17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab II ini disajikan Kajian Pustaka yang menguraikan tentang “Tinjauan Sosiologis dan Yuridis Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Pada Masyarakat Kelurahan Cigugur Kabupaten Kuningan”.
2.1 Tinjauan Sosiologis Tentang Kepercayaan dan Penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa Manusia mempunyai hasrat, keinginan, dan rasa untuk membentuk dirinya sendiri sebagai manusia. Manusia baru menjadi manusia setelah ia hidup bersama dengan manusia lain. Keinginan untuk hidup berkelompok adalah hakikat manusia sebagai makhluk bermasyarakat. Ilmu yang mempelajari tentang masyarakat ini disebut Sosiologi Menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Soekanto, 2004:20) menyatakan bahwa sosiologi atau ilmu masyarakat adalah: Ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Selanjutnya menurut Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsurunsur sosial yang pokok yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal-balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya.
18
Jadi, tinjauan sosiologis adalah pandangan
yang berkaitan dengan
pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat, ilmu tentang struktur sosial, proses sosial yang mengakibatkan terjadinya pengaruh timbalbalik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi, dan lain sebagainya serta perubahannya yang mempelajari tentang sifat dan perkembangan masyarakat. Tujuan dari Sosiologi adalah untuk mendapatkan pengetahuan sedalam-sedalamnya tentang masyarakat yang mungkin dapat dipergunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat.
2.1.1
Tinjauan tentang Masyarakat Adanya bermacam-macam wujud kesatuan kolektif manusia menyebabkan
bahwa kita memerlukan beberapa istilah untuk membeda-bedakan berbagai macam kesatuan manusia tadi. Kecuali istilah yang paling lazim, yaitu masyarakat, ada istilah-istilah khusus untuk menyebut kesatuan-kesatuan khusus yang merupakan unsur-unsur dari masyarakat, yaitu kategori sosial, golongan sosial, komunitas, kelompok, dan perkumpulan (Koentjaraningrat, 2002:143). a) Pengertian Masyarakat Dalam ukuran jumlah yang sangat kecil, yaitu suami istri, kelompok yang disebut masyarakat sudah dapat terbentuk. Pada kelompok tersebut terjadi interaksi sosial dalam memenuhi tuntutan kehidupan, mulai kehidupan yang paling mendasar yaitu makan-minum, dorongan biologis, spiritual keagamaan, dan lainnya. Dalam
19
menjalaninya, baik melalui proses alamiah dari tuntutan tersebut maupun atas dasar kesepakatan, tumbuh nilai, norma, kelaziman dan aturan-aturan lain yang menjamin berlangsungnya interaksi sosial di lingkungan yang bersangkutan. Secara bertahap dan berkesinambungan, tumbuhlah landasan-landasan budaya yang menjamin kelangsungan hidup kelompok yang selanjutnya juga menjamin kehidupan umat manusia. Pada masyarakat, interaksi sosial, tuntutan kebutuhan, tantangan alam, dan tantangan kehidupan pada umumnya selalu melekat pada diri masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan karya, cipta, rasa, dan karsa selalu terjadi. Dengan perkataan lain, pada masyarakat tersebut berkembang kebudayaan yang menjadi ciri dan jati dirinya. Dalam hal ini, masyarakat manusia, tidak terikat oleh keterbatasan dirinya, oleh naluri belaka, melainkan ia mampu menembus tantangan hidup dengan memanfaatkan akal dalam ungkapan kemampuan budaya atau produknya kita sebut kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan itu melekat pada diri manusia sebagai suatu kelompok yang kita sebut masyarakat. Soekanto (2004:171) mengatakan ”masyarakat adalah orang yang hidup bersama menghasilkan kebudayaan”. Dengan demikian, tak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagi wadah dan pendukungnya. Melville J. Herkovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan pengertian Cultur Determinism, yang berarti bahwa ”segala sesuatu yang terdapat di dalam masyarakat ditentukan adanya oleh kebudayaan yang dimiliki
20
oleh masyarakat itu”. Kemudian Herkovits memandang kebudayaan sebagai ”sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan yang berturun-temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus, meskipun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti disebabkan kematian dan kelahiran”. Terbentuknya komunitas bernama masyarakat adalah implikasi logis dari realitas kemanusiaan dengan fitrahnya sebagai homo socius (makhluk bermasyarakat). Hubungan individu dengan keinginan dan tujuan yang sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang dinamakan masyarakat. Koentjaraningrat (2002:143) mengemukakan definisi masyarakat sebagai berikut. Masyarakat merupakan istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society berasal dari kata Latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata arab syaraka yang berarti “ikut serta, berpartisipasi”. Dengan demikian, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat sebenarnya memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Adanya prasarana untuk berinteraksi memang menyebabkan bahwa warga dari suatu kolektif manusia itu akan saling berinteraksi. Sebaliknya, adanya hanya suatu potensi untuk
21
berinteraksi saja belum berarti bahwa warga dari suatu kesatuan manusia itu benarbenar akan berinteraksi. Hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia yang bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat, karena suatu masyarakat harus mempunyai suatu ikatan lain yang khusus. Berdasarkan pemaparan tentang definisi masyarakat di atas, dapat dirumuskan kesimpulan bahwa ikatan yang membuat suatu kesatuan manusia itu menjadi suatu masyarakat yaitu pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupannya dalam batas kesatuan itu. Lagi pula, pola itu harus bersifat mantap dan kontinyu, maksudnya pola khas itu harus sudah menjadi adat istiadat yang khas. Dengan demikian suatu asrama pelajar, suatu akademi kedinasan, atau suatu sekolah, tidak dapat kita sebut masyarakat, karena meskipun kesatuan manusia yang terdiri atas murid, guru, pegawai administrasi, serta para karyawan lain itu terikat dan diatur tingkah lakunya oleh berbagai norma dan aturan sekolah dan lain-lain, namun sistem normanya hanya meliputi beberapa sektor kehidupan yang terbatas saja sedangkan sebagai kesatuan manusia, suatu asrama atau sekolah itu hanya bersifat sementara, artinya tidak ada kontinuitasnya. Selanjutnya, Ter Haar memaparkan bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Golongangolongan itu mempunyai tata-susunan yang tetap dan kekal. Orang-orang segolongan itu masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya. Hal tersebut merupakan kodrat alam. Tidak ada seorang pun dari mereka
22
yang mempunyai pikiran yang memungkinkan pembubaran golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, milik keduniaan, dan milik gaib. Golongan-golongan yang demikianlah yang bersifat persekutuan hukum. Muhammad (2003:21) menyimpulkan pendapat Ter Haar di atas sebagai pengertian dari masyarakat hukum sebagai berikut. Masyarakat hukum adat adalah: 1) kesatuan manusia yang teratur; 2) menetap di suatu daerah tertentu; 3) mempunyai penguasa-penguasa; 4) mempunyai kekayaan yang berwujud maupun tidak berwujud, di mana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorang pun di antara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang saling berinteraksi secara kontinyu menurut tradisi atau adat istiadat yang mereka pegang sebagai pedoman hidup. b) Penggolongan Masyarakat Struktur masyarakat menentukan sistem (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat itu. Di samping itu, langkah pertama ke arah suatu penggolongan (membuat kategori) beberapa jenis struktur masyarakat hukum adat yang berbedabeda berdasarkan ukuran (kriterium). Soepomo menggolongkan masyarakat adat menjadi masyarakat adat berdasarkan kedaerahan atau asas teritorial dan ukuran asas
23
keturunan atau asas genealogis. Penggolongan menurut kedua asas ini lazim dilakukan dan memang tepat (Muhammad, 2003:23). Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis menurut Muhammad (2003:23) adalah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari satu keturunan yang sama. Dalam masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat genealogis, seseorang menjadi atau menganggap dirinya keturunan dari seorang ayah asal tunggal (melalui garis keturunan laki-laki) atau dari seorang ibu asal tunggal (melaui garis keturunan perempuan). Dengan demikian, maka semua anggota masyarakat yang bersangkutan itu tadi merasa sebagai satu kesatuan dan tunduk pada peraturanperaturan
hukum
(adat)
yang
sama.
Selanjutnya
Muhammad
(2003:24)
mengemukakan bahwa dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan oleh faktor genealogis ini, ada tiga macam pertalian keturunan, yakni sebagai berikut: a) Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (patrilineal), sebagai contoh hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, orang Bali, orang Ambon. b) Pertalian keturunan menurut garis perempuan (matrilineal), sebagai contoh hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Minangkabau, orang Kerinci, orang Semendo. c) Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak (parental), sebagai contoh hal ini terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Bugis, orang Dayak di Kalimantan, dan orang Jawa. Adapun masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, menurut Muhammad (2003:27) yaitu masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah adalah masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa
24
bersatu, dan karena merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sehingga terasa ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggalnya. Definisi tersebut menegaskan bahwa landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan antara orang dengan tanah yang didiami sejak kelahirannya, atau tanah yang didiami oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Muhammad (2003:28) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial, yakni sebagai berikut: 1) Masyarakat hukum desa Masyarakat hukum desa adalah segolongan atau sekumpulan orang yang hidup bersama berasaskan pandangan hidup, cara hidup, dan sistem kepercayaan yang sama, yang menetap pada suatu tempat kediaman bersama yang merupakan satu kesatuan, satu tata-susunan, yang tertentu baik ke luar maupun ke dalam. Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula kesatuan-kesatuan kecil yang terletak di luar wilayah desanya, yang lazim disebut teratak atau dukuh, tetapi tunduk pada penguasa kekuasaan desa. 2) Masyarakat hukum wilayah (persekutuan desa) Masyarakat hukum wilayah adalah suatu kesatuan sosial yang teritorialnya melingkupi beberapa masyarakat hukum desa dan masing-masing tetap merupakan kesatuan-kesatuan yang berdiri sendiri.
25
3) Masyarakat hukum serikat desa (perserikatan desa) Masyarakat hukum serikat desa adalah suatu kesatuan sosial yang teritorial, yang terus menerus dibentuk atas dasar kerjasama di berbagai lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu. Di antara tiga jenis masyarakat hukum adat yang teritorial tersebut, maka yang merupakan pusat pergaulan sehari-hari adalah desa, huta, dan dusun. Hal ini ditinjau baik dari segi organisasi sosial maupun dari perasaan perikatan yang bersifat tradisional. 4) Ciri-ciri masyarakat Kata ciri-ciri sebenarnya mengarah kepada khususan (spesifikasi) tentang objek yang akan dikenai ciri-ciri tersebut. Demikian pula dengan ciri-ciri masyarakat Indonesia tertentu mengacu kepada ciri-ciri manusia, yang secara sosiologisantropologis, termasuk ke dalam kategori masyarakat Indonesia. Menurut Mochtar Lubis (2000:294), mengemukakan ciri-ciri masyarakat Indonesia sebagai berikut: 1) Hipokritis atau munafik Masyarakat Indonesia bersifat hipokritis (munafik), maksudnya adalah lain di muka, lain di belakang. Lain di mulut lain di hati. Apa yang dikatakan berlainan dengan isi hatinya. Orang menyembunyikan sesuatu yang diinginkan atau dikehendaki karena takut mendapat reaksi yang merugikannya apabila ia mengemukakan apa yang sebenarnya.
26
2) Segan dan enggan bertanggung jawab Di Indonesia sangat jarang seorang pemimpin atau pejabat yang mau meletakkan jabatannya sebagai bentuk pertanggung jawaban apabila ia melakukan kesalahan atau gagal melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, jika ada peristiwa yang sukses, manusia Indonesia tidak ragu-ragu mengklaim bahwa kesuksesan itu adalah hasil usahanya, untuk kemudian memperoleh pujian, penghargaan, dan lain-lain. 3) Percaya pada takhayul Sampai sekarang masih banyak manusia Indonesia yang percaya pada takhayul. Benda-benda tertentu dianggap keramat atau mempunyai kekuatan gaib. Misalnya batu besar, benda aneh, makhluk hidup yang bentuknya menyimpang dari kelaziman, pohon besar sering dianggap keramat, dan orang mencari hari baik untuk melakukan hajatan atau pekerjaan. Peristiwa-peristiwa alam dianggap mempunyai pengaruh pada kehidupan manusia. Burung gagak terbang berputar-putar sambil bersuara di atas suatu rumah, dianggap sebagai pertanda adanya anggota kerabat yang akan meninggal. Orang yang meninggal pada hari-hari tertentu (selasa kliwon atau jumat kliwon) makamnya dijaga selama 40 hari pertama agar kain kafan atau bagianbagian tubuh jenazahnya (yang dianggap memiliki tuah) tidak dicuri orang. Kaum pedagang atau pengusaha harus datang ke tempat tertentu (gunung, telaga, dan lainlain) agar usahanya lancar. Dan masih banyak lagi contohnya dalam masyarakat.
27
2.1.2
Interaksi Sosial sebagai Faktor Utama dalam Kehidupan Sosial Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat
dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Bentuk lain dari proses sosial hanya merupakan bentukbentuk khusus dari interaksi sosial. Menurut pandangan Soekanto (2004:61) interaksi sosial adalah sebagai berikut: Hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Apabila bertemu, interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling tegur-menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk interaksi sosial. Perubahan
dan
perkembangan
masyarakat
yang
mewujudkan
segi
dinamikanya disebabkan para warganya yang mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya, baik dalam bentuk orang perorangan maupun kelompok manusia, sebelum hubungan–hubungan tersebut mempunyai bentuk yang konkret, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial di dalam masyarakat Soekanto (2004:60) mengatakan bahwa: Proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok manusia saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya caracara hidup yang telah ada. Atau dengan kata lain, proses-proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara berbagai segi kehidupan bersama. Dari proses-proses sosial tersebut maka akan dibatasi dengan bentuk-bentuk interaksi sosial, yaitu bentuk-bentuk yang tampak apabila orang–perorangan ataupun kelompok-kelompok manusia itu mengadakan hubungan satu sama lain dengan terutama mengetengahkan dalam interaksi sosial tersebut kelompok-kelompok
28
manusia itu mengadakan hubungan satu sama lain dengan terutama mengetengahkan dalam interaksi sosial tersebut kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial sebagai unsur-unsur pokok dari struktur sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial. Hal tersebut karena tanpa interaksi sosial, tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bertemunya orang perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru akan terjadi apabila perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama, saling berbicara, dan seterusnya untuk mencapai suatu tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian, dan lain sebagainya. Betapa pentingnya kerja sama, di gambarkan oleh Charles H. Cooley sebagai berikut: ”Kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhimemenuhi kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingankepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna”. Maka dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah dasar proses sosial, pengertian yang mana menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis (Soekanto, 2004:60-61). Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, sebagai berikut:
29
a. Adanya kontak sosial Kontak berasal dari bahasa latin Con atau Cum (yang artinya bersama-sama) dan tango (yang artinya menyentuh), sehingga artinya adalah bersama-sama menyentuh. Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniah. Hal tersebut karena orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, misalnya dengan cara berbicara dengan pihak lain tersebut. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yaitu: antara orang perorangan, antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia, dan antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. b. Adanya komunikasi Arti terpenting dari komunikasi adalah bahwa seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah atau sikap), dan perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Dengan demikian, komunikasi memungkinkan kerjasama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia. Selain itu, komunikasi merupakan syarat terjadinya kerjasama. Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan atau pertikaian (conflic). Menurut Gillin dan Gillin, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:
30
a) proses yang asosiatif yang terbagi ke dalam tiga golongan yaitu: akomodasi, asimilasi dan akulturasi; dan b) proses yang disosiatif
yang mencakup: persaingan dan persaingan yang
meliputi kontravensi dan pertentangan atau pertikaian. Berdasarkan pemaparan di atas, tinjauan sosiologis yang dikaji dalam skripsi ini berkaitan dengan pola perilaku atau interaksi masyarakat khususnya pada kehidupan Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di kelurahan Cigugur Kuningan.
2.1.3
Sistem Kemasyarakatan dan Sisem Sosial Budaya Dalam pandangan Tatang M. Amirin, sebagaimana dikemukakan oleh
Jacobus Ranjabar (2006:7) bahwa: Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani yaitu: Systema, yang mempunyai pengertian sebagai berikut: 1). Suatu hubungan yang tersusun atas sekian banyak bagian dan, 2) Hubungan yang berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen komponen secara teratur. Jadi, systema itu mengandung arti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan suatu keseluruhan. Dengan demikian, maka dapat dinyatakan bahwa suatu sistem merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur atau bagian-bagian yang berkaitan dan berhubungan satu sama lain dalam suatu kesatuan. Di dalam pengertian sederhana ini tercakup adanya hubungan timbal-balik dari unsur-unsur atau bagian-bagian sistem.
31
Secara sosiologis, di dalam setiap sistem kemasyarakatan terjadi hubungan antar pribadi, antar kelompok, maupun antara pribadi dengan kelompok lainnya). Hubungan tersebut disebut interaksi sosial, yang menyangkut proses saling pengaruh mempengaruhi antar pihak-pihak yang berinteraksi. Apabila terjadi interaksi sosial yang berulang kali sehingga menimbulkan pola tertentu, maka akan timbul kelompok sosial. Soekanto (1986:393) menjelaskan tentang kelompok sosial yaitu ”merupakan himpunan atau kesatuan orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang sedemikian eratnya, sehingga masing-masing anggota kelompok merasa menjadi bagian dari kelompok sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh”. Kehidupan berkelompok di dalam kelompok-kelompok sosial tersebut cenderung menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan tersebut merupakan hasil karya, hasil cipta, dan hasil rasa yang semuanya didasarkan pada karsa. Hasil karya merupakan bagian kebudayaan yang dinamakan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan material. Hasil cipta, hasil rasa dan karsa merupakan kebudayaan spiritual atau kebudayaan immaterial. Hasil cipta menimbulkan ilmu pengetahuan, hasil rasa menimbulkan kesenian, sedangkan karsa menghasikan kaidah-kaidah atau norma-norma. Sistem norma di dalam masyarakat merupakan patokan untuk berperilaku secara pantas. Norma-norma tersebut merupakan patokan perilaku yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Sistem kemasyarakatan, mencakup berbagai bidang kehidupan yang merupakan sub-sistem, oleh karena menjadi bagian dari suatu kesatuan yang menyeluruh. Biasanya sub-sistem subsistem tersebut meliputi: sub-sistem politik,
32
sub-sistem ekonomi, sub-sistem sosial, sub-sistem budaya, sub-sistem pertahanankeamanan, dan sub-sistem hukum. Sub-sistem tersebut saling berkaitan secara fungsional, sehingga menjadi wadah dan proses yang memenuhi kebutuhan dasar manusia. Salah satu faktor yang mempertahankan integrasi sistem kemasyarakatan adalah sub-sistem pertahanankeamanan dan sub-sistem hukum. Sub-sistem sosial-budaya merupakan struktur dan proses dalam suatu wadah tertentu yang mempunyai unsur-unsur pokok. Unsur-unsur pokok tersebut adalah sebagai berikut: a. Kepercayaan yang merupakan pemahaman terhadap semua aspek alam semesta yang dianggap sebagai suatu kebenaran (mutlak). b. Perasaan dan pikiran, yakni suatu keadaan kejiwaan manusia yang menyangkut keadaan sekelilingnya. Baik yang bersifat alamiah maupun sosial. c. Tujuan, yang merupakan suatu cita-cita yang harus dicapai dengan cara mengubah sesuatu atau mempertahankannya. d. Kaidah atau norma yang merupakan pedoman untuk berperilaku pantas. e. Kedudukan dan peranan; kedudukan (status) merupakan posisi-posisi tertentu secara vertikal, sedangkan peranan (role) adalah hak-hak dan kewajibankewajiban baik secara struktural maupun prosesual. f. Pengawasan yang merupakan proses yang bertujuan untuk mengajak, mendidik atau bahkan memaksa warga masyarakat untuk mentaati normanorma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. g. Sanksi, yakni persetujuan atau penolakan terhadap perilaku tertentu. Persetujuan terhadap perilaku tertentu dinamakan sanksi positif , sedangkan penolakannya dinamakan sanksi negatif yang mencakup pemulihan keadaan, pemenuhan keadaan dan hukuman dalam arti yang luas. h. Fasilitas yang merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, yang telah ditentukan terlebih dahulu. i. Kelestarian dan kelangsungan hidup. j. Keserasian antara kualitas kehidupan dengan kualitas lingkungan (Soekanto 1986:396). Pengertian sosial budaya mengandung makna sosial dan budaya. Sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala sesuatu yang bertalian dengan
33
sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau kelompok orang yang di dalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi hidup serta cara mencapainya. Arti budaya, kultur atau kebudayaan adalah cara atau sikap hidup manusia dalam hubungannnya secara timbal-balik dengan alam dan lingkungan hidupnya yang di dalamnya sudah tercakup pula segala hasil cipta, rasa, karsa, dan karya, baik yang fisik materiil maupun yang psikologis, idiil, dan spiritual. Dengan perkataan lain, kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari dari pola-pola prilaku yang normatif, artinya mencakup segala cara-cara atau polapola berpikir, merasakan dan bertindak. Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak dari kebudayaan. Sistem budaya atau cultural system merupakan ide-ide dan gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam keadaan lepas atau dari yang lainnnya, tetapi selalu berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian, sistem kebudayaan adalah ”bagian dari kebudayaan, yang diartikan pula adat istiadat” Munandar Sulaeman (1998:16). Adat istiadat mencakup sistem nilai budaya, sisitem norma, norma-norma menurut pranata-pranata yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan, termasuk norma agama. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan-tindakan serta tingkah laku manusia. Proses belajar dari sistem budaya ini dilakukan melalui pembudayaan. Dalam proses pelembagaan ini, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma dan peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini dimulai sejak kecil, mulai dari lingkungan keluarga,
34
kemudian dengan lingkungan di luar rumah, mula-mula dengan meniru berbagai macam tindakan. Setelah perasaan dan nilai budaya yang memberikan motivasi akan tindakan tersebut kemudian diinternalisasikan dalam kepribadiannya, maka tindakan tersebut menjadi suatu pola yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan. Sistem sosial. Konsep sistem sosial adalah alat pembantu untuk menjelaskan tentang kelompok-kelompok manusia. Sebagaimana pandangan Mac Iver dan Page yang dikemukakan oleh Jacobus Ranjabar (2006:10) bahwa: Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah. Pengertian tersebut bertitik tolak dari pandangan bahwa kelompok-kelompok manusia merupakan suatu sistem. Tiap-tiap sistem sosial terdiri atas pola-pola perilaku tertentu yang mempunyai struktur dalam dua arti. Pertama, relasi-relasi sendiri antara orang-orang bersifat mantap dan tidak cepat berubah. kedua, perilakuperilaku mempunyai corak atau bentuk yang relatif mantap. Menurut Parsons, sebagaimana dikemukakan Munandar Sulaeman (1998:17) bahwa: Yang menyusun strategi untuk analisa fungsional meliputi semua sistem sosial, termasuk hubungan berdua, kelompok kecil, keluarga, organisasi kompleks, dan juga masyarakat keseluruhan. Sebagai suatu sistem sosial, ia mempunyai bagian yang saling bergantung antara yang satu dengan yang lainnya di dalam satu kesatuan. Kesemuanya saling mengait satu sama lain dalam kebudayaan yang menguntungkan.
35
Dalam suatu sistem sosial, paling tidak harus terdapat empat hal, yaitu: dua orang atau lebih, terjadi interaksi di antara mereka, bertujuan, memiliki struktur, simbol, dan harapan-harapan bersama yang dipedomankan. Berdasarkan uraian di atas, sistem sosial merupakan bentuk sistem kehidupan masyarakat yang senantiasa saling berhubungan atau berinteraksi dengan tujuan dan harapan bersama dalam mencapai suatu kesatuan tertentu dalam mencapai kebutuhan hidup mereka, baik itu dalam pemenuhan kebutuhan yang bersifat material, kerohanian atau religi.
2.2
Tinjauan Yuridis tentang Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Alasan yuridis yang dijadikan alasan argumentasi untuk membenarkan
masuknya aliran kepercayaan ke dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 29 ayat 2 yaitu: ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan". Pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan frase "kepercayaannya" itu adalah pengakuan atas aliran kepercayaan, sebagai alasan untuk suatu pembenaran. Nama "aliran kepercayaan kepada Tuhan YME" itu sendiri, baru pada tahun 1977. Ketika Indonesia baru saja merdeka dan UUD 1945 sedang disusun oleh pendiri negara kita, mereka tidak mengenal istilah "aliran kepercayaan". Dalam pandangan penulis istilah itu sangat artifisial, sebagai alasan untuk dijadikan suatu
36
pembenaran bagi rakyat. Apabila pada tahun 1945 para pendiri Republik ini mengakui "aliran kepercayaan" yang dimaksudkan tentu dalam UUD 1945 terdapat aturan mengenai aliran kebatinan. Tetapi istilah aliran kebatinan tidak termuat di dalam UUD 1945. Pada UUD 1945 terdapat hanya satu bab mengenai agama, apabila istilah "kepercayaan"
itu
mempunyai
arti
tersendiri
di
luar
agama,
maka
pada Bab XI tidak disebut agama saja melainkan disebut agama dan kepercayaan. Barulah setelah 32 tahun merdeka (1978) penguasa dengan sewenang-wenang mensejajarkan agama dengan kepercayaan yang pada tahun 1945 tidak ada yang mengenalnya. Menurut Muhamad Hatta, istilah "aliran kepercayaan" yang dimaksud dengan kata "kepercayaannya itu" yang termuat pada Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 adalah kepercayaan kepada agama (Rachmat, 2000 dalam
[email protected]). Berdasarkan penjelasan Bung Hatta tersebut, maka bisa dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru telah memutar-balikkan makna UUD 1945. Selain itu, dibenarkannya aliran kepercayaan masuk ke dalam GBHN menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah melakukan penodaan agama, melanggar ketetapan Presiden Rl no. 1 tahun 1965 dan melanggar KUHP Pasal 156-a karena pemerintah Orde Baru telah berbuat suatu tindakan "dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Rachmat, 2000 dalam
[email protected]).
37
2.2.1
Dasar Hukum dan Pembinaan Dasar hukum yang menjamin hak hidup dari aliran Kebatinan di negara
kita ialah UUD 1945 pasal 29:1, 2: "Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Dalam rangka tugas pembinaan aliran-aliran Kebatinan ini di tingkat pusat dan daerah dibentuk Biro Pakem dan Panitia yang bersifat interdepartemental, Kejaksaan, dan Kepolisian. Berdasarkan UU No.15 tahun 1961, Kejaksaan dan Kepolisian melakukan pengawasan dan penertiban terhadap aliran-aliran itu.
2.2.2 Masalah Hukum Surat Menteri Agama RI tanggal 17 Juli 1980 No. B.IV/5996/1980 menyatakan bahwa di dalam negara kita tidak dikenal cara perkawinan, sumpah, penguburan menurut aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME. Bahkan, dalam KTP pun tidak dicantumkan aliran kepercayaan terhadap Tuhan YME. Menurut surat tersebut para penganut agama yang mengikuti aliran Kepercayaan terhadap Tuhan YME tidak kehilangan agama mereka dan tetap melaksanakan cara perkawinan, sumpah, dan penguburan menurut agama masing-masing. Walaupun telah berlaku UUD No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi bagi penganut aliran kebatinan tidak ada kepastian hukum. Disebutkan bahwa
38
perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1). Ada penafsiran berbeda-beda tentang ayat ini. Pokok masalah terletak pada kata "dan" tersebut Niels Mulder menganggap bahwa aliran ini berhak menyelenggarakan perkawinan (1984:9). Kebanyakan penafsir menganggap bahwa kata "dan" tersebut hanya menunjukkan kumulasi dari kata "agamanya". Oleh karena itu, banyak hakim dan kantor Catatan Sipil yang menolak perkawinan menurut aliran Kebatinan.
2.2.3 Landasan Hukum Keagamaan Landasan filosofi kehidupan keagamaan secara yuridis konstitusional di negara kita diawali dengan (1) pembukaan UUD1945 ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga rakyat (2) bebas menganut agama dan keyakinannya masing-masing (ps 29 UUD 1945), (3) Dilarangnya penodaan penyalahgunaan dan atau penodaan agama dalam UU No1/PNPS/1965 yang menegaskan bahwa agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, (4) Peningkatan status PNPS No 1/1965 menjadi Undang-undang yang pelaksanaannya dalam PP No 28/1969, (5) Tap MPR II/1978 menegaskan, negara
tidak
memaksa
agama
atau
suatu
kepercayaan
terhadap
Tuhan
Yang Maha Esa, sebab agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu berdasarkan
keyakinan,
hingga
tidak
dapat
dipaksakan
dan
memang
agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri tidak memaksa setiap orang untuk memeluk dan menganutnya.
39
Lebih jauh lagi landasan hukum beragama juga menjabarkan tentang kerukunan hidup antarumat beragama. Hasyim (1979:357) menguraikan dasar-dasar serta landasan kerukunan hidup antarumat beragama sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Falsafah Pancasila Undang-Undang Dasar 1945 Tugas Nasional Bersama dalam Pembangunan Setuju dalam perbedaan Rukun, saling menghormati, saling mengerti, adalah watak Bangsa Indonesia Adanya kode etik penyebaran agama M. Panggabean (Hasyim, 1979:357) menguraikan pendapat yang senada
mengenai faktor-faktor dalam membina kerukunan hidup umat beragama, sebagai berikut: 1) Golongan yang belum beragama atau belum berKetuhanan Yang Maha Esa termasuk golongan atheis dan animis diusahakan agar mereka beragama dan berKetuhanan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan dan pilihannya sendiri. 2) Golongan yang sudah beragama atau berKetuhanan Yang Maha Esa, diusahakan agar mereka makin mantap dan tebal imannya serta luhur budi pekertinya berdasarkan keyakinan agamanya masing-masing. 3) Golongan pemuda dan golongan remaja diusahakan untuk mengahargai dan menghayati nilai-nilai moral dan akhlak yang luhur serta kegiatan-kegiatan usaha yang lebih mengarah kepada pembangunan. 4) Golongan agama dan cendikiawan diusahakan kreativitas dan dukungan yang bergairah sehingga akan menimbulkan partisipasi nyata dari rakyat terhadap program-program pembangunan. 5) Peningkatan kerukunan hidup beragama dan jiwa tenggang rasa umat beragama yang tinggi antar pemeluk agama yang berlainan, dengan memperhatikan faktor-faktor dibawah ini: a. Jangan sampai berusaha supaya orang lain yang sudah memeluk agama meninggalkan agamanya untuk memeluk agama yang ia peluk dengan penindasan atau daya tarik ekonomi dan kebudayaan. b. Menjauhi polemik untuk lebih meningkatkan hubungan antar kelompokkelompok yang berbeda agama. c. Saling memahami kepercayaan satu sama lain.
40
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam menghadapi masa pembangunan nasional dewasa ini perlu kiranya suatu perumusan serta rencana strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang mengenai pembinaan kerukunan hidup beragama. Adapun materi pokok yang perlu mendapatkan pembahasan serta selanjutnya ditentukan sasaran pokok yang harus dicapai ialah masalah komunikasi antaragama untuk menyusun “modal rohaniah dan mental bagi pembangunan nasional”. Sementara itu, dalam pidatonya Menteri Agama H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (Hasyim, 1979:376) menegaskan bahwa perlu adanya tiga macam kerukunan di Indonesia agar pembangunan berjalan dengan mantap dan lancar. Ketiga kerukunan tersebut dikenal dengan istilah Tri Kerukunan Umat Beragama sebagai berikut: 1. Kerukunan internumat beragama Kerukunan ini mencakup kerukunan para pemeluk suatu agama tertentu, seperti sesama orang Islam, sesama orang Kristen, sesama orang Hindu, serta sesama orang Budha. 2. Kerukunan antarumat beragama Kerukunan ini mencakup antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia. Antar pemeluk agama di Indonesia hendaknya saling menghoramti dan menghargai serta saling mengunjungi satu sama lainnya dengan berpedoman pada AlQur’an, ” Lakum diinukum wa liya diin”, yang artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku. 3. Kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan ini dapat tercapai jika pemerintah bisa memahami apa yang disenangi oleh rakyatnya. Begitu juga rakyat memahami hal-hal yang disenangi dan tidak disenangi oleh pemerintah. Seperti hal-hal yang tidak disenagi rakyat, kemudian pemerintah mengambil kebijaksanaan yang baik, yakni memutuskan tidak memasukannya ”aliran kepercayaan” ke dalam Departemen Agama. Hal yang disenangi pemerintah anatara lain ialah apabila rakyat memelihara Ketahanan Nasional dan turut melaksanakan pembangunan. Sedangkan, yakni tidak disenangi pemerintah adalah rakyat
41
tidak memandang dan menghargai Pancasila, dengan mengganggu ideologi Pancasila dengan berbagai konflik agama dan perdebatan ideologi agama yang menjurus ke arah konflik.
2.2.4
Toleransi Antarumat Beragama 1. Pengertian Toleransi Dalam era sosial dan masyarakat yang pluralis seperti masyarakat Indonesia
ini, nilai-nilai toleransi dibutuhkan dalam mempertahankan keutuhan masyarakat, mencegah bentrokan, persatuan dan kesatuan bangsa dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa akan arti dan makna toleransi baik dalam konteks Islam juga dalam konteks berbangsa dan bernegara. Agar tidak terjadi kekaburan bahasa dan makna, di bawah ini penulis akan membahas definisi tentang toleransi. Toleransi di dalam Bahasa Arab biasa dikatakan ikhtimal, tasaamukh, yang artinya sikap membiarkan, lapang dada. Samakhatasaamakha yang berarti lunak berhati ringan. Atau bisa juga dengan kesabaran hati atau membiarkan, dalam arti menyabarkan diri walaupun diperlakukan kurang senonoh umpamanya. Senada dengan pengertian toleransi dalam bahasa Arab, definisi yang hampir sama juga diungkapkan oleh Hasyim (1979:22) yang mengemukakan bahwa: Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masingmasing, selama di dalam menjalankan dan menetukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat. Definisi di atas menegaskan bahwa toleransi secara prinsipil adalah suatu tindakan yang apresiatif (menghargai), membiarkan tetap mengontrol tindakan orang
42
lain, baik itu dalam konteks ibadah, akhlak, dan muamalah, agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Senada dengan uraian di atas, Hamka (Hasyim, 1979:2) mendefinisikan toleransi sebagai berikut. Toleransi dikatakan sebagai suatu pandangan yang mengakui hak untuk menentukan nasibnya sendiri atau pribadi masing-masing. Tentu saja di dalam menentukan hak itu seseorang tidak harus melanggar hak-hak orang lain. Dan prinsip ini adalah sebagai salah satu hak azasi manusia. Pengertian di atas lebih memprioritaskan nilai-nilai toleransi pada hal-hal yang bersifat kebebasan dengan menyertakan nilai-nilai tanggung jawab di dalamnya yang merupakan aspek terpenting pelaksanaan hak azasi manusia. Agar tidak terjadi suatu kekeliruan arti baik secara praktis maupun teoritis, maka Hasyim (1979:23) memasukkan unsur-unsur yang melandasi sikap toleransi, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Mengakui hak setiap orang Menghormati keyakinan orang lain Setuju dalam perbedaan Saling mengerti Kesadaran dan kejujuran Jiwa Berdasarkan beberapa pengertian mengenai toleransi di atas, maka dapat
disimpulkan secara umum bahwa toleransi mengandung berbagai hal yang bersifat menghargai dan mengerti keadaan orang lain. Toleransi mengajarkan kita untuk saling mengerti dan menghormati serta mengakui hak-hak orang lain, baik itu dalam hal ekonomi, sosial, agama (keyakinan) bahkan politik sekalipun membutuhkan nilai-
43
nilai toleransi guna menciptakan suatu sistem keteraturan dalam berbangsa dan bernegara serta bermasyarakat. Ada beberapa pemikiran dalam rangka mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Menurut A. Mukti Ali (Muchtar Ghazali, 2004:217) paling tidak, ada lima jalan untuk mencapai kerukunan, antara lain sebagai berikut: 1) Sinkretisme; pemikiran sinkretis didasarkan atas pandangan bahwa semua agama adalah sama. Dalam lapangan ilmu agama, sinkretisme adalah sebagai aliran dan gejala yang hendak mencampuradukkan segala agama menjadi satu, dan bahwa semua agama pada hakikatnya adalah sama.
Salah seorang tokoh sinkretisme adalah Radhakrishnan, yang merupakan seorang ahli filsafat dan pernah menjadi Presiden India. Ia mencoba menyatukan agama Hindu dengan humanisme. Ia adalah seorang universalis; Tuhannya adalah Universum (alam semesta); dan pusat Universum adalah manusia. Menurutnya, hakikat manusia yang paling dalam adalah Tuhan. Itulah kebenaran dan kebenaran ini adalah Tuhan. Semua agama adalah alat, agama-agama yang berbeda hanya berbeda dalam faktorfaktor historis dan geografis, bukan dalam hakikat. Tidak ada agama yang mengandung sesuatu yang mutlak, semua agama relatif, dan instrumentalis. Dengan demikian, agama pada dasarnya adalah alat untuk mencapai tujuan. Pandangan tersebut bagi agama-agama monoteis, tentu saja tidak dapat diterima. Dalam ajaran Islam, Khalik berbeda dengan makhluk. Zat Yang
44
menciptakan berbeda dengan yang diciptakan. Hal demikian supaya jelas siapa yang disembah dan untuk siapa orang-orang berbakti. 2) Rekonsepsi; menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Tokoh rekonsepsi ini adalah W.E.Hocking, dalam buku the Coming World Civilization. Ia berpendapat bahwa semua agama adalah sama saja. Yang menjadi pokok pemikirannya adalah bagaimana sebenarnya hubungan antaragama yang terdapat di dunia, dan bagaimana dapat dipenuhi rasa kebutuhan akan adanya satu agama dunia. Oleh karena itu, hendaknya disusun suatu agama universal yang memenuhi kebutuhan segala orang dan bangsa. Caranya ialah dengan jalan rekonsepsi itu. Tentu saja pemikiran rekonsepsi tidak dapat diterima karena dengan jalan itu, agama merupakan produk pemikiran manusia, sedangkan agama sebenarnya adalah wahyu. Bukan akal yang menciptakan agama, tetapi agamalah
yang
memberikan
bimbingan
kepada
manusia
untuk
mempergunakan akalnya. 3) Sintesis; pemikiran sintesis adalah menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambil dari pelbagai agama, supaya tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Pemikiran sintesis ini pun tidak dapat diterima. Agama sintesis itu sendiri tidak dapat diciptakan, karena tiap-tiap agama mempunyai latar
45
belakang sejarah tersendiri yang tidak begitu saja gampang diputuskan. Tiaptiap agama terikat dengan hukum-hukum sejarahnya. 4) Penggantian; pemikiran ini mengakui bahwa agamanya sendiri adalah yang benar, sedangkan agama lain adalah salah dan berusaha supaya orang lain yang beda agama itu masuk dalam agamanya. Dengan cara itu, ia menduga bahwa kerukunan hidup beragama dapat tercipta. Pemikiran ”penggantian”, juga tidak dapat diterima. Kita hidup dalam masyarakat ”serba ganda” (plural society) ganda dalam kepercayaan dan adat kebiasaan, ganda dalam penghayatan terhadap hidup dan kehidupan, ganda dalam latar belakang dan perjalanan sejarah, dan ganda dalam pengertian terhadap motivasi dan fungsi perbuatan manusia. 5) Agree in Disagreement; setuju dalam perbedaan. Orang yang memiliki atau sepandangan ini akan mempercayai bahwa agama yang ia peluk adalah agama yang paling baik dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Menurut A. Mukti Ali, agree in disagreement, merupakan jalan yang paling baik untuk menimbulkan kerukunan hidup beragama. Keyakinan bahwa agama yang diyakininya adalah yang paling baik dan benar, tetapi sebaliknya menghargai keyakinan orang lain, adalah cara yang paling baik dalam konteks hidup rukun dalam agama yang beragam.
46
2.2.5
Status dan Kedudukan Aliran Kepercayaan Dalam persfektif Hak Asasi Manusia, keberadaan aliran Kepercayaan dijamin
dalam 18 Universal of Human Rights yang dilahirkan pada tanggal 10 Desember 1948 yakni yang berbunyi: Article 18 Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion, the right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with other and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance. Unsur-unsur kebebasan yang dapat diturunkan dari ketentuan pasal tersebut adalah: (a) Setiap orang mempunyai kebebasan atas pikiran, keinsafan batin dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama dan kepercayaan; (b) Setiap orang mempunyai kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melaksanakannya, beribadat dan menaatinya; (c) Kebebasan sebagaimana termaksud dalam butir b tersebut dapat dilaksanakan baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum maupun di tempat pribadi. Penolakan pencatatan perkawinan oleh Kantor Catatan Sipil bahwa perkawinan tidak dilakukan menurut agama yang ditentukan oleh pemerintahan tersebut bertentangan dengan prinsip “Internasional Convention on the elimination of all forms of racial Discrimination” yang dinyatakan sebagai berikut: a) bahwa negara peserta mengutuk diskriminasi rasial, dan berusaha melaksanakan kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi rasial dalam segala bentuknya; b) mengambil tindakan yang efektif untuk meninjau kembali kebijaksanaan nasional maupun daerah yang peraturan-peraturannya bersifat diskriminatif .
47
Kebebasan memeluk agama dan atau aliran kepercayaan tercantum pula dalam Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Di dalam Internasioanal “ Convention on Civil and Political Right” dinyatakan: Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This righ shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and public or private, to manifest his religion or belif in worship observance, practice and teaching. Dalam konteks ke Indonesiaan, berdasarkan instruksi Menteri Agama No. 4 tahun 1978 dinyatakan bahwa aliran kepercayaan bukan agama dan tidak akan dijadikan agama. Agama yang diakui oleh pemerintah ialah: Islam, Katolik, Kristen/Protestan, Hindu, dan Budha kemudian mengenai kedudukan aliran kepercayaan ditegaskan oleh Presiden Soeharto di depan sidang DPR tanggal 19 Agustus 1978, bahwasanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah bagian dari kebudayaan Nasional Indonesia. Selanjutnya beliau mengatakan: Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama dan juga bukan agama baru. Karena itu tidak perlu dibandingkan, apalagi dipertentangkan dengan agama. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah kenyataan budaya yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa kita. Pada dasarnya Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warisan dan kekayaan rohaniah rakyat kita. Kita tidak dapat memungkirinya begitu saja… Sebagai bagian dari kekayaan kebudayaan, maka pembinaan penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa akan diletakkan dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan… Berdasarkan pidato Presiden tersebut ditegaskan bahwa aliran kepercayaan bukanlah agama, melainkan bagian dari warisan budaya Indonesia. Para penghayat kepercayaan dianggap tetap memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia disamping kepercayaan yang dihayatinya. Surat Edaran Menteri Agama No.
48
B.VI/11215/78 menegaskan bahwa orang beragama/pemeluk agama yang mengikuti aliran kepercayaan tidaklah kehilangan agama yang dipeluknya. Oleh karena itu, tidak ada tata cara ”Perkawinan menurut aliran kepercayaan“ dan “Sumpah menurut aliran kepercayaan”.
2.3
Tinjauan tentang Kepercayaan dan Penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa Ditinjau secara sosiologis, dalam hidupnya baik secara individual maupun
hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat lepas dari unsur religi, apapun religi yang dianutnya. Sebagai hasil dari perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia menganut berbagai agama dan kepercayaan. Tulisan dari Mutakin dan Pasya (2006), dalam bukunya yang berjudul Geografi Budaya, menjelaskan bahwa di kalangan orang-orang primitif, agama memuat keyakinan kepada sejumlah kekuatan yang ada di luar manusia sebagai tempat untuk memohon petunjuk manakala mereka menghadapi saat-saat kritis. Kekuatan-kekuatan tersebut biasanya pada roh orang yang telah mati, makhluk halus yang menghuni gunung, batu besar, pada binatang tertentu atau segala makhluk yang tidak berwujud. Kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus tersebut dikenal dengan sebutan Animisme. Masyarakat primitif memiliki ikatan nilai dan norma yang sangat erat dengan berpedoman pada religinya. Religi yang dimiliki masyarakat primitif ini nampaknya membantu terwujudnya solidaritas sosial yang melibatkan mereka terlibat di
49
dalamnya. Menurut Durkheim (Awan Mutakin, 2006:107) kegiatan religi yang dilakukan masyarakat nampaknya memerlukan suatu alat yang dianggap suci dalam bentuk simbol yang diyakini bersama memiliki kekuatan yang dapat mempersatukan kehidupan mereka yang disebut Totem. Dengan demikian, bahwa sistem totem sebagai religi yang hidup dalam masyarakat primitif, telah memberikan suatu keyakinan terhadap kelompoknya, sehingga di manapun mereka berada akan tetap bersatu dalam totem yang sama dan akan berkumpul disaat-saat tertentu dalam upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh klannya, sehingga totem ini sebagai alat integrasi sosial ke dalam bagi kehidupan masyarakat. Religi yang dikemukakan oleh Durkheim dengan toteminismenya, berbeda dengan mentalitas primitif yang dikemukakan oleh Levi Bruhl. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Levy Bruhl (Mutakin, 2006:108) sebagai bahwa: …karena struktur masyarakat beraneka ragam, maka demikian juga gambaran-gambarannya, dan begitu pula pemikiran individunya. Setiap corak masyarakat karenanya punya mentalitas yang khas, karena masing-masing punya kebiasaan dan lembaga-lembaga yang khas pula, yang pada dasarnya hanyalah merupakan suatu aspek tertentu bagi gambaran-gambaran kolektif; semua itu adalah gambaran-gambaran yang dipikirkan secara obyektif. Dalam kehidupan masyarakat primitif, menegaskan bahwa keberadan individu dan pemikirannya terhadap suatu hal tergantung pada masyarakatnya, karena masyarakatlah yang memberikan pengetahuan dan konsep-konsep kehidupan sebagai suatu fenomena sosial maupun fenomena alam pada individu. Dalam hal menanggapi gambaran-gambaran kolektif dari suatu fenomena, bagi masyarakat primitif selalu
50
bersifat mistis atau adanya suatu kekuatan yang supra-natural dari setiap kejadian yang berlangsung di alam. Durkheim dengan Levy Bruhl memiliki kesamaan terhadap religi dalam hal kepercayaan kolektif yang dimiliki masyarakat, yaitu sama-sama menyatakan adanya suatu kepercayaan yang dilandasi oleh adanya kekuatan supra-natural yang dihasilkan oleh fenomena alam yang muncul di lingkungan kehidupan masyarakat primitif, kemudian ditanggapinya sebagai suatu gambaran kolektif dan diyakini bersama. Keduanya menekankan bahwa kehidupan masyarakat akan menentukan keberadaan individu, begitu pula religi yang dianut individu sebagai hasil dari keyakinan yang dianut bersama dalam masyarakat. Adapun perbedaannya, Durkheim lebih menekankan pada integrasi masyarakat yang dilandasi oleh adanya solidaritas, sedangkan Levy Bruhl menekankan pada adanya gambaran kolektif yang memberikan bayangan bagi setiap individu di dalam masyarakat primitif. Kemunculan religi yang hidup dalam masyarakat sederhana tidak lain karena adanya fenomena alam, di luar jangkauan dan keterbatasan pemikiran manusia dalam menjawab fenomena tersebut, sehingga mereka menganggap adanya kekuatan dahsyat yang tidak dapat ditaklukan oleh kekuatan manusia. Hal itu sebagai kekuatan supra-natural, sehingga harus dihormati dan dipuja agar memberikan perlindungan dan berkah bagi masyarakat, sehingga Firth (Mutakin, 2006:110) mengemukakan sebagai berikut: Jika kita namakan hal ini suatu kepercayaan (religi) gaib, maka kita sekali-kali tidak bermaksud mengatakan bahwa hal-hal yang dipercaya rakyat tadi oleh mereka harus dianggap sebagai suatu di luar kekuasaan alam, akan tetapi oleh
51
karena hal-hal itu tidak merupakan sebagian dari apa yang menurut pengalaman kita harus digolongkan ke dalam kekuatan alam. Pada hakekatnya tindakan hal-hal gaib tadi merupakan penyempurnaan bagi usaha-usaha biasa dari manusia… Pendapat tersebut menegaskan bahwa kepercayaan terhadap hal-hal gaib di luar jangkauan manusia merupakan kekuatan sebagai penyelaras hubungan manusia dengan alam dan sebagai pengawasan terhadap tingkah laku dengan sesamanya maupun dengan alam melalui norma-norma yang dihasilkannya, baik dalam bentuk anjuran, keharusan, maupun larangan. Manusia memiliki rasa takut apabila melanggar norma yang telah ditetapkan, dan setiap pelanggaran yang dilakukan dapat mendatangkan bencana tidak saja kepada si pelanggar, tetapi juga kepada orang lain dalam kelompoknya bahkan bagi seluruh masyarakat, sehingga manusia senantiasa mentaati norma yang ada dan menjaga keselarasan hidup dengan alam. Religi yang dilakukan manusia hubungannya dengan fenomena alam, apabila diurutkan, maka harus memenuhi tiga faktor, sebagai berikut: 1. Alat-alat yang dipergunakan, dalam bentuk wujud yang dicita-citakan individu atau masyarakat sebagai lambang dari suatu kepercayaan tertentu. 2. Cara dalam melakukan ritual yang berhubungan dengan religi. Ritual sebagai upacara keagamaan senantiasa dilakukan untuk menghormati masyarakat yang dipuja, baik terhadap roh nenek moyang. Dewa, ataupun totem yang memberikan kehidupan bagi mereka. 3. Mantera-mantera diciptakan sebagai penguat keyakinan mereka terhadap halhal yang dianggapnya gaib. Mantera ini di masyarakat dapat saja dalam
52
bentuk karya sastra yang berfungsi juga sebagai mantera penyembuh, mantera kesugihan, mantera penolak bala, mantera kesuburan dan lain-lain. Ketiga faktor tersebut merupakan norma dalam menjalankan religi dan memiliki nilai magis yang dianggap memiliki kekuatan bagi yang menggunakannya. Adapun kekuatan tersebut memiliki sifat masing-masing yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga masyarakat menjadikannya sebagai ajimat yang memiliki kekuatan gaib siap digunakan setiap saat. Kekuatan tersebut ada yang (1) bersifat menghancurkan dalam bentuk kerusakan, penyakit, dan kematian; (2) bersifat melindungi bagi yang menggunakannya baik dalam menghadapi tantangan alam, gangguan dari binatang buas, maupun gangguan dari manusia lain yang dapat merongrong hak milik pribadi; dan (3) bersifat produktif, yaitu untuk menghasilkan suatu barang atau jasa guna untuk menunjang perekonomian keluarga atau masyarakat, seperti berburu, panen, minta hujan, minta jodoh, dan lain-lain. Untuk memperjelas magis dengan religi perlu kembali dipertegas agar seperti yang dikemukakan oleh Fisher (Mutakin, 2006:111) sebagai berikut: Apabila manusia itu disalurkan kepada suatu sikap rohani yang mengabdi yang menghamba terhadap kekuasaan-kekuasaan atas alami, kita namakan religi. Sedangkan istilah magic menyatakan kemauan untuk menguasainya. Dengan demikian, bahwa religi lebih menekankan pada penyerahan diri terhadap yang diyakini masyarakat, sedangkan magis lebih menekankan pada bentuk penguasaan tiga faktor religi, seperti: yang bersifat menghancurkan, bersifat melindungi, dan produktif.
53
Di sisi lain, Harold R. Isaacs (1993:190) memaparkan bahwa bagian yang menyertai setiap orang dari masa lalu ialah “kepercayaan”. Agama itu datang dengan berbagai nama dan bentuk, namun agama sebenarnya berhubungan dengan kepercayaan kepada dewi atau dewa-dewa di dalam suatu bentuk kekuatan gaib, yang menguasai bumi dan mengatur nasib semua yang hidup di dalamnya. Beberapa kepercayaan semacam itu disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan praktik merupakan bagian dari kebudayaan manusia yang diketahui semenjak masa lampau yang terjauh dan sampai sekarang ini. Dalam berhubungan dengan sang pencipta, nenek moyang kita sudah berusaha mengenalnya. Dengan demikian, lahirlah kepercayaan yang dikenal dengan animisme (percaya bahwa benda mempunyai kekuatan gaib) dan dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangan selanjutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenek moyangnya maka lahirlah suatu kepercayaan memuja roh nenek moyang. Menurut Siti Waridah, dkk. (2000:73) sebagaimana dikemukakan oleh E.B. Tylor dalam Teori Animisme adalah: Religi yang tertua adalah animisme yang kemudian berkembang secara evolusi menjadi politheisme, dan akhirnya monotheisme. Tumbuhnya religi menurut Tylor diawali dengan kesadaran manusia akan adanya roh. Bahwa di alam ini di mana-mana ada roh, dan manusia memuja roh khususnya roh orang yang meninggal. Karena menurut anggapannya, roh-roh tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik pengaruh yang bersifat positif (mendatangkan keuntungan) maupun yang negatif (merugikan). Dari sinilah kemudian berkembang kepercayaan animisme, yang sisa-sisanya masih banyak kita jumpai hingga sekarang.
54
Di samping berdimensi berpikir, maka manusia itu berdimensi percaya. Percaya adalah sifat dan sikap, membenarkan sesuatu, atau menganggap sesuatu sebagai benar. Kepastian adalah sikap mental atas dasar keyakinan bahwa ada kebenaran, tetapi kebenaran yang diselidiki sendiri. Menurut Pudjawijatna (1981:135), pengertian kepercayaan adalah sebagai berikut: Ada pula kemungkinan, bahwa orang mempunyai keyakinan akan kebenaran bukan karena penyelidikan sendiri, melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Kepastian terdapat karena percaya ini tidak perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri. Jadi, kepercayaan itu adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lainnya dari kepercayaan adalah sesuatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup tanpa kepercayaan apapun, karena kepercayaan merupakan hal yang terpenting dalam hidup manusia. Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan, hal itu akan melahirkan nilai-nilai guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa kepercayaan atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Akan tetapi, selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan pun harus benar pula. Menganut kepercayaan yang salah, bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataannya kita temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan, semuanya itu salah atau salah satu di antaranya benar. Di
55
samping itu, masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur baur. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu tersendiri. Maksudnya kebenaran di sini merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Berbeda dengan kepercayaan, agama dalam pandangan Nurdin (2001:27), didefinisikan sebagai suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini keberadaannya dan merupakan jalan ke arah keselamatan hidup. Definisi tersebut menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem keyakinan atau kepercayaan manusia terhadap Tuhan, di mana atas dasar kepercayaan atau keyakinan tersebut, manusia bersedia untuk hidup sesuai dengan titah dan perintah Tuhan demi menggapai keselamatan hidup. Sebagai suatu sistem nilai, Nurdin (2001:27) mengemukakan bahwa agama meliputi tiga persoalan pokok, sebagai berikut: 1) Tata keyakinan atau credial, yaitu bagian dari agama yang paling mendasar berupa keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan yang supernatural, Dzat Yang Maha Mutlak di luar kehidupan manusia. 2) Tata peribadatan atau ritual, yaitu tingkah laku dan perbuatan-perbuatan manusia dalam berhubungan dengan Dzat yang diyakini sebagai konsekuensi dari keyainan akan keberadaan. 3) Tata aturan, kaidah-kaidah, atau norma-norma yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam lainnya sesuai dengan keyakinan dan peribadatan tersebut.
2.3.1
Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia Aliran kepercayaan (kebatinan) adalah hasil pikir angan-angan manusia yang
menimbulkan
suatu
aliran
kepercayaan
dalam
dada
penganutnya
dengan
membawakan ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gaib, bahkan
56
untuk mencapai persekutuan dengan apa yang mereka anggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dengan demikian, menurut pendapatnya, mencapai budi luhur untuk kesempurnaan hidup kini dan mendatang sesuai konsep sendiri. Kebatinan berbeda dengan agama. Agama bukanlah hasil pikir dan perenungan manusia. Materi kebatinan sebagai kreasi manusia yang mencampuradukkan beberapa kepercayaan, mulai dari kepercayaan animisme dan dinamisme zaman klasik prasejarah, ajaran-ajaran dewa dan kepercayaan-kepercayaan kuno, teknik-teknik yoga, mistik, tasawuf, filsafat, psikologi, bahkan sampai mengambil hipotesishipotesis ilmu dewasa ini yang dapat menumbuhkan kultus-kultus individu kepada pemimpin atau pendiri pertama oleh penganutnya. Sebagian memang ada kebatinan yang mengambil keterangan agama, tetapi bukan sebagai patokan dasar, melainkan sebagai hiasan penarik pemanis kata untuk memperkuat ajaran kebatinannya. Kartapradja dalam bukunya Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia menyebutkan bahwa di Indonesia berkembang dua macam aliran kepercayaan, yaitu: 1. aliran kepercayaan yang bersifat tradisional dan animistis; Aliran ini tidak memiliki filosofi dan mistik. Contohnya adalah Perlamin dan Pelbegu di Tapanuli Sumatera Utara, Kaharingan di kalangan suku-suku Dayak di Kalimantan, Marapu di pulau Sumba, dan Toani Talang di Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan; dan
57
2. aliran kepercayaan yang ajarannya bersumber pada filosofi dan mistik; Aliran ini lazim disebut kebatinan. Dalam perkembangannya aliran ini kemudian menamakan diri Golongan Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut catatan Direktorat Pembinaan Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, saat ini terdaftar 245 organisasi
kepercayaan yang tersebar di seluruh pelosok nusantara (Media
Indonesia, 3 Agustus 1997). Menurut Chandrawila, pakar hukum perkawinan Universitas
Parahyangan-Bandung,
dalam
penelitiannya
pada
tahun
1992
menyebutkan jumlah penghayat di Indonesia sekitar 10 juta jiwa (KOMPAS, 14 Mei 1997). Dari jumlah ini dibedakan atas penghayat yang beragama dan penghayat yang tak beragama. Sebagian besar penghayat di Indonesia memeluk salah satu agama yang diakui di Indonesia. Sebagian kecilnya memilih tidak beragama. Mereka yang tidak beragama itu kebanyakan ada di Subang dan Kuningan. Perkembangan aliran kepercayaan saat ini mirip seperti ungkapan: hidup segan mati tak mau. Sejak Munas terakhir Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) di Kaliurang tahun 1989, penghayat dewasa ini seperti berjalan sendiri (KOMPAS edisi 14 Mei 1997). Pengurus himpunan tidak banyak melakukan kegiatan untuk mengurus anggotanya. Bahkan, dapat dikatakan vakum. Penghayat kini tidak terurus, berjalan begitu saja sesuai dengan aktivitas aliran, paguyuban, atau apapun nama kelompoknya. Tiada lagi yang menyuarakan kepentingan mereka. Padahal persoalan kian menghimpit. Kondisi ini berada jauh dengan dasawarsa 70-an di mana
58
penghayat memperoleh pengakuan dalam wujud diselenggarakannya siaran Mimbar Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa oleh TVRI.
2.3.2
Aliran Kepercayaan Agama Jawa Sunda (Madraisme) Menurut Saifuddin Anshari, Endang (1987) dalam bukunya yang berjudul
Ilmu, Filsafat dan Agama. Saifuddin menjelaskan arti kepercayaan bahwa di samping berdimensi berpikir, manusia juga berdimensi percaya. Percaya ialah sifat dari sikap, membenarkan sesuatu, atau menganggap sesuatu sebagai benar, “kepastian adalah sikap mental atas dasar keyakinan bahwa ada kebenaran, tetapi kebenaran yang diselediki sendiri”. Adapun Pudjawijatna (1981:135) mengemukakan kepercayaan sebagai berikut: Ada pula kemungkinan, bahwa orang mempunyai keyakinan akan kebenaran bukan karena penyelidikan sendiri, melainkan atas pemberian pihak lain. Ahli ilmu falak mengatakan misalnya kepada saya, bahwa pada tanggal tertentu akan ada gerhana bulan. Saya yakin, bahwa, pemberitahuan itu benar. Jadi setelah diberitahu itu, saya tahu akan sesuatu kebenaran. Pengetahuan yang tercapai demikian itu disebut kepercayaan…. Kepastian terdapat karena percaya ini perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri. Dengan demikian, kepercayaan itu adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lainnya daripada kepercayaan ialah sesuatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat membayangkan manusia tidak dapat hidup tanpa kepercayaan apapun, karena kepercayaan merupakan hal yang terpenting dalam hidup manusia. Dalam hidupnya baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat lepas dari unsur religi, apapun religi yang dianutnya. Sebagai
59
hasil dari perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia menganut berbagai agama dan kepercayaan. Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan itu akan melahirkan nilai-nilai guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa kepercayaan atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Akan tetapi, selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan pun harus benar pula. Menganut kepercayaan yang salah, bukan saja tidak dikehendaki tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataannya kita temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan, semuanya itu salah atau salah satu di antaranya benar. Disamping itu, masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur baur. Oleh karena itu, satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu tersendiri. Maksudnya kebenaran di sini merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Berkaitan dengan aliran kepercayaan agama Jawa Sunda, dalam tulisan Kartapradja, Kamil (1990) yang berjudul Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Kartapradja menjelaskan bahwa Madraisme sering disebut juga aliran kepercayaan Agama Jawa Sunda. Pusatnya di Cigugur, 4 km sebelah barat kota Kuningan. Penciptanya bernama Madrais yang menurut riwayatnya Madrais masih keturunan Sultan Cirebon. Seorang pangeran keturunan sultan di Cirebon mempunyai selir (istri yang dikawin sah diakui sebagai istri tak resmi) di salah satu desa Kecamatan Losari, Cirebon. Ayah dari selir tadi adalah termasuk guru ngaji (guru
60
agama Islam) di kampung. Dari selir tersebut lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Madrais oleh kakeknya (Muhammad Rais). Sampai dewasa Madrais mendapat pelajaran agama Islam yang tidak seberapa pengetahuannya. Kemudian Madrais minta izin kepada kakeknya untuk mencari ayahnya di kota Cirebon. Karena tidak mendapatkan keterangan yang memuaskan ia tinggal sebagai pelayan pada seorang pangeran di Cirebon. Karena patuh dan rajin, Madrais disayangi dan diberi pelajaran mistik, yang oleh orang Cirebon disebut Ngelmu Cirebon. Madrais melahirkan dan menggerakkan agama Jawa-Sunda karena tidak mendapat kepuasan baik dari ajaran Islam yang diberikan kepadanya maupun dari ajaran Ngelmu Cirebon yang diterimanya. Madrais berpendapat kedua ajaran itu masih berbau asing, dengan agama arab dan sebagainya, ajaran-ajaran Ngelmu Cirebon pun banyak memakai kata-kata Arab. Ajaran Madrais yang bersifat mistik dan ada sedikit filosofinya dengan menggunakan psikologi rakyat, mendapat respon yang baik dalam kalangan umat, terutama pada waktu Perang Dunia I. Namun, sesudah pimpinan pindah tangan kepada anaknya yaitu Tejabuwana makin hari makin mundur karena tidak sepandai ayahnya. Kartapradja (1990:132) menjelaskan ajaran agama Jawa Sunda sebagai berikut: 1. Syahadat Agama Jawa Sunda dengan bahasa Sunda yang artinya; tak ada Tuhan melainkan Allah dan Madrais adalah Rasulullah. Rasulullah menurut ajaran Madrais bukan berarti utusan Allah, tetapi Rasulullah artinya rasa
61
sejati. Madrais artinya bukan nama orang tetapi hakikat dari nama tersebut ialah cahaya sejati. 2. Kupasan dari kejadian manusia ialah berasal dari api, air, angin, dan bumi (tanah). Sumber dari segala kejadian menurut ajaran Madrais ialah api, oleh karena itu Madraisme memuliakan Api Sejati, yang tidak tampak dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba dengan indra yang mana pun, hanya dapat diraba dengan raba batin dan yakin. Di rumah Madrais selalu dinyalakan api unggun. 3. Wajib menyembah kepada guru, ratu (pemerintahan), dan kedua orang tua (ibu dan bapa). Memelihara tanah dengan bercocok tanam dan sebagainya. Mengenai penghidupan istilahnya menyembah tanah, ngiblat (mengkiblat) ke Ratu, artinya mentaati pemerintah. 4. Dilarang menentang adat desa, sedang agama Islam disebut agama yang baik buat orang Arab. 5. Perkawinan, kematian dan sebagainya mempunyai cara sendiri di luar cara yang biasa dilakukan oleh umat Islam. Informasi mengenai riwayat Madraisme atau sering disebut juga aliran kepercayaan agama Jawa Sunda dan sampai sekarang ini kepercayaan tersebut berubah menjadi Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa ini membantu penulis lebih memahami perkembangannya sebagai suatu aliran kepercayaan yang mempunyai pengaruh cukup luas di Jawa Barat.
62
Informasi lain yang dapat ditemukan oleh penulis dalam buku Kartapradja (1990:212-213) yaitu mengenai Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia. Mengacu pendapat dari Kartapradja tersebut, dikemukakan bahwa aliran kepercayaan itu dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, sebagai berikut: 1. Golongan kepercayaan yang animistis tradisional tidak terdapat filosofinya dan tidak ada mistiknya, misalnya: Kaharingan kepercayaan suku Dayak di Kalimantan, Pelbegu dan Perlamin kepercayaan rakyat di Tapanuli, kepercayaan-kepercayaan rakyat di Irian dan masih banyak lagi di beberapa pulau di Indonesia. 2. Golongan kepercayaan rakyat yang ada filosofinya disertai ajaran mistik yang memuat ajaran-ajaran bagaimana caranya agar manusia dapat bersatu dengan Tuhan
atau
sedikitnya
dapat
sedekat
mungkin.
Ajarannya
selalu
membicarakan yang ada sangkut pautnya dengan batin atau hal-hal yang gaib. Oleh karena itu, golongan kepercayaan ini disebut golongan kebatinan. Bahkan, pada beberapa Tahun yang lalu ada badan koordinasinya yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro, dengan nama BKKI (Badan Kongres Kebatinan Indonesia) dan sekarang badan tersebut berubah dengan nama Sekretariat dan Kepercayaan Indonesia. Dari Aliran Kepercayaan itu muncul berbagai konsepsi, menurut Kartapradja (1990:213), di antaranya adalah sebagai berikut:
63
1. Konsepsi Ketuhanan Aliran Kebatinan dan Kepercayaan itu pada bentuk dan lahirnya ada yang menyerupai salah satu dari agama rakyat seperti ajaran Ngelmu Sejati di Cirebon dan sebagainya. 2. Konsepsi Peribadatan Golongan Aliran Kebatinan dan Kepercayaan ini peribadatannya pada bentuk lahir ada yang dengan duduk saja, seperti semadi, ada yang dengan berbaring saja, ada juga yang dengan berbaring saja, ada juga yang dengan berdiri saja dan ada juga yang dengan berdiri lalu duduk kemudian sujud. 3. Konsepsi akhirat di dalam ajaran Aliran Kebatinan dan Kepercayaan tidak pernah dibicarakan seperti dalam agama Islam atau agama Kristen, dengan adanya sorga dan neraka. Pembicaraan mereka mengenai alam sesudah mati yaitu orang supaya kembali ke asal. Agama Islam meyakini bahwa ”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian kepada Kami-lah, kamu dikembalikan” (Q.S.Al-Ankabut:57). Menurut ajaran Islam apabila manusia mampu mencintai Tuhan dengan segenap jiwanya dan mengasihi seluruh ciptaan-Nya, beramal saleh, dan rajin beribadah, maka kelak ia memperoleh hidup yang kekal yaitu surga. Hal ini sejalan dengan Kitab Suci Alquran (Q.S. Ali-Imran : 131 dan 133) yang berbunyi: ” Dan peliharalah dirimu dari apai neraka, yang disediakan untuk orangorang yang kafir. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertaqwa”.
64
Buku yang ditulis oleh Kartaparadja ini telah membantu penulis untuk memahami Aliran kebatinan dan kepercayaan baik menurut golongannya maupun ajarannya. Hal ini dapat membantu penulis untuk mengkaji aliran kepercayaan Agama Jawa Sunda terutama di Cigugur Kuningan yang sekarang ini dikenal dengan nama Kepercayaan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di masa pemerintahan Orde Baru, para pemeluk agama ini mengalami kesulitan karena pemerintah hanya mengakui keberadaan lima agama, yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu dan Buddha. Pada akhir 1960-an, ketika pemerintah Orde Baru menolak mengakui keberadaan ajaran Madrais, banyak pengikutnya yang kemudian memilih untuk memeluk Islam atau Katolik. Kiai Madrais wafat pada tahun 1939, dan kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Tedjabuana, dan kemudian oleh cucunya, Pangeran Djatikusuma yang 11 Juli 1981 mendirikan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). Pangeran Djatikusumah telah mempersiapkan anak laki-laki satu-satunya, yaitu Gumirat Barna Alam, untuk meneruskan ajaran ini. Menurut ajaran Kiai Madrais, anak lelaki harus bersikap netral, dan dapat mengerti semua agama. Sementara anakanak Djatikusumah lainnya bebas memilih agama ataupun kepercayaan lain.
2.3.3
Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang Menurut Dagun dan Purwanto (2000) dalam buku Pemaparan Budaya
Spiritual Adat Karuhun Urang, dijelaskan bahwa Penghayatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan budaya spiritual yang berunsurkan tuntunan luhur untuk
65
berperilaku. Hukum ilmu suci dihayati dengan hati nurani dengan kesadaran dan keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Menghayati kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa berarti setiap warga harus yakin merasakan, memikirkan bahwa hidup dan kehidupan ini terwujud karena perpaduan serta yakin di antara ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebagai pernyataan keagungan-Nya. Kuasa dan Sabda-Nya telah terwujud dalam keagungan semesta, sedangkan pancaran yang Maha Asih terwujud dalam kemurahan-Nya, di mana segala cipta dan kehidupan telah Diatur-Nya sesuai dengan fungsinya masing-masing. Menurut ilmu kejawen (filsafat Sunda) lingkaran hidup tersimpul dalam “Sangkan Paraning Dumadi” yaitu suatu pandangan mengenai asal-usulnya hidup, perkembangan dan tujuan hidup yang ada pada umumnya diliputi oleh berbagai pertanyaan: “Siapakah aku?”, ”Dari manakah aku?”, “Untuk apa aku hidup?”, “Dan hendak
kemana
aku
menuju?”.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut
merupakan
penghayatan dalam pengakuan bahwa kita selaku manusia dan selaku anggota dari suatu bangsa. Adapun isi dari Sangkan Paraning Dumadi yaitu: a. Asaling Dumadi (asal mula wujud, sesuatu yang berwujud) b. Sangkaning Dumadi (dari mana datangnya hidup) c. Purwaning Dumadi (permulaan hidup} d. Tataraning Dumadi (derajat atau martabat wujud/manusia) e. Paraning Dumadi (bagaimana dan kemana wujud berkembang)
66
Dalam penganut kepercayaan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut Djatikusumah (2007:24) dikenal dengan adanya empat tuntunan-tuntunan sebagai berikut: 1) Tuntunan Tentang Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam tuntunan paguyuban Adat cara karuhun Urang, hakikat Tuhan ada di atas segala-galanya, Maha Tunggal. Tuhan adalah Esa tetapi Dzat-Nya ada di mana-mana, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Murah, Maha Bijaksana pencipta alam semesta beserta isinya, Ia material (langgeng, abadi), Tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan dengan ciptaannya, terutama manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Apalagi manusia memiliki rasa dan daya pikir yang melahirkan budi pekerti. Di mana dengan kehalusan budi pekerti itulah manusia memiliki nilai-nilai moral serta nilai-nilai religius. Sedangkan menurut ajaran Islam kepercayaan akan adanya Tuhan terkandung dalam Kitab Suci Alquran: a) (Q.S. Al Ikhlash : 1-4): yang berbunyi: ”Katakanlah, Dia-Lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan Yang bergantung Kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakan. Dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia”. b) A l-Baqarah ayat 186 Apabila hamba-hamba Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila orang meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. c) Al-Baqarah 115 Kepunyaan Allah timur dan barat, maka ke mana kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sesungguhnya Allah itu Yang Maha luas (meliputi) dan Maha mengetahui.
67
d) Al-Qaaf ayat 16 Kami (Allah) kepada manusia lebih dekat dari urat nadinya. Dalam menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa setiap warga harus yakin dalam merasakan bahwa hidup dan kehidupan ini terwujud perpaduan serta jalinan di antara segala ciptaan Yang Maha Esa sebagai pernyataan keagunganNya. Kuasa dan sabda-Nya telah terwujud dalam keagungan semesta, sedangkan pancaran kasih yang Mahaasih terwujud dalam kemurahan-Nya di mana segala cipta dan kehidupan telah diaturnya dengan masing-masing fungsinya itu. 2) Tuntunan Tentang Manusia Sebutan manusia dibedakan menjadi “jalma”dan “manusa” (dalam bahasa sunda) disebut jalma karena ngajalma (menjelma) atau mewujud makhluk yang disebut manusia dengan kodrat dan ciri yang harus melaksanakan cara hidup dan cara kemanusiaan melalui cinta kasih antara pria dan wanita yang ditunjang oleh Roh Hurip Tanah Perkumpulan. Dari roh hurip tanah pakumpulan tersebut jalma bisa hidup karena memperoleh hurip. Manusia harus menyadari kemanusiannya di samping hidup sesuai dengan nalurinya, juga memiliki akal dan budi sehingga manusia tidak saja merasa hidup, melainkan juga dapat merasakan sedalam-dalamnya arti hidup dalam kehidupan, merasa bahwa wujud keagungan alam semesta berasal dari cipta dan karsa Tuhan Yang Maha Esa. Perilaku yang dituntut selalu memakai cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Cara-ciri manusia meliputi welas asih, tata karma, undak usuk, budi daya, budi basa,
68
dan wimaha yuda negara. Cara-ciri manusia adalah sifat umum (universal) yang ada pada setiap manusia yang sadar akan kemanusiannya. Adapun cara-ciri bangsa adalah penggambaran dari keesaan Tuhan, bahwa kemahaagungan, kemahabesaran dalam cipta karsanya dan keanekaragamannya masing-masing menjaga dan melestarikan hukum
adikodrati
dalam
nilai-nilai
karakteristik
bangsa
dan
nilai-nilai
kemanusiaannya. 3) Tuntunan Tentang Alam Semesta Penciptaan alam semesta dimulai dari cahaya. Cahaya dibagi menjadi empat yaitu: cahaya putih, kuning, merah, dan hitam. Cahaya putih melambangkan air, cahaya kuning melambangkan angin, cahaya merah melambangkan api, dan cahaya hitam melambangkan tanah. Dalam keadaan demikian, maka alam itu terbentuk dalam unsur air, angin, api, dan tanah. 4) Tuntunan Tentang Kesempurnaan Hidup Manusia adalah makhluk religius, makhluk sosial, dan budaya. Makhluk religius artinya bahwa manusia sadar dan yakin akan Sang Pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kita ada karena cipta karsa-Nya. Sebagai makhluk sosial bahwa kita ini tidak hidup seorang diri, kita hidup bersama orang lain dan harus menjalin hubungan antar sesama, antar bangsa, saling mengasihi, serta saling menghargai untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Sebagai makhluk budaya, bahwa kita dalam hidup bermasyarakat dalam pergaulan hidup sehari-hari harus menjunjung tinggi norma-norma etika. Hal ini selaras dengan sifat manusia sebagai makhluk yang
69
paling mulia, makhluk yang memiliki derajat dan martabat yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk ciptaan Tuhan. Jalan untuk mencapai hal tersebut dituangkan dalam tuntunan yang disebut dengan “Pikukuh Tilu” yaitu tiga hal yang harus dipegang teguh. Isi Pikukuh Tilu tersebut di antaranya adalah sebagai berikut: a. Ngaji badan Ngaji badan memiliki pengertian kita harus memahami dan menyadari adanya sifat-sifat lain yang ada di sekeliling kita dan mempunyai cara-cara serta karakteristik masing-masing. b. Tuhu/mikukuh kana tanah Tanah diasumsikan sebagai Tanah Adegan dan Tanah Amparan. Tanah adegan ialah raga, jasmani atau salira, di tanah adegan itulah menjelma jirim, jisim dan aku. Jirim yaitu wujud yang memiliki bentuk dan dapat dlihat serta diraba (raga/jasmani). Jirim adalah tempat pangancikan (tempat tinggal) jisim yang memiliki Ules Watek (karakteristik), sedangkan jisim merupakan pangancikan hurip. Perpaduan antara jirim dan jisim akan mewujudkan adanya kuring (aku). Tanah amparan ialah tanah yang kita pijak, yang dimaksud tuhu kana tanah bukan berarti tanah yang berwujud bumi, melainkan tuhu atau mikukuh kepada kebangsaan. Jadi, yang dimaksud dengan tanah amparan adalah sifat pribadi bangsa. Maksudnya, agar kita selaku manusia yang telah diciptakan menjadi anggota suatu bangsa harus dapat menghargai dan mencintai bangsanya. Arti kata menghargai adalah
70
bahwa kita harus memelihara, memakai serta melestarikan cara-ciri bangsa sendiri. Untuk membangun jalan dalam mencapai tatanan sosial yang lebih baik, agama Buhun/adat karuhun berpijak pada tiga elemen utama. Spiritualitas individu berdasar ketuhanan, kemanusiaan berdasar persamaan, kebangsaan berdasar karakter dan nation building.
2.3.4
Unsur Kharismatis dalam Kepemimpinan Aliran Kepercayaan Soekanto (2004:288) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Suatu
Pengantar menjelaskan bahwa kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kepemimpinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) kepemimpinan yang bersifat resmi (formal leadership) yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan, 2) kepemimpinan tidak resmi (informal leadership), yaitu kepemimpinan karena adanya pengakuan masyarakat akan kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Perbedaan yang mencolok antara kepemimpinan yang resmi dengan yang tidak resmi yaitu kepemimpinan yang resmi di dalam pelaksanaannya selalu harus berada di atas landasan-landasan atau peraturan-peraturan resmi, sehingga demikian daya cakupannya agak terbatas. Kepemimpinan tidak resmi mempunyai ruang lingkup tanpa batas-batas resmi, karena kepemimpinan demikian didasarkan atas
71
pengakuan dan kepercayan masyarakat. Ukuran benar tidaknya kepemimpinan tidak resmi terletak pada tujuan dan hasil pelaksanaan kepemimpinan tersebut, menguntungkan atau merugikan masyarakat (Soekanto, 2004:288). Menurut Soekanto (292) watak dan kecakapannya, seorang pemimpin tradisional dapat dikatakan sebagai pemimpin di muka, dan di belakang (front leader, social leader, dan rear leadaer) sebagai berikut: 1. Seorang pemimpin di muka, harus memiliki idealisme kuat, serta dia harus menjelaskan cita-citanya kepada masyarakat dengan cara-cara sejelas mungkin. Hal ini disebabkan, seorang pemimpin harus mampu menentukan suatu tujuan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Bahayanya bagi pemimpin di muka adalah kemungkinan berjalannya terlalu cepat, sehingga masyarakat yang dipimpinnya tertinggal jauh. 2. Seorang pemimpin di tengah-tengah diharapkan dapat mengikuti kehendak yang dibentuk masyarakat. Ia selalu dapat mengamati jalannya masyarakat, serta dapat merasakan suka dukanya. Pemimpin di tengah-tengah diharapkan dapat merumuskan perasaan-perasaan serta keinginan-keinginan masyarakat untuk memperbaiki keadaan yang kurang menguntungkan. 3. Pemimpin di belakang diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perkembangan
masyarakat.
Dia
berkewajiban
untuk
menjaga
agar
perkembangan masyarakat tidak menyimpang dari norma dan nila-nilai yang pada suatu masa dihargai oleh masyarakat. Sendi-sendi kepemimpinannya adalah keutuhan dan harmoni. Pemimpin yang demikian berkecenderungan
72
untuk menjadi formalistis, bahkan tradisionalistis. Kepemimpinan tradisional di Indonesia pada umumnya bersifat sebagai kepemimpinan di belakang, yang hingga dewasa ini masih tetap dipertahankan terutama pada masyarakat tradisional yaitu masyarakat-masyarakat hukum adat.
Kepemimpinan
seseorang
harus
mempunyai
sandaran-sandaran
kemasyarakatan atau social basis. Pertama-tama kepemimpinan erat hubungannya dengan susunan masyarakat. Masyarakat-masyarakat yang agraris di mana belum ada spesialisasi, biasanya kepemimpinan meliputi seluruh bidang kehidupan masyarakat. Setiap kepemimpinan yang efektif harus memperhitungkan social basis apabila tidak dikehendaki timbulnya ketegangan-keteganagan atau setidak-tidaknya terhindar dari pemerintahan boneka belaka. Kepemimpinan di dalam masyarakat-masyarakat hukum adat yang tradisional dan homogen, perlu disesuaikan dengan susunan masyarakat tersebut yang masih tegas-tegas memperlihatkan ciri-ciri paguyuban. Hubungan pribadi antara para pemimpin dengan yang dipimpin sangat dihargai. Hal ini disebabkan, pemimpinpemimpin pada masyarakat tersebut adalah pemimpin-pemimpin tidak resmi (informal leader) yang mendapat dukungan tradisi atau karena sifat-sifat pribadi yang menonjol. Dengan sendirinya, masyarakat lebih menaruh kepercayaan terhadap pemimpin-pemimpin tersebut, serta peraturan-peraturan yang dikeluarkannya (Soekanto, 2004:294) .
73
Informasi lain yang penulis dapatkan dari buku Soekanto (2004:281) tersebut, yaitu mengenai konsep wewenang kharismatik. Wewenang kharismatis merupakan wewenang yang didasarkan pada kharisma, yaitu kemampuan khusus (wahyu, pulung) yang ada pada diri seseorang. Contohnya yang ada pada diri nabi, para rosul, penguasa-penguasa
terkemuka
dalam
sejarah,
dan
sebagainya.
Wewenang
kharismatis tidak diatur oleh kaidah-kaidah, baik yang tradisional maupun rasional. Sifatnya adalah cenderung irasional. Sejalan dengan hal ini menurut Max Weber (Soekanto, 2004:284) adakalanya kharisma dapat hilang karena masyarakat sendiri yang berubah dan mempunyai paham yang berbeda. Soekanto (2004:282) menjelaskan ciri-ciri wewenang tradisional antara lain sebagai berikut: 1. Adanya ketentuan-ketentuan tradisional yang mengikat penguasa yang mempunyai wewenang, serta orang-orang lainnya dalam masyarakat. 2. Adanya wewenang yang lebih tinggi ketimbang kedudukan seseorang yang hadir secara pribadi. 3. Selama tak ada pertentangan dengan ketentuan-ketentuan tradisional, orangorang dapat bertindak secara bebas. Konsep kepemimpinan dan wewenang tradisional yang dikemukakan oleh Soekanto ini membantu membentuk kerangka berpikir penulis dalam memahami tentang kepemimpinan dan wewenang yang dimiliki oleh Kiai Madrais sebagai pendiri Kepercayaan Penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai penerus Pangeran Djatikusumah.
74
2.3.5
Konsep Tuhan Yang Maha Esa menurut Penganut Kepercayaan dan Penghayatan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Menurut Dagun dan Purwanto (2000) dalam buku Pemaparan Budaya
Spiritual Adat Karuhun Urang, Dalam tuntunan paguyuban Adat cara Karuhun Urang, hakikat Tuhan ada di atas segala-galanya, Maha Tunggal. Tuhan adalah Esa tetapi Dzat-Nya ada di mana-mana, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Murah, Maha Bijaksana pencipta alam semesta beserta isinya, Ia material (langgeng, abadi), Tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan dengan ciptaanNya, terutama manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Apalagi manusia memiliki rasa dan daya pikir yang melahirkan budi pekerti. Dimana dengan kehalusan budi pekerti itulah manusia memiliki nilai-nilai moral serta nilai-nilai religius. Di kalangan penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan disebut Gusti Sikang Sawiji-wiji. Wiji artinya inti, inti kelangsungan hidup serta kehidupan di dunia ini. Sebagai inti dari segala kehidupan dapat di transformasikan menjadi daya atau energi yang sifatnya konkrit. Tuhan itu ada dalam setiap yang ada, ke Esaan Tuhan ada di setiap ciptaanNya. Dalam menghayati kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa setiap warga harus yakin dalam merasakan bahwa hidup dan kehidupan ini terwujud perpaduan serta jalinan di antara segala ciptaan Yang Maha Esa sebagai pernyataan keagunganNya. Kuasa dan sabda-Nya telah terwujud dalam keagungan semesta, sedangkan pancaran kasih yang Maha Asih terwujud dalam kemurahan-Nya di mana segala cipta dan kehidupan telah diaturnya dengan masing-masing fungsinya itu.
75
Menurut Dagun dan Purwanto (2000:24) dalam buku Pemaparan Budaya Spiritual Adat Karuhun Urang. Adapun kewajiaban yang harus dilaksanakan dan di perhatikan dalam penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, diantarnya sebagai berikut: 1). Pola Dasar Penghayatan a. Pedoman Penghayatan Dalam menghayati keagungan Maha Pencipta, penganut aliran kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa menyadari serta memiliki kewajiban menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Ketuhanan Yang Maha Esa. Tuhan adalah asal dari segala asal, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Pemurah. Tuhan tidak jauh dan tidak dapat dipisahkan dengan ciptaanNya. Setiap makhluk hidup diberi daya hidup, terutama manusia yang memiliki naluri, rasa, merasa, dan merasakan, memiliki pikir, berpikir dan memikirkan, sebagai ekspresi perwujudannya yang disebut olah rasa. Olah rasa atau semedi adalah suatu upaya kesadaran diri dalam penghayatan untuk mencapai kesadaran Ilahi, menyadari kemahaesaan Tuhan. Dalam mengolah rasa, disamping mengatur napas dan merasakannya disertai pula melihat wajah sendiri dalam penglihatan rasa sambil mengucapkan dalam hati, sebagai berikut: “Pun sapun ka sang rumuhun, Gusti nu murbeng jagat, nu kagungan marga dumadi jisim, nu nyangking pasti papasten, nunebarkeun binih hurip binih pati, Maha Agung, Maha Murah, Maha Asih, Maha Kawasa, Maha Uninga tur Maha Adil, abdi nampi cipta karsa Gusti, teu aya daya pangawasa iwal ti pangersa Gusti, mugi abdi dikersakeun dina midamel, Salir puri samudaya
76
Gusti, nu diolah karsa Gusti, nu ngolah pangersa Gusti, Abdi nampi kana kaagungan sareng kajembaran Gusti, mugi abdi pinareng rahayu, rahayu sagung dumadi”. Dengan demikian, dalam berolah rasa atau semedi selain mengucapkan dalam hati seperti yang dimaksud di atas juga harus dapat merasakan adanya kenyataan dan kemurahan Tuhan dan merasakan jalannya napas. Dengan keagungan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa semua makhluknya diberi napas baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan bersama-sama menghirup udara yang sama untuk bernapas sehingga terwujudlah kehidupan. Maka dapat dimengerti apabila penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan yang Maha Esa menjunjung tinggi olah rasa atau semedi dan anugerah terbesar yaitu dapat bernapas. b. Perilaku Penghayatan Perilaku penghayatan terbagi dalam beberapa aspek: a) Aspek Teologis
: - ngaji badan - Tuhu kana tanah - Madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6.
b) Aspek Sosial
: - Tolong menolong - Gotong royong - Berbudi luhur yang diwujudkan dalam tekad, ucap, dan limpah.
c) Aspek Kultural
: - Membina, mengembangkan serta melestarikan alam, dan budaya sesuai dengan cara ciri manusia dan cara ciri bangsa.
77
c. Kelengkapan penghayatan Dalam memantapkan tuntutan Pikukuh Tilu penganut kepercayaan dan pengahayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dianjurkan melakukan olah rasa sehari dua kali yatu sebelum dan bangun tidur. Adapun ketentuannya sebagai berikut: a) Olah rasa dilakukan dalam pikiran yang bersih, itikad yang baik dan kuat. Sikap duduk untuk pria bersila dan utuk wanita bersimpuh. Posisi badan tegak lurus, rileks, tidak kaku, dan bersandar. Kedua tangan diletakan di pangkuan di bawah pusar, kedua ibu jari saling menyentuh dengan posisi tangan kanan di atas tangan kiri. Mata boleh dipejamkan atau dibuka sedikit seraya memandang ujung hidung. Lidah meneyentuh langit-langit, mulut dan bibir terkatup rapat. Untuk menjaga kenyamanan badan harus bersih, pakaian sedikit longgar, tempat bersih, pakaian sedikit longgar, tempat bersih, tenang, dan sejuk. b) Apabila dirasakan banyak pikiran atau tidak tenang, bisa dilakukan dengan latihan pernapasan. Kemudian kita berusaha memasuki suasana hening sambil merasakan daya kemurahan Tuhan, dilanjutkan monolog batin esuai kalimat olah rasa sambil tetap mengatur pernapasan. c) Selama berlangsungnya olah rasa suasana harus benar-benar hening. d. Pola dasar pengamalan Budi luhur Sebagai pedoman tuntunan budi luhur adalah cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa. Cara adalah ketentuan prilaku hidup, sedangkan ciri adalah perwujudan sifat. Faktor dasar sebagai pembentukan dasar manusia, dibentuk pada saat sebelum lahir.
78
Disadari bahwa harapan dan dorongan agar bisa membentuk watak dasar yang baik, maka calon ibu maupun calon bapak masing-masing berupaya meneliti laku dalam perilaku sesuai dengan cara-ciri manusia seutuhnya (mendidik anak sebelum lahir). Untuk memenuhi hal itu, dalam kehidupan harus menghindari sifat-sifat yang tidak baik antara lain yang dikenal dengan sebutan ”Malima” yaitu maling (mencuri), madon (main perempuan), maen (berjudi), mateni (membunuh), dan mitnah (memfitnah). Dalam rangka menanamkan budi luhur kepada para penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Diadakan berbagai peringatan dan pertemuan-pertemuan, antara lain: a. Tanggal 1 Sura, merupakan tahun baru bagi orang Jawa dan orang Sunda yang sekaligus hari raya bagi penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Saresehan yang secara rutin diadakan seminggu sekali. Dalam peringatan dan sarasehan tersebut di atas dilaksanakan penanaman budi luhur kepada setiap penganutnya, baik pemaparan yang dilakukan oleh pini sepuh atau yang dituakan. Dengan demikian ajaran kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini mempunyai suatu ajaran dan pemikiran tersendiri. Dimana Kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa berusaha mencari titik temu dari ajaran agama yang ada, hal itu terlihat dengan istilah-istilah yang dipakai oleh penganut kepercayaan dan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Esa baik itu dari ajaran Hindu, Kristen Katholik, dari ajaran Islam, dan istilah Sunda.
79