BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Hukum Ketenagakerjaan a.
Pengertian Hukum Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja, pengertian tersebut terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan pengertian dari hukum ketenagakerjaan yaitu himpunan peraturan yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama dan sesudah masa kerja (Adrian Sutedi, 2013: 13). Berikut beberapa pendapat para ahli hukum mengenai hukum ketenagakerjaaan atau perburuhan yaitu menurut M. G. Levenbach dalam Lalu Husni (Lalu Husni, 2003: 12) juga menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu. Menurut Prof. Imam Soepomo (Imam Soepomo, 1983: 3), hukum perburuhan merupakan himpunan peraturan baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang berkenaan dengan kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah. Hukum perburuhan atau hukum ketenagakerjaan adalah sebagian dari hukum yang berlaku (segala peraturan-peraturan) yang menjadi dasar dalam mengatur hubungan kerja antara buruh atau pekerja dengan majikan atau perusahaannya, mengenai tata kehidupan dan tata kerja yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut (G. Karta Sapoetra dan RG. Widianingsih, 1982: 2). Mr. Soetikno dalam bukunya yang berjudul hukum perburuhan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum
18
19
perburuhan atau hukum ketenagakerjaan adalah keseluruhan peraturanperaturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan di bawah perintah/ atau pimpinan orang lain dan mengenai keadaan-keadaan penghidupan yang langsungbersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut (G. Karta Sapoetra dan RG. Widianingsih, 1982: 2). Adapun pendapat mengenai pengertian yang diberikan oleh Mr. Mok yang berpendapat bahwa hukum ketenagakerjaan atau hukum perburuhan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsug bergantung dengan pekerjaan itu (Halili Toha dan Pramono, 1987: 2).
b.
Sifat Hukum Ketenagakerjaan Hukum ketenagakerjaan jika ditinjau berdasarkan sifatnya, dapat bersifat privat sekaligus juga bersifat publik. Hukum ketenagakerjaan dikatakan bersifat privat karena mengatur tentang hubungan antara orang perorangan (Asri Wijayanti, 2010: 12). Dapat diambil salah satu ilustrasi bahwa hukum ketenagakerjaan bersifat privat yaitu dimana hubungan kerja yang timbul di antara pihak pengusaha dengan pihak pekerja lahir karena adanya suatu perjanjian kerja yang dibuat anatara pihak pengusaha dengan pihak
pekerja.
Telah
dipaparkan
sebelumnya
bahwa
hukum
ketenagakerjaan selain bersifat privat juga bersifat publik, dapat dikategorikan bersifat publik karena dalam hukum ketenagakerjaan terlihat secara jelas bahwa adanya campur tangan pemerintah dalam masalahmasalah ketenagakerjaan. Campur tangan disini maksudnya adalah pemerintah membentuk suatu kebijakan-kebijakan terkait permasalahan hukum ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Campur tangan dari pihak pemerintah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan membuat peraturan-peraturan yang sifatnya mengikat baik itu bagi pihak pekerja maupun pihak pengusaha,
20
disamping itu pemerintah juga berfungsi untuk membina dan mengawasi jalannya proses hubungan industrial.
c.
Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia secara teoritis dapat dipisahkan menjadi tiga bidang, yaitu terletak di bidang hukum administrasi atau hukum tata negara, hukum perdata dan hukum pidana (Asri Wijayanti, 2010:15). Kedudukan tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan peraturan-peraturan yang mengatur terkait hukum ketenagakerjaan haruslah mendasarkan pada teori hukum yang menelaah bidang tersebut. Namun, dalam praktiknya harus dijalankan secara berhubungan dan saling berkesinambugan satu sama lain dalam artian bahwa dalam pelaksanaannya tidak boleh dipisah-pisahkan antara satu dengan yang lain. Berikut adalah kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia yaitu (Asri Wijayanti, 2010: 16): 1) Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum perdata Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum perdata pada hakikatnya yang memegang peranan penting di dalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya yaitu pekerja dan pengusaha saja. Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hubungan hukum privat. Hubungan itu didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata. Pemerintah hanya berlaku sebagai pengawas atau lebih tepatnya menjalankan fungsi fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan muncul suatu perselisihan yang tidak dapat para pihak selesaikan. 2) Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum administrasi Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam hukum administrasi yang perlu disoroti ada dua hal, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut tiga hal yaitu
21
pejabat, lembaga, dan warga negara. Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi. Peranannya berkaitan dengan menjalankan fungsi negara di dalam pembuatan peraturan atau pemberian izin (bestuur), bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat terjadi (politie) dan bagaimana upaya hukumnya (rechtspraak). 3) Kedudukan hukum ketenagakerjaan di bidang hukum pidana Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum pidana adalah pentingnya penerapan sanksi pidana bagi pelanggar peraturan perundang-undangan. Terdapat asas legalitas dalam hukum pidana, yaitu suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum apabila perbuatan tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang. Penerapan sanksi pidana harus mendasarkan pada ada atau tidaknya kesalahan yang dibuktikan dengan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dengan akibat yang terjadi.
d.
Subjek Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Adapun
yang
termasuk
subjek
hukum
dalam
hukum
ketenagakerjaan adalah sebagai berikut: 1) Pekerja atau Buruh Istilah buruh sangat popular dalam dunia perburuhan atau ketenagakerjaan. Istilah buruh sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda selain itu juga karena peraturan perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan sebelum UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan masih menggunakan istilah buruh. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana yang diusulkan oleh pemerintah yaitu Departemen
22
Ketenagakerjaan pada saat dilaksanakannya Kongres FBSI II Tahun 1985. Alasan pemerintah pada saat itu adalah karena istilah buruh dinilai kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan atau kedudukan dari seorang pihak yang selalu ditekan dan berada di bawah pihak lain yaitu majikan (Lalu Husni, 2000: 25). Dalam
Rancangan
Undang-Undang
Ketengakerjaan
sebelumnya menggunakan istilah pekerja saja namun pada tahun 2000 telah disahkan terlebih dahulu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Buruh yang dimana dalam undang-undang tersebut menggunakan istilah Pekerja/ Buruh. Untuk mewujudkan keselarasan antara undang-undang yang hendak dibuat dengan undang-undang yang telah lahir sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Buruh, maka dari itu dalam RUU Ketenagakerjaan menggunakan istilah Pekerja atau Buruh. Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 3 memberikan pengertian Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Pengertian ini cukup umum namun maknanya lebih luas karena dapat mencakup semua orang yang bekerja pada siapa saja baik perorangan, persekutuan, badan hukum atau badan lainnya dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk apapun. Penegasan imbalan dalam bentuk apapun ini perlu karena upah selama ini diidentikkan dengan uang, padahal ada pula pekerja atau buruh yang meerima imbalan dalam bentuk barang. Menurut Abdul khakim (Abdul Khakim, 2009:2) yang dimaksud dengan pekerja/ atau buruh adalah tiap-tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masayarakat.
23
2) Pengusaha atau Majikan Sebagaimana halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga sangat popular karena perundang-undangan sebelum UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menggunakan istilah majikan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan disebutkan bahwa majikan adalah “orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh”. Sama halnya dengan istilah buruh, istilah majikan juga kurang sesuai dengan konsep hubungan industrial serta pedoman ataupun falsafah negara Indonesia yaitu Pancasila, karena istilah majikan berkonotasi sebagai pihak yang selalu berada diatas sebagai lawan atau kelompok penekan dari buruh (Lalu Husni, 2000: 25). Jika dilihat buruh dan majikan secara yuridis merupakan mitra kerja yang mempunyai kedudukan yang sama yang dimana antara satu dengan yang lain saling membutuhkan dan ada hubungan timbal balik di antara keduany, yaitu dimana pihak majikan membutuhkan tenaga dar pihak buruh dan begitupula buruh membutuhkan upah yang akan dipeberikan oleh majikan. Atas dasar alasan tersebutlah lebih tepat apabila digunakan istilah pengusaha dibanding dengan istilah majikan. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian istilah pengusaha yaitu: a) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berdiri sendiri mejalankan perusahaan hukum miliknya; c) Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
berada
di
Indonesia
mewakili
perusahaan
24
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Selain pengertian pengusaha, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga memberikan pengertian pemberi kerja. Perlu dipahami bahwa makna pemberi kerja dengan pengusaha tidaklah sama, pengaturan istilah pemberi kerja muncul dengan tujuan untuk memberikan perbedaan yang jelas serta menghindari orang yang bekerja pada pihak lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai pengusaha khususnya bagi pekerja pada sektor informal. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian dari pemberi kerja ialah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 3) Serikat pekerja/ atau buruh Sejalan dengan apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin setiap orang memiliki kebebabasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional Nomor 98 dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Dasar-Dasar Hak Berorganisasi dan Berunding Bersama. Tidak ketenagakerjaan
jarang yang
kita
melihat
berada
di
banyak sekeliling
kasus kita
terkait terutama
permasalahan pemenuhan hak yang seharusnya diperoleh pekerja diabaikan begitu saja oleh pihak perusahaan. Dalam rangka untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, maka diperlukan suatu wadah atau organisasi bagi pekerja untuk menghimpun dirinya serta memperjuangkan hak-haknya tersebut, sehingga tidak ada lagi perlakuan yang sewenang-wenang dilakukan oleh pihak pengusaha
25
kepada pihak pekerja. Karena hal tersebut dirasa sangat penting, maka kaum pekerja di Indonesia harus menghimpun dirinya dalam suatu wadah atau organisasi. Keberhasilan maksud dari suatu wadah tersebut yaitu yang dimaksud dengan serikat pekerja ini sangat tergantung dari kesadaran para pekerja untuk mengorganisasikan dirinya, semakin baik organisasi itu, maka akan semakin kuat keberadaan dari organisasi tersebut. Sebaliknya semakin lemah, maka semakin tidak berdaya dalam melakukan tugas yang diemban oleh serikat pekerja tersebut. Dalam rentang waktu yang cukup lama, akhirnya pemerintah berhasil menetapkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Buruh. Dalam Undang-Undang Serikat Pekerja/ Buruh ini menyebutkan bahwa
serikat pekerja/ buruh
adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/ buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri,
demokratis,
dan bertanggungjawab guna
memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan juga keluarganya (Lalu Husni, 2001: 52). Dengan demikian jelaslah bahwa keberadaan serikat pekerja/ buruh sangat penting artinya dalam rangka memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan kepentingan pekerja/ buruh yang tujuan utamanya yaitu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/ buruh serta keluarganya. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Buruh memuat beberapa prinsip dasar yakni (Lalu Husni, 2001: 53): a) Jaminan bahwa setiap pekerja/ buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/ buruh;
26
b) Serikat pekerja/ buruh dibentuk atas kehendak bebas buruh/ pekerja tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, dan pihak manapun; c) Serikat pekerja/ buruh dapat dibentuk berdasarkan sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/ buruh; d) Basis utama serikat pekerja/ buruh ada di tingkat perusahaan, serikat
pekerja/
buruh
yang
ada
tersebut
dapat
menggabungkan diri dalam Federasi Serikat Pekerja/ Buruh. Demikian halnya dengan Federasi Serikat Pekerja/ Buruh dapat menggabugkan diri dalam Konfederasi Serikat Buruh/ Pekerja; e) Serikat pekerja/ buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada kantor Dinas Ketenagakerjaan setempat untuk dicatat; f) Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/ buruh untuk membentuk atau tidak membentuk menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tdak menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/ buruh. 4) Organisasi Pengusaha Sama halnya dengan pekerja yang memerlukan suatu wadah untuk menghimpun para pekerja yang pada dasarnya bertujuan meningkatkan peran serta memperjuangkan hak-haknya, pihak pengusaha juga membutuhkan suatu wadah untuk menghimpun dirinya.
Dalam
rangka
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
pengusaha nasional dan peran pengusaha dalam kegiatan pembangunan, maka pemeritah melalui Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1973 tentang Kamar Dagang dan Industri Indonesia membentuk Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
27
KADIN adalah wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam
bidang
perekonomian
(Lalu
Husni,
2000:
34).
Adapun tujuan dari dibentuknya KADIN adalah sebagai berikut (Lalu Husni, 2003: 35): a) Membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan secara efektif dalam pembangunan nasional. Disamping itu, terdapat organisasi pengusaha yang khusus mengurus masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO). APINDO lahir didasari atas peran dan tanggung jawabnya dalam pembangunan nasional dalam rangka turut serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pengusaha Indonesia harus ikut serta secara aktif mengembangkan perannya sebagai kekuatan sosial dan ekonomi, maka dengan akta notaris Soedjono tanggal 7 Juli 1970 dibentuklah “Permusyawaratan Urusan Sosial Ekonomi Pengusaha Seluruh Indonesia” (Lalu Husni, 2003: 36). APINDO adalah suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerja sama yang terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Adapun tujuan dari APINDO menurut Pasal 7 Anggaran Dasar adalah sebagai berikut (Lalu Husni, 2003: 36-37):
28
a) Mempersatukan dan membina pengusaha serta memberikan layanan kepentinganna di dalam bidang sosial ekonomi; b) Menciptakan dan memelihara keseimbangan, ketenangan dan kegairahan kerja dalam lapangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan; c) Mengusahakan peningkatan produktivitas kerja sebagai program peran serta aktif untuk mewujudkan pembangunan nasional menuju kesejahteraan sosial, spiritual, dan materiil; d) Menciptakan
adanya
kesatuan
pendapat
dalam
melaksanakan kebijaksanaan ketenagakerjaan dari para pengusaha
yang
disesuaikan
dengan
kebijaksanaan
pemerintah. Dibentuknya organisasi pengusaha semata-mata bukan hanya sekedar untuk memperjuangkan kepentingannya tetapi juga memberikan peran penting dalam hubungan ketenagakerjaan yakni sebagai anggota tripartit yang berperan sama dengan serikat pekerja dalam menangani setiap permasalahan yang terjadi. Karena itu sudah seharusnya perhatian organisasi pengusaha juga harus diberikan untuk kepentingan pekerja sebagai salah satu komponen produksi yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. 5) Pemerintah Hukum ketenagakerjaan jika ditinjau berdasarkan sifatnya, dapat bersifat privat/ atau perdata sekaligus juga bersifat publik. Hukum ketenagakerjaan bersifat publik karena jelas terlihat bahwa adanya bentuk campur tangan pemerintah dalam masalah-masalah yang berkait dengan ketenagakerjaan. Campur tangan disini maksudnya adalah pemerintah membentuk suatu kebijakankebijakan terkait permasalahan hukum ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Campur tangan dari pihak pemerintah tersebut dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan membuat peraturan-peraturan yang sifatnya
29
mengikat baik itu bagi pihak pekerja maupun pihak pengusaha, disamping itu pemerintah juga berfungsi untuk membina dan mengawasi jalannya proses hubungan industrial. Disamping itu campur tangan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk terciptanya hubungan ketenagakerjaan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial ekonomi diserahkan sepenunya kepada para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hukum ketenagakerjaan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah, jadi atas dasar hal tersebutlah pemerintah turut campur tangan melalui peraturan perundangundangan untuk memberikan jaminan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Pelaksanaan pengawasan ketenagakerjan di Indonesia, dilakukan oleh Kementerian melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di setiap Provinsinya. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tugas melaksanakan urusan Pemerintah Daerah di bidang ketenagakerjaan dan transmigrasi, kewenangan dekonsentrasi serta tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah. Fungsi dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi salah satunya adalah sebagai pelaksanaan pengawasan ketenagakerjaan. Pengawasan enforcement)
terhadap di
pelaksanaan
bidang
ketentuan
ketenagakerjaan
hukum
akan
(law
menjamin
pelaksanaan hak-hak normatif pekerja, yang pada gilirannya mempunyai
dampak
terhadap
stabilitas
usaha.
Selain
itu
pengawasan ketenagakerjaan juga akan dapat mendidik pengusaha dan pekerja untuk selalu taat menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis.
2. Tinjauan Tentang Hubungan Kerja
30
a.
Pengertian Hubungan Kerja Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/ atau buruh. Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja/ buruh berdasarkan perjanjian kerja. Dengan adanya perjanjian kerja, akan ada ikatan antara pengusaha dan pekerja, dengan kata lain ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan kerja. Menurut konsep yang dipaparkan oleh Asri Wijayanti, unsur-unsur perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja adalah (Asri Wijayanti, 2010:36): 1) Adanya Pekerjaan (arbeid) Unsur yang pertama adalah adanya pekerjaan (arbeid), yaitu pekerjaan itu bebas sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketentuan umum. Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja. 2) Perintah (gezag ver houding) Unsur kedua, yaitu di bawah perintah (gezag ver houding), unsur perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja. Di dalam hubungan kerja kedudukan pengusaha adalah pemberi
kerja
sehingga
pengusaha
berhak
dan
sekaligus
berkewajiban untuk memberikan perintah-perintah yang berkaitan dengan pekerjaannya. Kedudukan pekerja sebagai pihak yang
31
menerima
perintah
untuk
melaksanakan
pekerjaan.
Pada
kenyataannya hubungan antara pekerja dengan pengusaha adalah hubungan yang dilakukan antara atasan dan bawahan sehingga bersifat subordnasi atau hubungan yang bersifat vertikal, yaitu menunjukkan adanya kedudukan atas dan bawah. 3) Upah (loan) Unsur ketiga adalah adanya upah (loan) tertentu yang menjadi imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja. Pengertian upah berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pihak pengusaha atau pemberi kerja, kesepakatan
atau
peraturan
perundang-undangan
termasuk
tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dengan demikian, intinya upah merupakan imbalan prestasi yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atas pekerjaan yang telah atau akan dilakukan oleh pekerja. 4) Waktu (tijd) Unsur yang keempat adalah waktu (tijd), artinya pekerja bekerja untuk waktu yang ditentukan atau untuk waktu yang tidak tertentu atau selama-lamanya. Adanya waktu dimaksudkan adalah dalam melakukan pekerjaan harus disepakati jangka waktunya. Unsur jangka waktu dalam perjanjian kerja dapat dibuat secara tegas dalam perjanjian kerja yang dibuat misalnya untuk pekerja kontrak, sedangkan untuk pekerja tetap hal ini tidak diperlukan. Terkait pengaturan mengenai waktu kerja secara jelas termuat dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Waktu kerja pekerja dalam satu minggu adalah 40 jam/minggu. Untuk 6 hari kerja perminggu seharinya bekerja 7 jam dalam lima hari dan 5 jam dalam 1 hari. Adapun untuk
32
5 hari kerja perminggu bekerja selama 8 jam sehari. Apabila kebutuhan proses produksi menghendaki adanya lembur, hanya diperbolehkan lembur maksimal 3 jam perhari atau 14 jam perminggu. Kenyataannya lembur yang terjadi di dalam praktik melebihi batas maksimal tersebut. Selama bekerja, setiap 4 jam pekerja bekerja, harus diberikan istirahat selama setengah jam. Dalam satu minggu harus ada istirahat minimal satu hari kerja. Dalam satu tahun pekerja harus diberikan istirahat 12 hari kerja pertahun, dan apabila pekerja telah bekerja selama 6 tahun wajib diberikan istirahat/ cuti besar selama satu bulan dengan menerima upah penuh.
b.
Subjek Hukum dalam Hubungan Kerja Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/ atau buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan bunyi pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait pengertian dari hubungan kerja, maka dapat disimpulkan bahwa subjek hukum dalam hubungan kerja adalah pengusaha dengan pekerja/ buruh.
c.
Objek Hukum dalam Hubungan Kerja Objek hukum dalam hubungan kerja adalah pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja, dimana pekerjaan tersebut tertuang dalam perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan pengertian dari perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/ buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Di samping itu, objek hubungan kerja juga tertuang di dalam peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama/ perjanjian kerja bersama.
33
Kedudukan perjanjian kerja adalah di bawah peraturan perusahaan dan juga perjanjian kerja bersama, sehingga apabila ada ketentuan dalam perjanjian kerja yang bertentangan dengan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama maka yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Peraturan perusahaan yang membuat adalah pihak pengusaha secara keseluruhan, sedangkan perjanjian kerja secara teoritis yang membuat adalah pengusaha dengan pekerja, tetapi pada kenyataannya perjanjian kerja itu sudah dipersiapkan pengusaha untuk ditantangani oleh pekerja tersebut saat pekerja diterima untuk bekerja oleh pengusaha tersebut (Lalu Husni, 2000: 48).
3. Tinjauan Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Hak Pekerja Perempuan Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan a.
Teori Perlindungan Hukum Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang sejak lahir memiliki hak-hak dasar yaitu hak untuk hidup, hak untuk dilindungi, hak untuk bebas dan hak-hak lainnya. Jadi pada dasarnya setiap manusia memiliki hak untuk dilindungi termasuk dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain, setiap warga negara akan mendapat perlindungan dari
negara
dan hukum
merupakan sarana
untuk
mewujudkannya (Istianah ZA, 2001:8). Hal tersebut adalah perlindungan akan harkat dan martabat serta hak-hak asasi manusia berdasarkan ketentuan hukum oleh aparatur negara. Dengan begitu, perlindungan hukum merupakan hak mutlak bagi setiap warga negara dan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah, mengingat Indonesia yang dikenal sebagai negara hukum. Menurut Sudikno dalam fungsinya sebagai perlindungan bagi kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
34
tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi (Sudikno Mertokusumo, 1985: 58). Adapun fungsi primer dari hukum mencakup tiga pokok, dan salah satunya adalah fungsi perlindungan. Hukum mempunyai fungsi untuk melindungi masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan-tindakan yang merugikan baik yang datang dari sesamanya dan kelompok masyarakat, termasuk yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan (pemerintah dan negara) ataupun yang berasal dari luar yang ditujukan terhadap fisik, jiwa, kesehatan, nilai-nilai dan hak asasinya (Dr. Sudijomo Sastroatmodjo, 2005: 11). Fungsi primer dari hukum yang salah satunya adalah fungsi perlindungan dapat terealisasi jika elemen dari sitem hukum dapat berfungsi secara optimal. Lawrence M. Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System A Social Science Prespective Tahun 1975 menyebutkan bahwa hukum terdiri atas 3 elemen, yaitu perangkat struktur hukum yang berupa lembaga hukum, substansi hukum berupa peraturan perundanundangan dan kultur hukum atau budaya hukum. Ketiga komponen atau elemen ini mendukung berjalannya sistem hukum di suatu negara. Terdapat beberapa teori perlindungan hukum yang diutarakan oleh para ahli, seperti Setiono yang menyatakan bahwa perlindungan hukum merupakan tindakan untuk melindungi masyarakat dari kesewenangwenangan penguasa yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum (Setiono, 2004: 3). Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun (Satjipto Rahardjo, 2000: 25).
35
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia (Muchsin, 2006: 14). Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundangundangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Muchsin, 2006: 20): 1) Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan hukum preventif adalah perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan sutu kewajiban. 2) Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. Menurut CST. Kansil, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum (CST. Kansil. 1989: 21). Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan, penulis menitikberatkan dan memilih konsep teori perlindungan hukum yang
36
dipaparkan oleh Philipus M. Hadjon yang dijadikan sebagai “pisau analisis” dalam penulisan hukum karena konsep perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon dinilai paling relevan untuk diterapkan di negara Indonesia dan memiliki keterkaitan yang erat dengan penulisan hukum ini. Philipus M. Hadjon memberikan pengertian perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya (Philipus M. Hadjon, 1987: 18). Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan hukum ada dua macam, yaitu (Philipus M. Hadjon, 1987: 30): 1) Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.
2) Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena
37
menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadap hak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif. b.
Perlindungan Pekerja Perempuan Menurut Imam Soepomo, perlindungan pekerja/ buruh dibagi menjadi 3 (tiga) macam yaitu (Lalu Husni, 2003: 22): 1) Perlindungan ekonomis Perlindungan ekonomis yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan yang cukup, termasuk bila pekerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya (pengecualian prinsip no work no pay). 2) Perlindungan sosial Perlindungan sosial yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. 3) Perlindungan teknis
38
Perlindungan teknis yaitu perlindungan pekerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa, “Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan Pekerja perempuan adalah seorang perempuan yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dalam
pelaksanaannya,
perlindungan
hukum
bagi
pekerja
perempuan tertuang di dalam Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor
Kep.
224/Men/2003
tentang Kewajiban Pengusaha
yang
Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan Pukul 07.00, dan PER-03/MEN/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Wanita Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan. Semua peraturan tersebut secara jelas memberikan perlindungan hukum kepada pekerja perempuan. Di Indonesia, ketentuan yang mengatur bahwa pekerja perempuan dengan laki-laki dalam bekerja mempunyai hak yang sama serta harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa adanya diskriminasi telah diatur dalam Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, seperti kita tahu bahwa kodrat dari seorang perempuan terdapat ciri-ciri biologis yang membedakan antara perempuan dengan laki-laki. Atas perbedaan yang mendasar tersebutlah perlu suatu tindakan khusus sementara (Affirmative Action) yang termuat dalam suatu kebijakan guna mencapai kedudukan yang akhirnya setara antara perempuan dengan laki-laki. Dalam hal ketenagakerjaan, terdapat beberapa aturan hukum untuk pekerja perempuan yang berbeda dengan pekerja laki-
39
laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam kerja dan lain-lain. Laki-laki dan perempuan merupakan ciptaan Tuhan, perbedannya hanya terletak pada jenis kelamin dan fungsi reproduksi saja. Kesetaraan gender adalah kesetaraan peran sehingga dalam setiap aktivitas tugas dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah sama. Setiap pekerja tentunya memerlukan suatu kerangka perlindungan hukum demikian pula tentunya bagi wanita yang bekerja. Madelina K. Hendiytio (2006: 11) dalam artikelnya yang berjudul “Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Bagi Tenaga kerja Wanita” mengkonstalasi bahwa seiring dengan meningkatnya partisipasi tenaga kerja wanita, maka perlindungan terhadap tenaga kerja wanita sesuai standar internasional merupakan dasar bagi pembangunan sosial yang adil. Pengakuan terhadap hak-hak wanita pada dasarnya merupakan penghormatan pula terhadap hak-hak asasi manusia, oleh karena itu maka perlindungan terhadap pekerja perempuan yang sesuai dengan standar internasional tentu menjadi syarat mutlak yang tidak dapat ditawar lagi. Standar yang dimaksud adalah ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam konvensi-konvensi internasional yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan.
c.
Hak Pekerja Perempuan Para pejuang hak-hak perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik bahwa hukum dan sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir yang lebih menguntungkan laki-laki dan melegitimasi situasi yang tidak menguntungkan perempuan (K.M, Rhona, Ranheim, dkk, 2008: 35). Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak asasi manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, seperti yang dikutip dalam sebuah jurnal internasional bahwa hak-hak
40
pekerja dan gerakan hak asasi manusia termotivasi oleh komitmen terhadap keadilan. “Labor rights and human rights movements, it would seem, should have a great deal in common: both are motivated by a commitment to justice, both advocate for the interests of the oppressed, and both have long used rights principles and language to advocate for their goals” (Kevin Kolben, 2010: 22). Dalam upaya untuk menjamin hak-hak mendasar perempuan maka adapun langkah yang diambil oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu dalam hal menetapkan Convention on the Elemenation of All form of Discrimination Against Women atau yang disingkat dengan istilah CEDAW yaitu Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979, kemudian konvensi tersebut diletakkan sebagai dasar pemikiran bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada. Konvensi CEDAW meletakkan pula strategi atau langkahlangkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Adapun tindakan pemerintah Indonesia yang merupakan bentuk upaya nyata dalam hal perlindungan hak pekerja perempuan untuk mencegah adanya perlakuan diskriminasi yaitu dengan diratifikasinya Konvensi CEDAW oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Tindakan pemerintah dalam meratifikasi Konvensi CEDAW merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah untuk mengurangi semakin meluasnya diskiriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan yang dimaksud disini adalah perbedaan, pembatasan hak yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang bertujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan manusia dan kebebasan di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi (Adrian Sutedi, 2009: 161).
41
Banyak sekali bentuk diskriminasi yang kerap diterima oleh kaum perempuan, salah satunya adalah diskriminasi dalam penerimaan jaminan pelayanan kesehatan. Dalam upaya mengurangi diskriminasi dalam penerimaan jaminan pelayanan kesehatan terhadap perempuan, ada dua kecenderungan yang banyak dilakukan di beberapa negara yang telah meratifikasi Konvensi International Labour Organization atau Konvensi ILO Nomor 102/1952 tentang Standar Minimum Jaminan Sosial, diantaranya sebagai berikut (Brocas dkk, 1990: 30-32): 1) Berupaya untuk menjamin pekerja perempuan yang menikah agar memiliki hak yang sama dengan pekerja/ buruh laki-laki dalam memperoleh jaminan sosial termasuk dalam pengupahan; 2) Memungkinkan pekerja perempuan berstatus sebagai kepala keluarga untuk mendapatkan hak yang sama bagi anggota keluarganya seperti keluarga pekerja perempuan yang tidak mendapat perlindungan hanya karena ia seorang perempuan. Terdapat juga bentuk perlindungan lainnya disamping UndangUndang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi CEDAW, adapun perlindungan atas hak politik perempuan yang sebagaimana telah diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958 tentang Pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan. Semua konvensi tersebut yang telah diratifikasi oleh Indonesia merupakan perisai bagi perempuan untuk memerangi berbagai diskriminasi, eksploitasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Sejalan dengan diratifikasinya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW berarti setiap negara peratifikasi konvensi tersebut telah mengikatkan diri dan mempunyai kewajiban menyusun berbagai peraturan perundang-undangan untuk menghapus segala jenis diskriminasi terhadap perempuan yang tetap berpedoman kepada ketentuan yang terdapat dalam CEDAW. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1 CEDAW yang pada intinya diharapkan agar
pemerintah dapat
menghapuskan segala
bentuk
42
diskriminasi di berbagai bidang terutama di sektor ketenagakerjaan dan ekonomi. Secara khusus diskriminasi di bidang ketenagakerjaan, mengenai peluang jabatan strategis yang terdapat di pasar kerja cenderung diperuntukkan bagi pekerja laki-laki. Jabatan bagi pekerja wanita biasanya tersegmentasi
pada
jenis
jabatan-jabatan
yang
berkaitan
dengan
keadministrasian, keuangan dan hubungan masyarakat. Jabatan yang berkarakter teknis dan operasional selalu diperuntukkan bagi pekerja lakilaki sedangkan pekerja perempuan selalu diposisikan pada jabatan yang tidak memberikan keputusan final, maka hal tersebut yang kemudian dimaknai sebagai perlakuan diskriminasi bagi pekerja perempuan. Seperti dikutip dalam sebuah jurnal internasional bahwa pada dasarnya permasalahan terkait kesetaraan gender dalam hal pekerjaan merupakan isu global. “The problem of gender-based labor inequality is global. Women all over the world are paid fifteen to fifty percent less than men working the same jobs, and both societal and biological-based explanations have been used to justify this disparity. Women are presumed less capable physically and mentally than men, and men are believed to have greater need of the income because they are presumed to be the primary providers of the family unit (Jamie Burnett, 2010: 290).” Masih banyak sekali hak-hak perempuan atas pekerjaan yang menghadapi berbagai benturan baik itu karena persoalan implementasi hukum yang tidak konsekuen maupun persepsi yang keliru mengenai peranan perempuan di sektor publik. Berdasarkan keprihatinan atas perlakuan diskriminasi tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu dasar Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau CEDAW yaitu untuk membangun civil society dan demokratisasi di era reformasi sekarang, memperlihatkan posisi pekerja lebih terbuka dalam menyampaikan aspirasinya (Sinta Uli, 2005:3). Keadaan ini mempunyai arti yang tujuannya untuk membangun ruang publik dimana semua warga negara laki-laki dan wanita dapat
43
mengembangkan kepribadian, potensi dan memberi peluang bagi pemenuhan kebutuhan mereka. Kekuatan hukum lainnya yang memayungi hak dan akses perempuan atas pekerjaan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun. Pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “perempuan berhak memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan, berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang mengancam, keselamatan atau kesehatan berkenaan dengan fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum” sedangkan ayat (2) berbunyi “perempuan berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatan berkenaan fungsi reproduksi”. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan: Ayat (1)
:
Setiap warga negara sesuai dengan bakat, kecakapan dan kemampuan berhak atas pekerjaan yang layak.
Ayat (2)
:
Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula
atas syarat ketenagakerjaan yang
adil. Ayat (3)
:
Setiap orang pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama sebanding,
44
setara atau serupa berhak atas upah serta syarat perjanjian kerja yang sama. Ayat (4)
:
Setiap orang pria maupun wanita dalam melakukan pekerjaan yang sepada dengan martabat kemanusiaan berhak atas upah yang
adil sesuai dengan prestasinya dan
dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya. Begitu juga ketentuan yang terdapat pada Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak” dan Pasal 28 d ayat (2) “Setiap orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Berdasarkan isi pasal diatas jelaslah bahwa setiap orang yang dimaksud baik perempuan maupun lakilaki mendapat hak yang sama, terkecuali bagi perempuan mendapat perlindungan khusus yang mana berkenaan dengan reproduksi. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita menegaskan juga hak-hak perempuan dalam ketenagakerjaan yang mana tertuang dalam Pasal 11 yaitu: 1) Hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia; 2) Hak atas kesempatan kerja yang sama termasuk penerapan kriteria seleksi yang sama dalam penerimaan pegawai; 3) Hak untuk memilih dengan bebas profesi dan pekerjaan, hak untuk kenaikan pangkat, jaminan kerja dan semua tunjangan fasilitas kerja; 4) Hak untuk memperoleh kejujuran dan latihan ulang; 5) Hak untuk menerima upah yang sama termasuk tunjangan, perlakuan yang sama untuk kerja yang sama; 6) Persamaan penilaian kuwalitas pekerjaan;
45
7) Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam hal pensiun, pengangguran, sakit, cacat, lanjut usia, kemampuan untuk bekerja, hak atas cuti yang dibayar; 8) Hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk perlindungan fungsi reproduksi. Pertimbangan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita adalah (Adrian Sutedi, 2009: 163): 1) Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan pancasila dan UUD 1945; 2) Majelis Umum PBB di dalam sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979 telah menyetujui Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elemenation of All form of Discrimination Against Women); 3) Ketentuan-ketentuan di dalam konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia; 4) Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konferensi Sedunia Dasa Warsa PBB bagi perempuan di Copenhagen. Wujud kepedulian negara terhadap kondisi kodrat reproduksi yang melekat pada wanita yaitu salah satunya dengan pemberian bentuk perlindungan hukum yang termuat dalam aturan hukum positif di bidang ketenagakerjaan.
Wujud
perlindungan
tersebut
terealisasi
dalam
pencantuman hak-hak yang bersifat khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu yang termuat dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dasar filosofi yang melatarbelakangi diaturnya hak-hak khusus terkait fungsi reproduksi pekerja perempuan dalam Undang-Undang
46
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut yang meliputi haid, melahirkan, cuti gugur kandungan dan pemberian kesempatan untuk menyusui tidak lain adalah untuk melindungi kodrat perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang telah dikaruniai fungsi reproduksi sejak lahir, sehingga dengan adanya kesempatan untuk bekerja pada sektor publik fungsi reproduksi perempuan tidak akan menjadi terganggu. Kodrat reproduksi yang melekat pada wanita terkadang masih kurang dipahami secara benar oleh banyak pengusaha. Terdapat bidangbidang pekerjaan tertentu baik secara teknis maupun kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai pengaruh terhadap keberlangsungan proses reproduksi wanita, maka hal tersebutlah yang menjadi salah satu dasar dituangkannya ketentuan terutama dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang merupakan bentuk proteksi nyata terhadap pekerja perempuan (Sinta Uli, 2005: 4). Dengan diaturnya ketentuan mengenai hak-hak yang memang khusus hanya diperuntukkan bagi pekerja perempuan menunjukan sekilas adanya kepedulian dan pemahaman dari pemerintah akan adanya perbedaan kodrati tersebut, namun irnplementasi dari isi ketentuan tersebut tidak rnudah dilaksanakan karena adanya perbedaan faktor kepentingan. Dalam hal ini berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya setempat. Semua peraturan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, tidak lain dimaksudkan utuk melindungi pekerja dan dalam pembahasan kali ini yaitu pekerja perempuan yang pada kenyataannya merupakan pihak yang posisinya dapat dikategorikan lemah dan rentan. Namun yang perlu disadari yaitu meskipun telah ada aturan yang menjadi tuntunan guna menciptakan hubungan industrial yang harmonis baik antara pihak pengusaha dengan pekerjanya pada kenyatannya belum memperoleh hasil sebagaimana diinginkan oleh pihak pekerja sendiri maupun pemerintah. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan peraturan
47
perundang-undangan. Hak pekerja tersebut dapat terwujud secara efektif apabila diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Adrian Sutedi, 2009: 19). 1) Para pekerja sebagai pemegang hak-hak dapat menikmati hak-hak mereka tanpa ada hambatan dan gangguan dari pihak manapun; 2) Para pekerja selaku pemegang hak tersebut dapat melakukan tuntutan melalui prosedur hukum adressant. Dengan kata lain, bila ada pihak-pihak yang mengganggu, menghambat atau tidak melaksanakan hak tersebut, pekerja dapat menuntut melalui prosedur hukum yang ada untuk merealisasi hak dimaksud. Guna terlaksananya hak-hak pekerja ada beberapa syarat, yaitu sebagai berikut (Adrian Sutedi, 2009: 20): 1) Adanya pengetahuan dan pemahaman para pekerja terhadap hak mereka yang telah secara tegas diatur dalam peraturan perundangundangan; 2) Hak tersebut dipandang dan dirasakan oleh para pekerja sebagai sesuatu yang esensial untuk melindungi kepentingan mereka; 3) Adanya prosedur hukum yang memadai yang diperlukan guna menuntut agar hak para pekerja tetap dihormati dan dilaksanakan; 4) Adanya kecakapan dari para pekerja untuk memperjuangkan dan mewujudkan haknya; 5) Adanya sumber daya politik yang memadai yang diperlukan oleh para pekerja guna memperjuangkan perwujudan hak mereka. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa kodrat dari seorang perempuan yaitu terdapat ciri-ciri biologis yang membedakan antara perempuan dengan laki-laki. Dalam Convention on the Elemenation of All form of Discrimination Against Women (CEDAW) juga mengakui bahwa diantara laki-laki dengan perempuan terdapat ciri fisik maupun biologis yang berbeda yang dimana menempatkan perempuan pada posisi yang lebih lemah dibandingkan laki-laki, maka atas dasar perbedaan yang mendasar tersebutlah perlu adanya perlakuan yang berbeda pula demi terciptanya kesetaraan gender yang bertujuan untuk mencegah timbulnya diskriminasi.
48
CEDAW meletakkan strategi atau langkah-langkah khusus bersifat sementara yang perlu dilakukan dan diterapkan menyikapi adanya fakta terkait perbedaan ciri-ciri fisik antara perempuan dengan laki-laki untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, suatu tindakan khusus sementara tersebut dikenal dengan istilah Affirmative Action. Affirmative Action bertujuan untuk mempercepat persamaan antara laki-laki dan perempuan secara “de facto”, dan tindakan khusus yang bersifat sementara tersebut harus dihentikan apabila tujuan untuk persamaan kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan telah dicapai. Tindakan khusus sementara atau Affirmative Action nantinya akan dimuat dalam setiap kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah yang menjamin bahwa setiap kebijakan tersebut haruslah berprespektif gender. Salah satu bentuk nyata adanya penerapan Affirmative Action dalam suatu kebijakan yaitu khususnya hal ketenagakerjaan, terdapat beberapa aturan atau regulasi untuk pekerja perempuan yang berbeda dengan pekerja laki-laki, yaitu sebagai berikut: 1) Perlindungan Terhadap Pekerja Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada pekerja perempuan tidak hanya pelarangan PHK terhadap perempuan pekerja yang menikah, hamil dan melahirkan tetapi juga menyangkut perlindungan terhadap keamanan apabila pekerja perempuan tersebut bekerja pada malam hari yaitu antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 diatur bahwa pekerja perempuan tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari kecuali jika perkerjaan itu menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh perempuan. Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pengaturan terkait kerja malam bagi pekerja mengalami perubahan, yaitu disebutkan bahwa
49
pekerja buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, dan disamping itu pengusaha juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan yang sedang dalam masa kehamilan yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Pasal 76 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa pengusaha boleh mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00, tetapi dalam hal ini ada kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan terhadap si pekerja perempuan yang bekerja pukul 23.00 sampai pukul 07.00 tersebut, yaitu: a) Memberikan makanan dan minuman bergizi; b) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja; c) Menyediakan antar jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik
Indonesia
Nomor:
Kep.
224/MEN/2003
tentang
Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 tertuang bahwa perlindungan bagi pekerja perempuan meliputi perlindungan keamanan fisik dan psikis pekerja perempuan pada malam hari agar terhindar dari perampokan, pemerasan maupun tindakan asusila berupa pemerkosaan dan pelecehan seksual lainnya. Tanggung jawab ini diberikan kepada pengushaha. Tanggung jawab yang diberikan kepada pengusaha tersebut sesuai yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban
50
Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00 adalah: a) Menyediakan angkutan antar
jemput
untuk pekerja
perempuan yang bekerja dan pulang pukul 23.00 sampai dengan 05.00; b) Pengusaha diwajibkan menyediakan petugas keamanan di tempat kerja untuk memastikan bahwa pekerja perempuan aman dari kemungkinan perbuatan asusila di tempat kerja; c) Fasilitas tempat kerja harus didukung oleh kamar mandi dengan penerangan yang memadai serta terpisah antara pekerja/ buruh laki-laki dengan pekerja/ buruh perempuan; d) Untuk menjaga kondisi kesehatan agar pekerja perempuan harus
dalam
kondisi
prima
pengusaha
diwajibkan
memberikan makanan dan minuman yang bergizi sekurangkurangnya memenuhi 1.400 kalori. Makanan dan minuman yang diberikan kepada pekerja haruslah bervariasi serta baik makanan dan minuman maupun ruang penyediaannya haruslah memenuhi syarat higiene dan sanitasi. Makanan dan minuman diberikan pada waktu istirahat antara jam kerja dan yang perlu diingat bahwa pengaturan terkait pemberian makanan dan minuman ini tidak dapat diganti uang. Berkaitan dengan syarat higiene dan sanitasi ruang penyediaan makan dan minuman, telah diatur ketentuannya secara khusus dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga. Pada Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/Menkes/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasaboga menyebutkan bahwa setiap jasaboga harus memiliki izin usaha dari Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan dalam hal untuk memiliki izin usaha, setiap usaha jasaboga harus memiliki sertifikat
51
higiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota. 2) Cuti yang Berkaitan dengan Fungsi Reproduksi a) Cuti Haid Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaar bahwa cuti haid diberikan kepada pekerja perempuan pada hari pertama dan kedua dalam masa haidnya, apabila yang bersangkutan merasa sakit. Karena merasakan sakit sifatnya sangat subjektif sekali dan tidak diwajibkan untuk melampirkan keterangan sakit dokter dan hanya cukup memberitahukan maka dapat dikatakan bahwa ketentuan ini sangat dimungkinkan untuk disalahgunakan oleh pekerja (Adrian Sutedi, 2009: 169). Terdapat kemungkinan bahwa penyalahgunaan ketentuan tersebut oleh pekerja perempuan, misalnya pekerja mengatakan dan memberitahukan bahwa dirinya dalam kondisi sakit karena haid padahal sebenarnya pekerja perempuan tersebut tidak merasakan sakit. Apabila hal tersebut terjadi sudah tentu akan sangat merugikan perusahaan. Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan pendekatan kepada setiap pekerja perempuan dalam suatu perusahaan, dan membangun keadaran mereka bahwa apabila dalam kondisi haid namun pekerja tidak merasakan sakit, maka pekerja perempuan tersebut wajib tetap bekerja dan jika pelu dengan memberikan semacam reward dalam bentuk bonus pada akhir tahun apabila tidak menggunakan sama sekali hak cuti haidnya. Dalam hal perlindungan terhadap pekerja perempuan sesuai yang tertera pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
diatur
masalah
perlindungan terkait pemberian upah bagi pekerja perempuan yang dalam masa haid yaitu hari pertama dan hari kedua merasakan sakit kemudian mengajukan cuti haid, sehingga tidak
52
bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid tetap berhak mendapatkan upah penuh. Jadi dalam kondisi tersebut jelas adanya pengecualian terhadap prinsip no works no pay tbagi pekerja perempuan yang tidak bekerja karena sedang dalam kondisi sakit pada hari pertama dan kedua masa haid namun tetap diberi upah penuh. b) Cuti Hamil dan Melahirkan Berdasarkan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa bagi pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Bagi pekerja yang akan menggunakan hak cutinya diwajibkan untuk mengajukan permohonan yang dilampiri surat keterangan dokter. Memang dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak secara jelas mengatur
terkait
berapa
lama
batas
waktu pengajuan
permohonan cuti hamil dan melahirkan yang dilampiri dengan surat keterangan dokter yang berisikan waktu perhitungan kandungan si pekerja perempuan tersebut (Joupy, G. Z. Mambu, 2010: 10). c) Cuti Gugur Kandungan Pada Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur terkait cuti bagi pekerja perempuan
yang
mengalami
gugur
kandungan.
Perlu
diperhatikan ketentuan mengenai gugur kandung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dimana dalam ketentuan tersebut kepada para pekerja perempuan yang mengalami gugur kandungan berhak memperoleh waktu
53
istirahat yaitu selama 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan keterangan dokter atau bidan. Ketentuan tersebut dapat dikatakan kurang tepat karena seharusnya perusahaan tidak memberikan cuti 1,5 (satu setengah) bulan, tetapi sesuai waktu istirahat berdasarkan keterangan dokter atau bidan. Berdasarkan pengalaman medis (Adrian Sutedi, 2009: 169), perempuan yang mengalami gugur kandung sudah kembali ke kondisi yaitu dalam waktu relatif kurang dari satu setengah bulan, jadi dirasa ketentuan yang terdapat pada Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan kurang efisien dan efektif jika diterapkan oleh perusahaan. Disamping itu apakah ketentuan terkait waktu istirahat bagi pekerja perempuan yang mengalami gugur kandungan sesuai Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berlaku pula bagi pekerja perempuan yang mengalami gugur kandung namun tidak dalam hubungan perkawinan sebagaimana banyak dipertanyakan Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan hanyalah mengatur akibat dari adanya hubungan hukum dan karena itu pekerja perempuan yang mengklaim gugur kandung di luar hubungan perkawinan tidak berhak atas cuti gugur kandung, tetapi dimungkinkan diberikan istirahat dengan alasan sakit. 3) Kesempatan Menyusui Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu yang sedang menyusui. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi “Pekerja/ buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja”. Pemberian kesempatan pada pekerja perempuan yang anaknya
54
masih menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan. Berdasarkan Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang sejalan dengan ketentuan pada Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa selama masa pemberian air susu ibu (ASI), pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum. Ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut lebih lanjut diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 48/MEN.PP/XII/2008, Menteri
Tenaga
PER.27/MEN/XII/2008
Kerja Dan
dan
Transmigrasi
Menteri
Kesehatan
Nomor Nomor
1177/MENKES/PB/XII/2008 tentang Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja. Menurut Pasal 2 Peraturan Bersama 3 menteri tersebut tujuan diaturnya peraturan bersama ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan untuk memberikan atau memerah ASI selama waktu kerja dan menyimpan ASI perah untuk diberikan kepada anaknya, memenuhi hak pekerja perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anaknya, memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI guna meningkatkan gizi dan kekebalan anak dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak dini. Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan hak menyusui, pemerintah Indonesia pada bulan Maret 2012 telah mengesahkan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. Keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif ini diharapkan dapat
55
meningkatkan cakupan ASI ekslusif bagi bayi. Menurut Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, pengurus tempat kerja dan penyelenggara tempat kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung program ASI Ekslusif. Dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif diatur ketentuan mengenai dukungan program ASI Ekslusif di tempat kerja sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau melalui perjanjian kerja bersama antara Serikat Pekerja/ Buruh dengan pengusaha. Kemudian pada Pasal 30 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif menyebutkan bahwa pengurus tempat kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan. Hal tersebut didasarkan bahwa bagi seorang pekerja perempuan yang berada dalam lingkungan kerja yang nyaman akan bekerja dengan baik, produktif,
sehingga juga akan menguntungkan bagi
perusahaan tempat dia bekerja. 4) Upah Berdasarkan Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Pengupahan yang Sama Bagi Pekerja Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya, telah diratifikasi oleh negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO No. 100/1951 disebutkan: a) Negara yang meratifikasi konvensi ini harus menjamin pengupahan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya; b) Jaminan ini dapat dilakukan dengan undang-undang, perjanjian kerja atau peraturan perusahaan yang
56
disepakati,
khususnya
yang
mengatur
mengenai
penetapan upah; c) Harus dilakukan langkah dan tindakan untuk mencegah segala bentuk penilaian pekerjaan yang tidak objektif sebagai dasar untuk melakukan pembayaran upah atas pekerjaan yang dijalankan; d) Nilai upah yang berbeda di antara sesama pekerja yang tanpa memandang jenis kelamin, didasarkan atas penilaian pekerjaan yang objektif berdasarkan pekerjaan yang akan dijalankan, tidak akan dianggap melanggar konvesi ini (Syaufi, 2000: 100-101). Pada dasarnya masih terdapat pembedaan upah bagi pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama sering kali menggunakan pembenaran bahwa “wanita bukan pencari nafkah
utama”
atau
“wanita
adalah
tanggungan
suami”.
Penghapusan hak pekerja perempuan untuk mendapat tunjangan bagi keluarga dan kesehatan bagi dirinya dan keluarganya juga memakai pembenaran yang sama. Hukum ketenagakerjaan di Indonesia sudah secara jelas melarang adanya bentuk diskriminasi salah satunya terkait pemberian upah antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama (Jehani, 2006: 8). Ketentuan lain yang mengatur terkait larangan diskriminasi terhadap pekerja perempuan dalam hal upah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yang menyatakan larangan perbedaan upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya. Peraturan Pemerintah ini pada intinya mengatur perlindungan upah secara umm dengan bertitik tolak kepada fungsi upah yang harus mampu menjamin kelangsungan hidup bagi pekerja serta keluarganya. 5) Larangan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Pekerja Perempuan Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan
57
Adapun
Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
PER-
03/MEN/1989 tentang Larangan Pemutusan Hubungan Kerja Pekerja Wanita Karena Menikah, Hamil dan Melahirkan yang dimana
PERMEN
tersebut
merupakan
salah satu
bentuk
perlindungan bagi pekerja perempuan yang mengakui dan menjunjung tinggi kodrat, harkat dan martabat perempuan yang merupakan konsekuensi logis dengan diratifikasinya konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111 Tahun 1951 terkait larangan diskriminasi terhadap pekerja perempuan. Dalam peraturan tersebut pengusaha diwajibkan merencanakan dan melaksanakan pengalihan tugas bagi pekerja perempuan tanpa mengurangi hak-haknya bagi perusahaan yang karena sifat dan jenis pekerjaan yang tidak memungkinkan mempekerjakan perempuan hamil.
58
B. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 Pengupahan yang Sama Bagi Pekerja Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 224 Tahun 2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/ Buruh Perempuan Antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00
PENERAPAN HUKUM
1. Pelaksanaan Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan Pada PT. SRITEX 2. Hambatan Pelaksanaan Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan Pada PT. SRITEX
1. Pelaksanaan Pemenuhan Hak Pekerja Perempuan 2. Hambatan Pemenuhan Perempuan
Pelaksanaan Hak Pekerja
SIMPULAN Terpenuhi atau Tidak Hak Pekerja Perempuan Pada PT. SRITEX
59
Keterangan: Kerangka pemikiran di atas menjelaskan pemikiran penulis dalam menganalisis, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, yakni mengenai Tinjauan yuridis pelaksanaan pemenuhan hak bagi pekerja perempuan pada PT. SRITEX Sukoharjo dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan salah satu perwujudan dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk mewujudkan suatu peraturan yang dijadikan sebagai landasan dalam pelaksanaan bidang ketenagakerjaan. Dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut diatur terkait perlindungan terhadap pekerja perempuan mengenai hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh pekerja perempuan yang bekerja pada sebuah perusahaan. Seperti kita tahu bahwa kodrat dari seorang perempuan terdapat ciri-ciri biologis yang membedakan antara perempuan dengan laki-laki dan dimana perbedaan tersebut juga telah diakui dalam Convention on the Elemenation of All form of Discrimination Against Women atau CEDAW. Atas perbedaan yang mendasar tersebutlah diperlukan suatu tindakan khusus bersifat sementara (Affirmative Action) yang termuat dalam suatu kebijakan guna mencapai kedudukan yang akhirnya pada posisi yang setara antara perempuan dengan laki-laki. Dalam hal ketenagakerjaan, terdapat beberapa aturan hukum untuk pekerja perempuan yang berbeda dengan pekerja laki-laki, seperti cuti melahirkan, pelecehan seksual di tempat kerja, jam kerja dan lain-lain. Selain dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat pula peraturan perundang-udangan lainnya yang mengakomodir terkait pengaturan hak bagi pekerja perempuan.
Namun
seringkali, apa yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan diabaikan begitu saja, dimana ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundangundangan tidak dapat dilaksanakan secara efektif oleh para pelaku industri dan perdagangan yang ada di lapangan. Banyak sekali informasi ataupun kasus yang
60
beredar tentang tidak dipenuhinya hak-hak dari pekerja perempuan oleh pihak perusahaan. Oleh sebab itu, penulis ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak bagi pekerja perempuan pada PT. SRITEX yang notabene merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Jawa Tengah dengan reputasi tak hanya dikenal di Indonesia saja tetapi juga dikenal sampai luar negeri. Serta mengetahui apa sajakah hambatan yang terdapat dalam rangka pelaksanaan pemenuhan hak bagi pekerja perempuan pada PT. SRITEX. Berdasarkan permasalahan tersebut kemudian akan ditinjau berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.