8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kajian Pustaka Kajian pustaka dilakukan agar penelitian ini terfokus dan tidak mengulang penelitian yang sudah ada. Kajian pustaka juga merupakan bahasan tentang penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dibuat, sehingga tujuan dari kajian pustaka ini adalah untuk menampilkan perbedaan dengan penelitian terdahulu dan memberikan kebaruan terhadap penelitian yang akan dibuat. Terdapat beberapa penelitian yang mengangkat mengenai media tradisional dan alat komunikasi. Penelitian pertama merupakan penelitian dari S. Bekti Istiyanto (2013) dengan judul “Penggunaan Media Komunikasi Tradisional Sebagai Upaya Pengurangan Jatuhnya Korban Akibat Bencana Alam” dengan lokasi penelitian di Kabupaten Banyumasan. Dalam penelitian Istiyanto (2013) dijelaskan bahwa masyarakat tidak meninggalkan media komunikasi tradisional yang ada dan digunakan oleh masyarakat Banyumas, walaupun pemerintah daerah Kabupaten Banyumas sudah memberikan beberapa hal sebagai sebuah upaya pencegahan jatuhnya korban akibat bencana alam. Upaya dari pemerintah tersebut seperti pemasangan teknologi sistem peringatan dini yang tergolong modern di daerah yang dianggap rawan bencana, sosialisasi tentang kebencanaan, hingga penjagaan secara reguler situasi yang sedang terjadi. Media komunikasi tradisional seperti seni pertunjukan rakyat berupa Wayang Kulit Gagrak Banyumasan dan Gending
9
Banyumasan sudah menjadi kekuatan budaya masyarakat Banyumas sendiri. Keduanya dapat digunakan sebagai sarana berinteraksi antar anggota masyarakat dan mendapatkan informasi terkini tentang apa yang sedang terjadi di wilayahnya, termasuk masalah kebencanaan dan pencegahan jatuhnya korban yang bisa dilakukan. Kedua media seni pertunjukan rakyat tersebut digunakan sebagai media sosialisasi pelengkap yang mempermudah masyarakat memahami dan mencerna
pesan yang disampaikan karena kedua pertunjukan tersebut
menggunakan bahasa lokal Banyumas dan berisi realitas pembahasan situasi yang akan disampaikan. Selain itu, bunyi-bunyian dari alat komunikasi tradisional masyarakat berupa kenthongan dan bedug dapat melambangkan situasi keamanan wilayah yang sedang terjadi. Kedua alat komunikasi tradisional tersebut masih sangat dibutuhkan untuk masyarakat di daerah Banyumas. Kelebihan dari media kenthongan dan bedug ini adalah lebih murah biayanya, ada dalam kehidupan masyarakat sendiri, mudah penggunaannya, dan bersifat massif. Kedua alat tradisional ini juga dapat berfungsi dengan baik bila teknologi baru justru mengalami
gangguan
dan
tidak
setiap
anggota
masyarakat
mampu
mengoperasikan dengan betul. Metode penelitian yang digunakan oleh Istiyanto adalah deskriptif kualitatif. Dalam pengumpulan data, Istiyanto memperoleh data melalui wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan (observasi), dan dokumentasi. Untuk menguji keabsahan data penelitian, Istiyanto menggunakan teknik triangulasi data. Istiyanto menggunakan uji validitas data dengan teknik triangulasi data, yaitu dengan membandingkan data hasil pengamatan dengan
10
hasil wawancara dan membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling . Perbedaan penelitian Istiyanto dengan penelitian ini terletak pada obyek penelitiannya yaitu antara Wayang Kulit Gagrak Banyumasan, Gending Banyumasan, kenthongan, bedug dan kulkul. Walaupun sama-sama merupakan media komunikasi tradisional, kulkul bukan sebuah pagelaran seni, berbeda dengan Wayang Kulit Gagrak Banyumasan dan Gending Banyumasan yang dapat dijadikan sebagai hiburan dengan menyelipkan informasi tentang apa yang sedang terjadi di wilayahnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus analisis situasional, berbeda dengan penelitian Isyanto yaitu penelitain deskriptif kualitatif. Penelitian berikutnya adalah penelitian dari I Dewa Gede Ari Pemayun dan Anak Agung Putu Swabawa (2014) dengan judul “Eksistensi Kulkul di Era Kemajuan Teknologi Informasi”. Penelitian tersebut memiliki tujuan untuk melihat peranan kulkul sebagai alat komunikasi tradisional di Bali dan melihat eksistensi kulkul di era teknologi informasi. Ari Pemayun dan Swambawa menyimpulkan bahwa eksistensi kulkul masih tetap terjaga pada era teknologi informasi karena di masing-masing desa di Bali masih menggunakan kulkul sebagai alat komunikasi sampai sekarang, di samping adanya pengerajin kulkul yang masih beroperasi sampai saat ini. Hal ini berarti bahwa kemajuan teknologi tidak berpengaruh terhadap eksistensi kulkul di Bali. Dijelaskan juga bahwa fungsi kulkul sebagai alat komunikasi tradisional sangat penting bagi masyarakat Hindu di Bali terutama berperan untuk beberapa penanda tentang kegiatan
11
upacara adat dan beberapa peristiwa. Dalam penelitian I Dewa Gede Ari Pemayun dan Anak Agung Putu Swabawa (2014), metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode obervasi, wawancara dan library research. Teknik analisis yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode deskriptif kualitatif yaitu teknik untuk menguraikan dan menganalisis data yang telah terkumpul dan membantu untuk mengambil kesimpulan. Perbedaan penelitian mereka dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah setting sosial di mana penelitian dilakukan. Penelitian Ari Pemayun dan Swambawa hanya mengambil satu lokasi penelitian yaitu di desa Singapadu Gianyar. Lokasi tersebut dianggap masih melestarikan kulkul, terlihat dengan adanya pengrajin kulkul di desa tersebut dan kulkul masih digunakan untuk berbagai fungsi. Berbeda halnya dengan penelitian ini, penulis memilih dua konteks lokasi yang berbeda, di mana desa adat Kuta merupakan suatu daerah yang tergolong sangat modern, merupakan pusat destinasi pariwisata, suatu wilayah yang orientasinya pada uang dalam artian investor masuk begitu banyak, sedangkan desa pakraman Sukahet yang sebagian besar wilayahnya merupakan tanah persawahan, perkebunan, dan sebagian di antaranya juga merupakan tanah perbukitan. Kehidupan masyarakat di desa pakraman Sukahet tidak terlalu urban (suasana perkotaan) seperti di desa adat Kuta, yang terkait dengan kehidupan industrialisasi, konsumsi gaya hidup modern, dan sosialita (kehidupan gemerlap). Kehidupan masyarakat desa pakraman Sukahet masih lekat oleh kehidupan pedesaan dengan mayoritas mata pencaharian masyarakatnya sebagai petani dan berkebun. Dalam penelitian ini, teknik analisis yang digunakan adalah analisis
12
interactive model Milles dan Huberman, berbeda dengan penelitian Isyanto yang menggunakan metode deskriptif kualitatif yaitu teknik untuk menguraikan dan menganalisis data yang telah terkumpul dan membantu untuk mengambil kesimpulan. Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari A.Saleh dan N.Rizkawati (2009) yang berjudul “Efektifitas Komunikasi Masyarakat dalam Memanfaatkan Pertunjukan Wayang Purwa di Era Globalisasi” dengan kasus di Desa Bedoyo, Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa wayang purwa tidak secara teoritis dalam mengajarkan ajaran dan nilai-nilai, melainkan pengajaran secara kongkret dengan menghadirkan kehidupan tokoh-tokohnya yang kongkret sebagai teladan. Wayang juga tidak mengajarkan ajaran dan nilainilai itu secara kaku atau akademis. Di samping mengajak penonton untuk berpikir dan mencari sendiri, wayang juga mendidik penonton melalui hati dan perasaannya dengan jalan cerita yang berisi adegan-adegan lucu, adegan mengharukan atau menyentuh hati, atau membuat hati geram. Melihat hal tersebut, metode yang digunakan untuk menambah pengetahuan penontonnya adalah melalui contoh-contoh watak yang dimainkan dalam pertunjukan wayang purwa. Dalam
pembahasan mengenai karakteristik
pertunjukan wayang purwa, dijelaskan bahwa masyarakat beranggapan bahwa pertunjukan wayang purwa yang selama ini diselenggarakan sesuai dengan prosesi bersih desa. Hal yang menarik dari fenomena tradisi bersih desa, dapat terkait dengan berbagai hal, antara lain tempat, waktu dan pelaku dalam rangkaian sebuah prosesi seni budaya. Atas dasar tersebut, dikatakan bahwa dalam seni ada
13
spiritualitas dan dalam tradisi ada seni. Berdasarkan hasil pembahasan tingkat efektivitas komunikasi masyarakat tentang bersih desa dalam pertunjukan wayang purwa, terdapat penjelasan bahwa pertunjukan wayang purwa sangat berdampak positif bagi perubahan sikap dalam masyarakat. Dalam hal ini wayang merupakan bahasa simbol kehidupan yang lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah. Setiap penonton yang melihat pagelaran wayang yang dilihat bukan wayangnya melainkan masalah yang tersirat dalam tokoh pelaku dalam pewayangan itu. Dalam penelitian ini, A.Saleh dan N.Rizkawati menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data. Penelitian ini didesain sebagai suatu penelitian survei yang bersifat deskriptif korelasional. Analisa data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan program SPSS 15 for windows, yaitu statistik deskriptif dengan menggunakan khi kuadrat dan uji korelasi Tau Kendall. Berdasarkan hal di atas, penulis menemukan perbedaan dengan penelitian A.Saleh dan N.Rizkawati. Perbedaan pertama terlihat dari obyek penelitiannya, yaitu antara wayang dan kulkul. Kemudian perbedaan yang kedua berdasarkan jenis penelitiannya, di mana penelitian A.Saleh dan N.Rizkawati merupakan penelitian survei yang bersifat deskriptif korelasional dengan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpulan data, sedangkan penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dalam proses pengumpulan data. Penelitian selanjutnya yang dijadikan kajian pustaka adalah penelitian I Wayan Suwija (2008) yang berjudul “Wacana Kritik Sosial Wayang Cenk Blonk,
14
Joblar, dan Sidia” yang memiliki tujuan untuk membahas enam permasalahan yang berkenaan dengan ketiga wayang tersebut yaitu: (1) Eksistensi dan peminggiran kedudukan wayang kulit Bali, (2) Kemasan wacana kritik sosial, (3) Bentuk wacana kritik sosial, (4) Fungsi wacana kritik sosial, (5) sasaran dan amanat wacana kritik sosial, dan (6) Tanggapan penonton terhadap wacana kritik sosial wayang Cěnk Blonk, Joblar, dan Sidia. Pementasan wayang kulit tidak hanya sebagai media hiburan dan berfungsi sebagai ritual dalam kaitannya dengan upacara keagamaan, para dalang masih sanggup mengedepankan unsur-unsur pendidikan dan wacana kritik sosial yang cukup menarik untuk dicermati dalam pementasan wayang kulit. Ketiga objek penelitian tersebut merupakan konsep wayang kulit kreasi baru atau inovatif dari pertunjukan wayang kulit Bali yang telah sanggup tampil beda, penuh dengan kreativitas dan inovasi oleh para dalangnya untuk dapat memikat kembali perhatian masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara Suwija dengan para informan, mereka menyetujui kreativitas dalang Cěnk Blonk, Joblar, dan Sidia, karena telah berhasil menampilkan pertunjukan yang berbeda dengan wayang tradisional lainnya serta masih sanggup mengkomunikasikan dialog-dialog yang mengandung nuansa hiburan dan pendidikan sehingga wayang kulit Bali tetap eksis dengan sebutan tontonan yang sekaligus menjadi tuntunan. Dalam penelitian Suwija (2008), upaya membedah wacana kritik sosial tersebut dilakukan dengan menggunakan tiga landasan teori, yaitu: teori wacana naratif, teori resepasi sastra, dan teori dekonstruksi. Metode pengumpulan data dari penelitian Suwija ini menggunakan metode observasi, wawancara, studi
15
dokumen, dan kepustakaan. Metode dan teknik pengolahan data dilakukan secara deskriptif kualitatif yang meliputi kegiatan transkripsi, penerjemahan, dan analisis data. Penyajian hasil penelitian Suwija menggunakan teknik formal dan informal. Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian yang dilakukan I Wayan Suwija adalah perbedaan objek penelitiannya. Selain itu teori yang digunakan penulis juga berbeda dengan landasan teori yang digunakan oleh I Wayan Suwija. 2.2.
Kerangka Konseptual
2.2.1. Media Komunikasi Tradisional Media komunikasi tradisional sering disebut sebagai bentuk foklor. Bentuk-bentuk dari foklor tersebut yaitu: 1) cerita prosa rakyat (legenda, dongeng, mite); 2) puisi rakyat; 3) teater rakyat; 4) nyanyian rakyat; 5) ungkapan rakyat (peribahasa, pepatah, pameo); 6) gerak isyarat; 7) alat pengingat (sirih berarti meminang); dan 8) alat bunyi-bunyian (kentongan, kulkul, gong, bedug dan lainlain) (Nurudin, 2012:114). Wiliam R. Bascom (dalam Nurudin, 2012:114), menyebutkan fungsi-fungsi pokok foklor sebagai media tradisional sebagai berikut: 1.
Foklor sebagai sistem proyeksi
2.
Sebagai pengesahan/penguat adat
3.
Sebagai alat pendidikan
4.
Sebagai alat paksaan dan pengendalian sosial agar norma-norma masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
16
Kulkul merupakan salah satu bentuk foklor yang berkembang dalam masyarakat tradisional di Bali. Kulkul merupakan media komunikasi tradisional dalam desa adat di Bali. Kulkul memiliki aspek komunikasi sebagai media penyampaian pesan secara nonverbal, yaitu melalui suara-suara kulkul yang memiliki makna yang berbeda-beda. Suara kuklkul tersebut dapat sebagai pengingat suatu pekerjaan ataupun sebagai informasi langsung terjadinya suatu musibah serta menginformasikan bahwa ada masyarakat yang meninggal dunia. Teori fungsional komunikatif merupakan salah satu dari sekian banyak teori komunikasi nonverbal. Teori yang dikemukakan oleh Burgoon ini memfokuskan kepada ‘kegunaan, motif, ataupun hasil dari komunikasi’ (Sasa Djuarsa, 2007:6.34). Dalam teori fungsional komunikatif, komunikasi nonverbal memiliki peran terhadap hasil komunikasi seperti persuasi dan desepsi (pengelabuan). Teori ini memandang suatu inisiatif untuk berinteraksi sebagai sifat multifungsional dan sebagai suatu bagian yang penting dari proses komunikasi. Fokus dari hal tersebut tidak sekedar kepada apa yang ditampilkan oleh perilaku nonverbal melainkan juga pada hubungan antara perilaku tersebut dengan tujuan-tujuan yang ada dibaliknya (Sasa Djuarsa, 2007:6.34). Kulkul merupakan peninggalan leluhur yang dilestarikan sampai saat ini. Kulkul adalah salah satu alat komunikasi bagi organisasi tradisional Bali (seperti desa adat, banjar, subak dan berbagai sekaa). Kulkul diyakini dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam kehidupan masyarakat Bali. Pada dasarnya kulkul mempunyai fungsi yang berkaitan erat dengan kegiatan banjar mulai dari penanda pertemuan rutin, tanda suatu pekerjaan akan dimulai, tanda adanya bencana alam
17
atau penanda bahwa telah terjadi sesuatu. Kulkul juga bersifat sakral dimana keberadaannya tidak akan lepas dari kegiatan persembahyangan di pura, karena difungsikan sebagai media upacara. Structuration Theory yang dikemukakan oleh Anthony Giddens beserta para pengikutnya digunakan untuk menjelaskan tentang kulkul sebagai struktur sosial dalam masyarakat Bali. Structuration Theory adalah teori umum tentang social action. Teori ini menyatakan bahwa tindakan manusia adalah proses memproduksi dan reproduksi berbagai sistem sosial. Para individu bertindak secara strategis menurut aturan-aturan untuk mencapai tujuan mereka dengan menciptakan struktur-struktur yang kembali mempengaruhi tindakan di masa depan (Littlejohn, 2012:152-153). Aksi-aksi sosial diyakini dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh struktur-struktur tersebut (seperti harapan rasional, peranperan dan norma-norma kelompok, jaringan-jaringan komunikasi, dan institusiistitusi masyarakat). Giddens percaya bahwa strukturasi selalu melibatkan tiga dimensi utama, yaitu: adanya suatu interpretasi atau pemahaman, moralitas atau perilaku yang benar, dan rasa berkuasa dalam bertindak. Aturan yang kita gunakan untuk menuntun tindakan kita, memberitahu kita bagaimana sesuatu harus dipahami (interpretasi), apa yang harus kita lakukan (moralitas), dan bagaimana untuk mendapatkan sesuatu yang ingin dicapai (kekuatan atau kekuasaan) (Littlejohn, 2012:152-153).
Berdasarkan pengertian tersebut,
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, desa pakraman menetapkan aturan-aturan yang dibuat sendiri yang disebut dengan awig-awig (Sirtha, 2008:1). Awig-awig desa pakraman dibuat atau
18
diciptakan untuk mengatur kehidupan masyarakatnya, norma-norma dalam berperilaku, dan termasuk dalam penggunaan kulkul. Kulkul merupakan bagian dari sistem sosial kemasyarakatan dalam organisasi tradisional di Bali (desa pakraman). Desa pakraman merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki satu kesatuan tradisi dan tata karma dalam pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun. Awig-awig dalam desa pakraman yang mengatur tentang kulkul, merupakan salah satu faktor yang memperkuat eksistensi kulkul hingga saat ini. Keberadaan kulkul sebagai media komunikasi tradisional yang masih digunakan dalam lembaga organisasi tradisional Bali, serta dalam kegiatan persembahyangan di pura-pura, membuat kulkul selalu diproduksi sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kulkul memiliki peranan yang sangat penting dalam kegiatan sosial kemasyarakatan di Bali. Adanya awig-awig yang mengatur tentang kulkul menjadikan kulkul sebagai media komunikasi tradisional yang harus diperhatikan dalam masyarakat. Keberadaan kulkul dalam desa pakraman yang memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat, membuat kulkul secara tidak langsung memiliki kaitan dengan norma bermasyarakat, dalam hal ini mempertahankan kesadaran moral terhadap tradisi penggunaan kulkul. Dalam fungsinya kulkul disimbolkan sebagai media pencipta kebersamaan dan persatuan, karena setiap masyarakat akan selalu memperhatikan serta mematuhi simbolsimbol bunyi yang disuarakan dari kulkul tersebut.
19
2.2.2. Pergeseran dan Ancaman Terhadap Kulkul Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi yang semakin pesat akan mempengaruhi pola komunikasi yang terjadi di masyarakat. Sebelum perkembangan tersebut terjadi, sistem komunikasi yang berkembang masih menggunakan peralatan sederhana atau media tradisional dan melalui komunikasi tatap muka. Perkembangan teknologi menjadi suatu inovasi yang bertujuan mempermudah aktifitas manusia. Saat teknologi semakin berkembang dalam kehidupan masyarakat, saat itu pula masyarakat akan mengikuti alur yang berkembang menjadi semakin modern dan mengikuti inovasi teknologi yang kian canggih. Perubahan sosial akan terjadi karena manusia melakukan adaptasi terhadap teknologi-teknologi baru yang muncul dalam kehidupan manusia. Handphone (HP) merupakan salah satu perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi. Dengan HP komunikasi menjadi semakin mudah, efisien, dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyampaikan pesan. Komunikasi jarak jauh pun tidak jadi masalah jika menggunakan HP. Kehadiran HP yang mendunia telah membentuk cara berinteraksi, bersosialisasi, dan berkomunikasi, di mana dalam berkomunikasi tidak perlu lagi komunikasi secara tatap muka saat ingin menyampaikan pesan atau membicarakan sesuatu, dari jarak jauh sekalipun pesan yang ingin disampaikan dapat tersampaikan. Fenomena perkembangan teknologi tersebut dapat dijelaskan dengan Technological Determinism Theory. Terdapat beberapa proposisi utama dari Media Technological Determinism (McQuail, 2010:103), yaitu: 1. Teknologi komunikasi sangat penting untuk masyarakat
20
2. Setiap teknologi memiliki bias ke bentuk komunikasi tertentu, konten, dan penggunaan. 3. Rangkaian penemuan dan penerapan teknologi komunikasi, mempengaruhi arah dan kecepatan perubahan sosial. 4. Revolusi komunikasi menyebabkan revolusi sosial. Dasar teori ini adalah perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk bagaimana cara berpikir individu, berperilaku dalam masyarakat, dan teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi selanjutnya di dalam kehidupan manusia (Nurudin, 2011:185). Dalam Nurudin (2011:185), McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana kita berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak diperhatikan. Pertama, perubahan budaya disebabkan oleh adanya penemuan dalam teknologi komunikasi. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa “Kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri.” Berdasarkan teori tersebut, terlihat bahwa budaya komunikasi yang mengedepankan kecepatan, efisiensi waktu dan jarak komunikasi, menjadi budaya komunikasi saat ini. Kulkul sebagai media komunikasi tradisional tetap menjadi budaya turun temurun, tetapi HP menjadi ancaman dari kulkul karena fungsi HP lebih praktis, cepat, dan efisien. Proses penyampaian informasi atau pesan dapat dilakukan dari jarak jauh tanpa harus
21
bertemu atau bertatap muka. Saat ini, banyak orang menggunakan HP untuk kebutuhan berkomunikasi. Tidak hanya HP, penyebaran surat dan penggunaan pengeras suara untuk menyampaikan informasi dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap kulkul. Benda-benda tersebut bersifat langsung dalam memberikan suatu informasi kepada khalayak. 2.2.3. Motivasi Penggunaan Media Dalam menjalankan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan di banjar adat, pengurus banjar memerlukan media penyebaran informasi yang menjangkau seluruh warga banjarnya. Selain menggunakan kulkul, kehadiran handphone menjadi sebuah sarana akses informasi dan komunikasi serta menjadi pilihan media untuk berkomunikasi. Pilihan menggunakan handphone memiliki tujuan agar dapat mengurangi tidak sampainya suatu informasi dari suara kulkul, khususnya warga banjar tinggal jauh dari pemukiman banjar adat. I Wayan Swarsa (43 tahun) selaku Bendesa Adat Kuta (wawancara, Kuta, 12 Februari 2015) mengatakan, banyak warga banjar adat di Kuta yang tidak tinggal di pemukiman banjar adatnya, ada yang tinggal di kawasan pemukiman banjar adat lain dan ada juga yang tinggal di Denpasar. Berdasarkan hal tersebut, solusi agar seluruh warga di masing-masing banjar adat mendapatkan suatu informasi yaitu memberitahukan informasi melalui handphone. Sama halnya dengan Swarsa, Yasa Putra selaku ketua pemuda di Banjar Wangsian Desa Pakraman Sukahet (wawancara, Sukahet, 26 Maret 2015) memilih menggunakan handphone untuk memberitahukan informasi akan diadakan rapat, ada warga yang meninggal,
22
menikah, dan lain-lain kepada anggota sekaa teruna-teruninya (organisasi pemuda dan pemudi) yang merantau dan tinggal di Denpasar. Melihat fenomena di atas, teori Uses and Gratification dapat dijadikan sebagai landasan dalam kaitannya dengan fenomena tersebut. Dalam model teori ini, khalayak dianggap secara aktif menggunaakan media untuk memenuhi kebutuhannya. Pendekatan Uses and Gratification berfokus pada penggunaan Khalayak dipandang aktif dan berorientasi pada tujuan penggunaan. Khalayak memiliki tanggung jawab penuh akan pilihan media
yang memenuhi
kebutuhannya dan mengetahui dengan baik apa yang dibutuhkan serta bagaimana mendapatkannya. Dengan kata lain, terlepas dari pilihan yang disediakan oleh media, individu memilih sendiri caranya untuk memuaskan kebutuhannya (Littlejohn, 2012:323). Pendekatan ini juga diterapkan untuk mempelajari daya tarik media elektronik yang baru dan bahkan untuk penggunaan telepon (McQuail,terj.,iva izzati, 2011:174). Kedekatan relatif dengan media yang berbeda dihubungkan dengan pengharapan yang berbeda pula dan juga kepuasan yang dicari. Pendekatan Uses and Gratification tersebut asal mulanya berawal dari pencarian tentang penjelasan mengenai daya tarik yang besar dari konten media pokok tertentu. Pertanyaan inti yang diajukan adalah mengapa orang-orang menggunakan media, dan untuk apa mereka menggunakan media? Menurut Wright (dalam McQuail, terj.,iva izzati, 2011:174), sosiologi fungsionalis memandang media sebagai pelayan atas kebutuhan masyarakat yang beragam, misalnya untuk kohesi, keberlangsungan budaya, kontrol sosial, dan peredaran yang luas dari segala jenis informasi publik. Hal tersebut berkaitan
23
dengan penggunaan handphone dalam penyebaran informasi tambahan di Banjar Adat Pande Mas, disamping penyebaran informasi dengan menggunakan kulkul. Semakin padatnya kawasan desa adat Kuta dengan bangunan-bangunan besar dan tinggi, menyebabkan jangkauan dari suara kulkul kadang tidak terdengar jelas oleh beberapa masyarakat. Penyebaran informasi melalui short message service (SMS) menjadi solusi disamping menggunakan kulkul, guna memberitahukan masyarakat untuk berkumpul di banjar berkenaan dengan kegiatan banjar yang akan dilaksanakan. Hal tersebut dilakukan sebelum kulkul dibunyikan, khususnya kepada warga banjar yang bertempat tinggal jauh dari banjar aslinya (Swarsa, wawancara, Kuta, 12 Februari 2015) Sama halnya dengan yang dilakukan oleh kelompok pemuda Banjar Wangsian Desa Pakraman Sukahet, mereka kerap kali menginformasikan tentang kegiatan rapat di banjar, informasi ada warga yang menikah ataupun meninggal melalui group chatting yang ada di Blackberry messanger (BBM). Biasanya mereka saling bertukar informasi dan berdiskusi di BBM tiga hari atau seminggu sebelum rapat berlangsung di banjar. Kegiatan tersebut dilakukan untuk saling mengingatkan dan memberitahu jika salah satu di antara mereka berhalangan untuk hadir. Pada saat hari berlangsungnya rapat atau kegiatan lain, kulkul akan dibunyikan dan merupakan suatu penanda yang bersifat resmi dan mengingatkan bahwa adanya suatu kegiatan. Philip Palmgreen dari Kentucky University menggunakan dasar bahwa orang menggunakan media didorong oleh motif-motif tertentu, tetapi konsep yang diteliti oleh model Palmgreen tersebut tidak berhenti di situ. Konsep tersebut
24
berlanjut dengan menanyakan apakah motif-motif khalayak itu sudah dapat dipenuhi oleh media. Dengan kata lain, apakah khalayak puas setelah menggunakan media (Kriyantono, 2006:210). Pemilihan handphone sebagai media tambahan penyebaran informasi disamping menggunakan kulkul, merupakan bentuk kebutuhan, kepuasan, dan pengharapan agar pesan benar-benar sampai kepada yang dituju. Pilihan media tersebut juga merupakan langkah peredaran yang luas dari segala jenis informasi publik. Walaupun saat ini penyebaran informasi dalam kegiatan sosial banyak menggunakan SMS, kulkul akan selalu tetap dibunyikan sebagai bentuk dari keberlangsungan budaya dan kontrol sosial dalam masyarakat, serta disanalah masyarakat merasa puas bahwa mereka sudah melakukan pelestarian budaya. Mereka puas saat melakukan kewajiban menggunakan kulkul dalam proses pemberitahuan informasi terjadinya suatu kegiatan sosial dan kemanusiaan, serta kulkul menjadi pilihan media pemberitahuaan saat musibah (kebakaran, bencana alam) tiba-tiba terjadi.
25
Kulkul sebagai media komunikasi tradisional dalam desa pakraman di Bali.
Desa pakraman di Bali memiliki otoritas dan legitimasi yang kuat dalam masyarakat. Keberadaan kulkul dalam desa pakraman menjadikan kulkul juga memiliki legitimasi dan dipatuhi oleh warganya.
Kulkul mendapatkan terpaan globalisasi
Globalisasi : Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi
Desa Pakraman Sukahet
Globalisasi : Perkembangan wilayah sebagai kota wisata, dominasi ruang komersial yang semakin berkembang, perkembangan arus modal dan investasi yang sangat kuat.
Desa Adat Kuta
Keberadaan kulkul dalam desa Pakraman yang memiliki legitimasi menyebabkan kulkul tetap eksis dipergunakan, meskipun teknologi informasi dan komunikasi menggeser penggunaan kulkul. Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran