BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Otonomi Daerah Pembangunan ekonomi nasional selama pemerintahan orde baru yang terfokus pada pertumbuhan ternyata tidak membuat banyak daerah-daerah di Indonesia berkembang dengan baik. Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan per kapita naik terus (hingga krisis terjadi). Masalah ketimpangan ekonomi regional di Indonesia terjadi karena selama pemerintahan orde baru, pemerintah pusat menguasai dan mengontrol hampir semua sumber-sumber pendapatan daerah yang ditetapkan sebagai penerimaan negara, termasuk pendapatan dan hasil SDA sektor-sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan/kelautan. Akibatnya, selama itu daerahdaerah yang kaya SDA tidak dapat menikmati hasilnya secara layak. Diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan dan keleluasaan bagi Pemerintah Kabupaten/kota sebagai pelaksana dan promotor pembangunan di daerah untuk mengatur dan menentukan sendiri kegiatan pembangunan wilayah yang sesuai dengan prioritas kebutuhan masyarakat setempat. Tujuan utama penyelenggaraan Otonomi Daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service) dan memajukan perekonomian daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini berarti pemerintah
10
11
daerah dituntut untuk lebih mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah financial.
2.1.2 Desentralisasi Krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami bangsa Indonesia telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total di seluruh aspek kehidupan masyarakat. Disamping itu reformasi telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pembangunan dan moderenisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai bidang kehidupan. Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.1.3 Anggaran Daerah Untuk melaksanakan hak dan kewajibannya serta melaksanakan tugas yang dibebankan oleh rakyat, pemerintah harus mempunyai suatu rencana yang matang untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Rencana-rencana yang disusun secara matang tersebut nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam setiap langkah pelaksanaan tugas Negara. Oleh karena itu rencana-rencana pemerintah untuk melaksanakan keuangan negara perlu dibuat dan rencana tersebut dituangkan dalam bentuk anggaran (Ghozali, 1997).
12
Berbagai definisi atau pengertian anggaran menurut Safitri (2008) antara lain: 1. APBD menggambarkan segala bentuk kegiatan pemerintah daerah dalam mencari sumber-sumber penerimaan dan kemudian bagaimana dana-dana tersebut digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah. 2. APBD menggambarkan perkiraan dan pengeluaran daerah yang diharapkan terjadi dalam satu tahun kedepan yang didasarkan atas realisasi masa yang lalu. 3. APBD merupakan rencana kerja operasional pemerintah daerah yang akan dilaksanakan satu tahun kedepan dalam satuan angka rupiah. APBD ini merupakan terjemahan secara moneteris dari dokumen perencanaan daerah yang ada dan disepakati, yang akan dilakasanakan selama setahun. Menurut Warsito et al. (2008) yang perlu menjadi acuan dalam penyusunan APBD adalah sebagai berikut: 1. Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran; Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Transparansi anggaran merupakan hal yang penting, APBD merupakan salah satu sarana evaluasi kinerja pemerintah yang memberikan informasi mengenai tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek. 2. Disiplin Anggaran; Anggaran yang disusun perlu diklarifikasikan dengan jelas agar tidak terjadi timpang tindih yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana. Oleh karena itu penyusunan anggaran harus bersifat efisien, tepat guna, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
13
3. Keadilan Anggaran; Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dikenakan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penggunaannya harus dialokasikan secara adil dan proposional agar dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat. 4. Efisiensi dan Efektifitas Anggaran; Dana yang dihimpun dan digunakan untuk pembangunan harus dapat dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dengan melakukan efisiensi dan efektifitas. 5. Disusun dengan pendekatan kinerja; APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya pencapaian hasil kinerja dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme kerja setiap organisasi kerja yang terkait. Anggaran merupakan alat penting di dalam penyelenggaran pemerintahan. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber daya (Arif, 2002). Safitri (2008) menyatakan bahwa anggaran tidak hanya sebagai rencana keuangan yang menetapkan biaya dan pendapatan pusat pertanggungjawaban dalam suatu perusahaan, tetapi juga merupakan alat bagi manajer tingkat atas
14
untuk mengendalikan, mengkoordinasikan, mengomunikasikan, mengevalusi kinerja, dan memotivasi bawahannya. Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah.
2.1.4 Konsep Anggaran Pemerintah Daerah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda, yang pada akhirnya pemerintah melakukan transfer dana. Transfer dana ini berupa Dana Perimbangan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana perimbangan adalah pengeluaran alokatif anggaran pemerintah pusat untuk daerah yang ditujukan untuk keperluan pemerintah daerah. Dana Perimbangan ini terdapat berbagai macam, yaitu DAU (Dana Alokasi Umum), DAK (Dana Alokasi Khusus) dan DBH (Dana Bagi Hasil). Menurut Mardiasmo (2002) Dana Perimbangan itu ditujukan untuk: 1. Menjamin terciptanya perimbangan secara vertikal di bidang keuangan antar tingkat pemerintahan; 2. Menjamin terciptanya perimbangan secara horizontal di bidang keuangan antar pemerintah di tingkat yang sama; dan 3. Menjamin terselenggaranya kegiatan-kegiatan tertentu di daerah yang sejalan dengan kepentingan nasional. Dana yang biasanya ditransfer dari pemerintah pusat adalah DAU.
15
2.1.5 Hubungan Keuangan Pusat-Daerah Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, tujuan suatu kerangka hubungan keuangan pusat-daerah adalah untuk menjelaskan tiga hal pokok, yaitu: 1. Pembagian kekuasaan pemerintahan dalam memungut dan membelanjakan sumber dana pemerintahan, yakni pembagian yang sesuai dengan pola umum desentralisasi; 2. Pembagian yang memadai dari sumber-sumber dana secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi, penyediaan pelayanan dan pelaksanaan pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintah; dan 3. Distribusi pengeluaran pemerintah secara merata di antara daerah satu dan daerah lainnya. Pola pembiayaan terhadap wewenang yang dilimpahkan oleh pusat kepada daerah sebagian besar diperoleh dari PAD. Namun kenyataannya dominasi pusat masih terlalu kuat bagi daerah di dalam pembiayaan pembangunan daerah. Salah satu bentuknya adalah dengan pemberian sumber dana yang berkaitan dengan wewenang yang diberikan. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan dan melaksanakan fungsi pelayanan publik di daerah, pemerintah membutuhkan anggaran sebanding dengan kegiatan yang harus dijalankan. Kebutuhan keuangan daerah dapat diperoleh dari PAD dan bantuan atau subsidi dari pemerintah pusat.
16
2.1.6 Prospek Keuangan Daerah Menurut Mardiasmo (2002) prospek keuangan daerah dapat dilihat dari faktor-faktor berikut ini: 1. Sumber-sumber yang belum tergali, yang meliputi sumber daya alam dan sumber-sumber lainnya; dan 2. Sumber-sumber keuangan yang telah digali tetapi belum dioptimalkan secara efektif, juga meliputi sumber daya alam dan sumber-sumber lain. Realisasi penilaian prospek keuangan daerah ini tidak begitu saja mudah dilakukan. Dari fakta yang telah sering ditemukan terdapat sejumlah kendala yang menghambat pelaksanaan di lapangan. Adapun faktor yang berpengaruh bagi pelaksanan antara lain perangkat daerah, obyek pelaksanaan, dan subyek pelaksanaan. Guna menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab diperlukan keuangan dengan menggali sumber-sumber keuangan sendiri yang didukung pula oleh pembagian keuangan antara pusat dan daerah. Keuangan daerah
merupakan
semua
hak
dan
kewajiban
daerah
dalam
rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka APBD. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, maka kepada daerah-daerah diberikan hak, wewenang dan kewajiban umtuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri agar dapat
17
meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam penyelenggaraan pemerintah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan pembangunan. Untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya, daerah membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Dalam hal ini menurut Mardiasmo (2002) daerah dapat memperolehnya melalui beberapa cara, yakni: 1. Pemerintah daerah dapat mengumpulkan dana, dan pajak daerah yang sudah disetujui oleh pemerintah pusat; 2. Ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan sentral tersebut.
2.1.7 Belanja Daerah Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Belanja Daerah (BD) adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pengeluaran belanja berbeda dengan pengeluaran pembiayaan. Perbedaan tersebut terletak pada ada atau tidaknya pengembalian dana yang telah dikeluarkan. Pemerintah daerah tidak akan mendapatkan pembayaran kembali atas pengeluaran belanja yang terjadi, baik pada tahun anggaran berjalan maupun pada tahun anggaran berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan merupakan pengeluaran yang akan diterima kembali pembayarannya pada tahun anggaran berjalan atau pada tahun anggaran berikutnya. Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 yang sekarang telah diperbaharui menjadi Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar
18
Akuntansi Pemerintahan, struktur Belanja Daerah yang digunakan dalam APBD diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi, yaitu: a. Belanja Operasi; Adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah daerah yang memberikan manfaat jangka pendek. Belanja Operasi terdiri dari: 1. Belanja Pegawai; Adalah belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; 2. Belanja Bunga; Adalah belanja untuk pembayaran bunga hutang yang dihitung atas kewajiban pokok hutang (principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang; 3. Belanja Subsidi; Adalah belanja untuk bantuan biaya produksi kepada perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan dapat terjangkau oleh masyarakat banyak; 4. Belanja Hibah; Adalah belanja untuk pemberian hibah dalam bentuk uang, barang, dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, dan kelompok masyarakat/perorangan peruntukkannya;
yang
secara
spesifik
telah
ditetapkan
19
5. Belanja Bantuan Sosial; Adalah belanja untuk pemberian bantuan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. b. Belanja Modal; Adalah pengeluaran yang dianggarkan untuk pembelian atau pengadaan aset tetap dan aset lainnya untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan yang memiliki kriteria masa manfaat lebih dari 12 bulan (1 tahun) , merupakan objek pemeliharaan, jumlah nilai rupiahnya material sesuai dengan kebijakan akuntansi. Belanja modal terdiri dari : 1. Belanja Publik; Adalah belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Belanja publik merupakan belanja modal yang berupa investasi fisik yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun dan mengakibatkan terjadinya penambahan aset daerah; 2. Belanja Aparatur; Adalah belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan langsung oleh aparatur. Belanja aparatur diperkirakan akan memberikan manfaat pada periode berjalan dan periode yang akan datang.
20
c. Belanja Tak Disangka; Adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa, contohnya : 1. Kejadian-kejadian luar biasa, seperti bencana alam atau kejadian yang dapat membahayakan daerah; 2. Tagihan tahun sebelumnya yang belum diselesaikan dan/atau yang tidak tersedia anggarannya pada tahun sebelumnya yang bersangkutan; 3. Pengembalian penerimaan yang bukan haknya atau penerimaan yang dibebaskan atau dibatalkan dan/atau kelebihan penerimaan.
2.1.8 Latar Belakang Pemberian Transfer Menurut Sidik et al. (2002) tujuan pemberian transfer, yaitu: 1. Pemerataan Vertikal (vertical equalization); Pemerintah Pusat menguasai sebagian besar sumber-sumber penerimaan (pajak) utama negara. Sedangkan, pemerintah daerah hanya menguasai sebagian kecil sumber-sumber penerimaan negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak-pajak lokal. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, karena pemerintah pusat begitu mendominasi penerimaan pajak dan sumber daya alam daerah. Akibatnya, daerah dengan sumber daya alam yang melimpah tidak dapat sepenuhnya merasakan hasil kekayaan daerah mereka sendiri. Kondisi inilah yang akan diatasi dengan menggunakan Dana Perimbangan, khususnya Dana Bagi Hasil. Dengan dana perimbangan, daerah penghasil penerimaan
21
akan mendapat porsi yang lebih besar dalam bagi hasil penerimaan umum (general revenue sharing). 2. Pemerataan Horizontal (Horizontal equlization); Kemampuan Daerah untuk menghasilkan pendapatan sangat bervariasi tergantung kondisi daerah bersangkutan. Hal ini berimplikasi pada kapasitas fiskal (fiscal capacity) di daerah yang bersangkutan. Di samping itu, tiap daerah juga memiliki kebutuhan belanja yang berbeda-beda tergantung pada jumlah penduduk, proporsi penduduk dan keadaan geografis daerah. Hal ini berimplikasi pada bervariasinya kebutuhan fiskal (fiscal need) di daerah-daerah bersangkutan. Selisih antara kebutuhan fiskal dan kemampuan fiskal daerah disebut dengan celah fiskal (fiscal gap). Celah fiskal inilah yang akan ditutup dengan transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk DAU. 3. Menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap daerah; Setiap daerah memiliki kemampuan yang bervariasi dalam menyediakan pelayanan umum untuk masyarakatnya, karena perbedaan sumber daya yang dimiliki oleh tiap daerah. Sementara itu, standar pelayanan minimum untuk tiap pemerintah daerah di Indonesia sama dan harus tetap dijaga. Oleh karena itu pemerintah pusat harus menjamin standar pelayanan umum di tiap daerah dengan memberikan subsidi. 4. Mengatasi persoalan yang timbul dari menyebar atau melimpahnya efek pelayanan publik; Setiap jenis pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah tertentu tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan saja. Misalnya,
22
pendidikan tinggi, pemadam kebakaran, jalan raya antar daerah, dan rumah sakit daerah, tidak bisa dibatasi manfaatnya hanya untuk masyarakat daerah tertentu saja. Namun tanpa adanya imbalan (dalam bentuk pendapatan), pemerintah daerah biasanya enggan berinvestasi dalam hal tersebut. Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu memberikan semacam insentif ataupun menyerahkan sumber-sumber keuangan agar pelayanan-pelayanan publik dapat dipenuhi oleh daerah. 5. Stabilisasi; Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan transfer sebagai stabilizer pada saat aktivitas ekonomi daerah lesu ataupun pada saat aktivitas ekonomi meningkat. Pada saat aktivitas perekonomian daerah sedang lesu, pemberian transfer dapat ditingkatkan, dan sebaliknya pada saat perekonomian meningkat pemberian transfer dapat dikurangi. Namun, dalam melakukan hal ini diperlukan kecermatan dalam mengkalkulasi penurunan dan peningkatan transfer, dan menentukan saat yang tepat dalam melakukan penurunan dan peningkatan transfer tersebut agar tidak berakibat merusak atau bertentangan dengan tujuan stabilisasi. Transfer pemerintah pusat kepada daerah dapat dibedakan menjadi bagi hasil (revenue sharing) dan bantuan (grants). Grants sendiri dapat dikelompokkan menjadi block grant (besarnya ditentukan berdasarkan formula) dan special grant (ditentukan berdasarkan pendekatan kebutuhan yang sifatnya insidental dan mempunyai fungsi khusus). Dalam dana perimbangan yang diterapkan di Indonesia, Dana bagi hasil berperan sebagai revenue sharing, Dana Alokasi
23
Umum (DAU) sebagai block grant dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sebagai special grant.
2.1.9 Dana Alokasi Umum (DAU) DAU merupakan dana hibah murni (grants) yang kewenangan penggunaanya diserahkan penuh kepada pemerintah daerah penerima. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan pengertian bahwa DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah, dan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU merupakan sarana untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula dengan mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerahnya. Pemberian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai kapasitas fiskal rendah dimana daerah tersebut belum mampu memaksimalkan pendapatan asli daerahnya dikarenakan suatu hal. Untuk daerah yang mempunyai kapasitas fiskal tinggi justru akan mendapat jumlah DAU yang lebih kecil, sehingga diharapkan dapat mengurangi ketidakseimbangan fiskal antardaerah dalam menjalani era otonomi sekarang. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 menetapkan jumlah kebutuhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBD. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 menambahkan proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan
24
imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU diprioritaskan penggunaannya untuk mendanai gaji dan tunjangan pegawai, kesejahteraan pegawai, kegiatan operasi dan pemeliharaan serta pembangunan fisik sarana dan prasarana dalam rangka peningkatan pelayanan dasar dan pelayanan umum yang dibutuhkan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Dana Alokasi Umum suatu daerah provinsi dan kabupaten/kota dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri dari: 1. Celah Fiskal, merupakan kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal; 2. Alokasi Dasar, dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah secara proporsional.
a. DAU Untuk Provinsi: DAU = Jumlah DAU untuk Provinsi x
Jumlah bobot seluruh Propinsi Bobot Provinsi yang bersangkutan
b. DAU untuk daerah Kabupaten/Kota: Jumlah bobot seluruh Kab./Kota DAU = Jumlah DAU untuk Kab./Kota x Bobot Kab./Kota yang bersangkutan Di mana Formula untuk menghitung Bobot DAU daerah: Bobot DAU Daerah =
Kebutuhan DAU daerah Total Kebutuhan DAU seluruh Daerah
Sebagaimana telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, DAU berperan dalam pemerataan horizontal (horizontal equalization) yaitu dengan menutup
25
celah fiskal (fiscal gap) yang berada diantara kebutuhan fiskal dan potensi ekonomi yang dimiliki daerah. Sehingga kebutuhan DAU suatu daerah merupakan selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi penerimaan daerah. Kebutuhan fiskal daerah dihitung berdasarkan perkalian antara total belanja daerah rata-rata dengan penjumlahan dari perkalian masing-masing bobot variabel dengan indeks jumlah penduduk, indeks luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, indeks pembangunan manusia, dan indeks produk domestik regional bruto per kapita. Sedangkan Kapasitas fiskal daerah merupakan penjumlahan dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil. Dana Alokasi Umum atas dasar Celah Fiskal dihitung berdasarkan perkalian bobot celah fiskal masing-masing daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan jumlah Dana Alokasi Umum seluruh daerah provinsi atau Dana Alokasi Umum seluruh kabupaten/kota. Dana Alokasi Umum atas dasar Alokasi Dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji pegawai negeri sipil daerah secara proporsional termasuk kenaikan gaji pokok, pemberian gaji bulan ke-13 (ketiga belas), dan gaji bagi calon pegawai negeri sipil daerah. Dalam
konsep
anggaran
berimbang,
pemerintah
daerah
diharuskan
menyerahkan anggarannya kepada legislatif sebelum tahun fiskal berjalan, tetapi tidak mengatur bagaimana pengeluaran harus diprioritaskan atau bagaimana komponen-komponen pengeluaran ditentukan.
26
2.1.10 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Halim (2002b) dalam bukunya yang berjudul “Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi Keuangan Daerah” beliau menyatakan bahwa PAD merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Menurut penjelasan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain. Pendapatan asli daerah memiliki tujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai mewujudan asas desentralisasi. Adapun kelompok pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu: 1. Pajak Daerah; Adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang atau yang dapat dipaksakan. Jenis pajak daerah dibagi menjadi dua, yaitu: a. Pajak Daerah Provinsi, yang terdiri dari: 1. Pajak Kendaraan Bermotor; 2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; 4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan; dan 5. Pajak Rokok.
27
b. Pajak Daerah Kabupaten/kota, yang terdiri dari: 1. Pajak Hotel dan Restoran; 2. Pajak Hiburan; 3. Pajak Reklame; 4. Pajak Penerangan Jalan; 5. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C; 6. Pajak Parkir; 7. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan; dan 8. Pajak Sarang Burung Walet. 2. Retribusi Daerah; Adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan, serta mendapat balas jasa langsung. Retribusi dibagi atas tiga golongan, yaitu: a. Retribusi Jasa Umum, terdiri dari: 1. Pelayanan Kesehatan; 2. Pelayanan Kebersihan dan Persampahan; 3. Penggantian biaya cetak KTP dan akta catatan sipil; 4. Pelayanan Pemakaman; 5. Pelayanan Parkir ditepi jalan umum; 6. Pelayanan Pasar; 7. Pelayanan Air Bersih; 8. Pengujian kendaraan bermotor;
28
9. Pengujian terhadap kapal perikanan. b. Retribusi Jasa Usaha, terdiri dari: 1. Pemakaian kekayaan daerah; 2. Pasar Grosir atau Pertokoan; 3. Pelayanan Terminal; 4. Pelayanan tempat khusus parkir; 5. Penginapan atau villa; 6. Rumah potong hewan; 7. Tempat rekreasi dan olahraga; dan 8. Pengelolaan air limbah. c. Retribusi perizinan tertentu, terdiri dari: 1. Ijin Penggunaan Tanah; 2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB); 3. Ijin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; 4. Ijin Gangguan; 5. Ijin Trayek; dan 6. Ijin Pengambilan Hasil Hutan. 3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan; antara lain bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD, bagian penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN dan bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
29
4. Penerimaan Lain-lain yang Sah; Adalah penerimaan yang diperoleh daerah kabupaten/kota di luar pajak, retribusi, bagian laba BUMD. Berikut beberapa contoh yang termasuk penerimaan lain-lain, seperti: a. Hasil penjualan aset milik pemerintah daerah dan jasa giro rekening pemerintah daerah kabupaten/kota; b. Penerimaan bunga deposito; c. Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; d. Penerimaan gati rugi atas kehilangan/kerugian kekayaan daerah; e. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; f. Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD); g. Pendapatan dari penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan; h. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; dan i. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/jasa oleh daerah.
2.1.11 Flypaper Effect Flypaper Effect atau lebih dikenal dengan efek kertas layang adalah suatu kondisi yang terjadi saat pemerintah daerah merespon (belanja) lebih banyak dengan menggunakan dana transfer (grants) yang diproksikan dengan DAU dari pada menggunakan kemampuan sendiri, diproksikan dengan PAD (Maimunah, 2006), oleh karena itu flypaper effect dianggap sebagai suatu anomali dalam
30
perilaku rasional jika transfer dianggap sebagai tambahan pendapatan masyarakat (seperti halnya pajak daerah), sehingga harus dibelanjakan dengan cara yang sama pula dengan pendapatan asli daerah. Fenomena flypaper effect membawa implikasi lebih luas bahwa transfer akan meningkatkan belanja pemerintah daerah lebih besar daripada penerimaan transfer itu sendiri. Anomali yang timbul tersebut menghasilkan dua aliran pemikiran dari para pengamat ekonomi mengenai telaah flypaper effect, yaitu: 1. Model Birokratik (bureaucratic model) Pemikiran birokratik berpandangan posisi birokrat lebih kuat dalam pengambilan keputusan publik dimana berusaha untuk memaksimalkan anggaran sebagai proksi kekuasaannya. Model birokratik juga menegaskan flypaper effect sebagai akibat dari perilaku birokrat yang leluasa untuk membelanjakan transfer daripada menaikkan pajak (Shinta, 2009). 2. Model Ilusi Fiskal (fiscal illusion model) Model ini pertama kali dikemukakan oleh ekonom Italia bernama Amilcare Puviani yang menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam suatu institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan (rekayasa) sehingga mampu mengarahkan pihak lain pada penilaian maupun tindakan tertentu. Maksud dari penjelasan di atas dalam konteks penelitian ini adalah pemerintah daerah melakukan rekayasa terhadap anggaran agar mampu mendorong masyarakat untuk memberikan kontribusi lebih besar dalam hal membayar pajak atau retribusi, dan juga mendorong pemerintah pusat untuk mengalokasikan dana dalam jumlah yang lebih besar.
31
Apabila terdapat respon yang asimetris terkait dengan penerimaan maupun pengeluaran maka dapat diindikasikan terjadi ilusi fiskal (Shinta, 2009).
2.1.12 Tinjauan Penelitian Terdahulu Maimunah (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera, menyatakan bahwa terdapat keterikatan yang sangat erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan Belanja Daerah. Hal serupa juga dinyatakan oleh Wijaya (2008) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Besarnya Belanja Daerah (Studi pada Kabupaten se-Karesidenan Pekalongan) dan Novianingsih (2009) dengan judul Pengaruh Sumber Pendapatan terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Mereka menyatakan dimana dana perimbangan dalam hal ini termasuk DAU merupakan variabel yang lebih besar pengaruhnya terhadap belanja daerah daripada pendapatan asli daerah tersebut. Al-Firsta dan Pramuka (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah Pada Kabupaten di Karesidenan Banyumas. Serta Kuncoro (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Fenomena Flypaper Effect pada Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten di Indonesia, juga mengemukakan bahwa dana alokasi dari pemerintah pusat menjadi penghalang bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD. Yang ada justru
32
pemerintah daerah berupaya bagaimana caranya dana alokasi yang diterima dari tahun ke tahun tetap atau meningkat. Wijaya (2008) dan Maimunah (2006) dalam penelitiannya mempunyai persamaan pendapat mengenai temuan adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat, yang merupakan suatu kondisi yang terjadi pada saat pemerintah daerah merespon belanja lebih banyak dengan menggunakan dana transfer daripada menggunakan kemampuan sendiri.
2.2
Rerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan teoritis yang telah diuraikan sebelumnya maka berikut
ini peneliti dapat mengemukakan suatu kerangka konseptual yang dapat berfungsi sebagai penuntun sekaligus mencerminkan alur berfikir dalam penelitian ini. Kerangka yang dimaksud dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Dana Alokasi Umum H1 (DAU)
Belanja Daerah Pendapatan Asli Daerah (PAD)