1
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori Green dan Kreuter (1991) mengklasifikasikan beberapa faktor penyebab sebuah tindakan atau perilaku yang bisa dilakukan individu menjadi 3 faktor dasar penyebab perilaku. Pertama, adalah faktor pendorong (predisposing factors) yang merupakan faktor yang menjadi penyebab sebuah perilaku atau tindakan dilakukan. Faktor ini bisa menjadi dasar motivasi atau niat seseorang melakukan sesuatu. Faktor pendorong yang diebutkan meliputi pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai dan persepsi yang berkatan dengan motivasi sesorang atau sebuah kelompok untuk melakukan sebuah tindakan. Prefensi ini memungkinkan untuk menjadi sebuah pendukung ataupun menjadi sebuah penghamba dan dalam setiap kasus yang ditemukan faktor pendorong memiliki pengaruh. Kedua, adalah fakor pemungkin (enabling factors) yang merupakan faktor enteseden sebuah sikap yang memungkinkan suatu hal atau tindakan dapat dilakukan. Faktor pemungkin meliputi di antaranya kemampuan dan ketrampilan serta sumber daya peribadi atau sumber daya masyarakat. sumber daya yang disebutkan mencakup fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia, sekolah, klinik kesehatan atau segala sumber daya yang serupa dan berkaitan. Faktor pemungkin in juga berkaitan dengan keterjangkauan sumber daya, besaran biaya, jarak, ketersediaan sarana transposrtasi, jangka waktu pelayanan dan ketersediaa tenaga kesehatan. Ketiga, adalah faktor penguat (reinforcing factors) yang merupakan faktor penyerta
10
sebuah tindakan atau perilaku yang dalam pengertiannya memberikan akibat dari sebuah perilaku yang dilakukan. Faktor penguat dapat memberikan hukuman atau insentif terhadap sebuah tindakan. Faktor penguat pada umunya terdiri dari umur, genetik, jenis kelamin, penyakit bawaan, kelainan fisik atau mental, tempat bekerja dan tempat tinggal.
Faktor Pendorong (Predisposing) - Umur - Paritas - Pendidikan - Pekerjaan - Pengetahuan - Sikap - Persepsi - Keyakinan - Nilai- nilai - Tingkah laku - Kepercayaan diri
Faktor Pemungkin (Enabling) - Ketersediaan sumber daya kesehatan - Keterjangkauan sumber kesehatan - Hukum, prioritas, dan komitmen masyarakat atau pemerintah - Keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan Faktor Penguat (Reinforcing) - Keluarga - Teman sebaya - Majikan - Petugas kesehatan - Pemimpin masyarakat - Pengambil keputusan
Hasil Perilaku spesifik individu atau organisasi
Pemberian ASI eksklusif
Lingkungan tempat tinggal)
(keadaan
Gambar 2.1. Teori Perilaku (Green dan Kreuter, 1991) Keterangan Gambar: - Garis (
) menunjukkan hubungan langsung
- Garis (--------------) menunjukkan hubungan tidak langsung
2.2 Hasil Penelitian Terdahulu 2.2.1 Nutrisi bayi usia 0-6 bulan Komponen paling seimbang yang diterima oleh bayi pada usia 0-6 bulan didapatkan melalui ASI. Proses kelurnya ASI disebabkan oleh adanya refleks menghisap yang dilakukan oleh bayi yang disertai proses hormonal terutama oksitosin dan prolaktin. Jangka waktu pemberian ASI secara ekslusif dapat diberikan hingga bayi berusia 6 bulan dan ASI dapat diberikan tanpa adanya makanan pendamping lainnya. ASI sudah cukup bagi bayi karena ASI sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan gizi bayi dan sistem pencernaan pada bayi saat berusia 0-6 bulan belum mampu untuk mencerna serta memproses makanan padat (Hidayat, 2008). Pemberian ASI untuk bayi yang berusia 0-6 bulan seharusnya merupakan tindakan yang paling tepat untuk dilakukan oleh para ibu menyusui. Namun dalam praktiknya, para ibu menyusui sering merasa khawatir bahwa pemberian ASI tidak cukup sehingga tetap harus diberikan makanan tambahan lainnya. Padahal pada kenyatannya pemberian makanan dan nutrisi selain ASI tidak sesuai dengan kebutuhan gizi untuk bayi berusia 0-6 bulan dan dapat menyebabkan pertumbuhan yang tidak seimbang dan kegemukan. Kebutuhan bayi terhadap cairan pada saat baru lahir hanya sebanyak 10-20 ml atau sekitar 2-4 sendok teh. Walaupun kebutuhan bayi yang baru lahir terhadap cairan pada dasarnya sedikit namun, ibu dapat memberikan ASI kapan saja saat bayi merasa lapar. Bayi akan lebih sering merasa lapar karena ASI mengandung protein yang sangat mudah diserap oleh usus bayi dan komposisi protein itu sebesar 65%. Kandungan kebutuhan bayi
terhadap ASI sudah tepat sesuai takaran dan presisi dengan kebutuhan tumbuh kembang anak. ASI merupakan makanan dan sumber nutrisi yang paling tepat bagi bayi yang berusia 0-6 bulan karena dalam ASI terkadung berbagai macam nutrisi seperti protein sebesar 1.2 gr, lemak sebesar 3.8 gr, laktosa sebesar 7 gr, besi sebesar 0.15 gr, vitamin B1 sebesar 0.11 mg dan vitamin sebesar 4.3 mg (Dewanti, 2013). ASI ekslusif merupakan pemberian ASI yang dilakukan sedini mungkin setelah persalinan. ASI ekslusif diberikan tidak berdasarkan jadwal tertentu dan tanpa disertai dengan pemberian makanan lain sampai bayi berusia 6 bulan. ASI ekslusif adalah pemberian air susu kepada bayi tanpa makanan tambahan lain dan dianjurkan dilakukan sampai bayi berumur 6 bulan serta dilakukan mungkin (IDAI, 2013). Cox (2006) mengatakan bahwa saat bayi baru berusia 48 jam, bayi tidak membutuhkan air susu dalam jumlah yang banyak. Cukup diberikan sebanyak setengah sendok teh saat pertama kali disusui kemudian dilanjutkan dengan memberikan 1-2 sendok teh pada hari kedua. Pemberian air susu yang sedikit itu berfungsi dan bermanfaat untuk melapisi saluran pencernaan bayi dan sebagai perlindungan terhadap masuknya bakteri ke dalam darah sehingga dapat mencegah timbulnya infeksi pada bayi. Akibat jika bayi tidak diberi ASI secara ekslusif adalah bayi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi seperti diare, ISPA, infeksi telinga, terhambatnya pembentukan sistem kekebalan tubuh pada bayi dan kemungkinan terjadinya kerusakaan gigi pada bayi (IDAI, 2013). Di samping itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Edmond (2005) menyatakan bahwa kematian pada bayi yang baru lahir dapat ditanggulangi dengan tingkat
keberhasilan sebesar 16% apabila bayi tersebut diberikan ASI pada hari pertama dan tingkat keberhasilan tersebut meningkat menjadi 22% apabila pemberian ASI mulai dilakukan pada 1 jam pertama setelah kelahiran. Menyusui mempunyai banyak manfaat bagi ibu, keluarga, dan juga bayinya seperti diuraikan di bawah ini. 1. Manfaat ASI bagi ibu dan keluarga Menyusui sangat bermanfaat bagi ibu, keluarga dan bayinya. Menyusui bagi ibu mempunyai banyak keuntungan diantaranya menurunkan berat badan ibu, mengurangi resiko hipertensi bagi ibu dan meningkatkan hubungan kasih sayang ibu dan anak. Menyusui ASI juga tidak perlu mempersiapkan susu formula dan tidak memerlukan botol steril sehingga biaya rendah. Hormon
oksitosin
dilepaskan
selama
menyusui
yang
menyebabkan
peningkatan kontraksi rahim, mencegah involusi rahim, dan menurunkan angka kejadian perdarahan setelah melahirkan. Wanita yang menyusui, menurunkan angka kejadian kanker indung telur dan kanker payudara setelah menopause sesuai dengan lamanya waktu dia menyusui. Wanita yang menyusui juga dapat mengurangi angka kejadian osteoporosis dan patah tulang panggul setelah menopause, serta menurunkan kejadian obesitas kehamilan. Menyusui dapat menciptakan ikatan antara ibu dengan bayi yang juga dapat mengurangi biaya dengan pemkaian susu formula. Meyusui memperlambat ovulasi (keluar dan matangnya sel telur) setelah melahirkan sehimgga menjadi suatu bentuk KB alamiah (Proverawati, 2010).
2. Manfaat ASI bagi bayi ASI menyediakan nutrisi lengkap bagi bayi, ASI mengandung protein, mineral, air lemak, serta laktosa. ASI memberikan seluruh kebutuhan nutrisi dan energi selama 1 bulan pertama, separuh atau lebih nutrisi selama 6 bulan kedua dalam tahun pertama, dan 1/3 nutrisi atau lebih selama tahun kedua. ASI juga menyediakan perlindungan terhadap infeksi dan penyembuhan yang lebih cepat dari infeksi. Immunoglobulin A terdapat dalam jumlah yang banyak di dalam kolostrum sehingga memberikan bayi tersebut kekebalan tubuh pasif terhadap infeksi. Terdapat faktor bifidus di dalam air susu ibu yang menyebabkan pertumbuhan dari Lactobacillus bifidus yang dapat menurunkan kumpulan bakteri pathogen (menyebabkan penyakit pada manusia) penyebab diare. Berdasarkan penelitian di Negara maju, ASI dapat menurunkan angka infeksi saluran pernafasan bawah, otitis media (infeksi pada telinga tengah), meningitis bakteri (radang selaput otak), infeksi saluran kemih, diare, dan necrotizing enterocolitis. Protein yang terdapat pada ASI adalah protein yang spesifik untuk manusia, maka pengenalan lebih lama terhadap protein asing atau protein lain yang terdapat di dalam susu formula, dapat mengurangi dan memperlambat terjadinya alergi (Proverawati, 2010). 2.2.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI Eksklusif Keberhasilan pemberian ASI ekslusif dilatarbelakangi oleh berbagai macam penyebab, seperti diuraikan di bawah ini.
1. Fakor paritas Menurut Soetjiningsih (1997), perubahan produksi ASI disebabkan oleh penigkatan jumlah paritas. Perbandingannya adalah jumlah ASI pada anak pertama adalah +580 ml/24 jam, pada anak kedua sebanyak +654 ml/24 jam, pada anak ketiga sebanyak +602 ml/24 jam dan pada anak keempat sebesar +506 ml/224 jam. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin banyak jumlah paritas, maka produksi ASI semakin menurun. Gatti (2008) dalam penelitiannya mengenai persepsi ibu tentang kekurangan suplai ASI menyebutkan bahwa paritas dan pengalaman menyusui berpengaruh secara signifikan terhadap kesuksesan menyusui, di mana wanita yang baru pertama kali menyusui biasanya selalu berpikir akan resiko dan masalah menyusui atau penghentian menyusui di awal dibanding dengan wanita yang sudah pernah menyusui sebelumnya. Dilihat dari segi psikologisnya, ibu yang baru pertama kali menyusui bayinya memiliki kekhawatiran terhadap suplai ASI yang rendah secara kualitas dan kuantitas dalam memenuhi kebutuhan pertumbuhan bayinya (Worthington-Roberts, 2000). Penelitian Soeparmanto dan Rahayu (2000) dalam Trisnawati (2010) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak sebanyak 1-2 orang memiliki kemungkinan menyusui secara ekslusif 10 kali lebih besar dibandingkan ibu yang baru memiliki bayi ataupun ibu yang memiliki anak lebih dari dua (Trisnawati, 2010). Irawati (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa ibu dengan paritas lebih dari 3 anak secara fisiologi dan psikologis lebih baik dalam memberikan ASI kepada bayinya termasuk inisiasi menyusu. Ibu yang sudah berpengalaman
dan lebih percaya diri meminta kepada petugas kesehatan agar bayinya langsung diberi ASI dan tidak diberi susu botol. Selain itu, menurut Nugroho (2011), ditemukan adanya kaitan antara jumlah produksi ASI dengan jumlah kelahiran yang dilakukan oleh ibu. Dalam penelitian itu didapatkan hasil yang menyatakan jumlah produksi ASI pada hari keempat setelah kelahiran jauh lebih banyak jumlahnya pada ibu yang pernah melahirkan lebih dari 1 kali daripada ibu yang baru pertama kali melahirkan. Sejalan dengan Irawati dan Nugroho, Nofriyentesni (2011) juga menemukan bahwa ibu yang paritasnya banyak (lebih dari 3 kali melahirkan) memiliki kecenderungan untuk memberikan ASI ekslusif sebesar 2,7 kali dibandingkan dengan ibu dengan paritas yang sedikit (1-2 kali melahirkan). Hal ini disebabkan oleh pengalaman yang dimiliki oleh ibu dalam memberikan ASI dan mengetahui cara untuk meningkatkan produktivitas ASI sehingga tidak ada masalah bagi ibu dalam memberikan ASI kepada bayinya. 2. Faktor pendidikan Pendidikan adalah upaya persuasif atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan atau praktik untuk memelihara (mengatasi masalah) dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan pada pengetahuan serta kesadarannya melalui proses pembelajaran sehingga perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama dan menetap. Paradigma itu dipicu oleh tingginya tingkat kebutuhan hidup dan pemahaman kaum wanita tentang aktualisasi diri. Pendidikan dan kebebasan informasi membuat para wanita masa kini lebih berani memasuki wilayah
pekerjaan lain yang dapat memberdayakan kemampuan dirinya secara maksimal sehingga ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif. Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu mencari dan pengalaman sehingga informasi yang diterima akan jadi pemahaman. Tingkat pendidikan ibu yang rendah mengakibatkan kurangnya pengetahuan ibu dalam menghadapi masalah, terutama dalam pemberian ASI eksklusif. Pengetahuan ini diperoleh baik secara formal maupun informal. Sedangkan ibuibu yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi, umumnya terbuka menerima perubahan atau hal-hal guna pemeliharaan kesehatanya. Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi pengetahuan (Arini, 2012). Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek sosial yang umumnya berpengaruh pada tingkat pendapatan keluarga sebagai faktor ekonomi. Pendidikan juga dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, semakin tinggi jumlah ibu tidak memberikan ASI pada bayinya. Hal ini mungkin disebabkan karena ibu bependidikan tinggi biasanya mempunyai banyak kesibukan di luar rumah, sehingga cenderung meninggalkan bayinya. Sedangkan ibu berpendidikan rendah lebih banyak tinggal di rumah sehingga lebih banyak mempunyai kesempatan untuk menyusui bayinya (Depkes, 2001).
Tingkat pendidikan ibu mempunyai pengaruh dalam pola
pemberian ASI, makin tinggi tingkat pendidikan ibu makin rendah prevalensi menyusui secara eksklusif. Dalam penelitian Wahyuni (2012) diperoleh
kecenderungan ibu-ibu berpendidikan sekolah lanjut atas untuk tidak lagi memberikan ASI pada bayinya. 3. Faktor pengetahuan Menurut Soetjiningsih (2001), pengetahuan tentang ASI ekslusif sudah harus diberikan kepada ibu sejak kehamilannya. Penyuluhan tentang hal-hal yang mendukung ibu untuk bisa memberikan ASI ekslusif harus mulai diberikan seperti penyuluhan tentang gizi ibu hamil dan menyusui, keunggulan ASI, manfaat menyusui dan kerugian pemberian susu formula. Informasi tentang ASI ekslusif dapat diperoleh ibu dari bidan, media cetak maupun media elektronik. Pengetahuan ibu tentang manfaat pemberian ASI ekslusif bagi bayi sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemberian ASI ekslusif. Hal ini didukung juga oleh hasil penelitian yang menemukan bahwa kurangnya pemahaman ibu terhadap pemberian ASI dan tata cara pemberian ASI yang benar merupakan hambatan utama dalam keberhasilan pemberian ASI ekslusif. Padahal apabila ibu memiliki pemahaman yang benar mengenai pemberian ASI ekslusif dan tata cara pemberiannya, hal tersebut dapat menunjang keberhasilan menyusui (Susanti, 2000). Hasil penelitian lain yang dikemukakan oleh Bloom mengemukakan bahwa perilaku mencakup 3 aspek yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (tindakan). Untuk bisa memberikan ASI ekslusif, seorang ibu perlu memiliki pengetahuan tentang ASI ekslusif dan bisa membentuk sikap terhadap ASI ekslusif serta mau berindak memberikan ASI ekslusif terhadap bayinya. Pengetahuan dan sikap amat berpengaruh terhadap perilaku yang diciptakan.
Sebelum terwujud dalam suatu perilaku, faktor keyakinan, norma sosial dan pandangan subyektif amat menentukan sikap seseorang. Dengan beberapa model teori tersebut dapat diartikan bahwa seorang ibu akan memberikan ASI ekslusif apabila ibu bayi memiliki dasar pengetahuan yang kuat mengenai pemberian ASI secara ekslusif berserta manfaatnya dan kerugian yang ditimbulkan apabilan tidak memberikan ASI ekslusif. 4. Faktor persepsi ibu Menurut Rosenstock, 1974 dalam teori Health Belief Model (HBM) persepsi manusia meliputi persepsi kerentanan individu terhadap suatu penyakit (perceived susceptiblity), persepsi terhadap beratnya suatu penyakit (perceived severity), persepsi individu terhadap keuntungan yang akan diperoleh bila melakukan suatu tindakan (perceived benefits), persepsi indvidu terhadap hambatan-hambatan yang akan dihadapi bila melakukan suatu tindakan (perceived barriers), dan keyakinan individu bahwa dia akan bisa melakukan tindakan atau action tersebut (self efficacy). Persepsi ibu menyusui akan diuraikan seperti di bawah ini. a) Persepsi kerentanan (perceived susceptiblity) Persepsi kerentanan terhadap suatu penyakit agar bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya. Pemberian ASI secara eksklusif dapat mencegah bayi terserang penyakit infeksi, dan akan berpotensi berisiko terkena penyakit apabila pemberian ASI tidak sampai 6 bulan. b) Persepsi keseriusan (perceived severity) Persepsi keseriusan penyakit apabila terkena maka konsekuensi yang akan diterima akan berat. Bayi yang tidak mendapatkan ASI secara eksklusif dapat
menurunkan daya tahan tubuh bayi sehingga mudah terserang penyakit-penyakit dan berdampak kepada kegagalan pertumbuhan bayi. Kombinasi persepsi kerentanan dan persepsi keseriusan akan menghasilkan persepsi ancaman. Individu akan mengubah perilaku mereka berdasarkan persepsi ancaman yang berasal dari keseriusan penyakit tersebut, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior and Health Education; Theory, Research and Practice”. c) Persepsi manfaat (perceived benefits) Melakukan tindakan pencegahan akan bermanfaat jika merasa sangat rentan terhadap penyakit-penyakit, persepsi positif ini sangat berperan penting pada perilaku seseorang dalam mengambil suatu keputusan kesehatan atas dirinya ataupun lingkungannya. Besarnya keuntungan ataupun manfaat yang didapat dari suatu tindakan pencegahan maka akan semakin besar peluang individu tersebut menjalankan tindakan pencegahan penyakit. Akan tetapi bila manfaat yang dirasakan kecil dari suatu tindakan yang akan dilakukan untuk pencegahan akan semakin kecil. Pemberian ASI eksklusif memiliki manfaat bagi bayi seperti meningkatkan daya tahan tubuh bayi, meningkatkan kecerdasan bayi, dengan pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan, akan terjamin tercapainya pengembangan potensi kecerdasan anak secara optimal, ASI mengandung nutriennutrien khusus yang diperlukan otakbayi agar tumbuh optimal. d) Persepsi kendala (perceived barriers) Persepsi individu bahwa tidak terlalu banyak konsekuensi negatif bila mengambil tindakan pencegahan dan tidak banyak kendala dalam prosesnya. Adanya kendala dalam pemberian ASI eksklusif seperti puting susu yang
pendek/terbenam, payudara bengkak, puting susu yang lecet, produksi ASI kurang, dan ibu bekerja, membuat ibu langsung menganggap bahwa hilangnya peluang untuk menyusui secara eksklusif sehingga dengan alasan kendala ini, ibu memberikan selingan ASI yaitu makanan pendamping ASI dini e) Kepercayaan diri (self efficacy) Kepercayaan seseorang akan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan dengan berhasil. Konsep ini ditambahkan oleh Rosenstock, Strecher, dan Becker tahun 1988 untuk menyempurnakan teori health belief model agar sesuai dengan tantangan perubahan perilaku atau kebiasaan yang tidak sehat, yang dikutip Glanz, (2008) dalam buku “Health Behavior and Health Education; Theory, Research and Practice”. Ibu memiliki kepercayaan diri dalam memberikan ASI eksklusif, tetapi pada kenyataannya banyak ibu merasa khawatir pemberian ASI saja selama 6 bulan tidak cukup ini disebabkan oleh bayi masih rewel setelah diberikan ASI, maka ibu mulai memperkenalkan makanan pendamping ASI dini dimaksudkan agar bayi tidak rewel setelah diberi makanan. 5. Faktor penghasilan keluarga Tingkat ekonomi dalam kehidupan sosial memegang peranan yang sangat penting. Hal ini merupakan 2 variabel yang saling berkaitan dalam menentukan kualitas hidup seseorang. Tingkat ekonomi sosial yang baik atau cukup akan memberi kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan dan fasilitas kesehatan. Begitu juga dengan tingkat konsumsi makan bergizi dalam keluarga yang sangat berkaitan dengan produksi dan kualitas pemberian ASI ekslusif oleh ibu menyusui. Tingkat ekonomi sosial yang rendah akan mengakibatkan kurangnya
daya untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri apalagi ditambah dengan rendahnya pendapatan dan jumlah anggota keluarga yang harus diberi makan sehingga tingkat kecukupan gizi bagi ibu menyusui akan kurang dan berdampak pada produksi ASI yang juga akan kurang (SKRT, 2004). Peryataan ini juga didukung oleh Aispassa (1998) yang menyatakan bahwa adanya korelasi yang memiliki keterkaitan yang amat signifikan antara status penghasilan keluarga dengan pemberian ASI ekslusif. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnawati (2001) yang menyatakan bahwa ibu menyusui dengan tingkatan penghasilan keluarga yang rendah hanya memiliki peluang 4.6 kali dalam hal memberikan ASI ekslusif dibandingkan dengan ibu menyusui yang memiliki tingkat sosial ekonmi yang lebih tinggi. Sebagai pernyataan pendukung dari pernyataan sebelumnya, dikemukakan oleh Ranisah (2003) dalam hasil penelitiannya menyatakan tingkatan faktor penghasilan keluarga seseorang memiliki pengaruh terhadap tingkat pemberian ASI. Terciptanya status gizi yang baik harus ditunjang oleh tingkat ekonomi yang juga baik. 6. Faktor konseling selama kehamilan dan persalinan Penyuluhan kesehatan adalah suatu pemberian informasi melalui media komunikasi, informasi dan edukasi dalam meningkatkan penggunaan ASI. Masalah utama dan mendasar dari kegiatan ini adalah para ibu menyusui sangat membutuhkan keyakinan dalam merawat dan menyusui bayi mereka dan keyakinan tersebut bisa mereka dapatkan melalui fasilitas-fasilitas kesehatan dan tambahan informasi yang mendukung (Soetjiningsih, 2004).
Pada waktu ibu memeriksakan kehamilan, para petugas kesehatan dapat menjadikan hal tersebut untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya ASI, bagaimana manajeman laktasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan menyusui. Seiring dengan intensitas ANC yang lebih besar maka akan mempengaruhi ibu untuk menyusui bayinya secara ekslusif. Riwayat ANC ≥ 4 kali menunjukkan bahwa akses pelayanan kesehatan ibu hamil sudah mencukupi, artinya ibu hamil bisa mendapatkan informasi mengenai kehamilan dan persiapan menyusui dari tenaga kesehatan. Pada penelitian Duong di wilayah pedesaan Vietnam dan penelitian Chandrashekhar di wilayah perkotaan Nepal menunjukkan bahwa konseling selama ANC oleh tenaga kesehatan merupakan faktor yang berperan penting terhadap pemberian ASI. Penolong persalinan merupakan kunci utama keberhasilan pemberian ASI dalam satu jam pertama setelah melahirkan (immediate breastfeeding) karena dalam waktu tersebut peran penolong persalinan masih sangat dominan. Apabila penolong persalinan memfasilitasi ibu untuk segera memeluk bayinya maka interaksi ibu dan bayi diharapkan segera terjadi (Rahardjo, 2006). Menurut sejumlah ahli ternyata ada perilaku yang menyebabkan terjadinya penyimpangan persepsi pada ibu-ibu yang melakukan persalinan di rumah sakit atau klinik bersalin. Prioritas utama petugas kesehatan pada rumah sakit atau klinik bersalin hanya sebatas pada proses persalinan tanpa memperhatikan proses setelah persalinan. Mereka hanya memfokuskan usaha mereka pada proses persalinan agar terjadi secara lancar baik dan ibu serta anaknya berada dalam kondisi selamat dan sehat. Hal itu bukan merupakan hal yang salah namun alangkah baiknya
mereka juga memperhatikan proses setelah persalinan terutama pemberian ASI bahkan terkadang setelah dilahirkan, bayi langsung diberikan susu buatan atau susu formula. Hal ini memberikan persepsi yang salah pada ibu yang melahirkan sehingga tiimbul anggapan bahwa susu formula lebih baik daripada ASI. Timbulnya anggapan ini juga dipengaruhi oleh informasi-informasi yang ada di sekitar kamar bersalin atau ruang pemeriksaan. Di sekililingnya ada poster-poster dan berbagai gambar yang mempengaruhi keinginan pemakaian susu formula. Selain informasi tersebut, ternyata tidak semua petugas kesehatan mengetahui informasi untuk menganjurkan pemberian ASI sejak dini kepada para ibu yang baru melahirkan. Hal ini masih sangat sering dijumpai pada klinik bersalin ataupun rumah sakit (Moehji, 1988). Hasil wawancara mendalam pada studi kualitatif yang dilakukan oleh Putra (2008) di salah satu puskesmas di Provinsi Sumatera Barat ditemukan bahwa praktek bidan terhadap pemberian ASI cukup mengagetkan. Ditemukan bahwa sebagian bidan mengakui pernah memberikan susu bantu kepada bayi dengan indikasi apabila dalam dua jam belum juga keluar ASI karena takut terjadi hypoglikemi. Dalam menyusui, tidak ada kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi karena bayi diberikan ke ibu dalam keadaan sudah terbungkus. Hal ini berlawanan dengan pendapat bidan-bidan yang disampaikan pada penggalian informasi dengan cara diskusi kelompok terarah (DKT) yaitu semua bidan membantu ibu menyusui bayinya sebelum satu jam tanpa berusaha untuk memberikan susu bantu.
7. Inisiasi menyusu dini Inisiasi menyusu dini (IMD) (early breastfeeding initiation) adalah bayi menyusu segera setelah lahir. Bayi diletakkan di atas perut ibu sehingga terjadi kontak kulit bayi langsung dengan kulit ibunya setidaknya dalam satu jam segera setelah lahir dengan cara bayi merangkak mencari payudara (Roesli, 2005). IMD merupakan salah satu poin pedoman untuk keberhasilan menyusui yang dikemukakan WHO/UNICEF pada tahun 2005 mengenai Breast Feeding Promotion and Support, yaitu: “Mulai menyusui segera setelah lahir (dalam waktu satu jam)” (Kemenkes RI, 2010). Bayi umumnya mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengisap ASI dari buah dada ibunya. Beberapa jam berikutnya setelah lahir, kemampuan mengisap itu mulai menurun maka sebaiknya bayi disusui segera setelah lahir. Beberapa alasan mengapa dianjurkan agar ibu menyusui bayinya segera setelah lahir yaitu menyusui bayi akan memberikan kepuasan dan ketenangan pada ibu. Beberapa ahli menyatakan bahwa menyusui akan memberikan rasa kebanggaan pada diri ibu bahwa ia telah dapat memberikan kehidupan pada bayinya; hisapan air susu akan mempercepat proses kembalinya uterus ibu ke ukuran yang normal. Pada saat bayi mulai menyusu, uterus ibu akan berkontraksi yang kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri; dan penelitian menunjukkan bayi yang disusui segera setelah lahir (60 menit setelah lahir), lebih jarang menderita infeksi dan keadaan gizinya dalam tahun pertama usianya jauh lebih baik dibanding bayi yang terlambat diberi ASI (Moehji, 1988).
Data nasional di Amerika Serikat menunjukkan bahwa meskipun terjadi peningkatan ibu yang melakukan IMD, tetapi banyak di antaranya yang tidak mampu memenuhi syarat menyusui secara eksklusif sesuai rekomendasi dalam hal ekslusivitas dan lamanya (durasi) menyusui. Angka tertinggi untuk kegagalan ini ditemukan terjadi pada minggu pertama setelah bayi dilahirkan. Persepsi ketidakcukupan ASI adalah alasan yang paling sering dikemukakan oleh ibu-ibu yang berhenti menyusui dan terjadi di sebagian besar populasi di dunia (WHO (2000) dalam Gatti, 2008). Studi cross-sectional di Taiwan yang dilakukan oleh Huang et al. (2009) mengungkap bahwa IMD memiliki hubungan yang bermakna dengan persepsi ibu terhadap suplai ASI-nya (nilai-p=0,002). Hasil penelitian Aisyah (2009) menunjukkan bahwa salah satu faktor kegagalan praktik pemberian ASI eksklusif disebabkan karena belum adanya praktik pemberian ASI pada satu jam pertama setelah melahirkan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fikawati di Wilayah Puskesmas Jagakarsa Jakarta Selatan melaporkan bahwa IMD berpengaruh nyata terhadap pelaksanaan ASI eksklusif. Peran tenaga kesehatan dalam IMD adalah penting (Fikawati, 2010). Dengan IMD, ibu semakin percaya diri untuk tetap memberikan ASI-nya sehingga tidak merasa perlu untuk memberikan makanan/minuman apapun kepada bayi karena bayi bisa nyaman menempel pada payudara ibu segera setelah lahir (Fikawati, 2009). 8. Faktor dukungan keluarga Kesuksesan menyusui sangat dipengaruhi orang-orang terdekat sang ibu. Tidak hanya ayah saja, dukungan dari anggota keluarga seperti kakek, nenek,
mertua, adik, kakak dan seluruh keluarga besar. Mereka bisa membangkitkan semangat ibu untuk terus menyusui atau justru membuat ibu menyusui ragu dan menyerah sehingga tidak melanjutkan menyusui. Roesli (2005) menyatakan bahwa dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya terhadap keberhasilan ASI ekslusif. Adanya dukungan keluarga terutama suami akan berdampak pada peningkatan rasa percaya diri atau motivasi dari ibu dalam menyusui. Suririnah (2004) menyatakan bahwa motivasi seorang ibu sangat menentukan dalam pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan. Disebutkan bahwa dorongan dan dukungan dari pemerintah, petugas kesehatan dan dukungan keluarga menjadi penentu timbulnya motivasi ibu dalam menyusui. Selain itu ada juga teori dari Friedman (2010) yang menyatakan bahwa keluarga bisa memberikan dalam berbagai bentuk dukungan seperti, dukungan informasi, dukungan penghargaan, dukungan instrumental dan dukungan emosional. Dukungan tersebut diberikan setiap saat baik saat ibu baru mulai proses kehamilan, proses persalinan, mulai proses menyusui bahkan sampai selesai proses menyusui. Dukungan dalam proses pemberian ASI tersebut dibutuhkan oleh ibu menyusui hingga 2 tahun dan disertai pula dengan perawatan kesehatan dan pemberian dukungan dari keluarga serta lingkungannya (Proverawati, 2010). Dukungan terbesar yang datangnya dari keluarga adalah dari suami ibu itu sendiri. Suami merupakan elemen utama dalam dukungan yang diberikan kepada ibu menyusui. Dukungan suami bisa memberikan keberhasilan atau kegagalan dalam pemberian ASI karena suami dapat mempengaruhi kondisi emosi ibu menyusui yang ditunjang oleh pemahamaan terhadap pentingnya ASI (Roesli,
2005). Menurut KTT (1990) dukungan keluarga terhadapa proses pemberian ASI memiliki peranan yang sangat penting untuk memberikan pemahaman terhadap ibu menyusui agar memberikan ASI kepada bayi sampai 6 bulan pertama kehidupannya. Semakin besar dukungan yang diberikan keluarga, semakin besar juga kesempatan anak untuk bertahan dan diberikan ASI secara ekslusif. Seorang ibu menyusui yang tidak didukung oleh pihak keluarganya untuk memberikan ASI, cenderung akan beralih menggunakan susu formula (Proverawati, 2010). Hasil penelitian Nuraini (2009) menunjukkan variabel dukungan keluarga mempunyai pengaruh terhadap pemberian ASI ekslusif. Dari hasil analisis dengan Chi-square tes uji hipotesis dengan menggunakan taraf signifikansi 95%, hasil dapat disimpulan bahwa terdapat adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan dukungan keluarga dalam pemberian ASI ekslusif. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Sudiharto (2007) yang menyatakan bahwa dukungan terbesar yang didapat oleh ibu menyusui untuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya didapatkan dari keluarga terdekat. Dukungan keluarga dapat memberikan motivasi kepada ibu menyusui untuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya hingga berusia 6 bulan. Dukungan ini juga bisa dalam bentuk dukungan moral dan psikologi agar ibu selalu memberikan yang terbaik bagi bayinya termasuk pemberian ASI dan nutrisi yang seimbang. Dukungan keluarga merupakan faktor pendukung yang pada prinsipnya adalah suatu kegiatan baik bersifat emosional maupun psikologis yang diberikan kepada ibu menyusui dalam memberikan ASI. Seorang ibu yang tidak pernah mendapatkan nasehat atau penyuluhan tentang ASI dari keluarganya dapat
mempengaruhi sikapnya ketika dia harus menyusui sendiri bayinya (Lubis, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asmijati (2007) menyebutkan ibu yang mendapat dukungan keluarga memiliki kemungkinan memberikan ASI ekslusif 6.5 kali lebih besar dibanding dengan ibu yang tidak mendapat dukungan keluarga. Penelitian lain juga mengatakan bahwa ibu yang tidak mendapat dukungan keluarga akan meningkatkan risiko untuk tidak memberikan ASI ekslusif (Mardiyanti, 2007). 9. Faktor dukungan petugas kesehatan Pengaruh negatif mengenai menyusui terkadang datang dari sikap petugas kesehatan itu sendiri. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anand (1981), menemukan bahwa adanya pengaruh negatif yang diberikan oleh petugas kesehatan dalam menentukan pemilihan makanan untuk bayi. Hal yang nyata dilakukan oleh para petugas kesehatan tersebut adalah perlakuan pasif seperti tidak menyarankan atau memberikan pertolongan kepada ibu apabila menemukan kesulitas dalam menyusui. Perilaku tersebut ada juga yang bersifat aktif seperti memberikan jalan keluar yang salah saat ibu menyusui menemukan sebuah masalah. Contohnya saat ibu menyusui menemui kendala dalam menyusui atau memberikan ASI, namun para petugas kesehatan malah menyarankan untuk beralih ke susu formula. Kemudian informasi yang diberikan terkadang bias dan tidak jelas dan hal ini memicu sangat mudah mempengaruhi keputusan para ibu menyusui serta menimbulkan kecemasan sehingga menggangu reflek prolaktin pada ibu menyusui, bahkan pengertian ini memberikan pemahaman kepada ibu-
ibu menyusui bahwa itu merupakan sebuah anjuran untuk tidak memberikan ASI kepada bayi mereka (Soetjiningsih, 1997). Dalam meningkatkan penggunaan ASI, masalah utama yang dihadapi adalah bahwa ibu-ibu membutuhkan bantuan dan informasi yang mendukung sehingga menambah keyakinan bahwa mereka akan dapat menyusui bayinya dengan sukses (Barbados (1979) dalam Soetjiningsih (1997)). Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nofriyentesni (2011) bahwa ibu yang kurang mendapat dukungan tenaga kesehatan memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya sebesar 2,8 kali jika dibandingkan dengan ibu yang mendapatkan dukungan dari tenaga kesehatan. Ketersediaan konselor menyusui di fasilitas pelayanan kesehatan turut mempengaruhi peningkatan keberhasilan pemberian ASI karena hal tersebut merupakan salah satu bentuk dukungan dari tenaga kesehatan yang terdapat di fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, Kemenkes mengupayakan agar tersedianya konselor menyusi dalam setiap pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas dan rumah sakit sehingga akan membantu para ibu yang memiliki kendala memberikan ASI. Selain ketersediaan konselor menyusui, aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, pesan tentang manfaat pemberian ASI akan makin cepat sampai ke masyarakat. Komunikasi dapat dilakukan melalui media massa atau memanfaatkan jaringan elektronik berupa website dan jaringan internet (Kemenkes RI, 2011).
24