BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Need terhadap Pelayanan Kesehatan Need terhadap pelayanan kesehatan dapat didasari kepada pengertian tentang merit goods. Margolis (1982) dalam Tjiptoherijanto (2008 : 47) mengatakan merit goods ini adalah setiap bentuk pengeluaran masyarakat yang nampaknya secara umum dapat dipahami akan tetapi sulit untuk diperhitungkan dengan menggunakan teori permintaan yang biasa. Diargumentasikan bahwa need terhadap pelayanan kesehatan merupakan fungsi dari need terhadap kesehatannya sendiri, dengan didasari oleh pengalaman masa lalunya. Pembahasan mengenai need yang perlu digaris bawahi adalah bahwa tidak seluruh need akan dapat dipenuhi, dengan demikian akan terdapat sebuah ranking need dalam pengertian ceteris paribus. Kita akan lebih memilih satu need untuk dipenuhi dibanding need yang lain, bila need yang dipilih tadi akan memberikan manfaat yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak dipilih tetapi kemungkinan untuk memenuhi suatu need merupakan fungsi dari biaya dan manfaat yang terkandung dibelakangnya yaitu biaya dan manfaat yang lebih besar. Need bukan merupakan sesuatu yang absolut maupun terbatas. Need adalah sesuatu yang dinamis dan cenderung untuk terus tumbuh bersama dengan berjalannya waktu dan dalam kasus ini pertumbuhan need tersebut akan bisa dilihat merupakan sebagian dari perkembangan penawaran fasilitas pelayanan kesehatan (Tjiptoherijanto, 2008).
Konsep need merangkum beberapa penilaian efektifitas, potensi untuk mempertimbangkan berbagai cara untuk memenuhi need (dengan segala akibat yang ditimbulkannya) dan pengakuan akan adanya keterbatasan sumber daya serta dapat juga merupakan bentuk dasar bagi alokasi sumber daya. Pada umumnya akan lebih baik untuk memasukkan sekaligus need ketika melakukan pengujian beroperasinya suatu pelayanan kesehatan tertentu. Mengingat need dapat memberikan dasar yang cukup bagi pengambilan keputusan yang tepat. Alokasi sumber daya sektor kesehatan tetap kurang efisien tanpa adanya beberapa koreksi yang menyangkut, pertama penyatuan kesepakatan tentang benefits value yang sering masih berbeda antara satu orang dan yang kedua menyangkut informasi yang benar tentang segi biayanya. Bidang social policy pada umumnya dan pelayanan kesehatan khususnya, masyarakat sering dikatakan berada dalam keadaan membutuhkan (in need), namun seringkali apa yang dimaksud dengan need tidak jelas. Spek dan Bradshaw dalam Tjiptoherijanto (2008), telah mencoba untuk membuat suatu kerangka pikir tentang siapakah yang sebenarnya mengatakan (melakukan), tentang apa (bagi) siapa. Formula Spek melibatkan tiga kelompok yaitu masyarakat, ahli medis, dan perorangan untuk menjawab pertanyaan : ”Apakah seseorang itu sakit?” dan ”apakah seseorang itu sedang membutuhkan pelayanan umum?”. Dan pertanyaan ketiga mengenai : ”Apakah seseorang itu meminta pelayanan umum?”. Bradshaw mengatakan ada empat definisi yang berbeda mengenai need yang lazim digunakan oleh peneliti dan praktisi social policy, yaitu :
a. Normative Need terjadi manakala masyarakat memiliki standar pelayanan kesehatan yang berada di bawah definisi desirable oleh para ahli. (standar desirable disini bisa saja bervariasi antara satu ahli dengan yang lain). b.
Felt Need terjadi manakala masyarakat menghendaki pelayanan kesehatan, hal ini berkaitan dengan persepsi perorangan tentang pelayanan kesehatan, sehingga dengan jelas akan berbeda dengan persepsi orang lainnya.
c. Expressed Need adalah need yang dirasakan tadi kemudian dikonversikan ke dalam permintaan. Misalnya mencari pelayanan kesehatan ke dokter puskesmas (permintaan disini tidak harus selalu seperti apa yang didefinisikan oleh para ekonom yang mencakup persoalan wiilingness to pay dan ability to pay terhadap pelayanan kesehatan). d.
Comparative Need terjadi manakala satu kelompok orang di masyarakat dengan status kesehatan tertentu tidak mendapatkan pelayanan kesehatan sedangkan kelompok yang lain dengan status kesehatan yang identik itu ternyata mendapatkan pelayanan kesehatan (Tjiptoherijanto, 2008). Kebutuhan seseorang terhadap pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang
subjektif, karena merupakan wujud dari masalah-masalah kesehatan yang ada di masyarakat yang tercermin dari gambaran pola penyakit. Dengan demikian untuk menentukan perkembangan kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan dapat mengacu pada perkembangan pola penyakit di masyarakat. Adapun tuntutan kesehatan adalah sesuatu yang subjektif, oleh karena itu pemenuhan terhadap tuntutan kesehatan sedikit pengaruhnya terhadap perubahan
derajat kesehatan, karena sifatnya yang subjektif, maka tuntutan terhadap kesehatan sangat dipengaruhi oleh status sosial masyarakat itu sendiri. Untuk dapat menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan baik, maka banyak hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat, sehingga perkembangan pelayanan kesehatan secara umum dipengaruhi oleh besar kecilnya kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat yang sebenarnya merupakan gambaran dari masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat tersebut (Jefkins, 2002). Kebutuhan
adalah
keinginan
masyarakat
untuk
memperoleh
dan
mengkonsumsi barang dan jasa yang dibedakan menjadi keinginan yang disertai kemampuan untuk membeli barang dan jasa dan keinginan yang tidak disertai kemampuan untuk membeli barang dan jasa (Tjiptoherijanto, 2008). Rendahnya pemanfaatan fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya, seringkali kesalahan atau penyebabnya karena faktor jarak antara fasilitas tersebut dengan masyarakat yang terlalu jauh (baik secara fisik maupun secara sosial), tarif yang tinggi, pelayanan yang tidak memuaskan dan sebagainya. Dan sering sekali melupakan faktor persepsi atau konsep masyarakat itu sendiri tentang sakit (Notoatmodjo. S, 2007). Pelayanan kesehatan didirikan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat membutuhkannya. Namun kenyataannya masyarakat baru mau mencari pengobatan atau pelayanan kesehatan setelah benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini bukan berarti mereka harus mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern (puskesmas dan sebagainya) tetapi juga ke fasilitas pengobatan tradisional
(dukun dan sebagainya) yang kadang-kadang menjadi pilihan masyarakat yang pertama. Itulah sebab rendahnya penggunaan puskesmas atau tidak digunakannya fasilitas-fasilitas pengobatan modern seperti puskesmas dengan ruang rawat inap (Depkes RI, 2004). Menurut Anderson dalam Notoadmojo (2003), ada 3 faktor yang memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan yaitu (1) mudahnya menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia, (2) adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang ada, (3) adanya kebutuhan pelayanan kesehatan. Menurut Alan Dever (1984) dalam ”Determinants of Health Services Utilization”, faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan adalah : a. Faktor Sosiokultural yang terdiri dari : (1) norma dan nilai sosial yang ada di masyarakat, dan (2) teknologi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. b. Faktor Organisasi yang terdiri dari : (1) ketersediaan sumber daya. Yaitu sumber daya yang mencukupi baik dari segi kuantitas dan kualitas, sangat mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan. (2) keterjangkauan lokasi. Keterjangkauan lokasi berkaitan dengan keterjangkauan tempat dan waktu. Keterjangkauan tempat diukur dengan jarak tempuh, waktu tempuh dan biaya perjalanan. (3) keterjangkauan sosial. Dimana konsumen memperhitungkan sikap petugas kesehatan terhadap konsumen. (4) karakteristik struktur organisasi formal dan cara pemberian pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan ada yang mempunyai struktur organisasi yang formal misalnya rumah sakit. c. Faktor Interaksi Konsumen-Petugas Kesehatan
(1) Faktor yang berhubungan dengan konsumen Tingkat
kesakitan
atau
kebutuhan
yang
dirasakan
oleh
konsumen
berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan pelayanan kesehatan. Kebutuhan dipengaruhi oleh : (1) faktor sosiodemografi, yaitu umur, sex, ras, bangsa, status perkawinan, jumlah keluarga dan status sosial ekonomi, (2) faktor sosio psikologis, yaitu persepsi sakit, gejala sakit, dan keyakinan terhadap perawatan medis atau dokter, (3) faktor epidemiologis, yaitu mortalitas, morbiditas, dan faktor resiko. (2) Faktor yang berhubungan dengan petugas kesehatan yang terdiri dari : (1) faktor ekonomi, yaitu adanya barang substitusi, serta adanya keterbatasan pengetahuan konsumen tentang penyakit yang dideritanya, (2) karakteristik dari petugas kesehatan yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, keahlian petugas dan fasilitas yang dipunyai pelayanan kesehatan tersebut.
2.2 Citra Pelayanan Kesehatan Banyak organisasi pelayanan kesehatan mengatakan jika dapat memperbaiki citra, maka segala sesuatunya akan lebih baik. Seringkali organisasi-organisasi pelayanan kesehatan justru menyerahkan tanggung jawab hanya kepada hubungan massa saja. Suatu organisasi yang baik tidak akan mengembangkan citra hanya melalui upaya hubungan massanya saja, citra merupakan fungsi dari semua yang sedang atau telah dilakukan, dan juga semua yang dapat dikomunikasikan. Organisasi pelayanan kesehatan hanya cenderung mengkaitkan citra terhadap komunikasinya saja, mengindikasikan kegagalan untuk memahami bagaimana mengembangkan citra.
Istilah citra sekarang ini mempunyai bermacam-macam arti seperti gambaran organisasi, citra perusahaan, gambaran nasional, citra merek, gambaran masyarakat, gambaran diri sendiri dan lain sebagainya. Penggunaan citra yang seperti itu sudah cenderung mempunyai banyak pengertian. Citra adalah sejumlah dari kepercayaankepercayaan, gagasan-gagasan, kesan yang diperoleh seseorang dari suatu objek (Kotler dan Clarke, 1987). Menurut Maramis (2006), citra adalah pengalaman sensorik yang tidak berdasarkan pada data yang ada pada waktu itu. Misalnya kita dapat menggambarkan dalam pikiran kita seekor sapi tanpa ada sapi di depan mata kita, hanya berdasarkan sapi yang kita lihat dahulu atau gambarnya dalam buku. Jadi, citra itu merupakan pencipataan ulang atau representasi mental dari suatu persepsi sebelumnya. Menurut Steinmetz dalam Sutojo (2004), citra adalah pancaran atau reproduksi jati diri atau bentuk orang perorangan, benda atau organisasi. Menurutnya bagi suatu organisasi juga dapat diartikan sebagai persepsi masyarakat terhadap jati diri organisasi, selanjutnya Steinmetz mengemukakan persepsi seseorang terhadap suatu organisasi/perusahaan didasari atas apa yang mereka ketahui atau mereka kira tentang organisasi/perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu citra sebuah pelayanan kesehatan yang sama dapat berbeda dimata dua orang yang berlainan. Seperti yang dikemukakan oleh Joe Marconi (1987), orang-orang yang memandang satu benda yang sama dapat mempunyai persepsi yang berlainan terhadap benda itu (Muzahamm, 1995). Setiap pelayanan kesehatan mau tidak mau mempunyai citra di mata masyarakat. Citra itu sendiri dapat berperingkat baik, sedang atau buruk. Peringkat
citra yang berlainan tersebut berdampak terhadap keberhasilan kegiatan pelayanan yang diberikan. Citra buruk melahirkan dampak negatif bagi operasi pelayanan dan dapat juga melemahkan kemampuan organisasi dalam bersaing (sutojo, 2004).
2.2.1 Pengukuran Citra Menurut Kotler dan Clark (1987) ada dua langkah pendekatan untuk mengukur suatu citra yaitu mengukur seberapa familiar dan favorable citra organisasi itu, dan yang kedua yaitu mengukur lokasi citra organisasi dalam dimensi-dimensi yang relevan (yang disebut diferensial semantik). 2.2.1.1 Pengukuran Familiaritas – Favoribilitas Citra atau image dapat didefinisikan sebagai seperangkat keyakinan, gagasan dan kesan yang dianut seseorang tentang sebuah objek. Sikap dan tindakan seseorang terhadap objek akan sangat tergantung pada objek tersebut. Pertama kali dapat diukur dengan skala familiaritas. Untuk menetapkan familiaritas, para responden diminta untuk memeriksa salah satu dari berikut : Tidak pernah Mendengar
Pernah mendengar
Mengetahui sedikit
Mengetahui sedang
Mengetahui dengan baik
Hasil-hasil ini mengindikasikan kesadaran masyarakat akan pelayanan tersebut. Jika banyak responden menempatkan organisasi tersebut di pilihan pertama, kedua dan ketiga, maka organisasi tersebut mempunyai suatu masalah kesadaran. Selanjutnya dari responden tersebut yang memiliki familiaritas dengan organisasi tersebut kemudian diminta untuk menguraikan bagaimana perasaan mereka tentang organisasi tersebut dengan menggunakan skala favorabilitas :
Sangat kurang Baik
Sedikit kurang baik
Acuh tak acuh
Sedikit baik
Sangat baik
Jika responden memilih pilihan pertama, kedua dan ketiga maka organisasi terebut harus mengatasi dulu masalah citra negatifnya. 2.2.1.2 Diferensial semantik Setiap pelayanan kesehatan perlu bergerak lebih jauh dan meneliti substansi citranya. Salah satu alat paling popular untuk mencapainya adalah melalui diferensial semantik. Metode ini mencakup langkah-langkah sebagai berikut : •
Mengembangkan sejumlah dimensi yang relevan. Peneliti dapat menggunakan hal yang biasa menjadi permasalahan tentang organisasi tersebut. Hal ini untuk mengidentifikasi dimensi yang akan digunakan dalam berpikir tentang objeknya. Misalnya orang dapat ditanyai : hal-hal apa yang sering dirasakan pasien bila sedang berada di rumah sakit. Jika seseorang mejawab mengenai kualitas perawatan medis, maka hal ini dapat diklasifikasikan kepada skala bipolar, dengan pilihan antara kualitas baik, sedang dan buruk.
•
Mengurangi
dimensi-dimensi
yang
relevan.
Jumlah
dimensi
harus
dipertahankan tetap rendah untuk menghindari keletihan/kelelahan responden. Ada tiga jenis skala dasar yakni ; skala evaluasi (kualitas baik-buruk), skala potensi (keamanan kuat-lemah) dan skala aktivitas (kualitas aktif-pasif). Dengan menggunakan hal ini sebagai pedoman, atau menjalankan analisis faktor, peneliti dapat membuang skala yang gagal untuk menambah informasi baru. •
Merata-ratakan hasil.
•
Memeriksa varians citra, Karena setiap profil citra adalah garis rata-rata, maka hal ini tidak menggambarkan seberapa jauh variabilitas citra yang sesungguhnya. Jadi diferensial semantik adalah alat pengukuran citra yang fleksibel dan
dapat memberikan informasi penting. Misalnya, organisasi dapat mengetahui bagaimana publik memandangnya dan juga pesaing utamanya. Dengan menelaah kekuatan dan kelemahan citra pesaing. Kemudian organisasi selanjutnya dapat mengambil langkah-langkah solusi penting, dapat mengetahui bagaimana publik dan segmen pasar yang berbeda memandangnya dan juga dapat memonitor perubahanperubahan dalam citra. Dengan mengulangi studi tentang citra secara berkala, organisasi dapat mendeteksi setiap penyimpangan ataupun peningkatan citra yang nyata (Kotler dan Clarke, 1987).
2.2.2 Menentukan Citra Menurut Kotler dan Clarke (1987), yang menentukan citra yakni ada dua teori pembentukan citra. Pertama menegaskan bahwa citra sebagian besar ditentukan oleh objek, yakni orang menerima realita objek begitu saja. Pandangan citra yang berorientasi pada objek mengasumsikan bahwa : (1) Orang cenderung untuk memiliki pengalaman pertama dengan objek, (2) Orang mendapatkan data yang terpercaya dari objek, dan (3) Orang cenderung tergantung dengan apa yang dilihat dengan cara yang sama selain memiliki latar belakang dan kepribadian yang berbeda. Asumsi-asumsi ini sebaliknya mengimplikasikan bahwa organisasi tidak dapat dengan mudah menciptakan citra yang salah tentang dirinya sendiri.
Teori kedua menegaskan bahwa citra sebagian besar ditentukan oleh asumsi seseorang. Orang yang mempertahankan pandangan ini menegaskan bahwa : (1) Orang memiliki tingkat kontak yang berbeda dengan objek, (2) Orang yang ditempatkan di depan objek, akan secara selektif menerima aspek-aspek berbeda dari objek tersebut, (3) orang memiliki cara masing-masing untuk memproses data sensory, yang melahirkan penyimpangan selektif. Karena alasan-alasan ini orang dapat mempertahankan citra yang sangat berbeda tentang objek yang sama. Yakni, ada hubungan lemah antara citra dan objek sesungguhnya. Kebenaran terletak diantaranya, yakni citra dipengaruhi oleh karakteristik objektif dari objek dan karakteristik subjektif dari penerima. Kita mungkin mengharapkan orang untuk mempertahankan citra yang sama terhadap suatu objek atau organisasi objek tersebut agak kompleks, bila sering mengalaminya secara langsung, dan bila agak stabil dalam karakteristik yang sesungguhnya. Sebaliknya, orang dapat mempertahankan citra yang sangat berbeda atas suatu objek, jika objek tersebut kompleks, dan jarang dialami dan berubah sesuai dengan waktu.
2.2.3 Hubungan Antara Citra dan Perilaku. Sebagian besar organisasi tertarik dengan pengukuran dan modifikasi citra karena mereka mengira bahwa citra memiliki pengaruh besar terhadap perilaku orang. Mereka mengasumsikan bahwa ada hubungan erat antara citra orang atas organisasi dan perilaku mereka terhadap itu. Namun, hubungan antara citra dan perilaku tidak demikian sesungguhnya. Citra hanya satu komponen dari sikap, Dua orang dapat memandang sebuah rumah sakit sebagai rumah sakit besar dan sebaliknya seseorang
juga memiliki sikap yang berlawanan terhadap rumah sakit tersebut. Selanjutnya, hubungan antara sikap dan perilaku juga lemah, seorang pasien mungkin lebih menyukai rumah sakit kecil daripada rumah sakit besar, karena rumah sakit kecil lebih dekat ke rumahnya atau karena dokter pasien memiliki hak istimewa memberi rujukan hanya pada rumah sakit kecil. Meskipun demikian, kita tidak akan menghilangkan pengukuran dan perencanaan citra hanya karena sulit merubahnya dan efeknya terhadap perilaku tidak jelas. Mengukur suatu citra organisasi adalah langkah penting dalam memahami apa yang sedang terjadi terhadap organisasi tersebut. Dan meskipun hubungan diantara citra dan perilaku tidak kuat, tetapi tetap eksis. Setiap organisasi harus membuat investasi dalam mengembangkan citra terbaik sedapat mungkin (Kotler dan Clarke, 1987).
2.3 Konsep Puskesmas Ruang Rawat Inap Puskesmas Ruang Rawat Inap adalah puskesmas yang diberi tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong pasien gawat darurat, baik berupa tindakan operatif terbatas maupun asuhan keperawatan sementara dengan kapasitas kurang lebih 10 tempat tidur. Rawat inap itu sendiri berfungsi sebagai rujukan antara yang melayani pasien sebelum dirujuk ke institusi rujukan yang lebih mampu, atau dipulangkan kembali ke rumah. Kemudian mendapat asuhan perawatan tindak lanjut oleh petugas perawat kesehatan masyarakat dari puskesmas yang bersangkutan di rumah pasien.
Pendirian puskesmas harus memenuhi kriteria sebagai berikut : (1) puskesmas terletak kurang lebih 20 km dari rumah sakit, (2) puskesmas mudah dicapai dengan kendaraan bermotor dari puskesmas sekitarnya, (3) puskesmas dipimpin oleh seorang dokter dan telah mempunyai tenaga yang memadai, (4) jumlah kunjungan puskesmas minimal 100 orang per hari, (5) penduduk wilayah kerja puskesmas dan penduduk wilayah 3 puskesmas disekelilingnya minimal rata-rata 20.000 orang/Puskesmas, (6) pemerintah daerah bersedia untuk menyediakan anggaran rutin yang memadai (Depkes RI, 2009). Puskesmas rawat inap diarahkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : 1. Melakukan tindakan operatif terbatas terhadap penderita gawat darurat antara lain; kecelakaan lalu lintas, persalinan dengan penyulit, penyakit lain yang mendadak dan gawat. 2. Merawat sementara penderita gawat darurat atau untuk observasi penderita dalam rangka diagnostik dengan rata-rata hari perawatan 3 hari atau maksimal 7 hari. 3. Melakukan pertolongan sementara untuk mempersiapkan pengiriman penderita lebih lanjut ke Rumah Sakit. 4. Melakukan metoda operasi pria dan metoda operasi wanita untuk keluarga berencana. Selain itu ruang rawat inap dilengkapi dengan fasilitas tambahan berupa : 1. Ruangan tambahan seluas 246 meter persegi yang terdiri dari ruangan perawatan, operasi sederhana, persalinan, perawat jaga, pos operasi, kamar linen, kamar cuci, dapur, laboratorium.
2. Peralatan medis dan perawatan berupa peralatan operasi terbatas, obstetri patologis, resusitasi, vasektomi, dan tubektomi, tempat tidur dan perlengkapan perawatan. 3. Tambahan tenaga meliputi seorang dokter yang telah mendapat pelatihan klinis di Rumah sakit selama 6 bulan (dalam bidang kebidanan, kandungan, bedah, anak dan penyakit dalam), 2 orang perawat/bidan yang diberi tugas secara bergiliran dan seorang pekarya kesehatan untuk melaksanakan tugas administratif di ruang rawat inap. Pendirian puskesmas rawat inap didasarkan pada kebijaksanaan : 1. Puskesmas dengan ruang rawat inap sebagai pusat rujukan antara dalam sistem rujukan, berfungsi untuk menunjang upaya penurunan kematian bayi dan ibu maternal, keadaan-keadaan gawat darurat serta pembatasan kemungkinan timbulnya kecacatan. 2. Menerapkan standar praktek keperawatan yang bertugas di ruang rawat inap puskesmas sesuai dengan prosedur yang diterapkan. 3. Melibatkan pasien dan keluarganya secara optimal dalam meningkatkan pelaksanaan asuhan keperawatan (Depkes RI, 2009)
2.4 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen
Variabel Dependen
Citra pelayanan rawat inap
-
Fasilitas pelayanan
-
Peran dokter
-
Pelayanan petugas
Need masyarakat
kesehatan -
Ketersediaan sarana non medis
-
Kondisi Lingkungan Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Definisi Konsep : (1) Need (Kebutuhan) masyarakat yaitu keinginan untuk memperoleh dan mengkonsumsi pelayanan rawat inap di puskesmas yang meliputi keiginan/tidak inginnya untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang ada, dalam hal ini puskesmas rawat inap. (2) Citra pelayanan rawat inap adalah ide, pendapat/penilaian seseorang terhadap puskesmas didasari atas apa yang mereka ketahui atau mereka kira tentang puskesmas yang diukur melalui fasilitas pelayanan, peran dokter, pelayanan peetugas kesehatan, ketersediaan sarana non medis dan kondisi lingkungan.
2.5 Hipotesis Penelitian Berdasarkan pembahasan, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: terdapat pengaruh citra pelayanan rawat inap yakni fasilitas pelayanan, peran dokter, pelayanan petugas kesehatan, ketersediaan sarana non medis dan kondisi lingkungan) terhadap need masyarakat di Puskesmas Gelugur Darat Medan Tahun 2010.