BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Definisi Cash Flow Menurut Baridwan (2004:40) Standar Akuntansi Keuangan (SAK) di Indonesia mewajibkan perusahaan untuk menyusun laporan arus kas dan menjadikan laporan tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan (integral) dari laporan keuangan untuk setiap periode penyajian laporan keuangan. Arus kas adalah arus masuk kas, arus keluar kas, dan setara kas. Tujuan utama laporan arus kas adalah untuk menyajikan informasi relevan tentang penerimaan dan pengeluaran kas ke suatu perusahaan selama suatu periode. Kieso et al. (2008:212) mendefinisi laporan arus kas merupakan salah satu dari tujuan pelaporan keuangan, membantu pemakai menilai jumlah, waktu, dan ketidakpastian arus kas masa depan. Tujuan utama laporan arus kas adalah menyediakan informasi yang relevan mengenai penerimaan dan pembayaran kas sebuah perusahaan selama suatu periode. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) di Indonesia perusahaan menyajikan arus kas dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan dengan cara yang paling sesuai dengan bisnis perusahaan tersebut. Klasifikasi menurut aktivitas memberi informasi yang memungkinkan para pengguna laporan untuk menilai pengaruh aktivitas tersebut terhadap posisi keuangan perusahaan serta terhadap
jumlah kas dan setara kas. Informasi tersebut dapat juga digunakan untuk mengevaluasi hubungan di antara ketiga aktivitas tersebut. Jumlah arus kas yang berasal dari aktivitas operasi merupakan indikator yang menentukan apakah operasi perusahaan dapat menghasilkan arus kas yang cukup untuk melunasi pinjaman, memelihara kemampuan operasi perusahaan, membayar dividen, dan melakukan investasi baru tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. Informasi mengenai unsur tertentu arus kas historis bersama dengan informasi lain, berguna dalam memprediksi arus kas operasi masa depan. Arus kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari aktivitas penghasil utama pendapatan perusahaan. Oleh karena itu, arus kas operasi biasanya berasal dari transaksi peristiwa lain yang mempengaruhi penetapan laba atau rugi bersih. Beberapa contoh arus kas dari aktivitas operasi adalah: 1. Penerimaan kas dari penjualan barang dan jasa; 2. Penerimaan kas dari royalty, fees, komisi, dan pendapatan lain; 3. Pembayaran kas kepada pemasok barang dan jasa; 4. Pembayaran kas kepada karyawan; 5. Penerimaan dan pembayaran kas oleh perusahaan asuransi sehubungan dengan premi, klaim, anuitas dan manfaat asuransi lainnya; 6. Pembayaran kas dan penerimaan kembali (restitusi) pajak penghasilan, kecuali jika dapat didefinisi secara khusus sebagai bagian dari aktivitas pendanaan dan investasi;
7. Penerimaan dan pembayaran kas dari kontrak yang diadakan untuk tujuan transaksi usaha dan perdagangan; Pengungkapan terpisah arus kas yang berasal dari aktivitas investasi perlu dilakukan sebab arus kas tersebut mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas sehubungan dengan sumber daya yang bertujuan menghasilkan pendapatan dan arus kas masa depan. Beberapa contoh arus kas yang berasal dari aktivitas ivestasi adalah: 1. Pembayaran kas untuk membeli aset tetap, aset tidak berwujud, dan aset jangka panjang lain, termasuk biaya pengembangan yang dikapitalisasi dan aset tetap yang dibangun sendiri; 2. Penerimaan kas dari penjualan tanah, bangunan, dan peralatan, serta aset tidak berwujud dan aset jangka panjang lain; 3. Perolehan saham atau instrument keuangan perusahaan lain; 4. Uang muka dan pinjaman yang diberikan kepada pihak lain serta pelunasannya (kecuali yang dilakukan oleh lembaga keuangan); 5. Pembayaran kas sehubungan dengan futures contracts, forward contracts, option contracts, dan swap contracts kecuali apabila kontrak tersebut dilakukan untuk tujuan perdagangan (dealing or trading), atau apabila pembayaran tersebut diklasifikasi sebagai aktivitas pendanaan. Pengungkapan terpisah arus kas yang timbul dari aktivitas pendanaan perlu dilakukan sebab berguna untuk memprediksi klaim terhadap arus kas masa depan oleh para pemasok modal perusahaan. Beberapa contoh arus kas yang berasal dari aktivitas pendanaan:
1. Penerimaan kas dari emisi saham atau instrumen modal lainnya; 2. Pembayaran kas kepada para pemegang saham untuk menarik atau menebus saham perusahaan; 3. Penerimaan kas dari emisi obligasi, pinjaman, wesel, hipotek, dan pinjaman lainnya; 4. Pelunasan pinjaman; 5. Pembayaran kas oleh penyewa (lesse) untuk mengurangi saldo kewajiban yang berkaitan dengan sewa pembiayaan (finance lease) (Ikatan Akuntan Indonesia, 2009).
2.1.2 Definisi Free Cash Flow Kieso et al. (2008:219) menyatakan bahwa arus kas bebas adalah jumlah arus kas diskresioner perusahaan untuk membeli investasi tambahan, melunasi liabilitasnya, membeli saham treasuri atau menaikkan likuiditasnya. Analisis aliran kas bebas di mulai dengan menghitung arus kas bebas sebagai kas bersih yang disediakan oleh aktivitas operasi dikurangi pengeluaran modal dan dividen. Jadi semakin besar jumlah arus kas bebas, semakin besar tingkat fleksibilitas keuangan perusahaan. Penman (2009) menyatakan bahwa aliran kas bebas merupakan perbedaan antara arus kas dari aktivitas operasi dan aktivitas investasi. Aliran kas bebas terutama difokuskan dalam Discounted Cash Flow (DCF) analisys, analisis likuiditas, dan rencana keuangan. Aliran kas bebas merupakan kas bersih yang diperoleh dari
operasi yang mana menentukan kemampuan perusahaan untuk membayar liabilitasnya dan penambahan total aset. Penman (2009) menyatakan jika analisis yang digunakan adalah analisis neraca dan laporan keuangan, maka kita tidak membutuhkan arus kas untuk memperoleh aliran kas bebas. Jika laporan ini adalah ukuran yang tepat, kemudian aliran kas bebas memberi perhitungan yang cepat. Jensen (1986) mendefinisi free cash flow adalah aliran kas yang merupakan sisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value (NPV) positif yang didiskontokan pada tingkat biaya modal yang relevan. Free cash flow inilah yang sering menjadi pemicu timbulnya perbedaan kepentingan antara pemegang saham dan manajer. Ross et al. (dalam Rosdini, 2004) mendefinisi free cash flow sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusikan kepada kreditor atau pemegang saham yang tidak diperlukan untuk modal kerja (working capital) atau investasi pada aset tetap. Free cash flow menunjukkan gambaran bagi investor bahwa dividen yang dibagikan oleh perusahaan tidak sekedar strategi menyiasati pasar dengan maksud meningkatkan nilai perusahaan. Berbagai kondisi perusahaan dapat mempengaruhi nilai free cash flow, misalnya bila perusahaan memiliki aliran kas bebas tinggi dengan tingkat pertumbuhan rendah maka aliran kas bebas ini seharusnya didistribusikan kepada pemegang saham, tetapi bila perusahaan memiliki aliran kas bebas tinggi dan tingkat pertumbuhan tinggi maka aliran kas bebas ini dapat ditahan sementara dan bisa dimanfaatkan untuk investasi pada periode mendatang. Karena kondisi tersebut di atas, maka mengindikasikan bahwa
adanya aliran kas bebas yang besar dalam suatu perusahaan belum tentu menunjukkan bahwa perusahaan tersebut akan membagikan dividen dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan ketika perusahaan memiliki aliran kas bebas yang kecil.
Free cash flow biasanya menimbulkan konflik kepentingan antara kedua belah pihak, yaitu pemegang saham menginginkan sisa dana tersebut dibagikan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Manajer berkeinginan dana yang ada digunakan untuk investasi pada proyek-proyek yang menguntungkan karena pada masa mendatang akan menambah insentif bagi manajer. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham yang notabene adalah dirinya sendiri. Free cash flow menggambarkan tingkat fleksibilitas keuangan perusahaan. Jensen (1986) mendefinisikan free cash flow sebagai kas yang tersisa setelah seluruh proyek yang menghasilkan net present value positif dilakukan. Perusahaan dengan aliran kas bebas berlebih akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya karena mereka dapat memperoleh keuntungan atas berbagai kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh perusahaan lain. Perusahaan dengan aliran kas bebas tinggi bisa diduga lebih survive dalam situasi yang buruk. Sedangkan aliran kas bebas negatif berarti sumber dana internal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi perusahaan sehingga memerlukan tambahan dana eksternal baik dalam bentuk hutang maupun penerbitan saham baru. Free cash flow diwakili oleh rasio arus kas bebas dibagi dengan total aset. Semakin kecil rasio ini menunjukkan semakin kecil laba perusahaan digunakan untuk
membiayai aset perusahaan (Halasan, 2012). Konsep free cash flow merupakan perluasan dari konsep biaya keagenan ke dalam manajemen struktur modal. Hipotesis Jensen (1986) mengenai free cash flow menyatakan bahwa tekanan pasar akan mendorong manajer untuk mendistribusikan free cash flow kepada pemegang saham. Menurut Jensen (1986), free cash flow adalah kelebihan kas yang diperlukan untuk mendanai semua proyek yang memiliki net present value positif setelah membagi dividen.
2.1.3 Definisi Kepemilikan Manajerial Schroeder et al. (dalam Christiawan dan Tarigan, 2007) mendefinisi kepemilikan manajerial sebagai situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Dalam laporan keuangan, keadaan ini ditunjukkan dengan besarnya prosentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer. Oleh karena hal ini merupakan informasi penting bagi pengguna laporan keuangan maka informasi ini akan diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Adanya kepemilikan manajerial menjadi hal yang menarik jika dikaitkan dengan agency theory. Suatu ancaman bagi pemegang saham jika manajer bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan pemegang saham. Dalam konteks ini masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Inilah yang menjadi masalah dasar dalam agency theory yaitu adanya konflik kepentingan. Pemegang saham dan manajer masing-masing berkepentingan untuk mamaksimalkan tujuannya.
Masing-masing pihak memiliki risiko terkait dengan fungsinya, manajer memiliki risiko untuk tidak ditunjuk lagi sebagai manajer jika gagal menjalankan fungsinya, sementara pemegang saham memiliki risiko kehilangan modalnya jika salah memilih manajer. Kondisi ini merupakan konsekuensi adanya pemisahan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan. Situasi tersebut di atas tentunya akan berbeda, jika kondisinya manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham atau pemegang saham juga sekaligus manajer atau disebut juga kondisi perusahaan dengan kepemilikan manajerial. Keputusan dan aktivitas di perusahaan dengan kepemilikan manajerial tentu akan berbeda dengan perusahaan tanpa kepemilikan manajerial. Dalam perusahaan dengan kepemilikan manajerial, manajer yang sekaligus pemegang
saham
tentunya
akan
menyelaraskan
kepentingannya
dengan
kepentingannya sebagai pemegang saham. Sementara dalam perusahaan tanpa kepemilikan manajerial, manajer yang bukan pemegang saham kemungkinan hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa konflik keagenan disebabkan oleh adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian dalam perusahaan. Dinyatakan bahwa semakin terkonsentrasi kepemilikan perusahaan pada satu orang maka kendali akan menjadi semakin kuat dan cenderung menekan konflik keagenan. Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen dalam suatu perusahaan maka manajemen akan berupaya lebih giat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri.
Wahidahwati (2001) menyatakan bahwa pihak manajerial dalam suatu perusahaan adalah pihak yang secara aktif berperan dalam mengambil keputusan untuk menjalankan perusahaan. Pihak-pihak tersebut adalah mereka yang duduk di dewan komisaris dan dewan direksi perusahaan. Hartono dan Mahadwarta (dalam Diana dan Irianto, 2008) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial yang semakin meningkat akan membuat kekayaan pribadi manajemen semakin terikat erat dengan kekayaan perusahaan sehingga manajemen akan berusaha untuk mengurangi risiko kehilangan kekayaannya. Cara yang ditempuh adalah mengurangi financial risk perusahaan melalui penurunan tingkat liabilitas. Selain itu meningkatnya kepemilikan manajerial dapat mensejajarkan kepentingan para manajer dengan kepentingan outside shareholders dan mengurangi penggunaan liabilitas secara optimal sehingga dapat meminimumkan biaya keagenan.
2.1.4 Definisi Agency Theory Wahyudiharto (dalam Susanto, 2011) teori keagenan merupakan basis teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini. Teori tersebut berakar dari sinergi teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal), yaitu investor dengan pihak yang menerima wewenang (agensi), yaitu manajer dalam bentuk kontrak kerja sama. Perbedaan kepentingan ekonomis ini bisa saja disebabkan ataupun menyebabkan timbulnya informasi asimetris (kesenjangan informasi) antara pemegang saham (shareholder)
dan organisasi. Deskripsi bahwa manajer adalah agen bagi para pemegang saham atau dewan direksi adalah benar sesuai teori agensi. Teori keagenan mengasumsikan bahwa semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Pemegang saham sebagai principal diasumsikan hanya tertarik kepada hasil keuangan yang bertambah atau investasi mereka dalam perusahaan. Sedangkan para agen diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai dalam hubungan tersebut. Karena perbedaan kepentingan ini masing-masing pihak berusaha memperbesar keuntungan bagi diri sendiri. Principal menginginkan pengembalian yang sebesarbesarnya dan secepatnya atas investasi yang salah satunya dicerminkan dengan kenaikan porsi dividen dari tiap saham yang dimiliki. Agen menginginkan kepentingannya diakomodasi dengan pemberian kompensasi atau bonus yang memadai dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Principal menilai prestasi agen berdasarkan kemampuannya memperbesar laba, harga saham dan semakin besar dividen yang dibagikan, maka agen dianggap berkinerja dengan baik sehingga layak mendapat insentif yang tinggi. Sebaliknya agensi pun memenuhi tuntutan principal agar mendapatkan kompensasi yang tinggi. Apabila tidak ada pengawasan yang memadai maka agensi dapat memainkan beberapa kondisi perusahaan agar seolaholah target tercapai. Setyapurnama dan Norpratiwi (dalam Indahningrum dan Handayani, 2009), mendefinisi hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara principal dengan agen. Hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang
bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda, pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal, sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian munculah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik lebih tertarik untuk memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham perusahaan kurang dari 100% sehingga manajer cenderung bertindak untuk mengejar kepentingan dirinya dan susah tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam pengambilan keputusan pendanaan. Kondisi tersebut merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi kepemilikan, manajemen tidak menanggung risiko atas kesalahan dalam mengambil keputusan, risiko tersebut sepenuhnya ditanggung pemegang saham (principal). Oleh karena itu, manajemen cenderung melakukan pengeluaran yang bersifat konsumtif dan tidak produktif untuk kepentingan pribadinya, seperti peningkatan gaji dan status.
2.1.5 Definisi Liabilitas Diana dan Irianto (2008) menyatakan bahwa liabilitas adalah instrumen yang sangat sensitif terhadap perubahan nilai perusahaan. Semakin tinggi proporsi liabilitas maka semakin tinggi harga saham, namun pada titik tertentu peningkatan liabilitas akan menurunkan nilai perusahaan karena manfaat yang diperoleh dari penggunaan
liabilitas lebih kecil daripada biaya yang ditimbulkannya. Para pemilik perusahaan lebih suka perusahaan menciptakan liabilitas pada tingkat tertentu untuk menaikkan nilai perusahaan. Agar harapan pemilik dapat dicapai, perilaku manajer dan komisaris harus dapat dikendalikan melalui keikutsertaan dalam kepemilikan saham perusahaan. Dengan demikian, pertimbangan kepemilikan dapat menciptakan kehatihatian para insider dalam mengelola perusahaan. Kebangkrutan perusahaan bukan hanya menjadi tanggungan pemilik utama, namun para insider juga ikut menanggungnya. Konsekuensinya, para insider akan bertindak hati-hati termasuk dalam menentukan liabilitas perusahaan. Oleh karena itu, kepemilikan oleh para manajer menjadi pertimbangan penting ketika hendak meningkatkan nilai perusahaan. Vidyantie dan Handayani (dalam Imanta, 2011) menyatakan bahwa kebijakan liabilitas menggambarkan total liabilitas jangka panjang yang digunakan perusahaan untuk membiayai kegiatan operasionalnya. Liabilitas merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan perusahaan untuk mengatasi kesulitan keuangan (Christiawan dan Tarigan, 2007). Namun tingkat liabilitas yang terlalu tinggi juga dapat meningkatkan risiko kebangkrutan karena perusahaan mengalami financial distress. Oleh sebab itu manajer akan berusaha menekan serendah mungkin jumlah liabilitas yang dimiliki perusahaan. Jensen (1986) menyatakan bahwa liabilitas mengurangi keleluasaan manajer dalam menggunakan free cash flow untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat tidak optimal atau tidak efisisen (non maximizing value) karena manajer merasa diawasi
atau dibatasi aktivitasnya, sehingga mereka akan cenderung lebih hati-hati dalam menggunakan free cash flow yang berada di bawah tanggung jawabnya. Murni dan Andriana (2007) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, pemegang saham lebih menginginkan pendanaan perusahaan dibiayai dengan liabilitas karena dengan penggunaan liabilitas, hak mereka terhadap perusahaan tidak akan berkurang. Tetapi manajer tidak menyukai pendanaan tersebut dengan alasan bahwa liabilitas mengandung risiko yang tinggi. Manajemen perusahaan mempunyai kecenderungan untuk memperoleh keuntungan sebesarbesarnya dengan biaya pihak lain. Perilaku ini disebut sebagai keterbatasan rasional (bounded rationality). Jensen (1986) berpendapat bahwa dengan liabilitas maka perusahaan harus melakukan pembayaran periodik atas bunga dan principal. Hal ini bisa mengurangi keinginan manajer untuk menggunakan free cash flow guna membiayai kegiatankegiatan yang tidak optimal. Penggunaan liabilitas juga akan meningkatkan risiko, oleh karena itu manajer harus berhati-hati karena risiko liabilitas nondiversiviable manajer lebih besar daripada investor publik. Dengan kata lain, perusahaan yang mempergunakan liabilitas dalam pendanaannya dan tidak mampu melunasi kembali liabilitas tersebut akan terancam likuiditasnya sehingga pada gilirannya akan mengancam posisi manajemen.
2.2 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kebijakan Liabilitas 2.2.1 Pengaruh Free Cash Flow terhadap Kebijakan Liabilitas Hipotesis Jensen (1986) mengenai free cash flow menyatakan bahwa tekanan pasar akan mendorong manajer untuk mendistribusi free cash flow kepada pemegang saham. Perusahaan-perusahaan dengan free cash flow besar yang mempunyai level liabilitas yang tinggi akan menurunkan agency cost free cash flow. Penurunan tersebut menurunkan sumber-sumber discreationary, khususnya aliran kas di bawah kendali manajemen. Di sisi lain, perusahaan dengan tingkat free cash flow rendah akan mempunyai level liabilitas rendah sebab mereka tidak harus mengendalikan liabilitas sebagai mekanisme untuk menurunkan agency of free cash flow. Berdasarkan hal tersebut, Jensen (1986) menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara free cash flow dengan level liabilitas adalah signifikan khususnya untuk perusahaan dengan set kesempatan investasi rendah. Tarjo (dalam Indahningrum dan Handayani, 2009) menguji pengaruh free cash flow terhadap kebijakan liabilitas dan memberikan bukti bahwa variabel free cash flow terhadap kebijakan liabilitas pada perusahaan besar dan kecil hasilnya sama-sama memiliki koefisien positif dan signifikan. Hal ini dibuktikan dengan chow test yang hasilnya tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara perusahaan besar dan kecil yang memiliki IOS rendah dalam mengelola free cash flow terhadap kebijakan liabilitas.
2.2.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kebijakan Liabilitas Masdupi (2005) menyatakan bahwa meningkatkan kepemilikan saham oleh manajer, maka manajer akan merasakan secara langsung akibat dari pengambilan keputusan yang diambil sehingga manajer tidak mungkin bertindak secara oportunistik lagi. Langkah memberikan kepemilikan saham bagi para manajer ditujukan untuk menarik dan mempertahankan manajer yang cakap serta untuk mengarahkan tindakan manajer agar mendekati kepentingan pemegang saham terutama untuk memaksimalkan harga saham (Murni dan Andriana, 2007). Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan, termasuk kebijakan menggunakan liabilitas. Kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan liabilitas perusahaan karena semakin besar prosentase kepemilikan manajer dalam suatu perusahaan maka manajer tersebut akan turut merasakan dampak dari pengambilan keputusan yang dibuatnya sebagai salah satu pemegang saham perusahaan. Hal ini dapat menyelaraskan kepentingan antara manajer dan pemegang saham sehingga dapat mengurangi konflik keagenan. Manajer akan lebih berhati-hati untuk membuat keputusan dalam mengelolah perusahaan termasuk dalam menetapkan kebijakan liabilitas perusahaan. Murni dan Andriana (2007) kepemilikan manajerial tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan liabilitas perusahaan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh masih rendahnya kepemilikan saham oleh insider dibandingkan dengan
kelompok lainnya dalam perusahaan. Hal ini bertentangan dengan Wahidawati (2002), yang menemukan adanya pengaruh negatif dan signifikan antara debt ratio dengan managerial ownership.
2.3 Rerangka Pemikiran Penelitian ini dilandasi pemikiran bahwa perusahaan yang memiliki free cash flow mempunyai dua pilihan untuk memperlakukan kas. Pertama, membayar dividen kepada pemegang saham. Kedua, mereinvestasi pada proyek-proyek yang mempunyai nilai sekarang bersih misalnya membeli aset-aset tetap (Ariani dan Lautania, 2007). Dari tinjauan teoretis di atas, yang berkaitan dengan free cash flow, kepemilikan manajerial serta kebijakan liabilitas maka dapat disususn suatu rerangka pemikiran yang dijabarkan sebagai berikut:
Pasar Modal
Pihak yang mempunyai kelebihan dana
Pihak yang memerlukan dana
Surat tanda kepemilikan (saham)
Laporan Keuangan (kinerja keuangan)
Keputusan Pendanaan
Keputusan Investasi
Free Cash Flow
Keputusan Operasi
Kepemilikan Manajerial
Kebijakan Liabilitas Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Pasar modal adalah sebagai sarana untuk memobilisasi dana yang bersumber dari pihak yang mempunyai kelebihan dana (investor) kepada pihak yang mengalami kekurangan dana (perusahaan). Husnan (2001:4) mengemukakan pasar modal menyediakan fasilitas untuk memindahkan dana dari pihak yang mempunyai kelebihan dana ke pihak yang memerlukan dana. Dengan menginvestasi kelebihan dana yang mereka miliki, pihak yang mempunyai kelebihan dana tersebut mengharapkan akan memperoleh imbalan dari penyerahan dana tersebut. Sedangkan dari sisi pihak yang memerlukan dana mengharapkan tersedianya dana dari pihak luar memungkinkan mereka melakukan investasi tanpa harus menunggu tersedianya dana dari hasil operasi perusahaan. Dalam pasar modal memungkinkan perusahaan menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda kepemilikan (saham) yang dapat memberikan inisiatif kepada para analis apakah saham tersebut akan ditentukan melalui keputusan investasi, keputusan pendanaan, atau keputusan operasi dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan aktivitas pencarian dana. Dalam keputusan pendanaan berkaitan dengan pemilihan sumber dana, baik berasal dari internal perusahaan maupun eksternal perusahaan, yang sangat berpengaruh pada perusahaan. Sumber dana yang berasal dari sumber internal perusahaan adalah laba ditahan dan depresiasi, sedangkan dana yang berasal dari eksternal perusahaan adalah dana yang berasal dari investor atau pengambil bagian di dalam perusahaan. Apabila perusahaan memenuhi kebutuhan pendanaan dari penerbitan saham baru maka perusahaan tersebut melakukan pendanaan modal
sendiri. Dalam melaksanakan fungsi untuk memenuhi kebutuhan pendanaan, manajer keuangan selalu mencari alternatif dalam sumber dana yang akan kemudian dianalis untuk memutuskan langkah terbaik dalam pendanaan perusahaan.
2.4
Perumusan Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori, maka
hipotesis penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: H1: Free cash flow dan kepemilikan manajerial berpengaruh secara simultan terhadap kebijakan liabilitas. H2a: Free cash flow (FCF) berpengaruh terhadap kebijakan liabilitas. H2b: Kepemilikan manajerial (OWNSP) berpengaruh terhadap kebijakan liabilitas.