BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Pembuktian a. Pengertian pembuktian Hukum pembuktian tercantum dalam buku IV (keempat) dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Pasal 1865 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya
hak
meyakinkan
atau
peristiwa
Hakim
tentang
tersebut.
Membuktikan
kebenaran
dalil-dalil
ialah yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan (Subekti, 2005:1). Menurut Sudikno Mertokusumo (2009:127-128) terminologi ‘membuktikan’ mempunyai beberapa arti, yakni : a. Logis, yakni memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. b. Konvensional, yakni membuktikan tidak hanya memberikan kepastian mutlak saja, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan : a) Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Karena didasarkan atas perasaan belaka maka kepastian ini bersifat intuitif dan disebut conviction intime. b) Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, oleh karena itu disebut conviction raisonnee.
14
15
c. Yuridis, memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurut Yahya Harahap (2013:273), pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undangundang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Supomo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Di dalam arti luas membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakakn oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat. Apabila yang tidak dibantah itu tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan (Gatot Supramono, 1993:15). Berdasarkan pengertian yang diuraikan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa ruang lingkup dari pembuktian antara lain : 1) Ketentuan-ketentuan hukum yang berisi penggarisan dan pedoman mengenai cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan terdakwa. 2) Ketentuan yang mengatur mengenai alat bukti yang dibenarkan dan diakui oleh undang-undang serta alat bukti yang boleh digunakan hakim dalam membuktikan kesalahan. 3) Ketentuan yang mengatur tata cara menggunakan dan menilai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti.
16
Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di muka pengadilan (juridicto contentiosa) maupun dalam perkara-perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan (juridicto voluntair) (Siti Ainun Rachmawati, 2011: 21).
b. Asas-Asas Pembuktian Menurut J.H.P Bellefroid dalam buku Efa Laela Fakhriah (2013: 44) Asas-asas hukum adalah aturan-aturan pokok yang tidak dapat lagi dijabarkan
lebih
lanjut,
diatasnya
tidak
lagi
ditemukan aturan-aturan yang lebih tinggi lagi. Asas hukum merupakan dasar bagi aturan-aturan hukum yang lebih rendah. Perbedaan antara asas hukum dengan peraturan yang lebih rendah adalah asas hukum lebih abstrak, apabila asas hukum tidak dimasukkan dalam undang-undang tidak mengikat bagi Hakim, melainkan hanya sebagai pedoman saja. Akan tetapi, bila asas itu secara tegas dituangkan dalam undang-undang sehingga hakim berkewenangan untuk menerapkan asas tersebut secara langsung terhadap semua kasus-kasus nyata yang atasnya tidak terdapat aturan-aturan khusus. Asas-asas dalam pembuktian berkaitan erat dengan hukum sebagai satu sistem, suatu keseluruhan yang terdiri dari bagianbagian pokok dalam puncak pemeriksaan dalam perkara perdata yang dipimpin oleh Majelis Hakim (Achmad Ali & Djohari Santoso, 1982: 4). Asas-asas tersebut memberikan pedoman hakim alam melaksanakan pembuktian. Asas tersebut antara lain : 1) Asas actori incumbit probatio, artinya barang siapa yang menyatakan suatu hak atau menyebutkan peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikannya;
17
2) Asas audi et alteram partem partem, artinya para pihak mempunyai kesempatan yang sama dalam mengajukan dan menanggapi bukti; 3) Asas ultra petita, artinya seorang Hakim tidak boleh membbankan pembuktian lebih atau di luar apa yang dituntut; 4) Asas ius curia novit, artinya hakim dianggap tahu akan hukumnya; 5) Asas negativa non sunt probanda, artinya sesuatu yang bersifat negative (tidak) atau mustahil tidak dapat dibuktikan; 6) Asas nemo plus juris transferre potest quam ipsehabet, artinya seseorang tidak mungkin mengalihkan melebihi apa yang menjadi haknya; 7) Asas
similia
sililibus, artinya perkara
yang memiliki
pembuktian yang sama, diputus dengan putusan yang sama; 8) Asas testimonium de auditu, artinya kesaksian yang berasal dari orang lain tidak dapat dijadikan bukti; dan 9) Asas unus testis nullus testis, artinya satu saksi bukan merupakan saksi.
c. Teori Beban Pembuktian Pasal 163 HIR atau Pasal 283 R.Bg mengatur tentang beban pembuktian yang menyebutkan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk
pada
suatu
peristiwa
tersebut.
Membuktikan
mengandung arti tentang : 1) apa yang harus dibuktikan; 2) siapa yang harus membuktikan (beban pembuktian); 3) tentang cara membuktikannya. Para pihak harus membuktikan dalil-dalil mereka dengan mengajukan alat-alat bukti. Ada beberapa teori tentang beban
18
pembuktian yang menjadi pedoman bagi hakim (Dyah Nur Ariyani, 2012: 39-40) : 1) teori hukum subyektif (teori hak) Teori ini menetapkan bahwa barang siapa yang mengaku atau mengemukakan suatu hak maka yang bersangkutan harus membuktikannya. 2) teori hukum objektif Teori
ini
mengajarkan
melaksanakan
bahwa
peraturan hukum
seorang
hakim
harus
atas fakta-fakta untuk
menemukan kebenaran peritiwa yang diajuka kepadanya. 3) teori hukum acara dan teori kelayakan Kedua teori ini bermuara pada hasil yang sama yakni hakim syogyanya berdasarkan kepatutan membagi beban pembuktian. Asas eudi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak dimuka hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak, dengan demikian hakim harus memberi beban kepada kedua belah pihak secara seimbang dan adil sehingga kemungkinan menang antara para pihak adalah sama. Sepanjang undang-undang tidak mengatur sebaliknya, hakim bebas untuk menilai pembuktian. Jadi yang berwenang menilai pembuktian yang tidak lain merupakan penilaian suatu kenyataan adalah hakim dan hanyak judex facti. Terdapat 3 (tiga) teori bagi hakim di dalam menilai alat bukti yang diajukan oleh para pihak (Hari Sasangka, 2005: 23) : 1) teori pembuktian bebas Teori ini menghendaki kebebasan yang seluas-luasnya bagi hakim, di dalam menilai alat bukti. Hakim tidak terikat oleh suatu ketentuan hukum atau setidak-tidaknya ikatan-ikatan
19
oleh suatu ketentuan hukum harus dibatasi seminimum mungkin. Menghendaki kebebasan yang luas berarti menaruh kepercayaan atas hakim untuk bersikap penuh rasa tanggung jawab, jujur, tidak memihak, bertindak dengan keahlian dan tidak terpengaruh oleh apapun dan oleh siapa pun. 2) teori pembuktian negatif Teori ini menginginkan adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat, yang bersifat negatif. Ketentuan tersebut membatasi hak
dengan
larangan
untuk
melakukan
sesuatu
yang
berhubungan dengan pembuktian, dimana hakim dilarang dengan pengecualian. 3) teori pembuktian positif Selain adanya suatu larangan, teori ini juga menghendaki adanya perintah kepada hakim. Disini hakim diwajibkan tetapi dengan syarat. (Pasal 285 RBg atau 165 HIR, Pasal 1870 KUH Perdata).
d. Macam-macam Kekuatan alat bukti Tiap-tiap tersendiri
alat
bukti
menurut
mempunyai
hukum
kekuatan
pembuktian.
pembuktian
Macam
kekuatan
pembuktian tersebut ialah (Mukti Arto, 2011: 141-143) : 1) Bukti mengikat dan menentukan, artinya : -
Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti tersebut tanpa membutuhkan alat bukti lain.
-
Hakim terikat dengan bukti tersebut, sehingga tidak dapat memutus lain dari pada yang telah terbukti dengan satu alat bukti tersebut.
-
Alat bukti ini tidak dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan atau bukti sebaliknya.
20
Alat bukti ini ialah sumpah decisior, sumpah pihak dan pengakuann. 2) Bukti sempurna, artinya: -
Meskipun hanya ada satu alat bukti, telah cukup bagi hakim untuk memutus perkara berdasarkan alat bukti itu dan tidak memerlukan alat bukti lain.
-
Hakim terikat dengan bukti tersebut, kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya.
-
Bukti tersebut dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan atau sebaliknya.
Alat bukti ini ialah : akta otentik. 3) Bukti bebas, artinya : -
Hakim
bebas
untuk
menilai
sesuai
dengan
pertimbangannya yang logis. -
Hakim tidak terikat oleh akta tersebut.
-
Terserah kepada keyakinan hakim untuk menilai.
-
Hakim dapat mengesampingkan alat bukti ini dengan pertimbangan yang logis.
-
Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Alat bukti ini ialah : saksi yang disumpah, saksi ahli, pengakuan diluar sidang. 4) Bukti permulaan, artinya : -
Meskipun alat bukti itu sah dan dapat dipercaya kebenarannya tetapi belum mencukupi syarat formil sebagai alat bukti yang cukup.
-
Bukti ini masih perlu ditambah dengan alat bukti lain agar sempurna.
-
Hakim bebas dan tidak terikat dengan alat bukti ini.
-
Bukti ini dapat dilumpuhkan dengan bukti lawan.
Alat bukti ini ialah : alat bukti saksi yang hanya seorang diri sehingga harus ditambag dengan alat bukti lain, misalnya
21
sumpah suppletoir. Akta dibawah tangan yang dipungkiri tandatangan dan isinya oleh yang bersangkutan. 5) Bukti bukan bukti, artinya : -
Meskipun nampaknya
memberikan keterangan yang
mendukung kebenaran suatu peristiwa tetap ia tidak memenuhi syarat formal sebagai alat bukti sah. -
Ia tidak mempunyai kekuatan pembuktian.
-
Ia seperti bukti tetapi bukan bukti.
Alat ini ialah : saksi yang tidak disumpah, saksi yang belum cukup umur 15 tahun, foto, rekaman video/casset.
2. Tinjauan tentang Alat Bukti a. Tinjauan mengenai Alat Bukti Hakim sangat terikat oleh alat-alat bukti, sehingga dalam menjatuhkan putusannya hakim wajib memberikan pertimbangan berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang (Gatot Supramono, 1993:22). Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam Pasal 164 HIR, Pasal 1866 KUH Perdata yang meliputi : 1) bukti tulisan; 2) saksi; 3) pengakuan; 4) persangkaan; 5) sumpah. Berikut penjelasan mengenai alat-alat bukti dalam hukum acara perdata: 1) Bukti tulisan Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan (Octavianus M. Momuat, 2014:138). Bukti tulisan
22
atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk
menyampaikan
buah
pikiran
seseorang
dan
dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan (Sudikno Mertokusumo, 2009:151). Tidak semua surat merupakan akta. Surat dikatakan sebagai akta harus ditandatangai, harus dibuat dengan sengaja dan harus untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat. Tanda tangan dalam suatu surat diperlukan guna identifikasi, menentukan ciri-ciri dari akta yang satu dengan yang lainnya. Penandatanganan seseorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut. Akta dibedakan dalam akta otentik dan akta di bawah tangan, sebagai berikut : a) Akta otentik Secara teoritis, akta otentik adalah surat atau akta sejak semula dengan sengaja, secara resmi dibuat untuk pembuktian. Secara dogmatis (hukum positif) akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat. Akta otentik dibagi menjadi dua yaitu : (1) akta otentik yang dibuat oleh pejabat karena jabatannya (Akta Ambtelijk). Contoh akta kelahiran, akta kematian, akta nikah, SIM.
23
(2) akta otentik yang dibuat oleh pejabat karena fungsinya (Akta Partij) yang meliputi akta jual beli, akta pendirian PT, Akta Grosse, dll.
b) Akta di bawah tangan Tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti, tetapi tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat kepada bentuk tertentu (Roihan A. Rasyid, 1991:150). Kekuatan akta di bawah tangan (bukan otentik), hakim menilainya bebas, akan tetapi jika akta yang bersifat dibuat oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama dengan akta otentik (Subekti, 1975:151)
2) Bukti dengan saksi (Kesaksian) Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan (Sudikno Mertokusumo, 2009:168). Adapun syarat obyektif seorang saksi adalah sebagai berikut : a) sudah dewasa, berumur 15 tahun (Pasal 145 HIR); b) tidak ada hubungan darah atau semenda dengan para pihak yang mengajukan saksi; dan c) disumpah menurut agamanya. Sedangkan syarat subjektif adalah : a) saksi menerangkan apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri, dan
24
b) saksi harus menguraikan sebab-sebab dapatnya memberikan kesaksian. Pasal 1907 KUH Perdata menerangkan bahwa, keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Pada asasnya semua orang cakap dapat bertindak sebagai saksi, apabila telah dipanggil dengan sah dan patut menurut hukum, wajib ia mengemukakan kesaksiannya di muka pengadilan dan apabila tidak mau datang atau datang tetapi tidak memberikan kesaksian, dapat dikenakan sanksi-sanksi. Terhadap
asas
tersebut
terdapat
pengecualian
atau
penyimpangan yang dibedakan dalam dua golongan, yaitu : a) Golongan yang tidak dapat bertindak sebagai saksi : (1) Golongan mutlak dianggap tidak mampu bertindak sebagai saksi : (a) keluarga sedarah dan semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak, seperti bapak atau ibu, kakek atau nenek, mertua, anak, menantu. Diatur dalam Pasal 1910 ayat (1) KUH Perdata. Namun, dalam perkara tertentu mereka mampu bertindak sebagai saksi. seperti, dalam perkara kedudukan perdata salah satu pihak, perkara pemberian nafkah. (b) suami atau istri salah satu pihak meskipun sudah bercerai. (2) Golongan relatif tidak mampu bertindak sebagai saksi yaitu: (a) anak-anak yang belum mencapai umur limabelas Tahun;
25
(b) orang gila. (3) Golongan yang karena permintaannya sendiri dibebaskan dari kewajibannya sebagai saksi ialah : (a) saudara laki-laki atau perempuan dan ipar laki-laki atau perempuan dari salah satu pihak; (b) keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki atau perempuan dari suami atau isteri salah satu pihak; (c) orang-orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan merahasiakan akan tetapi semata-mata hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan padanya. Hakim dalam menilai alat pembuktian saksi, berdasarkan Pasal 1908 KUH Perdata harus memperhatikan kesamaan atau persesuaian antara keterangan para saksi, persesuaian antara keterangan-keterangan dengan apa yang diketahui dengan segi lain tentang perkara, sebab-sebab yang mendorong para saksi mengemukakan keterangannya, pada cara hidup, kesusilaan, kedudukan para saksi, dan segala apa yang berhubungan dengan keterangan yang dikemukakan.
3) Persangkaan Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR, Pasal 310 Rechtreglement voor de Buitengewesten (Rbg), dan Pasal 1915 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: Persangkaanpersangkaan ialah kesimpulan-kesimpulan yang oleh UndangUndang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Persangkaan ini suatu peristiwa “dibuktikan” secara tak langsung, artinya dengan melalui atau dengan perantara
26
pembuktian
peristiwa-peritiwa
lain
(Subekti,2005:45).
Perangkaan dibagi menjadi dua, yaitu : a) Persangkaan hukum atau undang-undang Menurut Pasal 1916 KUH Perdata ialah persangkaanpersangkaan
yang oleh undang-undang dihubungkan
dengan perbuatan-perbuatan tertentu, antara lain : (1) Perbuatan-perbuatan
yang
oleh
undang-undang
dinyatakan batal, karena dari sifat dan keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuanketentuan Undang-Undang. Contoh
:
ketentuan
Pasal
911
KUH
Perdata,
“pembuatan surat wasiat untuk kepentingan orang yang tidak berhak adalah batal”. (2) Peristiwa-peristiwa yang menurut undang-undang dapat dijadikan
kesimpulan
guna
menetapkan
hak
kepemilikannya atau pembebasan dari hutang. Contoh : Pasal 633 KUH Perdata, “tiap-tiap tembok yang dipakai sebagai batas antara dua kepemilikan, dianggap sebagai tembok milik bersama kecuali ada bukti sebaliknya”. (3) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada putusan hakim. (4) Kekuatan yang diberikan oleh undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah satu pihak. Persangkaan menurut undang-undang dalam Pasal 1921 ayat (1) KUH Perdata membebaskan orang, untuk kepentingan siapa persangkaan itu diadakan, dari setiap pembuktian selanjutnya. Hakim terikat pada ketentuan undang-undang, jadi kekuatan pembuktiannya bersifat memaksa atau mempunyai nilai pembuktian yang lengkap.
27
Selain itu
kekuatan persangkaan juga sempurna dan
menetukan. Persangkaan-persangkaan atau vermoedens merupakan alat bukti pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri. Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian juga satu persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti (Eddy O.S Hiariej, 2012:81). b) Persangkaan hakim atau kenyataan Hakim bebas menyimpulkan persangkaan berdasarkan kenyataan. Hakim bebas mempergunakan atau tidak mempergunakan hal-hal yang terbukti dalam suatu perkara sebagai dasar untuk melakukan persangkaan (Teguh Samudera, 1992:81). Persangkaan
berdasarkan
kenyataan
kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang hanya boleh memperlihatkan persangkaan yang penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. Persangkaan-persangkaan semacam itu hanya boleh diperhatikan dalam hal undang-undang membolehkan pembuktian dengan saksi, demikian pula apabila diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau suatu akta berdasarkan alasan adanya iktikad buruk atau penipuan diatur dalam Pasal 1922 KUH Perdata. Persangkaan berdasarkan kenyataan, hakim bebas dalam menemukan persangkaan berdasarkan kenyataan. Setiap peristiwa yang telah dibuktikan dalam persidangan dapat digunakan sebagai persangkaan.
28
4) Pengakuan Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174-176 HIR. Pengakuan adalah keterangan yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh pihak lawan. Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya. Pengakuan yang dilakukan di muka hakim tidak boleh ditarik kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa yang telah dilakukan itu sebagai akibat dari suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan yang dikemukakan di sidang pengadilan mempunyai kekuatan pembuktian yang lengkap terhadap yang mengemukakan dan merupakan bukti yang menentukan. Oleh karena itu apabila ada salah satu pihak yang mengaku, maka hakim harus menganggap pengakuan itu sebagai benar dan hal itu membawa akibat tidak perlu dibuktikan lebih lanjut tentang tuntutannya yang telah diakui tadi (Teguh Samudera, 1992:87). Pengakuan terdiri dari tiga macam, yaitu : a) Pengakuan murni, yaitu pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai dengan tuntutan para pihak lawan; b) Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian tuntutan pihak lawan; dan c) Pengakuan dengan klausa, pengakuan yang disertai keterangan tambahan yang bersifat membebaskan dari tuntutan
yang
dikemukakan
dalam
gugatan
(Yahya
Harahap, 2013: 734-738).
5) Sumpah Alat bukti sumpah diatur dalam Pasal 155, Pasal 156, Pasal 157, Pasal 177 HIR. Sumpah adalah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau
29
keterangan dengan mengingat akan sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi ketarangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya (Sudikno Mertokusumo, 2009:189). Sumpah diajukan apabila bukti-bukti lain tidak meyakinkan dan merupakan upaya untuk mengakhiri sengketa. Sumpah dapat terdiri dari : a) Sumpah promissoir, sumpah yang isinya adalah suatu janji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh : sumpah seorang pejabat. b) Sumpah assertoir atau confirmatoir, sumpah untuk memberikan keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak. c) Sumpah
suppletoir
atau
pelengkap,
sumpah
yang
diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya (Sudikno Mertokusumo, 2009 : 190). d) Sumpah decisoir atau pemutus, sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawan karena sama sekali tidak ada alat bukti jika ada, alat buktinya lemah.
Macam-macam alat bukti selain yang diatur dalam Pasal 164 HIR, terdapat pula alat bukti yang diatur secara terpisah, yaitu : 1) Keterangan ahli Keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim sendiri (Sudikno Mertokusumo, 2009:197).
30
Pentingnya suatu alat bukti saksi ahli juga diungkapkan dalam sebuah jurnal oleh Liz Heffernan, “The law has long recognised that where litigation touches upon matters calling for special knowledge or expertise, the finder of fact, whether judge, may be poorly equipped to draw accurate inferences from the facts presented. The assistance of one or more experts, qualified to locate the fact in a meaningful context, may be indispensable to the proper resolution of the case. Such experts are drawn from all walks of life and, in the context of tort actions, include doctors, engineers, actuaries and accountants. The contribution of the expert to legal proceedings is proffered in the from of testimoni. Line any other witness, the expert is called by a party to testify at tal, is administered the oath or affirmation and is subject to examination and crossexamination” (Liz Heffernan, 2006:142).
Dijelaskan
bahwa
sebenarnya
yang
terjadi
pada
kenyataannya bahwa hukum telah lama mengakui bahwa dimana
litigasi
menyentuh
pada
hal
menyerukan
pengetahuan khusus atau keahlian, pencarian fakta. Hakim mungkin kurang dapat menarik kesimpulan yang akurat dari fakta-fakta yang disajikan. Bantuan dari satu atau lebih ahli, memenuhi syarat untuk menemukan fakta-fakta dalam konteks bermakna, mungkin sangat diperlukan untuk resolusi yang tepat pada kasus. Ahli tersebut diambil dari semua lapisan masyarakat dan dalam konteks tindakan melawan hukum, termasuk dokter, insinyur, aktuaris, dan akuntan. Kontribusi ahli untuk hukum proses yang disodorkan dalam bentuk kesaksian. Seperti saksi yang lain,
31
ahli untuk bersaksi di Pengadilan juga diberikan sumpah atau janji dan tunduk pada pemeriksaan. 3. Tinjauan tentang Perceraian a. Pengertian Perceraian Dalam kehidupan rumah tangga, tidak luput dari suatu permasalahan. Hal ini dikarenakan perkawinan merupakan penyatuan dua manusia yang berbeda dengan sifat, kebiasaan dan latar belakang yang berbeda pula. Tidak jarang perbedaan tersebut menimbulkan
permasalahan
yang
menjadi
pemicu
adanya
perceraian. Perceraian merupakan bagian dari dinamika rumah tangga, meskipun tujuan perkawinan bukanlah perceraian, perceraian merupakan sunnatullah dengan penyebab yang berbeda-beda (Beni Ahmad Saebani, 2008:47). Perceraian merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri karena ikatan perkawinan yang tidak mungkin untuk dipertahankan lagi dan pengajuan perceraian harus disertai dengan alasan-alasan yang mendasar (Wiwin Suryani, 2010: Divorce or dissolution is the termination of a marriage, canceling the legal duties and responsibilities of marriage and dissolving the bonds of matrimony between two persons. In most countries, divorce requires the sanction of a judge or other authority in a legal process to complete a divorce. A divorce does not declara a marriage null and void, as in an annulment, but divorce cancels the marital status of the parties, allowing them to marry another (http://www.hg.org/divorce.html). Jurnal tersebut menjelaskan bahwa perceraian merupakan pemecahan masalah di dalam sebuah perkawinan antara suami istri dan masalah perceraian haruslah diselesaikan di pengadilan yang berwenang.
32
b. Hukum Perceraian Perceraian atau talak dalam ilmu fikih merupakan perbuatan yang tidak disenangi Nabi. Hukum asal dari talak adalah makruh, namun melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak adalah sebagai berikut (Amir Syarifuddin, 2007:201): a) Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga kemudaratan yang lebih banyak akan timbul; b) Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya; c) Wajib, yaitu perceraian yang pasti dilakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar kafarat sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudharatkan istrinya; d) Haram talak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.
c. Bentuk-bentuk Perceraian Ditinjau dari segi tatacara beracara di Pengadilan Agama maka bentuk perceraian dibedakan menjadi 2 bagian yaitu : a) Cerai talak, ialah putusnya perkawinan atas kehendak suami karena alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu (Amir Syafruddin, 2007: 197). b) Cerai gugat, ialah gugatan yang diajukan oleh istri terhadap suami kepada pengadilan dengan alasan-alasan serta meminta pengadilan untuk membuka persidangan itu, dan perceraian atas dasar cerai gugat ini terjadi karena adanya suatu putusan pengadilan.
33
d. Alasan Perceraian Alasan bercerai diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974, yang menyebutkan : a) Ayat (1) : “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” b) Ayat (2) : “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri.” Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut: a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat atau tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri; f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
34
B. Kerangka Pemikiran
Penggugat
Gugatan Cerai Gugat
Tergugat
Pengadilan Agama Sengeti, Muaro Jambi
Pemeriksaan Perkara dan Pembuktian
Alat Bukti (Pasal 1866 KUH Perdata)
Saksi I Melihat Penggugat dengan Tergugat Bertengkar
Fotocopy Kutipan Akta Nikah Bukti Surat Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Saksi
Saksi II Tidak Melihat Pertengkaran Tersebut
Persangkaan Hakim
Putusan Pengadilan Agama Sengeti Nomor 216/Pdt.G/2015/PA.Sgt
35
Keterangan Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berfikir penulis dalam menyusun penelitian hukum. Berdasarkan alur tersebut dijelaskan bahwa penggugat mengajukan gugatan cerai gugat kepada tergugat melalui Pengadilan Agama Sengeti, Muaro Jambi. Gugatan dilakukan pemeriksaan
perkara dan pembuktian.
Majelis
Hakim
memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk mengajukan alat bukti. Pada proses berperkara tergugat tidak mengajukan alat bukti dalam persidangan, sedangkan penggugat mengajukan 2 (dua) alat bukti surat yang berupa fotocopy kutipan akta nikah dan fotocopy kartu tanda penduduk (KTP). Penggugat mengajukan 2 (dua) saksi dalam persidangan, yaitu saksi I dan saksi II. Saksi I merupakan tetangga penggugat, yang memberikan kesaksian bahwa sering melihat penggugat dan tergugat bertengkar karena tergugat memiliki wanita idaman lain (WIL) bernama FULANAH. Saksi kedua penggugat merupakan abang ipar penggugat, saksi kedua memberikan keterangan bahwa penggugat dan tergugat sudah tidak harmonis, penggugat dan tergugat sering bertengkar meskipun saksi kedua tidak pernah melihat penggugat dan tergugat bertengkar secara langsung. Mengingat bahwa saksi II tidak melihat dan mendengar secara langsung pertengkaran antara penggugat dan tergugat (testimonium de auditu), Majelis Hakim berpendapat keterangan testimonium de audiu tidak digunakan sebagai alat bukti, tetapi kesaksian de auditu dikontruksi sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden),dengan pertimbangan yang objektif dan rasional, sehingga persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Berdasarkan dalil-dalil penggugat yang dikaitkan dengan bukti-bukti dan fakta di persidangan akhirnya Hakim mengabulkan
36
gugatan penggugat, dan menjatuhkan talak satu ba’in sugra tergugat terhadap penggugat.