9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Goal-SettingTheory Teori penetapan tujuan atau goal-setting theory awalnya dikemukakan oleh Locke (1968), yang menunjukkan adanya keterkaitan antara tujuan dan kinerja seseorang terhadap tugas. Teori ini menjelaskan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh dua buah cognition yaitu values (nilai) dan intentions (tujuan). Orang telah menentukan goal atas perilakunya di masa depan dan goal tersebut akan mempengaruhi perilaku yang sesungguhnya terjadi. Perilakunya akan diatur oleh ide (pemikiran) dan niatnya sehingga akan mempengaruhi tindakan dan konsekuensi kinerjanya. Umumnya, manajer menerima penetapan tujuan sebagai hal yang sangat berarti untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja. Goal merupakan sesuatu yang ingin dilakukan seseorang secara sadar. Sesungguhnya penentuan sasaran (goal) merupakan sesuatu yang sederhana, namun kesederhanaan ini tidak dapat diartikan secara sederhana ataupun biasa, melainkan harus ditanggapi dengan perencanaan yang matang. Dengan penentuan sasaran (goal) yang spesifik, seseorang akan mampu membandingkan apa yang telah dilakukan dengan sasaran (goal) itu sendiri, dan kemudian menentukan dimana posisinya saat itu. Goal-setting mengijinkan individu untuk melihat hasil kerja disaat ini dan membandingkannya dengan hasil kerja dimasa lalu. Hal ini akan menimbulkan sebuah motivasi tersendiri bagi individu untuk lebih berusaha lebih baik lagi. Kusuma (2013) menyatakan bahwa goal-setting berpengaruh pada kinerja pegawai dalam organisasi publik. Salah satu bentuk nyata dari penerapan
9
10
goal-setting ini adalah anggaran. Sebuah anggaran tidak hanya mengandung rencana dan jumlah nominal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan, tetapi juga mengandung sasaran yang spesifik yang ingin dicapai organisasi. Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, temuan utama dari goal-setting theory adalah bahwa orang yang diberi tujuan yang spesifik, sulit tapi dapat dicapai, memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang menerima tujuan yang mudah dan spesifik atau tidak ada tujuan sama sekali. Pada saat yang sama, seseorang juga harus memiliki kemampuan yang cukup, menerima tujuan yang ditetapkan dan menerima umpan balik yang berkaitan dengan kinerja. 2.2. Pengertian AKIP Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, yang selanjutnya disingkat AKIP, adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. LAKIP merupakan dokumen yang berisi gambaran perwujudan AKIP yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga sesuai dengan SK LAN No. 239/IX/6/8/2003 tahun 2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Setiap instansi pemerintah berkewajiban untuk menyiapkan, menyusun dan menyampaikan laporan kinerja secara tertulis, periodik dan melembaga. Pelaporan kinerja ini dimaksudkan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja instansi pemerintah dalam suatu tahun anggaran yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan dan
11
sasaran instansi pemerintah. Instansi pemerintah yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkan dan menjelaskan keberhasilan dan kegagalan tingkat kinerja yang dicapainya. Pelaporan kinerja oleh instansi pemerintah ini kemudian dituangkan dalam dokumen LAKIP. LAKIP dapat dikategorikan sebagai laporan rutin, karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali. Dalam rangka memenuhi tujuan tersebut perlu diatur prinsip-prinsip dalam penyusunan LAKIP agar LAKIP yang disusun tersebut berkualitas, sehingga dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada para stakeholders/pemangku kepentingan terhadap proses penyelenggaraan pemerintahan. Menurut LAN dan BPKP (2000), LAKIP yang berkualitas harus memenuhi prinsip-prinsip laporan yang baik yaitu sebagai berikut: 1) Relevance (relevan) Relevance atau relevan berhubungan dengan tujuan dari suatu organisasi dan tergantung dari kegunaan dari informasi itu. Jadi relevan adalah kriteria yang mendasar yang menentukan kegunaan dari properti informasi lain. Sebagai contoh, informasi yang berhubungan dengan produksi untuk bulan ini mungkin sangat relevan bagi manajer produksi yang berkepentingan mengejar target produksi. 2) Accuracy/reliability (akurat dan handal) Informasi yang bebas dari kesalahan dan tepat dapat dikatakan akurat. Informasi akan lebih berguna bagi para manajer jika akurat dan ini adalah kualitas dari informasi itu. Akurasi dapat terjadi pada waktu pengukuran maupun pengolahan data. Akurasi ini dapat ditingkatkan
12
melalui kehati-hatian dalam memperoleh dan memproses data dan menyampaikannya kepada pengguna informasi. Pengendalian dan ukuran-ukuran keamanan data yang terbangun dalam system informasi sangat diyakini sebagai cara yang efektif untuk memperoleh keakuratan informasi 3) konsisten dan dapat dibandingkan Laporan dapat memberikan konsistensi dan gambaran keadaan masa yang dilaporkan dibandingkan dengan periode-periode lain. 4) Verifiability/traceability (verifikasi/ditelusuri) Data capaian kinerja berupa capaian indikator kinerja input, output dan outcome pada tingkat kegiatan dan sasaran yang disajikan pada LAKIP harus dapat diuji kebenarannya melalui verifikasi dan penelusuran terhadap dokumen sumber capaian kinerja untuk masing-masing indikator. 5) Timeliness (Tepat Waktu) Tepat waktu biasanya mempunyai keterkaitan dengan dua hal penting, yaitu frekuensi dan penangguhan. Frekuensi menunjukkan seberapa sering informasi dikinikan (update) dan diukur sebagai interval waktu antara dua laporan yang berisi informasi sejenis. Penangguhan, yaitu panjangnya waktu yang habis (expire) dari saat selesai suatu kejadian sampai informasi ke tangan pengguna. Makin lama “waktu yang habis” itu, sudah tentu makin berkurang kegunaannya bagi pengguna. Karena bagi pengguna informasi yang akan mengambil keputusan dengan informasi itu juga akan didesak oleh keterbatasan waktu.
13
6) Understandability (dapat dimengerti) Laporan harus disajikan dapat dimengerti oleh pengguna laporan. 7) Prinsip lingkup pertanggungjawaban. Hal-hal
yang
dilaporkan
harus
proporsional
dengan
lingkup
kewenangandan tanggung jawab masing-masing dan memuat baik mengenai kegagalan maupun keberhasilan. 8) Prinsip prioritas. Yang dilaporkan adalah hal-hal yang penting dan relevan bagi pengambilan
keputusan
dan
pertanggungjawaban
instansi
yang
diperlukan untuk upaya-upaya tindak lanjutnya. 9) Prinsip manfaat Manfaat laporan harus lebih besar daripada biaya penyusunannya, dan laporan harus mempunyai manfaat bagi peningkatan pencapaian kinerja. 10) Mengikuti standar laporan yang ditetapkan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. 2.3. Pengertian Kompetensi Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya atau karakteristik dasar yang memiliki hubungan kasual atau sebagai sebab-akibat dengan kriteria yang dijadikan acuan, efektif atau berkinerja prima atau superior di tempat kerja atau pada situasi tertentu (Togatorop, 2011). Kompetensi terletak pada bagian dalam setiap manusia dan selamanya ada pada kepribadian seseorang yang dapat memprediksikan tingkah laku dan performansi secara luas pada semua situasi dan tugas pekerjaan atau jobs task.
14
Adapun makna yang terkandung dari defenisi kompetensi ini adalah: 1) Karakteristik dasar (uderlying characteristic) kompetensi adalah bagian dari kepribadian yang mendalam dan melekat pada seseorang serta mempunyai perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan tugas pekerjaan. 2) Hubungan
kausal
(causally
related)
berarti
kompetensi
dapat
menyebabkan atau digunakan untuk memprediksikan kinerja seseorang, artinya jika mempunyai kompetensi yang tinggi, maka akan mempunyai kinerja yang tinggi pula (sebagai akibat). 3) Kriteria (criterian referenced) yang dijadikan sebagai acuan,bahwa kompetensi secara nyata akan memprediksi seseorang dapat bekerja dengan baik, harus terukur dan spesifik atau terstandar. Memiliki sumber daya manusia adalah keharusan bagi entitas. Mengelola sumber daya manusia berdasarkan kompetensi diyakini bisa lebih menjamin keberhasilan mencapai tujuan. Sebagian besar entitas memakai kompetensi sebagai dasar dalam memilih orang, mengelola kinerja, pelatihan dan pengembangan serta pemberian kompensasi. Analisis kompetensi disusun sebagian besar untuk pengembangan karier, tetapi penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan untuk mengetahui efektivitas tingkat kerja yang diharapkan. Keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan sikap (attitude) merupakan faktor yang menentukan penilaian terhadap kompetensi sumber daya manusia dalam menghasilkan tingkat kinerja pada suatu entitas.
15
2.4. Pengertian Komitmen Organisasi Menurut Mowday et al. (1979), komitmen organisasi merupakan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai organisasi. Komitmen organisasi sedikitnya memiliki tiga karakteristik. Pertama, memiliki kepercayaan yang kuat dan menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi. Kedua, kemauan yang kuat untuk berusaha atau bekerja keras untuk organisasi. Ketiga, keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi. Komitmen sebagai sikap yang memiliki keinginan kuat untuk tetap berorganisasi tertentu, berusaha keras sesuai keinginan organisasi dan keyakinan terhadap penerimaan dan nilai organisasi. Sedangkan menurut Sutrisno (2011) komitmen organisasi adalah perasaan keterkaitan atau kerikatan psikologis dan fisik pegawai terhadap organisasi tempat ia bekerja atau organisasi dimana ia menjadi anggotanya. Komitmen organisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya ketidakjelasan
peran,
kepuasan
kerja
dan
kepercayaan
organisasional.
Ketidakjelasan peran dapat mengurangi komitmen bawahan untuk mencapai tujuan organisasi, sedangkan kepuasan kerja yang dirasakan bawahan dapat menimbulkan komitmen yang tinggi. Bawahan dikatakan memiliki komitmen organisasi yang tinggi jika lebih mengutamakan kepentingan organisasi dari pada kepentingan pribadi atau kelompoknya. Bawahan dikatakan memiliki komitmen organisasi yang rendah jika lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya dari pada kepentingan organisasi. Keselarasan tujuan ini pada akhirnya meningkatkan komitmen organisasi. Kepercayaan
organisasi
berkaitan
dengan
sejauh
mana
organisasi
memperhatikan kepentingan bawahan, semakin tinggi kepercayaan bawahan
16
terhadap organisasi, maka semakin tinggi pula komitmen bawahan terhadap organisasi. Ketidakjelasan peran dapat mengakibatkan bawahan ragu-ragu dalam melakukan kegiatan, yang akhirnya mengurangi komitmen bawahan untuk mencapai tujuan. Untuk menghindarinya, bawahan diikut sertakan dalam mengambil keputusan, misalnya dalam penyusunan anggaran. 2.5. Penelitian Terdahulu Amri (2012) meneliti tentang pengaruh penerapan anggaran berbasis kinerja, pertanggungjawaban belanja dan audit intern terhadap kualitas laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) SKPD. Dengan menggunakan metode sensus, populasi dalam penelitian ini dijadikan sebagai sampel penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian, uji asumsi klasik, dan uji hipotesis dengan analisis linear berganda. Pengujian hipotesis dengan uji F dan uji t. Hasil uji F membuktikan bahwa anggaran berbasis kinerja, pertanggungjawaban belanja dan audit intern secara simultan berpengaruh terhadap kualitas LAKIP SKPD, sedangkan variabel anggaran berbasis kinerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kualitas LAKIP SKPD dan variabel pertanggungjawaban belanja tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas LAKIP SKPD. Nusantoro
(2012)
meneliti
tentang
efektivitas
penerapan
sistem
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) di Kabupaten Tasikmalaya. Daerah penelitian adalah Kabupaten Tasikmalaya yang diwakili oleh Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian dan Dinas Pekerjaan Umum untuk memperoleh gambaran yang representatif dampak penerapan SAKIP terhadap
17
kinerja Kabupaten Tasikmalaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penerapan SAKIP. Pengumpulan data sekunder dari LAKIP untuk mengetahui kinerja efektivitas pencapaian sasaran, baik dalam bentuk data time series tahun 2003-2006 maupun data cross section berdasarkan dinas atau bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pekerjaan umum. Metode pengambilan data primer dilakukan dengan angket dan sampling menggunakan teknik stratified-random sampling. Pengumpulan data sekunder dari LAKIP dipilih berdasarkan prioritas renstra bidang pendidikan, kesehatan, pertanian dan pekerjaan umum sama seperti pada pengumpulan data primer. Hasil penelitian Nusantoro (2012) adalah sejak dikeluarkannya pedoman LAKIP pada tahun 2003, penerapan SAKIP memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kinerja Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya secara keseluruhan. SAKIP juga berpengaruh signifikan terhadap kinerja sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pekerjaan umum. SAKIP berpengaruh dengan bobot berbeda terhadap kinerja sektor pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pekerjaan umum. Pengaruh paling besar terjadi pada sektor pendidikan dibandingkan dengan ketiga sektor lainnya. Pedoman LAKIP, komitmen pemerintah
daerah
dan
dukungan
pemerintah
pusat
secara
signifikan
mempengaruhi efektivitas penerapan SAKIP. Faktor-faktor yang paling konsisten dan paling tinggi pengaruhnya terhadap efektivitas penerapan SAKIP adalah: rencana lima tahunan, rencana aksi, anggaran, komitmen pimpinan, koordinasi, pelatihan, keterkaitan dengan DAU dan DAK, bimbingan LAN, pengawasan BPKP, dan tanggap terhadap kebutuhan masyaratkat.
18
Badruzman dan Irna (2012) meneliti tentang pengaruh penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah terhadap penerapan good governance. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan sensus. Metode analisis yang digunakan adalah analisis koefisien korelasi dan analisis koefisien determinasi untuk memproses yang yang dikumpulkan dengan survey kuesioner. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa (1) penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada 14 Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ciamis adalah baik, (2) penerapan good governance pada 14 Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ciamis adalah baik, dan (3) implementasi sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah berkorelasi kuat dengan penerapan good governance pada 14 dinas daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Ciamis. Yue (2010) meneliti tentang pengaruh kompetensi aparatur pemerintah daerah, penerapan akuntabilitas keuangan, dan ketaatan terhadap peraturan perundangan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP), dimana jumlah responden dalam penelitian ini adalah berjumlah 94 orang yang bertugas membuat LAKIP pada masing-masing SKPD. Melalui uji statistik regresi berganda didapatkan hasil penerapan akuntabilitas keuangan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan berpengaruh positif dan signifikan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sedangkan kompetensi aparatur pemerintah daerah tidak berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Ardianto (2011) meneliti tentang pengaruh penerapan akuntabilitas keuangan, pemanfaatan teknologi informasi, kompetensi aparatur pemerintah
19
daerah dan ketaatan terhadap peraturan perundangan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (AKIP). Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan alat uji statistik regresi linear berganda. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 84 orang pembuat LAKIP pada masingmasing SKPD. Hasil dari penelitian tersebut adalah penerapan akuntabilitas keuangan dan ketaatan terhadap peraturan perundangan berpengaruh signifikan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah sedangkan pemanfaatan teknologi informasi dan kompetensi
aparatur pemerintah
daerah tidak
berpengaruh terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya disajikan pada Lampiran 1.