12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Terkait Dengan Bekerjanya Hukum (Efektifitas Hukum) Setiap bidang kehidupan sekarang ini sering dijumpai peraturanperaturan hukum. Tingkah laku manusia ini menjelajahi hampir semua bidang kehidupan manusia. Ditinjau dari sudut perspektif perkembangan masyarakat dan negara, kejadian masuknya hukum itu kedalam bidangbidang kehidupan masyarakat menjadi semakin meningkat bersamaan dengan makin meningkatnya peran yang dimainkan oleh negara dalam masyarakat. Perkembangan atau perubahan yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat di bidang teknologi, ekonomi maupun industri terhadap kehidupan sosial menghendaki agar hukum melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh pengaruh tersebut. Menurut
Satjipto
Rahardjo
bahwa
hukum
diartikan
sebagai
perilaku manusia karena perilaku manusia seringkali mengintervensi normatifitas dari hukum itu sendiri, sebagai contoh ketika seseorang membaca sebuah aturan kemudian dalam benak pikiran orang tersebut berpendapat bahwa adalah sebuah keharusan untuk bertindak sesuai dengan apa yang ada dalam aturan tersebut (Satjipto Rahardjo, 2006: 110). Fenomena yang sering dilihat dalam konteks di negara adalah bahwa
dari
sekian banyak regulasi yang sudah dibuat oleh pemerintah
terkadang belum juga berangkat dari landasan sosiologis, produk hukum yang dibuat secara sepihak oleh pemerintah terkadang juga tanpa kajian yang serius yang berangkat dari realitas masyarakat. Sehingga kehadiran sebuah
Undang-Undang terkadang belum juga menciptakan masyarakat
yang sadar hukum. Keadilan yang sering dianggap sebagai cita-cita dan aparat penegak hukum terkadang sering berbuat melanggar hukum. Fenomena tersebut nampaknya bekerja hukum atau efektifitas hukum masih menuntut usaha keras dari berbagai pihak. Maka dari itu
12
13
menurut Satjipto Rahardjo bahwa berbicara soal hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari asas-asas paradigma hukum yang terdiri atas fundamental hukum dan sistem hukum. Beberapa fundamental hukum diantaranya legislasi, penegakan dan peradilan sedangkan sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan kultur hukum. Efektifan hukum adalah situasi dimana hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati, dan berdaya guna sebagai alat kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut. Efektifitas hukum yang dimaksud berarti mengkaji kaidah hukum yang
harus
memenuhi
syarat,
yakni
hukum
yang
diberlakukan
berlandaskan pada landasan yurisdis, sosiologis, maupun fisiologis. Adapun beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi daya kinerja hukum
di
masyarakat
adalah
sebagai
berikut
(Satjipto
Rahardjo,
suatu
produk
peraturan
2006:117): a. Faktor Substansi Kaidah Hukum Substansi
atau
materi
dari
perundangundangan merupakan faktor yang cukup penting untuk diperhatikan dalam penegakan hukum, tanpa substansi atau materi yang baik dari suatu peraturan perundang-undangan rasanya sangat sulit bagi aparatur penegak hukum untuk dapat menegakkan peraturan perundang-undangan
secara baik
pula,
dan
hal
tersebut
sangat
ditentukan atau dipengaruhi ketika proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan dilakukan. b. Faktor Aparatur Penegak Hukum Peranan aparatur penegak hukum juga tidak kalah pentingnya dalam menentukan tingkat keberhasilan penegakkan suatu peraturan perundang-undangan, baik-buruknya aparatur penegak hukum dapat menentukan
baik-buruknya
pula
suatu
penegakkan
peraturan
perundangundangan. Suatu peraturan perundang-undangan yang baik terkadang tidak dapat
ditegakkan
secara
baik,
apabila
yang
menegakkan peraturan perundang-undangan tersebut adalah aparatur penegak hukum yang tidak baik atau tidak cakap. Dan hal tersebut dapat
14
dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya rendahnya tingkat pemahaman dari aparatur penegak hukum terhadap substansi suatu peraturan perundang-undangan.
Kemudian diberlakukannya
suatu
peraturan
perundang-undangan yang mempunyai maksud dan tujuan baik belum tentu memberikan suatu manfaat yang nyata bagi masyarakat, apabila tidak ditegakkan secara konsisten dan bertanggung jawab aturan-aturan hukum yang ada di dalamnya. c. Faktor Kesadaran Hukum Kesadaran hukum dapat dijelaskan sebagai nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Faktor budaya atau kesadaran hukum tidak dapat diabaikan begitu saja dalam menentukan sukses penegakkan hukum. Meskipun materi suatu peraturan
atau tidaknya perundang-
undangan itu baik dan dilengkapi oleh aparatur hukum yang cakap dalam menegakkannya, tanpa adanya budaya hukum yang kondusif di masyarakat rasanya akan sangat sulit bagi suatu produk peraturan perundang-undangan dapat berjalan secara efektif. Sedangkan budaya hukum itu sendiri tercermin dalam sikap warga masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut oleh masyarakat. Respon masyarakat terhadap penerapan hukum yang mengatur perilaku akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianutnya. Sedangkan menurut pendapat dari Prof. Dr. Zainuddin Ali, M. A, bila
membicarakan
efektifitas
hukum
dalam
masyarakat
berarti
membicarakan daya kerja hukum itu dalam mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat terhadap hukum. Efektifitas hukum dimaksud, berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yurisdis, berlaku secara sosiologis, dan berlaku secara filosofis. Oleh karena itu, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hukum itu berfungsi dalam masyarakat adalah kaidah hukum. Di dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan tiga macam hal
15
mengenai
berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu diungkapkan
sebagai berikut: a. Kaidah hukum berlaku secara yurisdis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan. b. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah dimaksud dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan)
atau
kaidah
itu
berlaku
karena
adanya
pengakuan dari masyarakat. c. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. 2. Tinjauan Umum Mengenai Pemerintahan Daerah a. Pengertian Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang
pemerintahan
Pemerintah
Daerah
adalah
penyelenggaran
urusan
oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam system dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 juga menegaskan bahwa Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintahan Daerah lain baik dalam urusan kewenangan, hubungan pelayanan umum,keuangan, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilakukan secara adil dan selaras. Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan antara pemerintah dan daerah, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 9 ayat (3) dan (4) menyebutkan bahwa urusan pemerintahan
16
konkuren
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
adalah
urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/ kota dan Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah”. Dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiskal nasional dan agama (Ni’matul Huda,2006:350). Penyelenggara urusan pemerintahan ini dapat dilimpahkan kepada perangkat atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintah daerah dan / atau pemerintahan desa. Pembagian urusannya itu berdasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya / tetap menjadi kewenangan pemerintah. Urusan pemerintah tersebut menyangkut terjamunnya kelangsungan hidup bangsa dan Negara secara keseluruhan. b. Asas-Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah antara lain sebagai berikut: 1) Asas Desentralisasi Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom berdasarkan asas otonomi. Definisi lebih mendalam diberikan oleh Arellano Colongon pada jurnalnya yang diterbitkan dalam ISEAS. Decentralization is defined as, “The transfer of responsibility for planning, management and resource raising and allocation from the central government and its agencies to field units of central government ministries or agencies,
17
subordinate units or levels of government, semi autonomous public authorities or corporations, and area-wide, regional or functional authorities (2003:88). Desentralisasi diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab atas perencanaan, pengelolaan, serta peningkatan sumber daya dan alokasi dari pemerintah pusat beserta lembaga-lembaganya kepada unit-unit yang ada di pemerintah pusat atau instansinya, unit di bawahnya atau yang setingkat dengan itu, kewenangan publik atau badan hukum yang setengah otonom, dan daerah yang luas, kewilayahan atau kewenangan fungsional. 2) Asas Dekonsentrasi Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa dekonsentralisasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, kepada instansi vertikal diwilayah tertentu, dan/ atau kepada Gubernur dan Bupati / Walikota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. 3) Asas Tugas Pembantuan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 1 angka 11, menyatakan Tugas Pemabantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. 3. Tinjauan tentang Otonomi Daerah a. Pengertian Otonomi Daerah Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 1 Angka 6 menjelaskan bahwa
18
Otonomi Daerah adalah hak, kewenangan, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Utang Rasidin, 2010:85). Dengan adanya otonomi daerah diharapkan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu aktif mengatur daerah. Definisi yang telah dijabarkan mengenai otonomi daerah maka dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan oleh pusat kepada daerah untuk mengatur segala urusan rumah tanggaya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undang yang berlaku. b. Tujuan Otonomi Daerah Terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah wujud nyata reformasi dalam sektor pemerintahan demokatis. Inilah yang menjadi tuntutan aspirasi masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan kebijakan ini diharapkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab mampu memberdayakan pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan daerah. Penyelenggaraan pembangunan daerah ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dilaksanakan secara lebih aspiratif, partisipatif, dan demokratis bersama seluruh unsur kekuatan masyarakat di daerah. Kebijakan
otonomi
daerah
diharapkan
akan
mampu
memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dilaksanakan berdasarkan kepada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
19
keadilan serta potensi, dan keanekaragaman daerah (Dewi Aniaty, Aviani Santi, dan Baryono, 2009:39). Menurut Mardiasmo tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah (Mardiasmo, 2002 : 46). Pada dasarnya terkandung 3 (tiga) misi utama pelaksaaan otonomi daerah yaitu: 1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. 2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah; dan 3) Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. c. Prinsip Otonomi Daerah Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi daerah (Dewi Aniaty, Aviani Santi, dan Baryono, 2009 : 43)., yaitu: 1) Prinsip otonomi seluas-luasnya artinya daerah berwenang mengatur semua urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang ditetapkan Undang-undang (misalnya selain bidang-bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama). 2) Prinsip otonomi nyata adalah bahwa untuk menangani urusan pemerintahan, berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada serta berpotensi untuk hidup dan berkembang sesuai potensi serta kekhasan daerah. 3) Prinsip otonomi bertanggung jawab adalah otonomi yang penyelenggaraannya benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi. 4. Tinjauan Umum Mengenai Kebijakan Publik James E. Anderson mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah.
20
Kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan, dan sebagainya. Ruang lingkup kebijakan publik sangatlah luas. Dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Provinsi, Peraturan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan Keputusan Bupati/Walikota (AG. Subarsono, 2009:3-4). Sedangkan menurut George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mendifinisikan kebijakan publik sebagai “suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program pemerintah untuk pencapaian sasaran atau tujuan (Suwitri, 2008:10). Pengertian atau definisi yang dikemukakan para ahli tersebut jelas bahwa kebijakan itu bermakna sebagai serangkaian tindakan yang diambil oleh seorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu atau untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Walaupun terdapat bermacam-macam definisi tentang kebijakan publik namun demikian secara umum suatu kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga pemerintah atau pejabat pemerintah. Kebijakan
publik
dalam
Lampiran
1
Peraturan
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/04/M.PAN/4/2007 tentang Pedoman Umum Formulasi, Implementasi, Evaluasi Kinerja, dan Revisi Kebijakan Publik di Lingkungan Lembaga Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam Peraturan Menteri ini, kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau lembaga pemerintahan untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatan tertentu atau untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak. Dalam Peraturan Menteri tersebut, kebijakan publik mempunyai 2 (dua) bentuk yaitu peraturan yang terkodifikasi secara formal dan legal, dan pernyataan pejabat publik di depan publik. Berdasarkan Peraturan Menteri ini, pernyataan pejabat publik juga merupakan bagian kebijakan publik. Hal
21
ini dapat dipahami karena pejabat publik adalah salah satu aktor kebijakan yang turut berperan dalam implementasi kebijakan itu sendiri. 5. Tinjauan Umum Mengenai Perizinan a) Pengertian Izin Didalam kamus hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai “Overheidstoestemming door wet of verordening vereist gesteld voor tal van handeling waarop in het algemeen belang special toezicht vereist is, maar die, in het algemeen, niet als onwenselijk worden beschouwd” (perkenaan/izin dari pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikenhendaki). Menurut
Sjahran
Basah,
izin
adalah
perbuatan
hukum
administrasi Negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. E. Utrecht, mengatakan bahwa bilamana pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning) (Ridwan HR, 2011:198-199). Bagir Manan menyebutkan bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum dilarang. N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan sempit yaitu sebagai berikut: a) Izin dalam arti luas Izin adalah salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan izin
22
sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang
dari
ketentuan-ketentuan
larangan
perundangan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan khusus atasnya. b) Izin dalam arti sempit Pengikatan-pengikatan
pada
suatu
peraturan
izin
pada
umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk mengahalangi keadaankeadaan yang buruk. Tujuanny adalah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang tidak selurunya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat melakukan pengawasan sekadarnya. Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang, terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-ketentuan) (Ridwan HR, 2011:199-200). Menurut Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah, izin adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah atau peraturan lainnya yang merupakan bukti legalitas menyatakan sah atau diperbolehkannya seorang atau badan untuk melakukan usaha atau kegiatan tertentu. Dengan demikian, izin
23
menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri adalah sebuah dokumen, hal ini menunjukan bahwa izin harus berbentuk tertulis. Keharusan dalam bentuk tertulis karena izin merupakan sebuah Ketetapan Tata Usaha Negara (beschikking) yang dibuat oleh pejabat negara ditunjukan kepada seseorang untuk dapat dilakukan suatu kegiatan tertentu. b) Sifat Izin Pada dasarnya izin merupakan keputusan pejabat/badan tata usaha negara yang berwenang, yang isinya atau substansinya mempunyai sifat sebagai berikut : 1) Izin bersifat bebas, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya tidak terikat pada aturan dan hukum tertuis serta organ yang berwenang dalam izin memiliki kadar kebebasan yang besar dalam memutuskan pemberian izin. 2) Izin bersifat terikat, adalah izin sebagai keputusan tata usaha negara yang penerbitannya terikat pada aturan dan hukum tertulis dan tidak tertulis serta organ yang berwenang dalam izin kadar kebebasannya dan wewenangnya tergantung pada kadar sejauh mana peraturan perundang-undangan mengaturnya. Misalnya, izin yang bersifat terikat adalah IMB, izin HO, izin usaha industry, dan lain-lain 3) Izin yang bersifat mengurungkan, merupakan izin yang isinya mempunyai sifat menguntungkan pada yang bersangkutan. Izin yang bersifat menguntungkan isi nyata keputusan merupakan titik pusat yang memberi anugerah kepada yang bersangkutan. Dalam arti, yang bersangkutan diberikan hak-hak atau pemenuhan tuntutan yang tidak aka nada tanpa keputusan tersebut. Misalnya, dari izin yang menguntungkan adalah SIM, SIUP, SITU, dan lain-lain. 4) Izin yang bersifat memberatkan, merupakan izin yang isinya mengandung unsur-unsur memberatkan dalam bentuk ketentuanketentuan yang berkaitan kepadanya. Disamping itu, izin yang berisfat memberatkan merupakan pula izin yang memberi beban
24
kepada orang lain atau masyarakat sekitarnya. Misalnya, pemberian izin kepada perusahaan tertentu. Bagi mereka yang tinggal disekitarnya yang merasa dirugikan izin tersebut merupakan suatu beban. 5) Izin yang segera berakhir, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang akan segera berakhir atau izin yang masa berlakunya relatif pendek, misalnya izin mendirikan bangunan (IMB), yang hanya berlaku untuk mendirikan bangunan dan berakhir saat bangunan selesai didirikan. 6) Izin yang berlangsung lama, merupakan izin yang menyangkut tindakan-tindakan yang berakhirnya atau masa berlakunya relatif lama, misalnya izin usaha industri, dan izin yang berhubungan dengan lingkungan. 7) Izin yang bersifat pribadi, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat atau kualitas pribadi dan pemohon izin. Misalnya, izin mengemudi (SIM). 8) Izin yang bersifat kebendaan, merupakan izin yang isinya tergantung pada sifat dan objek izin. Misalnya, izin HO, SITU, dan lain-lain (Adrian Sutedi, 2011:173-175). c) Unsur-Unsur dalam Izin Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disebutkan bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkrit menurut prosedur dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam perizinan, yaitu (Adrian Sutedi, 2011:179-193):
1) Wewenang Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van bestuur atau pemertintahan berdasarkan peraturan perundangundangan. Dengan kata lain, setiap tindakan hukum pemerintah, baik
25
dalam menjalankan fungsi pelayanan, harus didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Om positief recht ten kunnen vasstellen en hanhaven is een bevoegdheid noodzakelijk. Zander bevoegdheid kunnen geen juridisch concrete besluitten genomen warden (untuk dapat melaksanakan dan menegakkan ketentuan hukum positif perlu wewenang. Tanpa wewenang tidak dapat dibuat keputusan yuridis yang bersifat konkret). 2) Izin Sebagai Bentuk Ketetapan Berdasarkan jenis-jenis ketetapan, izin termasuk sebagai ketetapan
yang
bersifat
konstitutif,
yakni
ketetapan
yang
menimbulkan hak baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan itu, atau beschikkingen welke lets toestaan wat tevoren niet geoorloofd was (ketetapan yang memperkenankan sesuatu yang sebelumnya tidak diperbolehkan). Dengan demikian, izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau menetapkan peristiwa konkret. Sebagai ketetapan, izin itu dibuat dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku bagi keputusan pada umumnya, sebagaimana yang telah disebutkan diatas. 3) Lembaga Pemerintah Lembaga atau kelembagaan, secara teoritis adalah rule of the game yang mengatur tindakan dan menentukan apakah suatu organisasi dapat berjalan secara efisien dan efektif. Dengan demikian tata kelembagaan dapat menjadi pendorong pencapaian keberhasilan dan sekaligus juga bila tidak tepat dalam menata, maka dapat menjadi penghambat tugas-tugas termasuk tugas menyelenggarakan perizinan.
26
4) Peristiwa Konkret Peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, izin pun memiliki berbagai keragaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam proses yang cara prosedurnya tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam izin, struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. 5) Proses dan Prosedur Proses dan prosedur perizinan dapat meliputi prosedur pelayanan perizinan, proses penyelesaian perizinan yang merupakan proses internal yang dilakukan oleh aparat/petugas. Dalam setiap tahapan
pekerjaan
tersebut,
masing-masing
pegawai
dapat
mengetahui peran masing-masing dalam proses penyelesaian perizinan. 6) Persyaratan Persyaratan merupakan hal yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk memperoleh izin yang dimohonkan. Persyaratan perizinan tersebut berupa dokumen kelengkapan atau surat-surat. 7) Waktu Penyelesaian Izin Waktu penyelesaian izin harus ditentukan oleh instansi yang bersangkutan. Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan. 8) Biaya Perizinan Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian izin. Penetapan biaya pelayanan izin perlu memperhatikan hal-hal yaitu : a) Rincian biaya harus jelas untuk setiap perizinan, khususnya yang memerlukan tindakan seperti penelitian, pemeriksaan, pengukuran, dan pengajuan.
27
b) Ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, dan atau memperhatikan prosedur sesuai ketetntuan peraturan perundangundangan. 9) Pengawasan Penyelenggaraan Izin Saat sekarang kinerja pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh pemerintah dituntut untuk lebih baik. Dalam banyak hal memang harus diakui bahwa kinerja pelayanan perizinan pemerintah masih buruk. Hal ini disebabkan oleh tidak ada sistem insentif untuk melakukan perbaikan, dan buruknya tingkat pengambilan inisiatif dalam pelayanan perizinan. 10)
Penyelesaian Pengaduan dan Sengketa Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan perizinan wajib menyelesaikan
setiap
pengaduan
masyarakat
mengenai
ketidakpuasan dalam pemberian izin sesuai kewenangannya. Apabila penyelesaian pengaduan tersebut oleh pemohon atau pihak yang dirugikan
akibat
penyelesaian
dikeluarkan
melaui
jalur
izin,
maka
dapat
hukum,
yakni
melalui
melakukan mediasi,
Ombusman, atau ke pengadilan untuk menyelesaikan sengketa hukum perizinan tersebut. 11)
Sanksi Sebagai
produk kebijakan publik, regulasi, dan deregulasi
perizinan di Indonesia ke depan perlu memperhatikan materi sanksi dengan kriteria sebagai berikut : a.
Disebutkan secara jelas terkait dengan unsur-unsur yang dapat diberi sanksi dan sanksi apa yang akan diberikan.
12)
b.
Jangka waktu pengenaan sanksi disebutkan
c.
Mekanisme pengguguran sanksi
Hak dan kewajiban Hak dan kewajiban antara pemohon dan instansi pemberi izin harus tertuang dalam regulasi dan deregulasi perizinan di Indonesia. Dalam hal ini juga harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
28
a.
Tertulis dengan jelas
b.
Seimbang antara pihak
c.
Wajib dipenuhi oleh para pihak
d) Fungsi dan Tujuan Perizinan Perizinan merupakan perbuatan atau usaha yang sifatnya sepihak yang berada dibidang hukum publik yang berdasarkan wewenang tertentu berupa penetapan permohonan seseorang maupun badan hukum terhadap masalah yang dimohonkan. Menurut Adrian Sutedi ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu: 1) Fungsi Penertib Fungsi penertib, dimaksudakan agar izin atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lainnya, sehingga ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud. 2) Fungsi Mengatur Fungsi mengatur, dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat dilaksanakan sesuai dengan peruntukannya, sehingga terdapat penyalahgunaan izin yang telah diberikan, dengan kata lain, fungsi pengaturan ini dapat disebut juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah. 3) Fungsi Pembinaan Fungsi pembinaan, bahwa dengan diberikannya izin oleh pemerintah, maka pelaku usaha sudah diakui sebagai pihak yang memiliki kompetensi untuk melakukan praktik usaha. Oleh karena itu, sebagai pihak yang berkewajiban untuk memberikan pembinaan bagi pelaku usaha, maka pemerintah akan memiliki tanggung jawab pada pelaku usaha yang sebelumnya sudah memperoleh izin (Adrian Sutedi, 2011:193-197). Adapun mengenai tujuan perizinan, hal ini tergantung pada kenyataan konkret yang dihadapi. Keragaman peristiwa konkret
29
menyebabkan keragaman pula dari tujuan izin ini, yang secara umum dapat disebutkan sebagai berikut : a) Keinginan mengarahkan (mengendalikan “sturen”) aktivitasaktivitas tertentu (misalnya izin bangunan) b) Mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan). c) Keinginan melindungi objek-objek tertentu (izin terbang, izin membongkar pada monumen-monumen). d) Hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daeah padat penduduk). e) Pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitasaktivitas (izin berdasarkan “drank en horecawet”, dimana pengurus harus memenuhi syarat-syarat tertentu) (Ridwan HR, 2011:208-209). Tujuan dan fungsi dari perizinan adalah untuk pengendalian daripada
aktivitas
pemerintah
dalam
hal-hal
tertentu
dimana
ketentuannya berisi pedoman-pedoman yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat yang berwenang. Selain itu tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi yaitu: a) Pemerintah Dari sisi pemerintah tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut: 1) Untuk melaksanakan peraturan, apakah ketentuan-ketentuan yang termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam prakteknya atau tidak dan sekaligus untuk mengatur ketertiban. 2) Sebagai sumber pendapatan daerah, dengan adanya permintaan izin, maka secara langsung pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak pula pendapatan dibidang retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk membiayai pembanguna
30
b) Masyarakat Dari sisi masyarakat tujuan pemberian izin itu adalah sebagai berikut: 1) Untuk adanya kepastian hukum 2) Untuk adanya kepastian hak 3) Untuk memudahkan fasilitas, apabila bangunan yang didirikan telah mempunyai izin akan lebih mudah mendapat fasilitas (Adrian Sutedi, 2011:200). 6. Tinjauan Mengenai Bangunan Gedung Bangunan gedung merupakan sebuah karya manusia yang dibuat untuk menunjang kebutuhan hidup manusia, baik sebagai tempat bekerja, usaha, pendidikan, sarana olahraga, rekreasi, keagamaan, dan sarana lain sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pada dasarnya setiap orang, badan, atau institusi bebas untuk membangun bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan dana, bentuk kontruksi, dan bahan yang digunakan. Dalam pembangunan bangunan gedung harus diatur dan diawasi oleh pemerintah, karena pembangunan suatu bangunan gedung dapat mengganggu orang lain maupun membahayakan buat kepentingan umum. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung memberikan pengertian adalah wujud fisik hasil pekerjaan kontruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Bangunan gedung diselenggarakan berlandaskan asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai
31
kemanusiaan yang berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan. Asas keselamatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, disamping persyaratan yang bersifat administratif. Asas keseimbangan dipergunakan sebagai landasan agar
keberadaan
bangunan
gedung
berkelanjutan
tidak
menggangu
keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan gedung. Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungan di sekitarnya (Marihot Pahala Siahaan, 2008:29-30). Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk : a. Mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya. b. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. c. Mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung (Marihot Pahala Siahaan, 2008:30).
32
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung
Peraturan Daerah Kota Yogykarta Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Prosedur Perizinan Pembangunan Hotel
Kendala Yang Timbul
Solusi
Gambar. 2 Kerangka Pemikiran
33
Keterangan: Kerangka pemikiran diatas mencoba memberikan gambaran mengenai alur berpikir, menggambarkan, menelaah, menjabarkan dan menemukan jawaban atas Prosedur perizinan pembangunan hotel oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta ditinjau dari Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung. Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa pemerintah daerah dan DPRD adalah penyelenggara urusan pemerintahan di daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, bahwa pemerintah Kota Yogyakarta bersama DPRD telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Bangunan Gedung. Salah satu fungsi dari bangunan gedung adalah dipergunakan untuk perhotelan. Orang atau Badan hukum yang akan dan telah mengajukan izin pembangunan hotel ditujukan kepada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dalam proses pemberian izin, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta menerapkan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu di Bidang Penanaman Modal. Sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, Dinas perizinan akan melakukan verifikasi terhadap semua persyaratan yang telah ditetapkan. Selanjutnya dari hasil verifikasi akan diketahui pemohon yang memenuhi persyaratan dan tidak memenuhi persyaratan. Selama proses pengurusan izin, bila ditemui kendala dalam pelaksanaannya, maka perlu dicarikan solusinya.