42
BAB II BANK INDONESIA SEBAGAI LENDER OF THE LAST RESORT
A. Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Republik Indonesia 1.
Landasan Yuridis Sebelum Indonesia merdeka, Indonesia belum memiliki bank sentral seperti yang
ada pada saat ini. Pada periode tersebut fungsi bank sentral hanya terbatas sebagai bank sirkulasi. Tugas sebagai bank sirkulasi dilaksanakan oleh De Javasche Bank NV yang diberi hak oktrooi tahun 1827, yaitu hak mencetak dan mengedarkan uang Gulden Belanda oleh Pemerintah Belanda. 73 Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam penjelasan bab VII pasal 23 UUD 1945 disebutkan bahwa dibentuk sebuah bank sentral yang disebut Bank Indonesia dengan tugas mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas. Selanjutnya, pada tanggal 19 September 1945 dalam sidang Dewan Menteri, Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk mendirikan satu bank sirkulasi berbentuk bank milik negara. Berkaitan dengan hal tersebut, langkah pertama adalah membentuk yayasan dengan nama “Pusat Bank Indonesia”. Yayasan tersebut merupakan cikal bakal berdirinya Bank Negara Indonesia. 74 Pada tahun 1949 berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, dan salah satu keputusan pentingnya adalah penyerahan kedaulatan 73
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Bank Sentral Republik Indonesia, Sebuah Pengantar, (Jakarta : PPSK, Bank Indonesia, 2004), hlm 24. 74 Ibid., hlm 25.
43
Universitas Sumatera Utara
Indonesia kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Berkaitan dengan masalah perbankan, pada saat tersebut utusan Pemerintah Indonesia mengalami kesulitan untuk mengusahakan agar Bank Negara Indonesia yang telah didirikan sejak tahun 1946 ditetapkan sebagai bank sentral RIS, sehingga Pemerintah Indonesia terpaksa
menerima
De
Javasche
Bank
sebagai
Bank
Sentral.
Dalam
perkembangannya, pada tanggal 6 Desember 1951 dikeluarkan undang-undang nasionalisasi De Javasche Bank. 75 Pada 1 Juli 1953 dikeluarkan UU No. 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia sebagai pengganti Javasche Bank Wet Tahun 1922. Mulai saat itu lahirlah satu bank sentral di Indonesia yang diberi nama Bank Indonesia. Sejak keberadaan Bank Indonesia sebagai bank sentral hingga tahun 1968, tugas pokok Bank Indonesia selain menjaga stabilitas moneter, mengedarkan uang, dan mengembangkan sistem perbankan, juga masih tetap melaksanakan beberapa fungsi sebagaimana dilakukan oleh bank komersial. Namun demikian, tanggung jawab kebijakan moneter berada di tangan Pemerintah melalui pembentukan Dewan Moneter yang tugasnya menentukan kebijakan moneter yang harus dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Selain itu, Dewan Moneter juga bertugas memberikan petunjuk kepada Direksi Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai mata uang dan memajukan perkembangan perkreditan dan perbankan. Kesemuanya ini, mencerminkan bahwa kedudukan Bank Indonesia pada periode tersebut masih merupakan bagian dari Pemerintah. 76
75 76
Ibid., hal 25. Ibid., hal 25
Universitas Sumatera Utara
Pada masa Orde Baru, Pemerintah mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, yang menetapkan Bank Indonesia sebagai bank sentral dengan misi sebagai agen pembangunan dan juga bertugas sebagai kasir Pemerintah dan bankers’ bank. Misi sebagai agen pembangunan tercermin pada tugas pokoknya, yaitu pertama mengatur, menjaga dan memelihara stabilitas nilai rupiah, dan kedua mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat. 77 Berdasarkan UU ini, Dewan Moneter sebagai lembaga pembuat kebijakan yang berperan merumuskan kebijakan moneter masih tetap dipertahankan. Selanjutnya, setelah Indonesia mengalami badai krisis ekonomi dan moneter sepanjang tahun 1997-1998, Pemerintah memberlakukan UU No. 23 Tahun 1999 yang mengukuhkan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Republik Indonesia yang independen. UU No. 23 Tahun 1999 mengalami dua kali amandemen, yaitu dengan UU No. 3 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. Amandemen yang terakhir ini khusus terkait dengan penyempurnaan fungsi Bank Indonesia sebagai Lender of the Last Resort (LoLR). Pengaturan kelembagaan Bank Indonesia dalam konstitusi negara Republik Indonesia, sampai dengan amandemen ketiga UUD 1945 belum diatur dalam batang tubuhnya, melainkan hanya dalam penjelasan pasal 23 dan pengaturan kedudukan Bank Indonesia diserahkan kepada undang-undang. Barulah pada
amandemen
keempat yang diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat 77
Pasal 7 UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral.
Universitas Sumatera Utara
tanggal 10 Agustus 2002 pengaturan kelembagaan Bank Indonesia dimasukkan ke dalam batang tubuh UUD 1945, yaitu dalam Pasal 23D, yang berbunyi sebagai berikut : “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Penetapan status kelembagaan Bank Indonesia dalam batang tubuh UUD 1945 akan memberikan perlindungan konstitusi terhadap independensi Bank Indonesia. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi ketidaksesuaian pandangan antara bank sentral dan pemerintah yang dapat menempatkan bank sentral dalam posisi yang sulit karena ketidaksinambungan kedudukan dalam tatanan kenegaraan yang bersumber dari aturan konstitusi. Selain itu, hal ini juga untuk menjamin kepastian hukum dalam mengantisipasi timbulnya pemikiran untuk membubarkan bank sentral dan menggantinya dengan bentuk lembaga keuangan lainnya di luar bank sentral. 78 Dengan dicantumkannya kelembagaan Bank Indonesia dalam batang tumbuh UUD 1945, sebagaimana halnya Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan, maka status Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen menjadi jelas dan kuat dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai bank sentral Republik Indonesia. Dengan dicantumkannya status Bank Indonesia dalam batang tubuh UUD 1945, maka Bank Indonesia sebagai bank sentral telah ditentukan oleh norma dasar yang berlaku di Indonesia, dimana norma dasar dianggap sebagai titik awal sebuah 78
Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode VI : 2000-2003, buku 6 (Jakarta : Unit Khusus Museum Bank Indonesia, Bank Indonesia, 2010), hlm 84.
Universitas Sumatera Utara
prosedur, yaitu prosedur pembuatan hukum positif. Untuk itu, semua ketentuan yang mengatur kewenangan suatu badan yang sama dengan kewenangan Bank Indonesia dapat dipertanyakan validitas atau keabsahannya sesuai dengan norma dasar yang berlaku. 79 2.
Status dan Kedudukan Bank Indonesia Menurut pasal 4 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.6 Tahun 2009, Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia. Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU tentang Bank Indonesia. 80 Sebagai lembaga yang independen, Bank Indonesia memiliki otonomi penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Disamping itu, untuk lebih menjamin independensi tersebut, maka kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Pencantuman status independen dalam UU Bank Indonesia diperlukan untuk memberikan dasar hukum
79
Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang The Pure Theory of Law, disebutkan bahwa dasar keabsahan sebuah norma hanya didapat pada keabsahan norma yang lebih tinggi. Hanya otoritas yang kompeten yang dapat menciptakan norma yang sah, dan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan sebuah norma yang memberikan kewenangan untuk melahirkan norma-norma. Norma yang memberikan dasar bagi keabsahan norma lainnya disebut sebagai norma yang lebih tinggi. Pencarian keabsahan terus ditarik dari norma yang lebih tinggi sampai dengan norma akhir tertinggi yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Norma tertinggi inilah yang disebut sebagai norma dasar (grundnorm) dan dalam konteks Indonesia, norma dasar tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945. Apabila suatu norma yang telah disahkan ternyata bertentangan dengan norma dasar, maka melalui rules of changes, norma ini dapat dicabut dan diganti dengan yang baru. Di Indonesia, hal ini dapat diajukan dengan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. M.R.Zaver, Jurisprudence : An Outline, (Kuala Lumpur : International Law Book Services, 1994), hlm 17-18. Di dalam Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)” , disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padang : Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 28 Mei 2009), hlm Op. Cit, hlm 2. 80 Pasal 4 ayat (2) UU Bank Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
yang kuat, menjamin kepastian hukum dan konsistensi status kelembagaan Bank Indonesia. Dengan status sebagai lembaga independen ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 81 Sebagai lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai kedudukan yang khusus dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan MPR, DPR, MA, BPK, atau Presiden yang merupakan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Kementerian karena kedudukan Bank Indonesia berada di luar Pemerintah. Dalam pelaksanaan tugasnya, Bank Indonesia mempunyai hubungan kerja dengan DPR, BPK serta Pemerintah. Kedudukan Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan RI dapat digambarkan sebagai berikut: 82
81
Pasal 9 ayat (1) dan (2), Ibid. Satya Arinanto, Diktat Kuliah, Catatan Tambahan Politik Hukum (2) (Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Edisi Pertama, 2001), hlm 2. 82
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan UU tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia adalah badan hukum. 83 Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan undang-undang dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum publik berwenang menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya. 84 Esensi dari status dan kedudukan Bank Indonesia ini adalah agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih efektif. Implikasinya, Bank Indonesia harus lebih transparan dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan memelihara kestabilan nilai rupiah yang tercermin pada laju inflasi dan nilai tukar. 3.
Tujuan, Tugas dan Peran Bank Indonesia UU Bank Indonesia secara tegas menetapkan tujuan Bank Indonesia. Pasal 7
ayat (1) UU Bank Indonesia menetapkan ; “Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah”. Kestabilan nilai rupiah dimaksud adalah kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa, serta terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa diukur dengan atau tercermin dari perkembangan laju inflasi. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Kestabilan nilai 83 84
Pasal 4 ayat (3), Op.Cit. Penjelasan Pasal 4 ayat (3), Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Perumusan tujuan Bank Indonesia dalam bentuk sasaran tunggal (single objective) ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai dan batasan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Bank Indonesia. Hal ini berbeda dengan tujuan Bank Indonesia dalam UU No. 13 Tahun 1968 yang tidak dikemukakan secara spesifik, tetapi hanya secara umum, yaitu meningkatkan taraf hidup rakyat. Dalam UU No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral yang tercantum hanyalah tugas pokok Bank Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 : “.. membantu Pemerintah dalam mengatur, menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat”. Ketidaktegasan perumusan tersebut menimbulkan implikasi, antara lain peran Bank Indonesia sebagai otoritas moneter menjadi tidak jelas dan tidak terfokus bahkan timbul conflicting karena antara tugas menjaga kestabilan nilai rupiah dengan tugas mendorong pertumbuhan seringkali tidak dapat berjalan seiring. Disamping itu, ketidakjelasan tujuan juga menjadikan tanggung jawab terhadap kebijakan yang diambil tidak jelas. 85 Dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia mempunyai 3 (tiga) tugas pokok, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 8 UU Bank Indonesia, yaitu :
85
Didik J. Rachbini PhD, Suwidi Tono, dkk, Bank Indonesia, Menuju Independensi Bank Sentral, (Jakarta : PT. Mardi Mulyo, 2000) hlm 189.
Universitas Sumatera Utara
1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, 2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta 3) Mengatur dan mengawasi bank. Ketiga tugas pokok tersebut mempunyai keterkaitan dan harus saling mendukung dalam mencapai kestabilan nilai rupiah. Tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan
moneter dilakukan Bank Indonesia, antara lain melalui pengendalian
jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektifitas pelaksanaan tugas ini memerlukan dukungan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal, yang merupakan sasaran dari pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan andal tersebut memerlukan sistem perbankan yang sehat, yang merupakan sasaran tugas mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan. Pelaksanaan ketiga tugas pokok Bank Indonesia tersebut dapat diuraikan secara ringkas sebagai berikut : a.
Tugas Menetapkan dan Melaksanakan Kebijakan Moneter Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan nilai rupiah,
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan moneter melalui penetapan sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi serta melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan berbagai instrumen
Universitas Sumatera Utara
moneter. 86 Cara-cara pengendalian moneter tersebut dapat dilaksanakan juga berdasarkan prinsip syariah. Kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia merupakan salah satu bagian integral dari kebijakan ekonomi makro dan berpengaruh besar terhadap berbagai aktivitas ekonomi dan keuangan yang dilakukan masyarakat. Kebijakan moneter mempunyai peranan yang sangat strategis mengingat kebijakan moneter dapat mempengaruhi pencapaian sasaran akhir kebijakan ekonomi makro, seperti stabilitas
harga,
pertumbuhan
ekonomi,
perluasan
kesempatan
kerja
serta
pengendalian devisa. Sasaran laju inflasi ditetapkan oleh Bank Indonesia atas dasar tahun kalender dengan memperhatikan perkembangan dan prospek ekonomi makro. Penetapan sasaran laju inflasi tersebut terutama dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan harga yang secara langsung dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Sasaran laju inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia tersebut dapat berbeda dengan asumsi laju inflasi yang dibuat oleh Pemerintah dalam rangka penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang didasarkan pada tahun fiskal.
86
Pasal 10 ayat (1) UU Bank Indonesia menetapkan : “Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bank Indonesia berwenang : a. Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi; b. Melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang termasuk tetapi tidak terbatas pada : 1) Operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; 2) Penetapan tingkat diskonto; 3) Penetapan cadangan wajib minimum; 4) Pengaturan kredit atau pembiayaan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai upaya untuk meningkatkan efektifitas pengendalian moneter, seperti bank sentral pada umumnya, Bank Indonesia juga melaksanakan fungsi sebagai lender of the last resort perbankan. b. Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal diperlukan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan moneter yang efektif dan efisien. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia diberi kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, yaitu : 1) Kewenangan Menetapkan Penggunaan Alat Pembayaran. Secara umum, terdapat dua jenis alat pembayaran, yaitu alat pembayaran tunai (uang kertas dan logam) dan nontunai (berbasis warkat, seperti cek, bilyet giro dan wesel maupun berbasis elektronik, seperti kartu kredit dan ATM). Untuk kelancaran sistem pembayaran diperlukan pengaturan mengenai penggunaan kedua alat pembayaran tersebut. Kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan penggunaan alat pembayaran tunai meliputi mengeluarkan, mengedarkan, menarik, dan memusnahkan uang rupiah, termasuk menetapkan macam, harga, ciri uang, bahan yang digunakan, serta tanggal mulai berlakunya. 87 Untuk itu, Bank Indonesia senantiasa berupaya menjamin ketersediaan uang di masyarakat dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang memadai. Sementara itu, untuk alat pembayaran nontunai, Bank Indonesia berwenang menetapkan bentuk, 87
Pasal 19 UU Bank Indonesia menetapkan : “Bank Indonesia berwenang menetapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikeluarkan, bahan yang digunakan dan tanggal mulai berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah”.
Universitas Sumatera Utara
keabsahan maupun keamanan penggunaannya dalam berbagai transaksi ekonomi dan keuangan. Hal ini ditujukan untuk meyakinkan bahwa seluruh alat pembayaran yang dipergunakan termasuk pengoperasiannya dilakukan secara aman serta dikelola dan dimonitor secara baik. 2) Kewenangan Mengatur dan Menyelenggarakan Sistem Pembayaran Pengaturan diperlukan untuk menjamin kelancaran dan keamanan sistem pembayaran. Terkait dengan itu, Bank Indonesia berwenang menyelenggarakan sendiri sistem pembayaran atau memberi izin kepada pihak lain untuk menyelenggarakan jasa sistem pembayaran dengan kewajiban menyampaikan laporan kegiatannya kepada Bank Indonesia. Disamping itu, Bank Indonesia berwenang mengatur sistem kliring dan menyelenggarakan kliring antarbank, serta menyelenggarakan penyelesaian akhir transaksi pembayaran antarbank, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. c.
Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank Tugas mengatur dan mengawasi bank sangat penting, tidak saja untuk
mendukung kelancaran sistem pembayaran, tetapi juga untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter dalam mempengaruhi perkembangan ekonomi dan inflasi. Hal itu mengingat lembaga perbankan berfungsi sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dalam mobilisasi dana dan penyaluran kredit (fungsi intermediasi) maupun dalam peredaran uang di dalam perekonomian. Pasal 24 UU Bank Indonesia menetapkan sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
“Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Dengan demikian, kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank meliputi : 1) Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank; 2) Menetapkan peraturan di bidang perbankan; 3) Melakukan pengawasan bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; 4) Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai ketentuan perundangan. Keempat kewenangan tersebut merupakan satu kesatuan dalam mendukung terciptanya sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien. Ketentuan perizinan ditujukan untuk meyakinkan bahwa bank yang diperbolehkan beroperasi mempunyai modal yang cukup dan dikelola oleh pengurus bank yang kompeten dan mempunyai integritas tinggi. Ketentuan kehati-hatian bank ditujukan untuk memberikan ramburambu yang harus dipatuhi oleh para pengurus bank sesuai standar yang berlaku secara internasional. Sementara itu, pengawasan bank diarahkan untuk meyakinkan bahwa rambu-rambu kehati-hatian tersebut dipatuhi oleh pengurus bank. Apabila suatu bank melakukan pelanggaran atau bahkan diyakini tidak layak beroperasi, maka Bank Indonesia berwenang untuk memberikan sanksi, baik secara administratif ataupun bahkan mencabut izin usaha bank yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Dengan disahkannya RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 27 Oktober 2011, yang kemudian disahkan oleh Presiden menjadi UU No. 21 Tahun 2011 pada tanggal 22 November 2011, maka tugas pengawasan terhadap perbankan akan beralih ke lembaga tersebut sejak tanggal 31 Desember 2013. 88 Namun, sesuai pasal 40 UU OJK, Bank Indonesia masih memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank tertentu, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 40 ayat (1) UU OJK sebagai berikut : “Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Pemeriksaan terhadap bank tertentu tersebut, yaitu yang termasuk dalam kategori berpotensi sistemik atau yang terkait dengan kewenangan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas makro. Dari penjelasan pasal 40 ayat (1) UU OJK dapat diketahui sebagai berikut : “Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal Bank Indonesia melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang macroprudential”. Pembentukan lembaga OJK ini merupakan amanah dari pasal 34 UU Bank Indonesia, yang seharusnya sudah dibentuk selambat-lambatnya 31 Desember 2010. 89 Hal ini
88
Pasal 55 ayat (2) UU Tentang OJK menyebutkan;..”Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK”. 89 Pasal 34 UU Tentang Bank Indonesia menyebutkan :
Universitas Sumatera Utara
memberi konsekuensi logis terhadap UU Bank Indonesia yang harus diamandemen terkait dengan hilangnya salah satu tugas pokok Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU Bank Indonesia. Walaupun tugas pengawasan bank akan beralih ke OJK, namun fungsi lender of the last resort tetap melekat pada Bank Indonesia. 4.
Independensi Bank Indonesia Independensi merupakan persoalan paling krusial bagi sebuah bank sentral untuk
memainkan perannya secara optimal ditengah perkembangan ekonomi global yang sangat dinamis dan seringkali bergejolak, karena independensi merupakan salah satu faktor penting dalam pencapaian tujuan akhir suatu bank sentral. UU Bank Indonesia secara tegas memberikan landasan bagi independensi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat (2) UU Bank Indonesia sebagai berikut : “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”. a.
Pengertian Independensi Secara umum, independensi didefinisikan sebagai kebebasan dari pengaruh atau
kontrol pihak lain. Berkaitan dengan bank sentral, Meyer mengartikan independensi sebagai kebebasan dari pengaruh, instruksi/pengarahan atau kontrol, baik dari badan
(1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.
Universitas Sumatera Utara
eksekutif maupun dari badan legislatif. 90 Sementara itu, Fraser mendefinisikan independensi bank sentral sebagai kebebasan bank sentral untuk dapat melaksanakan kebijakan moneternya yang bebas dari pertimbangan-pertimbangan politik. Yang tidak
termasuk
dalam
pengertian
independen
menurut
Fraser
adalah
konsultasi/koordinasi dengan pemerintah dalam rangka menyelaraskan kebijakan yang menjadi kewenangan masing-masing. 91 Menurut J. Soedradjad Djiwandono, apa yang dialami negara-negara Asia pada waktu krisis, sebagaimana terjadi di Indonesia, menunjukkan bahwa independen atau tidaknya bank sentral sangat menentukan efektif atau tidaknya upaya untuk mengatasi krisis keuangan dan perbankan yang melanda ekonomi nasional berbagai negara. Krisis Asia telah memberi dukungan argumen mengenai diperlukannya suatu bank sentral yang independen bagi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dalam perekonomian nasional. Sebagai pendekatan dalam sistem ekonomi yang diterapkan dalam suatu negara, bank sentral yang independen dengan tugas dan fungsi yang jelas serta didukung oleh kelembagaan yang memadai, merupakan persyaratan yang sangat penting untuk terciptanya sistem perbankan yang kuat. 92 Di Asia dan di negara-negara lain, pemberian status independen kepada bank sentral merupakan salah satu butir dalam program yang disusun bersama IMF dari 90
Laurence H. Meyer, The Politics of Monetary Policy : Balancing Independence and Accountability, Ceramah pada The University of Wisconsin, LaCrosse, Wisconsin, 24 Oktober 2000, dalam Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, ......, Loc. Cit, hlm 40. 91 B.W. Fraser, Central Bank Independence : What Does It Means, Makalah pidato pada 20th SEANZA Central Banking Course (Karachi : 23 November 1994), dalam Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia,.................., Loc. Cit, hlm 41. 92 J. Soedradjad Djiwandono, Mengelola Bank Indonesia Dalam Masa Krisis,(Jakarta : PT. Pustaka LP3ES, 2001), hlm 267.
Universitas Sumatera Utara
berbagai negara dalam usaha untuk mengatasi krisis yang melanda Asia sejak Juli 1997. Untuk Indonesia, keputusan memberikan otonomi kepada Bank Indonesia dalam perumusan kebijakan moneter sebagai unsur pokok independensi bank sentral, dimasukkan sebagai program reformasi keuangan, sebagaimana disebutkan dalam butir 22 Letter of Intent antara Pemerintah Indonesia dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Karena itu, bank sentral yang independen bagi suatu perekonomian boleh dikatakan telah menjadi conventional wisdom baru. 93 Stanley Fischer menyebut independensi ini sebagai instrument independence, meskipun bukan goal independence. 94 Jadi, sasarannya sendiri tidak harus ditentukan oleh bank sentral, bahkan sebaiknya pemerintah. Akan tetapi setelah ditentukan, bank sentral harus mempunyai kebebasan untuk menentukan cara dan sarana yang digunakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan pemerintah tidak boleh melakukan campur tangan. Sebagai misal, sasaran laju inflasi, mungkin ditentukan oleh pemerintah. Setelah itu, bank sentral bebas menentukan cara dan memilih jalan serta sarana untuk mengusahakan tercapainya sasaran laju inflasi tersebut. Kebebasan dalam menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama melalui suatu sistem demokrasi. Namun, yang dimaksud adalah bahwa bank sentral
93
Ibid, hlm 268. Stanley Fischer, “Modern Central Banking”, dalam Forest Capie et al, The Future of Central Banking : Tercentenery Symposium of Bank of England, (Cambridge : Cambridge University Press, 1994), dalam J. Soedradjad Djiwandono, Mengelola....hlm 269. 94
Universitas Sumatera Utara
memiliki diskresi yang luas mengenai bagaimana menggunakan instrumeninstrumennya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-undang. 95 Alan S. Blinder menyatakan bahwa istilah independen sebaiknya diartikan dalam pengertian bahwa bank sentral mempunyai kebebasan untuk menentukan cara bagaimana mencapai sasaran yang telah ditentukan, dan bahwa keputusan yang diambil sangat sulit bagi lembaga lain di pemerintahan untuk mengubahnya. Ini berarti bahwa setelah sasaran yang dicapai bank sentral ditentukan, pemerintah tidak dapat melakukan intervensi mengenai bagaimana cara bank sentral akan mengusahakan tercapainya sasaran tersebut. 96 Lebih jauh lagi Blinder menegaskan mengapa independensi bank sentral menjadi begitu penting. Kebijakan moneter, menurut Blinder, memerlukan yang ia sebut long time horizon, atau pandangan yang jauh ke depan. Hal ini karena, pertama efek-efek yang dihasilkan dari suatu kebijakan moneter, seperti yang terkait dengan inflasi baru dapat dilihat setelah sekian waktu lamanya, sehingga para decision makers tidak bisa langsung melihat hasil kerja mereka. Kedua, kebijakan-kebijakan moneter memiliki karateristik yang sama seperti hal nya aktivitas investasi, yaitu memerlukan sesuatu dibayar di muka, dan akan mendapatkan hasil secara berkala setelah sekian waktu. 97
95
Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padang : ISEI, 28 Mei 2009), hlm 5. 96 Alan S. Blinder, Central Banking in Theory and Practise, (Cambridge : The MIT Press, 1999), hlm 54. 97 Ibid, hlm 55.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, sesuai dengan literatur yang berkembang, independensi bank sentral dapat dibedakan dalam lima aspek, yaitu : 98 1) Institusional independence, independensi kelembagaan, yaitu kedudukan lembaga bank sentral yang berada di luar pemerintah dan bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak lain. Dalam hubungan ini, lembaga bank sentral mempunyai fokus tujuan dan tugas tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang, demikian pula keberadaan kepemimpinan bank sentral di luar susunan kabinet pemerintah. Independensi lembaga tersebut disertai dengan penguatan akuntabilitas dan transparansi kepada publik secara langsung dan atau melalui parlemen. 2) Goal Independence, independensi sasaran akhir, yaitu kebebasan bank sentral dalam menetapkan sasaran akhir kebijakan moneter (seperti sasaran inflasi, pertumbuhan ekonomi, atau yang lain) sebagai penjabaran dari tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Independensi jenis ini bervariasi dari yang penuh/tinggi sampai dengan yang terbatas/rendah. Independensi tinggi seperti di Amerika Serikat, undang-undangnya hanya menyebutkan tujuan-tujuan yang harus dicapai, sementara Federal Reserve memiliki kebebasan untuk menentukan prioritas sasaran akhir kebijakan moneternya sesuai keadaan. Independensi cukup tinggi seperti di Uni Eropa, tujuan utama European Central Bank (ECB) dalam menjaga stabilitas harga (tanpa menetapkan
98
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Bank Indonesia, Bank Sentral Republik Indonesia,.....,Loc.Cit, hlm. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
rentang waktu secara spesifik) ditetapkan dalam undang-undang, tetapi ECB masih memiliki kebebasan menetapkan target lain dalam jangka pendek. Independensi rendah seperti di Selandia Baru dan Kanada, penetapan sasaran inflasi dinegosiasikan atau ditetapkan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Sementara itu, independensi paling rendah seperti di Inggris, penetapan sasaran inflasi ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 3) Instrument Independence, independensi instrumen, yaitu kebebasan bank sentral dalam menggunakan instrumen moneter dan menetapkan sendiri target-target operasional kebijakan moneter untuk mencapai sasaran akhir yang ditetapkan. Independensi instrumen dapat berupa kewenangan penuh bank sentral dalam menetapkan jumlah uang beredar dan atau suku bunga, serta larangan pemberian pinjaman oleh bank sentral kepada pemerintah. Pada umumnya bank sentral yang modern memiliki independensi instrumen dimaksud sehingga dapat menentukan cara yang paling efektif dan dapat dipertanggungjawabkan dalam mengarahkan kebijakan yang ditempuhnya untuk mencapai sasaran akhir yang telah ditetapkan. 4) Personal Independence, yaitu kemampuan dan kewenangan dewan gubernur bank sentral sebagai badan pembuat kebijakan untuk menolak campur tangan pemerintah dan atau pihak lain dalam melaksanakan tugas-tugas yang ditetapkan undang-undang. Independensi personal dapat terwujud antara lain melalui penetapan masa jabatan dewan gubernur yang berbeda dengan masa
Universitas Sumatera Utara
jabatan pemerintah, akhir masa jabatan anggota dewan gubernur secara berjenjang, persetujuan anggota dewan gubernur oleh parlemen, kompetensi profesional dan integritas yang tinggi dari anggota dewan gubernur, serta status hukum khusus undang-undang bank sentral. 5) Financial Independence, independensi keuangan, yaitu kewenangan yang diberikan undang-undang kepada bank sentral untuk menetapkan dan mengelola anggaran dan aset kekayaannya tanpa persetujuan oleh parlemen. Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan bank sentral dilakukan melalui audit yang dilakukan oleh auditor independen yang hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat. b.
Landasan Yuridis Independensi Bank Indonesia Salah satu butir kesepakatan yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia
dengan IMF pada 15 Januari 1998 adalah keharusan mengubah status dan fungsi Bank Indonesia menjadi bank sentral yang independen. Presiden Soeharto melalui Inpres No. 14 tahun 1998 memerintahkan Menteri Keuangan selaku Ketua Dewan Moneter untuk menyiapkan draft Rancangan Undang-Undang Bank Sentral yang baru untuk diajukan ke DPR. Pada saat berlakunya UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, independensi Bank Indonesia relatif kecil dan cenderung menjadi subordinat lembaga lain. Dalam UU No. 13/1968 dikenal yang namanya Dewan Moneter, yang berperan sebagai perumus kebijakan moneter untuk bank sentral, serta sebagai wahana sinkronisasi dan
Universitas Sumatera Utara
koordinasi antara kebijakan di sektor anggaran, ekonomi dan kredit. Keberadaan Dewan Moneter ini tentu saja mengurangi independensi Bank Indonesia sebagai bank sentral yang seharusnya otonom dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Posisi Bank Indonesia secara relatif lantas berada di bawah Kementerian Keuangan, karena posisi Ketua Dewan Moneter dijabat oleh Menteri Keuangan, sedangkan Gubernur Bank Indonesia hanya menempati posisi sebagai anggota. Independensi Bank Indonesia juga menghadapi masalah dengan posisinya yang berada di luar departemen, sedangkan Gubernur Bank Indonesia sendiri tidak berkedudukan sebagai menteri negara. Dengan posisi seperti itu, seharusnya Bank Indonesia sebagai lembaga serta Gubernur Bank Indonesia sebagai pejabat negara memiliki otoritas yang tinggi, minimal sejajar dengan Menteri Keuangan. Dalam posisinya sebagai anggota Dewan Moneter
inilah, Bank Indonesia maupun
gubernurnya menjadi tergantung pada pemerintah, selain karena fungsinya yang mendua sebagai agent of development dan kasir pemerintah. Kedudukan Bank Indonesia yang tidak independen menempatkan Bank Indonesia menjadi subordinat dari Pemerintah. Kebijakan-kebijakan Bank Indonesia merupakan bagian dan atau pelaksanaan dari kebijakan pemerintah. Permasalahannya muncul kemudian pada saat terjadi krisis ekonomi. Bank Indonesia seringkali diminta Pemerintah untuk turut serta mengatasi krisis, sehingga fungsi sebagai bankir pemerintah terlihat lebih menonjol ketimbang penjaga stabilitas
moneter.
Universitas Sumatera Utara
Ketidakindependenan itu seringkali menimbulkan dilema bagi Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kepastian hukum bagi independensi Bank Indonesia, secara normatif baru diperoleh dengan lahirnya UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU ini dimuat berbagai elemen dari independensi Bank Indonesia yang meliputi antara lain mengenai status dan kedudukan, tujuan dan tugas serta manajemen dan personalia Bank Indonesia, yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Independensi personalia ditujukan dalam hal pengangkatan anggota Dewan Gubernur oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Persyaratan persetujuan DPR ini penting untuk menjaga independensi Bank Indonesia dari intervensi Pemerintah melalui pengangkatan Dewan Gubernur. Pengangkatan oleh Presiden di sini adalah dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan bukan Kepala Pemerintahan. Disamping itu, anggota Dewan Gubernur tidak dapat diberhentikan oleh Presiden selama masa jabatannya, kecuali mengundurkan diri, berhalangan tetap atau melakukan tindak pidana kejahatan. 2) Independensi sasaran akhir, yaitu dalam mencapai tujuan untuk menjaga kestabilan nilai rupiah yang tercermin pada laju inflasi yang rendah dan kestabilan nilai tukar, Bank Indonesia sepenuhnya berwenang untuk menetapkan sasaran moneter dengan memperhatikan perkembangan ekonomi, baik dalam negeri maupun luar negeri serta instrumen yang akan digunakan.
Universitas Sumatera Utara
3) Independensi kelembagaan, yaitu dalam pelaksanaan tugasnya, tercermin dari larangan bagi pihak lain untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Bank Indonesia juga wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugasnya. 4) Independensi keuangan, yaitu dalam bidang anggaran terlihat dalam ketentuan Pasal 60 UU Bank Indonesia yang menyatakan bahwa anggaran Bank Indonesia ditetapkan oleh Dewan Gubernur. Anggaran harus disampaikan kepada DPR yang dimaksudkan untuk dapat memantau pengelolaan kewenangan Bank Indonesia dalam anggaran serta kepada Pemerintah sebagai bahan informasi berkaitan dengan surplus atau defisit anggaran Bank Indonesia. Setelah berakhirnya tahun anggaran, Bank Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan dan laporan hasil pemeriksaan dimaksud disampaikan kepada DPR. Sebagai konsekuensi dari independensi yang dimilikinya, maka dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dituntut untuk lebih transparan dan bertanggung jawab. Transparansi dan akuntabilitas ini diwujudkan dalam pertanggungjawaban kepada publik, yaitu Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka. Bank Indonesia juga wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan kepada publik melalui media massa.
Universitas Sumatera Utara
c.
Akuntabilitas dan Transparansi Independensi yang tinggi menuntut akuntabilitas dan transparansi yang lebih
besar pula untuk menjamin bahwa pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas yang sudah ditetapkan dapat dilaksanakan dengan baik oleh bank sentral. Bank sentral yang lebih transparan akan mempermudah akuntabilitasnya yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja bank sentral menjadi lebih baik. 99 Akuntabilitas dan transparansi Bank Indonesia diatur secara jelas dalam UU tentang Bank Indonesia. Dalam UU ditegaskan bahwa kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dinilai oleh DPR. Untuk itu, Bank Indonesia diwajibkan menyampaikan laporan tahunan dan laporan triwulanan secara tertulis tentang pelaksanaan tugas dan wewenangnya kepada DPR dan Pemerintah. Penyampaian laporan kepada DPR adalah dalam rangka akuntabilitas, sedangkan laporan kepada Pemerintah adalah dalam rangka informasi. Laporan tahunan dan laporan triwulanan yang disampaikan oleh Bank Indonesia dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian terhadap kinerja Dewan Gubernur dan Bank Indonesia sejalan dengan fungsi pengawasan yang diemban oleh DPR. Sebagai cerminan transparansi, laporan tahunan dan laporan triwulanan tersebut juga disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa. Di bidang keuangan, anggaran untuk kegiatan operasional Bank Indonesia harus disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Sedangkan anggaran 99
William Poole, Central Bank Transparancy : Why and How, Pidato pada The University of Missouri, Columbia, 4 November 1999, dalam Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, ................,Loc.Cit., hlm 46.
Universitas Sumatera Utara
untuk kebijakan moneter, sistem pembayaran serta pengaturan dan pengawasan perbankan dilaporkan secara khusus (tertutup) kepada DPR. Dalam rangka lebih meningkatkan transparansi, Bank Indonesia secara berkala menerbitkan berbagai laporan dan publikasi, seperti Laporan Mingguan, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Bulanan, Tinjauan Kebijakan Moneter Bulanan, Perkembangan
Ekonomi
dan
Moneter
Triwulanan,
Laporan
Triwulanan
Perkembangan Kebijakan Moneter, dan sebagainya. Selain itu, sesuai dengan perkembangan teknologi informasi, Bank Indonesia juga mempunyai situs internet atau homepage yang berisikan informasi terkini mengenai data ekonomi moneter dan organisasi dan tata kerja Bank Indonesia. 5.
Produk Hukum Bank Indonesia Pasal 4 ayat (3) menetapkan bahwa Bank Indonesia adalah Badan Hukum
berdasarkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Pengertian badan hukum disini meliputi badan hukum publik dan badan hukum perdata. Dalam kedudukannya sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturanperaturan yang mengikat masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sedangkan sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam dan di luar pengadilan. Dalam penjelasan umum UU Bank Indonesia, antara lain menyatakan sebagai berikut : “Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen berada di luar pemerintahan membawa konsekuensi yuridis logis bahwa Bank Indonesia
Universitas Sumatera Utara
juga mempunyai kewenangan mengatur atau membuat/menerbitkan peraturan yang merupakan UU dan menjangkau seluruh bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian, Bank Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang independen dapat menerbitkan peraturan dengan disertai kemungkinan pemberian sanksi administratif”. Ketentuan pelaksanaan dari UU Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur dan mengikat publik serta Peraturan Dewan Gubernur (PDG) yang mengatur dan mengikat ke dalam Bank Indonesia. Penetapan PBI dan PDG merupakan bentuk independensi dalam pembuatan peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Dengan demikian, maka dapat dieliminir intervensi dari Pemerintah atau pihak lain melalui peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). 100 Sesuai Pasal 8 ayat (2), PBI diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. PBI dikeluarkan berdasarkan kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia berdasarkan UU Bank Indonesia.
100
Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur jenis dan hierarki peraturan perundangundangan sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan kelembagaan Bank Indonesia sendiri sebagai bank sentral ditetapkan dalam Pasal 23D UUD 1945. PBI yang dikeluarkan Bank Indonesia mencakup untuk semua tugas yang diamanahkan pasal 8 UU Bank Indonesia, yaitu bidang moneter, sistem pembayaran dan pengawasan bank. Misalnya, di bidang pengawasan bank, PBI yang dikeluarkan adalah untuk setiap siklus usaha bank, yaitu berkenaan dengan : 1) Perizinan bank (entry policy), baik dalam hal pemberian izin (licencing) maupun seleksi terhadap pemilik dan pengurus bank (fit and proper test). 2) Pengaturan bank (bank regulation) yang wajib ditaati. 3) Pembinaan bank melalui pemeriksaan dan pengawasan bank (bank supervision). 4) Pengenaan sanksi (sanction imposition). 5) Penyelamatan bank (bank rescue). 6) Pencabutan izin usaha bank dan likuidasi bank (exit policy).
B. Fungsi Bank Indonesia Sebagai Lender of The Last Resort 1.
Bank Sentral dan Lender of The Last Resort Bank Sentral pada umumnya mempunyai tiga tugas utama yang meliputi
pengendalian moneter, pengaturan dan pengawasan perbankan, dan pengaturan sistem pembayaran. Tugas pengendalian moneter dimaksudkan untuk menjaga kestabilan harga dan/atau pertumbuhan ekonomi. Tugas dalam pengaturan dan pengawasan
Universitas Sumatera Utara
perbankan dimaksudkan untuk menjaga kestabilan sistem perbankan. Sedangkan tugas pengaturan sistem pembayaran bertujuan mengembangkan sistem pembayaran dan infrastruktur keuangan yang sehat. Namun, dalam prakteknya ada juga bank sentral yang tidak seluruhnya menjalankan tiga tugas utama ini. Beberapa bank sentral hanya mengembankan dua tugas utama, bahkan ada juga bank sentral yang hanya mengemban satu tugas utama, yaitu hanya pengendalian moneter seperti Inggris, Hong Kong dan Brunei. 101 Sistem perbankan merupakan alur utama transmisi kebijakan moneter dalam rangka pengendalian moneter oleh bank sentral. Apabila terjadi ketidakstabilan sistem perbankan, maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Untuk terciptanya sistem perbankan yang sehat haruslah setiap bank secara individual juga sehat. Tugas bank sentral sebagai regulator dalam mengatur dan mengawasi perbankan agar aktifitas perbankan dapat berkembang sehat dan berjalan lancar sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi. Dengan ada regulator, maka kepentingan para nasabah akan mendapat perhatian dan mencegah munculnya praktek-praktek yang merugikan kepentingan nasabah. Disamping itu, kesulitan bankbank kecil dalam bersaing dengan bank-bank yang lebih besar dan kuat akan terbantu. Selain sebagai regulator, maka bank sentral juga diperlukan untuk berperan sebagai bankers’ bank, yaitu menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort (LoLR),
101
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Bank Indonesia, Bank Sentral Republik Indonesia, ..................., Loc. Cit, hlm. 22-23.
Universitas Sumatera Utara
pemberi pinjaman terakhir bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak dapat memperoleh pinjaman dari bank lain. Terminologi LoLR banyak digunakan untuk menggarisbawahi berbagai fungsi yang dilakukan oleh bank sentral. Terminologi tersebut kadangkala digunakan sebagai alat manajemen keuangan jangka pendek dan kadangkala dalam kaitannya dengan stabilitas sistem keuangan. Merupakan suatu kelaziman bagi bank sentral untuk memberikan bantuan likuiditas kepada perbankan dalam melaksanakan fungsinya sebagai LoLR seperti kutipan berikut ini ; “The discretionary provision of liquidity to financial institution (or the market as a whole) by the central banking reaction to an adverse shock, which causes an abnormal increase in demand for liquidity that cannot be met from an alternative source”. 102 Dalam fungsinya sebagai LoLR, bank sentral mempunyai kewajiban untuk memberikan kredit kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Namun, kredit dimaksud harus diikat dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit yang diterima. Pengertian fasilitas LoLR kemudian diperluas sebagai dukungan terhadap lembaga keuangan, khususnya bank, dari kejatuhannya meskipun lembaga tersebut tidak sehat, agar tidak terjadi kejatuhan perbankan secara sistemik. Dengan demikian, peran bank
102
Dong H, Emergency Liquidity Support Facilities in Building Strong Banks, eds. Charles Enoch, David Marston and Michael Taylor (International Monetary Fund), Page 110. Di dalam Hasil Riset Satgas BLBI dengan HLB Hadori & Rekan, BI dan BLBI Suatu Tinjauan dan Penilaian Aspek Ekonomi, Keuangan dan Hukum, (Jakarta : Bank Indonesia, 2002), hlm 16.
Universitas Sumatera Utara
sentral sebagai lembaga LoLR begitu pentingnya untuk menjaga dan melindungi sistem keuangan dalam satu negara. Pengertian LoLR dapat dipergunakan dengan cara yang berbeda-beda. LoLR dilakukan oleh bank sentral sebagai alat yang digunakan paling akhir untuk membantu likuiditas suatu bank atau perbankan secara keseluruhan, di luar lembaga keuangan lainnya sebagai reaksi terhadap adanya suatu kondisi tidak normal yang mengakibatkan tidak normalnya kenaikan permintaan dana untuk memenuhi kebutuhan likuiditas yang tidak dapat diperoleh dari berbagai sumber alternatif. Disamping itu, LoLR merupakan elemen dasar dari bank sentral yang baik dalam mengatasi kredit bermasalah (distress lending) dan merupakan elemen penting dalam pengelolaan krisis. 103 Bantuan likuiditas darurat hendaknya diberikan hanya kepada bank yang tidak liquid tetapi solvent. Perbedaan antara bank yang solvent dan yang tidak solvent banyak dikaji dalam literatur akademik. Liquid memiliki konotasi bahwa suatu bank mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya sedangkan solvent adalah kemampuan suatu bank untuk memenuhi kewajiban jangka menengah dan panjang. Membedakan suatu bank dalam keadaan illiquid dan insolvent sehingga layak untuk diberikan bantuan likuiditas, pada banyak kasus hal ini termasuk grey area yang dapat menimbulkan kontroversi. Dalam praktek, suatu bank sentral bagaimanapun tidak selalu dapat membedakannya terutama ketika mengambil
103
Hasil Riset Satgas BLBI dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, (Jakarta : Bank Indonesia, 2002), hlm 32.
Universitas Sumatera Utara
keputusan pemberian bantuan yang harus dilakukan segera dalam jangka waktu yang sangat pendek. 104 Bank run terjadi apabila suatu bank memiliki aset-aset kredit dalam jumlah besar yang tidak likuid sementara kewajibannya sebagian besar dalam bentuk deposit yang berjangka pendek. Selanjutnya kewajiban bank berupa simpanan dana pihak ketiga (deposit) tersebut harus dapat dibayar secara penuh atas dasar first come-first served. Para ekonom setuju bahwa dengan melihat kondisi neraca bank tersebut, nasabah deposan akan curiga dan berupaya untuk menarik dananya secepat mungkin. Karena aset-aset bank pada umumnya tidak marketable, penarikan yang terjadi secara besarbesaran (rush) akan mengakibatkan bank terpaksa atau dipaksa harus menjual asetaset yang dimilikinya dengan harga yang lebih rendah (fire sale price) sehingga dapat mengakibatkan bank secara fundamental akan menjadi tidak solvent (insolvent). Hal ini secara potensial akan merugikan kesejahteraan publik secara keseluruhan, karena itu diperlukan justifikasi berupa intervensi terhadap sektor publik, dengan asumsi bahwa keuntungan dari intervensi tersebut akan menurunkan beban biaya yang harus dipikul. Pada literatur mengenai bank run, biasanya diasumsikan juga bahwa deposan adalah individual atau perusahaan yang menempatkan dananya pada suatu bank dengan periode yang tidak terbatas dan harus dapat dimengerti bahwa dana ini kemungkinan besar akan ditarik dengan segera sesuai nilai nominal. 105
104 105
Ibid, hlm 33. Ibid, hlm 33.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mencegah terjadinya bank run, Diamond dan Dybvig mengusulkan tiga solusi, yaitu suspension of convertibility (SC), lender of the last resort (LoLR) dan blanket guarantee. Dengan adanya LoLR dan blanket guarantee, nasabah menjadi yakin bahwa penarikan dana dari bank akan selalu dapat dipenuhi oleh bank. Oleh karena itu tidak akan ada kekhawatiran dari seorang nasabah mengenai kemampuan bank untuk memenuhi semua kewajibannya. 106 Diamond dan Dybig memodelkan bank sebagai suatu agen yang memiliki teknologi untuk mentransformasikan aset jangka panjang menjadi kewajiban (liability) jangka pendek. Selain itu, deposan dibagi menjadi dua tipe, yaitu mereka yang cenderung melakukan investasi jangka pendek (satu periode transaksi) dan mereka yang melakukan investasi jangka panjang (dua periode transaksi). Kontrak bank dengan deposan memungkinkan kedua jenis deposan tersebut untuk menarik simpanan di bank kapan saja sesuai dengan keinginan mereka. Penarikan untuk periode pertama diberikan tingkat suku bunga yang lebih rendah dibanding penarikan pada periode kedua. Akan tetapi liquidation value dari aset-aset jangka panjang bank lebih rendah dibandingkan total kewajibannya pada periode yang pertama jika semua deposan menarik simpanannya di bank. 107 Panik dapat terjadi karena dalam esensinya bank menghadapi masalah a squential service constraint, dimana pembayaran oleh bank kepada deposan tidak tergantung pada informasi tentang kesehatan bank di masa yang akan datang, tetapi
106 107
Iman Sugema & Iskandar Simorangkir : Peranan The Lender of Last Resort ..., Loc. Cit. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hanya tergantung pada posisi dan jumlah nasabah dalam antrian penarikan simpanan. Oleh karena itu, jumlah uang yang dapat ditarik oleh nasabah sangat tergantung pada apakah seorang nasabah menarik lebih dulu dibanding nasabah lainnya. Karena liquidation value dapat ditarik dari aset-aset perbankan jauh lebih rendah dibanding total kewajibannya, maka sejumlah nasabah yang terlambat melakukan penarikan tidak akan dapat memperoleh uangnya kembali. Dengan kata lain, akan ada insentif bagi semua deposan untuk saling mendahului dalam antrian penarikan simpanan. Hal ini terjadi kalau seandainya terjadi panik diantara nasabah. 108 Salah satu cara untuk mengatasi panik adalah dengan cara memberlakukan suspension of convertibility (SC) atau penghentian pengkonversian dari simpanan menjadi uang cash. Dalam kasus seperti ini, deposan hanya bisa menguangkan simpanan sesuai dengan kontrak simpanannya, dalam arti bahwa simpanan yang belum jatuh tempo tidak bisa ditarik. SC hanya bisa efektif dalam dunia yang non stochastic atau tanpa ketidakpastian. Jika investasi jangka panjang dapat diobservasi secara sempurna akan menguntungkan bank, maka SC dapat mencegah deposan yang memiliki kontrak simpanan jangka panjang untuk menarik dananya secara lebih dini karena mereka tahu bahwa pendapatannya di masa yang akan datang akan lebih besar. Namun, SC tidak akan efektif dalam mencegah panik kalau seandainya tidak ada kepastian bahwa nilai investasi jangka panjang akan menguntungkan. Hal ini
108
Ibid..
Universitas Sumatera Utara
berarti dalam situasi makroekonomi yang penuh ketidakpastian dan disertai dengan memburuknya kinerja investasi, panik menjadi sulit untuk dicegah. 109 Alternatif kedua untuk mencegah terjadinya panik menurut Diamond dan Dybig adalah dengan mengadakan fasilitas LoLR. Dengan adanya fasilitas ini, bank tidak harus melakukan likuidasi aset-asetnya untuk melayani terjadinya panik. Oleh karena itu, fasilitas LoLR memiliki dua fungsi, yaitu : (i) memberikan kemampuan pada bank untuk melayani seluruh penarikan, dan (ii) mencegah bank melakukan likuidasi aset-aset produktifnya. Dalam kasus dimana seluruh aset bank dapat dipakai untuk membayar fasilitas LoLR dikemudian hari, maka tidak ada kerugian bagi otoritas moneter untuk memberikan layanan fasilitas ini dengan jaminan dalam bentuk aset kredit perbankan. Akan tetapi fasilitas LoLR memiliki tiga kelemahan, yaitu : Pertama, fasilitas ini relatif terbatas scope-nya untuk mengatasi masalah kesulitan likuiditas perbankan. Oleh karena itu, jika masalahnya adalah masalah solvency, maka fasilitas LoLR tidak akan mampu mencegah panik. Kedua, fasilitas ini biasanya juga disertai dengan infusi jumlah uang yang beredar sehingga cenderung meningkatkan inflasi dan ketidakpastian dalam nilai tukar. Hal ini pada gilirannya akan cenderung memperburuk kinerja investasi. Ketiga, dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, tidak ada jaminan bahwa return on investment dari aset kredit perbankan akan mampu menutup semua kewajibannya terhadap otoritas penyedia LoLR. Jadi, walaupun LoLR dapat secara efektif mengurangi panik, fasilitas ini bisa merugikan pemerintah yang pada akhirnya kerugian ini dibebankan kepada 109
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dalam bentuk pajak yang lebih tinggi maupun terjadinya peningkatan inflasi (inflation taxs). 110 Alternatif ketiga untuk mencegah panik dengan pemberlakuan blanket guarantee, dimana pemerintah memberikan jaminan kepada seluruh deposan dan kreditur bahwa dananya akan sepenuhnya dikembalikan oleh pemerintah melalui bank yang bersangkutan. Dalam kasus seperti ini, blanket guarantee hanya bisa kredibel jika disponsori oleh pemerintah dan bukannya dalam bentuk deposit insurance (DI) yang dilakukan oleh swasta. Di swasta, tidak akan mampu mengatasi sistemic crisis, karena ia tidak dilengkapi dengan kekuasaan untuk menarik pajak dan menciptakan uang. Sebaliknya, blanket guarantee dapat secara kredibel mencegah terjadinya panik yang mengakibatkan systemic crisis. 111 2.
Sifat dan Ruang Lingkup Bantuan Likuiditas Bank Sentral sering dipersepsikan memiliki akses tak terbatas atas sumber
keuangan karena mereka dapat mencetak uang. Persepsi ini jelas sangat sederhana. Memberikan pinjaman secara bebas dalam masa krisis dapat merusak regim moneter. Selain itu, pemberian pinjaman yang besar pada lembaga yang insolven meningkatkan risiko kredit pada bank sentral yang dapat merumitkan manajemen moneter dan meningkatkan inflasi. Hal ini dikarenakan bank sentral pada umumnya memiliki kapital yang minim dan pendapatan yang kecil dan cenderung untuk memoneterkan (monetize) kerugian. Dengan demikian, ketika skala bantuan menjadi
110 111
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
besar, otoritas fiskal perlu untuk mengasuransikan risiko kredit yang diambil bank sentral. Menteri Keuangan harus ikut dalam pengambilan keputusan pemberian pinjaman kepada lembaga yang penting secara sistematis yang menghadapi risiko insolvensi. 112 Dalam masa krisis sistemik, bank sentral sebagai LoLR harus berusaha meyakinkan publik bahwa akan bertindak tegas dan membatasi ruang lingkup gangguan keuangan. Juga dimungkinkan untuk memberikan bantuan kepada semua bank yang kekurangan likuiditas dalam stadium awal. Dalam situasi krisis yang luas, kriteria penentuan yang mana lembaga yang secara sistemik penting dapat diperlonggar dibanding masa normal. Bantuan likuiditas darurat biasanya diperlukan ketika jaminan penuh atas deposito tidak diberikan oleh pemerintah. Pada mulanya, jaminan penuh atas deposit tersebut tidak cukup meyakinkan sehingga bank run berlanjut kecuali jika bantuan likuiditas tersedia dalam jumlah yang besar. 113 Ketika sebagian besar sistem perbankan insolven, sumber untuk bantuan solvabilitas harus berasal dari Pemerintah dan sektor swasta, bukan dari bank sentral, dan berapapun biaya publik yang timbul harus diketahui secara jelas. Pemerintah dapat memutuskan bahwa bank sentral yang harus memberikan bantuan hingga strategi restrukturisasi berjalan, dan mungkin kelanjutannya; tetapi pinjaman tersebut normalnya secara eksplisit dijamin oleh pemerintah. Dibutuhkan transparansi, bahwa jika pinjaman tersebut tidak dapat dibayar oleh lembaga peminjam, pemerintah wajib 112
Hasil Riset Bank Indonesia (Satgas BLBI) dengan HLB Hadori & Rekan, Studi Keuangan Bantuan Likuiditas...., Loc. Cit, hlm 43. 113 Ibid, hlm 44.
Universitas Sumatera Utara
mengkompensasi kerugian bank sentral. Salah satu opsi kompensasi kerugian bagi bank sentral adalah untuk tidak mentransfer keuntungan kepada Pemerintah sampai semua kerugian teratasi. Akan tetapi, bank sentral tidak biasanya dalam posisi mencari keuntungan, setelah membuat non performing loan untuk bank insolven. Biasanya, klaim oleh bank sentral pada bank insolven dikonversikan kedalam ekuitas pada bank yang dipegang oleh pemerintah, dan pemerintah akan menerbitkan sekuritas dalam neraca bank sentral. Sangatlah penting bahwa sekuritas tersebut diterbitkan sesuai persyaratan pasar dan cukup marketable bagi bank sentral untuk direkapitalisasi. 114 Sejarah telah menunjukkan bahwa krisis perbankan setelah tahun 80-an menjadi lebih sering terjadi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Dalam konteks krisis perbankan di berbagai belahan dunia, bantuan likuiditas (liquidity support) bukanlah suatu hal yang baru, dan praktis pernah digunakan secara massal oleh hampir semua negara yang mengalami krisis. Hal ini tidak terlepas dari fungsi bank sentral sebagai LoLR. Namun, yang sering menjadi masalah kemudian adalah apakah fungsi semacam ini bisa secara efektif dapat menanggulangi krisis perbankan dan sekaligus dalam pelaksanaannya terhindar dari ekses negatif yang berlebihan. Menurut Anwar Nasution, perangkat hukum mengenai fasilitas LoLR harus lebih komprehensif, yaitu dengan mengintegrasikannya sebagai bagian dari strategi krisis manajemen. Perangkat hukum tersebut harus dapat memberikan prosedur yang tepat, kejelasan akuntabilitas dan kewenangan serta aturan disclosure yang akan 114
Ibid, hlm 44-45.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan stabilitas keuangan, mengurangi moral hazard, dan harus didasarkan pada prasyarat dan persyaratan tertentu. Perumusannya dapat dilakukan dengan rulebased approach atau dengan clearly-defined rules approach dan melindungi LoLR dari pengaruh politik yang tinggi, serta pada waktunya keputusan pemberian LoLR itu bisa dijelaskan secara transparan dan akuntabel dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum oleh bank sentral. 115 Walaupun kerangka yang digunakan berbeda dari satu negara dengan negara lain, terdapat suatu konsensus umum mengenai pertimbangan utama dalam pemberian bantuan likuiditas pada kondisi normal dan krisis. Dalam kondisi normal, bantuan LoLR harus didasarkan pada suatu aturan yang jelas. Kebijakan dan peraturan LoLR yang transparan dapat mengurangi kemungkinan terjadi krisis
dan memberikan
insentif tumbuhnya disiplin pasar. Hal itu juga dapat mengurangi campur tangan politik dan mencegah bias yang mengarah pada pelanggaran aturan. LoLR pada kondisi normal hanya dapat diberikan kepada bank yang solven dengan agunan yang memadai dan memenuhi syarat. Sedangkan untuk bank insolven harus ditempuh kebijakan penyelesaian yang lebih ketat seperti penutupan dan karenanya harus terdapat exit policy yang konsisten. Terkait dengan hal tersebut, lembaga penjamin simpanan harus dibentuk untuk dapat memberikan dana talangan dalam hal terjadi penundaan dalam proses penutupan bank yang bangkrut. Sementara dalam krisis sistemik, LoLR harus menjadi bagian integral dari suatu strategi manajemen krisis
115
Anwar Nasution, Stabilitas Sistem Keuangan ....., Loc. Cit, hlm 14-15.
Universitas Sumatera Utara
yang komprehensif dan dirumuskan secara baik. Perlu adanya pengecualian risiko sistemik dalam pemberian LoLR kepada sistem perbankan. 116 Dalam krisis sistemik pengungkapan proses LoLR dapat menjadi alat penting manajemen krisis. Kriteria krisis sistemik tentunya tergantung pada kondisi tertentu, sehingga sulit menetapkan hal ini sebelumnya (ex-ante) dalam undang-undang, karena : 117 a.
Berpotensi menimbulkan moral hazard Apabila kriteria dampak sistemik ditetapkan secara eksplisit, maka terdapat potensi bank atau lembaga keuangan bukan bank memposisikan diri sebagai lembaga yang berdampak sistemik. Bank/LKBB tersebut akan cenderung kurang memperhatikan risiko (excessive risk taking). Hal tersebut dilakukan karena pemilik atau pengurus lembaga keuangan memperkirakan lembaga keuangan dimaksud akan diselamatkan oleh Pemerintah.
b.
Pengukuran dampak sistemik bersifat situasional Skala atau dampak sistemik disebabkan oleh berbagai situasi, baik yang bersifat internal dari lembaga keuangan maupun bersifat eksternal seperti krisis keuangan global, serangan teroris dan bencana alam. Oleh karena itu penetapan dampak sistemik sulit untuk ditetapkan di awal. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi yang berbeda. Dengan demikian, pengukuran dampak sistemik memerlukan professional judgement.
116
Ibid. Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, hhtp://www.jpsk.info/publish/detail.php?module=det_naskah&id=11, (Diakses, Selasa 5 Juli 2011). 117
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, peraturan fasilitas LoLR harus menetapkan dengan jelas prinsip-prinsip pokok dan kriteria spesifik mengenai krisis sistemik dan atau potensi kegagalan suatu bank yang dapat mengarah pada krisis sistemik. Untuk meyakinkan proses pengambilan keputusan yang efektif dan akuntabilitas, harus terdapat kerangka dan prosedur LoLR yang jelas. Disamping itu, untuk meyakinkan akuntabilitas, perlu dipelihara kelengkapan laporan dan dokumentasi. 3.
Pengaturan Lender of The Last Resort Dalam Undang-Undang Bank Indonesia Dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU No. 13 Tahun 1968 tentang Bank
Sentral, fungsi Bank Indonesia sebagai lender of the last resort (LoLR) diatur dalam pasal 32 ayat (3) dan (4) sebagai berikut : (3) Bank (BI) dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat. (4) Pemberian kredit bank (BI) dibatasi oleh rencana kredit yang bersangkutan. Aturan yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam pasal 32 ayat (3) dan (4) di atas mensyaratkan bahwa setiap tahun Bank Indonesia harus bisa memprediksikan kesulitan likuiditas yang akan dihadapi oleh bank, sehingga artinya dalam keadaan normal Bank Indonesia harus mampu merencanakan jumlah pemberian kredit kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas. Namun, pengaturan seperti ini tentu saja menjadikan Bank Indonesia akan berada dalam situasi yang dilematis ketika harus melaksanakan fungsinya sebagai LoLR guna menghadapi bank run dalam situasi sistemik. Hal ini terjadi pada krisis
Universitas Sumatera Utara
ekonomi pada tahun 1997/1998, karena saat itu yang terjadi bukan sekedar kesulitan likuiditas individual bank yang dapat diprediksikan sebelumnya oleh Bank Indonesia, melainkan penarikan dana besar-besaran dan seketika oleh masyarakat sebagai akibat krisis kepercayaan (domestik dan internasional) terhadap perbankan nasional yang tidak pernah terprediksikan. Setelah reformasi dan Bank Indonesia menjadi lembaga bank sentral yang independen berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, fungsi LoLR diatur dalam pasal 11 ayat (1), (2) dan (3) sebagai berikut : (1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan. (2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. Sesuai penjelasan dari pasal 11 ayat (1), (2) dan (3), pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada Bank hanya dilakukan untuk mengatasi kesulitan bank karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). Jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) merupakan jangka waktu maksimum yang dimungkinkan termasuk perpanjangannya. Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan yang berlaku. Agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai. Pembatasan jangka waktu maksimum 90 hari adalah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kredit atau pembiayaan dimaksud, yang pada gilirannya akan dapat mengganggu efektifitas pengendalian moneter. Sedangkan bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila diperlukan akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut. Fungsi LoLR Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1999 ternyata dirasakan masih sangat terbatas karena hanya untuk membantu mengatasi kesulitan likuiditas bank dalam kondisi normal. Hal ini belum mencakup fungsi LoLR yang dapat digunakan dalam kondisi darurat atau krisis. Bersamaan dengan amandemen UU Bank Indonesia melalui UU No. 3 Tahun 2004, pasal yang berkaitan dengan LoLR termasuk yang diamandemen dengan menambahkan dua ayat (ayat 3 dan 4) pada pasal 11, berbunyi sebagai berikut : (4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
Universitas Sumatera Utara
keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. (5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri, yang ditetapkan selambatlambatnya akhir tahun 2004. Berdasarkan pasal 11 ayat (4) tersebut, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Mekanisme ini merupakan bagian dari konsep jaring pengaman sektor keuangan (Indonesia Financial Safety Net) yang akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Undangundang dimaksud adalah UU tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang harus dibentuk paling lambat akhir tahun 2004. Sambil menunggu terbentuknya UU tentang JPSK, antara Gubernur Bank Indonesia dengan Menteri Keuangan pada tanggal 17 Maret 2004 menandatangani Nota Kesepakatan mengenai ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tindak lanjut dari ketentuan pasal 11 ayat (4) mengenai fasilitas pembiayaan darurat, Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.05/2005 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Fasilitas Pembiayaan
Universitas Sumatera Utara
Darurat dan Bank Indonesia menerbitkan PBI No. 8/1/PBI/2006 Tentang Fasilitas Pembiayaan Darurat Bagi Bank Umum yang selanjutnya disempurnakan dengan PBI No. 10/31/PBI/2008. Ketika terjadi krisis global yang melanda Amerika Serikat dan negara-negara Eropa pada tahun 2008, yang imbasnya mulai terasa di Asia, Pemerintah dan Bank Indonesia proaktif melakukan tindakan pencegahan. Beberapa ketentuan perbankan direlaksasi untuk menghindari runtuhnya sistem keuangan dan perbankan. Tindakan ini dilakukan agar dana nasabah di bank aman sehingga masyarakat tidak perlu berbondong-bondong ke bank menarik dananya. Respon Pemerintah untuk menghadapi krisis adalah dengan mengeluarkan tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), sebagai berikut : 118 Pertama, PERPPU No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia yang memungkinkan kredit berkolektibilitas lancar dijadikan agunan guna mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kedua, PERPPU No. 3 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang digunakan sebagai dasar menaikkan nilai simpanan nasabah yang dijamin oleh LPS dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar. Ketiga, PERPPU No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Penerbitan aturan ini untuk memberi jaminan ada penyelesaian bila ada bank atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang mengalami kesulitan likuiditas atau
118
Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, (Jakarta : Bank Indonesia, 2010), hlm 11-12.
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan sebagai bank atau LKBB gagal yang dinilai berdampak sistemik. Selain itu, PERPPU ini juga mengatur pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. PERPPU tentang JPSK ini diterbitkan mengingat UU sebagaimana diamanatkan oleh pasal 11 ayat (5) UU No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan UU Bank Indonesia sampai tahun 2008 belum ditetapkan, sementara kondisi perekonomian Indonesia sedang terancam oleh imbas krisis global. PERPPU tentang JPSK ini kemudian ditolak oleh DPR sebagai UU, dan pemerintah diminta untuk mengajukan kembali RUU tentang JPSK. Sedangkan PERPPU No. 2 Tahun 2008 diterima oleh DPR sebagai UU, dan ditetapkan sebagai UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia menjadi UndangUndang. Berdasarkan amandemen kedua terhadap UU Bank Indonesia ini, maka secara lengkap pasal 11 UU Bank Indonesia berbunyi sebagai berikut : (1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan. (2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. (4) Dalam hal suatu Bank mengalami keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank
Universitas Sumatera Utara
Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. (5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di atur dalam undang-undang tersendiri. Hal yang paling penting dari amandemen pasal 11 ini adalah penjelasan terhadap pasal 11 ayat (2) bahwa yang dimaksud dengan agunan yang berkualitas tinggi tidak hanya meliputi surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai, tetapi juga termasuk aset kredit kolektibilitas lancar.
Universitas Sumatera Utara