BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian yang Relevan Sebelumnya Penelitian tentang kemampuan menentukan unsur-unsur intrinsik pada cerpen yang dibaca, berdasarkan hasil penelurusan peneliti pada pustakaan pada perpustakaan Fakultas Sastra Dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo ditemukan hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Retnowati tahun 2008 “Kemampuan Peserta Didik Kelas IX SMP Negeri 6 Dumoga dalam Meresensi Cerpen ”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah bagaimana kemampuan peserta didik dalam dalam menulis unsur-unsur intrinsik cerpen. Adapun metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah: (1) kemampuan peserta didik melalui resensi cerpen berdasarkan langkah-langkah mencapai nilai rata 79,45%; dan (2) kemampuan peserta didik menentukan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen mencapai nilai 71,77%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemampuan peserta didik dalam menulis resensi cerpen sudah menunjukkan kemampuan yang maksimal, meskipun masiha ada sebagian siswa yang belum mampu. Hubungan penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada pengkajian unsurunsur intrinsik cerpen. Penelitian tersebut lebih dititik beratkan kepada langkah-langkah dan unsur-unsur intrinsik cerpen, sedangkan penelitian ini menitik beratkan pada “Kemampuan Peserta Didik Menentukan unsur-unsur intrinsik cerpen yang telah dibaca Kelas VIII di SMP Negeri 8 Kota Gorontalo”. 2.2 Kajian Teori
2.2.1 Hakikat Membaca Membaca pada hakikatnya adalah suatu kegiatan memahami bacaan dalam rangka memperoleh informasi atau pesan yang terkandung di dalam bacaan. Untuk memperoleh kemampuan membaca yang memadai, seseorang memerlukan banyak pengetahuan dan kemampuan lain sebagai pendukung. Herber (1978: 9-10) berpendapat bahwa membaca merupakan proses berpikir yang meliputi kegiatan: (a) memahami dan menghubungkan simbolsimbol bahasa yang disebut dengan decoding; (b) memaknai gubungan simbol-simbol (kata-kata) tersebut yang merupakan tahap interpretation; dan (c) menerapkan ide atau pengetahuan yang diperoleh
melalui
bacaan
dalam
kehidupan
sehari-hari
application.
merupakan
tahap Tamb
ubulon (1993) menjelaskan pada hakekatnya membaca adalah kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan walaupun dalam kegiatan itu terjadi proses pengenalan hurufhuruf. Dikatakan kegiatan fisik karena bagian – bagian tubuh khususnya mata yang melakukan, dikatakan kegiatan mental karena bagian–bagian pikiran khususnya presepsi dan ingatan terlibat di dalamnya, dari definisi ini kiranya dapat dilihat bahwa menemukan makna dari bacaan (tulisan) adalah tujuan utama membaca dan bukan mengenai huruf-huruf.
Diperjelas oleh pendapat Smith (dalam Ginting 2005) bahwa membaca merupakan suatu proses
membangun
pemahaman
dari
teks
yang
tertulis
(www.bpkpenabor.or.id).
Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. (Taringan, 2008:7). Menurut Sujana (1985:3) menyatakan bahwa membaca merupakan kegiatan yang merespon lambing-lambang tertulis dengan menggunakan pengertian yang tepat. Tujuan utama dari membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi, pemaha
man makna bacaan ( Tarigan 2008: 9 ). Sementaraitu, Anderson (dalam Tarigan2008: 11), mengatakan tujuan dari membaca adalah untuk:
a) Memperoleh perincian dari tokoh-tokoh dalam wacana (rading for detail or facts) b) Mengetahui ide-ide utama dari sebuah cerita (reading for main ideas) c) Mengetahui urutan dan susunan organisasi cerita (reading for sequence or organisation) d) Menyimpulkan sebuah cerita (reading for inference) e) Mengelompokkan dan mengklasifikasikan (readingtoclassify) f) Mengevaluasi dan menilai tokoh (reading toeva luate) g) Membandingkan dan mempertentangkan dua cerita yang berbeda
2.2.1 Teknik Membaca Adapun beberapa teknik membaca yaitu: a. Membaca Cepat Teknik membaca cepat dapat digunakan sebagai salah satu cara belajar efektif. Membaca cepat merupakan teknik membaca dengan memindahkan padangan mata secara cepat, kata demi kata, frase demi frase, atau baris demi baris. Teknik membaca cepat bertujuan agar pembaca dapat memahami bacaan dengan cepat. Cara membaca cepat: 1. Konsentrasi saat membaca. 2. Menghilangkan kebiasaan membaca dengan bersuara dan bibir bergerak. 3. Perluas jangkauan mata ketika membaca. 4. Tidak mengulang-ulang bacaan. Dalam teknik membaca cepat, digunakan rumus untuk menghitung kecepatan membaca. Rumus tersebut adalah:
KB : Jumlah kata dalam bacaan x 100 Waktu yang ditempuh Keterangan: KB = Kecepatan Membaca b. Membaca Sekilas Membaca sekilas (skimming) biasa dilakukan ketika membaca koran atau bacaan-bacaan ringan lainnya. Teknik membaca ini dilakukan dengan tujuan agar dapat menemukan infromasi yang diperlukan. Ketika membaca koran, tidak semua informasi dalam koran perlu dibaca, hanya hal-hal yang dianggap penting sudah mewakili informasi yang ingin diketahui. Membaca sekilas adalah teknik membaca yang dilakukan sekilas pada bagian-bagian teks, terutama judul, daftar isi, kata pengantar. indeks atau hal umum lainnya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca sekilas adalah sebagai berikut: 1) Jika membaca koran, bacalah setiap judul bacaan dalam koran tersebut, 2) Baca garis besar bacaan atau kepala berita yang terdapat pada koran tersebut 3) Jika menemukan bacaan yang diinginkan, mulailah untuk membaca. c. Membaca Memindai Membaca memindai disebut juga membaca scanning, yaitu teknik membaca yang digunakan untuk mendapatkan informasi tanpa membaca yang lain. Melainkan langsung pada masalah yang diperlukan. Teknik membaca memindai, biasanya dilakukan ketika mencari nomor telepon, mencari arti kata atau istilah di kamus, dan mencari informasi di ensiklopedia. d. Membaca Intensif Membaca intensif adalah teknik membaca yang dapat diterapkan dalam upaya mencari informasi yang bersifat detail. Membaca intensif juga dapat diterapkan untuk mencari informasi sebagai bahan diskusi. Membaca intensif, disebut juga membaca secara cermat. Membaca
dengan cermat akan memperoleh sebuah pokok persoalan atau perihal menarik dari suatu teks bacaan untuk dijadikan bahan diskusi. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membaca intensif adalah sebagai berikut: 1) Membaca dengan jeli sehingga dapat menentukan hal yang paling menarik dari
hal-hal
lain, 2) Mempertimbangkan kemampuan diri dal kemampuan teman diskusi berkenaan kemampuan diri menguasai atau memahami perihal yang akan
dengan
didiskusikan, dan
3) Mempertimbangkan referensi yang dimiliki oleh peserta diskusi terkait hal
yang
akan
didiskusikan. e. Membaca Ekstensif Membaca ekstensif adalah kegiatan membaca yang dilakukan dengan cara tidak begitu detail. Kegiatan membaca ekstensif ditujukan untuk mendapatkan informasi yang bersifat pokokpokok penting dan bukan hal yang sifatnya terperinci. Berdasarkan informasi pokok tersebut, kita sudah dapat melihat atau menarik kesimpulan mengenai pokok bahasan atau masalah utama yang dibicarakan. Membaca ekstensif dapat digunakan ketika membaca beberapa teks yang memiliki masalah utama sama. Kita dapat menarik kesimpulan mengenai teks yang memiliki masalah utama yang sama, meskipun pembahasan detailnya berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika membaca ekstensif dua teks: 1) Membaca kedua teks secara keseluruhan, sehingga mendapatkan pemahaman kedua isi teks, 2) Memahami pokok-pokok penting yang disampaikan dalam masing-masing 3) Membandingkan kedua teks, sehingga memperoleh persamaan dan
teks,
perbedaannya
terhadap
4) Menarik kesimpulan mengenai masalah utama kedua teks. Permasalahan seputar waktu yang tepat untuk mengajarkan anak membaca pernah menjadi perbincangan yang hangat. Ketika itu, sebagian berpendapat bahwa mengajarkan anak membaca terlalu dini bisa berakibat buruk untuk perkembangannya karena dianggap akan membebani. Mereka yang beranggapan seperti ini menyarankan agar anak belajar membaca setelah
mereka
berusia 6-7 tahun.
Namun demikian, seiring dengan diadakannya berbagai penelitian dan studi ilmiah, ternyata si anak justru akan terbebani apabila mereka terlambat belajar membaca dan berbagai studi juga menunjukkan bahwa usia 6-7 tahun dapat digolongkan ke dalam kategori „terlambat‟ tersebut. 2.2.2 Hakikat Cerpen
Cerpen
merupakan bagian dari cerita fiksi di samping novel. Sebagai karya sastra yang bergenre fiksi, novel dan cerpen memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan kedua jenis karya sastra yang bergenre fisik tersebut adalah bahwa keduanya dibangun oleh unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik, sedangkan perbedaan yang paling sederhana dan mudah dikenali adalah yang berkaitan dengan panjang cerita. Cerpen sesuai dengan namanya adalah cerita pendek. Akan tetapi, ukuran panjang pendek tersebut tidak ada aturan ataupun kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli. Nurgiyantoro (2005: 10) membagi jenis cerpen berdasarkan panjang pendeknya menjadi tiga, yakni cerpen yang pendek (short short story), cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), dan cerpen yang panjang (long short story). Cerpen yang pendek atau bahkan pendek sekali kurang lebih tersusun atas 500 kata. Cerpen yang panjang terdiri atas puluhan halaman. Meskipun demikian, tetap tidak ada ukuran yang pasti mengenai panjang
pendeknya cerpen. Dalam referensi yang lain, dikatakan bahwa cerpen merupakan cerita fiksi yang hanya terdiri atas beberapa halaman, atau sekitar seribuan kata (Nugroho,2005: 287). Sumardjo dan Saini (1997: 37) mengatakan bahwa cerita pendek adalah cerita atau narasi (bukan analisis argumentatif) yang fiktif (tidak benar-benar terjadi dan terjadi di mana saja dan kapan saja, serta relatif pendek). Dari beberapa pendapat di atas peneliti simpulkan bahwa yang dimaksud dengan cerita pendek adalah karangan yang bersifat fiktif yang menceritakan suatu peristiwa dalam kehidupan pelakunya relatif singkat tetapi padat. Thara (2009: 5) juga mengemukakan bahwa sesuai dengan namanya, cerpen tentulah pendek. Jika dibaca, biasanya jalannya peristiwa di dalam cerpen lebih padat. Sementara itu, latar maupun kilas baliknya disinggung sambil lalu saja. Di dalam cerpen hanya ditemukan sebuah peristiwa yang didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil lainnya. 2.2.3 Ciri-ciri Cerita Pendek Ciri-ciri cerita pendek menurut Sumarjo dan Saini (1997: 36) yakni bersifat rekaan (fiction), naratif , dan memiliki kesan tunggal. Pendapat lain mengenai ciri-ciri cerita pendek dikemukakan pula oleh Lubis (dalam Tarigan ,1985 : 177) sebagai berikut ini. a. Cerita Pendek harus mengandung interprestasi pengarang tentang kehidupan, baik secara langsung maupun tidak
konsepsinya mengenai
langsung.
b. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan c. Cerita pendek harus mempunyai seorang yang menjadi pelaku atau tokoh d. Cerita
pendek
harus
satu
efek
atau
kesan
cerita. utama.
yang
menarik.
Menurut Morris (dalam Tarigan, 1985 : 177), bahwa ciri-ciri cerita pendek adalah sebagai berikut:
1) Ciri-ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif (brevity,
unity, and
intensity). 2) Unsur-unsur cerita pendek adalah adegan, toko, dan gerak (scena,
character, and
action). 3) Bahasa cerita pendek harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian suggestive, and alert). Cerita pendek atau sering disingkat
(incicive,
sebagai cerpen menurut
kamus adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Memperhatikan cirri-ciri cerpen tersebut di atas, cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti
novel. Karena
singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis. 2.2.4 Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen
Sebagai bagian dari
fiksi, cerpen mempunyai unsur intrinsik sebagaimana cerita fiksi. Unsur intrinsik adalah unsurunsur cerita fiksi yang secara langsung berada di dalam, menjadi bagian dan ikut membentuk eksistensi cerita yang bersangkutan. Unsur-unsur intrinsik cerpen adalah sebagai berikut: a. Penokohan Peristiwa dalam sebuah cerita fiksi, seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari selalu dibawa oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang membawakan peristiwa dalam cerita fiksi tersebut sehingga peristiwa mampu menjalin suatu rangkaian cerita yang disebut tokoh. Sementara itu, cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan (Aminuddin, 2009: 79).
Menurut Tarigan (2008: 147), penokohan atau karakterisasi adalah proses yang digunakan oleh seseorang untuk menciptakan tokoh-tokoh fisiknya. Jones (dalam Nurgiyantoro, 2005: 165) mengemukakan bahwa penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sebenarnya antara tokoh dan watak hanya merupakan satu wujud, yaitu manusia dan kepribadiannya atau ciri-ciri kejiwaan dan tingkah lakunya. Gambaran seorang tokoh dapat diketahui dari wataknya, yang dipengaruhi oleh kegiatannya, cara berpikir, cara hidup, sifat, dan nalurinya. Semua itu merupakan unsur terpenting untuk menciptakan seorang tokoh dan wataknya (Chatman, dalam Tuloli, 2000: 28). Pandangan ini sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Foster (dalam Tuloli 2000: 28) yaitu tokoh yang digambarkan dalam novel menyangkut perasaannya, kehidupan romantisnya, impiannya, rasa gembira, rasa sedih, kata hati yang ditunjukkan oleh ketinggian budi pekerti dan rasa malunya. Tokoh cerita adalah pelaku yang diceritakan perjalanan hidupnya dalam cerita fiksi lewat alur, baik sebagai pelaku ataupun penderita berbagai peristiwa yang diceritakan. Tokoh cerita adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2005 :165). Tokoh dalam karya fiksi, termasuk cerpen dapat dibedakan atas tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam cerita yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang pemunculannya dalam cerita relatif lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitan dengan tokoh utama, secara langsung ataupun tidak langsung.
Tokoh dalam karya fiksi, termasuk cerpen dilukiskan dengan cara yang bermacammacam, yaitu melalui teknik analitis, teknik dramatik, dan catatan identifikasi tokoh (Nurgiyantoro, 2005: 194-214). b. Alur cerita (plot) Nurgiyantoro (2005: 113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2205: 113) juga mengemukakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa yang ditampilkan yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Foster (dalam Nugroho, 2005: 113) berpendapat bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan cerita. Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa unsur utama plot adalah hubungan sebab akibat antarperistiwa yang ditampilkan dalam cerita. Peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan oleh peristiwa yang lainnya. Dengan demikian, keseluruhn peristiwa dalam cerita merupakan jalinan cerita yang saling berkaitan. Plot disusun atas tiga unsur, yaitu peristiwa, konflik dan klimaks (Nurgiantoro, 2005: 116). Peristiwa merupakan peralihan dari satu keadaan kepada keadaan yang lain (Loxemburg dkk, dalam Nurgiyantoro, 2005:117). Konflik sebenarnya merupakan peristiwa. Klimaks adalah peristiwa saat konflik telah mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat itu klimaks suatu hal yang tak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua hal atau lebih yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana permasalahan akan diselesaikan (Nurgiyantoro, 2005: 127).
Plot terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap awal (perkenalan), tengah ( tahap pertikaian) , dan akhir ( tahap peleraian) (Nurgiantoro, 2005: 142). Tahap awal sebuah cerita umumnya berisi informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap awal biasanya berisi deskripsi seting/latar dan pengenalan tokoh cerita. Tahap tengah berisi tentang pertentangan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat dan menegangkan. Tahap akhir menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Tahap ini berisi akhir sebuah cerita atau penyelesaian sebuah cerita. Alur cerpen pada umumnya tunggal, hanya terdiri dari satu urutan peristiwa sampai cerita berakhir. Urutan peristiwa dapat dimulai dari mana saja, tidak harus dari tahap pengenalan tokoh atau latar. c. Latar Latar (setting) dapat dipahami sebagai landasan berlangsungnya peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar menunjukkan tempat, yaitu lokasi di mana peristiwa itu terjadi, waktu kapan cerita terjadi, dan lingkungan sosial budaya keadaan kehidupan bermasyarakat tempat tokoh dan peristiwa terjadi. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2005: 227). Latar waktu berhubungan dengan masalah, kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi ( Nurgiyantoro,2005: 230). Latar sosial mengarah
pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan oleh suatu karya fiksi (Nurgiyantoro, 2005: 233).
Aminudin (2009: 67) mengatakan bahwa latar dalam karya fiksi tidak hanya berfungsi fisikal, tetapi juga memiliki fungsi psikologis. Latar yang bersifat fisikal berhubungan dengan tempat serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak menuansakan apa-apa. Pelukisan latar dalam cerpen pada umumnya tidak disajikan dengan detail. Cerpen hanya memerlukan pelukisan latar secara garis besar saja, asalkan telah dapat menggambarkan suasana tertentu yang dimaksudkan oleh pengarang. Dengan demikian, cerpen benar-benar hanya melukiskan latar-latar tertentu yang dipandang perlu. d. Tema Tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok (Tarigan, 2008: 167). Tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2009: 91) berasal dari bahasa latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam menyampaikan karya fiksi yang diciptakan. Stanto dan Kenny (dalam Nurgiyantoro 2005: 67) mengemukakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh cerpen. Tema dapat dipahami dan ditafsirkan melalui cerita dan unsur-unsur pembangun cerita. Dengan demikian tema sebuah cerita dapat ditafsirkan setelah cerita tersebut selesai dibaca dan disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari cerita. Umumnya cerpen hanya berisi satu tema. Hal ini terkait dengan plot yang tunggal dan tokoh terbatas yang dapat disajikan dalam cerpen. Berbeda sub-subplot dengan novel yang dapat menawarkan lebih dari satu tema karena dapat menyajikan plot utama dan sub-subplot sehingga memungkinkan adanya tema utama dan tema-tema tambahan. e. Amanat
Moral, amanat, dapat dipahami sebagai sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Sesuatu yang selalu berkaitan dengan berbagai hal yang berkonotasi positif, bermanfaat bagi kehidupan, dan mendidik. Moral dalam cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Kenny, dalam Nurgiyantoro, 2005: 321). f. Sudut pandang Aminudin (2009: 90) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Abrams (dalam Nugroho, 2005: 248) mengemukakan bahwa sudut pandang merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah teks fiksi kepada pembaca. Berdasarkan perbedaan persona tokoh cerita, sudut pandang dibedakan menjadi dua yaitu, sudut pandang orang ketiga dan orang utama. Pengisahan cerita yang menggunakan orang ketiga, yaitu “dia”, narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokohtokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Sudut pandang pesona ini dibagi menjadi dua yaitu. Pertama, “Dia” Mahatahu. Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut “dia” namun pengarang, narator, dapat menceritakan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan tokoh “dia” tersebut. Narator mengetahui segalanya. Ia bersifat maha tahu. Kedua “Dia” Tebatas/”Dia” sebagai pengamat. Dalam sudut pandang ini pengarang memposisikan diri seperti dalam “dia” Mahatahu, namun terbatas pada seorang tokoh saja. Oleh karena itu, dalam teknik ini hanya ada seorang tokoh yang terseleksi untuk diungkap. Tokoh
tersebut merupakan fokus, cermin, atau pusat kesadaran (Abrams, dalam Nurgiyantoro, 2005: 260). Pengisahan cerita dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, narator adalah seorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku”, tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan. Pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan oleh tokoh si “aku” tersebut. Sudut pandang persona pertama dibagi menjadi dua yaitu “aku” tokoh utama dan “aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya. Si „aku” menjadi fokus/pusat cerita. Dalam sudut pandang “aku” tokoh utama , tokoh “aku” hadir bukan sebagai tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan. Tokoh “aku” hadir untuk membawakan cerita pada pembaca, sedangkan tokoh cerita yang dikisahkan itu “dibiarkan” untuk mengisahkan sendiri berbagai pengalamannya. Tokoh cerita yang dibiarkan berkisah sendiri itulah yang merupakan tokoh utama. Dengan demikian, dalam sudut pandang ini si “aku” hanya tampil sebagai saksi atas berlangsungnya cerita yang tokoh utamanya adalah orang lain. Selain sudut pandang pesona ketiga dan pertama seperti telah dikemukakan diatas, terdapat sudut pandang campuran. Penggunaan sudut pandang ini merupakan kombinasi kedua sudut pandang tersebut. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik satu keteknik yang lain sesuai dengan kemauan dan kreativitas pengarang.
2.2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran Membaca Sastra Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses perolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Di sisi lain pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran sehingga mencapai suatu tujuan yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat memengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) peserta didik. Namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja, sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik. Pembelajaran yang berkualitas sangat bergantung pada motivasi peserta didik
dan
kreatifitas pengajar. Peserta didik yang memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu memfasilitasi motivasi tersebut akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar. Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan siswa melalui proses belajar. Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memandai, ditambah dengan kreatifitas guru akan membuat peserta didik lebih mudah mencapai target belajar. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pembelajaran sastra yaitu: 1) Kurangnya minat peserta didik dalam membaca cerpen 2) Model pembelajaran yang membosankan 3) Kurangnya media yang disajikan oleh guru 4) Metode pembelajaran
Faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini, Syah (2003) menjelaskan bahwa faktor faktor eksternal yang memengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial. 1. Lingkungan sosial a. Lingkungan sosial masyarakat. Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal banyak
siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh,
pengangguran dan anak telantar juga dapat memengaruhi aktivitas
siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum
belajar
belajar, diskusi, atau
dimilikinya.
b. Lingkungan sosial keluarga. Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar. Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik. c.
Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman-teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa. Hubungan yang harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. maka para pendidik, orangtua, dan guru perlu memerhatikan dan memahami bakat yang dimiliki oleh
anaknya
atau
peserta
didiknya,
antara
lain
dengan
mendukung,
ikut
mengembangkan, dan tidak memaksa anak untuk memilih jurusan yang tidak sesuai dengan bakatnya.
2. Lingkungan nonsosial.
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nasiaonal adalah:
a.
Lingkungan alamiah, seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, belajar
dingin, sinar
suasana yang sejuk dan
faktor- faktor yang dapat memengaruhi
bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses
siswa
akan
terhambat.
b. Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas olahragd dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti peraturan
sekolah,
buku
panduan,
macam.
belajar, lapangan
kurikulum sekolah, peraturan-
silabi,
dan
lain sebagainya.
Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa, begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap aktivitas belajar siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai
metode
mengajar
yang
dapat diterapkan sesuai dengan kondisi peserta didik
.
Hasil belajar peserta didik dipengaruhi dua faktor utama yaitu faktor dari dalam diri peserta didik dan faktor yang datang dari luar diri peserta didik. Menurut Slameto (2003: 54-72), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar sebagai berikut:
Faktor-faktor Internal
a.
(kesehatan, cacat tubuh)
Jasmaniah
b. Psikologis (intelegensi, perhatian,
minat, bakat, motif, bakat, motif,
kematangan dan kesiapan) c. Kelelahan
Faktor-faktor Eksternal
a. Keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian oran tua, latar b. kurikulum, relasi guru dengan siswa, pelajaran, waktu
Sekolah
belakang kebudayaan) yaitu
metode
mengajar,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat
sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode
belajar, dan tugas rumah. Masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul, bentuk masyaraka.
suasana
c. kehidupan