BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini dikemukakan kajian pustaka tentang Isi dan Modus Pendidikan Kewarganegaraan Antar Cluster Sekolah Menengah Atas Negeri di Kota Bandung. Kajian pustaka ini merupakan bekal bagi penulis untuk memperkuat wawasan, pemahaman, dan mempertajam analisis terhadap masalah yang diteliti, sehingga dapat diperoleh makna alamiah dari setiap data yang diperoleh di lapangan.
A. Kajian tantang Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Civic education atau lebih dikenal di Indonesia dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) diartikan oleh Cogan (Winataputra, 2001:132) sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya. Berdasarkan pengertian diatas, dapat terlihat bahwa sasaran dalam pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan dalam suatu negara adalah warga negara muda, atau anak muda. Dimana “anak adalah warga negara hipotetik,
22
23
yakni warga negara yang “belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warga negara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya” (Budimansyah, 2007:11). Sedangkan Pendidikan Kewargamegaraan menurut NCSS dalam Numan Somantri (2001:284) adalah : Citizenship education is a process compresing all the positive influences which are intended to shape a citizen’s view this role in society. It comes partly from formal schooling, partly from parental influence and partly from learning outside the classroom and the home. Through Citizenship Education, our youth are helped to gain an understanding of our national ideals, the common good, and the process of self government. Dari defenisi tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa cakupan Pendidikan Kewarganegaraan lebih luas, karena bahannya selain mancakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar diluar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional /tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelsaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara. Selain itu, David Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4) dalam kajian internasionalnya yang dilakukan bersama School Curriculum and Assessment Authority (SCAA) melalui “National Foundation for Educationnal Research in England and Wales (NFER)”, mendefinisikan secara operasional istilah “citizenship education” sebagai berikut: Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilties as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process.
24
Maksud dari pernyataan di atas bahwa “citizenship or civics education” atau “Pendidikan kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut” (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4). Dari kutipan diatas, dapat diketahui bahwa dalam studi tersebut, “citizenship education” atau pendidikan kewarganegaraan “dilihat sebagai suatu domain pendidikan yang bersifat multi dimensional dan tersebar secara programatik
dalam
keseluruhan
tatanan
kurikulum”
(Winataputra
dan
Budimansyah, 2007:4). Karena PKn bersifat multi dimensional, maka bahan kajian PKn itu meliputi seluruh aspek kehidupan warga negara di segala bidang. Dimana aspek kehidupan warga negara tersebut diadaptasi ke dalam suatu tatanan kurikulum yang terprogram secara teratur dengan harapan dapat memberikan alternatif solusi bagi permasalahan yang dialami oleh warga Negara. Sementara itu, Margaret S. Branson (1999:4) berpendapat bahwa “civic education dalam demokrasi adalah pendidikan – untuk mengembangkan dan memperkuat – dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government)”. Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa “warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri; mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain” (Branson,1999:4).
25
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menurut PUSKUR (2007) merupakan: mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan Kosasih Djahiri dalam Arnie Fajar (2003:670) mendefinisikan PKn sebagai berikut: PPKn sebagai bagian Pendidikan Ilmu Kewarganegaraan atau PKn dimanapun dan kapanpun sama/mirip ialah program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak didik menjadi warganegara yang baik, iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar dan mampu membina serta melaksanakan hak-hak kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat azas/ketentuan (rule of law), demokratis dan partisifatif aktif-kreatif-positif dalam kebhinekaan kehidupan masyarakat-bangsa-negara madani (Civil society) yang menjungjung tinggi hak azasi manusia serta kehidupan yang terbuka mendunia (global) dan modern tanpa melupakan jati diri masyarakat, bangsa dan negaranya. Dari
defenisi
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
Pendidikan
Kewarganegaraan sebagai pendidikan Ilmu Kewarganegaran merupakan suatu bentuk pendidikan untuk membina warganegara agar menjadi baik, iman dan takwa kepada Tuhan, memiliki nasionalisme yang kuat/mantap, sehingga dapat menjadi modal yang kuat dalam membangun bangsa, selain itu dengan adanya Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan anak didik sadar dan mampu membina serta melaksanakan hak-hak kewajiban dirinya sebagai individu, warga masyarakat dan bangsa negaranya dengan tetap menjunjung tinggi jadi diri masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.
26
Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri,2001:159): Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmuilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. Lebih lanjut Numan Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa pengertian dari Pendidikan Kewarganegaraan adalah : PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Dari kutipan diatas, dinyatakan bahwa dengan adanya Pendidikan Kewarganegaraan dapat menjadi sebuah usahan untuk membekalil peserta didik untuk membentuk warga Negara yang dapat diandalkan baik oleh masyrakatnya, bangsa dan Negara. Beberapa
unsur
yang
terkait
dengan
pengembangan
Pendidikan
Kewarganegaraan (Somantri, 2001:158), antara lain: a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu. b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional. c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan. d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa. f. Kegiatan dasar manusia. g. Pengertian pendidikan IPS
27
Beberapa unsur diatas merupakan unsur-unsur yang akan mempengaruhi pengembangan pendidikan Kewarganegaraan. Dimana perkembangannya selain dipengaruhi oleh disiplin ilmu, juga dipengaruhi oleh kegiatan dasar manusia, disiplin ilmu social, disiplin ilmu penididkan yang pada akhirnya akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS. 2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tercantum mengenai fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sebagai berikut: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut senada dengan apa yang menjadi tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), yaitu sebagai berikut: 1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan. 2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama bangsa-bangsa lainnya. 4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara lansung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dari dua kutipan diatas, dapat diketahui bahwa sebenarnya Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat mendukung
28
pada tercapainya tujuan pendidikan nasional, dimana dalam tujuan PKn yang dikemukakan oleh BSNP tersebut, peserta didik diharapkan memiliki kemampuan berfikir kritis, rasional, dan kreatif. Sehingga diharapkan akan terbentuk peserta didik yang memiliki tiga kemampuan kewarganegaraan, yaitu civics knowledge, civics skills, dan civics disposition. Namun, Secara umum menurut Maftuh dan Sapriya (2005:320), menyatakan bahwa tujuan negara mengembangkan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah: ... agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air Selain itu, Numan Somantri
(2001:279) juga mengungkapkan bahwa
tujuan umum pelajaran PKn ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis..., Pancasila sejati”. Sehubungan dengan pernyataan di atas, ada beberapa kriteria tentang warga negara yang baik sebagaimana yang dinyatakan oleh Stanley E. Dimond dan Pflieger (Suriakusumah dkk, 1999:3.13), yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
The good citizen is loyal The good citizen practices democratic human relationship The good citizen tries to be an well adjusted person The good citizen is learner The good citizen is a thinker The good citizen citizen is doer
29
Sedangkan menurut Branson (1999:7) bahwa tujuan dari civic education atau Pendidikan Kewarganegaraan adalah : Tujuan civics education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggungjawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik ditingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Partisipasi semacam itu memerlukan (1) Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu, (2) Pengembangan kemampuan intelektual dan partisipatoris, (3) Pengembangan karakter atau sikap mental tertentu, dan (4) Komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi konstitusional Amerika Branson
mengemukakan
bahwa
tujuan
dari
adanya
Pendidikan
Kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan sikap partisipasi warganegara dalam kehidupan demokrasi. Sehingga warga Negara memiliki kemampuan untuk menjadi pemain atau actor baik dalam tataran local maupun nasional. Menurut panduan pengajaran PKn dalam Fauzi (2003:26) disebutkan bahwa tujuan PKn adalah: 1) Melestarikan dan mengembangkan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka, yaitu bahwa nilai moral Pancasila yang dikembangkan itu mampu menjawab tantangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat. 2) Mengembangkan dan membina siswa menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 3) Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antar sesama warganegara, antar warganegara dan negara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui dan mempu melaksanakan dengan baik hak dan kewajibanya sebagai warganegara. 4) Membekali siswa dengan sikap dan prilaku yang berdasarkan nilai-nilai moral Pancasila dan UUD 1945 dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Kosasih Djahiri (1995:120) tujuan PKn adalah sebagai berikut : Meningkatkan pengetahuan dan pengembangan kemampuan memahami, menghayati, dan meyakini nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman berprilaku
30
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sehingga menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan serta member bekal kemampuan untuk belajar lebih lanjut. Dari kutiapan diatas, menjadi inti dari tujuan PKn adalah memberi bekal kepada warganegara agar menjadi warganegara yang bertanggungjawab, menuju manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik, hukum dan konstitusi negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dengan landasan nilainilai Pancasila baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975:30), yang meliputi: a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, concept dan generalisasi teori. b. Keterampilan intelektual: 1) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai; 2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahuii masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan meruumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan. c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan. d. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Somantri, 1975:30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) concept dasar, generalisasi, concept atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.
31
3. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan yang termuat dalam proyek PKn & BP Depdiknas (2000:21) adalah sebagai berikut : a. Mengembangkan dan melestarikan nilai dan moral Pancasila secara dinamis dan terbuka. Dinamis dan terbuka dalam arti bahwa nilai dan moral yang dikembangkan mampu menjawab tatangan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, tanpa kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat. b. Mengembangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya yang sadar politik dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia dilandaskan Pancasila dan UUD 1945. c. Membina pemahaman dan kesadaran terhadap hubungan antar warganegara dan negara, antar warganegara dengan sesama warganegara, dan pendidikan pendahuluan bela negara agar mengetahui serta mampu melaksanakan dengan baik hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dari fungsi PKn tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa PKn merupakan salah satu alat untuk membentuk kemampuan, sikap, dan karakter warganegara yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dimana warganegara diarahkan agar mampu menjawab perubahan dan tantangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dunia, tanpa kehilangan jati diri bangsa Indonesia. selain itu diharapkan terciptanya warga Negara yang memiliki kemampuan untuk berpolitik, sadar akan konstitusi Negara Indonesia, serta memiliki kemampuan untuk membina hubungan baik antar sesama, sehingga akan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warganegara yang baik. Sekjen Center for Indonesian Civic Education (CICED) Udin S Winataputra (2007: tanpa halaman ), mengemukakan bahwa: Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan “salah satu wahana yang dapat dipergunakan untuk belajar hidup bersama dalam perbedaan. Fungsi dari mata pelajaran PKn adalah sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada
32
bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian, menunjukan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan selain berfungsi sebagai wahana pembentuk warga Negara yang cerdas, terampil dan berkarakter, juga berfungsi sebagai salah satu wahana pemersatu dalam keragaman baik budaya, bahasa, agama, ras dan golongan. Kosasih Djahiri (2007:18) mengemukakan bahwa PKn berfungsi sebagai Pendidikan Nilai-Moral Pancasila dan UUD 1945 NKRI yang memiliki target hasil belajar harapan sebagai berikut: a. Klarifikasi nilai-moral (isi pesan) dan norma Pancasila serta konstitusi NKRI (tersurat dan tersirat). b. Klarifikasi peringkat keberadaan sub.1. dalam diri dan astagatra kehidupan masyarakat dan bangsa-negara kita. c. Internalisasai dan personalisasi Concept, Nilai, moral dan norma Pancasila secara nalar dan penuh keyakinan. d. Pelatihan pelakonan pengalaman hal-hal di atas di sekolah, rumah, dan lingkungan sekitar serta kehidupan umum. Dari kutipan diatas, dinyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi sebagai pendidikan nilai-nilai moral, dimana siswa diupayakan agar mampu menginternalisasi dimulai dari concept, nilai, moral dan norma yang terdapat
dalam
Pancasila
dengan
penuh
keyakinan
serta
mampu
mengaplikasikannya baik dilingkungan sekoalah, rumah, dan dalam masyarakat. Sebagai
Pendidikan
Politik,
Suriakusumah
dkk,
(1999:10.28)
mengungkapkan bahwa: PKn merupakan program pengajaran yang membina peserta didik menjadi warga negara Indonesia yang melek politik (political literacy), melek hukum dan konstitusi, melek dan peduli akan pembangunan, melek dan peduli akan masalah yang sedang dan akan dihadapi dirinya dan bangsa
33
negaranya. Dalam fungsi perannya sebagai pendidikan politik, materi PKn ditopang oleh disiplin ilmu sosial seperti ilmu antara lain politik, hukum, sosiologi, psikologi sosial, dan ekonomi. Dengan demikian, melalui PKn warga negara diharapkan mampu melek politik, mampu menanggapi isu-isu yang berkaitan dengan politik dengan cerdas, selain itu, diharapkan pula memiliki kemampuan untuk sadar serta mengetahui akan hukum, dan konstitusi. Melalui PKn juga, diharapkan warga negara mampu memposisikan dirinya sebagai warga negara yang berpartisipasi aktif dalam bidang politik, hukum, dan dimensi kehidupan lainnya. 4. Ruang lingkup Pendidikan Kewarganegaraan Tiga komponen penting dalam Pendidikan Kewarganegaraan menurut Margaret
S.
Branson
(1999:8),
yaitu
“Civic
Knowledge
(pengetahuan
kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Dispositions (watak-watak kewarganegaraan)”. Komponen pertama, Civic Knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau concept politik, hukum dan moral. Dengan
demikian,
mata
pelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, identitas nasional, pemerintahan
34
berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat. Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui. Ketiga, Civic Disposition (Watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Depdiknas, 2006:49) : a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan Jaminan keadilan b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturanperaturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan
35
c.
d.
e.
f.
g.
h.
bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, Penghormatan dan perlindungan HAM Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesiadi era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi. Lebih lanjut Murray Print (1999:12) mengungkapkan mengenai prinsip
utama yang harus dimiliki dalam Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut: The principal features of this ‘new’ civic education (Print,1996), sometimes called civics and citizenship education (CEG,1994) when related to a particular country, include: • • • • • • • • • •
Rights and responsibilities of citizens; Government and institutions; History and constitution; National identity; Legal system and rule of law; Human, political, economic and social rights; Democratic principles and processes; Active citizen participation in civic issues; International perspectives; and Values of democratic citizenship.
36
B. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan 1. Hakikat Pembelajaran Pembelajaran menurut pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 yaitu ” Proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.” Dalam hal ini, dinyatakah bahwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran adalah siswa (peserta didik), guru (peserta didik), sumber belajar, dan lingkungan belajar. Memperkuat pernyataan diatas, Kosasih Djahiri (2007:1) mengemukakan bahwa, “pembelajaran secara prosedural, dilihat dari komponen/instrumental inputs adalah proses interaksi/interradiasi antara kegiatan belajar siswa (KBS) dengan kegiatan mengajar guru (KMG) serta dengan lingkungan belajarnya (learning environments).” Dari pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa yang menjadi pusat perhatian pembelajaran tidak hanya menitikberatkan pada siswa, akan tetapi siswa, guru, dan lingkungan belajar (learning environments) harus menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran. Sehingga akan terbentuk suatu interaksi yang komunikatif antara guru dan siswa. Interaksi yang dimaksud di dalam suatu pembelajaran adalah “interaksi edukatif”. Interaksi edukatif menurut Surakhmad (1980:7) adalah “interaksi yang berlangsung dalam ikatan tujuan pendidikan”. Sebagai pembanding, pendapat Udin S. Winataputra (1997:14) yang mengemukakan bahwa, “Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari komponen atau unsur: tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa dan guru.” Dari pengertian tersebut kita dapat mengetahui bahwa
37
terdapat enam unsur penting dalam pembelajaran, yaitu: tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan guru. “Semua unsur atau komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi; dan semuanya berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan” (Winataputra, 1997:16). Hal ini, senada dengan apa yang diutarakan oleh, Hamalik (2001:57) yang memberikan arti Pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran”. Dari kutipan tersebut, menyatakan bahwa yang mempengaruhi pembelajaran tidak hanya unsur manusiawi (siswa dan guru), akan tetapi hal-hal lain yang berada disekitar pun akan mempengaruhi (material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur). Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik, maka pembelajaran yang dilaksanakan haruslah merupakan pembelajaran yang bermutu dan ideal. Charles B. Myers (Kosasih Djahiri, 2007: 23-24) berpendapat bahwa: Proses pembelajaran yang ideal adalah proses KBS yang active – powerful (aktif dan berkekuatan) - demokratis dan humanistik serta menyenangkan. Aktif dan powerful karena bahan ajar, kegiatan, media dan sumber mampu mengundang, melibatkan dan memberdayakan (empowering) seluruh potensi diri dan lingkungan belajarnya serta mampu membina siswa menjadi independent and self-regulated learners. 2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Kerr (1999:16) dijelaskan bahwa di negara-negara Asia Tenggara “citizenship education” lebih mencerminkan kategori “Minimal” sebagai education About citizenship, sementara itu di negaranegara Eropa tengah, selatan, dan timur serta Australia dinilai berada ditengah
38
kontinum sebagai education Through citizenship, sedangkan negara-negara di Eropa Utara, Amerika Serikat dan Selandia Baru dinilai lebih mendekati titik “Maksimal” sebagai education For citizenship. Indonesia sebagai salah satu bagian dari Negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, termasuk dalam Negara yang berada pada kontium minimum. Hal ini, diperkuat dengan apa yang diungkapkan oleh Winataputra dan Budimansyah (2007:118) yaitu: Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruiksional (Instructional effect) yang terbatas pada penguasaaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kkognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effect) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhaitan sebagaimana mestinya.
Hasil di atas diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Udin S. Winataputra sebagaimana yang dikutip oleh Sapriya (2001:58) yang menunjukkan bahwa
adanya
kelemahan-kelemahan
yang
mendasar
pada
Pendidikan
Kewarganegaraan, salah satunya adalah keterisolasian proses pembelajaran dari konteks keilmuan dan lingkungan sosial budaya. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu academic endeavor (CICED:1999) atau sebagai bidang kajian dan pengembangan pendidikan disiplin ilmu seyogyanya memusatkan perhatian pada kajian ilmiah tentang civic virtue dan civic culture atau keberadaban dan budaya kewarganegaraan dalam konteks pengembangan civic intelligence dan civic participation (Quigley:1991, Cogan:1999).
39
Kondisi seperti ini, dipengaruhi oleh beberapa hal, tidak hanya kemampuan mengajar yang dimiliki oleh guru, akan tetapi dipengaruhi pula oleh rezim yang sedang memegang tampu kekuasaan di Negara kita, hal ini seperti apa yang dikatakan oleh Djahiri CICED (1999: 56) Pola prosedurnya pun, benar-benar terkontrol terkendali menjurus pada proses “penjinakan“ (domesticating) potensi dan kehidupan siswa/ masyarakat, jadi bukan kearah memberi kemudahan, kelancaran, berhasilan (facilitating) proses internalisasi, personalisasi substansi serta pembinaan dan pengembangan potensi diri atau kemampuan belajar (conditioning learning skills). Oleh karena itu diperlukan suatu bentuk strategi pembelajaran yang baru, dimana pola atau strategi pembelajarannya bukan hanya belajar tentang hal ikhwal materi Pendidikan Kewarganegaraan, melainkan juga belajar ber-PKn atau praktek, dilatih uji coba dan mahir serta mampu membakukan diri. Fungsi guru tidak lagi sebagai orang inti di kelas, akan tetapi fungsi guru lebih diarahkan sebagai fasilitator, seperti apa yang disampaikan oleh Djahiri (2002: 93), yaitu: Guru hendaknya berperan sebagai fasilitator yang membelajarakan siswa melalui bahan ajar, sumber, media, dan lingkungan ajar bahkan melalui kegiatan evaluasinya. Proses ini akan berjalan mulus, mantap, mausiawi dan meggairahkan apabila semua komponen pengajaran (buku, bahan ajar, media, sumber dan polea evaluasi)a serta suasana belajar sesuai dengan kemauan siswa, sarat dengan kebermaknaan, demokratis serta mengundang dan mendorong mereka untuk terlibat. Dari strategi yang diungkapkan diatas, apabila dapat dilaksanakan saat pembelajaran Pendidiakan Kewarganegaraan, bukan tidak mungkin, siswa akan merasa bahwa Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang paling disukai, sehingga perbaikan baik secara kognitif, afektif serta psikomotorik siswa sebagai indikasi pembelajaran, akan dapat dioptimalkan dengan baik.
40
Strategi pembelajaran yang seharusnya dilakukan oleh seorang guru, menurut Djahiri (CICED, 1999:6) adalah sebagai berikut: a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan aksesoris kelas/ sekolah), kondisional (suasana proses KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan) b. Membiasakan/ membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas-sekolah-rumah- dan lingkungan belajar. c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya. Strategi seperti itu dioperasionalkan melalui berbagai metode seperti ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving), bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya
3. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Metode menurut Wesley (Somantri, 2001:301) diartikan sebagai “a formalized or sistematized procedure for carrying on instruction”. Jadi metode di sini diartikan sebagai prosedur yang sistematis untuk tujuan mengajar. Disistematiskan mempunyai arti yang penting, karena “filsafat pendidikan, psikologi, dan kurikulum harus dipola dalam metode mengajar” (Somantri, 2001:301). Sedangkan metode menurut Hatimah (2003:29) adalah “ Langkah-langkah operasional dari strategi pembelajaran yang dipilih dalam mencapai tujuan belajar, sehingga sumber belajar dalam menggunakan suatu metode pembelajaran harus disesuaikan dengan jenis strategi yang digunakan”. Disisi lain Kosasih Djahiri (1985:28) menyebutkan bahwa “metode merupakan kumpulan sejumlah teknik. Dan teknik adalah taktik atau cara kerja”.
41
Dari dua kutipan pengeritan diatas, dinyatakan bahwa metode merupakan suatu cara yang harus disesuaikan dari strategi yang telah dipilih, kemudian harus dilaksanakan oleh guru dengan teknik-teknik tertentu. Hal ini dilaksanakan agar materi dapat tersampaikan dengan optimal kepada siswa, sehingga tujuan yang telah dirancang dapat tercapai dengan baik. Untuk mencegah kemungkinan terburuk yang akan dialami ketika pelaksanaan pembelajaran, maka guru harus memiliki dan menguasai berbagai metode pembelajaran. Pemilihan metode tersebut hendaknya dilakukan dengan berdasar kepada beberapa aspek, diantaranya adalah dengan memerhatikan aspek kognetif, afektif, dan psikomotor. Karena ketiga aspek inilah yang harus diasah oleh siswa. Terdapat berbagai metode pembelajaran, yaitu: Tabel 2.1 Alternatif Metode Pembelajaran PKn Kawasan Kawasan Kognetif Kawasan Afektif Psikomotor 1. Ceramah murni/ 1. Bermain peran 1. Simulasi lecturing. 2. VCT 2. Latihan 2. Tanya Jawab 3. Simulasi 3. Percontohan/ 3. Diskusi 4. Permainan/games Modeling 4. Studi Kepustakaan/ 5. Studi Proyek 4. Demonstrasi dokumenter 6. Tanya Jawab Nilai 5. Studi Proyek 5. Ekspositori 7. Inkuiri Nilai 6. Sosio Drama 6. Inkuiri 8. Percontohan/ 7. Karya Wisata 7. Studi Proyek Eksamploritorik 8. Inkuiri 8. Simulasi 9. Pesertaan/ 9. Dll. 9. Catat dan tulis Partisipatorik 10. Dll. 10. Sosio Drama 11. Dll. Sumber: (Kosasih Djahiri, 1985:55) Beberapa
penjelasan
Kewarganegaraan, yaitu: a. Ceramah (lecturing)
tentang
metode
pembelajaran
Pendidikan
42
Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi, yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif. Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain: 1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah (lepas dari benar – salah) 2) Merupakan
kiprah
umum
bahkan
“membudaya”
di
kalangan
perguruan/sekolah 3) Bersifat praktis, mudah, murah, dan cepat menyampaikan substansi sehingga target waktu bisa dikejar 4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan 5) Tidak dapat membutuhkan persiapan pengembangan media 6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasikan isi atau pesan dalam bahasa yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara verbal 7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga 8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki 9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metode ini adalah: a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan dan bicara
43
10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum diungkap sumber atau pihak lain. Kelemahan metode ceramah, antara lain: 1) Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis 2) Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat menyebabkan
pembelajaran
yang
melelahkan,
membosankan
dan
mengantuk. 3) “melanggar” kemampuan daya belajar manusia, karena tidak semua siswa mampu menyimak dan menangkap ‘pesan lisan’ serta menulisnya dengan cepat 4) Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur menyebabkan hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir, bereaksi dan berekspresi. 5) Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah satu penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa. b. Ekspositorik Ekspositorik berasal dari kata ‘ekspose’ yang berarti menunjukkan, memperagakan dan atau memperlihatkan. Metode belajar ekspositori adalah metode belajar yang memperagakan sesuatu untuk menciptakan KBM dan khususnya KBS yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru atau pengajar.
44
c. Metoda Pengajaran Concept (Teaching Concept) Sebelum menggunakan metoda pengajaran concept, seorang pengajar terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. A. Kosasih Djahiri (1995/1996:44), bahwa: 1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik – non fisik, materiil – immateril, dan personal – kondisional. 2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu concept. 3) Concept adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi – pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, concept merupakan sesuatu yang memiliki ciri esensil tertentu. d. Metoda Tanya Jawab Metode tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi, karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa. e. Partisipatori Partisipatori
sebagai
metode
dalam
kegiatan
belajar
mengajar,
membelajarkan siswa mengenai kehidupan atau kegiatan nyata ataupun yang simulatif. Sarana untuk berpartisipatorik adalah kehidupan keluarga atau masyarakat, instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium, atau pusat modeling. Jenis partisipatorik antara lain, studi lapangan, kegiatan bakti sosial, magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek. f. Diskusi dan Kelompok Belajar Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar, yakni demokratis. Metoda diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indikator CBSA yang tinggi karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan
45
sanggahan
terhadap
orang
lain.
A.
Kosasih
Djahiri
(1995/1996:53)
mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik secara intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan kehidupan. Ciri esensial dari diskusi, antara lain: 1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau dengan dunia nyata serta keilmuan. 2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang benar dan memiliki landasan), ada proses berproduksi dan berekspresi. 3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkan sesuatu 4) Adanya proses sosialisasi diri. Bentuk-bentuk diskusi menurut A. Kosasih Djahiri (1995/1996:58), antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Diskusi kelas Diskusi kelompok Diskusi panel Seminar Loka karya Diskusi penjaring
Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur. A. Kosasih Djahiri (1996:20), mengemukakan bahwa “kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran PKn adalah kelompok belajar kooperatif”.
46
Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok belajar dan pola kegiatan kooperatif. Hakekat ini kooperatif ialah kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, dalam arti persaingan yang ada, tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis. g. Metoda Inkuiri dan Pemecahan Masalah Kedua metode ini pada hakekatnya sama, perbedaannya bahwa dalam metoda pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan keputusan yang terbaik. Keunggulan
kedua
metode
ini
menurut
A.
Kosasih
Djahiri
(1995/1996:58), antara lain: 1) 2) 3) 4) 5)
Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas Mensosialisasikan siswa Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar Jenis inkuiri adalah inkuiri sederhana, lengkap dan nilai. Inkuiri sederhana
tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja, yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap merupakan metode khusus yang langkah dan prosesnya telah baku. Sedangkan, inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang fokus substansinya pada nilai – moral.
47
4. Media Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Media pembelajaran menurut McLuhan (Djahiri,2002:95) yaitu
“the
medium is the message” yang bermakna bahwa media merupakan wakil atau mewakili isi pesannya. Selain itu, menuru Djahiri (2002), media adalah sesuatu yang bersifat materil-imateriil ataupun behavioral atau personal yang dijadikan wahana kemudahan, kelancaran seta keberhasilan proses dan hasil belajar. Dari kedua pengertian diatas, dapat diketahui bahwa media ada untuk menyampaikan materi agar lebih mudah diterima oleh siswa dan juga memudahkan untuk guru dalam melangsungkan kelancaran porses dan hasil dari pembelajaran. Kosasih Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk: a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan Mengajar Guru interaktif – reaktif c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan keberhasilan pengajaran e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien dan optimal f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar Adapun jenis dan bentuk media, yang dapat digunakan saat proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Djahiri, 2002: 95), antara lain: a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll) b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll c. Personal, yaitu tokoh, nama, foto, gambar tokoh/ pahlawan, nama tokoh masyarakat , nama atau tokoh raja dan narasumber, serta lain-lain. d. Tradisional, yaitu suasana simulasi yang diciptakan sebelum atau pada saat Porses Belajar Mengajar (di kelas atau di luar kelas maupun di tempat kejadian ). e. Audio visual
48
f. Gerak atau penampilan seperti simulasi, permainan (games) Penggunaan media dalam Kegiatan Belajar Mengajar hendaknya memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metode pembelajaran yang akan digunakan.
5. Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan Dalam suatu proses pembelajaran, tidak dapat dihindarkan keberadaan penilaian, karena dengan penilaian akan diketahui seberapa besar atau seberapa jauh keberhasilan yang telah dicapai oleh peserta didik setelah mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu, diperlukan suatu bentuk penilaian yang ideal, dimana prinsip yang diterapkan dalam penilaian seperti yang dikemukakan oleh Wahab, et. al., (2000: 2.15), dibedakan kedalam menjadi dua sifat, yaitu prinsip penilaian yang bersifat umum dan prinsip penilaian yang bersifat khusus. Yang termasuk prinsip penilaian bersifat umum adalah: (1) menyeluruh, (2) berkesinambungan, (3) berorientasi pada tujuan, (4) objektif, (5) terbuka, (6) kebermaknaan, (7) kesesuaian dan (8) mendidik. Sedangkan yang termasuk penilaian yang bersifat khusus, adalah (1) kepentingan siswa jauh lebih besar dari pada guru, maksudnya pelaksanaan penilaian bobotnya lebih besar kepada kepentingan siswa, bukan untuk kepentingan guru, (2) hasil evaluasi tidak bersifat final, (3) soal yang dikembangkan sebaiknya dimulai dari yang mudah, sedang baru ke yang sukar. Oemar Hamalik (2003: 159) berpendapat bahwa penilaian adalah keseluruhan kegiatan pengukuran (pengumpulan data dan informasi), pengolahan,
49
penafsiran dan pertimbangan untuk membuat keputusan tengatang tingkat hasil belajar dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Disamping itu, terdapat beberapa hal yang perlu diterapkan dalam penilaian PKn, seperti yang diungkapkan oleh A. Kosasih Djahiri (1995:53) yaitu: a. Penilaian tidak hanya berfungsi untuk pengukuran tingkat keberhasilan belajar siswa melainkan juga tingkat keberhasilan/kegagalan mengajar, serta program reduksi, dan momentum membaca kualifikasi atau jati dirinya (siswa), keluarga dan lingkungan kehidupannya. b. Penilaian jangan hanya diartikan THB/TPB atau ulangan yang cenderung administratif formal yakni mencari dan menentukan nilai/angka melainkan momentum pengukuran diri untuk reduksasi atau remedial. Beberapa pendapat di atas, dapat diketahui bahwa penilaian adalah suatu kegiatan pengukuran atas hasil belajar siswa, yang dapat digunakan oleh guru untuk mengukur tingkat keberhasilan serta tingkat penguasaan belajar siswa, dengan menggunakan prinsip dasar penilaian. Proses penilaian sendiri,
tidak
hanya memiliki fungsi untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, akan tetapi dapat pula mengukur tingkat kegagalan mengajar. Sri Rumini (1991: 121) menambahkan bahwa terdapat beberapa fungsi dalam pembelajaran, yaitu: (1) penilaian sebagai insentif untuk meningkatkan belajar, (2) penilaian sebagai umpan balik bagi peserta didik, (3) peserta didik sebagai umpan balik bagi guru, (4) penilaian sebagai informasi bagi orang tua, dan penilaian sebagai informasi untuk keperluan seleksi Sejalan dengan pandangan di atas, diungkapkan pula oleh Nana Sudjana (2005: 3–4) bahwa penilaian berfungsi sebagai: alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan Instructional (ketercapaian kompetensi), dengan fungsi ini maka penilaian harus mengacu kepada rumusan-rumusan tujuan Instructional (pengalaman belajar yang harus dicapai), (b) umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar, (c) dasar
50
dalam menyusun laporan kemajuan siswa kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi dalam bentuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya. Sedangkan Wina Sanjaya (2005: 183) membedakan dua fungsi penilaian, yaitu fungsi sumatif dan penilaian dalam fungsi formatif. Penilaian dalam fungsi sumatif, adalah: (1) sebagai laporan kepada orang tua siswa yang telah mempercayakan kepada sekolah, untuk membelajarkan kepada putra/putri mereka,
(2)
sebagai
pertanggungjawaban
(akuntabilitas)
penyelenggara
pendidikan kepada masyarakat yang telah mendorong dan membantu pelaksanaan pendidikan di sekolah. Sedangkan penilaian dalam fungsi formatif adalah sebagai umpan balik tentang proses pembelajaran yang telah dilakukan, sehingga melalui informasi dari pelaksanaan penilaian, guru akan selalu memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian yang dilaksanakan oleh guru dalam proses belajar mengajar, merupakan suatu proses pengumpulan dan penggunaan informasi serta hasil belajar peserta didik yang dilakukan oleh guru untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Maka tujuan penilaian yang dimaksud adalah untuk mengetahui kemajuan belajar siswa, untuk perbaikan dan peningkatan kegiatan belajar siswa dan sekaligus memberi umpan balik bagi perbaikan pelaksanaan kegiatan belajar (Depdikbud, 1994: 41). Menurut Keputusan Mendiknas No. 012/U/2002, bahwa penilaian secara sistematis dan berkelanjutan bertujuan untuk: (1) menilai hasil belajar siswa di sekolah, (2) mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat, (3) mengetahui mutu pendidikan
51
di sekolah. Penilaian akan lebih bersifat koreksi, jika bertujuan untuk mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan atau kesulitan belajar siswa, dan sekaligus memberi umpan balik yang lebih tepat (Nitko, 1996: 39). Diungkapkan pula oleh Welton, et al., (1992: 289) bahwa dengan suatu penilaian dapat mengetahui kualitas kinerja siswa, baik sosial maupun intelektual. Selain itu, terdapat beberapa tujuan dari penilaian. Colin Conner (1991: 10) mengemukakan beberapa tujuan pokok penilaian yaitu: (1) memberikan guru yang ada dan memungkinkannya untuk menetapkan hal yang harus dilakukan selanjutnya, (2) memberi informasi kepada siswa tentang kemajuan mereka, (3) memberi informasi kepada pihak lain tentang kemajuan masing-masing siswa (misalnya: orang tua, guru berikutnya), (4) menyampaikan informasi kepada umum Nana Sudjana (2005: 4) menambahkan bahwa tujuan penilaian adalah: (1) untuk mendiskripsikan kecakapan belajar siswa, sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai mata pelajaran yang ditempuhnya. Dengan pendeskripsian kecapakan tersebut dapat diketahui tingkat perbedaan/ posisi kemampuan diantara siswa satu dengan yang lainnya, (2) untuk mengetahui tingkat keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, dalam arti seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa kearah tujuan pendidikan yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pengajaran penting artinya mengingat peranannya sebagai upaya memanusiakan atau membudayakan manusia, dalam arti menjadikan siswa sebagai manusia yang berkualitas dalam aspek intelektual, sosial, emosional, moral dan ketrampilan, (3)
52
untuk menentukan tindak lanjut hasil penilaian yaitu melakukan perbaikan dan penyempurnakan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Kegagalan para siswa dalam hasil belajar yang dicapainya hendaknya tidak dipandang sebagai kekurangan pada diri siswa semata-mata, tetapi juga bisa disebabkan oleh program pengajaran yang diberikan kepadanya atau adanya kesalahan strategi dalam melaksanakan progran tersebut. Misalnya kekurangan dalam memilih dan menggunakan metode mengajar dan alat bantu pengajaran, (4) memberikan pertanggungjawaban (accountability) dari pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud adalah pemerintah,
masyarakat,
mempertanggungjawabkan
dan hasil-hasil
para yang
orang telah
tua
siswa.
dicapaianya,
Guna sekolah
memberikan laporan berbagai kekuatan atau kelemahan pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran serta kendala yang dihadapinya. Laporan tersebut disampaikan kepada pihak yang berkepentingan, misalnya: Kanwil Depdiknas, melalui petugas yang menanganinya. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan orang tua disampaikan melalui laporan kemajuan belajar siswa (rapor) pada setiap akhir program dan semester. Suharsimi (2001: 10) mengemukakan, bahwa tujuan penilaian juga dapat dilihat dari berbagai fungsi atau maksud dari penilaian yang dilaksanakan, yaitu: (1) penilain berfungsi selektif, (2) penilaian berfungsi diagnostik, (3) penilaian berfungsi penempatan, dan (4) penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan. Adapun
penilaian yang digunakah dalam pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan menurut Budimansyah (2004:15) adalah bentuk penilaian
53
proses dan hasil. Penilaian proses dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Penilaian proses dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung. Hasil penilaian proses dipergunakan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan penilaian proses adalah mencari umpan balik (feedback) untuk memperbaiki pembelajaran yang sedang berlangsung. Penilaian proses dapat dilakukan pada kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Selanjutnya kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah dkk, 2004 : 18 - 20). 1. Intrakurikuler Kegiatan intrakurikuler adalah kegiatan belajar mengajar di kelas. Selama berlangsungnya proses belajar mengajar perlu dilakukan penilaian proses yang meliputi penilaian aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. a. Penilaian Kognitif Penilaian kognitif untuk menilai proses belajar mengajar di kelas dapat menggunakan tes formatif. Sebagai penilaian proses, tes formatif dapat digunakan untuk mencari umpan balik (feedback), yang selanjutnya hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang sedang atau sudah dilaksanakan. b. Penilaian Afektif Tipe proses belajar afektif berkenaan dengan minat dan perhatian terhadap pelajaran, motivasi dan keinginan untuk berprestasi, penghargaan terhadap guru dan teman sekelas, disiplin, dan hubungan sosial. Untuk menilai proses belajar afektif dapat digunakan berbagai alat, di antaranya adalah Catatan Anekdot
54
(Anecdotal Record). Catatan anekdot adalah catatan yang menggambarkan sikap dan/perilaku seorang siswa atau sekelompok siswa dalam situasi apa adanya. Gambaran ini diambil secara sistematis dan diharapkan tidak bercampur baur dengan berbagai macam interpretasi. c. Penilaian Psikomotorik Tipe proses belajar psikomotorik berkenaan dengan perilaku dan kebiasaan siswa belajar, misalnya perilakunya ketika bel masuk berbunyi, kebiasaannya dalam mencatat bahan pelajaran, perilakunya pada saat guru menjelaskan pelajaran, kebiasaannya pada waktu istirahat, dan sebagainya. Untuk menilai proses belajar psikomotorik dapat digunakan berbagai alat, diantaranya adalah Catatan Anekdot (Anecdotal Record). 2. Ekstrakurikuler a. Penilaian Kognitif Penilaian kognitif untuk menilai proses pembelajaran di luar kelas (ekstrakurikuler) dapat menggunakan Daftar Ceklis Penguasaan Materi. Daftar ini digunakan untuk mengecek tingkat penguasaan para siswa terhadap substansi kegiatan ekstrakurikuler. b. Penilaian Afektif Penilaian
proses
belajar
afektif
dalam
kegiatan
pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan minat dan perhatian terhadap kegiatan pembelajaran, motivasi dan keinginan untuk menghasilkan karya yang bermutu, penghargaan terhadap guru dan teman sekelas, disiplin, dan hubungan sosial. Alat penilaian yang dapat digunakan adalah Daftar Ceklis Sikap Belajar.
55
c. Penilaian Psikomotorik Tipe
proses
belajar
psikomotorik
dalam
kegiatan
pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan perilaku dan kebiasaan siswa bekerja melakukan tugas-tugas, misalnya kebiasaan datang ke tempat kegiatan, keseriusannya dalam mengerjakan tugas, kerjasama dalam kelompok, dan sebagainya. Alat penilaian yang dapat digunakanadalah lembar observasi. Untuk memperoleh data atau informasi sampai di mana pengusaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu, dilakukan hasil belajar (Budimansyah dkk, 2004:21). Penilaian hasil dapat dilakukan pada kegiatan intra dan ekstrakurikuler. Selanjutnya kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah dkk, 2004: 21 - 23). 1. Intrakurikuler a. Penilaian Kognitif Untuk menilai hasil belajar aspek kognitif digunakan tes sumatif, yaitu tes yang dilakukan untuk memperoleh data atau informasi sampai dimana penguasaan atau pencapaian belajar siswa terhadap bahan pelajaran yang telah dipelajarinya selama jangka waktu tertentu. Fungsi dan tujuan penilaian sumatif ialah untuk menentukan apakah dengan nilai yang diperolehnya itu seorang siswa dinyatakan lulus atau tidak lulus. Alat penilaian sumatif untuk menilai penguasaan kognitif yang lazim dipergunakan adalah tes.
56
b. Penilaian Afektif Tipe hasil belajar afektif berkenaan dengan sikap siswa pada waktu belajar di sekolah, terutama pada waktu guru mengajar maupun setelah pelajaran selesai. Salah satu teknik penilaian hasil belajar afektif adalah dengan skala sikap. Penilaian hasil belajar afektif harus menjadi bagian integral dari penilaian kognitif. Fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang siswa naik kelas dan dinyatakan lulus dalam ujian. c. Penilaian Psikomotorik Tipe hasil belajar psikomotorik sebenarnya merupakan tahap lanjutan dari hasil belajar afektif yang baru tampak dalam kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku. Salah satu teknik penilaian hasil belajar psikomotorik adalah dengan Daftar Gejala Kontinum. Penilaian hasil belajar psikomotorik harus menjadi bagian integral dari penilaian kognitif dan afektif. Fungsinya sama seperti pada penilaian afektif. 2. Ekstrakurikuler a. Penilaian Kognitif Penilaian kognitif untuk menilai hasil pembelajaran di luar kelas (ekstrakurikuler) dapat menggunakan Daftar Ceklis Penguasaan Materi pada saat gelar kompetensi. Daftar ini digunakan untuk menilai tingkat penguasaan para siswa terhadap substansi pada saat gelar kompetensi.
57
b. Penilaian Afektif Penilaian hasil belajar afektif dalam kegiatan pembelajaran ekstrakurikuler berkenaan dengan sikap para siswa yang dibentuk setelah proses pembelajaran berlangsung. Alat penilaian yang digunakan adalah daftar skala sikap. c. Penilaian Psikomotorik Tipe
hasil
belajar
psikomotorik
dalam
kegiatan
pembelajaran
ekstrakurikuler berkenaan dengan perilaku kebiasaan siswa yang terbentuk setelah melalui proses pembelajaran.
C. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan 1. Kontinum Pendidikan Kewarganegaraan Hasil kajian internasional tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang dilakukan oleh “School Curriculum and Assessment Authority (SCAA)” melalui “National Foundation for Educational Research in England and Wales (NFER)” dengan salah satu tugasnya untuk mengadakan “international review of curriculum and assessment framework” di 16 negara yakni: Australia, Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, Hungaria, Italia, Jepang, Korea, Belanda, Selandia Baru, Singapura, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Amerika Serikat. Studi ini dirancang untuk memperkaya pengertian dan wawasan para pengambil keputusan pendidikan di Inggris tentang “citizenship education”, khususnya mengenai “curriculum aims, organisation, and structure; teaching and learning approaches; teacher specialisation and teacher training; use of textbooks and other resources; assessment arangements; and current and future developments”
58
(Kerr,1999:1), pada jenjang pendidikan anak usia lima belas sampai enam belas atau delapan belas tahun, atau sama dengan pendidikan TK sampai dengan SMU. Secara operasional istilah “citizenship
education” dalam studi itu
didefinisikan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Menurut penelitian Kerr ditemukan bahwa cara pengorganisasian Pendidikan Kewarganegaraan
dalam kurikulum di berbagai negara sampel
tersebut bervariasi mengikuti alternatif pendekatan, yitu: 1. Separate, dalam pendekatan “separate”, Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan sebagai suatu mata pelajaran atau suatu aspek. Dimana Negaranegara yang menerapkan pengorganisasian seperti ini adalah Jepang, Korea, dan Singapura untuk SD. 2. Integrated, dalam pendekatan “integrated”, Pendidikan Kewarganegaraan diajarkan
sebagai bagian dari suatu mata pelajaran terpadu “sosial
sciences” atau “sosial studies”, atau dikaitkan dengan mata pelajaran lain, pengorganisasian seperti ini dilaksanakan dibeberapa Negara, yaitu Australia (semua tingkat), Kanada (semua tingkat), Perancis (semua tingkat), Jerman (semua tingkat), Hongaria (semua tingkat), Italia (semua tingkat), Jepang (semua tingkat), Negeri Belanda (semua tingkat), Zelandia Baru (semua tingkat), Singapura (semua tingkat), Spanyol
59
(semua tingkat), Swedia (semua tingkat), Swiss (semua tingkat), dan USA:Kentucky (semua tingkat), 3. Cross-curricular. Dalam pendekatan Cross-curricular,
Pendidikan
Kewarganegaraan tidaklah secara khusus sebagai suatu mata pelajaran atau suatu topik, melainkan secara sistemik dimasukkan ke dalam keseluruhan tatanan kurikulum dengan memasukkannya ke dalam mata pelajaran yang ada. Pengorganisasian seperti ini hanya dipraktekkan di Negara Inggris. Selain itu,
ditemukan pula bahwa perbedaan yang terjadi dibeberapa
Negara, dipengaruhi oleh beberapa hal (Kerr: 1999:5-7), yaitu:”historical tradition, geographical position, socio-political structure, economic system, and global trends”. Yaitu “sejarah suatu Negara, letak geografis Negara, struktur social-politik negara, system ekonomi dan trend global” Temuan lain dari hasil penelitian David Kerr adalah “citizenship education continum”
MINIMAL
dan
MAKSIMAL
(Kerr,1999:14).
Lebih
lanjut
pengelompokkan tersebut dapat kita lihat pada bagan di bawah ini:
MINIMAL Thin Exclusive Elitist civics education Formal contentt led knowledge based didactic transmission easier to achieve and measure in practice
___________________
MAXIMAL
___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________ ___________________
thick inclusive activist citizenship education participative process led values based interactive interpretation more difficult to achieve and measure in practice
___________________
Bagan 2.1 Citizenship education continuum (David Kerr, 1999:14)
60
Citizenship Education pada titik minimal ditandai oleh “thin, exclusive, elitist, civics education, formal, contentt led, knowledge based, didactic transmission, easier to achieve and measure in practice (Kerr, 1999:14)”. Maksudnya adalah “didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, bentuk pengajaran kewarga-negaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan, menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur”(Winataputra dan Budimansyah,2007:5-6). Sedangkan yang bersifat maksimal ditandai oleh “thick, inclusive, activist, citizenship education, participative, process led, values based, interactive interpretation, more difficult to achieve and measure in practice” (Kerr, 1999:14). Maksudnya adalah: Didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat, kombinasi pendekatan formal dan informal, diberi label ”citizenship education”, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas, hasilnya lebih sukar dicapai dan diukur karena kompleksnya hasil belajar (Winataputra dan Budimansyah,2007:6). a. Isi Pendidikan Kewarganegaraan (Knowledge Based- value based) 1. Knowledge Based David Kerr menerjemahkan Knowledge based (1999:7) sebagao Pendidikan Kewarganegaraan yang hanya mencakup kemahiran pengetahuan dan pemahaman saja. Dimana pembelajaran PKN hanya dibelajarkan pada ranah kognitif saja. Menurut Bloom indikator dari ranah kognitif itu sendiri adalah kemampuan yang mencakup :
61
Tabel 2.2 Kawasan Kognitif dan taksonominya TAKSONOMI
KATA KUNCI TUJUAN
C1 pengamatan/ perseptual
- dapat menunjukan/membandingkan
C2 hafalan/ingatan
- dapat menyebutkan/ menjunjukan lagi
C3 pengertian/pemahaman
- dapat menjelaskan/ mendefinisikan
dengan kata-
kata sendiri C4 aplikasi/ penggunaan
- dapat memberikan contoh/menggunakan dengan tepat
C5 analisis
- dapat menguraikan / mengklasifikasikan
C6 sintesis
- dapat menghubungkan/ menyimpulkan
C7 evaluasi
- dapat memberikan kritik/ memberikan pertimbangan
Djahiri (1985:14)
2. Value based (berbasis pada nilai/value). Value menurut Jack R. Fraenler (1997) merupakan idea atau concept yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan sesoringa atau dianggap penting oleh seserang. Dan biasanya mengacu pada estetika (keindahan), etika (pola laku lampah), dan logika (benar salah) atau keadilan. Dalam bukunya Djahiri (1985), istilah nilai disamakan dengan afekitif. Dimana menurut Bloom indikator dari ranar afektif ini adalah kemampuna yang mencakup: Tabel 2.3 Kawasan Afektif dan Taksonominya A1 penerimaan
- bersikap menerima/menyetujui atau sebaliknya
A2 sambutan
- bersedia terlibat/berpartisipasi
A3 penghargaan/apresiasi
- memandang penting/ bernilai
A4 internalisasi/pendalaman
- mengakui/ mempercayai/ meykini
A5 karakterisasi
- membiasakan/ melembagakan
Djahiri (1985:15)
62
b. Penyelenggaraan Pendidikan Kewarganegaraan (Exclusive- inclusive) 1. Exclusive Diartikan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan tidak dikaitkan dengan ilmu-ilmu social yang lain yang relevan dengan materi pokok yang diajarkan. (Kerr :1999). Dimana ciri-ciri atau indikator dari PKN yang bersifat exclusive, menurut Soemantri (2001:307) yaitu: a. Bahan pelajaran tidak diambil dari disiplin ilmu sosial b. PKN tidak diajarkan dengan memperhatikan bahan ajar yang diambil dari lingkungan masyarakat c. PKN kurang mampu untuk melihat respon siswa baik formal dan informal contentt. 2. inclusive Diartiakan bahwa PKN merupakan ilmu pengetahuan sosial atau studi sosial yang dihubungkan dengan subjek dan area kurikulum lainnya sehingga ilmu sosial dapat mendukung mata pelajaran PKN. Dengan demikian, memberikan jalan untuk PKN yang lebih khusus dalam kurikulum (Kerr, 1999:29). Adapun ciri-ciri atau indikator dari PKN yang bersifat inclusive, dapat dilihat dari penjelasan Paul R. Hanna dan Jhon R. Lee (Suriahkusumah, 1992:36) yaitu: a. Bahan pelajaran PKN diambil dari disiplin ilmu sosial b. PKN diajarkan dengan memperhatikan bahan ajar yang diambil dari lingkungan masyarakat c. PKN mampu melihat respon siswa baik formal dan informal contentt .
63
c. Proses Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ( didactic transmisioninteractive interpretation). 1. Didactic Ttransmision Menurut Kerr (1999:14-15) diartikan sebagai Pembelajaran yang menitik beratkan pada proses pengajaran. Salah satu indikasinya, bahwa dalam proses pembelajaran PKN tidak seharusnya memposisikan peserta didik sebagai pendengar ceramah guru atau dosen (Budimansyah, 2004:4). Dimana karakteristik pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang bersifat didactic transmission menurut David Kerr (1999:15) adalah : a. Pengajaran berpusat pada guru, b. pengajaran hanya terbatas di kelas c. kelas dijadikannya sebagai media yang dominan, serta d. terdapat sedikit kesempatan atau dukungan untuk inisiatif dan interaksi siswa” 2. interactive interpretation Diartikan bahwa proses pembelajaran PKN menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencapaian konten dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas (Kerr, 1999). PKN hendaknya merupakan sebuah kombinasi dari partisipasi, kooperatif dan usaha untuk mendorong usaha ingin tau siswa, Winataputra,(2007). Selain itu, Charles B. Myers (dalam Kosasih Djahiri, 2007:23-24), mengatakan bahwa proses pembelajaran PKN yang ideal adalah proses KBS yang active dan powerful karena bahan ajar, kegiatan, media dan sumber mampu mengundang, melibatkan dan memberdayakan seluruh potensi
64
dan lingkungan belajarnya serta mampu membina siswa menjadi independent dan self-regulated leaners. Dari urayan diatas, dapat ditarik beberapa ciri dari penilaian PKN yang interactive interpretation, adalah: a.
adanya proses pembelajaran PKN yang partisiparif
b.
adanya proses pembelajaran PKN yang kooperatif
c.
adanya proses pembelajaran PKN yang mendorong siswa untuk ingin tau.
d.
Terdapatnya bahan ajar, kegiatan, media dan sumber yang mengundang, melibatkan dan memberdayakan seluruh potensi dan lingkungan belajar siswa.
d. Penilaian Pendidikan Kewarganegaraan (easier to achieve and measure in practice- more difficult to achieve and measure in practice) 1. easier to achieve and measure in practice Menurut Kerr (1999:14) diartikan sebagai hasil dari Penilaian PKN mudah untuk diukur. Diungkapkan oleh Budimansyah (2004:7), bahwa “Pembelajaran dan penilaian PKN lebih menekankan pada dampak Instructional yang terbatas pada penguasaan materi atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi afektif dan psikomotorik serta perolehan dampak pengiring sebagai hidden curriculum belum mendapatkan perhatian”.
65
Dari uraian diatas, dapat dilihat beberapa ciri dari indicator easier to achieve and measure in practice, yaitu: a. penilaian PKN lebih menekankan pada dampak insturksional yang terbatas pada penguasaan materi atau dimensi kognitif saja b. penilaian dimensi afektif dan psikomotorik belum optimal. c. Belum diperhatikannya dampak pengiring sebagai hidden curriculum. 2. more difficult to achieve and measure in practice Diartikan
bahwa penilaian hasil dalam PKN lebih sukar dicapai dan
diukur, karena kompleknya hasil belajar (Kerr, 1999:14). Agar diperoleh hasil belajar yang objektif dalam pengertian menggambarkan prestasi dan kemampuan siswa sebagaimana adanya, penilaian harus menggunakan berbagai alat penilaian dan sifatnya komprehensif, maksudnya segi atau abilitas yang dinilainya tidak hanya aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik (Sudjana, 2005:8). Selain itu, menurut Budimansyah (2004:5) bahwa “penilaian dalam PKN harus menerapkan prinsip penilaian porses dan Hasil”. Dimana penilalian proses ialah upaya pemberian nialai terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oelh guru da perserta didik, sedangkan penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai dengan menggunakan criteria tertentu. Hasil belajar tersebut pada hakikatnya merupakan pencapaina kompetensi-kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak.
66
Dari uraian diatas, dapat beberapa ciri dari indicator more difficult to achieve and measure in practice , yaitu: a. Aspek penilaian tidak hanya ranah kognitif akan tetapi ranah afektif serta psikomotorik juga b.
Prinsip penilaian PKN tertuju pada bentuk penilaian proses dan Hasil.
2. Pendidikan Kewarganegaraan di Beberapa Negara Asia Dan Afrika a. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara Pakistan Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dan umumnya sistem pendidikan di Pakistan tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah politik dari Negara tersebut. Dean (2000:75-96) membagi periode sejarah politik Negara Pakistan kedalam enam periode, yiatu: periode 1947-1958; periode 1971-1977; periode 1977-1988; periode 1988-1999; dan periode 1999- sekarang Selain itu, sistem pendidikan nasional Pakistan juga tidak dapat dipisahkan dari konflik antara yang menginginkan Islam sebagian dasar dan tujuan pendidikan nasional, dan yang menghendaki nilai-nilai sekuler demokrasi liberal. Dalam perkembangannya, kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar sistem pendidikan Nasional menjadi kelompok dominan dan menentukan kurikulum, materi dan arah pendidikan di Pakistan. Sebagai sebuah Negara pascakolonial, Pakistan mengakui peran penting civic education dalam pembentukan warga Negara yang patriotik. Secara paradoksial, sebagimana kurikulum civic education di sekola-sekolah pemerintah yang menekankan pembentukan sebuah identitas warga Negara Muslim, ia juga
67
telah menghindari transmisi nilai-nilai universal demokrasi seperti kebebasan individu, kesetaraaan jender, pemikiran kritis, dan menghormati keragaman agama dan cultural. Maka Pakistan menderita kehilangan yang tak dapat diperbaiki: Pakistan terbagi menjadi dua Negara, kehilangan persatuan nasional (Ahmad, 2004a: 12). Lebih lanjut Ahmad (2004a:13) menjelaskan adanya empat aspek untuk melihat konteks perkembangan civic education di Pakista, yaitu: Negara-bangsa yang militeristik, keadaan darurat perang dingin, ekstrimisme agama, dan feodalisme. Tanggunjawab utama pendidikan kewarganegaraan di sekolah Pakistan berada pada mata pelajaran-mata pelajaran seperti civic, Pakistan studies, dan global studies. Untuk siswa menengah, ketiga mata pelajaran itu wajib ditempuh sebagai bagian dari pelajaran sejarah Pakistan yang bersifat teoritis dari kerangka “ideologi Islam” (Setiawan, 2007: 73) Pada tahun 2002 Pemerintah Pakistan melalui kementerian Pendidikan, telah menerbitkan kurikulum nasional untuk mata pelajaran Civics untuk kelas IX hingga XII. Sebelumnya, kajian civics termasuk bagian dari pelajaran social studies. Mata pelajaran tersebut merupakan bagian dari kurikulum nasional sebagai hasil akumulatif dari berbagai dokumen, seperti Proceedings Of The Pakistan Education Conference (1947), Repport Of National Education (1959), The
New
Education
Policy
()1972-1980,
National
Educational
And
Implementation Programme (1979) (Dean, 2000; 87-96) Kurikulum serta bahan ajar Pendidikan Kewarganegaraan di
sekolah-
sekolah sangat dipengaruhi pemrintahan militer Pakistan. Pengaruh yang sangat
68
kuat ini, berdampak pada kultur kelas civic education. Dimana model pendidikan di
sana,
menggunakan
model
pendidikan
Madrasah,
yang
cenderung
menggunakan pendekatan bank. Pembelajaran lebih banyak menyimpan dan menghafal informasi-informasi yang diberikan oleh guru di kelas. Guru hanya membacakan satu bab dari buku teks dan memberikan siswa pertanyaan untuk dijawab (Dean, 2000: 242-243).
b. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara Jepang Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang yang dikenal dalam terminology social studies, living experience and moral education (Kerr, 1999), berorientasi pada pengalaman, pengetahuan, dan kemamupan warga Negara berkaitan dengan upaya untuk membangun bangsa Jepang. Kelahiran Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang dapat dilihat setelah perang dunia kedua (1945). Pada masa itu, pendidikan menjadi pusat perhatian dari pemerintah (Otsu, 1998:51; Ikeno, 2005:93). Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan telah bergeser dari penekanannya dari pendidikan untuk para warganegara dan pengajaran disiplin ilmu-ilmu social yagn terkait dengan uupaya untuk membangun bangsa Jepang, kea rah Pendidikan Kewarganegaraan untuk semua warganegara (Ikeno, 2005:93) Pendidikan Kewarganegaraan Jepang setelah Perang Dunia kedua dapt digambarkan dalam tiga periode (Ikeno, 2005:93), yaitu: “periode pertama, pada tahun 1947-1955 yang memiliki orientasi pada pengalaman, periode kedua tahun
69
1955-1985, yang berorientasi pada pengetahuan, dan periode ketiga pada tahun 1985-sekarang, berorientasi pada kemampuan”. Dimana landasan pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Jepang tidak dapat dilepaskan dari concept warganegara (komin, citizen) dan Kewarganegaraan (citizenship). Otsu (1988:53), menjabarkan bahwa hubungan antara citizen dan citizenship di Jepang dapat memiliki arti luar dan dapat digunakan dalam cara dan dalam konteks yang berbeda. Pada tahun 1970, Kementrian Pendidikan menggambarkan Tujuh inti Pendidikan Kewarganegaraan Jepang, yaitu: 1. To develop an awareness and understanding of Japan as a nation and the principle of sovereignty.
Maksudnya adalah untuk mengembangkan
kesadaran dan pemahaman tentang Jepang sebagai sebuah Negara dan prinsip kedaulatan. 2. To develop a concept of local community and the state and ways in which the individual can contribute to the work of the community and the state. Maksudnya adalah untuk mengembangkan suatu concept tentang masyarakat lokal dan Negara serta cara bagaimana setiap individu dapat berkontribusi dalam suatu pekerjaan di masyarakat dan Negara. 3.
To appreciate rights and responsibilities duties of the individual in the community and wider society, maksudnya untuk menghargai hak dan tanggungjawab serta tugas dari individu dalam suatu komunitas dan masyarakat yang lebih luas.
70
4. To develop an ability to act positively in relation to rights and duties, maksudnya untuk mengembangkan kemampuan untuk bertindak secara positif dalam hubungan antara hak dan kewajiban. Selain itu, teknis yang digunakan, pendekatan yang dikembangkan, dan jumlah jam perminggu, baik untuk pendidikan dasar maupun pendidikan menengah terdapat dalam tabel berikut ini (Kerr, 1999; Winataputra, 2007) Tabel 2.4. Organisation of Citizenship Education in Primary Phase Coutry
Terminology
Approach
Hour per week
Japan
Social studies, living experiences and moral education
Statutory core separate and integrated
175 x 45 minutes per year
Kerr (1999:18)
Dari tabel diatas dapat dijabarkan bahwa di Jepang terminology yang digunakan adalah Social studies, living experiences and moral education. Kedudukan dalam program pendidikan bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegrasi atau berdiri sendiri. Dengan beban belajar perminggu adalah 175 x 45 menit per tahun. Sementara itu, Pendidikan Kewarganegaraan untuk tingkat pendidikan lanjutan pertama dan tingkat atas dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2.5. Organization of Citezenship Education in the Lower and Upper Secondary Phase Coutry Terminology Approach Hour per week Japan
Social studies, living experiences and moral education
Kerr (1999:19)
Statutory core integrated and specific
175 x 45 minutes per year (grade 7 & 8) 140 x 50 per year (grade 9) 140 x 50 minutes per year (upper secondary)
71
Untuk sekolah lanjutan pertama dan atas, kedudukannya bersifat wajib yang dikemas sebagai materi inti yang terintegarasi atau berdiri sendiri. Beban belajar per minggu adalah: 175 x 45 menit per tahun bagi tingkat 7 & 8. Serta 140 x 50 menit pertahun untuk tingkat 9. Sedangkan untuk tingkat atas adalah 140 x 50 menit pertahun. Sedangkan isi kurikulum Pendidikan Kewarganegaraan pada sekoalah menengah terdiri atas: 1. Contemporary social Life (kehidupan social kontemporer) 2. Improvement of national life and economy (Perbaikan kehidupan nasional dan ekonomi) 3. Democratic government and international community (Pemerintahan demokratis dan masyarakat internasional) Kurikulum sekolah menengah atas terdiri atas bidang mata pelajaran dan sub mata pelajaran yang spesifik. Para siswa diharuskan mengambil empat kredit dari mata pelajaran Kewarganegaraan yang terdiri dari : masyrakat kontemporer (4 jam, 1 jam = 50 menit), etika (2 jam), dan politik/ekonomi (2 jam). c. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara China Pendidiakn Kewarganegaraan (civic education) khas Cina terletak secara melekat dalam bentuk pendidikan moral. Pendidikan moral ini berkaitan erat dengan sistem politik di Cina. Menurut On Lee dan Chi Hang Ho (2005:413) serta Limin Bai (1998: 5250, istilah Pendidikan moral (daode jiaoyu) disebut juga dengan istilah pendidikan ideology (sixiang jiaoyu) atau pendidikan politik (zengzhi jiaoyu).
72
Pendidikan Kewarganegaraan di China menjadi sesuatu yang sangat esensial sebagai alat sosialisasi politik, dan mentrasmisikan nilai-nila ideologi dan politik, tidak hanya kepada para siswa, tetapi pada masyarakat luas (Lee dan Ho, 2005: 413). Hal ini terlihat dari dokumen yang dikeluarkan oleh partai Komunis Cina (1988), Notice on Reforming and Sterngthening the Moral Education Work in Secondary and Primary Schools,
dinyatakan bahwa “moral education is
ideological and political the school” (Lee dan Ho, 2005:413), maksudnya adalah pendidikan moral mencerminkan perubahan politik. Keberadaan pendidikan Kewarganegaraan dalam bentuk pendidiakn moral di sekolah-sekolah Cina dimulai pada tahun 1949, dimana kurikulumnya disekolah tidak lengkap, terlalu abstrak dan terlepas dari kehidupan social serta bentuk pedagoginya menekan inisiatif, kreativitas dan kompetensi siswa serta bentuk evaluasi menekankan pada aspek kognitif. Sehingga pada tahun 1992 terjadi reformasi pendidikan Kewarganegaraan yang sifatnya lebih terbuka (Zhan Wansheng dan Ning Wujie, 2004:512). Dimana kurikulum terbaru hasil dari reformasi tersebut dijelaskan dalam Tabel 3. Pada bagian lain, di Tabel 4, dapat dicermati bagaimana hubungan antara tahap-tahap perkembangan social dan tujuan serta isi materi menengah Pertama.
mata pelajaran ideology dan Moralitas di sekolah
73
Tabe 2.6. Kurikulum Pendidikan Moral di Sekolah Menengah Pertama China 19771992. Grade One Age 12-13
Grade Two Age 13-14
Grade Three Age 1415
1977-79 1980-85 1986-92 1992
Brief History of Social Development Youth and Adolescent Development Citizenship Brief History of Socia Ideology and Politics for junior High School
Scientific Socialism Brief History of Social Development Development knowledge of Building Ideology and Politics for Junior High School
Legal Knowledge Socialism in China Ideologi and politics for Junior High School History of social Development and national
Sumber: Zhan Wansheng dan Ning Wujie, 2004: 513
Tabel 2.7. Hubungan antar tahap-tahap perkemabangan social dan tujuan serta isis materi mata pelajaran Ideologi dan Moralitas di sekolah menengah pertama. Growing self
Mental Health knowing
Morality Self-esteem and selfencouragement Morality in communication
Law Legal learning and application Rights and obligation
National Conditions Cultural identitiy/ commitment to Chinese culture Common ideals
Relation Communication berween and self and understanding others Relations Positive Responsibility to Law and Understand National between attitudes the Motherland, social order Conditions and love self, towards social society and china collective, development Natural state and and progress environment society PRCMOE, 2003 (dalam Zhan Wansheng dan Ning Wujie, 2004:519)
Zhu Xiaoman dan Liu Cilim (2004) menyatakan bahwa secara umum ada dua pendekatan pengajaran moral di sekolah-sekolah Cina. Pertama, pendekatan pengajaran dengan berbasis mata pelajaran (Subject-based moral education). Pendekatan ini menjadi mata pelajaran Pendidikan Moral tersendiri, dimana guruguru khusus mengajar tentang ideology, politik, hukum, moralitas dan kesehatan mental, sebagaimana kurikulum mata pelajaran lainnya. Kedua pendekatan
74
pengajaran
melalui
kegiatan-kegiatan
ekstra
kurikuler
(Extra-curricular
activities). Kegiatan ekstra-kurikuler ini dilakukan dalam bentuk
morning
meeting, class meeting, atau kegiatan-kegiatan partai, Youth League (liga pemuda) dan Young Pioneers (pemuda pelopor). Kegiatan ekstra-kurikuler ini dirancang, direncanakan, dikoordinasikan dan diawasi oleh organisasi di bawah Partai Komunis Cina, Youth League (Liga Pemuda) dan Young Pioneers (Pemuda Pelopor) sama seperti guru-guru kelas (Xiaoman dan Cilin, 2004: 481-404). Oleh karena itu, di Cina model pendekatan pendidikan yang digunakan dan dikembangkan bersifat indoktrinatif dan sarat akan ideologi partai penguasa. Sikap kritis sangat tertutup dikembangkan dalam pendidikan kewarganegaraan di bawah sisem politik otoriter.
d. Pendidikan Kewarganegaraan di Negara Afrika Selatan. Di Afrika Selatan “Citizenship” diajarkan secara khusus dalam mata pelajaran “life Orientation” dan secara terintegrasi diajarkan dalam mata pelajaran “ Human and social Sciences (HSS)”, Language and Communication, and Economi and Management. Semua mata pelajaran tersebut diajarkan di semua tingkat. (Winataputra dan Budimansyah, 2007:127).