BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Goal-Setting Theory Penelitian ini menggunakan Goal-Setting Theory yang dikemukakan oleh
Locke (1968) sebagai teori utama (grand theory). Goal-Setting Theory merupakan salah satu bentuk teori motivasi. Goal-Setting Theory menekankan pada pentingnya hubungan antara tujuan yang ditetapkan dan kinerja yang dihasilkan. Konsep dasarnya yaitu seseorang yang mampu memahami tujuan yang diharapkan oleh organisasi, maka pemahaman tersebut akan mempengaruhi prilaku kerjanya. Goal-Setting Theory mengisyaratkan bahwa seorang individu berkomitmen pada tujuan (Robbins, 2008). Jika seorang individu memiliki komitmen untuk mencapai tujuannya, maka komitmen tersebut akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Capaian atas sasaran (tujuan) yang ditetapkan dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Secara keseluruhan, niat dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan, merupakan motivasi yang kuat dalam mewujudkan kinerjanya. Individu harus mempunyai keterampilan, mempunyai tujuan dan menerima umpan balik untuk menilai kinerjanya. Capaian atas sasaran (tujuan) mempunyai pengaruh terhadap prilaku pegawai dan kinerja dalam organisasi (Locke and Latham dalam Lunenburg, 2011). Locke dalam Kusuma (2013) menemukan bahwa goal-setting berpengaruh pada ketepatan anggaran. Setiap organisasi yang telah menetapkan sasaran (goal)
9
10
yang diformulasikan ke dalam rencana anggaran lebih mudah untuk mencapai target kinerjanya sesuai dengan visi dan misi organisasi itu sendiri. Sebuah anggaran tidak hanya sekedar mengandung rencana dan jumlah nominal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan/ program, tetapi juga mengandung sasaran yang ingin dicapai organisasi. Berdasarkan pendekatan Goal-Setting Theory keberhasilan pegawai dalam mengelola anggaran merupakan tujuan yang ingin dicapai, sedangkan variabel kompensasi, lingkungan kerja dan komitmen organisasi sebagai faktor penentu. Semakin tinggi faktor penentu tersebut maka akan semakin tinggi pula kemungkinan pencapaian tujuannya. 2.2
Kinerja Kinerja adalah hasil yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok
orang-orang dalam suatu organisasi sesuai dengan kewenangan dan tanggungjawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi (Prawirosentono, 1999). Terdapat hubungan yang erat antara kinerja perseorangan dengan kinerja organisasi. Bila kinerja karyawan baik, maka kemungkinan kinerja organisasi juga baik. Handoko (2002) mengistilahkan kinerja/ performance dengan prestasi kerja karyawan. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Bias kinerja diketahui jika individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Ruky (2001) mengemukakan bahwa terdapat 3 jenis kriteria kinerja, yaitu:
11
1) Teori kinerja pada input Teori ini menekankan pada individual centred. Merupakan cara tradisional yang menekankan pada pengukuran atau penilaian-penilaian terhadap ciri-ciri kepribadian pegawai dari pada hasil atau prestasi kerjanya. Ciri-ciri karakteristik kepribadian yang banyak dijadikan obyek pengukuran adalah kejujuran, ketaatan, disiplin, loyalitas, inisiatif, kreativitas, adaptasi, komitmen, motivasi (kemauan), sopan santun dan lain-lain, tentu saja dalam kelompok input ini juga masih harus termasuk faktor-faktor kemampuan yang terdiri dari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. 2) Teori kinerja berorientasi pada proses Dalam teori ini prestasi pegawai diukur dengan cara menilai sikap dan prilaku seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Dengan kata lain penilaian difokuskan langsung pada bagaimana tugas dilakukan dan membandingkan prilaku dan sikap yang diperlihatkan dengan standar yang telah ditetapkan untuk setiap tugas yang telah dibebankan kepadanya, cara ini adalah penjabaran dari pergeseran focus penilaian dari input ke proses yang bagaimana proses tersebut dilaksanakan. 3) Teori kinerja berorientasi pada output Teori ini berfokus pada output atau hasil yang diperoleh atau dicapai oleh pegawai dalam konsep „input-proces-output’. Sistem kinerja yang berorientasi pada output sering kali dibahas, dan sikap dalam manajemen kinerja yang berbasis pencapaian sasaran kerja individu (SKI) selalu mendapat perhatian untuk ditingkatkan.
12
Selanjutnya untuk mengetahui tingkatan kinerja suatu organisasi atau instansi terutama instansi pemerintah, harus diketahui terlebih dahulu indikator kinerja organisasi. Indikator kinerja organisasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan (Bastian, 2001) yang ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator berikut: 1) Indikator masukan (inputs), yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan agar organisasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan dan sebagainya. 2) Indikator keluaran (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik. 3) Indikator hasil (outcomes), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). 4) Indikator manfaat (benefit), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. 5) Indikator dampak (impacts), yaitu pengaruh yang ditimbulkan, baik positif maupun negative, pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan. 2.3
Pengelolaan Keuangan Daerah Pengelolaan keuangan daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Kedua peraturan tersebut merupakan landasan bagi pemerintah daerah untuk mengelola keuangan. Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
13
2005, pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggung jawaban dan pengawasan keuangan daerah. Menurut Mardiasmo (2012), pengelolaan anggaran membutuhkan suatu prinsip-prinsip manajemen keuangan daerah yang diperlukan untuk mengontrol kebijakan keuangan daerah. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: 1) Akuntabilitas Akuntabilitas mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berprilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Untuk itu, perumusan kebijakan bersamasama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horizontal. 2) Value for money Value for money berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses pengangaran yaitu: ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Ekonomi berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu pada harga yang paling murah. Efisiensi berarti penggunaan dana publik/ publik money yang dapat menghasilkan output yang maksimal. Efektifitas berarti penggunaan tersebut harus mencapai target-target atau tujuan kepentingan publik. Untuk mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik yang mendasarkan pada konsep value for money, maka diperlukan sistem pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah yang baik.
14
3) Kejujuran dalam mengelola keuangan publik Pengelolaan keuangan daerah harus dipercayakan kepada staf yang memiliki integritas dan kejujuran yang tinggi. 4) Transparansi Transparansi adalah keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakankebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. 5) Pengendalian Penerimaan dan pengeluaran daerah dengan dana APBD harus sering dimonitor yaitu dibandingkan antara yang dianggarkan dengan yang dicapai. 2.4
Kompensasi Pemberian kompensasi merupakan fungsi strategik sumber daya manusia
yang mempunyai pengaruh terhadap fungsi dari organisasi dan aktivitas sumber daya lainnya. Setiap pegawai membutuhkan kompensasi sebagai balas jasa atas pekerjaan yang diberikan kepada organisasinya. Bentuk kompensasi bervariasi tergantung dari kebijakan manajamen. Kompensasi memberikan arti yang lebih luas dari sekedar gaji/ upah. Kompensasi mencakup finansial yang berupa uang dan nonfinansial yang dapat berupa penghargaan. Pemberian kompensasi merupakan hal yang penting untuk diperhatikan karena kompensasi berkaitan dengan kepuasan kerja individu yang pada akhirnya dapat memotivasi pegawai untuk meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kinerjanya. Menurut Ruky (2001) kompensasi terdiri dari:
15
1) Kompensasi langsung (direct compensation) diantaranya: a. Upah/Gaji pokok b. Tunjangan tunai sebagai suplemen upah/ gaji yang diterima setiap bulan atau minggu. c. Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan gaji ke13 dst. d. Bonus yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi kerja atau kinerja perusahaan. e. Insentif sebagai penghargaan untuk prestasi termasuk komisi bagi tenaga penjualan. f. Segala jenis pembagian catu/ (in natura/in kind) yang diterima rutin. 2) Kompensasi tidak langsung (indirect compensation) terdiri dari fasilitas, biaya pemeliharaan kesehatan, gaji yang diterima karyawan selama cuti dan izin meninggalkan pekerjaan, bantuan pendidikan gratis, dan bantuan lain-lain. Simamora (2004) mengemukakan bahwa kompensasi adalah bentuk finansial, jasa-jasa berwujud dan tunjangan-tunjangan yang diperoleh karyawan sebagai bagian dari sebuah hubungan sebagai pegawai. Kompensasi berkenaan tidak hanya pada imbalan-imbalan moneter atau ekstrinsik saja tapi juga pada tujuan-tujuan dan imbalan non moneter atau instrinsik organisasi seperti pengakuan, kesempatan promosi dan kesempatan kerja yang lebih menantang. 2.5
Lingkungan Kerja Lingkungan kerja adalah kondisi fisik dalam suatu organisasi/ perusahaan
yang dipersiapkan oleh manajemen yang meliputi penerangan yang cukup, suhu udara yang tepat, suara bising yang dapat dikendalikan, penggunaan warna, ruang
16
gerak yang diperlukan serta keamanan kerja karyawan. Menurut Nitisemito (2002), lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan misalnya kebersihan, keamanan, musik dan sebagainya. Dalam menciptakan lingkungan kerja agar dapat menunjang aktifitas organisasi maka diperlukan pengaturan lingkungan kerja seperti udara, cahaya dan warna. Sedarmayanti (2001) menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi dua yaitu: 1) Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Beberapa faktor yang yang dapat
mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan, yaitu : a. Penerangan/cahaya di tempat kerja b. Temperatur di tempat kerja c. Kelembaban di tempat kerja d. Sirkulasi udara di tempat kerja e. Kebisingan di tempat kerja f. Getaran mekanis di tempat kerja g. Bau-bauan di tempat kerja h. Tata warna di tempat kerja i. Dekorasi di tempat kerja j. Musik di tempat kerja
17
k. Keamanan di tempat kerja 2) Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi, yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun dengan bawahan serta hubungan sesama rekan kerja. Lingkungan kerja merupakan bagian dari motivasi eksternal pegawai untuk meningkatkan kinerja. Lingkungan kerja yang baik berpengaruh tehadap kenyamanan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan adanya kenyamanan, pegawai dapat bersemangat untuk bekerja sehingga produktivitas pun meningkat. Untuk itu pimpinan dalam suatu organisasi berperan penting memperhatikan lingkungan kerja pegawai. 2.6
Komitmen Organisasi Mowday et al (1979) menyebutkan bahwa komitmen organisasi merupakan
keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai organisasi. Komitmen organisasi sedikitnya memiliki tiga karakteristik. Pertama, memiliki kepercayaan yang kuat dan menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi. Kedua, kemauan yang kuat untuk berusaha atau bekerja keras untuk organisasi. Ketiga, keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Robbins and Judge (2008) mengemukakan bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu
serta
tujuan-tujuan
dan
keinginannya
untuk
mempertahankan
keanggotaanya dalam organisasi tersebut. Tiga dimensi terpisah komitmen organisasi adalah:
18
1) Komitmen afektif (affective commitment) yaitu perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. 2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. 3) Komitmen normatif (normative commitment) yaitu kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Allen and Meyer (1990) juga menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen pada organisasinya akan bekerja dengan penuh dedikasi karena karyawan yang memiliki komitmen tinggi menganggap bahwa hal yang penting harus dicapai adalah pencapaian tugas dalam organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen tinggi pada organisasi juga memiliki pandangan positif dan akan melakukan yang terbaik untuk kepentingan organisasi. Komitmen ini membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan tanggungjawab yang lebih menyokong kesejahteraan dan keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. 2.7
Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian sebelumnya yang menjadi acuan dalam penelitian ini
adalah : Handaru dkk. (2013) meneliti pengaruh karakteristik pekerjaan dan kompensasi terhadap komitmen organisasi pada PT “X” Jakarta dengan sampel 74 karyawan tetap dan analisisnya menggunakan regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara karakteristik pekerjaan, kompensasi terhadap komitmen organisasi dan terdapat pengaruh
19
signifikan antara karakteristik pekerjaan dan kompensasi secara simultan terhadap komitmen organisasi. Suryantari (2012) meneliti pengaruh kompensasi, pelatihan, kepemimpinan, lingkungan kerja dan motivasi pada kinerja pengelolaan anggaran belanja Universitas Udayana. Dengan menggunakan responden 112 orang yang terdiri dari unsur PPK, bendahara pengeluaran, bendahara pengeluaran pembantu dan staf keuangan
kantor
pusat,
diperoleh
hasil
bahwa
kompensasi,
pelatihan,
kepemimpinan, lingkungan kerja dan motivasi berpengaruh pada kinerja pengelolaan anggaran belanja Universitas Udayana. Murty dan Hudiwinarsih (2012) meneliti pengaruh kompensasi, motivasi dan komitmen organisasional terhadap kinerja karyawan bagian akuntansi pada perusahaan manufaktur di Surabaya. Dengan jumlah responden sebanyak 32 orang menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan kompensasi secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan, motivasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan, komitmen organisasional secara parsial berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja karyawan. Suarya (2010) meneliti pengaruh kompensasi, pelatihan, kepemimpinan, dan lingkungan kerja pada kinerja pengelolaan anggaran Pemerintah Kabupaten Tabanan. Dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan responden sebesar 78 orang PPK dari empat SKPD memberikan hasil yaitu kompensasi, pelatihan, kepemimpinan, dan lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja
20
pengelolaan anggaran. Lebih lanjut ditemukan bahwa variabel kompensasi paling dominan berpengaruh daripada variabel lainnya. Akhtar (2014) meneliti pengaruh lingkungan kerja, paket gaji dan persepsi pegawai pada komitmen organisasi. Studi ini dilakukan pada perusahaan kategori kecil dan menengah di Pakistan menggunakan responden sebanyak 380 orang. Data dianalisis dengan menggunakan regresi berganda. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan kerja memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komitmen organisasi, paket gaji meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi, dan persepsi karyawan yang baik tentang organisasi juga berhubungan positif dengan komitmen karyawan pada organisasi. Stillo (2011) meneliti pengaruh gaji sebagai bentuk strategi yang memotivasi peningkatan kualitas dan stabilitas administrasi publik di Albania. Peneliti melakukan studi perbandingan dengan sampel staf sektor publik dan swasta menggunakan 500 kuisioner dan wawancara. Hasil penelitian ini bahwa salah satu bentuk kompensasi yaitu gaji diidentifikasi merupakan motivasi terbesar dari karyawan untuk dapat meningkatkan kinerja baik pada sektor publik maupun swasta. Anvari et al (2011) meneliti hubungan antara kompensasi terhadap komitmen organisasi afektif di universitas ilmu medis Iran. Sampel penelitian ini sebanyak 301 orang staf non akademis di universitas ilmu medis Iran menggunakan simple random sampling. Data diambil menggunakan metode survey dan dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kompensasi berpengaruh positif signifikan terhadap komitmen organisasi.
21
Ali et al (2010) meneliti pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) pada komitmen karyawan dan implikasinya pada kinerja organisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan eksplorasi, dan data primer dikumpulkan dari 371 profesional yang bekerja di berbagai sektor di Pakistan. Hipotesis diuji dengan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM). Hasil penelitian ini menemukan pengaruh positif yang sangat signifikan antara CSR pada komitmen karyawan, CSR terhadap kinerja organisasi, dan komitmen organisasi terhadap kinerja organisasi. Chong and Eggleton (2007),
meneliti pengaruh asimetri informasi dan
komitmen organisasi pada hubungan antara tingkat ketergantungan pada skema kompensasi berbasis insentif dan kinerja manajerial. Responden diambil dari 109 manajer, pada perusahaan manufaktur Australia. Data diambil menggunakan metode survei yang dianalisis dengan menggunakan teknik regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kompensasi berbasis insentif mampu meningkatkan kinerja manager melalui komitmen organisasi dan asimetri informasi.