BAB II KAJIAN PUSTAKA
Bab ini membahas teori-teori yang digunakan dalam penelitian, baik teori utama maupun teori pendukung, untuk menganalisis faktor-faktor penyebab language shift yang dibahas pada Bab III Analisis Data berdasarkan aspek teoritis.
2.1 Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang lebih menitik beratkan teori-teorinya pada kegiatan berbahasa sekelompok masyarakat dalam sebuah lingkungan. Menurut Radford, Andrew (1999:20), “Sociolinguistics is the study of the relationship between language use and structure of society.” Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa yang digunakan dan struktur dalam masyarakat. Dalam hal ini bahasa yang digunakan akan berbeda tergantung kebutuhan, apakah bahasa tersebut formal atau tidak formal, halus ataupun kasar. Senada dengan Radford, Holmes (2001:1) juga menyatakan: “Sociolinguistics is study the relationship between language and society. They are interested in explaining why we speak differently in different social context, and they are concerned with identifying the social function of language and the ways it is used toconvey social meaning.” Kajian sosiolinguistik mempelajari hubungan antara bahasa dengan masyarakat sosial. Dalam hal ini, sosiolinguistik lebih berfokus dalam menjelaskan mengapa manusia berkomunikasi secara berbeda-beda dalam keadaan sosial yang berbeda
11
12
pula dan juga mengkaji dengan mengenali fungsi sosial dari satu bahasa dan cara bahasa tersebut digunakan untuk menyampaikan pesan.” Fasold (1993:19) mengemukakan bahwa inti sosiolinguistik tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasabahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain. “Sosiolinguistics is the study of the characteristics of language varieties, the characteristics of their functions, and the characteristics of their speakers as these three constantly interact, change and change one another within a speech community.” (Fishman, 1972) Sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi–fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat. Berdasarkan beberapa pengertian menurut para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik merupakan cabang ilmu linguistik yang erat kaitannya dengan sosiologi, hubungan antara bahasa dengan faktor- faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur serta mengkaji tentang ragam dan variasi bahasa. Selanjutnya menurut Holmes, ada empat kategori dimensi analisis sosiolinguistik, yaitu: 1. Jarak sosial atau solidaritas (social distance/solidarity); mengacu pada penggunaan bahasa yang dipengaruhi oleh kedekatan hubungan atau persamaan sikap dan nilai yang dimiliki oleh pembicara dan mitra bicara. 2. Status atau kekuasaan (status/power); mengacu pada penggunaan bahasa yang dipengaruhi status sosial dan kekuasaan.
13
3. Formalitas (formality); mengacu pada ragam bahasa yang digunakan berdasarkan konteks situasi. 4.
Fungsi (afektif dan referensial); mengacu pada jenis pesan yang disampaikan,
dapat
berupa
pesan
sosial/afektif
atau
informatif/referensial (affective and referential). Adapun menurut Chaer (2004:5) ada tujuh dimensi yang merupakan penelitian sosiolinguistik yaitu: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. Dari penjelasan Chaer di atas memiliki persamaan dengan dimensi-dimensi yang telah disebutkan oleh Holmes sebelumnya, namun Chaer lebih memperinci lagi dimensinya.
2.1.1
Variasi Bahasa Sebagai sebuah langue, bahasa mempunyai sistem dan subsistem yang
dipahami sama oleh semua penutur bahasa. Namun, karena penutur bahasa tersebut berada dalam masyarakat tutur, tidak merupakan kumpulan manusia yang homogen, maka wujud bahasa konkret yang disebut parole, menjadi tidak seragam dan itulah yang membuat bahasa itu menjadi bervariasi dan beragam. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh
14
para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Setiap kegiatan memerlukan atau menyebabkan terjadinya keberagaman bahasa itu. keberagaman ini akan semakin bertambah kalau bahasa tersebut digunakan oleh penutur yang sangat banyak, serta dalam wilayah yang sangat luas. Variasi bahasa adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu. Menurut Janet Holmes, (2001:223): “Language varies according to its uses as well as its users, according to where it is used and to whom, as well as according to who is using it”. Variasi bahasa berubah-ubah menurut kegunaan dan penggunanya, tempat dimana bahasa digunakan, dengan siapa serta siapa yang menggunakan bahasa tersebut.
2.1.2
Konteks dan Situasi Konteks diartikan sebagai bagian suatu uraian atau kalimat yang dapat
mendukung atau menambah kejelasan makna. Istilah konteks dan situasi sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa. Walau kata konteks dan situasi sering diiringi penggunaannya, sebaliknya diadakan juga perbedaan antara kedua kata itu. Kata- kata pada satu bahasa yang dapat kita pahami tanpa mengenal konteksnya. (Poerwadarminta 2008:156) Fishman (dalam Tarigan, 1988:3) beserta pakar sosiolinguistik lainnya sangat yakin bahwa: Maksud dan tujuan penggunaan satu atau dua bahasa sangatlah beraneka ragam dan barbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya dari orang ke
15
orang tergantung pada topik, penyimak dan konteks. Berdasarkan penggunaannya, berarti bahasa itu digunakan untuk apa, dalam bidang apa, apa jalurnya, dan alatnya serta bagaimana situasi keformalannya. Dari penjelasan Fishman di atas dapat dilihat bahwa konteks dan situasi bahasa sangatlah berpengaruh dalam pemilihan suatu bahasa karena alasan-alasan yang telah disebutkan tadi.
2.2 Language Shift Language shift terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang mengubah bahasa utama yang mereka gunakan dalam berkomunikasi. Hal ini dapat terjadi ketika bahasa asli digantikan dengan bahasa regional atau bahasa global, dan ketika bahasa warga imigran yang mulai digantikan dengan bahasa yang dominan dari negara yang ia tinggali. Adapun pengertian language shift adalah sebagai berikut: Menurut Holmes (2001): “Language shift is the process by which a new language is acquired by new community usually resulting with the loss of the community’s first language, and language maintenance refers to the situation where speech commuity continues to use its traditional language in the face of a host of condition that might foster a shift to another language. If language maintenance does not occur, there can be several results. One is language death; speakers become bilingual, younger speakers become dominant in another language, and the language is said to die. The speakers or the community does not die, of course, they just become a subset of speakers of another language. The end result is language shift for the population, and if the language isn't spoken elsewhere, it dies”. Pergeseran bahasa adalah proses di mana bahasa baru diakuisisi oleh komunitas baru yang biasanya dihasilkan dari hilangnya bahasa pertama mereka dan pemertahanan bahasa mengacu pada situasi di mana komunitas penutur terus
16
menggunakan bahasa tradisional dalam menghadapi semua kondisi yang mungkin mendorong pergeseran ke bahasa lain. Jika pemertahanan bahasa tidak dilakukan, maka akan ada beberapa hasil. Salah satunya adalah kematian bahasa; masyarakat akan menjadi bilingual, anak muda menjadi dominan dalam bahasa lain, dan bahasa tradisional pun akan mati. Penutur atau masyarakat tidaklah mati, tentu saja, mereka hanya menjadi bagian dari penutur bahasa lain. Hasil akhirnya adalah pergeseran bahasa untuk masyarakat, dan jika bahasa tidak dituturkan di tempat lain, maka bahasa tersebut menjadi mati. Holmes menjelaskan bahwa kematian bahasa (language death) terjadi ketika sebuah bahasa sudah tidak memiliki penuturnya. Kematian bahasa merupakan akhir dari kehilangan bahasa yang biasanya berada dalam situasi di mana suatu bahasa yang dominan mengancam keberlangsungan bahasa minoritas. Minoritas dipahami secara demografis, dalam kaitannya dengan jumlah penutur asli atau secara fungsional berkaitan dengan masalah politik, sosial, atau subordinasi budaya terhadap dominasi bahasa mayoritas. Biasanya, semua karakteristik bahasa minoritas ini berlangsung secara simultan. Konsekuensi dari kematian bahasa secara khusus terjadi dalam ketidakstabilan masyarakat tutur yang dwibahasawan atau multibahasawan sebagai akibat pergeseran bahasa karena keterdesakan bahasa minoritas dari dominasi bahasa mayoritas.
Pengertian language shift menurut Fishman (1964) mengatakan bahwa; “The study of language maintenance and language shift is concerned with the relationship between change or stability in habitual language use, on the one hand, and ongoing psychological, social or cultural processes, on
17
the other hand, when populations differing in language are in contact with each other”. Studi tentang pemertahanan bahasa dan pergeseran bahasa berdasarkan dengan hubungan antara perubahan atau stabilitas dalam penggunaan pola bahasa, yang di satu sisi penggunaanya terjadi dalam psikologis, sosial atau proses budaya, dan di sisi lain, terjadi apabila penduduk yang berbeda bahasa melakukan komunikasi antar kelompok. Ada pula menurut Fasold (1984:212) menyatakan bahwa pemertahanan dan pergeseran bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ia merupakan hasil kolektif dari pilihan bahasa (language choice). Selanjutnya, Fasold mengemukakan pergeseran bahasa seperti yang dikutip di bawah ini: “Language shift simply means that a community gives up a language completely in favour of another one. The members of the community, when the shift has taken place, have collectivelly chosen a new language where and old one used to be used. In language maintenance, the community collectivelly decides to continue using the language in domains formely shift in progress. If the members of speech community are monolingual and are not collectively acquiring another language, then they are obviously maintaining their language use pattern. (Fasold 1984:213)” Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa itu terjadi manakala masyarakat pemakai bahasa memilih suatu bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa itu terjadi karena masyarakat bahasa tertentu beralih ke bahasa lain, biasanya bahasa yang dominan dan berprestise, lalu digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama, pemertahanan bahasa dalam masyarakat bahasa tetap menggunakan
18
bahasa-bahasa secara kolektif atau secara bersama-sama dalam ranah-ranah pemakaian tradisional. Pengertian language shift dalam kamus Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics (2002), adalah sebagai berikut: “Language shift is the process by which a new language is acquired by a community usually resulting with the loss of the community’s first language”. ”Pergeseran bahasa merupakan proses di mana bahasa yang baru diperoleh oleh suatu masyarakat yang biasanya dihasilkan dari hilangnya bahasa pertama mereka.” Dari hasil penjelasan language shift di atas menyebutkan bahwa kebanyakan pergeseran bahasa terjadi akibat masuknya bahasa baru karena suatu lingkungan. Oleh sebab itulah bahasa lama menjadi bahasa yang jarang atau tidak digunakan lagi. Adapun beberapa pelaku language shift menurut Holmes (2001) meliputi kalangan dibawah ini: 2.2.1
Minoritas Migran.
Orang-orang biasanya beralih cepat dari satu frase ke frase berikutnya. Misalnya, reaksi terhadap alih kode gaya negatif di banyak komunitas, meskipun fakta bahwa kemahiran dalam intrakalimat alih kode memerlukan kontrol yang baik dari kedua kode. Hal ini mungkin mencerminkan sikap dari mayoritas kelompok monolingual di tempat-tempat seperti di Amerika Utara dan Inggris. Di tempat-tempat seperti New Guinea dan Afrika Timur di mana multilingualisme adalah norma dan sikap untuk mahir dalam alih kode jauh lebih positif. Urutan wilayah di mana terjadi pergeseran bahasa dapat berbeda untuk individu yang berbeda dan kelompok yang berbeda, namun secara bertahap dari
19
waktu ke waktu satu bahasa mampu menggantikan luas bahasa minoritas bahasa ibu individu tersebut. Ini mungkin memakan waktu tiga atau empat generasi tapi terkadang pergeseran bahasa dapat dilengkapi hanya dalam dua generasi saja. Biasanya, migran hanya memiliki satu bahasa yakni bahasa ibu mereka, sedangkan anak-anak mereka berbahasa bilingual, dan cucu mereka sering monolingual dalam bahasa negara mereka.
2.2.2
Masyarakat Non-Migran Pergeseran bahasa tidak selalu merupakan hasil dari migrasi atau
perpindahan penduduk. Perkembangan politik, ekonomi dan sosial di suatu daerah juga dapat berakibat pada perubahan linguistik. Misalnya di lingkungan sosial dan ekonomi tertentu ada yang disebut kelas atas dan kelas bawah yang memiliki gaya bahasa atau pemilihan bahasa yang berbeda dengan lingkungan lainnya tergantung dari kelas sosialnya.
2.2.3
Mayoritas Migran Ketika pergeseran bahasa terjadi, pergeseran tersebut selalu bergeser ke
arah kelompok bahasa domain yang kuat, karena sebuah kelompok domain tidak memiliki insentif untuk mengadopsi bahasa minoritas. Bahasa domain dikaitkan dengan status, prestise, dan keberhasilan sosial. Sehingga ketika suatu bahasa mati secara bertahap bahasa lainnya pun menggantikan posisi bahasa tersebut. Menurut Holmes (2001), berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat berkontribusi terhadap pergeseran bahasa, yaitu:
20
1. Faktor Ekonomi, Sosial dan Politik a. Bahasa yang dominan dikaitkan dengan status sosial dan prestise, b. Mendapatkan pekerjaan adalah alasan ekonomi yang jelas untuk belajar bahasa lain, c. Tekanan domain institusi seperti sekolah dan media. 2. Faktor Demografi a. Pergeseran bahasa lebih cepat di daerah perkotaan dibandingkan di pedesaan, b. Ukuran kelompok adalah beberapa kali faktor kritis, c. Perkawinan
antara
kelompok-kelompok
dapat
mempercepat
pergeseran bahasa. 3. Sikap dan Nilai-Nilai Pergeseran bahasa cenderung lebih lambat di kalangan masyarakat di mana bahasa sangat dihargai, terutama jika bahasa dipandang sebagai simbol penting dari identitas. Sikap positif tersebut mendukung upaya untuk menggunakan bahasa minoritas di berbagai domain, dan ini membantu orang melawan tekanan dari kelompok mayoritas untuk beralih ke bahasa mereka. Di mana Ia memiliki status dalam masyarakat, ini akan sangat membantu untuk mempertahankan bahasa tertentu karena bahasa akan dianggap sebagai ciri suatu daerah atau negara yang membuat seseorang merasa bangga akan bahasanya.
21
2.3 Bilingualisme Istilah bilingualisme atau kedwibahasaan secara sosiolinguistik diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya, dengan orang lain secara bergantian. Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang bilingual (dwibahasa), kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas. Menurut Trask (1999:30), “Bilinguallism is the ability of people to speak two languages in one or particular situation, time, and occupasion. An individual use of two languages suppose the existence of two different language communities”. Dalam hal ini dapat dijelaskan bahwa kedwibahasaan atau bilingualisme adalah milik individu. Penggunaan individu dari dua bahasa menunjukkan adanya dua komunitas bahasa berbeda. Adapun pendapat menurut Bloomfield dalam bukunya Language (1933:56) bilingual adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Pendapat Bloomfield banyak mendapat kritikan, karena pertama: bagaimana mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua buah bahasa yang digunakannya, kedua: mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakan B2-nya sama baik dengan B1-nya. Batasan Bloomfield ini banyak dimodifikasi orang. Lobert Lado (1964:214) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya.
22
Menurut Haugen (1961:13) “Mengetahui akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja dan mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya.” Diebold (1968:10) menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualism) yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme itu masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Namun, tidak dapat diabaikan karena pada tahap inilah terletak dasar bilingualisme. Dari uraian di atas, bilingualisme merupakan satu rentangan berjenjang mulai menguasai B1 (bahasa pertama) ditambah tahu sedikit akan B2 (bahasa kedua), dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang meningkat, hingga menguasainya dengan baik. Halliday (Fishman 1968: 141) menyebutnya ambilingual, Oksaar (Sebeok 1972: 481) menyebutnya ekuilingual, sedangkan oleh Diebold (Hymes 1964: 496) menyebutnya koordinat bilingual. Selanjutnya Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode, berarti bahasa itu bukan langue, melainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Mackey (1962:12) dengan tegas mengatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Untuk penggunaan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Berarti bahasa menurut Mackey adalah langue. Sementara
23
Weinrich (1968:1) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakan tingkat-tingkat yang ada di dalamnya. Baginya, menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Haugen (1968: 10), juga Rene Appel (1976: 176). Haugen mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan mengenai bilingual, yaitu sebagai berikut: 2.3.1 Tingkat Kemampuan Kemampuan berbahasa seseorang akan nampak pada empat keterampilan, yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantik, dan gaya bahasa. Apabila seseorang telah menguasai keempat aspek keterampilan tersebut maka ia dapat disimpulkan memiliki kemampuan yang sangat kompeten. Dengan kata lain aspek-aspek keterampilan di atas mempermudah seseorang untuk dianalisis kemampuannya dalam berbahasa atau dalam suatu bahasa. 2.3.2 Pergantian Antarbahasa Pergantian antarbahasa ini bergantung pada kefasihan dan juga fungsi eksternal dan internal penutur. Kondisi-kondisi penutur dalam berganti bahasa tersebut diciptakan paling tidak oleh tiga hal, yang pertama topik pembicaraan, yang kedua orang yang terlibat dalam pembicaraan tersebut dan yang terakhir rasa canggung yang diakibatkan ketidaksepahaman pembicara. Misalnya ada dua orang penutur yang mana berasal dari dua daerah yang berbeda sedang saling berkomunikasi akibat perbedaan daerah tadi salah satu
24
penutur pun tidak dapat memahami bahasa lawan bicaranya dan merasa canggung sehingga ia mengganti bahasa obrolan mereka ke bahasa lain yang dapat dipahami keduanya.
2.3.3 Interfensi Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya kebiasaankebiasaan ujaran bahasa atau dialek bahasa pertama kedalam dialek bahasa kedua. Interfensi bisa terjadi pada: pengucapan, tata bahasa, kosakata dan makna bahkan budaya. Dengan demikian deskripsi interfensi memiliki sifat individual, sehingga mengakibatkan idiosinkrasi dan parole penutur. Misalnya masyarakat yang berasal dari suku Melayu dengan orang yang berasal dari kota besar walaupun bahasa Melayu dan bahasa Indonesia berasal dari satu bahasa yang sama namun akibat perkembangan zaman sehingga bahasa Indonesia pun mengalami perubahan. Oleh sebab itu ada beberapa kosakata atau dialek yg berbeda satu sama lain dan ini akan mengakibatkan ketidaksepahaman dalam berkomunikasi dan membuat penutur untuk merubah bahasanya ke bahasa yang dapat di mengerti keduanya.
2.4 Multilingualisme Istilah “bilingualisme” (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan istilah “multilingualisme” (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu, kelompok, atau masyarakat (regional, nasional, bangsa, dan negara).
25
Menurut Alexandra Aikvenhald (2003:1) Multilingualisme lebih merujuk pada penggambaran seorang penutur yang menguasai lebih dari dua bahasa, tiga bahasa, atau empat, bahkan lima bahasa sekaligus. Penggunaanya hampir sama dengan bilingualisme, yakni tahu kapan dan di mana suatu bahasa akan digunakan. Misalnya saja orang Jawa, selain mampu berbahasa Jawa (sebagai bahasa ibunya), juga mampu berbahasa Indonesia sebagai B2, dan bahasa Inggris sebagai B3, bahkan ada beberapa yang bisa bahasa Jepang, Belanda, dan sebagainya. Multilingual adalah masyarakat yang mempunyai atau menggunakan beberapa bahasa dalam kegiatannya. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyarakat tersebut sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society). (Paina Partana, 2002: 76). Dari pernyataan di atas dapat di lihat bahwa masyarakat multilingual bisa terbentuk akibat adanya pengaruh dari etnis-enis yang ada di sekitarnya. Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan banyak faktor. Perkembangan teknologi
komunikasi,
adanya
globalisasi,
pesatnya
dunia
pendidikan
menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan jaman secara tidak langsung membaurkan antarbahasa. Dalam sejarah terbentuknya bahasa yang beragam, dapat kita lihat setidak – tidaknya ada 4 pola yaitu melalui migrasi, penjajahan, federasi dan keanekabahasaan di wilayah perbatasan seperti yang diungkapkan Alexandra Aikvenhald (2003: 17-21).
26
2.4.1 Migrasi Migrasi atau perpindahan penduduk adalah faktor yang terbesar dalam menimbulkan masalah kebahasaan dan hakikatnya dapat dibagi menjadi 2 jenis. Jenis pertama adalah sekelompok besar penduduk yang melebarkan sayap ke wilayah lain yang sudah dihuni oleh kelompok-kelompok lain, sehingga membuat beberapa daerah tersebut menjadi menggunakan bahasa yang sama. Jenis kedua terjadi jika sejumlah kecil anggota etnik memasuki wilayah yang sudah dibawah kontrol nasional lainnya, misalnya perpindahan seseorang ke daerah lainnya yang jauh dari tempat asalnya (antar negara).
2.4.2 Penjajahan Dalam proses penjajahan kontrolnya dipegang oleh sejumlah orang yang relatif sedikit dari nasionalitas pengontrol di wilayah baru itu. Misalnya suatu negara yang telah dijajah oleh negara lainnya sehingga pada saat merdeka negara baru tersebut memiliki bahasa yang dimiliki oleh negara yang menjajahnya. Seperti negara Australia yang dulu dijajah oleh Inggris pada saat itu di Australia suku aslinya berbahasa aborigin karena komunikasi yang sulit sehingga tentara Inggris pun mengajarkan bahasa Inggris yang sampai sekarang telah menjadi bahasa resmi dan mayoritas di sana.
2.4.3 Federasi Federasi adalah penyatuan berbagai etnik atau nasionalitas suatu negara yang berada dibawah kontrol politik satu negara. Misalnya seperti salah satu contoh
27
negara Skotlandia yang gagal merdeka pada Sembilan belas September tahun lalu, karena sebagian besar warganya tetap memilih dibawah kepemimpinan kerajaan Inggris dari pada menjadi sebuah negara baru yang mandiri dan merdeka. Selain Skotlandia banyak negara lainnya yang juga mengalami nasib yang sama, yaitu berada di bawah kepemimpinan negara lain dan data riset ini diambil dari website resmi milik BBC.
2.4.4 Keanekabahasaan di Wilayah Perbatasan Asal mula keanekabahasaan biasa terjadi di wilayah perbatasan akibatnya di perbatasan bisa jadi ada penduduk yang jadi warga negara A tapi secara sosiokultural menjadi warga negara B. Komplikasi wilayah perbatasan biasanya dihubungkan dengan perang. Bangsa yang kalah dipaksa untuk menyerahkan sebagian wilayahnya kepada bangsa yang menang. Seperti yang terjadi di Republik Suriname (Surinam) pada Jungblut (1999/2000) , dulu bernama Guyana Belanda atau Guiana Belanda adalah sebuah negara di Amerika Selatan dan merupakan bekas jajahan Belanda. Negara ini berbatasan dengan Guyana Perancis di timur dan Guyana di barat. Di selatan berbatasan dengan Brasil dan di utara dengan Samudra Atlantik. Di Suriname tinggal sekitar 75.000 orang Jawa dan dibawa ke sana dari Hindia Belanda antara tahun 1890-1939. Suriname merupakan salah satu anggota Organisasi Konferensi Islam dan bahasa Belanda merupakan bahasa resmi di Suriname. Orang Suriname juga berbicara bahasa mereka: Sranang Tongo, bahasa Hindustani, bahasa Jawa Suriname, dan lainnya. Dan juga bahasa asal bahasa
28
Karibia dan bahasa Arawakan, orang India Suriname juga bicara bahasa mereka sendiri. Selain itu, bahasa Inggris juga digunakan luas, terutama dalam fasilitas dan toko yang berorientasi pariwisata. Semua bahasa ini tercipta karena pada zaman penjajahan dulu dan tetap digunakan sampai sekarang.