BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1
Goal Setting Theory Goal Setting Theory ini mula-mula dikemukakan oleh Locke (1968). Teori
ini mengemukakan bahwa dua cognitions yaitu values dan intentions (atau tujuan) sangat menentukan perilaku seseorang. Berdasarkan teori ini suatu individu menentukan tujuan atas perilakunya di masa depan dan tujuan tersebut akan mempengaruhi perilaku orang tersebut. Disamping itu, teori ini juga menunjukkan adanya keterkaitan antara sasaran dan kinerja. Sasaran dapat dipandang sebagai tujuan/tingkat kinerja yang ingin dicapai oleh individu. Jika seorang individu komit dengan sasaran tertentu, maka hal ini akan mempengaruhi tindakannya dan mempengaruhi konsekuensi kinerjanya. Goal setting theory juga merupakan bagian dari teori motivasi. Teori ini menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tujuan tinggi akan mempengaruhi kinerja manajerial. Adanya tujuan individu menentukan seberapa besar usaha yang akan dilakukannya, semakin tinggi komitmen karyawan terhadap tujuannya akan mendorong karyawan tersebut untuk melakukan usaha yang lebih keras dalam mencapai tujuan tersebut. Menurut Locke dan Latham (2002) tujuan memiliki pengaruh yang luas pada perilaku karyawan dan kinerja dalam organisasi dan praktik manajemen. Goal setting theory berasumsi bahwa ada hubungan langsung antara tujuan yang spesifik dan terukur dengan kinerja. Temuan utama dari goal setting theory
10
11
adalah bahwa individu yang diberi tujuan yang spesifik dan sulit tapi dapat dicapai memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang menerima tujuan yang mudah dan kurang spesifik atau tidak ada tujuan sama sekali. Pada saat yang sama, seseorang juga harus memiliki kemampuan yang cukup dalam menerima tujuan yang ditetapkan dan menerima umpan balik yang berkaitan dengan kinerja (Latham, 2003). Sebuah tujuan agar efektif, dibutuhkan ringkasan umpan balik yang mengungkapkan kemajuan manajer dalam mencapai tujuan (Locke dan Latham, 2002). Jika mereka tidak tahu bagaimana kemajuannya, akan sulit bagi mereka untuk menyesuaikan tingkat atau arah usaha dalam menyesuaikan strategi kinerja untuk mencocokkan apa yang diperlukan dalam mencapai tujuan. Terkait penetapan tujuan juga diperlukan keterlibatan dalam perencanaan untuk mengembangkan strategi yang akan dilakukan dalam pencapaian tujuan. Adanya kompetensi pegawai dalam penetapan tujuan anggaran akan menciptakan kecukupan
informasi
yang
memungkinkan
pegawai
untuk
memperoleh
pemahaman yang lebih jelas mengenai tujuan anggaran sehingga nantinya dapat mengurangi ambiguitas dalam melakukan pekerjaan mereka.
2.2
Pendekatan Kontinjensi Pendekatan kontinjensi didasarkan pada premis bahwa tidak ada variabel
prediktor secara universal selalu tepat untuk dapat diterapkan pada semua organisasi, tetapi hal ini tergantung pada faktor kondisi atau situasi yang ada dalam organisasi. Berdasarkan pendekatan ini terdapat faktor situasional lain yang mungkin akan saling berinteraksi dalam suatu kondisi tertentu.
12
Govindarajan (1986) mengemukakan bahwa untuk merekonsiliasi temuan penelitian yang saling bertentangan, diperlukan pendekatan kontinjensi dengan mengevaluasi
faktor-faktor
kondisional,
dalam
penelitian
ini
misalnya
kemungkinan adanya hal-hal yang dapat menyebabkan kinerja aparat menjadi lebih efektif. Pendekatan kontinjensi dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk optimal kompetensi pegawai di bawah kondisi organisasi yang berbeda dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana pengaruhnya pada kinerja organisasi. Pengaruh kompetensi pegawai terhadap kinerja penyerapan anggaran mempunyai faktor-faktor kontinjensi. Diawali dari pendekatan kontinjensi ini maka muncul kemungkinan bahwa faktor kejelasan sasaran anggaran dan komitmen organisasi juga akan menyebabkan perbedaan kinerja penyerapan anggaran. Faktor kejelasan sasaran anggaran dan komitmen organisasi adalah variabel pemoderasi, yang dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh kompetensi pegawai pada kinerja penyerapan anggaran.
2.3
Kompetensi Pegawai
2.3.1 Pengertian Kompetensi Kompetensi
adalah
suatu
kemampuan
untuk
melaksanakan
atau
melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Kompetensi sebagai kemampuan seseorang untuk menghasilkan pada tingkat yang memuaskan di tempat kerja, juga menunjukkan karakteristik pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atau dibutuhkan oleh setiap individu yang
13
memampukan mereka untuk melakukan tugas dan tanggung jawab mereka secara efektif dan meningkatkan standar kualitas profesional dalam pekerjaan. Ada dua istilah yang muncul dari dua aliran yang berbeda tentang konsep kesesuaian dalam pekerjaan. Istilah tersebut adalah ”Competency” (kompetensi) yaitu deskripsi mengenai perilaku, dan “Competence” (kecakapan) yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan (Palan, 2007). Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasar pada setiap individu yang dihubungkan dengan kriteria yang direferensikan terhadap kinerja yang unggul atau efektif dalam sebuah pekerjaan atau situasi. Menurut Wibowo (2007) Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut. Dengan demikian, kompetensi menunjukkan keterampilan atau pengetahuan yang dicirikan oleh profesionalisme dalam suatu bidang tertentu sebagai sesuatu yang terpenting ataupun sebagai unggulan bidang tersebut. 2.3.2 Karakteristik Kompetensi Spencer and Spencer (1993), mengemukakan bahwa kompetensi merujuk kepada karakteristik yang mendasari perilaku yang menggambarkan motif, karakteristik pribadi, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian yang dibawa seseorang yang berkinerja unggul (superior performer) di tempat kerja. Selanjutnya, Spencer and Spencer (1993), menguraikan lima karakteristik yang membentuk kompetensi, sebagai berikut:
14
1) Motif (motives) adalah sesuatu yang konsisten dipikirkan atau dikehendaki oleh seseorang yang selanjutnya akan mengarahkan, membimbing dan memilih suatu perilaku tertentu terhadap sejumlah aksi atau tujuan. 2) Karakter pribadi (traits) adalah karakteristik fisik dan reaksi atau respon yang dilakukan secara konsisten terhadap suatu situasi atau informasi. 3) Konsep diri (self concept) adalah perangkat sikap, sistem nilai atau citra diri yang dimiliki seseorang. 4) Pengetahuan (knowledge) adalah informasi yang dimiliki seseorang terhadap suatu area aspek spesifik tertentu. 5) Keterampilan (skills) adalah kemampuan untuk mengerjakan serangkaian tugas fisik maupun mental tertentu. Karakteristik kompetensi dibedakan berdasarkan pada tingkat mana kompetensi tersebut dapat diajarkan. Pengetahuan dan keterampilan biasanya dikelompokkan sebagai kompetensi yang nampak dipermukaan sehingga mudah dilihat dan dinilai. Kompetensi ini biasanya mudah untuk dikembangkan dan tidak memerlukan biaya pelatihan yang besar untuk menguasainya. Kompetensi konsep diri, karakteristik pribadi dan motif sifatnya tersembunyi. Kompetensi konsep diri dan karakteristik pribadi sifatnya tersembunyi tapi masih dapat diamati melalui sikap dan perilaku yang terlihat sehari-hari. Untuk aspek motif sifatnya tersembunyi di dalam hati seseorang, motif juga lebih sulit untuk dikembangkan atau dinilai. Untuk mengubah motif memang masih dapat dilakukan, namun prosesnya panjang, sulit dan mahal.
15
2.4
Kejelasan Sasaran Anggaran Anggaran adalah gambaran kuantatif dari tujuan-tujuan manajemen dan
sebagai alat untuk menentukan kemajuan dalam mencapai tujuan tersebut. Anggaran disusun untuk membantu manajemen mengkomunikasikan tujuan organisasi
semua
manajer
pada
unit
organisasi
dibawahnya,
untuk
mengkoordinasi kegiatan, dan untuk mengevaluasi kinerja manager (Supriyono, 2005). Menurut (Kenis, 1979) bahwa kejelasan sasaran anggaran merupakan sejauh mana tujuan anggaran ditetapkan secara jelas dan spesifik dengan tujuan agar anggaran tersebut dapat dimengerti oleh orang yang bertanggung-jawab atas pencapaian sasaran anggaran tersebut. Kejelasan sasaran anggaran berimplikasi pada aparat untuk menyusun anggaran sesuai dengan target-target yang ingin dicapai instansi pemerintah. Ketidakjelasan sasaran anggaran akan menyebabkan pelaksana anggaran menjadi bingung, tidak tenang, tidak puas dalam bekerja dan akhirnya tidak termotivasi untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu, sasaran anggaran pemerintah harus dinyatakan secara jelas, spesifik dan dapat dimengerti oleh mereka yang bertanggung jawab melaksanakannya. Kejelasan sasaran akan membantu pegawai untuk mencapai kinerja yang diharapkan, dimana dengan mengetahui sasaran anggaran tingkat kinerja dapat tercapai. Steers dan Porter (1976) dalam (Sembiring, 2008) menyatakan bahwa dalam menentukan sasaran anggaran mempunyai dua karakteristik utama yaitu: 1) Sasaran harus spesifik bukannya samar-samar. 2) Sasaran harus menantang namun dapat dicapai.
16
Untuk itu Locke dan Latham (1984) menyatakan agar pengukuran sasaran efektif ada tujuh indikator yang diperlukan, yakni: 1) Tujuan, membuat secara terperinci tujuan umum tugas-tugas yang harus dikerjakan. 2) Kinerja, menetapkan kinerja dalam bentuk pertanyaan yang diukur. 3) Standar, menetapkan standar atau target yang ingin dicapai. 4) Jangka Waktu, menetapkan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengerjaan. 5) Sasaran Prioritas, menetapkan sasaran yang prioritas. 6) Tingkat Kesulitan, menetapkan sasaran berdasarkan tingkat kesulitan dan pentingnya. 7) Koordinasi, menetapkan kebutuhan koordinasi.
2.5
Komitmen Organisasi
2.5.1 Pengertian Komitmen Organisasi Luthans (2006) memberikan definisi komitmen organisasi sebagai: (1) keinginan yang kuat untuk menjadi anggota dalam suatu kelompok, (2) kemauan usaha yang tinggi untuk organisasi, (3) suatu keyakinan tertentu dan penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan-tujuan organisasi. Menurut Jewell dan Siegall (1998) komitmen kerja dapat didefinisikan sebagai derajat hubungan individu memandang dirinya sendiri dengan pekerjaannya dalam organisasi tertentu. Komitmen organisasi merupakan keyakinan dan dukungan yang kuat terhadap nilai dan sasaran yang ingin dicapai organisasi (Mowday et al.,1979). Pada konteks pemerintah, aparat yang merasa sasaran anggarannya jelas, akan
17
lebih bertanggungjawab jika didukung dengan komitmen aparat yang tinggi terhadap organisasi pemerintah. Hal ini akan mendorong aparat untuk menyusun anggaran sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi. Manajer yang memiliki tingkat komitmen organisasi yang tinggi akan memiliki pandangan positif dan berusaha berbuat yang terbaik demi kepentingan organisasi (Porter et al., 1974). Menurut Kreitner dan kinicki (2003) komitmen organisasi mencerminkan tingkat bagi perorangan mengidentifikasikan dengan suatu organisasi dan merasa terikat dengan tujuannya. Meyer dan Allen (1991) menjabarkan tiga model komponen dari komitmen organisasi yaitu komitmen afektif (affective commitment), komitmen kelanjutan (continuance commitment) dan komitmen normatif (normative commitment). Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keinginan yang kuat dari individu untuk tetap menjadi anggota dari suatu organisasi, kesediaan untuk meningkatkan kemampuan diri untuk organisasi dan penerimaan nilai-nilai dan tujuan dari organisasi. 2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Faktor-faktor
yang mempengaruhi Komitmen Organisasi menurut
Greenberg dan Baron (2003) yaitu: 1) Karakteristik Pekerjaan Komitmen organisasi dipengaruhi berbagai karakteristik pekerjaan. Komitmen cenderung lebih tinggi pada karyawan yang mempunyai tanggung jawab yang tinggi atas pekerjaan mereka dan kesempatan luas untuk promosi.
18
2) Sifat Imbalan Komitmen dipertinggi oleh penggunaan rencana pembagian laba (karyawan menerima bonus sebanding dengan laba) dan di atur secara adil. 3) Adanya Alternatif Pekerjaan Lain Makin besar kesempatan karyawan untuk menemukan pekerjaan lain maka komitmen cenderung makin rendah. 4) Perlakuan Perusahaan terhadap Pendatang Baru Penggunaan metode rekruitmen yang tepat, komunikasi kuat serta sistem nilai organisasi yang jelas dapat mempengaruhi komitmen. Makin besar investasi perusahaan kepada seseorang dengan berusaha secara sungguh-sungguh mempekerjakannya maka karyawan akan berusaha untuk mengembalikan investasi perusahaan tersebut dengan mengekspresikan perasaan komitmen tehadap organisasi. 5) Karakteristik Personal Organisasi dengan masa jabatan lama akan semakin tinggi komitmennya daripada karyawan yang masa kerjanya lebih pendek. 2.5.3 Dimensi Komitmen Organisasi Robbins dan Judge (2008) menyatakan bahwa terdapat tiga macam dimensi komitmen organisasional yaitu: 1) Komitmen afektif (affective). Didalam komitmen afektif ada ikatan emosional karyawan kepada organisasinya, yang dinyatakan dengan identifikasi, dan keterlibatan dalam kegiatan organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen
19
afektif kuat akan melanjutkan keanggotaannya dengan organisasi karena mereka ingin melakukannya (wants to). 2) Komitmen kontinuan (continuance). Komitmen kontinuan mengacu pada kesadaran atas kerugian yang akan ditanggungnya bila meninggalkan organisasinya. Karyawan yang memiliki komitmen kontinuan kuat dasarnya adalah mereka mempunyai kebutuhan untuk melakukannya (need to). 3) Komitmen normatif (normative). Definisi ini mengandung pengertian bahwa individu merasa memiliki kewajiban untuk tetap menjadi anggota organisasi. Karyawan yang memiliki tingkat komitmen normatif tinggi merasa bahwa mereka seharusnya atau sepatutnya (ought to) tetap tinggal dalam organisasinya.
2.6
Kinerja Penyerapan Anggaran
2.6.1 Pengertian Kinerja Terkait dengan pengukuran kinerja sebuah perusahaan, terdapat beberapa istilah yang biasa digunakan, antara lain yaitu pengukuran kinerja (performance measurement) dan ukuran kinerja (performance measure). Istilah-istilah tersebut seringkali digunakan secara bergantian, namun demikian untuk menghindarkan kerancuan pemahaman di antara istilah-istilah tersebut, maka perlu diberikan penjelasan mengenai masing-masing perbedaannya. Pengukuran kinerja dapat didefinisikan sebagai proses pengkuantifikasian efisiensi dan efektivitas dari tindakan yang lalu. Ukuran kinerja dapat didefinisikan sebagai sebuah parameter yang digunakan untuk mengkuantifikasi efisiensi dan/atau efektivitas dari
20
tindakan yang lalu. Dalam penelitian ini, untuk memudahkan pemahaman dan menghindari kerancuan, maka penulis akan menggunakan istilah pengukuran kinerja penyerapan anggaran sebagai pokok bahasan utama dalam penelitian ini. Kinerja/performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika (Prawirosentono, 1999). Pendapat tersebut didukung oleh Hariandja (2002) yang menyatakan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam organisasi. Kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha organisasi untuk mencapai tujuannya, sehingga berbagai usaha harus dilakukan organisasi untuk meningkatkannya. Lembaga Administrasi Negara (2004) menyatakan bahwa kinerja merupakan prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja, hasil kerja atau unjuk kerja. Secara teknis, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah menjelaskan kinerja adalah keluaran/hasil dari kegiatan/program yang hendak atau telah dicapai sehubungan dengan penggunaan anggaran dengan kuantitas dan kualitas terukur. 2.6.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Mahmudi (2007) menyatakan bahwa kinerja merupakan suatu konstruk yang bersifat multidimensional dan pengukurannya sangat bergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhinya, antara lain:
21
1) Faktor personal/individual, meliputi: pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi dan komitmen yang dimiliki oleh setiap individu; 2) Faktor kepemimpinan, meliputi: kualitas dalam memberikan dorongan, semangat, arahan dan dukungan yang diberikan oleh manajer dan team leader; 3) Faktor tim, meliputi: kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim; 4) Faktor sistem, meliputi: sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi dan kultur kinerja dalam organisasi; 5) Faktor konstektual (situasional), meliputi: tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal organisasi. Campbell dalam Wirasata (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dapat dinyatakan kedalam suatu bentuk hubungan fungsional antara kinerja dengan atribut kinerja sebagai berikut: Kinerja = f (knowledge, skill, motivation, role perception,.......) Knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki oleh pegawai, skill mengacu pada kemampuan untuk melakukan pekerjaan, motivation adalah dorongan dan semangat untuk melakukan pekerjaan dan role perception menunjukkan peran individu dalam melakukan pekerjaan.
22
2.6.3 Penilaian Kinerja Penyerapan Anggaran Setiap proses pengukuran kinerja membutuhkan suatu ukuran untuk mengetahui tingkat keberhasilan atau capaian dari kinerja suatu organisasi. Pengukuran dan evaluasi kinerja dalam lingkup pelaksanaan anggaran kementerian negara/lembaga, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 249/PMK.02/2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.Pengukuran kinerja dalam PMK ini menitikberatkan pada tiga aspek pengukuran, yaitu: (1) aspek implementasi, (2) aspek manfaat, dan (3) aspek konteks. Pengukuran kinerja dalam aspek implementasi ditujukan untuk mengukur kinerja yang tampak pada pelaksanaan kegiatan dan pencapaian keluaran termasuk tingkat efisiensi penggunaan anggarannya. Ukurannya adalah (a) persentase penyerapan anggaran, (b) konsistensi antara perencanaan dan implementasi, (c) pencapaian keluaran, dan (d) efisiensi. Pengukuran kinerja dalam aspek manfaat ditujukan untuk mengukur perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan/atau pemangku kepentingan sebagai penerima manfaat atas keluaran yang telah dicapai, dengan indikator yang diukur adalah capaian indikator kinerja utama. Pengukuran kinerja dalam aspek konteks ditujukan untuk mengukur relevansi masukan, kegiatan, keluaran, dan hasil, dengan dinamika perkembangan keadaan, termasuk kebijakan pemerintah.
2.7 Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian yang meneliti pengaruh kompetensi pegawai pada kinerja dilakukan Kuppusamy dan Anantharaman (2008), Nguyen (2008), dan
23
Indriasih dan Koeswayo (2014). Hasil penelitian ketiga peneliti menunjukkan bahwa kompetensi berpengaruh positif pada kinerja. Penelitian terkait pengaruh kejelasan sasaran anggaran pada kinerja dilakukan oleh Kusumaningrum (2010) dan Emilia dkk. (2013). Penelitian yang dilakukan Kusumanigrum (2010) menguji pengaruh kejelasan sasaran angaran, pengendalian akuntansi dan sistem pelaporan terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Demikian pula penelitian yang dilakukan Emilia dkk. (2013) menguji pengaruh partisipasi dalam anggaran dan kejelasan sasaran anggaran serta peran manajerial pengelolaan keuangan daerah terhadap kinerja pemerintah daerah. Berdasarkan hasil pengujian ditemukan bahwa kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maupun kinerja pemerintah daerah. Penelitian terkait pengaruh komitmen organisasi pada kinerja dilakukan oleh Baihaqi (2012) dan Yunita (2013). Penelitian yang dilakukan Baihaqi (2012) menguji pengaruh komitmen organisasi dan peran manajerial pengelolaan keuangan terhadap kinerja manajerial SKPD. Penelitian yang dilakukan Yunita (2013) menguji pengaruh budaya organisasi dan komitmen organisasi terhadap kinerja pegawai. Hasil pengujian ditemukan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial SKPD maupun kinerja pegawai. Ringkasan penelitian sebelumnya ditunjukkan pada Lampiran 1.