BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Pengertian upaya hukum berdasarkan Pasal 1 butir 12 KUHAP yaitu: ”Upaya hukum adalah hak Terdakwa atau Penuntut Umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
b. Jenis Upaya Hukum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan upaya hukum biasa dan luar biasa. Upaya hukum biasa diatur dalam Bab XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam Bab XVIII.
1) Upaya Hukum Biasa a) Banding Putusan di tingkat Pengadilan Negeri dapat dimintakan upaya hukum Banding di tingkat Pengadilan Tinggi hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 87 KUHAP. Berdasarkan Pasal 233 sampai dengan Pasal 243 KUHAP dijelaskan mengenai pemeriksaan pada Tingkat Banding. Pemeriksaan Tingkat Banding ini pada intinya merupakan pengulangan pemeriksaan terhadap fakta-fakta yang ada sebagaimana terdapat juga dalam tingkat Pengadilan Negeri, sehingga disebut sebagai judex factie. Berdasarkan Pasal 67 KUHAP bahwa Banding dapat diajukan oleh Terdakwa maupun Penuntut Umum yang berkeberatan terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama. Namun dalam pasal tersebut juga dijelaskan
bahwa putusan yang tidak dapat dimintakan banding yaitu terhadap putusan bebas, pelepasan dari segala tuntutan hukum, dan putusan acara cepat. Menurut M. Yahya Harahap (2012: 453) bahwa alasan permintaan banding dapat diperinci sebagai berikut: (1) Dapat Dikemukakan Pemohon “Secara Umum” (2) Dapat Dikemukakan “Secara Terperinci” (3) Permintaan Banding Dapat Ditujukan Terhadap “Hal Tertentu”. Selain itu permintaan banding yang diajukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, antara lain (M. Yahya Harahap, 2012: 453-455): (1) Putusan menjadi mentah kembali; (2) Segala sesuatu beralih menjadi tanggung jawab yuridis pengadilan tingkat banding; (3) Putusan yang dibanding tidak mempunyai daya eksekusi.
b) Kasasi Peradilan Kasasi sebenarnya berasal dari sistem hukum Prancis. Kasasi di disebut Cassation yang berasal dari kata kerja Casser yang artinya membatalkan atau memecahkan (Leden Marpaung, 2011: 169). Kemudian lembaga kasasi tersebut ditiru pula di negeri Belanda yang pada gilirannya dibawa pula ke Indonesia. Pada asasnya Kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau Hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Arti kekuasaan kehakiman itu ditafsirkan secara luas dan sempit. Yang menafsirkan secara sempit ialah D. Simons (dalam Andi Hamzah, 2011: 297-298)
yang mengatakan jika Hakim memutus
sesuatu perkara padahal Hakim tidak berwenang menurut kekuasaan kehakiman. Dalam arti luas misalnya jika Hakim pengadilan tinggi memutus padahal Hakim pertama telah membebaskan. Menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum
dapat
mengajukan
permintaan
pemeriksaaan
Kasasi
kepada
Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Tujuan utama upaya hukum kasasi, antara lain sebagai berikut (M. Yahya Harahap, 2012: 539542): (1) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan; (2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru; (3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum. Alasan-alasan kasasi diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang diantaranya adalah: a. Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; b. Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; dan c. Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Meskipun telah diatur secara limitatif dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, namun dalam praktiknya sering dijumpai beberapa alasan kasasi yang tidak dibenarkan (M.Yahya Harahap, 2012: 567-572) , yaitu: (1) Keberatan putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri; (2) Keberatan atas penilaian pembuktian; (3) Alasan kasasi yang bersifat pengulangan fakta; (4) Alasan yang tidak menyangkut persoalan perkara; (5) Berat ringannya hukuman atau besar kecilnya jumlah denda; (6) Keberatan atas pengembalian barang bukti; (7) Keberatan kasasi mengenai novum. Menurut ketentuan KUHAP, telah ditetapkan tentang tata cara pengajuan permohonan upaya hukum kasasi yaitu sebagai berikut: (1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan (Pasal 245 ayat (1) KUHAP);
(2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP); (3) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh Terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan Terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat (3) KUHAP); (4) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) KUHAP telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 ayat (1) KUHAP); (5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) KUHAP, pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk permohonan kasasi itu gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP); (6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal 247 ayat (1) KUHAP); (7) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan (Pasal 247 ayat (2) KUHAP); (8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3) KUHAP) (9) Permohonan Kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP).
Adapun proses pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung yaitu setelah menerima berkas perkara kasasi, panitera Mahkamah Agung mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara dan kartu penunjuk, hal ini dikerjakan pada setiap hari kerja, dengan menutup dan menandatangani serta diketahui oleh Ketua Mahkamah Agung. Kemudian Panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaaan, yang aslinya dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Negeri dan tembusannya kepada para pihak dalam waktu 3 (tiga) hari setelah menerima berkas perkara kasasi tersebut, Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah Terdakwa tetap ditahan maka dalam waktu 14 hari sejak penetapan penahanan itu, wajib memeriksa perkara tersebut. Dalam hal Terdakwa tetap ditahan maka Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara itu dalam waktu 17 hari sesudah menerima berkas perkara kasasi tersebut. Tata cara dan prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP yang diuraikan sebagai berikut : (1) Pemeriksaan dalam kasasi dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung yang terdiri dari : (a) Berita acara pemeriksaan dari penyidik; (b) Berita acara di sidang; (c) Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu; (d) Putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat banding. (2) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan Terdakwa atau saksi atau Penuntut Umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan tingkat pertama dalam perkara tersebut untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama. 2) Upaya Hukum Luar Biasa
a) Kasasi Demi Kepentingan Hukum Kasasi demi kepentingan hukum ini berbeda dengan kasasi. Pengertian kasasi demi kepentingan hukum yaitu kasasi yang dilakukan atas permohonan Jaksa Agung karena jabatannya, dengan pengertian bahwa kasasi atas permohonan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan (Andi Hamzah, 2011: 303). Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP bahwa demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan Kasasi oleh Jaksa Agung. b) Peninjauan Kembali Bagian kedua upaya hukum luar biasa ialah Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 263 ayat (1). Bahwa terhadap putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Memperhatikan bunyi Pasal 263 ayat (1) dapat dikemukakan beberapa hal seperti yang diuraikan berikut ini (M. Yahya Harahap, 2012: 615): (1) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (2) Dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan; (3) Kecuali terhadap putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum.
2. Tinjauan Tentang Pembuktian a. Definisi Pembuktian Pembuktian merupakan suatu hal yang penting dalam proses penyelesaian suatu perkara. Dalam hal pembuktian terdapat suatu unsur yaitu membuktikan. Membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang di kemukakan dalam suatu persengketaan (R. Subekti,2005: 1).
Menurut M. Yahya Harahap (2012:274), pembuktian adalah ketentuanketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang di benarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang di benarkan Undang-Undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang di dakwakan. Arti pembuktian jika di tinjau dari segi hukum acara pidana antara lain: 1)
Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hukum, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang di tentukan oleh Undang-Undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yamh dianggapnya benar di luar ketentuan yang telah di gariskan oleh Undang-Undang.Terurtama bagi majelis hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang di temu8ikan selama pemeriksaan persidangtan. Jika majelis hakim hendak meletakan kebenaran yang di temukan dalam keputusan yang akan dijatuhkan, kebenaran itu harus di uji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang di temkukan. Jika tidak demikian, bisa saja orang yang jahat lepas dan orang yang tidak bersalah mendapatkan ganjaran hukuman;
2)
Sehubungan dengan pengertian di atas, majelis hakim dalam mencari dan meletakan kebenaran yang telah di jatuhkan di dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah di tentukan undang-undang secara „limitatif‟, sebagaiman yang di sebut dalam Pasal 184 KUHAP. Adapun mengenai macam-macam alat-alat bukti yang sah menurut isi Pasal
184 KUHAP adalah a) Keterangan Saksi b) Keterangan Ahli c) Surat
d) Petunjuk e) Keterangan terdakwa Pasal 184 KUHAP tersebut tidak terlepas dari Pasal 183 KUHAP. Di dalam Pasal 183 KUHAP di jelaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecualil apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Di dalam perkara pidana terdapat suatu asas yakni minimum pembuktian. Asas minimum pembuktian merupakan prinsip yang mengatur batas yang harus dipenuhi membuktikan salah atau tidaknya. Dengan kata lain, asas minimum pembuktian ialah suatu suatu prinsip yang harus di pedomani dalam menilai cukup atau tidak-nya alat bukti membuktikan salah atau tidak-nya terdakwa. Jika mengaitkan antara Pasal 183 KUHAP dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, maka untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan (M. Yahya Harahap, 2012: 283-284): (1)
Penjumlahan dari sekurang-kurangnya ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;
(2)
Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan seorang terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian.
b. Teori Sistem Pembuktian Dikenal beberapa teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana. Teoriteori tersebut antara lain: 1) Sistem atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif Teori ini didasarkan pada Undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan lagi. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (Formele bewijstheorie) (Andi Hamzah,
2012:251). Teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang.
2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Berhadap-hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu. Didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan.Bertolak pengkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini, pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam undang-undang. Kelemahan dari sisitem ini adalah memberi kebebasan kepada hakim yang terlalu besar sehingga sulit diawasi. Selain itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan (Andi Hamzah, 2012:252). 3)
Teori Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis (Laconvivtion Raisonnee). Sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonnee). Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya (Vrije bewijs theorie ). Keyakinan hakim harus di landasi reasoning atau alasan-alasan, dan reasoning itu haruslah reasonable yakni berdasar alasan yang dapat diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat
diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal (M.Yahya Harap, 2012:277-278).
4) Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Negatif (negative wettelijk ) Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikitdikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP dinyatakan sebagai berikut : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (M. Yahya Harahap,2012:279). Teori ini merupakan teori antara sistem pembuktian menurut UndangUndang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Rumusan dari teori ini adalah salah tidaknya terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan rumusan tersebut maka komponen dari teori ini adalah bahwa pembuktian harus dilakukann menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang serta keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang (M. Yahya Harahap,2012:279).
3. Tinjauan Tentang Dakwaan a. Pengertian Dakwaan Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan (Andi Hamzah,2008:167).
Pengertian tentang surat dakwaan telah dikemukakan oleh berbagai pakar di bidang ilmu hukum pidana atau hukum acara pidana. Pengertian-pengertian tersebut antara lain: 1) Harun M. Husein (1994:43), mengemukakan pengertian surat dakwaan adalah suatu surat yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa penuntut umum, yang memuat uraian tentang identitas lengkap terdakwa, perumusan tindak pidana yang didakwakan yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pidana yang bersangkutan, disertai uraian tentang waktu dan tempat tindak pidana dilakukan oleh terdakwa, surat yang menjadi dasar dan batas ruang lingkup pemeriksaan di sidang pengadilan. 2) M.Yahya Harahap ( 2000:375-376), menyatakan bahwa surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang dari dakwaan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan. 3) Soetomo (1989:4), merumuskan surat dakwaan adalah surat yang dibuat atau disiapkan oleh penuntut umum yang dilampirkan pada waktu melimpahkan berkas perkara ke pengadilan yang memuat nama dan identitas pelaku perbuatan pidana, kapan dan dimana perbuatan dilakukan serta uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai perbuatan tersebut yang didakwakan telah dilakukan oleh terdakwa yang memenuhi unsur-unsur pasal tertentu dari undang-undang yang tertentu pula yang nantinya merupakan dasar dan titik tolak pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan untuk dibuktikan apakah benar perbuatan yang didakwakan itu betul dilakukan dan apakah betul terdakwa adalah pelakunya yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perbuatan tersebut. Inti persamaan dari berbagai definisi di atas adalah: a) Surat dakwaan merupakan suatu akte dan sebagai suatu akte surat dakwaan harus mencantumkan tanggal pembuatan dan tanda tangan pembuatnya;
b) Bahwa setiap definisi surat dakwaan tersebut selalu mengandung elemen yang sama yaitu adanya perumusan tentang tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana; c) Bahwa dalam merumuskan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa harus dilakukan secara cermat, jelas dan lengkap sebagaimana diisyaratkan dalam ketentuan perundang-undangan; d) Bahwa surat dakwaan merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan (Harun M. Husein, 1994:45). Berdasarkan Pasal 143 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka surat dakwaan harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. (1) Syarat Formil Syarat formil diatur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam syarat ini hendaknya surat dakwaan diberi tanggal, menyebutkan dengan lengkap identitas terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa kemudian surat itu harus ditandatangani oleh penuntut umum.
(2) Syarat Materiil Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf b Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang dilakukan dengan menyebutkan waktu dan tempat dimana tindak pidana itu dilakukan. Adapun pengertian dari cermat, jelas dan lengkap adalah sebagai berikut (Darwan Prinst, 1998:117-119): (a) Cermat, yaitu ketelitian penuntut umum dalam membuat surat dakwaan yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku serta menghindari halhal yang akan berakibat bahwa dakwaan itu menjadi batal atau dapat dibatalkan.
(b) Jelas, yaitu bahwa penuntut umum harus merumuskan unsurunsur dari delik yang didakwakan sekaligus mengadukan dengan uraian perbuatan material atau fakta yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. (c) Lengkap, yaitu surat dakwaan harus mencakupi semua unsur yang ditentukan oleh undang-undang dengan baik dan benar.
b. Bentuk-Bentuk Surat Dakwaan Undang-undang tidak mengatur mengenai bentuk surat dakwaan. Bentuk surat dakwaan lahir dari ilmu pengetahuan hukum dan kemudian berkembang dalam praktek (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:24). Perkembangan di dalam praktek saat ini dikenal 5 (lima) bentuk surat dakwaan, yaitu: 1) Surat Dakwaan Tunggal Apabila Penuntut Umum berpendapat dan yakin benar bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa hanya merupakan satu tindak pidana saja dan hanya dicantumkan satu pasal yang dilanggar (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:24). Contoh dakwaan tunggal misalnya hanya didakwakan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP).
2) Surat Dakwaan Alternatif Dibuat Penuntut Umum jika dalam surat dakwaan, didakwakan beberapa perumusan tindak pidana tetapi pada hakekatnya yang merupakan tujuan utama ialah hanya ingin membuktikan satu tindak pidana saja diantara rangkaian tindak pidana yang didakwakan. Dalam hal ini Penuntut Umum belum mengetahui secara pasti apakah tindak pidana yang satu atau yang lain dapat dibuktikan dan ketentuan manakah yang akan diterapkan oleh hakim. Konsekuensi pembuktiannya adalah apabila dakwaan yang dimaksudkan telah terbukti, maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Atau tegasnya Penuntut Umum dapat langsung membuktikan dakwaan yang dianggap terbukti, tanpa terikat oleh urutan dakwaan yang tercantum dalam
surat dakwaan. Jadi disini ada faktor memilih, dakwaan yang mana yang dapat dibuktikan (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:26). Dakwaan alternatif ini digunakan Penuntut Umum dalam hal kualifikasi tindak pidana yang satu dengan kualifikasi tindak pidana yang lain menunjukan corak atau ciri yang sama atau hampir bersamaan dan biasanya menggunakan kata sambung “atau” (Rifkah Sri Wahyuningsih:2005 http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/.../doc.pdf diakses pada 12 Januari 2016 pukul 10.00 ). Contoh dakwaan alternatif misalnya adalah pencurian atau penadahan. Bentuk dakwaannya, yaitu:
3)
Pertama
: pencurian (Pasal 362 KUHP)
Kedua
: penadahan (Pasal 480 KUHP)
Surat Dakwaan Subsidair Bentuk surat dakwaan yang dibuat oleh
Penuntut Umum bilamana
Penuntut Umum berpendapat bahwa terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana akan tetapi ia ragu-ragu tentang tindak pidana apa yang dilakukan oleh terdakwa. Dalam dakwaan ini dirumuskan beberapa perumusan tindak pidana yang disusun sedemikian rupa dari yang paling berat sampai yang ringan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak lepas dari pemidanaan. Konsekuensi pembuktiannya adalah pertama-tama harus diperiksa terlebih dahulu dakwaan primair dan apabila tidak terbukti baru beralih ke dakwaan sibsidair, dan demikian seterusnya. Tetapi sebaliknya apabila dakwaan primair telah terbukti, maka dakwaan subsidairnya tidak perlu dibuktikan lagi dan seterusnya (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:25-26). Contoh dakwaan subsidair misalnya: Primair
: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Subsidair
: pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
Lebih Subsider
: penganiayaan berat yang mengakibatkan mati (Pasal 355 KUHP).
4) Surat Dakwaan Kumulatif Dibuat oleh Penuntut Umum bila berpendapat bahwa terdakwa melakukan dua atau lebih tindak pidana. Dalam surat dakwaan ini beberapa tindak pidana masing-masing berdiri sendiri artinya tidak ada hubungan antara tindak pidana yang satu terhadap yang lain dan didakwakan secara serempak. Yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku tindak pidana adalah terdakwa yang sama. Konsekuensi pembuktiannya adalah masing-masing dakwaan harus dibuktikan sedangkan yang tidak terbukti secara tegas harus dituntut bebas atau lepas dari tuntutan hukum (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:25). Jaksa penuntut umum menerapkan dua pasal sekaligus dengan menerapkan kata sambung dan (Rifkah Sri Wahyuningsih:2005 http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/archives/.../doc.pdf
diakses pada
12 Januari 2016 pukul 10.00). Contoh dakwaan kumulatif misalnya: Kesatu
: pembunuhan (Pasal 338 KUHP).
Kedua
: pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP).
5) Surat Dakwaan Kombinasi Surat dakwaan kombinasi merupakan bentuk surat dakwaan yang didalamnya mengandung bentuk dakwaan kumulatif, yang masing-masing dapat terdiri pula dari dakwaan subsidair dan atau alternatif atau dapat juga antara bentuk subsidair dengan kumulatif (Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 1985:27). Contoh dakwaan kombinasi misalnya. Kesatu Primair
: pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Subsidair
: pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP).
Kedua Primair
: sengaja membakar (Pasal 187 KUHP).
Subsidair
: karena kesalahannya yang mengakibatkan kebakaran (Pasal 188 KUHP).
Ketiga Primair
: pencurian yang didahului atau disertai dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP).
Subsidair
: pencurian pada waktu malam hari yang dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih (Pasal 363 KUHP).
4. Tinjauan tentang Hakim sebagai Judex Factie dan Judex Juris a. Pengertian Hakim Menurut Pasal 1 butir 8 KUHAP disebutkan Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang undang untuk mengadili Pengertian Hakim juga diatur lebih lanjut dalam Pasal 1 butir 5 UndangUndang
Nomor
48
Tahun
2009
tentang
Kekuasaan
Kehakiman
yang
merumuskanHakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.Intinya tentang kedudukan Hakim Pengadikan Negeri dan Pengadilan Tinggi sebagai Judex Factie yaitu berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, sedang Mahkamah Agung sebagai Judex Juris adalah berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan berkaitan dengan penerapan hukum yang telah dilakukan oleh Judex Factie. Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.dan menurut Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan KehakimanHakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
b. Pengertian Putusan Pengadilan
Mengadili merunut Pasal 1 butir 9 KUHAP adalah “serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Menurut isi Pasal 1 butir 11 KUHAP, pengertian Putusan Pengadilan dirumuskan “Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini”. c. Jenis Putusan Pengadilan Mengenai jenis putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim dalam memutuskan perkara pidana terhadap terdakwa ada tiga jenis yaitu: 1) Putusan Bebas Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Isi Pasal 191 ayat (1) KUHAP). 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Isi Pasal 191 ayat (2) KUHAP). 3) Putusan Pemidanaan Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana (Isi Pasal 193 ayat (1) KUHAP).
5. Tinjauan tentang Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus karena bersumber pada peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP). Di Indonesia tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain tindak pidana khusus, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruptie atau Corruptus. Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata Corrumpore, suatu kata Latinkuno.Dari bahasa Latin inilah, istilah Corruptioturun kebanyak bahasa Eropa, seperti Inggris: Corruption, Corrupt; Prancis: Corruption; dan Belanda: Corruptie(korruptie)(Lilik Mulyadi, 2000: 16).Arti harafiah dari korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang menghina atau memfitnah (Andi Hamzah, 2012: 4). Menurut Victor Egwemi (2012 :12) “Corruption entails any behaviour that deviates from accepted norm especially in the public space. It is any behavior that goes against established rules, regulations, and established procedure. In short, corruption is behaviour that breaks the law or aid and abets breaking the law. Such behaviour usually confers undue and/or unmerited advantages on the perpetrator. Such behaviour also expresses the notion of a betrayal of trust especially in a democracy” Terjemahan bebas : korupsi adalah salah satu perilaku yang menyimpang dari norma terutama di ruang publik. Ini adalah salah satu perilaku yang terjadi terhadap aturan yang ditetapkan, peraturan yang berlaku, dan prosedur yang ditetapkan. Dengan kata lain, korupsi adalah perilaku yang melanggar hukum. Perilaku yang tidak semestinya seperti itu biasanya memberikan keuntungan pada pelakunya. Perilaku seperti itu juga memberikan gagasan sebuah pengkhianatan terhadap kepercayaan terutama dalam demokrasi. Corruption is the abuse of public power for private gain. Corruption comes under many different guises, bribery, misappropiations of public goods, nepotism (favoring family members of jobs and contracts), and influencing the formulation of laws or regulations for private gain (Jeevan Singh Rajak, 2014: 1).
Terjemahan Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi bernaung di bawah penyamaran yang berbeda-beda, penyuapan, penyalahgunaan barang publik, nepotisme (mendukung anggota keluarga dalam pekerjaan dan kontrak), dan mempengaruhi perumusan undangundang atau peraturan untuk keuntungan pribadi (Jeevan Singh Rajak, 2014: 1). Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek, tergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan sebagaimana dikemukakan oleh Suyatno yang mengutip pendapat Benveniste (dalam Ermansjah Djaja, 2010: 19-20), korupsi didefinisikan dalam 4 jenis: Discretionary corruption, yaitu korupsi yan dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah. 1) Illegal corruption, yaitu suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, perturan dan regulasi tertentu. 2) Mercenery corruption, yaitu jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalah gunaan wewenang dan kekuasaan. 3) Ideological corruption, yaitu jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Apabila memperhatikan modus operandi dan pelaku dari tindak pidana korupsi, kejahatan korupsi bisa dikategorikan sebagai white collar crime dalam kategori kejahatan jabatan atau occupational crime.Kejahatan seperti ini bisa dilakukan oleh pejabat atau birokrat.Kejahatan korupsi selalu dilakukan tanpa kekerasan tetapi diikuti dengan kecurangan, penyesatan, penyembunyian kenyataan, manipulasi, akal-akalan dan pengelakan terhadap peraturan Sementara itu, Muladi (1992) mengajukan tujuh macam karakteristik kejahatan yang dilakukan orang-orang terhormat tersebut. Pertama, kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional dan sistem organisasi yang kompleks. Kedua, kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity), karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta seringkali
berkaitan dengan suatu yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, melibatkan banyak orang, serta berjalan bertahun-tahun. Ketiga, terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.Keempat, penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization) (TB Ronny Rahman : 2015 http://www.unisosdem.org/ article_ detail. php?aid=558&coid=3&caid=22&gid=3T diakses pada tanggal 11 Februari 2016 pukul
20.15 WIB).
b. Jenis Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UUPTPK), disebutkan bahwa korupsi adalah: Menurut Pasal 2 ayat (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Pasal 3: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Pasal 18: Selain pidana pokok, pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai pidana tambahan adalah: a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut; b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupan Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d. Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan Seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. Mencermati beberapa pengertian tindak pidana korupsi di atas, maka dapat dikemukakan beberapa unsur dari tindak pidana korupsi terutama dari unsur-unsur mutlak atau unsur-unsur pokoknya. Adapun unsur-unsur tersebut, yaitu : (1) Adanya pelaku atau para pelaku (subjek); (2) Adanya tindakan yang melanggar norma-norma; (3) Adanya tindakan yang merugikan keuangan negara atau masyarakat; dan (4) Adanya tujuan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dua subjek hukum sebagai pelaku korupsi yaitu setiap orang dan korporasi. Selanjutnya subjek setiap orang ini dijelaskan ke dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan mengenai apa yang dimaksud dengan Pegawai Negeri yaitu: (1) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; (2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; (3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; (4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau (5) Orang
yang menerima gaji
atau upah dari korporasi
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
lain
yang
Membahas mengenai subjek dalam UUPTPK tidak terlepas dari ketentuan Pasal 92 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum…..” (Andi Hamzah, 2012: 79). Sehingga dengan demikian subjek dalam tindak pidana korupsi bukan saja pegawai negeri tetapi bisa juga pejabat tetap atau pejabat sementara yang dipilih melalui pemilihan umum, seperti bupati atau kepala desa. Menurut Igm Nurjana (:23) jenis tindak pidan korupsi terbagi menjadi 7 yaitu : 1) Korupsi Transaktif, Jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kepada kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunia usaha atau bisnis dengan pemerintah 2) Korupsi
perkerabatan
(nepotistic
corruption),
yang
menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara. 3) Korupsi yang memeras (extortive corruption), adalah korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak yang biasa nya di sertai dengan ancaman 4) Korupsi Investif, adalah memberikan suatu jasa atau barang kepada suatu pihak lain demi keuntungan di masa depan. 5) Korupsi Defensif, adalah pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalam nya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan korban perbuatan korupsi. 6) Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang dilakukan seorang diri atau (single fighter) 7) Korupsi Suportif,adalah korupsi dukungan dan tak ada orang atau pihak lain yang terlibat.
B. Kerangka Pemikiran
Pasal 2 ayat (1) jo.Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001
Perkara Tindak Pidana korupsi
Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor: 25/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg
Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 62/Pid.Sus/2013/PT.TPK.Smg.
Alasan kasasi terdakwa
KUHAP
UndangUndang Tindak Pidana Korupsi Pertimbangan hukum Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung nomor:
18 K/Pid.Sus/2014
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu Kesalahan Judex Factie menilai dakwaan primair tidak terbukti sebagai pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi terdakwa pelaku tindak pidana korupsi (Studi putusan Mahkamah Agung Nomor 18 K/PID.sus/2014). Penulis meneliti dan menganalisis putusan dari Mahkamah Agung mengenai Tindak
Pidana
Korupsi
berdasarkan
putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
18
K/Pid.Sus/2014. Berdasarkan putusan pada tingkat pertama Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Semarang Nomor : 25/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg : Menyatakan Terdakwa ABDUL MUCHID Bin ACHMAD JAMALUDDIN tidak terbukti bersalah melakukan korupsi menurut dakwaan primair, membebaskan dari dakwaan primair. Menyatakan Terdakwa ABDUL MUCHID Bin ACHMAD JAMALUDDIN tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukantindak pidana : “Korupsi” sebagaimana tersebut dalam dakwaan Subsidair. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan,dan denda sebesar Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) serta menghukum pula terdakwa untuk membayar Uang Pengganti sebesar Rp.115.992.600,00 (seratus lima belas juta Sembilan ratus Sembilan puluh dua ribu, enam ratus rupiah) Setelah Penuntut Umum mengajukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Semarang, putusan pada Pengadilan Tinggi Semarang
menyatakan bahwa bahwa
Terdakwa tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primair tetapi pada putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor : 62/Pid.Sus/2013/PT.TPK.Smg menetapkan bahwa hukuman Terdakwa di tambah menjadi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah) serta menghukum terdakwa untuk membayar Uang Pengganti sebesar Rp.115.992.600,00 (seratus lima belas juta Sembilan ratus Sembilan puluh dua ribu, enam ratus rupiah) Setelah itu Terdakwa mengajukan upaya hukum kasasi dan Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sesuai dakwaan primair, menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun
dan denda sebesar Rp.200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) serta menghukum pula terdakwa untuk membayar Uang Pengganti sebesar Rp.115.992.600,00 (seratus lima belas juta Sembilan ratus Sembilan puluh dua ribu, enam ratus rupiah). Penulis membahas untuk mencari jawaban atas permasalahan : apakah alasan pemohon kasasi sependapat dengan judex factie bahwan terdakwa tidak terbukti bersalah dalam dakwaan primair dan keberatan atas sanksi pidana yang di jatuhkan sesuai dengan Pasal 253 KUHAP. Dan apakah kesalahan judex factie dalam menilai perbuatan terdakwa tidak terbukti melanggar dakwaan primair sebagai pertimbangan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi terdakwa telah sesuai Pasal 256 KUHAP?