BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Teori A. Konsep Aktivitas Belajar Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2004: 17), aktivitas diartikan keaktifan, kegiatan, kesibukan. Kata aktivitas berasal dari Bahasa Inggris dari kata activity yang berarti kegiatan. Di dalam belajar diperlukan aktivitas sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat yaitu berbuat untuk mengubah tingkah laku. Menurut Sriyono (Yasa: 2008) aktivitas adalah segala kegiatan yang dilaksanakan baik secara jasmani maupun rohani. Aktivitas siswa selama proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk belajar. Aktivitas siswa merupakan kegiatan atau perilaku yang terjadi selama proses belajar mengajar. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah kegiatan yang mengarah pada proses belajar seperti bertanya,
mengajukan pendapat,
mengerjakan tugas-tugas, dapat menjawab pertanyaan guru dan bisa bekerjasama dengan siswa lain, serta tanggungjawab terhadap tugas yang diberikan. Dalam proses pembelajaran, aktivitas merupakan salah satu faktor penting. Karena aktivitas merupakan proses pergerakan secara berkala dan tidak akan tercapainya proses pembelajaran yang efektip apabila tidak adanya aktivitas. Seperti yang diungkapkan oleh Dave Meiner (Indraeni, 2009: 10) bahwa “belajar berdasar aktivitas berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar dengan memanfaatkan indera sebanyak mungkin, sehingga dapat membuat seluruh tubuh dan fikiran terlibat dalam proses belajar mengajar”.
8
Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran akan menyebabkan iteraksi yang tinggi antara guru dengan siswa ataupun dengan siswa itu sendiri. Hal ini akan mengakibatkan suasana kelas menjadi segar dan kondusif, dimana masingmasing siswa dapat melibatkan kemampuannya semaksimal mungkin. Aktivitas yang timbul dari siswa akan mengakibatkan pula terbentuknya pengetahuan dan keterampilan yang akan mengarah pada peningkatan prestasi. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar siswa adalah bergerak aktif secara berkala yang melibatkan fisik, fikiran dan semua indera yang berhubungan dengan proses pembelajaran. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Oleh sebab itulah aktivitas dikatakan asas yang sangat penting dalam pembelajaran. Pendidikan modern lebih menitikberatkan pada aktivitas sejati, dimana siswa belajar sambil bekerja. Dengan bekerja, siswa memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan serta perilaku lainnya, termasuk sikap dan nilai. Sehubungan dengan hal tersebut, sistem pembelajaran dewasa ini sangat menekankan
pada
pendayagunaan
aktivitas
dalam
proses
belajar
dan
pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kegiatan belajar / aktivitas belajar sebagai proses terdiri atas enam unsur yaitu tujuan belajar, peserta didik yang termotivasi, tingkat kesulitan belajar, stimulus dari lingkungan, pesrta didik yang memahami situasi, dan pola respons peserta didik (Sudjana, 2005: 105).
9
B. Aktivitas Belajar Matematika Paul B. Diedirich (Rohani, 2004: 9) setelah mengadakan penyelidikan, menyimpulkan terdapat 177 macam kegiatan peserta didik yang meliputi aktivitas jasmani dan aktivitas jiwa, antara lain: 1. Visual activities, membaca, memperhatikan: gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain, dan sebagainya. 2. Oral activities, menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan interview, diskusi, interupsi, dan sebagainya. 3. Listening activities, mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato, dan sebagainya. 4. Writing activities, menulis: cerita, karangan, laporan, tes angket, menyalin, dan sebagainya. 5. Drawing activities, menggambar, membuat grafik, peta, diagram, pola, dan sebagainya. 6. Motor activities, melakukan percobaan, membuat konstruksi, model, mereparasi, bermain, berkebun, memelihara binatang, dan sebagainya. 7. Mental activities, menganggap, mengingat, memecahkan masalah, menganalisis, melihat hubungan, mengambil keputusan, dan sebagainya. 8. Emotional activities, menaruh minat, merasa bosan, gembira, berani, tenang, gugup, dan sebagainya. Aktivitas – aktivitas tersebut tidak terpisah satu sama lain. Misalnya dalam aktivitas motoris terkandung aktivitas mental disertai oleh perasaan tertentu, dan
10
seterusnya. Sehingga pada setiap pelajaran terdapat berbagai aktivitas yang dapat diupayakan. Dalam
proses
belajar
mengajar
matematika,
guru
harus
dapat
meningkatkan aktivitas belajar matematika dalam berfikir maupun bertindak. Dengan aktivitas belajar matematika yang menyenangkan, kemungkinan pelajaran matematika akan lebih berkesan dan dipikirkan, diolah kemudian dikeluarkan lagi dalam bentuk yang berbeda, misalnya bertanya, mengerjakan tugas, presentasi, dan sebagainya. Aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran matematika memiliki manfaat tertentu, antara lain: (1) siswa mencari pengalaman sendiri dan langsung mengalami sendiri, (2) berbuat sendiri akan mengembangkan seluruh aspek pribadi siswa, (3) memupuk kerjasama yang harmonis di kalangan para siswa yang pada gilirannya dapat memperlancar kerja kelompok, (4) memupuk disiplin belajar dan suasana belajar yang demokratis dan kekeluargaan, (5) pembelajaran dilaksanakan secara realistik dan konkrit, sehingga mengembangkan pemahaman (Rohani: 2004). Secara garis besar, ada 9 indikator aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, yaitu: (1) Memperhatikan apa yang disampaikan guru, (2) Menjawab pertanyaan dari guru, (3) Mengerjakan LKS yang diberikan guru, (4) Bekerja sama dengan teman satu kelompok, (5) Mendiskusikan masalah yang dihadapi dalam kegiatan belajar mengajar, (6) Bertukar pendapat antar teman dalam kelompok, (7) Mengambil keputusan dari semua jawaban yang dianggap paling benar, (8) Mempresentasikan jawaban di depan kelas, dan (9) Merespon jawaban teman (Techonly13: 2009). 11
Kurangnya aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika sendiri dapat disebabkan oleh media pembelajaran yang minim di dalam suatu kelas. Tidak adanya media pembelajaran yang menarik, seperti komputer, LCD juga akan berpengaruh terhadap aktivitas siswa dalam mempelajari suatu pelajaran. Di dalam kelas, guru menerangkan hanya memakai papan tulis saja sehingga siswa difungsikan untuk melihat dan mendengarkan ceramah guru, berakibat siswa tersebut akan bosan serta tidak adanya aktivitas siswa yang menyenangkan di dalam kelas.
C. Pembelajaran Kelompok 1. Pengertian Pembelajaran Kelompok Menurut Sanjaya (2008: 129) belajar kelompok dilakukan secara beregu. Sekelompok siswa diajar oleh orang atau beberapa orang guru. Bentuk pembelajarannya dapat berupa kelompok besar atau pembelajaran klasikal; atau bisa juga siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil. Strategi kelompok tidak memperhatikan kecepatan belajar individual, setiap individu dianggap sama. Menurut Sanjaya (2011: 242) pembelajaran kelompok merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Slavin dalam Sanjaya (2011: 242) mengemukakan dua alasan pentingnya pembelajaran kelompok digunakan dalam pendidikan, pertama
12
beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan
kemampuan hubungan sosial,
menumbuhkan sikap
menerima kekurangan diri dan orang lain, serta dapat meningkatkan harga diri. Kedua pembelajaran kooperatif dapat merealisasikan kebutuhan siswa dalam belajar berpikir, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan keterampilan. Depdiknas (dalam Komalasari, 2010: 62) pembelajaran kelompok merupakan pembelajaran melalui kelompok kecil siswa yang saling bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Lebih lanjut, Bern dan Erickson (dalam Komalasari, 2010: 62) mengemukakan bahwa pembelajaran kelompok merupakan pembelajaran yang mengorganisir pembelajaran dengan menggunakan kelompok belajar kecil dimana siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan definisi-definisi di atas, pembelajaran kelompok dapat didefinisikan sebagai pembelajaran yang menuntut adanya kerjasama siswa dalam suatu kelompok dengan mengembangkan kemampuan tiap individu serta memanfaatkan berbagai faktor internal dan eksternal untuk memecahkan masalah tertentu sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai bersama. 2. Tujuan Pembelajaran Kelompok Pembelajaran kelompok dilakukan atas dasar pandangan bahwa anak didik merupakan satu kesatuan yang dapat belajar bersama, berbaur untuk mencapai tujuan pengajaran tertentu. Dalam prakteknya, ada 13
beberapa jenis belajar kelompok yang dapat dilaksanakan yang semua itu tergantung pada tujuan khusus yang ingin dicapai berdasarkan umur, kemampuan siswa, fasilitas, jenis tugas, dan media yang tersedia. Adapun tujuan dari metode pembelajaran kelompok (Mulyana: 2012), adalah: 1.
Untuk mengembangkan kemampuan siswa, dengan memberi sugesti, motivasi, dan informasi,
2.
Melatih
diri
anak
dengan
mengembangkan
potensi
dengan
berinteraksi dengan orang lain, 3.
Memupuk rasa kebersamaan dengan cara bekerjasama memecahkan persoalan berupa pekerjaan/tugas dari guru,
4.
Melatih keberanian siswa,
5.
Untuk memantapkan pengetahuan yang telah diterima oleh para siswa.
3. Langkah-langkah Pembelajaran Kelompok Dalam pelaksanaan pembelajaran kelompok, dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut (Uwan: 2013): 1.
Membentuk Kelompok. Pendidik atau peserta didik, atau pendidik bersama peserta didik membentuk kelompok-kelompok belajar. Berapa jumlah kelompok dan berapa jumlah anggota setiap kelompok disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang hendak dicapai. Pada kesempatan ini pendidik menjelaskan tujuan, kebutuhan dan gambaran mengenai kegiatan-kegiatan yang harus dikerjakan oleh kelompok, sehingga peserta didik menyadari mengapa dan untuk apa dibentuk kelompok-kelompok.
14
2.
Pemberian tugas-tugas kepada kelompok. Pendidik memberikan tugas-tugas peserta didik menurut kelompoknya masing-masing. Pada kesempatan ini pendidik memberikan petunjuk-petunjuk mengenai pelaksanaan tugas dan berbagai aspek kegiatan yang mungkin dilakukan oleh setiap kelompok dalam rangka mewujudkan hasil kerja kelompok sebagai suatu kesatuan.
3.
Masing-masing kelompok mengerjakan tugas-tugasnya. Peserta didikpeserta didik bekerja sama secara gotong royongmenyelesaikan tugastugas yang dibebankan kepadanya dalam rangka mewujudkan hasil kerja
kelompoknya
masing-masing.
Pendidik
mengawasi,
mengarahkan atau mungkin juga menjawab beberapa pertanyaan dalam rangka menjamin ketertiban dan kelancaran kerja kelompok. 4.
Pendidik atau pendidik bersamaan peserta didik dilakukan penilaian. Bukan saja terhadap hasil kerja yang dicapai kelompok, melainkan juga terhadap cara bekerja sama dan aspek-aspek lain sesuai dengan tujuannya dan meliputi penilaian secara individual, kelompok, maupun kelas sebagai suatu kesatuan.
D. Pengajaran Laboratorium 1. Pengertian Pengajaran Laboratorium Jika ada yang berbicara tentang pengajaran laboratorium, biasanya kita ingat tentang pengajaran IPA, oleh sebab sering dikaitkan dengan metode eksperimen. Karena metode tersebut banyak dipergunakan dalam pengajaran IPA. Padahal tidak demikian, pengajaran laboratorium bukan
15
hanya digunakan dalam pengajaran IPA, melainkan dapat diterapkan dalam studi sosial, psikologi, dan sebagainya. Kata laboratorium merupakan bentuk serapan dari bahasa Belanda dengan bentuk asalnya laboratorium. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2002) laboratorium diartikan sebagai tempat mengadakan percobaan (penyelidikan dan sebagainya). Menurut Soejitno (1983) laboratorium dapat diartikan dalam bermacam-macam segi, salah satunya yaitu laboratorium dapat merupakan sarana media dimana dilakukan kegiatan belajar mengajar. Dalam pengertian ini laboratorium dilihat sebagai perangkat lunaknya (soft ware). Pengajaran
laboratorium
berdasarkan
pada
asumsi
bahwa
pengalaman langsung dengan benda-benda (materials) yang melibatkan observasi dan partisipasi adalah supervisor terhadap metode-metode lain guna mencapai tujuan-tujuan yang telah diidentifikasikan. Salah satu definisi menyatakan sebagai berikut. The laboratory approach is defined as instructional procedure by which the course, effect, nature, or property of any phenomenon, whether social, phychological, or physical – is determined by actual experience or experiment, under controlled condition. (R.L. Gilstrap & W.R. Martin, 1975) Berkat penelitian yang dilakukan oleh para ahli kependidikan, maka pengajaran laboratorium semakin banyak dipergunakan, karena melalui pengajaran ini berbagai cara dan macam-macam prosedur yang terperinci dapat dilaksanakan. Pengajaran ini sangat efektif karena dapat 16
melayani perbedaan-perbedaan individual dan pengalaman-pengalaman sosialisasi, bila guru cukup terampil dan mampu bertindak sebagai sumber. Melalui kegiatan-kegiatan siswa, berkat sensori motor pengalaman, individualisasi pengajaran laboratorium akan menyebabkan pengajaran ini memberikan sumbangan positif terhadap pembelajaran. (dalam Hamalik, 2009: 130-131) 2. Laboratorium dalam Pengajaran Matematika Ruseffendi (2006: 319)
mengemukakan bahwa
pengajaran
laboratorium adalah cara mengajar yang dapat dilakukan dalam ruangan laboratorium atau “workshop”. Menurut versi ini setiap kegiatan yang melibatkan siswa bekerja di ruangan (laboratorium/workshop) adalah pengajaran yang menggunakan pengajaran laboratorium, apapun materi yang dibahasnya. Misalnya guru yang menugaskan siswa untuk menyelesaikan soal seperti: “Berapa jumlah bilangan berikut untuk baris ke-n dan tulislah deretnya”. 1 = 12 1 + 3 = 22 1 + 3 + 5 = 32 1 + 3 + 5 + 7 = 42 --------------------------------------------Menurut pendapat di atas (Ruseffendi, 2006: 319) cara guru mengajar atau murid belajar tersebut disebut pengajaran laboratorium.
17
Meskipun pada contoh tersebut ada kegiatan menganalisis, menemukan, dan mengetes, contoh itu tidak termasuk ke dalam pengajaran laboratorium yang dimaksudkan. Pengajaran laboratorium di sini tidak hanya sekedar berdemonstrasi (dilakukan oleh guru atau murid), menyelesaikan tugas-tugas sederhana dan kontak langsung, tetapi menyangkut peristiwa atau unsur yang harus dapat diamati atau dimanipulasikan. Jadi yang dimaksud dengan mengajar dengan pengajaran laboratorium ialah mengajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami suatu objek langsung matematika dengan jalan mengkaji, menganalisis, menemukan secara induktif melalui inkuiri, merumuskan dan mengetes hipotesis, dan membuat kesimpulannya dari benda-benda konkrit atau modelnya. Bila kita berpedoman pada persentase banyaknya yang dapat diingat pelajar melalui telinga, mata, dan berbuat, maka pengajaran laboratorium ini merupakan pengajaran yang sangat penting. Johnson dan Rising mengatakan bahwa kita dapat mengingat sekitar seperlimanya dari yang kita dengar, setengahnya dari yang kita lihat, dan tigaperempatnya dari yang diperbuat (1972, h.180). (dalam Ruseffendi, 2006: 319) Berdasarkan pada persentase banyaknya yang diingat dari belajar melalui berbuat jauh lebih banyak daripada belajar melalui mendengar atau melihat, maka memanipulasi benda-benda konkrit dalam belajar matematika sangat penting. Dengan memanipulasikan benda-benda konkrit siswa lebih dapat memahami konsep yang diterangkan (dipelajari).
18
Dengan pengajaran laboratorium siswa dapat belajar fakta, keterampilan, konsep, dalil, atau teori melalui memanipulasi benda-benda konkrit, model matematika, atau permainan. Pengajaran laboratorium dapat
meningkatkan
keinginan
belajar,
belajar
melalui
berbuat,
menghayati dan menghargai metode ilmiah, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah, membuat analisis sintesis, dan evaluasi. Kegiatan atau mengajar dengan pengajaran laboratorium dapat mengubah pusat belajar dari guru ke siswa, mengurangi cara guru mengajar dengan ceramah, ekspositori atau demonstrasi, mengurangi belajar siswa secara mental yang hanya menggunakan potlot dan kertas saja. Kegiatan laboratorium dapat menggugah mereka orang-orang aktif tetapi tidak senang kepada matematika karena tidak menarik, sehingga sikapnya terhadap matematika lebih positif. Dan oleh karena kegiatan laboratorium itu berpusatkan kepada anak, untuk kepentingan individual, dan keaktifan siswa (jasmani dan mental), cara ini memberi kesempatan kepada siswa yang kurang mampu untuk belajar sesuai dengan kemampuannya dan kecepatannya. Jadi, bagi siswa kurang pandai pun cara ini dapat meningkatkan sikap positifnya terhadap matematika. Untuk maksud ini sangat penting bagi guru agar materi yang disajikan itu betulbetul sesuai dengan kemampuan akademis siswa, jangan terlalu mudah atau terlalu sukar. Pengajaran laboratorium ini memerlukan waktu banyak. Jadi, sebaiknya kegiatan laboratorium itu betul-betul terorganisasi menyatu dengan pengajaran matematika pada umumnya. Hindarkan kegiatan 19
laboratorium yang tidak terorganisasikan dengan baik. Dan jangan lupa bahwa bahan, materi, alat, model dan lain-lain harus betul-betul siap bagi kegiatan laboratorium itu, baik banyaknya maupun macamnya. Secara
singkat,
pengajaran
laboratorium
itu
dipergunakan
mengingat: (1) belajar melalui laboratorium (berbuat) lebih banyak yang dapat diingat daripada belajar melalui telinga atau mata; (2) dapat meningkatkan minat dan sikap positif terhadap metematika; (3) dapat melayani kemampuan individual yang berbeda-beda; (4) dapat melibatkan siswa secara aktif; dan (5) sangat baik sebagai kegiatan untuk memupuk anak-anak kreatif dan berbakat. Tetapi, bila pengajaran laboratorium itu digunakan, berusahalah agar:
(1)
tujuan
kegiatan
laboratorium
itu
jelas,
apa
tujuan
instruksionalnya; (2) organisasikan kegiatan laboratorium secara baik terpaut dengan kegiatan pengajaran pokok secara bulat; dan (3) hindarkan kegiatan laboratorium yang hanya membuang-buang waktu. 3. Keunggulan dan Kelemahan Pengajaran Laboratorium 1. Keunggulan (dalam Hamalik, 2009: 132-133) a. Memungkinkan siswa terlibat langsung dalam kegiatan belajar, karena pengajaran ini menekankan pada pengalaman langsung dengan material dalam bidang studi. b. Menyediakan pengajaran multi sensori bagi individu yang belajar, melihat, mendengar, merasa, mencium, dan mencicipi objek-objek yang dipelajari.
20
c. Memberi rasa kompeten yang mengembangkan keterampilan dalam menggunakan material, melakukan eksperimen, atau menyelidiki suatu lingkungan baru. d. Membina suasana sosial antara siswa dan guru untuk bekerja sama dalam suasana laboratori. e. Menyediakan kesempatan bagi pembinaan kurikulum yang lebih relevan, sebab pengalaman-pengalaman yang disediakan kerap kali mengembangkan
pemahaman
dan
keterampilan
yang
dapat
dipergunakan di luar sekolah. f. Dapat mengembangkan keterampilan-keterampilan yang perlu untuk studi lebih lanjut atau untuk penelitian. 2. Kelemahan (dalam Hamalik, 2009: 133-134) a. Menuntut guru berpengetahuan lebih karena berbagai ragamnya pertanyaan yang diajukan oleh para siswa. b. Menghambat siswa, karena kebanyakan kegiatan yang seringkali harus dilakukan secara simultan. c. Melalui pengalaman langsung atau dengan trial and error dalam suasana laboratori, informasi tak dapat diperoleh dengan cepat; berbeda halnya memperoleh astraksi melalui penyajian secara lisan atau bacaan. d. Menuntut perencanaan yang teliti agar efektif. e. Pengaruhnya terhadap daya mengingat, abilitas melaksanakan belajar, keterampilan observasi, dan keterampilan memanipulasi material belum pernah diteliti. 21
f. Seringkali menyita waktu bila pengelolaan kelas tak efisien. g. Mengharuskan penyediaan sejumlah objek dan spesimen, dan seringkali di luar kemampuan sekolah. E. Tinjauan Materi Bangun Ruang Sisi Datar 1. Kubus (a) Luas Permukaan
Gambar 2.1 Untuk mencari luas permukaan kubus, berarti sama dengan menghitung luas jaring-jaring kubus tersebut. Karena jaring-jaring kubus merupakan 6 buah persegi yang sama dan kongruen, maka luas permukaan kubus = luas jaring-jaring kubus = 6 x (s x s) = 6 x s2 L = 6 s2 Jadi, luas permukaan kubus dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut. Luas permukaan kubus = 6s2 (b) Volume Gambar 2.2
22
Gambar 2.2 menunjukkan bentuk-bentuk kubus dengan ukuran berbeda. Volume atau isi suatu kubus dapat ditentukan dengan cara mengalikan panjang rusuk kubus tersebut sebanyak tiga kali. Sehingga volume kubus = panjang rusuk x panjang rusuk x panjang rusuk =sxsxs V = s3 Jadi, volume kubus dapat dinyatakan sebagai berikut. Volume kubus = s3
dengan s merupakan panjang rusuk kubus.
2. Balok (a) Luas Permukaan
Gambar 2.3
Cara menghitung luas permukaan balok sama dengan cara menghitung luas permukaan kubus, yaitu dengan menghitung semua luas jaring-jaringnya. Luas permukaan balok tersebut adalah luas permukaan balok = luas persegipanjang 1 + luas persegipanjang 2 + luas persegipanjang 3 + luas persegipanjang 4 + luas persegipanjang 5 + luas persegipanjang 6 = (p x l) + (p x t) + (l x t) + (p x l) + (l x t) + (p x t) = 2 (p x l) + 2 (l x t) + 2 (l x t)
23
= 2 ((p x l) + (l x t) + (l x t)) = 2 (pl + lt + lt) Jadi, luas permukaan balok dapat dinyatakan dengan rumus sebagai berikut. Luas permukaan balok = 2 (pl + lt + lt)
(b) Volume
Gambar 2.4 Proses penurunan rumus balok memiliki cara yang sama seperti pada kubus. Gambar 2.4 menunjukkan pembentukan berbagai balok dari balok satuan. Volume suatu balok diperoleh dengan cara mengalikan ukuran panjang, lebar dan tinggi balok tersebut. Volume balok = panjang x lebar x tinggi = p x l x t) F. Kerangka Berpikir Aktivitas belajar siswa adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, perhatian, dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Dalam pembelajaran matematika aktivitas belajar siswa masih rendah. Salah satu faktor penyebabnya adalah guru yang kurang kreatif dan inovatif dalam menyajikan materi, khususnya pada materi bangun ruang kubus dan balok yang dalam pengajaran umumnya hanya bersifat abstrak. Biasanya guru mengajarkan materi bangun ruang sisi datar dengan menggunakan pembelajaran langsung yang disertai dengan pemberian tugas. Siswa merasa bosan dan jenuh dengan cara 24
penyajian materi yang dilakukan oleh guru. Sehingga materi yang disampaikan guru tidak terserap sepenuhnya oleh siswa. Untuk dapat mengatasi hal tersebut maka diperlukan suatu alternatif pembelajaran yang relevan dengan perkembangan siswa. Pembelajaran kelompok berbasis laboratorium merupakan salah satu pembelajaran yang inovatif. Penggunaan media dalam penyajian materi dapat meningkatkan minat, perhatian, serta keaktifan siswa dalam proses pembelajaran sehingga nantinya akan lebih memudahkan siswa untuk dapat memahami materi yang diajarkan. Sehingganya, dalam penelitian ini akan diujicobakan suatu pembelajaran yang mampu membuat siswa aktif selama proses pembelajaran berlangsung, dimana peneliti akan melihat seberapa besar aktivitas belajar siswa pada materi bangun ruang sisi datar dengan menggunakan pembelajaran kelompok berbasis laboratorium. Dengan melihat teori yang ada, penulis berasumsi bahwa dengan penggunaan pembelajaran kelompok berbasis laboratorium pada materi bangun ruang sisi datar, siswa akan memperoleh aktivitas dan prestasi belajar yang lebih baik. 2.2 Hipotesis Penelitian Berdasarkan teori di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis tindakan dalam penelitian ini yaitu “Jika Pembelajaran Kelompok Berbasis Laboratorium diterapkan pada pembelajaran materi bangun ruang sisi datar, maka aktivitas belajar matematika pada siswa kelas VIII-A SMP Negeri 1 Suwawa akan meningkat”
25