19
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1.
Karakteristik Demografi Kawasan Pegunungan Muller
3.1.1. Pegunungan Muller Sebagian besar dari kawasan Pegunungan Muller secara administratif berada di wilayah Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah, (Gambar 3) yang terletak di daerah khatulistiwa berada di bagian utara Kalimantan Tengah, yaitu pada posisi antara 113° 20`– 115° 55` BT dan antara 0°53`48” LS – 0° 46` 06” LU. Kabupaten Murung Raya berbatasan pada sebelah Utara dengan Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, sebelah Timur dengan Kabupaten Barito Utara dan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah Selatan berbatasan Kabupaten Barito Utara Kabupaten Kapuas, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Gunung Mas dan Provinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Murung Raya adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten Barito Utara yang meliputi 5 wilayah kecamatan, yang terdiri dari 116 desa dan 2 kelurahan, Kecamatan U’ut Murung adalah pemekaran dari Kecamatan Sumber Barito dengan luas 1.227 Km², Kecamatan Sumber Barito dengan luas 17.083 Km², Kecamatan Murung dengan luas wilayah 730 Km², Kecamatan Laung Tuhup dengan luas 3.111 Km², Kecamatan Tanah Siang dengan luas 1.549 Km².
Gambar 3. Kawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah Sumber : Pokja Heart of Borneo Kalimantan Tengah
20
Penggunaan lahan dan penutupan lahan pada kawasan Pegunungan Muller didominasi oleh cagar alam dan hutan lindung serta kawasan hutan produksi terbatas (Gambar 4). Untuk kepentingan fokus pendidikan konservasi, maka kawasan target dibatasi pada bagian Hulu Pegunungan Muller di 4 (empat) desa yaitu Desa Tumbang Tujang, Desa Tumbang Keramu, Desa Tumbang Olong I dan Desa Tumbang Olong II yang berbatasan langsung dengan kawasan ini di kecamatan U’ut Murung Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah (Pemkab Mura 2006).
Gambar 4. Tata Guna dan Tutupan Lahan Kawasan Pegunungan Muller Sumber : Pokja Heart of Borneo Kalimantan Tengah
3.1.2. Kawasan Kerja Kampanye a. Demografi dan Populasi Masyarakat yang menjadi target dari program ini terdiri dari empat desa yaitu Tumbang Tujang, Tumbang Keramu, Tumbang Olong I, Tumbang Olong II di Kecamatan U’ut Murung Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah dengan Total luas 290.012 hektar, dengan jumlah penduduk 2.910 jiwa. Perincian jumlah penduduk di masing-masing desa, terlihat dalam Tabel 1.
21
Tabel 1. Jumlah Penduduk per Desa dan Kondisi Perekonomian No
Jenis Kelamin LK PR
DESA
1 Tumbang Olong I, II 1.327 2 Tumbang Keramu 327 3 Tumbang Tujang 257
479 285 235
Total Pra jlh Jumlah Gakin % % kel KS & Penduduk KK 2005 Gakin petani KS 1 1.806 612 492
456 129 107
51 46 67
11,18 35,66 62,62
15 17 19
37 23 23
Sumber : BPS Kabupaten Murung Raya dalam Angka 2006b
Kepadatan penduduk Kabupaten Murung Raya masih termasuk kategori jarang yaitu 3,65 atau 4 jiwa/ Km2. Kepadatan penduduk jika dibandingkan antar kecamatan, menunjukkan keadaan yang tidak merata. Kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan Murung 29,88 jiwa/Km2, Kecamatan U’ut Murung 12,48 jiwa/Km2. Kecamatan U’ut Murung merupakan kecamatan yang paling jarang penduduknya hanya 0,91 jiwa/ Km2. Penduduk Kabupaten Murung Raya menyebar dalam suatu wilayah yang relatif luas, dengan ukuran jumlah penduduk relatif kecil. Pada umumnya penduduk bermukim di daerah pedesaan di sepanjang daerah aliran sungai yang ada di masing-masing kecamatan. Penyebaran penduduk antar kecamatan relatif merata, jumlah penduduk terbanyak terdapat pada Kecamatan Murung yaitu 22 jiwa/Km2. Mayoritas penduduk lokal (lebih dari 90%) adalah suku Dayak beragama Kaharingan, Kristen dan Islam. Penduduk pendatang umumnya dari suku Banjar dan Jawa umumnya beragama Islam. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Murung Raya sejak tahun 2000-2005 rata-rata 5,58% per tahun yang disebabkan oleh natalitas dan imigrasi. Laju pertumbuhan penduduk per kecamatan berkisar antara 3,56% hingga 9,20%. Ratarata laju pertumbuhan penduduk tertinggi terdapat pada Kecamatan Sumber Barito 9,20%, diikuti Kecamatan Murung 6,33% dan U’ut Murung 6,04%. Pertumbuhan penduduk terendah tercatat pada Kecamatan Laung Tuhup 3,56% dan Tanah Siang 4,08%. b. Ekonomi dan Sosial Budaya Dilihat
dari
besarnya
kontribusi
dari
sektor
ekonomi
terhadap
pembentukan PDRB kabupaten, maka perekonomian Kabupaten Murung Raya didominasi oleh tiga sektor yaitu: pertanian, pertambangan dan penggalian serta perdagangan. Pada tahun 2003 ketiga sektor tersebut mampu memberikan
22
kontribusi terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Murung Raya masing-masing 41,21%; 21,04% dan 20,21%. Sedangkan kontribusi sektor-sektor lainnya hanya berkisar antara 0,25% hingga 5,66% (Pemkab Mura 2006). Kegiatan pertanian masyarakat umumnya pertanian padi tadah hujan, perkebunan karet dan perladangan tanaman pangan lainnya. Sektor pertanian masih sangat tergantung pada hutan berupa hasil hutan kayu dan bukan kayu seperti madu, gaharu, rotan dan palem untuk kerajinan serta tanaman obat seperti Spatholobus ferrugineu dan Drymis pyperita. 3.2.
Potensi Sumber Daya Kawasan Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2005,
Kabupaten Murung Raya memiliki luas hutan sebesar 1.235.937 Ha. Dari luasan tersebut, kawasan hutan dibagi menurut fungsinya yaitu: Hutan Produksi dengan luas 226.115 ha (9,54%); Hutan Lindung dengan luas 541.415 ha (22,85%); Hutan Suaka/Wisata (Pegunungan Muller) dengan luas 200.055 ha (8,44%); Hutan cadangan/Hutan Produksi yang dapat dikonversikan dengan luas 386.290 ha (16,30%), dan; Hutan Produksi Terbatas dengan luas 1.016.125 ha (42,87%). Besarnya potensi sumberdaya hutan yang tercermin dari luas kawasan hutannya menempatkan subsektor kehutanan sebagai subsektor andalan di Kabupaten Murung Raya sehingga merupakan salah satu pilihan investasi yang strategis dan potensial dalam mendukung pembangunan otonomi daerah. Kontribusi subsektor kehutanan ini terhadap PDRB sektor pertanian pada tahun 2005 sangat besar yaitu 19,84%. Subsektor kehutanan telah sejak lama menjadi tulang punggung bagi pendapatan daerah Kabupaten Murung Raya. Jenis kayu hutan alam yang banyak diproduksi oleh perusahaan pemegang HPH dan masyarakat di Kabupaten ini adalah kayu meranti (produksi tahun 2004 sebesar 218.901,3 M3), kayu indah (produksi tahun 2004 sebesar 261,33 M3) dan kayu rimba campuran (produksi tahun 2004 sebesar 9.479,24 M3). Selain produksi kayu yang merupakan komoditas andalan Kabupaten Murung Raya, juga terdapat potensi hasil hutan ikutan seperti rotan, jelutung,
23
gaharu, kulit gemor dan sarang burung. Pengembangan potensi hasil hutan tersebut di atas di Kabupaten Murung Raya memiliki prospek yang baik. Selama ini komoditi-komoditi tersebut mendapat permintaan pasar yang terus meningkat baik hasil hutan kayu dan bukan kayu. Sedangkan produktivitas komoditi perdagangan hasil hutan alam dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Pengambilan dan penjualan gaharu dilakukan secara tradisonal oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Dikawasan Pegunungan Muller Kalimantan Tengah sebagian besar penduduk lokal adalah pemburu (pencari) gaharu. Pasar gaharu di wilayah ini adalah pasar tradisional, karena para pencari gaharu berhubungan langsung dengan pembeli pertama atau pengumpul yang biasanya hanya ada satu satu dua orang di tiap desa. Di tingkat masyarakat lokal penghasilan dari berburu (mencari) gaharu adalah sumber mata pencaharian disamping berladang, hal ini terjadi karena kegiatan mencari gaharu biasanya mendapatkan bantuan modal awal dari pengumpul tingkat desa. 3.3.
Jenis Tanah dan Penggunaan Lahan Secara umum tanah yang dominan terdapat di Kabupaten Murung Raya
terdiri dari 3 jenis yaitu : Podsolik seluas 30,17%, Oksisol (Laterik) seluas 61,98% dan Litosol seluas 7,85%. Jenis tanah Podsolik terdapat di Kecamatan U’ut Murung dan sedikit di Kecamatan Sumber Barito. Jenis tanah Oksisol (Laterik) banyak ditemukan di Kecamatan Sumber Barito dan sedikit di Kecamatan Tanah Siang. Sebanyak 57,69% dari jenis tanah sesuai untuk berbagai penggunaan seperti untuk perkebunan kelapa, kelapa sawit, karet, tanaman pangan, persawahan dan permukiman. Luas kawasan dan kondisi lahan kawasan ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Kawasan dan Kondisi Lahan di Kecamatan U’ut Murung
DESA Tumbang Olong I, II Keramu Tumbang Tujang Jumlah :
Luas desa/ Kelrhn /Ha 126,1 120,0 133,4 379,5
Luas lahan sawah Ha 0 0 0 0
Luas lahan bukan sawah Ha 126,1 120,0 133,4 379,5
Luas ladang Luas lahan yg tidak yg Luas diusahakan diusahakan Lahan Ha Ha pertanian (Ha) 1.025 217 124,8 1.363 293 118,3 1.987 243 131,2 4.375 753 374,3
Sumber : BPS Kabupaten Murung Raya dalam Angka 2006b
24
3.4.
Iklim dan Cuaca Kabupaten Murung Raya termasuk daerah beriklim tropis yang lembab
dan panas, karena secara geografis terletak di garis khatulistiwa dengan curah hujan yang cukup tinggi (berkisar dari 2.500 - 4.000 mm/tahun). Suhu pada siang hari rata-rata 26,5ºC, sedangkan pada malam hari rata-rata 23,2ºC. Curah hujan rata-rata 2.909 mm/tahun dan kelembaban nisbi sekitar 85% (BPS 2006a).
3.5.
Nilai Penting Kawasan
3.5.1. Konservasi Kawasan Target Menurut LIPI (2005) ekosistem yang terbentuk di kawasan Pegunungan Muller adalah ekosistem hutan hujan tropis dengan tipe riparian, hutan alluvium, hutan campuran dipterocarp, hutan pegunungan, hutan kerangas, hutan batu berkapur sampai ketinggian 1600 m DPL, hutan sekunder. Kawasan ini memiliki peran sangat penting mengingat kawasan ini adalah hulu dari 3 sungai besar di Kalimantan yaitu : Sungai Barito di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, Sungai Mahakam di Kalimantan Timur dan Sungai Kahayan di Kalimantan Tengah dan Sungai Kapuas di Kalimantan Barat. Kondisi disekitar kawasan ini akan sangat mempengaruhi kawasan lain (hilir) disekitar Daerah Aliran Sungai di Kalimantan. Peran penting ini menjadi alasan utama dalam mempertahankan kondisi kawasan ini agar tetap baik, selain kawasan ini adalah salah satu sisa hutan di dunia yang masih relatif terjaga keasliannya dari kondisi dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya (WWF 2004). Terbentuknya Tim Penyiapan dan Pengusulan Perubahan Status Pegunungan Muller menjadi calon World Natural Heritage berdasarkan SK Menko Kesra no. 14/Kep/Menko/Kesra/V/2002 dengan beberapa persiapan yang telah dilakukan sejak tahun 2003 sampai dengan 2004 melalui ekspedisi dan sosialisasi mengenai World Heritage dan publikasi ilmiah dari hasil penelitian “Arthropoda Tanah di Gunung Gunting dan Takori” di Jurnal Berita Biologi tahun 2004 yang mengangkat Pegunungan Muller menjadi warisan alam dunia kelima yang dimiliki Indonesia setelah Taman Nasional Ujung Kulon, Pulau Komodo, Daerah Aliran Sungai Membramo dan Pegunungan Lorentz (WWF 2004).
25
3.5.2. Keanekaragaman Hayati Kondisi keanekaragaman hayati suatu kawasan tentunya akan sangat dipengaruhi oleh aktifitas masyarakat yang menetap di kawasan tersebut. Nilasari (2003) menguraikan bahwa pada dasarnya masyarakat Dayak mempunyai sistem pengetahuan yang baik mengenai keanekaragaman sumber daya tumbuhan dan kondisi lingkungannya. Hal ini yang ditunjukkan dengan cara mereka mengenal keanekaragaman jenis tumbuhan tersebut dan cara pemanfaatannya. Mereka mendiskripsi bagian-bagian tumbuhan dengan baik, dan memberikan penamaan di setiap bagian tumbuhan yang penting bagi mereka. untuk membedakan jenis yang satu dengan jenis yang lainnya. Disamping itu mereka juga mengenal keanekaragaman dan kondisi lingkungan di sekitar mereka. Sebagai contoh mereka mampu membedakan dengan baik berbagai macam bentuk tipe ekosistem yang ada, baik yang asli maupun tipe ekosistem buatan. Khusus mengenai pengetahuan tentang keanekaragaman jenis tumbuhan, mereka mempunyai pengetahuan untuk mendiskripsi dan mengklasifikasi keanekaragaman tumbuhan tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh pengetahuan mereka dalam mengenali berbagai jenis tumbuhan yang ada di sekitarnya. Mereka mengetahui dengan mudah perbedaan jenis tumbuhan yang satu dengan yang lainnya. Mereka juga memberikan nama untuk setiap jenis tumbuhan terutama bagi jenis-jenis tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Sedangkan jenisjenis tumbuhan yang tidak berguna sebagian besar diantara mereka tidak mengetahui namanya, kecuali jenis-jenis tumbuhan gulma yang tumbuh di kawasan usahataninya. Pengetahuan yang mereka miliki tersebut umumnya berasal dari penuturan orang tua mereka, tukar pikiran dengan anggota masyarakat lainnya dan hasil pengalamannya sendiri atau hasil penggalian sendiri. Pengetahuan tersebut bersifat turun-menurun yang disampaikan secara lisan dan umumnya hanya diturunkan kepada keturunannya atau dengan melakukan pertukaran pengetahuan dengan anggota kelompoknya. Secara umum Pegunungan Muller dengan ekosistem hutan hujan tropis memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. MacKinnon et al. (2000) menjabarkan beberapa jenis flora dan fauna umum di Pulau Kalimantan. Sebagai contoh; jenis burung di atas tajuk, yaitu enggang gatal birah (Anthracoceros
26
malayanus) dan rangkong badak (Buceros rhinoceros). Dua jenis enggang ini memiliki habitat di daerah hutan primer dataran rendah dan dominan berada di atas tajuk dalam aktivitasnya. LIPI (2005) dalam laporan akhirnya menguraikan beberapa jenis burung pada tajuk adalah burung rimba murai coklat (Alcippe bruneicauda) dan cekup perepat (Gerygone sulphurea), cipoh kacat (Aegithina tiphia), cipoh jantung (Aegithina viridisima), burung madu sepah raja (Aethopyga siparaja), burung madu polos (anthreptes simplex), cica daun kecil (Chloropsis cyanopogon). Jenis burung di tempat terbuka, yaitu walet sarang putih (Colocalia fuciphaga), walet sarang hitam (Colocalia maxima), gagak kampung (Corvus macrorhyncos), layang-layang api (Hirundo rustica) dan layang-layang batu (Hirundo tahitica), bondol kalimantan (Lonchura fuscans), ciung air koreng (Macronus gularis). Jenis burung di lantai hutan, yaitu sempidan biru (Lophura ignita), taktarau melayu (Eurostopodus temminckii), uncal kouron (Macropygia ruficeps), tokhtor sunda (Carpococcyx radiceus), bubut besar (Centropus chinensis). Beberapa jenis burung endemik yang teridentifikasi antara lain bondol kalimantan (Lonchura fuscans) dan paok kepala biru (Pitta baudi). Sedangkan beberapa jenis burung langka antara lain tokhtor sunda (Carpococcyx radiceus), sempidan biru (Lophura ignita), ibis karau (Pseudibis davisoni), dan cucakrowo (Pycnonotus zeylanicus).Beberapa jenis burung komersial sering ditemukan murai batu (Copsychus malabaricus), kacer atau kucica (Copsychus saularis), tiung atau beo (Gracula religiosa), serindit (Loriculus galgulus), pialing (Psittinus cyanurus) atau burung nuri tanau. Keberadaan jenis burung-burung ini ditunjang oleh kondisi habitat hutan yang masih relatif baik. Hutan di hulu Barito masih terlihat menyimpan jenis-jenis dari famili dipeterocarpaceae yang memiliki tajuk tinggi sampai sekitar lebih dari 30 meter. Jenis pohon besar lainnya yang juga mudah diidentifikasi adalah jenis kempas (Koompasia excelsa) yang merupakan rumah bagi lebah liar penghasil madu. Sepanjang sungai didominasi oleh jenis jambu-jambuan (Eugenia sp), jenis merbau (Palaquium sp), dan jenis-jenis pelawan (Tristania obovata) yang kulit luarnya berwarna jingga terkelupas. Selain burung, jenis mamalia juga terdapat di daerah Pegunungan Muller ini, mengingat sebagian peranannya sebagai pemencar
27
dan penyebar biji-bijian di dalam hutan tropis. Jenis-jenis ini memang merupakan jenis arboreal (hidup di atas pohon) dan menyukai hutan primer sehingga mudah dijumpai di kaki Pegunungan Muller yang memiliki hutan relatif bagus. Jenis primata yang terlihat dan terdengar suaranya adalah owa (Hylobates muelleri), lutung merah (Presbytis rubicunda), dan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Owa ditemui di hulu Sungai Barito (Tumbang Keramu-Tumbang Topus), Pegunungan Muller, dan Sungai Sebunut (anak Sungai Mahakam). Jenis endemik Kalimantan ini biasanya mudah ditemukan di hutan dataran rendah. Jenis lain yang biasa terlihat di sekitar Pegunungan Muller adalah monyet beruk (Macaca nemestrina), lutung dahi putih (Presbytis frontata), lutung banggat (Presbytis hosei), dan kukang (Nycticebus coucang). Jenis mamalia terestrial (hidup di daratan) yang paling banyak dijumpai adalah babi hutan (Sus barbatus), payau (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjac), pelanduk (tragulus javanicus) dan sejenis musang. Jenis mamalia besar pernah ada di antaranya adalah behuang atau beruang (Helarctos malayanus), kuleh atau macan dahan (Neofelis nebulosa), sapi hutan atau banteng (Bos javanicus), dan tomora atau badak (Dicerorhinus sumatrensis). Sungai Barito dan Pegunungan Muller adalah laboratorium alam yang punya keragaman jenis dan endemisitas tinggi (LIPI 2005). 3.6.
Permasalahan Konservasi Secara umum kondisi hutan di Kecamatan U’ut Murung yang menjadi
kawasan penelitian ini didominasi oleh hutan (lebih dari 95%). Umumnya kurang dari 1% yang lahan yang digunakan sebagai ladang dan peruntukan lainnya (BPS 2006b). Namun demikian, permasalahan yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah kegiatan pengambilan kayu dan bukan kayu serta aktifitas perladangan yang tidak mendukung kegiatan konservasi seperti penempatan ladang di bibir sungai, atau kawasan curam (kemiringan lebih dari 50%) dan kegiatan pengumpulan dan pengambilan satwa serta flora yang belum diatur berdasarkan tingkat ketersediaannya di hutan.
28
Di lain pihak, meningkatnya deforestasi dan konversi hutan menjadi perkebunan,
pertambangan
dan
perladangan
masyarakat
yang
kurang
memperhatikan aspek kelestarian menjadi masalah utama dalam mempertahankan Pegunungan Muller dari kehilangan fungsi ekologi dan kehilangan berbagai spesies endemik dan langka. Hal ini disebabkan kondisi kawasan yang belum memiliki infrastruktur yang memadai dan minimnya pengawasan dari pihak terkait. Kawasan Pegunungan Muller-Schwanner adalah bagian dari program Jantung Borneo (Heart of Bornoe) yang digagas oleh 3 negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Status kawasan ini adalah Cagar Alam dan Hutan Lindung, tujuan program ini adalah untuk mendorong pengelolaan lestari kawasan dan cagar biosfir yang diusulkan menjadi Taman Nasional Gunung Muller (WWF 2004). Pembentukan kelompok kerja di tingkat provinsi (diketuai oleh gubernur) dan kabupaten (diketuai oleh bupati) dengan tujuan melakukan sosialisasi program dan kolaborasi pengelolaan dengan instansi terkait di tingkatan masing-masing ketua kelompok kerja. Penelitian awal telah dilakukan oleh LIPI yang memberikan gambaran tingginya keanekaragaman hayati kawasan ini dan direkomendasikan sebagai kawasan yang patut di lestarikan. Program ini sesuai dengan amanat UU RI No.5 tahun 1990 yang mengatakan kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 3.7.
Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Nilasari (2003) mengatakan bahwa masyarakat Dayak sangat menjaga
persahabatan dengan alam, karena apabila sikap mereka seolah tidak menghargai penguasa alam maka mereka akan menerima resiko dari sikap salah yang telah mereka lakukan. Sebaliknya apabila perlakuan baik mereka berikan kepada alam, maka alam akan membalas kebaikan mereka dengan rejeki yang melimpah. Sebagai contoh setiap mereka membuka lahan untuk berladang, tidak pernah
29
mereka begitu saja membabat hutan tanpa terlebih dahulu memohon ijin dan menyediakan sesajen kepada penguasa daerah tersebut. Kedekatan mereka dengan alam menjadikan mereka selalu mengamati gerak lembut perubahan alam dan mereka mampu menyatu dengan alam. Kebersatuan dengan alam, keheningan, menjadikan mereka mampu menyerap getaran alam, kepekaan semakin terasah, tumbuh dan berkembang kemampuan spiritual dalam dirinya. Beberapa bentuk acara budaya Dayak yang bermakna menjaga keseimbangan alam dan kehidupan manusia (Nilasari 2003) yang memperlihatkan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan kawasan dan memepertahankan keanekaragaman hayati terlihat jelas dalam acara adat berikut : 1. Dalam pembukaan ladang baru, peladang harus melakukan acara manajah antang serta menginventarisir jenis dan jumlah kayu adat yang terdapat dalam wilayah ladang, dan harus menanam kembali dengan jenis dan jumlah yang sama setelah beberapa kali panen. 2. Aturan bagi hasil panen yang di dapat oleh peladang adalah 1/3 hasil panen adalah bagian tanah, 1/3 bagian untuk pekerja (buruh tani yang membantu kegiatan berladang) dan 1/3 bagian untuk pemilik ladang. Bagian tanah diberikan dengan melakukan acara upa umo atau pesta panen (memberi bagian bagi tanah, hewan/burung) dengan cara membiarkan 1/3 bagian di ladang dan tidak dipanen oleh pemilik ladang. 3. Tana pali (tanah terlarang) adalah wilayah hutan yang tidak boleh dilakukan kegiatan apa-apa. Larangan mengambil ikan (pali lauk) pada musim tertentu (musim air besar). Kegiatan penangkapan ikan tidak boleh dilakukan dengan meraba lubang perlindungan ikan yang terdapat disela-sela batu dengan alasan ikan tersebut sedang bertelur. Larangan mengkonsumsi daging burung tingang dengan alasan dapat menyebabkan penyakit lepra dan larangan mengkonsumsi berbagai jenis ikan dan hewan tertentu seperti kijang dan kancil (namun hanya pada beberapa kelompok suku karena legenda sumpah suku dengan jenis binatang tersebut). Masyarakat yang berada disekitar kawasan Pegunungan Muller khususnya yang beragama Kaharingan, yakin bahwa bencana alam disebabkan kesalahan manusia sendiri. Bencana alam akan terjadi bila: 1) mengeluarkan ucapan tidak
30
pantas yang ditujukan kepada binatang atau hewan hutan; 2) melanggar suatu larangan pada tempat-tempat tertentu, misalnya pahewan atau tempat lain yang dianggap ada penghuninya; dan, 3) kesalahan dalam pelaksanaan kewajiban yang berkaitan dengan keyakinan Kaharingan. Tanda-tanda alam yang sering dipakai menjadi acuan masyarakat Dayak akan memperkirakan terjadinya sesuatu hal dalam kehidupan mereka adalah: 1) kulat danom (jamur air), apabila jamur ini banyak tumbuh pada bagian atas batang-batang pohon yang terdampar di sungai atau di pantai menandakan bahwa air sungai akan segera pasang. Bila tumbuhnya di bagian bawah, artinya air sungai akan segera surut; 2) telur kalambuei adalah penanda batas tertinggi dari naiknya air pasang dapat diamati dari letak telur kalambuei yang menempel di pinggiran sungai; 3) bajakah/langeh apabila akar pohon menjalar mulai bertunas petanda musim hujan dan banjir segera datang; 4) katak bila suara katak di pagi hari petanda musim hujan segera tiba; 5) kalialang apabila burung kalialang terbang diatas sungai, dan gerakannya menyambar arah permukaan sungai petanda hujan segera turun; dan, 6) ikan tabakang pada musim ikan ini bertelur berarti musim kemarau segera akan tiba. 3.8.
Program Konservasi dan Lembaga Lain yang Terlibat Kecamatan U’ut Murung Kabupaten Murung Raya termasuk dalam
kawasan pengelolaan lestari Jantung Borneo yang menjadi wilayah kerja Kelompok Kerja HoB (Heart of Borneo) Kabupaten Murung Raya di bawah koordinasi Kepala Dinas Lingkungan Hidup Murung Raya. YBSD (Yayasan Bina Sumberdaya) Puruk Cahu Kalimantan Tengah dan Aliansi Masyarakat Adat Murung Raya Puruk Cahu sebagai kelompok kerja bidang advokasi masyarakat dalam Pokja HoB Kabupaten Murung Raya.