memiliki keinginan untuk mendirikan sebuah kios tempat penjualan hasil produksinya yakni moci sehingga tempat penjualan tidak lagi dilakukan di dalam rumah melainkan terpisah sehingga penjualan moci dapat dilakukan secara efektif. Selain itu, dengan adanya kios tersebut Dedi Kuswadi tidak hanya berjualan moci saja tetapi juga berbagai macam makanan ringan lainnya seperti bangket sari jahe, simping, dodol, wajit, brownis dan lain-lain (Wawancara dengan Nurmaninsih, pada tanggal 2 Maret 2009). Dengan adanya penambahan dan perkembangan modal yang cukup
99
signifikan tersebut telah membuat industri yang dimilikinya berkembang pesat dan dapat mengungguli industri-industri moci lainnya di Kota Sukabumi. Meskipun demikian, pada umumnya para pengusaha yang memerlukan tambahan modal tidak menggunakan jasa lembaga keuangan bank atau lembaga non-bank lainnya dengan alasan rumitnya persyaratan dan tidak terpenuhinya syarat administrasi yang diperlukan. Oleh karena itu, modal yang mereka gunakan berasal dari modal sendiri atau keluarga. Masalah lainnya yang dihadapi oleh pengusaha moci adalah kelangkaan bahan baku dan meningkatnya harga bahan baku. Misalnya pada saat terjadinya krisis ekonomi, para pengusaha moci mengeluhkan harga jahe dan pandan suji yang melambung tinggi dan sulit untuk memperolehnya sehingga para pengusaha tidak lagi memproduksi kue moci rasa jahe. Sedangkan untuk pandan suji para pengusaha mampu mensiasatinya dengan cara menanam tanaman tersebut didekat pabriknya sehingga pengusaha tidak lagi merasa kesulitan dalam memperoleh bahan baku tersebut. Selain itu, untuk mensiasati harga-harga bahan baku moci yang tidak stabil pada umumnya para pengusaha moci melakukan pembelian bahan baku untuk beberapa kali produksi dengan demikian mereka memiliki stok yang cukup banyak untuk produksi selanjutnya (wawancara dengan Wanti dan E.Sulaeman pada tanggal 25 Maret 2009). Industri moci di Cikole dapat bertahan, tidak terlepas dari adanya para pengusaha yang kreatif dan inovatif dalam menuangkan pemikirannya. Salah satu strategi
yang dilakukan oleh para pengusaha industri moci di Cikole adalah
dengan melakukan tambahan isi di dalam moci yang asalnya moci tanpa isi
100
(kiathong) menjadi moci isi kacang. Selain itu, para pengusaha menambahkann aneka macam rasa dan aroma dalam kue moci yaitu rasa suji pandan, pisang ambon, strawberi, durian dan mocca. Hal tersebut merupakan strategi pengusaha moci untuk dapat bersaing dengan pengusaha moci lainnya karena pada umumnya produsen moci di luar Cikole hanya memproduksi dua macam rasa yakni suji pandan
dan
strawberi.
Selain
itu,
pengusaha
moci
di
Cikole
tetap
mempertahankan cara-cara yang diturunkan oleh keluarga dalam memproduksi kue moci dan menurunkannya kembali kepada anak-anak para pengusaha agar usaha tersebut dapat bertahan atau tetap eksis. Mereka menggunakan bahan baku yang berkualitas dengan tidak menggunakan bahan-bahan pengawet sehingga rasa kue moci yang diproduksi lebih enak dengan ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan produk yang dihasilkan oleh pesaing di luar Kecamatan Cikole. Selain itu, dalam penetapan harga pemilik perusahaan moci tidak memasang harga yang terlalu tinggi untuk ukuran produk sejenis, namun kualitas produk tetap dijaga. Karena sasaran pasar yang dituju adalah kalangan menengah ke atas. Harga kue moci pada tahun 2001 dijual sebesar Rp. 1600,- /besek untuk semua jenis rasa dan aroma. Satu besek berisi 10 buah moci tetapi penjualan biasanya dilakukan dengan paket lima besek yang telah diikat seharga Rp. 8000/ikat. Harga kue moci yang ditawarkan pengusaha di Cikole relatif murah dibandingkan dengan pesaing lainnya. Selain itu, Pemilik perusahaan biasanya memberikan bonus bagi konsumen yang membeli sebanyak dua ikat dan berlaku
101
untuk kelipatannya. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan konsumen yang berlangganan atau konsumen yang loyal terhadap perusahaan. Upaya pengusaha dalam memperkenalkan produknya dilakukan melalui media cetak, media elektronik dan promosi secara tidak langsung oleh konsumen. Pada awalnya promosi yang dilakukan adalah secara tidak langsung oleh konsumen melalui mulut ke mulut. Konsumen yang merasa puas dengan kue moci yang didapatkannya memberitahukan atau menginformasikan merk moci tersebut kepada konsumen lainnya. Namun seiring dengan perkembangannya, para pengusaha moci melakukan promosi yang lebih efektif yakni melalui media cetak dan media elektronik. Promosi melalui media cetak dilakukan pengusaha dengan cara memasang poster-poster iklan disepanjang jalan tempat usahanya. Sedangkan promosi media elektronik dilakukan melalui radio-radio lokal, TV lokal dan swasta. Selain strategi promosi di atas, keterlibatan Pemerintah daerah setempat sangat berarti bagi pengusaha moci sehingga pengusaha berupaya menjalin hubungan
baik
dengan
pemerintah
daerah.
Pemda
setempat
melalui
Deperindagkop dan Dinas Pariwisata dan Olahraga Kota Sukabumi, sering mengikutsertakan industri moci di Kecamatan Cikole dalam pameran-pameran produk daerah sehingga industri moci di Cikole semakin dikenal luas oleh masyarakat. Selain itu, upaya penyaluran produk langsung ke konsumen tidak menggunakan perantara pihak lain. Hal ini bertujuan agar
konsumen
mendapatkan harga beli yang lebih murah dibandingkan jika membeli di tokotoko pengecer lainnya dan mendapatkan produk yang masih baru karena masa
102
kadaluarsa moci yang pendek. Selain itu, pengusaha juga dapat menghemat biaya pengiriman dan potongan-potongan harga yang menjadi beban perusahaan apabila disalurkan kepada pihak lain sehingga para pengusaha moci dapat memperoleh keuntungan yang maksimal.
Penyaluran langsung dilakukan seiring dengan
adanya perhatian dari Pemerintah daerah setempat yang menjadikan daerah tersebut sebagai sentra jajanan oleh-oleh khas Kota Sukabumi yang menyebabkan para pengusaha moci tidak lagi melakukan pemasaran ke luar daerah Sukabumi kecuali bila ada pesanan. Keberhasilan industri moci untuk bersaing dan bertahan hingga sekarang tidak terlepas dari jiwa kewirausahaan dan kebutuhan akan keberhasilan (need for achievment) yang mereka miliki. Seperti yang dikemukakan oleh McClleland : Apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh seorang wirausahaan/ wiraswatawan adalah keinginan yang kuat untuk mencapai prestasi gemilang yang dikerjakannya melalui penampilan kerja yang baik, dengan selalu berfikir dan berusaha untuk menemukan cara-cara baru untuk memperbaiki kualitas kerja yang dicapainya. Inilah yang disebut McClleland sebagai motivasi berprestasi atau juga disebut kebutuhan berprestasi (Suwarsono dan Alvin 1991: 28). Jiwa motivasi berprestasi juga dimiliki oleh para pengusaha moci di Cikole yang mampu berespons secara kreatif dan inovatif, memiliki pandangan ke depan, dapat menanggapi situasi yang berubah-ubah, serta tahan terhadap situasi yang tidak menentu. Selain itu, mampu mengambil resiko, kegagalan tidak dijadikan sebagai penghambat namun sebagai motivasi untuk lebih baik lagi. Seperti Ibu Wanti yang hampir usahanya gulung tikar karena mengalami kerugian yakni hasil produknya tidak terjual. Akan tetapi hal tersebut tidak lantas membuatnya untuk berhenti berusaha, ia tetap melanjutkan usahanya sehingga
103
mampu bertahan sampai sekarang. Bahkan perusahaan Ibu Wanti berhasil meraih beberapa penghargaan dari Pemerintah. Tidak hanya hal tersebut di atas, jiwa kewirausahaan yang dimiliki pengusaha moci di Cikole memberikan efek sosial yakni mampu menyediakan alternatif pekerjaan bagi masyarakat yang tidak memiliki keterampilan dan pendidikan tinggi. Selain itu, secara tidak langsung mampu menjadikan daerahnya dikenal masyarakat luas yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi warganya dan sekaligus menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya dalam mendirikan usaha kue moci untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa keberhasilan industri moci di Cikole sangat ditentukan oleh jiwa kewirausahaan mereka yang memiliki motivasi untuk berprestasi.
4.4 Kontribusi dari Keberadaan Industri Moci di Cikole terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kota Sukabumi Sub bab ini merupakan jawaban dari pertanyaan penelitian yang terakhir mengenai kontribusi industri moci di Cikole terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kota Sukabumi. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Cikole Kota Sukabumi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri moci. Industri ini telah memberikan pengaruh yang beragam terhadap masyarakat Kota Sukabumi. Keadaan tersebut dapat dilihat dengan adanya perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Pada awal kemunculannya industri ini hanya digeluti oleh warga keturunan Cina, namun seiring dengan perkembangannya industri tersebut mampu menarik minat warga pribumi untuk menekuni usaha tersebut.
104
Sebagai bagian dari masyarakat industri, masyarakat Kecamatan Cikole Kota Sukabumi telah memiliki pandangan yang luas dalam menyikapi setiap perubahan yang terjadi. Perubahan dalam bidang sosial dan ekonomi menjadi suatu dinamika yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya. Berkembangnya industri moci di Cikole merupakan jalan bagi para pemilik usaha dan para tenaga kerjanya untuk meningkatkan taraf hidupnya dan sebagai mata pencaharian yang dapat menopang kebutuhan hidupnya. Berikut akan dipaparkan secara singkat tentang kontribusi dari industri moci di Cikole terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat.
4.4.1 Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Kecamatan Cikole Terlibatnya masyarakat Kecamatan Cikole dalam kegiatan industri moci telah memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakatya, sehingga penghasilan yang diperoleh dari industri moci dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari khususnya kebutuhan masyarakat Cikole yang terlibat langsung di industri moci tersebut. Tingkat kesejahteraan masyarakat Cikole dalam penelitian ini dijelaskan dengan melihat jumlah penghasilan yang diterima oleh masyarakat yang terlibat langsung dalam industri moci ini. Dalam hal ini yang dimaksud adalah para pengusaha moci dan pekerja yang terlibat dalam kegiatan industri moci di Kecamatan Cikole. Pada umumnya keuntungan dan upah yang diperoleh pemilik maupun pekerja dipergunakan untuk membeli bahan kebutuhan pokok bahkan sisanya dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Industri moci merupakan salah satu usaha yang cukup menjanjikan dengan keuntungan yang diperoleh jauh lebih
105
besar dibandingkan sebagai petani ataupun tukang ojek. Adapun harga-harga kebutuhan pokok di Kota Sukabumi akan diuraikan pada tabel di bawah ini. Tabel 4.12 Harga Rata-Rata Eceran Bahan Pokok di Sukabumi Tahun 1990-2005 Harga Komoditi Ikan Minyak Minyak Gula Sabun Garam Asin Goreng Tanah Pasir Cuci (Bata) (Kg) (Kg) (Kg) (Kg) (Batang) 1990 570 6000 1.500 250 1.100 25 400 1991 670 6.500 1.400 300 1.250 25 400 1992 613 5.975 2.100 300 1.300 50 400 1993 610 7.750 2.200 400 1.300 50 650 1994 950 9.400 2.400 400 1.300 50 550 1996 978 11.900 2.700 400 1.600 50 700 1997 1.325 12.175 3.050 400 1.600 50 700 1998 3.200 19.000 4.700 400 3.800 150 1.900 2000 2.500 12.500 3.300 550 3.600 200 1.650 2001 2.700 15.000 3.500 600 3.850 350 1.700 2002 2.850 18.000 3.800 1.700 4.200 600 1.850 2003 3.000 23.500 4.050 2.000 5000 900 2.000 2004 3.300 26.700 4.500 2.500 5.600 1000 2.200 2005 3.516 29.833 4.700 2.750 5.958 1.100 2.500 Sumber : Badan Pusat Statistik (Rata-rata harga sembilan bahan pokok harian menurut jenis barang di Kota Sukabumi Tahun 1990-2005). Tahun
Beras (Kg)
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tiap tahunnya harga tujuh bahan pokok di atas cenderung mengalami kenaikan, walaupun ada harga bahan pokok yang mengalami penurunan. Hal ini juga memberikan imbas terhadap upah yang diperoleh pegawai perusahaan industri moci. Artinya kenaikan tujuh bahan pokok juga mengakibatkan kenaikan upah pegawai secara berkala.
4.4.1.1 Tingkat Kesejahteraan Pengusaha Sejak awal berdirinya industri moci di Cikole memperlihatkan perkembangan yang cukup baik, hal tersebut terlihat dari luasnya pemasaran dan
106
jumlah produksi yang semakin meningkat. Tentunya hal tersebut berdampak pula pada keuntungan yang diperoleh para pengusaha industri moci. Para pengusaha industri moci di Cikole diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu kelompok besar, menengah, dan kecil berdasarkan klasifikasi modal dan tenaga kerja sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan mengenai pendapatan pengusaha pada industri moci di Cikole dengan mengambil tiga orang sampel, yakni satu orang pengusaha industri kelompok besar, satu orang yang termasuk kelompok menengah, dan satu orang termasuk kelompok kecil. Berikut adalah anggaran rumah tangga beberpa pengusaha moci di Cikole yang dijadikan sampel seperti diuraikan di bawah ini. Wanti adalah seorang pemilik industri moci di Cikole, pada tahun 2001 Wanti memperoleh keuntungan sebesar Rp. 31.691.600. Keuntungan yang diperoleh dapat langsung diterima oleh Wanti dengan catatan jika semua hasil produksinya laku terjual. Keuntungan tersebut salah satunya digunakan untuk menanggung biaya hidup keluarga yang terdiri dari 5 orang yakni 3 orang anaknya, ibu, dan adiknya. Untuk lebih jelasnya maka perincian anggaran rumah tangga keluarga Wanti adalah sebagai berikut : • Penghasilan satu bulan
Rp. 31.691.600
• Pengeluaran Beras untuk 6 orang 40 Kg x @ Rp. 2.700 = Rp.
108.000
Lauk Pauk
= Rp.
350.000
Biaya Sekolah* (3 orang)
= Rp.
400.000
Listrik
= Rp.
200.000
107
Biaya lain-lain*
= Rp.
100.000 + 1.158.000 –
Jumlah Pengeluaran
Rp.
Sisa
Rp. 305.33.600
Ket * Biaya sekolah SMP (2 orang) dan SD (1 orang). Biaya lain-lain (minyak goreng, minyak tanah, dan perlengkapan mandi).
Berdasarkan perincian tersebut diketahui bahwa wanti adalah seorang single parent yang memperoleh keuntungan cukup besar dari hasil usahanya. Sisa dari hasil penghasilan tersebut digunakan untuk modal proses produksi selanjutnya dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya misalnya biaya kesehatan, membeli pakaian, alat-alat rumah tangga, kegiatan sosial seperti melayat orang sakit dan meninggal serta pesta perkawinan ataupun lainnya. Dari penghasilan yang diperoleh Wanti mampu membeli barang mewah seperti mobil, motor dan barang-barang elektronik seperti komputer, TV, mesin cuci dan lain sebagainya (wawancara dengan Wanti, tanggal 6 Desember 2008). Selanjutnya Dedi Permana, yang tergolong ke dalam kelompok menengah. Keuntungan yang diperoleh Dedi Permana dalam setiap bulannya adalah sebesar Rp. 14.159.600 (tabel 4.6). Keuntungan yang diperoleh Dedi dapat langsung diterima dengan catatan jika hasil produknya laku dijual. Perincian anggaran rumah tangga Dedi Permana adalah sebagai berikut : • Penghasilan selama satu bulan
Rp. 14.159.600
• Pengeluaran Beras untuk 8 orang 50 Kg x @ Rp.2.700
= Rp
135.000
Lauk Pauk
= Rp
300.000
108
Biaya Sekolah* (2 orang)
= Rp
250.000
Listrik
= Rp
250.000
Biaya lain-lain*
= Rp
150.000 +
Jumlah Pengeluaran
Rp 10.85.000 –
Sisa
Rp.13.074.600
Ket * Biaya sekolah SMP dan SD Biaya lain-lain (minyak goreng, minyak tanah, dan perlengkapan mandi).
Keuntungan yang didapatkan dari usahanya dapat dikatakan cukup besar. Uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya yakni satu orang istri, dua orang anak, dua orang adik dan kedua orang tua serta kebutuhan lainnya. Sisa penghasilannya digunakan untuk biaya kesehatan, alatalat rumah tangga, membeli pakaian, kegiatan sosial seperti melayat orang sakit dan meninggal serta pesta perkawinan ataupun lainnya. Sisa dari penghasilannya juga digunakan untuk menambah modal dalam mengembangkan usahanya. Selain itu juga dari sisa penghasilanya Dedi mampu membeli sebuah mobil (wawancara dengan Dedi Permana, tanggal 5 Desember 2008). U. Sukarya yang termasuk ke dalam kelompok kecil dalam satu bulan mendapat keuntungan Rp.9.844.500. (tabel 4.6). Sama seperti Wanti dan Dedi keuntungan yang dapat diterima
langsung oleh U. Sukarya denga catatan
produknya laku dijual. Perincian anggaran rumah tangga U. Sukarya adalah sebagai berikut : •
Penghasilan selama satu bulan
•
Pengeluaran
Rp.9.844.500
109
Beras untuk 10 orang 60 Kg x @ Rp. 2.700 = Rp
162.000
Lauk Pauk
= Rp
350.000
Biaya Sekolah*(4 orang)
= Rp
500.000
Listrik
= Rp
200.000
Biaya Lain-lain
= Rp
200.000 +
Jumlah Pengeluaran
Rp. 1.412.000 –
Sisa
Rp 8.432.500
Ket * Biaya Sekolah 4 orang 1 orang SMA, 2 orang SMP dan 1 orang SD. Biaya lain-lain (minyak goreng, minyak taah, dan perlengkapan mandi).
Dari perincian di atas dapat diketahui bahwa sisa yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya yakni satu orang istri, dua orang anak, dua orang menantu, dan 4 orang cucu. Sisa uang tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya seperti membeli pakaian, biaya kesehatan, dan kegiatan sosial seperti melayat orang sakit dan sebagainya serta biaya-biaya tidak terduga lainnya. Selain itu, sisa tersebut digunakan untuk menambah modal dalam mengembangkan usahanya (wawancara dengan U. Sukarya dan Riki, tanggal 5 Desember 2008). Berdasarkan ketiga perincian pendapatan tersebut, dapat diketahui bahwa ketiga pengusaha moci ini memiliki keuntungan yang berbeda dari usahanya. Sebagian besar keuntunganya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Dengan demikian, ketiga pengusaha moci tersebut dapat dikatakan sejahtera dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan penghasilan yang diperoleh tersebut setiap pengusaha mampu memberikan kebutuhan konsumsi lebih baik
110
pada keluarganya, seperti telur, tempe, tahu dan daging. Selain itu, mereka juga dapat menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi seperti SMA. Adapun sisa dari penghasilan tersebut digunakan untuk mengembangkan usahanya. Di lain pihak, industri moci yang berkembang di Cikole telah memberikan pengaruh beragam kepada masyarakat di sekitarnya. Industri ini banyak mengalami proses penyesuaian dalam beberapa kegiatannya. Pada awalnya kegiatan yang dimulai dari proses produksi sampai pemasaran dilakukan oleh pengusaha. Selanjutnya terjadi perubahan yang dapat dilihat dari pembagian kerjanya yang disesuaikan dengan tahapan yang harus dilalui dalam proses produksi. Adanya pembagian kerja tersebut bertujuan untuk lebih memudahkan proses produksi menjadi lebih efektif dan efisien.
4.4.1.2 Tingkat Kesejahteraan Pekerja Selain pengusaha moci, dapat dilihat juga tingkat kesejahteraan para pekerja dalam kegiatan industri moci ini. Kesejahteraan para pekerja ini dapat diketahui dari jumlah upah yang diterima dari hasil industri moci. Para pekerja dalam industri moci ini diberikan upah yang berbeda sesuai dengan posisi yang mereka tempati serta jenis pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Posisi yang mereka tempati tersebut memiliki kesukaran yang berbeda. Upah yang diterima oleh pekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari antara lain membeli beras, lauk-pauk, dan lain-lain. Untuk melihat tingkat kesejahteraan pekerja pada industri moci, penulis akan menggunakan UMR (Upah Minimum Regional) yang diterapkan pemerintah
111
Jawa Barat yang meliputi Kota Sukabumi pada tahun 2001 yaitu Rp.200.000 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1997/Kep Menteri TK/KEP20/MEN/2001.
Penulis akan mengambil 3 orang pekerja
sebagai sampel
berdasarkan jenis pekerjaanya. Besar upah yang diterima dalam sebulan bisa bertambah sesuai dengan produk yang dihasilkanya. Berikut ini akan disajikan upah rata-rata pekerja dalam satu bulan berdasarkan jenis pekerjaannya. Tabel 4.13 Daftar Pekerja dan Rata-Rata Upah Per Bulan di Industri Moci di Cikole Tahun 2001 Jumlah Nama Jenis Pekerjaan Upah/Bulan Rp 250.000 Rohmat Kurniawan Pengocek/Pengadon E. Sulaeman
Pembentuk produk dan Pengemasan
Rp 200.000
Rp 150.000 Ibu Nanti Konsumsi Sumber : Diolah berdasarkan wawancara dengan Rohmat, E. Sulaeman dan Nanti, 25 Maret 2009. Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa upah yang diterima oleh pekerja pada umumnya mencapai Rp.150.000 – Rp. 250.000 per bulan, upah tersebut merupakan upah tetap yang diterima oleh pekerja setiap bulanya dan dapat bertambah apabila pekerja melakukan kerja lembur. Perbedaan pendapatan pada pekerja tersebut dikarenakan beberapa hal, seperti faktor keahlian atau senioritas, faktor jenis pekerjaan dan sebagainya. Apabila melihat upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah, maka upah yang diterima oleh pekerja industri moci dapat dibedakan menjadi dua yaitu berada di atas upah minimum dan berada di bawah upah minimum. Hal ini sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan para pekerja. Pada kenyataannya, jumlah upah tersebut tergantung
112
dari pola hidup dan jumlah tanggungan keluarga. Berikut ini akan diuraikan mengenai anggaran rumah tangga pekerja pada industri moci selama satu bulan. Rohmat Kurniawan yang bekerja sebagai pengadon/pengocek pada industri moci diberikan upah Rp.250.000,-/bulan. Upah tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari satu orang istri dan dua orang anak. Perincian anggaran rumah tangga bapak rohmat adalah sebagai berikut : •
Penghasilan satu bulan
•
Pengeluaran
Rp. 250.000
Beras untuk 4 orang 25 Kg x @ Rp.2.700
= Rp
67.500
Lauk Pauk
= Rp
70.000
Biaya sekolah SPP (1 0rang SD)
= Rp
8.000
Listrik
= Rp
15.000
Biaya lain-lain*
= Rp
20.000 +
Jumlah Pengeluaran
Rp 180.000 –
Sisa
Rp
70.000
Ket * Biaya lain-lain (minyak goreng, minyak tanah, dan perlengkapan mandi). Dari perincian tersebut upah yang diperoleh Rohmat Kurniawan dapat dikatakan sejahtera karena dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sisa uang yang ada dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti membeli pakaian, tabungan, biaya kesehatan dan biaya tak terduga lainnya (wawancara dengan Rohmat Kurniawa tanggal 6 Desember 2008). E. Sulaeman yang bekerja sebagai pencetak dan pengemas mendapatkan upah Rp.200.000/bulan. Dari hasil kerjanya E. Sulaeman yang hanya tamatan SD,
113
mampu menyekolahkan anaknya ke jenjang SMA. E. Sulaeman tidak memiliki usaha sampingan tetapi istrinya juga memiliki pekerjaan yang sama yakni sebagai pencetak dan pengemas di industri moci yang memperoleh upah yang sama dengan suaminya. Perincian pengeluaran biaya hidup per bulan keluarga E. Sulaeman adalah sebagai berikut : •
Penghasilan selama satu bulan
•
Pengeluaran
Rp
Beras untuk 3 orang 15 Kg x @ Rp.2700 = Rp
40500
Lauk Pauk
= Rp
70.000
Biaya Sekolah SPP (1 orang SMA)
= Rp
30.000
Listrik
= Rp
10.000
Biaya Lain-lain*
= Rp
20.000 +
400.000
Jumlah Pengeluaran
Rp
170.500 –
Sisa
Rp
229.500
Ket * Biaya lain-lain (minyak goreng, minyak tanah, dan perlengkapan mandi). Berdasarkan perincian tersebut dapat diketahui bahwa jumlah uang bekerja E. Sulaeman beserta istri jauh berada di atas UMR. Sisa uang yang diperoleh dapat mereka gunakan untuk kebutuhan lainnya dan biaya tidak terduga lainnya. Dengan sisa uang yang seperti di atas, E. Sulaeman lebih cenderung memanfaatkan uang tersebut untuk ditabung yang sewaktu-waktu dipergunakan untuk kebutuhan lainnya (wawancara dengan E. Sulaeman dan Lalan tanggal 5 Desember 2008).
114
Nanti yang bekerja dibagian konsumsi dan sekaligus menunggu kios diberikan upah Rp.150.000,-/bulan. Upah tersebut setelah digabungkan dengan penghasilan suaminya sebagai tukang ojek menjadi Rp.350.000,-/bulan. Uang tersebut digunakan untuk menanggung keluarga yang berjumlah tiga orang (suami, istri, dan seorang anak). Perincian dari anggaran rumah tangga Nanti adalah sebagai berikut : •
Penghasilan satu bulan
•
Pengeluaran
Rp 350.000
Beras untuk 3 orang 20 Kg/bulan x @ Rp.2.700 = Rp 54.000 Lauk Pauk
= Rp 80.000
Biaya Sekolah
=
Listrik
= Rp 25.000
Biaya lain-lain*
= Rp 30.000 +
-
Jumlah Pengeluaran
Rp 189.000 –
Sisa
Rp 161.000
Ket * Biaya lain-lain (minyak goreng, minyak tanah, dan perlengkapan mandi). Jumlah uang yang diterima oleh Nanti dari perusahaan tersebut masih di bawah UMR, namun demikian jika digabungkan dengan penghasilan suaminya dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, Nanti belum menanggung biaya pendidikan anaknya karena masih Balita. Sisanya dari penghasilan mereka berdua dapat digunakan untuk keperluan lainnya dan digunakan untuk biaya-biaya tak terduga (wawancara dengan Nanti, tanggal 5 Desember 2008).
115
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa para pekerja yang menekuni industri moci memiliki tingkat pendapatan yang cukup walaupun masih ada yang di bawah rata-rata minimal. Pada dasarnya upah yang mereka terima digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yakni beras, lauk pauk, listrik dan biaya sekolah anaknya. Untuk patokan konsumsi lauk pauk, kebutuhan minimalnya adalah berupa ikan asin, tahu, tempe, telur dan sayuran. Pada awal minggu ketika mereka pertama menerima upah dapat menambah lauk pauk yakni ikan atau daging. Kondisi tersebut menandakan bahwa pemenuhan gizi para pekerja dan keluarga mencukupi dikarenakan penghasilan yang cukup meskipun dengan kapasitas terbatas. Upah yang pekerja terima meskipun telah memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi mereka harus mampu mengatur penghasilannya dengan baik sehingga kebutuhan hidupnya terpenuhi. Selain itu pekerja industri moci dapat memenuhi kebutuhan hidupnya apabila tidak semata-mata menekankan pada penghasilan sebagai buruh industri moci saja melainkan memiliki usaha sampingan lainnya seperti menjadi tukang bubur atau lainnya. Kesejahteraan para pekerja tersebut juga ditentukan oleh sedikit banyaknya jumlah tanggungan keluarga dan gaya hidup mereka seperi boros, hemat, mewah atau sederhana. Dari gambaran upah pekerja dan penghasilan pengusaha moci di atas, dapat terlihat kesejahteraan hidup para pengusaha dan pekerjanya dilihat dari gaya hidup dan pendidikan yang telah dibahas sebelumya serta kondisi fisik bangunan tempat tinggal mereka. Untuk melihat kondisi fisik bangunan, terdapat perbedaan antara pemilik dan pekerja. Dari hasil penelitian dapat digambarkan bahwa
116
bangunan rumah para pemilik moci seperti Wanti, Dedi Permana dan U. Sukarya dapat dikatakan sejahtera, didirikan di atas tanah yang cukup luas dan bangunan yang mewah dilengkapi dengan kendaraan bermotor dan mobil. Sedangkan jika melihat kesejahteraan hidup pekerja, secara umum mencerminkan sarana yang bersahaja. Rumah-rumah mereka pada umumnya dibangun secara sederhana. Sadar akan rendahnya kesejahteraan para pekerja, pihak pengusaha moci mencoba membantu meringankan beban hidupnya yaitu dengan cara memberikan fasilitas
berupa
konsumsi
dan
tunjangan
hari
raya
(THR)
sebesar
Rp.150.000/orang. Konsumsi diberikan pada saat para pegawai bekerja di industri moci, mereka diberikan jatah konsumsi sehari sebanyak dua kali. Sedangkan untuk tunjangan hari raya para pekerja memperoleh uang tiap hari raya yang tidak menentu jumlahnya ditambah hadiah lainnya seperi kue atau sarung atau baju koko dan lain sebagainya. Para pengusaha juga menyediakan fasilitas tempat tinggal berupa kamar-kamar bagi pekerja yang membutuhkan dan biasanya ditempati oleh pekerja yang berasal di luar Cikole. Tingkat pendapatan yang diperoleh di industri moci relatif cukup, para pekerja cenderung tetap bertahan bekerja di industri tersebut. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa mereka tidak mempunyai keterampilan lain yang mendukung untuk mencari pekerjaan baru. Kondisi ini bukan berarti menunjukan bahwa etos kerja para pekerja ini rendah namun lebih dipengaruhi oleh adanya keterbatasan dalam peluang kerja dan pendidikan yang dikenyam rendah. Berdasarkan pemaparan di atas, memperlihatkan tingkat kesejahteraan yang ditunjang oleh beberapa fasilitas yang terdapat dalam industri moci di Cikole
117
menunjukkan gambaran yang cukup baik. Selain itu, terdapat perbedaan antara pengusaha dan pekerja jika dilihat dalam satus sosial ekonomi. Adanya perbedaan ini menimbulkan setiap orang harus berusaha dan bekerja keras mencapai kedudukan yang lebih tinggi dengan meningkatkan kinerja dalam bekerja. Warga masyarakat menginginkan perubahan ke status sosial ke arah yang lebih baik yang dinilai sebagian besar masyarakat berdasarkan atas prestasi dan kekayaan yang dimiliki. Adanya perbedaan status sosial tersebut tidak memicu konflik karena setiap warga memiliki sikap saling menghormati dan menghargai diantara sesama.
4.4.2
Dampak Keberadaan Industri Moci terhadap kehidupan Sosial Masyarakat Cikole
Kehidupan sosial masyarakat Kecamatan Cikole tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri moci. Industri moci telah membawa perubahan yang tidak terlalu signifikan bagi kehidupan masyarakat Kecamatan cikole, khususnya masayarakat di sekitar industri moci baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan dalam pekerjaan dari sektor pertanian ataupun serabutan ke industri moci berpengaruh terhadap sistem kerja dan penghasilan yang diperoleh. Masayarakat Kecamatan Cikole yang bekerja di industri moci memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik dibanding buruh tani yang mendapatkan penghasilan pada waktu panen ataupun serabutan yang memperoleh penghasilan tidak menentu.
118
Ketika masih menjadi buruh tani ataupun serabutan, para pekerja dapat bekerja sesuka hati tidak ada penentuan jam kerja bgegitupun dengan penghasilan yang diperoleh tidak menentu sehingga penggunaannya harus dihemat dan diatur sebaik mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kondisi ini berbeda ketika mereka sudah menjadi pekerja di industri moci yang menuntut pekerja harus disiplin karena adanya penentuan jam kerja dan mendapat upah tiap minggunya. Dengan penghasilan yang menentu tiap minggunya membuat para pekerja merasa lebih bebas mempergunakannya bahkan untuk membeli barangbarang sekunder sekalipun. Sikap mereka didasari oleh anggapan bahwa minggu depan mereka juga akan mendapatkan upah lagi. Dengan demikian, terlihat ada perubahan dalam cara mereka mempergunakan penghasilan mereka. Perubahan dalam gaya hidup dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain dapat dilihat dari bentuk rumah tinggal serta penggunaan peralatan rumah tangga yang lebih lengkap dan penggunaan alat-alat elektronik seperti televisi, radio, kipas angin dan sebagainya. Aspek lainnya adalah dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi makanan sehari-hari, terutama lauk pauk yang lebih beragam dibanding sebelumnya (hasil wawancara dengan E.Sulaeman tanggal 2 Maret 2009). Mereka dapat membeli daging ataupun ikan pada saat mereka menerima upah. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan kebutuhan gizi para pekerja beserta keluarga sudah dapat dikatakan cukup memenuhi. Kehidupan
ekonomi
seseorang
dalam
masyarakat
juga
turut
mempengaruhi kehidupan sosial yang dijalaninya. Pada masyarakat Kecamatan Cikole yang bermata pencaharian dalam sektor industri moci terdapat hubungan
119
yang berdasarkan kepemilikan kekayaan antara pengusaha dan pekerja. Penghasilan pengusaha jauh lebih besar dibandingkan pekerja, maka kehidupan sosial diantara keduanya pun sangat berbeda. Hal tersebut dapat dilihat dari tempat tinggal yang dimiliki oleh pengusaha yang jauh lebih besar dan permanen dibandingkan dengan rumah tinggal pekerja yang lebih kecil dan sederhana. Selain itu dengan keuntungan yang diperoleh pengusaha telah mampu membeli barang mewah seperi mobil. Berbeda dengan para pekerja yang berpenghasilan jauh lebih kecil hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari ditambah biaya pendidikan dan kesehatan. Adanya perbedaan ini mendorong masyarakat untuk bekerja keras dan berusaha mencapai kedudukan yang lebih tinggi dengan meningkatkan kinerja dalam bekerja. Perubahan lain yang terjadi dengan adanya ondustri moci adalah ditingkat pendidikan. Masayarakat Kecamatan Cikole yang terlibat dalam industri moci telah mampu memberikan penmdidikan kepada anak-anaknya minimal sampai pendidikan menengah pertama. Adanya kesadaran untuk memberikan pendidikan yang lebih baik kepada generasi penerus ini, disebabkan karena masyarakat telah memiliki pandangan mengenai pentingnya pendidikan agar dapat memperbaiki kehidupan menjadi lebih baik lagi. Meskipun tidak semua buruh industri moci ini mampu memberikan pendidikan sampai tingkat atas kepada anak-anaknya, namun mereka memiliki keinginan agar anaknya mengenyam pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pendidikan orang tuanya. Perkembangan industri moci telah menarik masuknya masyarakat dari luar daerah untuk bekerja di industri tersebut. Para pendatang tersebut antara lain
120
berasal dari luar Kecamatan Cikole seperti dari Kecamatan Citamiang dan Kabupaten Sukabumi seperti Sagaranten, misalnya Lalan yang berasal dari Sagaranten (wawancara dengan Lalan tanggal 2 Maret 2009). Warga pendatang tersebut dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat Cikole. Akan tetapi keberdaan para pendatang ini karena jumlahnya sedikit sehingga tidak menimbulkan konflik yang berarti. Perkembangan industri moci juga berdampak pada terjadinya mobilitas sosial. Menurut Willa huky yang dikutip oleh Didin Saripudin (2005:1), mobilitas sosial adalah gerakan perorangan atau grup dalam masyarakat dari suatu stratum ke stratum lainnya. Pada dasarnya mobilitas sosial ada dua macam yakni gerak sosial horizontal dan vertikal. Gerak sosial horizontal merupakan perpindahan individu atau objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Sedangkan gerak sosial vertikal adalah perpindahan individu atau kelompok dalam masyarakat dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya maka terdapat dua jenis gerak sosial vertikal yaitu gerak naik dan gerak turun. Keberhasilan industri moci yang dijalankan oleh Dedi Kuswasdi telah menarik minat masyarakat umum untuk menekuni dan bekerja di industri tersebut. Kemunculan industri moci yang dinilai masyarakat lebih menguntungkan mendorong terjadinya mobilitas horizontal dalam masyarakat Cikole, yakni masyarakat yang sebelumnya bekerja di bidang lain berpindah menjadi bekerja di industri moci. Contohnya Lalan yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani,
121
pada tahun 1999 dia pindah bekerja sebagai buruh di industri moci (wawancara dengan Lalan tanggal 2 Maret 2009). Sedangkan mobilitas vertikal yang terjadi dalam status pekerjaan bagi para pekerja yang tidak memiliki modal dalam kurun waktu 1990-2005 cenderung bersifat statis atau tetap, yang berati bahwa kesempatan untuk merubah status bawah ke lapisan atas sangat terbatas. Hal ini berarti dalam periode tersebut jumlah pekerja yang mampu meningkatkan statusnya sangat terbatas. Diantara keseluruhan pekerja, hanya pekerja yang memiliki jumlah tanggungan hidup sedikitlah yang secara bertahap mampu mendirikan usaha moci. Selain itu, para pekerja tersebut memiliki tekad yang tinggi untuk mencoba mandiri sehingga mampu mendirikan usaha moci dengan modal seadanya. Seperti Ujang Sukarya yang pada tahun 1989-1995 hanya menjadi pegawai biasa di salah satu industri moci, baru pada tahun 1996 ia mampu menjadi pengusaha karena mendirikan usaha moci sendiri itupun dengan bantuan modal dari keluarganya (wawancara dengan U.Sukarya tanggal 25 Maret 2009). Adanya para pengusaha moci di Cikole menjadikan beberapa diantaranya sebagai orang kaya baru di wilayahnya. Dampaknya pengusaha tersebut menjadi salah satu tokoh yang terpandang dalam masyarakatnya. Hal ini bisa dipahami sebagian kelompok masyarakat, bahwa kekayaan merupakan suatu hal yang dihargai dan dianggap dapat menempatkan status sosial seseorang menjadi lebih tinggi. Hal inilah yang dialami pengusaha moci terutama yang memiliki beberapa kios moci yang terkenal. Dengan kedudukan sebagai orang terpandang, pemilik usaha moci memegang peranan yang cukup penting dalam masyarakatnya, ia
122
selalu ditempatkan sebagai salah satu donatur pada acara-acara tertentu seperti acara keagamaan dan Nasional. Pemaparan-pemaparan di atas memberikan gambaran bahwa Keberadaan industri moci dapat memberikan dampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat khususnya yang terlibat langsung dalam industri moci. Kehidupan sosial ekonomi masayarakat Cikole terjadi sangat harmonis. Meskipun kehidupan yang terjadi senantiasa mengalami turun naik, namun hal tersebut tidak menjadi sebuah hambatan untuk terjalinnya hubungan yang baik antar masyarakat Kecamatan Cikole. Hubungan yang terjalin antar masayarakat selain didasarkan kepada hubungan pekerjaan didasari pula oleh sikap kekeluargaan yang menjadikan masyarakatnya mampu menjaga kerukunan dengan baik. Hubungan yang baik ini terlihat dari kondisi sehari-hari industri moci yang jauh dari konflik ataupun sifat-sifat yang menunjukan sebuah kondisi yang tidak baik.