22
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Areal ini merupakan bagian dari area gambut yang berhubungan dengan Taman Nasional Sembilang sebelah Timur, hutan gambut Muaro Jambi di utara dan Taman Nasional Berbak di bagian barat daya. Kubah gambut terletak tepat diantara sungai Medak dan Kepayang (Gambar 3). 3.2 Aksesibilitas Desa yang termasuk kedalam lokasi terdekat dengan MPDF adalah desa Muara Merang dimana jarak dari Palembang ke desa ini sekitar 225 km yang dapat ditempuh dengan akses darat atau sungai selama 4-5 jam. Sarana transportasi yang paling penting bagi masyarakat adalah melalui jalur sungai. Kota terdekat dari desa ini adalah kota Bayung Lencir dengan waktu tempuh selama 2 jam menggunakan perahu.
Gambar 4. Sungai sebagai Akses Transportasi
3.3 Iklim dan Hidrologi Area MDPF memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2454 mm/tahun dengan curah hujan bulanan terendah pada bulan Agustus dengan intensitas 85 mm dan 324 mm tertinggi pada bulan November. Berdasarkan klasifikasi iklim
23
PT.Pakerin
TN.Sembilang PT. RHM
PTPN VII Sungai
MPDF
PT.Wahana Lestari
Sumber: Solichin (2008)
Gambar 3. Peta Lokasi Merang Peat Dome Forest (MPDF)
24
Oldeman, area ini termasuk ke dalam zona B1, yang berarti memiliki intensitas curah hujan yang cukup (Solichin 2008). Kondisi hidrologi areal MDPF dipengaruhi oleh pasang surut Sungai Lalan dan anak sungainya, yaitu Sungai Merang, Sungai Kepahyang dan Sungai Medak yang termasuk kedalam DAS Lalan dan bermuara di Selat Bangka. Sungai tersebut memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kondisi hidrologi dan proses pembentukan gambut serta berpengaruh terhadap fluktuasi genangan air.
Sumber: Solichin (2008)
Gambar 5. Deskripsi Hidrologi Merang Sungai Merang mengalir ditengah kubah gambut (peat dome) yang terletak tepat diantara Sungai Kepayang dan Medak. Sungai Merang memiliki banyak anak sungai diantaranya adalah Sungai Cangkak, Sungai Buring, Sungai Beruhun dan Sungai Bawo. Sungai Merang mengalir dari daerah Petaling (perbatasan Provinsi Sumatera Selatan dengan Jambi) sampai ke Sungai Lalan di desa Bakung, Kecamatan Bayung Lencir.
3.4 Karakteristik Gambut dan Cadangan Karbon Berdasarkan hasil penelitian South Sumatra Forest Fire Management Project European Union (SSFFMP-EU) tahun 2005, diketahui bahwa gambut yang berada di sekitar lokasi penelitian tergolong pada gambut dangkal, sedang
25
dan gambut dalam dengan tingkat kematangannya secara umum pada kedalaman 1 m rata-rata pada tingkat hemik - saprik, sedangkan pada kedalaman > 1 m pada tingkat kematangan saprik. Dilihat dari karakteristik kimia gambut, pH tanah tergolong masam dimana nilai kemasaman gambut diperoleh dari hasil sumbangan ion H+ dari proses dekomposisi bahan organik yang terjadi secara terus menerus pada lahan gambut (SSFFMP-EU 2005). Kandungan C di lahan gambut dikategorikan tinggi karena C lebih dari 5% sekaligus membuktikan tingginya ketersediaan karbon di lahan gambut. Untuk kandungan N dan nisbah C/N tergolong tinggi, sebaliknya kandungan P total relatif rendah terutama pada daerah deposisi atau endapan. Berdasarkan kondisi kejenuhan basanya, area ini tergolong sangat rendah disebabkan karena kandungan basa pada gambut jauh lebih rendah daripada basa di tanah mineral. Ciri kimia lain pada areal gambut ini adalah : ketersediaan unsur K tergolong dari rendah hingga sedang, unsur N tergolong sedang, Ca dan Mg tergolong rendah hingga sangat rendah. Untuk Kapasitas Tukar Kation (KTK) MPDF dikategorikan memiliki kation sangat tinggi yang dapat mencerminkan kondisi kesuburan tanah karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam menyerap unsur-unsur hara (SSFFMP-EU 2005). MPDF merupakan salah satu kubah gambut terluas di bagian utara Sumatera Selatan. Menurut Wetlands dan IPB (2003), hutan rawa gambut Merang dan Kepahyang memiliki luas 210 ribu ha, dengan rata-rata kedalaman gambut 150 cm dan menyimpan 0,5 Gigaton karbon. Pada tahun 2006, SSFFMP membangun model 3D kubah gambut berdasarkan pengeboran tanah gambut dan DEM SRTM menghasilkan 0,1 Gigaton karbon dari 140 ribu ha dengan kedalaman rata-rata gambut 208 cm (Mott 2006). Ballhorn (2007) menyatakan bahwa dengan luas 125 ribu ha dan rata-rata kedalaman gambut 2,5 meter, MPDF mengandung 0,2 Gigaton karbon atau setara dengan 0,72 Gigaton CO2.
3.5 Kondisi Sosial Ekonomi Secara administratif area di MPDF hampir sama dengan desa Muara Merang. Muara Merang terdiri dari 3 dusun yaitu Kepahyang, Bakung dan Bina Desa yang berlokasi di pinggir sungai. Jumlah penduduk yang tinggal di desa ini
26
berjumlah 1.240 jiwa terdiri dari 273 kepala keluarga. Penduduk desa ini bermatapencarian utama sebagai penebang kayu (pembalak), petani, buruh di perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan nelayan. Di daerah ini terdapat operasi bisnis yang biasa disebut Lebak Lebung, yang artinya suatu mekanisme panen ikan dari sungai yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten. Setiap tahun, pemerintah mengadakan lelang untuk hak pemanenan ikan di salah satu bagian spesifik sungai. Pemegang hak harus membayar 35 juta rupiah kepada pemerintah untuk dapat menggunakan haknya setiap tahun. Pemegang hak akan memperoleh pajak dari setiap penangkap ikan yang memanen ikan di area tersebut. Ini hanya sebagian kecil pemasukan dari pemilik hak. Pemasukan terbesar berasal dari pajak yang dipungut dari kayu-kayu ilegal yang dibawa melewati bagian sungai tersebut. Pajak yang diperoleh dapat mencapai 300 juta rupiah. Ini merupakan fakta dalam mekanisme aktivitas illegal.
3.6 Sejarah Areal Kejadian kebakaran dilaporkan terjadi sejak tahun 1960, kemudian terjadi kebakaran berulang pada tahun 1982, 1987, 1997 (Lubis et al., 2004). Hal tersebut diakibatkan
oleh
kegiatan
pembalakan
yang
terus
berlangsung
yang
menyebabkan terjadinya perubahan kondisi ekologi dari ekosistem kubah gambut (peat dome) menjadi kering. Selain itu, para pembalak liar memperburuk kondisi hutan dengan membuat galian parit seperti bentuk kuda-kuda untuk dapat mengangkut potongan kayu keluar dari kubah hutan pada waktu musim kemarau. Kelalaian dari penebang liar diduga menjadi penyebab terjadinya kebakaran adalah sumber api yang berasal dari kegiatan memasak maupun puntung rokok. Berdasarkan hotspot yang terdeteksi menunjukkan bahwa kebakaran hutan di MPDF sudah terjadi sejak tahun 1997, dimana kebanyakan terjadi di areal yang terdegradasi di sepanjang sungai. Kubah gambut yang tersisa masih tetap utuh. Bagaimanapun juga aktivitas penebangan yang baru dimulai pada tahun 2003 didalam areal proyek yang diusulkan untuk beroperasi dimana pada area tersebut ditemukan adanya hotspot. Hal tersebut mengindikasikan adanya aktivitas yang dimulai di dalam area dan kebanyakan adalah kegiatan illegal logging.
27
Berdasarkan peta rawan kebakaran, menunjukkan bahwa area dalam tingkat kerawanan yang tinggi.
Sumber: Solichin (2008)
Gambar 6. Peta Citra Hot spot di MPDF Sumatera Selatan Pada Gambar 6 dapat dilihat mengenai titik api pada areal MPDF bahwa pertama kali hotspot muncul pada tahun 1997 yang terjadi di areal hutan yang terdegradasi yang berada disekitar sungai. Selanjutnya tahun 1998 sampai tahun 2000 tidak ditemukan adanya titip api, dan ditemukan kembali adanya titik pada tahun 2003 karena adanya kegiatan penebangan di areal proyek yang diusulkan. Kegiatan ini mengakibatkan jumlah titik api semakin banyak, hal tersebut terlihat pada citra satelit tahun 2004, kemudian titik api mulai tidak ditemukan lagi pada
28
tahun 2005. Hingga akhirnya pada tahun 2006 merupakan puncak dimana banyak ditemukannya titik api dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kejadian kebakaran hutan di MPDF pada tahun 2006 diduga disebabkan karena semakin banyaknya areal yang terdegradasi akibat dari kegiatan penebangan liar maupun akibat terjadinya kebakaran berulang yang menyebabkan hutan menjadi areal terdegradasi sehingga rentan untuk terjadinya kebakaran hutan. Kegiatan illegal logging menyisakan limbah sisa penebangan yang dapat menjadi bahan bakar yang sangat potensial dan apabila terdapat sumber penyulutan maka akan memicu terjadinya kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 2006 di areal MPDF selain dipengaruhi oleh aktivitas illegal logging maupun kebakaran hutan tahun sebelumnya yang menyebabkan degradasi hutan juga dipengaruhi oleh faktor iklim (curah hujan, suhu dan kelembaban). Faktor iklim merupakan faktor pendukung untuk terjadinya kebakaran hutan, dapat dilihat pada gambar 7, 8 dan 9. Berdasarkan hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang terhadap data curah hujan bulanan di Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin dari bulan Januari sampai Desember tahun 2005, 2006 dan 2007 (Gambar 7).
Gambar 7. Grafik Curah Hujan Bulanan di Wilayah Bayung Lincir Kabupaten Musi Banyuasin Grafik di atas menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian terjadi perbedaan curah hujan dan terdapat bulan yang tidak mengalami kejadian hujan yaitu pada bulan Agustus 2006 dan pada tahun 2007 terdapat data curah hujan paling rendah dibandingkan dengan bulan lain yaitu sebesar 5 mm/bulan. Pada
29
bulan tersebut merupakan bulan yang sangat rentan terjadinya kebakaran hutan, hal ini terbukti, bahwa kejadian kebakaran hutan di lokasi penelitian yang terjadi pada tahun 2006 diperkirakan terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober yang ditandai dengan adanya bulan kering. Oleh karena itu, pada periode inilah dimulainya proses akumulasi pengeringan dan penumpukan bahan bakar sehingga kadar airnya semakin menurun dan apabila terdapat sumber penyulutan maka bahan bakar tersebut akan relatif mudah untuk terbakar. Untuk data pengukuran suhu dan kelembaban udara menggunakan data hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Kenten Palembang di Desa Tulung Salapan karena secara umum kondisi cuaca di Palembang hampir sama. Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2006 terjadi pada bulan Oktober sebesar 28,9°C sedangkan suhu udara minimal pada bulan Januari sebesar 26,4°C. Sedangkan suhu udara bulanan maksimal pada tahun 2007 terjadi pada bulan Mei dan September sebesar 27,5°C dan minimal pada bulan Desember 26,4°C (Gambar 8).
Gambar 8. Grafik Suhu Udara Bulanan (°C) di Wilayah Tulung Salapan Untuk kelembaban udara bulanan maksimal terjadi pada tahun 2006 yaitu pada bulan Januari hingga Juni sebesar 87%, sedangkan kelembaban udara minimum pada bulan Oktober sebesar 71%. Pada tahun 2007 kelembaban udara maksimal pada bulan Januari sebesar 88% dan kelembaban udara minimal pada
30
bulan September sebesar 78%. Semakin tinggi suhu berarti kelembaban udara semakin rendah, hal ini berarti bahwa daerah tersebut berpeluang besar terhadap kejadian kebakaran hutan. Hal ini dapat dilihat bahwa kejadian kebakaran pada bulan Agustus hingga Oktober 2006 ditandai dengan meningkatnya suhu dan rendahnya kelembaban udara.
Gambar 9. Grafik Kelembaban Udara Bulanan (%) di Wilayah Tulung Salapan