BAB IV ANALISA Bab IV ini merupakan serangkaian analisis dari data lapangan sebagaimana yang telah dideskripdikan di dalam Bab III. Sedangkan upaya pendekatan yang dipakai untuk menganalisis pokok-pokok yang dikemukakan dalam Bab III adalah konsep-konsep sebagaimana telah tertera dalam Bab II. Penulisan Bab IV ini akan dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagimana telah ditulis dalam Bab I, untuk diperbandingkan dan atau dipersamakan secara timbal balik. 1. Bagaimana pandangan Pemangku adat atau Tua-tua adat terhadap Jemaat GPM Ebenhaezer yang melakukan nikah dagang. 2. Bagaimana pandangan Gereja terhadap Jemaat GPM Ebenhaezer yang melakukan nikah dagang.
A. Analisa Hasil Penelitian Tradisi nikah dagang ini merupakan bagian dari adat perkawinan komunitas Titawai. Dilakukan oleh mereka yang dari luar adat Titawai yang akan menikah dengan perempuan (istri) dari dalam negeri. Bisa dibilang adat ini juga merupakan sebuah proses budaya leluhur dari penduduk Titawai. Tradisi nikah dagang ini sudah menjadi warisan dan identitas atau ciri khas dari kelompoknya. Nilai-nilai yang baik juga terkandung dalam bagaimana mereka memaknai prosesi nikah dagang ini dan tradisi ini juga merupakan warisan turun-temurun dari leluhur.
36
1. Analisa para Pemangku adat atau Tua-tua adat terhadap Jemaat GPM Ebenhaezer yang melakukan Nikah Dagang. Dipandang dari perspektif adat setempat, “nikah dagang” merupakan tradisi yang turun temurun dan di wariskan oleh para leluhur mereka. Para leluhur melakukan adat tersebut, agar semua warga Titawai saling mengenal dan mengasihi “orang dagang” yang berasal dari luar komunitas mereka, yang harus mereka terima dengan baik. Di dalam benak setiap orang negeri tersebut,mereka mempercayai bahwa bukan hanya anggota keluarga, kerabat, dan segenap lingkup sosial mereka yang menjadi saksi upacara adat nikah dagang ini, melainkan juga para leluhur dari “mata rumah tersebut” (clan) hadir dan ikut menyaksikan tradisi ini untuk mengenal seorang“anggota baru” di dalam mata rumah mereka. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Surojo Wignjodipoero sebagaimana telah disinggung dalam Bab II. Ia menjelaskan antara lain, bahwa dalam masyarakat adat, perkawinan dilihat bukan hanya sebagai suatu peristiwa penting bagi smereka yang masih hidup, melainkan para leluhur-leluhur mereka. Agar mereka senantiasa dijaga dan memperoleh kebahagiaan dan keturunan. Hal ini didukung oleh Tolib Setiady sebagaimana disebutkan dalam bukunya;Intisari Hukum Adat Indonesia a.l, bahwa adanya keturunan yang baik dan sah, dapat menciptakan suatu keluarga yang baik dan sah pula. Dan pada akhirnya akhirnya berkembang menjadi kerabat dan masyarakat yang baik dan sah pula. Penulis melihat bahwa, kehidupan kita tidak terlepas dari suatu rangkaian tatanan nilai yang secara tidak langsung sudah mendarah daging dan turun temurun ada dalam diri kita, sehingga ketika kita melakukan dan melaksanakan tradisi adat sebagaimana yang dimaksud di atas, kita akan mendapat semua hal yang baik, karena tanpa sadar para leluhur juga turut mengrestuinya. Para tua-tua adat yang penuh wibawa dalam desa tersebut beranggapan bahwa semua yang sudah diatur oleh para leluhur mereka, tidak dapat dilanggar.Karena mereka mempunyai 37
kuasa besar dalam hal mengatur kehidupan mereka disamping kuasa dari Tuhan. Tua-tua dalam lingkup sosial disana mempunyai peran yang sangat penting.Mereka dihormati, disegani, dan diberi kuasa oleh para leluhur untuk menjaga negeri dan segala aspek yang ada di dalamnya; termasuk pemeliharaan nilai-nilai budaya adat istiadat setempat. Mereka lebih memahami dan mengerti tentang pranata adat tersebut.Dan sering menasehati para pasangan-pasangan yang usia pernikahan masih muda. Menurut komunitas setempat, hal ini harus dilakukan agar nilai-nilai budaya tersebut tidak hilang. Artinya akan tetap melekat dalam sanubari seriap warga negeri ini. Pemangku adat juga memberikan himbaun kepada segenap anggota warga yang mau menikah, agar disamping mempersiapkan segala sesuatu dalam prosesi adat. Tidak terkesuali kesiapan hati, Iman, dan mental untuk masuk dalam sebuah ikatan rumah tangga. Karena dengan membina sebuah keluarga itu, tidak lagi menjadi urusan orang tua, melainkan menjadi urusan dan tanggung jawab rumah tangga baru. Dari nasehat itulah, mereka disebut sebagai Tua-tua adat dalam negeri Titawai.Karena mereka lebih dahulu mengetahui bagaimana melestarikan nilainilai tradisional setempat, mereka berikan berupa petuah-petuah atau nasehat-nasehat. Dan sebagaimana disingalit oleh Kraemer di atas, terdapat suatu keterpaduan antara nilai-nilai warisan leluhur, dan nilai-nilai kesakralan sebagaimana diajarkan oleh agama (Kristen) kepada jemaat setempat. 1.1 Sebagai saluran Berkat untuk rumah tangga Dalam hubungan ini dukungan restu dari orang tua adalah hal yang paling penting ketika masuk dalam biduk kehidupan rumah tangga. Orang tua hampir sama dengan tua-tua adat, yang merupakan pribadi-pribadi yang sudah lebih dulu melewatinya, sehingga pengalamanpengalaman mereka bisa dijadikan pegangan bagi yang akan masuk dalam ikatan perkawinan. Prosesi adat ini diyakini oleh daerah setempat akan diberikan berkat yang melimpah dan dilipat 38
gandakan dari harta-harta yang sebelumnya penulis sudah sebutkan pada Bab III. Hal ini juga tidak terlepas dari doa-doa para leluhur disamping dari orang tua, sanak saudara, dan termasuk jemaat setempat. Petuah-petuah dari tua-tua adat juga merupakan bagian penting dalam kehidupan rumah tangga. Dalam komunitasnya, mereka beranggapan bahwa ketika diberi nasehat oleh para tua-tua adat maka itu merupakan suatu hakikat dalam menjalankan biduk rumah tangga. Karena pengalaman-pengalaman mereka yang akan menjadi contoh bagi pasanga-pasangan yang masih muda usia perkawinannya. Apalagi kepada usia-usia yang masih rentan dalam hal perkawinan dan menikah karena biasanya sudah berbadan dua (hamil). Koentjaraningrat a.l mengatakan, bahwa adat istiadat mengandung sistem nilai budaya, yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagaian besar dari masyarakat. Sehingga itu menjadi pegangan atau pedoman dalam hal memberikan arah dalam lingkup keluarga. Penulis dapat memahaminya bahwa tradisi nikah dagang ini juga mau memberikan nilai-nilai kebersamaan dalam membangun suatu relasi sosial yang kuat. Sebuah lingkup sosial yang berbudaya di mana pun mereka berada, sudah tentu hidup dengan berbagai kebiasaan yang diciptakan dalam komunitasnya. Jika kebiasaan itu baik, maka hal itu akan menjadi pola hidup atau tradisi bagi mereka. Bagi wargaMaluku, pada umumnya menghargai dan melakukan adat berarti sudah menghormati para leluhur kita dan akan “menikmati berkat dari para leluhur”, suatu ungkapan yang paralel dengan ajaran gerejawi. Dengan kata lain jika kewajiban “adat” itu dilanggar maka akan menimbulkan dampak-dampak yang tidak diinginkan terjadi pada mereka yang melanggar. Seperti yang sudah penulis utarakan di atas a.l tentang adanya akibat jika melanggar aturan itu.Sampai ketika dilanggar para tua-tua adat yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Karena telah menyangkut dengan hubungan 39
dengan para leluhur.Ini cenderung mencerminkan peranan tokoh adat seolah-olah sebagai tokoh spiritualitas. Tradisi ini dilakukan untuk orang dagang yang berasal dari luar desa Titawai, sehingga tidak ada alasan untuk tidak melakukan adat tersebut. Proses ini adalah sebuah perwujudan hak dan kewajiban dari calon menantu yang berdomisili di luar desa adat ini. Hal tersebut dilakukan karena warga Titawai percaya pada adanya nilai-nilai yang baik ditinggal oleh para tua-tua adat di masa lampau bagi komunitasnya. Nilai-nilai yang baik itu terkandung dalam bagaimana mereka memaknai nikah dagang. Hal ini merupakan suatu tatanan nilai yang sangat berarti untuk dilakukan bagi komunitas mereka, karena dengan melakukan pranata adat tersebut, orang-orang dalam desa Titawai dapat mengenal menantu (suami) dari pasangan yang akan menikah, dan juga agar semuanya dapat mengenal satu sama lain, “biar dia zng berasal dari sini tapi su maso minta parempuan dalam negri ni, berarti dia katong pung sudara”demikian a.l salah satu ungkapan pemangku adat mengatakan ini budaya orang Maluku sudah didasari dengan istilah “laeng musti kanal-kanal laeng, laeng musti sayang-sayang laeng”, sehingga salah satu alasan nikah dagang ini tetap dilestarikan agar tidak terputus hubungan persaudaraan. Ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ter Haar dalam bukunya: Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, bahwa di dalam masyarakat hukum yang merupakan kesatuan susunan rakyat, dalam hal ini masyarakat dusun dan wilayah, perkawinan anggota-anggotanya itu adalah merupakan suatu peristiwa penting dalam proses masuknya seseorang menjadi satu kesatuan sosial dengan masyarakat tersebut. Dalam pengertian ini penulis dapat memahami, bahwa desa Titawai juga mengalami hal yang sama. Artinya bahwa mereka merasa perlu mengenal anggota baru yang masuk dalam lingkup komunitasnya. Maksud dari pengenalan ini juga merupakan hal baik, karena apabila 40
mereka berpapasan di luar daerah Titawai semua masih saling mengenal satu sama lain, dari situ tali hubungan kekeluargaan tetap dijaga dan tidak akan putus. 2. Pandangan Gereja terhadap Jemaat GPM Ebenhaezer yang melakukan nikah dagang. Jemaat GPM Ebenhaezer yang merupakan salah satu jemaat tertua di pulau Nusalaut yang telah berumur hampir satu setengah abad. Mendahuluinya telah ada adat yang diturunkan oleh para leluhur mereka. Maka dari itu walaupun masyarakat disana telah mengenal Yesus dan menganut ajaran Kristen, mereka tetap memegang tradisi budaya leluhurnya. Termasuk budaya Nikah dagang, yang secara tradisional merupakan pencerminan nilai-nilai kultural yang terpaku dalam nilai Kristen. Gereja yang meliputi Pendeta dan Majelis yang menjabat di dalamnya, tidak memberikan pandangan jelek terhadap tradisi ini. Mereka beranggapan bahwa ini adalah budaya leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dihapuskan dari keyakinan warga desa Titawai. Gereja masuk dan melihat bahwa tradisi ini tidak memberikan dampak yang buruk bagi komunitasnya, melainkan memberikan nila-nilai yang baik. Walaupun memegang budaya leluhur, mereka tetap memberlakukan Doa dan keyakinannya (Kristus) sebagai landasan iman. Maka dari itu, tradisi nikah dagang ini cenderung sedikit bergeser karena pengaruh Kekristenan. Jemaat yang melakukan tradisi ini juga mengakui dan merasakan pergeseran tersebut, misalnya, tahapan upacara yang berlaku, seperti a.l: memberikan uang untuk Raja dan penjaga pintu Baileo,yang sudah mulai tidak terlaksana. Jemaat beranggapan bahwa, yang terpenting orang dagang (menanti dagang) memberikan persembahan di Gereja dan didoakan (ibadah) secara kristen, hal itu sudah cukup. Namun tidak sedikit jemaat juga ingin semuanya diwajibkan untuk dilakukan berdasarkan tradisi dari para leluhur agar itu menjadi warisan. 41
Jika Jemaat mengatakan Adat dan Gereja harus berjalan bersama-sama, itu berarti Jemaat tidak bisa melepaskan salah satunya. Karena mereka melihat, bahwa nilai-nilai budaya yang sudah menjadi tradisi turun temurun tidak bisa hilang. Untuk kedua hal ini dapat bertemu adalah dengan melakukan dialog antara Gereja dan Jemaat, agar mendapatkan jalan keluar yang bermanfaat bagi segenap warga dan tidak mengakibatkan dampak yang merugikan. Budaya nikah dagang ini bukan hanya urusan luluhur, melainkan juga menyangkut urusan keluarga, kerabat, komunitas, martabatpribadi dan juga urusan agama yang boleh dikemukan oleh Dewi Wulansari yang mungutip kata-kata Ter Haar. Maka dari itu, agama juga mempunyai peran, hal mana a.l nyata ketika warga desa Titawai melandasakan prosesi adat ini dengan nilainilai Kekristenan, seperti a.l Doa, yang dibawakan oleh para pejabat-pejabat gereja. Sebab mereka juga memberikan landasan iman kepada pasangan yang akan menikah.Jemaat setempat berpendapat, bahwa Gereja dan komunitas adat istiadat merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Gereja ada untuk menopang dan membawa dampak positif dari nilai-nilai kekristenan untuk komunitasnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Kraemer, sebagaimana dikutip oleh Flip Litaay dalam jurnalnya berjudul, Peranan Sosiologi Agama Dalam Kajian Akademik Mengenai Hubungan Agama dan Masyarakat (2001), bahwa; “Kekeristenan di Ambon merupakan tradisi yang berakar diam dan mendalam”. Penulis melihat ini sebagai suatu konsep bahwa, dalam realitanya masyarakat dan gereja tidak terpisahkan. Gereja ada karena di dalam terdapat jemaat-jemaat yang menopangnya. Mereka hadir dengan kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang yang memegang budaya dan adat istiadat yang sudah dipercayai sejak dahulu.Disini gereja berfungsi sebagai suatu penopang iman dan spiritualnya. Gereja hadir di tengah keluarga kristen dengan memberikan nilai-nilai kekeristenan seperti yang diharapkan oleh Yesus. Dengan memenuhi tugas dan tanggung jawab suami dan istri untuk 42
saling menghormati, karena keluarga merupakan Gereja kecil yang hadir ditengah-tengah masyarakat dan Yesus sebagai kepalanya. Maka dari itu ajaran gereja tentang perkawinan dan keluarga yang menentukan bahwa istri mendampingi suami sebagai penolong dan kepala keluarga. Dalam janji pernikahan suami berjanji untuk mengasihi istri, dan istri berjanji untuk mematuhi suami. 1 Sehingga penulis dapat melihat pandangan dari sosiologis dan antropologisdari pranatanikah dagang ini. Melihat dari sudut pandang Sosiologis, bahwanikah dagang merupakan perkawinan adat ini bukan hanya menyangkut laki-laki dan perempuan yang menikah, melainkan melibatkan orang tua,saudara-saudara, dan keluarga sebagaimana dikatakan oleh Soekanto yang telah disinggung di atas. Sedangkan bila dilihat dari sudut pandangan budaya atau antropologis, tradisi ini adalah hasil karya dari para leluhur untuk anak cucu mereka. Untuk bisa hidup berpasang-pasangan tanpa melihat asal-usul atau status dari pasangan mereka. B. Refleksi Teologis Manusia sering disebut dengan imago dei, segambar dan serupa dengan Allah (Kej1:27) “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-nya mereka”. Tradisi nikah dagang ini salah satu bentuk dari kebudayaan yang dihasilkan manusia. Ia diciptakan oleh para tua-tua adat dan para lelehur, dengan tujuan agar masyarakat saling mengenal satu dengan yang lain. Perkawinan Kristen merupakan, suatu ikatan janji dihadapan Tuhan dan umatnya dan setia sampai mereka dipisahkan oleh kematian. Perkawinanan yang berlandasakan kasih, sukacita, dan harmonis akan selalu diberkati oleh Tuhan. Manusia melakukan perkawinan karena berlandaskan
1
Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat.(Yogyakarta:kanisius)87
43
tentang karya Allah pada masa penciptaan manusia (Adam dan Hawa) (kej 2:23), dan Allah juga menciptakan perkawinan pertama untuk Adam dan Hawa sebelum mereka jatuh ke dalam dosa, dan Ia memerintahkan umat-Nya agar penuhi bumi dan berbuatlah yang baik. Dengan demikian perkawinan adalah hal yang baik di mata Allah. Menikah dan membangun sebuah keluarga bukanlah dosa. Bahkan dapat dikatakan bahwa perkawinan yang diadakan Allah bagi manusia bersifat kudus. Alkitab memandang perkawinan dalam Kej 1:22 dan Matius 19:5, merupakan persekutuan kasih yang paling istimewa diantara manusia karena apa yang sudah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Allah memiliki kepentingan di dalam keluarga Kristen, dan Ia mengizinkan akan adanya sebuah perkawinan agar manusia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sesama, dapat saling melengkapi, saling menutupi kelemahan, saling berbagi baik suka maupun duka. Dan mendapatkan ketenangan dan damai sejahtera. Wujud dari perkawinan Kristen adalah sebuah keluarga yang selalu berlandaskan Allah sebagai kepala keluarga. Sehingga Allah berkenan untuk ada dalam keluarga (2 Taw 7:16) “Sekarang telah Kupilih dan Kukuduskan rumah ini, supaya nama-Ku tinggal di situ untuk selama-lamanya, maka mata-Ku dan hati-Ku akan ada disitu sepanjang masa”. Allah membentuk keluarga kristen agar merka dapat mewujud nyatakan kehidupan orang percaya untuk sesama. Keluarga yang dibangun dari suatu perkawinan itu melambangkan dan menghadirkan Gereja Yesus Kristus dalam konteks hidup sehari-hari di masyarakatnya. Maka kelaurga-keluarga Kristus harus terus memberikan kesaksian hidup agar terang Kristus semakin bercahaya bagi komunitasnya. 2 Perkawinan merupakan salah satu bentuk panggilan kehidupan untuk menggapai kesucian dan kekudusan yang menjadi panggilan setiap orang beriman. Panggilan menjadi suami-istri 2
Martasudjita, Sakramen-sakramen Gereja (Yogyakarta:kanisius), 365
44
merupakan salah satu bentuk panggilan untuk kesucian, mereka wajib untuk hidup dalam ajaran kekristenan. perkawinan itu dipandang sebagai salah satu panggilan dari Allah, bahwa kehidupan bersama dalam keluarga merupakan suatu karunia, untuk pasangan (suami dan istri). Melalui sakramen ini, Allah menganugrahkan keluarga baru kepada gereja dimana Iman kristen selalu dibangun. Dengan demikian apa yang dikatakan dalan Ef 1:4 “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya”. Dengan ini Gereja memberikan nilai-nilai kekristenan untuk menjadi dasar bagi pranata adat nikah dagang. Sehingga tradisi tersebut tetap mendapatkan perhatian dari gereja, yang berupa spiritualitas Iman kepada Tuhan. Sebab setiap manusia memiliki jiwa sosial dan kasih yang tinggi, dengan kata lain nilai-nilai yang didasari oleh perkawinan ini mau menjadi suatu proses yang baik dalam menjalankan relasi baik dengan Tuhan maka manusia juga dapat menjalankan relasi baik dengan sesamanya. Singkatnya perkawinan tidak hanya melihat aspek-aspek dari suatu budaya, melainkan perkawinan juga melihat janji dan iman kita kepada sang pencipta (Kristus).
45