BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. HARDINESS 1. Pengertian Hardiness Konsep Hardiness awalnya dikemukakan oleh Maddi dan Kobasa pada tahun 1979 sebagai suatu vairiabel yang ada dalam diri individu untuk menerima dan menghadapi sesuatu yang terjadi dalam kehidupan seorang individu. Maddi (2013) menyatakan hardiness adalah karakteristik kepribadian yang membuat individu menjadi lebih kuat, tahan, stabil, dan optimis dalam menghadapi stress dan mengurangi efek stress yang dihadapi, senang bekerja keras karena dapat menikmati apa yang dia lakukan, memandang hidup ini sebagai sesuatu yang harus diisi agar memiliki makna, dan juga mampu mengahadapi setiap peristiwa dalam kehidupannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rowe M. Michelle (1998) yang menyatakan individu dengan hardiness yang tinggi memiliki stress yang rendah dan dapat mengurangi burnout pada pekerja. Kobasa
(dalam
Cooper,
2015)
mendeskripsikan
individu
dengan
kepribadian hardiness yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup mereka, memiliki komitmen dalam setiap kegiatan dan mengubah suatu kegiatan atau kejadian menjadi hal yang positif dan menantang, bukan sebagai hal yang negatif dan mengancam mereka. Sebaliknya, individu dengan kepribadian hardiness yang rendah memiliki 14
ketidakyakinan akan kemampuan dirinya dalam mengendalikan situasi dan tidak berdaya. Individu yang memiliki hardiness yang tinggi mempunyai serangkaian sikap yang membuat individu tahan terhadap stress, ( dalam Lusiana, 2009) . Baumeister (2007) mendefenisikan hardiness sebagai trait kepribadian yang diasosiasikan dengan kemampuan individu untuk mengatur dan merespon kejadian yang dialami yang dapat menimbulkan stress dengan mengubah lingkungan yang berpotensi buruk menjadi kesempatan untuk belajar. Santrock (2002) menyatakan hardiness adalah gaya kepribadian yang dikarakteristikkan oleh suatu komitmen (dari pada aliensi/ persaingan), pengendalian, dan persepsi terhadap masalah-masalah sebagai tantangan (daripada sebagai ancaman) Sarafino (2011)
menyatakan,
hardiness merupakan suatu struktur
kepribadian yang membedakan individu dalam menanggapi lingkungan yang penuh dengan stress. Menurut Cooper (2015) Hardiness adalah kemampuan menanggung penderitaan, atau jika dikaitkan dengan stress, hardiness adalah kemampuan bertahan dalam situasi stress tanpa merasa tertekan. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hardiness adalah karakteristik
kepribadian
yang
membuat
individu
menjadi
lebih
kuat,tahan,stabil,optimis. Individu yang memiliki hardiness tinggi akan memiliki kepercayaan bahwa individu tersebut dapat survive dan mampu tumbuh belajar dan
menghadapi
tantangan.
Hardiness
pada
individu
terlihat
dalam
komitmen,kontrol, dan persepsi nya terhadap masalah sebagai tantangan.
15
2. Karakteristik Individu yang memiliki Hardiness Maddi (2013) mengungkapkan 3 karakteristik umum orang yang memiliki hardiness yaitu : a. Percaya bahwa mereka bisa mengendalikan dan mempengaruhi peristiwa yang terjadi dalam hidupnya b. Memiliki peranan yang dalam atahu rasa komitmen yang tinggi terhadap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya c. Menganggap perubahan sebagai kesempatan untuk berkembang lebih baik 3.
Aspek Hardiness
Menurut Maddi (2013) ada 3 dimensi dari hardiness yang dikonsepkan sebagai 3C. Dimensi-dimensi hardiness tersebut adalah: a.
Tantangan
Challenge (tantangan) merupakan kemampuan individu untuk menerima bahwa kehidupan tidak lepas dari kejadian-kejadian yang menyebabkan stres. Kejadian yang menyebabkan stress dianggapanya sebagai tantangan dalam hidup. Individu melihat perubahahan peristiawa dalam hidup yang menyebabkan stres sebagai kesempatan untuk menjadi lebih bijaksana dan meningkatkan kemampuan dengan belajar melalui lingkungan stress yang dihadapi. Dalam hal ini, individu berpikir bahwa ia dapat belajar dari kegagalan serta keberhasilan dan tekanan 16
yang dialami dapat menjadikan peluang belajar. b.
Kontrol
Kontrol merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk tetap berusaha mengubah lingkungan yang penuh stres menjadi kesempatan untuk belajar dan bertumbuh, walaupun dalam keadaan sangat buruk. Individu yang memiliki control percaya bahwa ia dapat mengontrol setiap kejadian atau pekerjaan yang dimiliki sehingga ia tidak merasa tertekan dan stress. c. Komitmen Komitmen adalah kecenderungan individu untuk meyakini bahwa dalam keadaan buruk sekalipun, individu akan tetap bertahan dalam situasi tersebut. Individu yang berkomitmen tidak akan melakukan penghindaran maupun menjauhkan diri. 4.
Fungsi Hardiness
Hardiness mengandung arti suatu konstelasi karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu lebih kuat,tahan stabil,dan optimis dalam menghadapi stress dan mengurangi efek negatif yang dihadapi. Fungsi dari hardiness adalah : 1. Membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih memiliki toleransi terhadap stress 2. Mengurangi akibat buruk dari stress dan kemungkinan terjadinya burnout dan penilaian negatif terhadp suatu kejadian yang mengancam. 17
3. Meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil 4. Membantu individu membuat keputusan yang baik ketika stress 5.
Faktor yang Mempengaruhi Hardiness
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi Hardiness seseorang antara lain : 1.
Dukungan sosial, Maddi (2002) menyatakan dukungan sosial
memiliki hubungan yang signifikan dengan hardiness seorang individu, apabila individu memiliki dukungan sosial yang baik maka hardiness individu juga akan meningkat. Dukungan sosial juga terkait langsung dengan salah satu aspek dari hardiness yaitu komitmen. Dukungan sosial dapat berbentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara atau orang yang dicintai ketika individu yang bersangkutan sedang menghadapi masalah yang dapat menimbulkan stress sehingga membuat individu lebih kuat dan dapat mengurangi beban dalam hidupnya. 2.
Pola asuh orang tua, Maddi (2002) menyatakan Interaksi antara
orang tua dan anak, dan juga pola asuh orang tua berperan dalam meningkatkan hardiness pada diri seorang individu. Orang tua yang mengajarkan supportive problem solving pada anak juga dapat membantu meningkatkan hardiness pada seorang anak.
18
3.
Lingkungan keluarga, Singh (2013) menyatakan, lingkungan
keluarga merupakan prediktor hardiness
seseorang, dikatakan individu yang
tinggal dengan orang tua yang suportif akan memiliki cara penyelesaian masalah yang baik sehingga akan meningkatkan hardiness pada individu 4.
Gender, Bartone & Priest (2001) menyatakan, pria dan wanita akan
berbeda dalam menanggapi atau menghadapi masalah yang terjadi dalam hidup. Wanita sudah terbiasa mengalami rasa sakit mulai dari siklus menstruasi setiap bulan, mengandung, melahirkan, dan wanita juga dikatakan sebagai mahkluk yang sabar, mengalah, dan lemah lembut. Pria lebih menggunakan pemikiran yang logis dan juga pria dikatakan lebih egois dalam menghadapi suatu hal. Dengan melihat tugas pada pria dan wanita, membuat gender sebagai prediktor dalam menentukan hardiness individu. 5.
Emotional Intelligence, Tjiong (2000) menyatakan, emotional
intelligence berhubungan secara signifikan dengan hardiness. individu yang memiliki emotional intelligence yang tinggi cenderung dapat mengontrol reaksi terhadap suatu peristiwa yang dihadapi secara efektif. 6.
Etnis , menurut Dibartolo (2001), etnis yang serupa dengan
seseorang akan membuat individu merasa aman, nyaman untuk berbagi cerita dan masalah yang terjadi dalam hidup, sehingga mempengaruhi hardiness
pada
seseorang.
7.
Motif Individu, menurut McRae dan Costa ( 2000) motif
personal dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kepribadian individu. Dari hasil 19
penelitian diatas terlihat bahwa motif individu mempengaruhi pembentukan kepribadian individu. Hardiness merupakan bagian dari karakteristik kepribadian individu.
6. Hardiness pada Suku Simalungun Suku Simalungun sebagai salah satu suku di Indonesia memiliki ciri kebudayaan yang berbeda dibandingkan suku lainnya. Walaupun merupakan bagian dari suku Batak, namun suku Simalungun lebih terkenal dengan suku Batak yang halus diakibatkan tutur bahasa dan nada suaranya yang cenderung mengayun dan mendayu- dayu apabila berbicara dengan orang
lain. Suku
Simalungun memiliki pedoman utama yaitu Habonaron do Bona dalam kehidupannya. Hal ini berarti bahwa dalam bermasyarakat suku Siamlungun harus mengutamakan kebenaran diatas segala- galanya. Suku Simalungun memiliki falsafah” totik mansiatkon diri, marombow bani simbuei” yang artinya cermat (bijak) membawakan diri dan mengabdi kepada khalayak umum sehingga selalu menyenangkan bagi orang lain (Saragih, 2008). Menurut Saragih, hal ini lah yang membuat masyarakat Simalungun lebih sering menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Masyarakat Simalungun cenderung untuk menghindari konflik, bahkan ketika mempertahankan pendapatnya sendiri pun. Kecenderungan orang Simalungun untuk mengikut arus, membuat situasi yang nyaman, dan menciptakan hubungan yang aman dan damai seringkali membuat orang Simalungun kurang memiliki daya tahan
untuk menghadapi
berbagai situasi yang dialami dalam kehidupannya, Saragih ( 2008 ) menyatakan orang Simalungun seringkali berpasrah diri dalam menghadapi kehidupannya. 20
Sehingga kurang memaknai setiap pekerjaan yang dikerjakan, dan juga berpengaruh terhadap kerja keras dan keinginan untuk berkompetisi. Pada suku Simalungun, terdapat sebuah budaya yang mengutamakan “Ahap” atau perasaan dalam melakukan sebuah tindakan, begitu juga dalam berperilaku dengan orang lain, orang Simalungun kebanyakan takut melukai perasaan orang lain, karena memikirkan bagaimana rasa sakit yang dialami orang lain, jika dihadapkan pada situasi yang sama. Hal ini juga mengakibatkan suku Simalungun kurang baik dalam penyelesaian masalah, dan menghadapi lingkungan yang penuh stress karena sering kali suku Simalungun menghindari untuk menyelesaikan masalah yang dimilikinya dengan orang lain, dan juga menghindari untuk menghadapi suatu keadaan yang penuh tekanan ( Saragih, 2008). Sehingga dari hal ini terlihat orang Simalungun kurang terbiasa dalam menghadapi situasi stress dalam kehidupannya. Menurut Maddi, dan Kobasa, sikap dan keterampilan untuk bertahan dalam keadaan stress, kemampuan bertahan dalam berbagai peristiwa baik dan buruk dalam kehidupannya disebut juga dengan Hardiness (Maddi, 2013).
21
B.
MOTIF
1.
Pengertian Motif
McGraw ( 2010 ) menyatakan bahwa motif adalah dorongan yang sudah terikat pada suatu tujuan. Misalnya, apabila seseorang merasa lapar, itu berarti kita membutuhkan atau menginginkan makanan. Motif menunjuk hubungan sistematik antara suatu respon dengan keadaan dorongan tertentu. Robbins (2008) menyatakan motif adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuan. Moskowitz (2005) menyatakan motif didefinisikan sebagai keinginan atau dorongan yang menentukan perilaku seseorang, motif juga dapat mengurangi diskrepansi yang terjadi dalam kehidupan seorang individu. McShane ( 2008 ) menyatakan motif adalah dorongan atau kekuatan yang ada dalam diri seseorang yang menentukan arah, kekuatan, dan ketekunan suatu perilaku seseorang. Luthanz (2005) menyatakan motif adalah sebuah proses yang dimulai dari adanya kekurangan baik secara fisiologis maupun psikologis yang menimbulkan perilaku untuk mencapai sebuah tujuan ataupun insentif. Rosenberg (2010) menyatakan motif adalah dorongan yang terdapat dalam diri individu untuk mencapai sebuah tujuan Allport (dalam Schultz, 2005) menyatakan motif adalah kekuatan yang mendorong individu untuk menjadi lebih mandiri, independen, dan dapat mempengaruhi situasi kehidupan individu. Byrne (2006)
menyatakan motif
adalah suatu alasan seseorang untuk berperilaku. Baik itu perilaku yang 22
kooperatif, perilaku untuk menghindari hasil yang negatif, dan perilaku untuk menghasilkan hal yang terbaik. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa motif adalah dorongan, kekuatan, dan keinginan yang terdapat dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu untuk mencapai sebuah tujuan. Semua tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif. Tingkah laku juga disebut tingkah laku secara refleks dan berlangsung secara otomatis dan mempunyai maksud-maksud tertentu walaupun maksud itu tidak senantiasa sadar bagi manusia. 2.
Pengertian Motif Menurut McClelland
Teori Kebutuhan McClelland
dikembangkan oleh David McClelland.
David McClelland (dalam McShane, 2008) menyatakan kekuatan kebutuhan atau motif seseorang dapat berubah melalui pengaruh sosial. McClelland (dalam McShane,2008) menyatakan bahwa kebutuhan seseorang dapat diperkuat melalui pembelajaran dan kondisi sosial. Oleh karena itu David McClelland mengembangkan teori motif sosial yang terdiri dari Need for Achievement, Need for Affiliation, dan Need for Power Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan yaitu kebutuhan pencapaian (need for achievement), kebutuhan kekuasaan (need for power), dan kebutuhan hubungan (need for affiliation). Teori kebutuhan McClelland menyatakan bahwa pencapaian, kekuasaan/kekuatan dan hubungan merupakan tiga kebutuhan penting yang dapat membantu menjelaskan motivasi. Kebutuhan pencapaian merupakan 23
dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, dan berjuang untuk berhasil. Kebutuhan kekuatan dapat membuat orang lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya, dan kebutuhan hubungan merupakan keinginan antarpersonal yang ramah dan akrab dalam lingkungan organisasi.
David McClelland (dalam Shaffer, 2006) menjelaskan tiga jenis motif, yang diidentifikasi dalam buku ”The Achieving Society” :
a. Need for Achievement
Menurut McClelland (dalam Shaffer, 2006) Motivasi berprestasi ( Achievement Motivation ) adalah kecenderungan umum yang dimiliki untuk berjuang demi memperoleh keberhasilan dan meraih suatu standard keunggulan yang tinggi. Individu yang memiliki semangat kerja yang tinggi akan bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan efisien dibandingkan hasil sebelumnya.
Wigfield (2007) mengungkapkan motivasi berprestasi adalah dorongan dan keinginan untuk menyelesaikan pekerjaan yang menantang. Orang yang memiliki motivasi berprestasi biasanya bekerja secara mandiri dan cepat serta senang berkompetisi
McClelland ( dalam McShane, 2008 ) menyatakan individu dengan Need for Achievement tinggi memiliki karakteristik antara lain :
24
1.Memilih untuk bekerja sendiri dibandingkan bekerja bersama kelompok
2.Memilih tugas dengan resiko yang sedang
3.Membutuhkan variasi tantangan tugas
4.Memiliki kemauan yang kuat (persistance)
5. Bertanggungjawab terhadap pekerjaan atau tugas 6.Inovatif b. Need for Affiliation Menurut McClelland ( dalam McShane, 2008) , Need for Affiliation adalah kebutuhan akan suatu persahabatan, berkaitan dengan adanya keinginan untuk memastikan, memelihara atau mementingkan efektivitas dari hubungan dengan individu atau kelompok. Keinginan berafiliasi ini muncul saat individu ingin disukai, ingin diterima sebagai sahabat oleh individu-individu lain atau ingin dimaafkan. Sehingga
individu dengan skor n Affiliation yang tinggi
mengindikasikan bahwa individu yang bersangkutan memiliki harapan tentang kehangatan dan hubungan yang erat dengan individu lain. Murray
(dalam Hall,1993) memberikan definisi Need
for
Affiliation
adalah mendekatkan diri, bekerja sama atau membalas ajakan orang lain yang bersekutu (orang lain yang menyerupai atau menyukai subyek), membuat senang dan mencari afeksi dari objek yang disukai, patuh dan tetap setia kepada orang lain.
25
McClelland ( dalam McShane, 2008) menyatakan individu dengan Need for Affiliation tinggi memiliki karakteristik sebagai berikut : 1.Mencari penerimaan dari orang lain 2.Menghindari konflik dan konfrontasi, dan memilih untuk bekerja dengan orang lain 3.Memilih
mengerjakan
tugas
yang
dapat
meningkatkan
image
menyenangkan pada diri mereka 4.Secara aktif mendukung orang lain 5.Berusaha meredam permasalahan yang terjadi 6. Cenderung menjaga hubungan interpersonal yang terbentuk 7. Conform dengan nilai, harapan dan norma individu lain 8. Memiliki ketakutan terhadap penolakan c. Need for Power David Mc Clelland ( dalam Shaffer, 2006) memberikan definisi Need for Power sebagai keinginan untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi perilaku mereka, atau memiliki rasa tanggung jawab pada orang lain. Selain itu, Veroff dan Winter (dalam Hartiaji ,2009) mengatakan Need for Power adalah disposisi yang mengarahkan perilaku untuk mencapai kepuasan dengan tujuan tertentu, yaitu kekuasaaan dengan jalan mengontrol dalam arti mempengaruhi orang lain. 26
McClelland ( dalam McShane, 2008) menyatakan individu dengan Need for Power tinggi memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Memiliki keinginan untuk mencari prestige, dan dominan dalam sebuah kelompok 2. Melakukan aktivitas supaya dikenal anggota kelompok 3.Mementingkan adanya hubungan yang dibatasi oleh posisi atasan dan bawahan 4. Mampu memimpin kelompok 5.Kuat, berani ambil resiko 6. Senang menjadi pusat perhatian,memberikan arahan bagi kelompok, dan mengatur orang lain 7. Memiliki kemampuan verbal yang baik 3.
Faktor yang Mempengaruhi Motif McClelland
McClelland (dalam
Shaffer,2006)
mengungkapkan bahwa
motivasi
berprestasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. A. Faktor Intrinsik Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi adalah
27
1.Kemungkinan sukses yang akan dicapai,mengacu pada persepsi individu tentang kemungkinan sukses yang akan dicapai ketika melakukan tugas. 2. Self-Efficacy, mengacu pada keyakinan individu pada dirinya untuk mampu mencapai kesuksesan 3. Value,mengacu pada pentingnya tujuan hidup individu 4. Ketakutan terhadap kegagalan,mengacu pada perasaan individu tentang kegagalan yng membuat individu semakin termotivasi untuk sukses 5. Jenis kelamin,Usia 6. Faktor Kepribadian b. Faktor Ekstrinsik Faktor ekstrinsik merupakan faktor
yang mempengaruhi
motivasi
berprestasi seseorang yang berasal dari luar individu tersebut. Atkinson (dalam Hartiaji, 2009) menyatakan bahwa faktor ekstrinsik mengacu pada situasi dan adanya kesempatan yang dimiliki oleh seorang individu. C. SUKU SIMALUNGUN Suku Simalungun merupakan bagian dari suku Batak. Menurut sejarah, Simalungun dikatakan sebagai sub suku Batak yang berasal dari Toba Samosir namun pada akhirnya pergi meninggalkan Pulau Samosir ke arah timur Pulau Samosir yang saat ini menjadi daerah Simalungun (Raya,2008). Simalungun berasal dari dua pengertian. Pertama adalah berasal dari kata “ sima “ dan “lungun”. “ Sima” berarti peninggalan dan “lungun” berarti sepi atau lengang. 28
Simalungun memiliki arti peninggalan yang sepi. Pengertian lain adalah berawal dari “Si” dan “malungun” yang berarti yang dirindukan. Nama Simalungun pada awalya disebut oleh orang yang berada di luar wilayah Simalungun untuk menyebutkan bekas wilayah Nagur yang sepi sekaligus dirindukan (Saragih,2008) Suku Simalungun juga sering disebut suku Batak yang halus karena dilihat dari tutur bahasa nya yang lebih halus dibandingkan suku Batak Toba. Mayoritas orang suku Simalungun bertempat tinggal di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Orang Simalungun paling banyak tersebar di daerah Raya, yang merupakan ibukota Kabupaten Simalungun saat ini. Kabupaten Simalungun berbatasan dengan 5 Kabupaten tetangga, yaitu : Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Karo, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Dairi. Kabupaten Simalungun terdiri dari 31 kecamatan dan 302 desa, saat ini Raya menjadi ibukota Kabupaten Simalungun. Suku Simalungun memiliki 4 Marga besar yaitu : Damanik, Purba, Saragih dan Sinaga. Keempat marga ini dibagi lagi menjadi banyak sub marga. Contohnya : Damanik Raja, Purba Pak-pak, Saragih Garingging, dll. Menurut sejarah keempat marga ini berasal dari marga batak toba di Pulau Samosir. Hal ini didasarkan pada adanya kaitan keluarga yang masih kuat antara sesama marga di Samosir dan di Simalungun ( dalam Saragih, 2008) . Sortaman Saragih ( 2008) menyebutkan perbedaan budaya dan bahasa Simalungun dengan orang Batak Toba di Pulau Samosir disebabkan pengaruh yang berlangsung di antara orang Simalungun yang letaknya lebih terbuka dengan pantai timur pulau Sumatera. Tuan Bandar Alam Purba (1982) seorang tokoh Simalungun menyebutkan bahwa 29
orang Simalungun adalah suku peralihan dari suku Batak Toba dan Batak Karo. Dengan pengecualian marga purba tambak yang berasal dari pagaruyung Sumatera Barat. Saat ini mayoritas suku Simalungun bertempat tinggal di Kabupaten Simalungun. Namun setiap marga dalam suku Simalungun memiliki asal daerah masing- masing yang tersebar di Kabupaten Simalungun, dimana pada daerah tersebut terdapat mayoritas marga besar Simalungun. Menurut sejarah, Marga Saragih berasal dari Raya ,Marga Damanik dikatakan berasal dari Siantar, Marga Sinaga berasal dari daerah Tanah Jawa, Marga Purba berasal dari daerah Purba, Marga Girsang berasal dari daerah Silimakuta. Walaupun demikian saat ini keempat marga besar dan sub-marga lainnya sudah tersebar di berbagai daerah di Simalungun, bahkan di Seluruh Indonesia. Satu hal yang sangat spesifik dijumpai pada orang Simalungun adalah adanya “ahap Simalungun”. Banyak yang orang menerjemahkan “ahap” dengan kata perasaan. Tetapi lebih jauh lagi kata “ahap” adalah suatu perasaan sepenanggunan dan seperjuangan yang tidak perlu diungkapkan namun sudah saling mengerti. Menurut TBA Purba Tambak ( dalam Saragih, 2008), orang Simalungun mempunyai kepribadian yang lemah lembut, suara berirama dan memperhatikan perasaan orang lain. Dalam bukunya “Orang Simalungun” Sortaman saragih mengungkapkan prinsip hidup suku Simalungun yaitu :
30
1. Habonaron do bona (Kebenaran adalah Pangkal) Terdapat suatu pemahaman yang sangat kental pada orang Simalungun bahwa Naibata (Tuhan) adalah Maha Kuasa, Maha Adil dan Maha Benar. Sehingga manusia sebagai ciptaan juga dituntut untuk bersikap benar dan segala sesuatu harus didasarkan pada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari Filosofi “Habonaron do bona” pada masyarakat Simalungun. Falsafah Habonaron do bona merupakan filosofi hidup bagi orang Simalungun. Habonaron do bona artinya adalah “ kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya masyarakat Simalungun menganut aliran pemikiran dan kepercayaan segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran (Saragih, 2008). Dari Filosofi Habonaron do bona tercermin prinsip – prinsip hidup masyarakat Simalungun. Misalnya kata-kata nasehat dan prinsip hidup dalam bentuk ungkapan, pepatah dan perumpamaan. Habonaron do bona menanamkan kehati - hatian, hidup bijaksana, datang dalam berencana sehinggga tidak terjadi penyesalan dikemudian hari. Para orang tua juga selalu menanamkan prinsip Habonaron do bona kepada anak cucunya. Harus bijaksana dalam bergaul ditengah masyarakat. Bagi masyarakat Simalungun ada falsafah yang mengatakan “ totik mansiatkon diri, marombow bani simbuei. Artinya cermat ( bijak ) membawakan diri dan mengabdi kepada halayak umum. Sehingga selalu menyenangkan bagi orang lain. Hal inilah yang menjadikan orang Simalungun lebih banyak beradaptasi (menyesuaikan diri) dengan suku lain.
31
Menurut MD Purba ( Raya, 2008 ) sebagai penjabaran “ Habonaron do Bona” dapat disebutkan dalam 8 nilai kebenaran yang dianut saat itu yakni : 1. Berpandangan yang benar 2. Berencana ( berniat ) yang benar 3. Berbicara yang benar 4. Bekerja ( bertindak yang benar) 5. Berpenghidupan ( berprinsip ) yang benar 6. Berusaha ( berkarya ) yang benar 7. Perhatian pada hal yang benar 8. Berfikiran yang benar Menurut Sortaman Saragih ( 2008 ), kepribadian dan karakter orang Simalungun juga dapat dilihat dari falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Tatanan dan manajemen sosial tercermun dalam cara pelaksanaan adat. Secara prinsip dalam adat Simalungun suatu tatanan kehidupan digambarkan dalam “ 3 Sahundulan 5 saodoran” . Hal ini berarti bagi masyarakat Simalungun untuk menentukan suatu keputusan ditentukan dari tiga pihak keluarga yang terdiri dari “ Suhut, Tondong, dan boru”. Aplikasi prinsip adat ini bagi orang Simalungun adalah setiap orang memiliki ikatan kekeluargaan yang begitu luas, dan begitu kuat. Bagi orang Simalungun, untuk merencanakan suatu program kerja, atau acara adat lainnya 32
harus terlebih dahulu mengundang dan meminta pendapat dari pihak keluarga yang terdiri dari “Suhut, tondong, boru”.
33
D. PENGARUH MOTIF MCCLELLAND TERHADAP HARDINESS PADA ORANG SIMALUNGUN DI RAYA Suku Simalungun memiliki prinsip hidup
habonaron do bona artinya
adalah “ kebenaran adalah dasar segala sesuatu”. Artinya masyarakat Simalungun menganut aliran pemikiran dan kepercayaan segala sesuatu harus dilandasi oleh kebenaran. Suku Simalungun memiliki falsafah” totik mansiatkon diri, marombow bani simbuei” yang artinya cermat (bijak) membawakan diri dan mengabdi kepada khalayak umum sehingga selalu menyenangkan bagi orang lain (Saragih, 2008). Menurut Sortaman Saragih (2008), hal inilah yang membuat masyarakat Simalungun lebih sering menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Masyarakat Simalungun cenderung untuk menghindari konflik, bahkan ketika mempertahankan pendapatnya sendiri pun, Suku Simalungun sering kali untuk menghindari konflik mendahulukkan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingannya sendiri. Tanpa disadari hal ini membuat masyarakat Simalungun tersisih dari suku lain yang masuk ke daerahnya, bahkan daerahnya sendiri. Dari hal tersebut terlihat bahwa kecenderungan untuk mengikut arus dan menanggalkan budaya Simalungun dilakukan untuk menyenangkan orang lain, menciptakan hubungan yang nyaman dan damai walaupun harus mengorbankan apa yang ada pada diri mereka.
Kecenderungan orang Simalungun untuk
mengikut arus, membuat situasi yang nyaman, dan menciptakan hubungan yang aman dan damai seringkali membuat orang Simalungun kurang memiliki daya tahan untuk menghadapi berbagai situasi yang dialami dalam kehidupannya, Saragih ( 2008 ) menyatakan orang Simalungun seringkali berpasrah diri dalam 34
menghadapi kehidupannya. Sehingga kurang memaknai setiap pekerjaan yang dikerjakan, dan juga berpengaruh terhadap kerja keras dan keinginan untuk berkompetisi.
Pada
suku
Simalungun,
terdapat
sebuah
budaya
yang
mengutamakan “Ahap” atau perasaan dalam melakukan sebuah tindakan, begitu juga dalam berperilaku dengan orang lain, orang Simalungun kebanyakan takut melukai perasaan orang lain, karena
memikirkan bagaimana rasa sakit yang
dialami orang lain, jika dihadapkan pada situasi yang sama. Hal ini juga mengakibatkan suku Simalungun kurang baik dalam penyelesaian masalah, dan menghadapi lingkungan yang penuh stress karena sering kali suku Simalungun menghindari untuk menyelesaikan masalah yang dimilikinya dengan orang lain, dan juga menghindari untuk menghadapi suatu keadaan yang penuh tekanan ( Saragih, 2008). Menurut Maddi, dan Kobasa, sikap dan keterampilan untuk bertahan dalam keadaan stress, kemampuan bertahan dalam situasi stress tanpa merasa tertekan, disebut juga dengan Hardiness (Maddi, 2013). Eid dan Morgan (dalam Lusiana, 2009)
menyatakan individu dengan
hardiness percaya bahwa dirinya mampu mengontrol atau mempengaruhi apa yang akan dialaminya, memiliki komitmen yang tinggi pada apa yang akan dilakukan, memiliki nilai-nilai, tujuan, orientasi yang jelas dalam hidup. Individu dengan hardiness cenderung menafsirkan peristiwa yang menekan sebagai satu tantangan dan kesempatan belajar. Cooper (2015) mendeskripsikan individu dengan kepribadian hardiness yang tinggi percaya bahwa mereka dapat mengontrol kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup mereka, memiliki komitmen dalam setiap kegiatan dan 35
mengubah suatu kegiatan atau kejadian menjadi hal yang positif dan menantang, bukan sebagai hal yang negatif dan mengancam mereka. Bissonette (dalam Luthfiatuz, 2012) menyatakan Individu yang memiliki hardiness yang tinggi mempunyai serangkaian sikap yang membuat individu tahan terhadap stress, senang bekerja keras karena dapat menikmati apa yang dia lakukan, memandang hidup ini sebagai sesuatu yang harus diisi agar memiliki makna. Individu yang memiliki hardiness yang tinggi akan memiliki sikap positif dalam menghadapi setiap peristiwa yang tidak menyenangkan dalam kehidupannya, bukan malah menghindarinya (Cooper,2015). Maddi (2013) menyatakan hardiness merupakan merupakan hasil pembelajaran individu dari lingkungannya, tentu saja hal ini tidak terlepas dari kebutuhan, motif, ataupun dorongan yang dimiliki oleh individu. Moskowitz (2005) menyatakan motif didefinisikan sebagai keinginan atau dorongan yang menentukan perilaku dan kepribadian seseorang. Motif juga dapat mengurangi diskrepansi yang terjadi dalam kehidupan seorang individu. Hardiness merupakan merupakan suatu struktur kepribadian yang membedakan individu dalam menanggapi lingkungan yang penuh dengan stress (Sarafino, 2011). Sehingga, perbedaan kebutuhan pada seorang individu juga dapat membedakan tinggi rendahnya hardiness pada individu. McClelland ( Shaffer, 2006) menyatakan ada 3 kebutuhan yang harus dipenuhi oleh manusia untuk menutupi kekurangan manusia dalam dirinya antara lain : Need for affiliation, Need for Achievement, dan Need for Power. McClellands ( Shaffer, 2006) menyatakan Need for Achievement adalah kecenderungan umum yang dimiliki 36
untuk berjuang demi memperoleh keberhasilan dan meraih suatu standard keunggulan yang tinggi. Individu yang memiliki semangat kerja yang tinggi akan bergairah untuk melakukan sesuatu lebih baik dan efisien dibandingkan hasil sebelumnya, individu yang memiliki semangat kerja yang tinggi tentu saja akan mampu menghadapi berbagai situasi yang dihadapinya termasuk menghadapi situasi yang penuh tekanan ataupun stress. Sehingga peneliti berasumsi bahwa Need for Achievement berpengaruh terhadap Hardiness. McClelland (Shaffer, 2006) menyatakan Need for Power adalah keinginan untuk mengendalikan orang lain, untuk mempengaruhi perilaku mereka, atau memiliki rasa tanggung jawab pada orang lain. Individu dengan Need for power yang tinggi akan memiliki karakteristik berani berkompetisi, kuat, dan berani mengambil resiko. Individu yang memiliki hardiness yang tinggi juga memiliki kepribadian yang tahan banting, dan mampu bertahan dalam segala resiko, dari hal itu peneliti berasumsi bahwa
Need for Power berpengaruh terhadap
hardiness. McClelland (Shaffer,2006)
menyatakan Need for Affiliation adalah
kebutuhan akan suatu persahabatan, berkaitan dengan adanya keinginan untuk memastikan, memelihara atau mementingkan efektivitas dari hubungan dengan individu atau kelompok. Pada suku Simalungun, kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain terlihat menonjol dibandingkan dua kebutuhan lainnya. Individu yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan orang lain, memiliki keinginan untuk bekerjasama dan mendekatkan diri dengan orang lain, biasanya akan memiliki kemampuan untuk bertahan dalam setiap situasi yang dihadapinya 37
baik menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sehingga peneliti berasumsi Need for affiliation berpengaruh terhadap hardiness seseorang. Orang Simalungun memiliki prinsip“ Ulang songon pangultop ni si Darendan” yang mengajarkan dalam bekerja jangan tanggung dan harus punya tekad yang kuat, perhitungan yang baik, dan selalu bekerja keras. Dari falsafah tersebut terlihat bahwa sebenarnya orang Simalungun memiliki Need for Power dan Need for Achievement. Namun hal itu kurang tergambar dalam penelitian selama ini. Menurut Roland dan Picano (2008) individu yang memiliki kebutuhan untuk mencapai prestasi yang tinggi, akan memiliki Hardiness yang tinggi pula. Didalam konsep McClelland kebutuhan untuk mencapai prestasi yang melebihi standard keunggulan disebut dengan Need for Achievement. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Goldenberg (1999) yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara pencapaian prestasi dengan hardiness pada individu. Hasil penelitian Laberg dan Johnsen (2009) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kebutuhan untuk mengontrol dan mempengaruhi orang lain, juga berkeinginan yang tinggi untuk bertanggung jawab atas orang lain, akan memiliki hardiness
yang tinggi pula. Kebutuhan untuk mengontrol, dan
mempengaruhi orang lain, dan berkeinginan untuk bertanggung jawab pada orang lain pada konsep motif sosial McClelland, disebut juga dengan need for power. Bartone dan Nissestad (2007) menyatakan individu yang memiliki keinginan untuk mempengaruhi dan mengontrol orang lain yang berada disekitarnya, juga akan memiliki hardiness yang tinggi. Individu dengan hardiness yang tinggi juga 38
dikatakan
memiliki penyelesaian masalah yang baik terutama ketika berada
dalam tantangan. Maddi (2002) menyatakan individu yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan orang lain, memiliki keinginan untuk bekerjasama dan mendekatkan diri dengan orang lain akan memiliki hardiness yang tinggi. E. HIPOTESA PENELITIAN 1.
Terdapat pengaruh need for achievement, need for power, dan need for affiliationterhadap hardiness pada Suku Simalungun di Raya
2.
Terdapat pengaruh signifikan Need for Achievement terhadap Hardiness pada Orang Simalungun di Raya
3.
Terdapat pengaruh signifikan Need for Power terhadap Hardiness pada Orang Simalungun di Raya
4.
Terdapat pengaruh signifikan Need for Affiliation
terhadap
Hardiness pada Orang Simalungun di Raya
39