12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam a. Ruang Lingkup Hukum Islam Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi dua bagian besar yaitu bidang ibadah (mahdah) dan bidang muamalah (ghoiru mahdah). Ibadah (mahdah) adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah seperti menjalankan sholat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap dan tidak dapat ditambahtambah maupun dikurangi dimana ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara ibadat, yang mungkin
berubah
adalah
penggunaan
alat-alat
modern
dalam
pelaksanaannya. Adapun muamalat (ghoiru mahdah) dalam pengertian yang luas yakni ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu (Mohammad Daud Ali, 1999: 48-49). Menurut H. M. Rasjidi, jika dibandingkan antara hukum Islam bidang muamalah dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena menurut sistem hukum Islam commit to user pada hukum perdata terdapat segi-segi perdatanya. Itulah sebabnya 12
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maka dalam hukum Islam tidak dibedakan kedua bidang hukum ini, yang disebutkan adalah bagian-bagiannya saja seperti misalnya, munakahat, wirasah, muamalat dalam arti khusus, jinayat atau ukubat, al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah), siyar, dan mukhasamat (Mohammad Daud Ali, 1999: 50). Apabila hukum Islam disistematisasikan seperti hukum Eropa yaitu hukum perdata dan hukum publik, maka hukum Islam dapat disistematisasikan berupa hukum perdata Islam dan hukum publik Islam. Hukum perdata Islam terdiri dari: 1) Munakahat,
yang
mengatur
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibatakibatnya. 2) Wirasah, mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan. 3) Muamalat, dalam arti yang khusus mengatur masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa pinjam meminjam, perserikatan dan sebagainya. Sedangkan hukum publik Islam terdiri dari: 1) Jinayat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatanperbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari hadd = batas). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya. commit to user 13
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Al-ahkam as-sulthaniyah, membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara, pajak dan sebagainya. 3) Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain. 4) Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara (Mohammad Daud Ali, 1999: 51).
b. Tujuan Hukum Islam Hukum Islam dibentuk adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan
mereka
kepada
kebenaran
untuk
mencapai
kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat dengan jalan mengambil segala manfaat dan mencegah atau menolak yang madharat yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia (M. Farkhan M dkk, 2006: 56). Menurut Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali, secara umum maslahat dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu al-mashlahah almu’tabarah, al-mashlahah al-mursalah, dan al-mashlahah almulgat. Al-mashlahah al-mu’tabarah adalah maslahah yang ditentukan dan diperintahkan oleh Allah. Al-mashlahah almursalah adalah maslahah yang tidak diperintahkan oleh Allah. Almashlahah al-mulgat adalah maslahah yang diabaikan oleh Allah (M. Nurul Irfan, 2013: 4). Al-mashlahah al-mu’tabarah diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu dharuriyyah, hajjiyah, dan tahsiniyyah. Almashlahah al-mu’tabarah dharuriyyah adalah sesuatu yang harus ada dalam menegakkan ketertiban dan ketentraman di dunia dan akhirat. Asy-Syatibi menggolongkan maslahah yang masuk ke to user dalam kategori inicommit adalah lima tujuan agama (maqashid asy14
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
syari’ah), yaitu dalam rangka menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan (M. Nurul Irfan, 2013: 5). Dalam rangka menjaga agama ini disyariatkan jihad, yaitu berperang di jalan Allah untuk mempertahankan agama dari serangan musuh dan siapapun yang melakukan penyimpanganpenyimpangan dalam agama harus ditarik kembali kepada ajaran yang benar. Bahkan sanksi hukum diberlakukan bagi yang murtad dan melakukan pelecehan terhadap agama (M. Nurul Irfan, 2013: 5). Menjaga dan melindungi jiwa manusia dari berbagai ancaman berarti memelihara eksistensi kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Untuk mewujudkannya, Islam menerapkan aturan hukum bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Apabila terjadi hilangnya nyawa atau terlukanya anggota
tubuh
seorang
muslim
tanpa
alasan
yang
memperbolehkannya, maka pelaku tindak pidana tersebut akan dikenakan sanksi qishash atau diyat (M. Nurul Irfan, 2013: 5). Untuk
menjaga
akal
maka
syariat
mengharamkan
mengkonsumsi minum-minuman dan makanan yang memabukkan. Dalam hal ini pemabuk, produsen, pengedar dan semua pihak yang telibat di dalamnya harus dikenai sanksi, baik sanksi hudud maupun takzir (M. Nurul Irfan, 2013: 6). Harta harus dijaga dengan baik, tidak boleh saling mencurangi dan menguasai dengan cara yang batil dalam bermuamalah, tidak boleh mendzalimi hak-hak anak-anak yatim, mengorupsi, menggasab, mencuri, merampok, dan sebagainya dan sanksinya adalah potong tangan (M. Nurul Irfan, 2013: 6). Dalam rangka menjaga nasab, agama Islam melarang segala bentuk perzinaan dan prostitusi karena dinilai sebagai perbuatan keji dan dapat merusak tatanan sosial, mengaburkan nasab commit to user keturunan serta akan mendatangkan bencana. Sangat dianjurkan 15
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menikah untuk melangsungkan keturunan umat manusia agar tidak punah dan mempunyai hubungan kekerabatan yang sah dan jelas. Pelaku zina dikenai sanksi hukum rajam atau dera 100 (seratus) kali (M. Nurul Irfan, 2013: 6).
c. Sumber Hukum Islam Adapun sumber hukum Islam yaitu: 1) Al-Qur’an, adalah sumber hukum Islam yang pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut. 2) As-Sunnah (Al-Hadits), adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah), dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah sukutiyah) Rasulullah yang tercatat dalam kitab-kitab hadits. Ia merupakan penafsiran serta penjelasan autentik tentang Al-Qur’an. 3) Akal Pikiran (Ra’yu), merupakan sumber hukum Islam yang berupa akal pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat
untuk
berusaha,
berikhtiar
dengan
seluruh
kemampuan yang ada padanya, memahami kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah Nabi dan merumuskannya menjadi garisgaris atau kaidah-kaidah hukum yang pengaturannya tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jalan atau cara yang digunakan diantaranya yaitu: a) Ijma’ yaitu persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa. commit to user 16
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Qiyas yaitu menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasannya). c) Istidal yaitu menarik kesimpulan dari dua hal yang berlainan. d) Masalih al mursalah yaitu cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik dalam
Al-Qur’an
maupun
kitab-kitab
hadits
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum. e) Istihsan yaitu cara menemukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial. f) Istihsab yaitu menetapkan hukum sesuatu hal menurut keadaan yang terjadi sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. g) Adat istiadat atau Urf yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku
bagi
masyarakat
yang
bersangkutan
(Mohammad Daud Ali, 1999: 100-111).
2. Tinjauan Umum tentang Anak Angkat a. Pengertian Anak Angkat Secara etimologi, anak angkat dalam bahasa Arab disebut tabanni yang berarti mengambil anak (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008: 19). Dalam istilah syara’, tabanni diberi pengertian sebagai pengambilan anak to yang commit userdilakukan oleh seseorang terhadap 17
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
anak yang jelas nasabnya, kemudian anak tersebut dinasabkan kepada dirinya. Pengertian lain tabanni adalah tindakan seorang laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak kepada dirinya, padahal anak tersebut mempunyai nasab jelas kepada orang tua kandungnya (Wahbah az-Zuhaili, 1997: 271). Sedangkan menurut Mahmud Syaltut, anak angkat adalah mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang seperti anak sendiri tanpa diberikan status anak kandung (Tim Penyusun Himpunan Fatwa MUI, 2011: 335). Anak angkat menurut Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. Sebagian pakar Hukum Islam cenderung menggunakan istilah anak angkat dengan anak asuh/hadhanah, sedangkan anak asuh yang sering disamakan pengertiannya dengan pengangkatan anak dalam Hukum Islam diberikan definisi yang menunjukkan substansi berbeda, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya, atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008: 207-208). Pengangkatan anak memiliki berbagai motivasi sesuai dengan perkembangan masyarakat, antara lain: 1) Ketiadaan anak keturunan, dalam arti suami istri sama sekali tidak memiliki anak atau tidak adanya keturunan dengan jenis kelamin tertentu yang sesuai dengan sistem kekeluargaan yang dianut. commit to user 18
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Ketiadaan ahli waris. Dalam masyarakat hukum adat yang menganut sistem kewarisan tertentu, misal mayorat lakilaki yang hanya mengenal ahli waris laki-laki saja sehingga ketika tidak ada keturunan laki-laki maka akan mengangkat ahli waris laki-laki untuk menjadi ahli warisnya. 3) Mengangkat anak sebagai pancingan. Dalam masyarakat ada keyakinan dengan melakukan pengangkatan anak bagi pasangan yang cukup lama tidak memiliki keturunan akan memancing lahirnya anak kandung sebagai hasil dari perkawinan suami istri tersebut. 4) Tujuan sosial. Pengangkatan anak dilatarbelakangi oleh simpati sosial, karena anak terlantar, atau karena ingin membantu orang tua kandung anak angkat dari kesulitan dalam mendidik dan menyejahterakan anak (M. Budiarto, 1991: 16). b. Dasar Hukum Pengangkatan Anak 1) Al-Qur’an dan Hadits a) Surat al-Ahzab ayat 4 “Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar”. b) Surat al-Ahzab ayat 5 “Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudaramu seagama dan mula-mula (hamba sahaya yang dimerdekakan)”. c) Surat al-Ahzab ayat 40 “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang commitlaki-laki to user diantara, tetapi ia adalah 19
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui Segala sesuatu”. d) Hadits Nabi Muhammad SAW Dari Abu Zar RA. Sesungguhnya ia dengar Rasulullah bersabda: “Tidak seorangpun mengakui (membangsakan diri) kepada ayah yang bukan sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur” (HR Bukhari dan Muslim). e) Hadits Nabi Muhammad SAW Dari Sa’ad bin Abi Waqas RA Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayahnya padahal ia tahu bahwa bukan ayah kandungnya, haram baginya surga” (HR Bukhari dan Muslim). f) Hadits Nabi Muhammad SAW Dari Abdullah bin Umar bin Khatab RA. Sesungguhnya ia berkata: “Kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah melainkan (kami panggil) Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat Al-Qur’an : Panggillah mereka dengan nama ayah (kandung mereka), itulah yang lebih adil di sisi Allah” (HR Bukhari). g) Dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam, halaman 263, jilid 2, oleh Muhammad Ali as-Sabuni, dijelaskan sebagai berikut: “Sebagaimana Islam telah membatalkan Zihar; demikian pula halnya dengan tabanni (mengangkat anak), Syariat Islam telah mengharamkannya, karena tabanni itu menisbahkan seorang anak kepada yang bukan bapaknya, dan itu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya mendapat murka dan kutukan Tuhan. Sesungguhnya Imam Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan hadis dari Saad bin Abi Waqas RA. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengakui (membanggakan) diri kepada yang bukan ayahnya, maka wajiblah ia mendapat kutukan Allah, Malaikat-Malaikat, dan sekalian manusia, commit to userserta Allah tidak meneriman dari padanya tasarruf dan kesaksiannya”. 20
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
h) Mahmud
Syaltut
dalam
bukunya
Al-Fatawa,
halaman 292 menulis: Untuk mengetahui hukum Islam dalam masalah “tabanni” perlu dipahami bahwa “tabanni” itu ada 2 (dua) bentuk. Salah satu diantaranya bahwa seseorang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri, dalam rangka memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya, dan secara hukum anak itu bukan anaknya. “Tabanni” seperti ini adalah perbuatan yang pantas dikerjakan oleh mereka orang-orang yang luas rezekinya, namun ia tidak dikarunia anak. Baik sekali jika mengambil anak orang lain yang memang perlu mendapat rasa kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya. Karena orang tua kandung anak yang bersangkutan tidak mampu (fakir miskin). Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala. Bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkatnya, sebagai persiapan masa depannya, agar ia merasakan ketenangan hidup (Tim Penyusun Himpunan Fatwa MUI, 2011: 333-336). 2) Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
anak
angkat
adalah
anak
yang
dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan. 3) Peraturan Perundang-undangan a) Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5-15 mengatur masalah pengangkatan anak
yang merupakan
kelengkapan dari KUHPerdata yang ada dan khusus berlaku bagi golongan commit to user Tionghoa. 21
masyarakat
keturunan
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tanggal
7 April
1979
tentang
Pengangkatan Anak yang mengatur prosedur hukum mengajukan
permohonan
pengesahan
dan/atau
permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh pengadilan. c) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979. d) Keputusan
Menteri
41/HUK/KEP/VII/1984
Sosial tentang
Nomor Petunjuk
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. e) Bab VIII, Bagian Kedua dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. f) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak yang berlaku mulai 8 Februari 2005 setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias yang menimbulkan masalah sosial berupa banyaknya anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak
angkat
oleh
LSM
dan
Badan
Sosial
Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan akidah agama anak tersebut. g) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a, angka 20 menyatakan bahwa, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan commit to user menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara 22
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
orang-orang
yang
beragama
Islam
dibidang:
“…Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasar hukum Islam.” h) Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai sekarang (Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008: 204-205).
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan pemikiran penulis dalam commit to user serta menemukan jawaban atas menggambarkan, menelaah dan menjabarkan 23
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu akibat pengangkatan anak menurut hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Setiap orang yang melakukan perkawinan mengharapkan lahirnya anak agar tercipta keluarga atau rumah tangga yang bahagia. Hal ini sejalan dengan tujuan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Keluarga idealnya terdiri dari ayah dan ibu sebagai orang tua dan anak. Namun karena berbagai alasan tidak semua pasangan suami istri bisa mendapatkan keturunan padahal dianggap mampu untuk memenuhi kebutuhan anak jika si anak lahir. Sementara itu ada keluarga yang memiliki anak bahkan lebih dari seorang tetapi kekurangan atau tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya. Maka untuk menjembatani permasalahan tersebut diadakan pengangkatan anak. Dalam penelitian ini akan difokuskan mengenai pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam yang berlaku di Indonesia yang memiliki tata cara tersendiri dan akibat yang ditimbulkan kepada anak angkat.
commit to user 24