BAB 2 TINJAUAN TEORETIS
2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Pengertian Akuntabilitas Kinerja Dalam Modul Pembentukan Auditor Ahli yang berjudul Akuntabilitas Instansi Pemerintah yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP, diartikan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/ badan hukum/ pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sedangkan kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi, dan strategi instansi pemerintah yang
mengindikasikan
tingkat
keberhasilan
dan
kegagalan
pelaksanaan
kegiatan‐kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan. Maka dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas kinerja adalah perwujudan kewajiban
suatu
instansi
keberhasilan/kegagalan
pemerintah
pelaksanaan
untuk
program
mempertanggungjawabkan dan
kegiatan
yang
telah
diamanatkan para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai misi organisasi secara terukur dengan sasaran/target kinerja yang telah ditetapkan melalui laporan kinerja instansi pemerintah yang disusun secara periodik.
9
10
2.1.2 Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) 1.
Pengertian SAKIP Dalam Modul Pembentukan Auditor Ahli yang berjudul Akuntabilitas
Instansi Pemerintah yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP, dikatakan bahwa Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) adalah rangkaian proses yang sistematis dari berbagai komponen, alat, dan prosedur yang dirancang untuk mencapai tujuan manajemen kinerja, yaitu perencanaan, penetapan kinerja dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah wujud nyata penerapan akuntabilitas di Indonesia. Inpres ini mendefinisikan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) sebagai pertanggungjawaban keberhasilan atau kegagalan misi dan visi instansi pemerintah dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui seperangkat indikator kinerja. Dalam konteks AKIP ini, instansi pemerintah diharapkan dapat menyediakan informasi kinerja yang dapat dipahami dan digunakan sebagai alat ukur keberhasilan ataupun kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran tersebut.
11
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi pemerintah (SAKIP) merupakan instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi (LAN, 2004, hal. 63). 2.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan SAKIP Berdasarkan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Administrasi Negara, pelaksanaan SAKIP harus berdasarkan antara lain pada prinsipprinsip sebagai berikut: a.
Adanya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf instansi yang bersangkutan.
b.
Berdasarkan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumbersumber daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c.
Menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
d.
Berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang diperoleh.
e.
Jujur, objektif, transparan, dan akurat.
f.
Menyajikan keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.
12
Dalam Modul Pembentukan Auditor Ahli yang berjudul Akuntabilitas Instansi Pemerintah yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP, dikatakan bahwa selain prinsip-prinsip tersebut di atas, agar pelaksanaan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah lebih efektif, sangat diperlukan komitmen yang kuat dari organisasi yang mempunyai wewenang dan bertanggung jawab di bidang pengawasan dan penilaian terhadap akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. 3.
Siklus SAKIP Menurut Rasul (2003), siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
pada dasarnya berlandaskan pada konsep manajemen berbasis kinerja. Adapun tahapan dalam siklus manajemen berbasis kinerja adalah sebagai berikut: a.
Penetapan perencanaan srategis yang meliputi penetapan visi dan misi organisasi dan strategic performance objectives.
b.
Penetapan ukuran-ukuran kinerja atas perencanaan srategis yang telah
ditetapkan yang diikuti
dengan pelaksanaan kegiatan
organisasi. c.
Pengumpulan data kinerja (termasuk proses pengukuran kinerja), menganalisisnya, mereviu, dan melaporkan data tersebut.
d.
Manajemen organisasi menggunakan data yang dilaporkan tersebut untuk mendorong perbaikan kinerja, seperti melakukan perubahanperubahan dan koreksi-koreksi dan/atau melakukan penyelarasan (fine-tuning) atas kegiatan organisasi. Begitu perubahan, koreksi,
13
dan penyelarasan yang dibutuhkan telah ditetapkan, maka siklus akan berulang lagi. Menurut Wakhyudi et al. (2007:10), sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
merupakan
suatu
tatanan,
instrumen,
dan
metode
pertanggungjawaban yang intinya meliputi tahap-tahap sebagai berikut: a.
Penerapan perencanaan strategi.
b.
Pengukuran kinerja.
c.
Pelaporan kinerja.
d.
Pemanfaatan informasi kinerja bagi perbaikan kinerja secara berkesinambungan.
Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dapat digambarkan sebagai berikut: Perencanaan Strategis Pemanfaatan Informasi Kinerja
Pengukuran Kinerja
Pelaporan Kinerja Gambar 1 Siklus Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Sumber: Wakhyudi, 2007 Siklus akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dimulai dari penyusunan perencanaan strategi (renstra) yang meliputi visi, misi, tujuan, dan sasaran serta menetapkan strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan
14
sasaran yang ditetapkan. Perencanaan strategi ini kemudian dijabarkan dalam perencanaan kinerja tahunan yang dibuat setiap tahun. Rencana kinerja ini mengungkapkan seluruh target kinerja yang ingin dicapai (output dan outcome) dari seluruh sasaran strategi dalam tahun yang bersangkutan serta strategi untuk mencapainya. Rencana kinerja ini merupakan tolok ukur yang akan digunakan dalam penilaian kinerja penyelenggaraan pemerintahan untuk suatu periode tertentu. Setelah rencana kinerja ditetapkan, tahap selanjutnya adalah pengukuran kinerja. Dalam pelaksanaan kegiatan, dilakukan pengumpulan dan pencatatan data kinerja. Data kinerja tersebut merupakan capaian kinerja yang dinyatakan dalam satuan indikator kinerja. Dengan diperlukannya data kinerja yang akan digunakan untuk pengukuran kinerja, maka instansi pemerintah perlu mengembangkan sistem pengumpulan data kinerja, yaitu tatanan, instrumen, dan metode pengumpulan data kinerja. Pada akhir suatu periode, capaian kinerja tersebut dilaporkan kepada pihak yang berkepentingan atau yang meminta dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP). Tahap terakhir, informasi yang termuat dalam LAKIP tersebut dimanfaatkan bagi perbaikan kinerja instansi secara berkesinambungan. 2.1.3 Komponen Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) 1.
Perencanaan Kinerja Perencanaan Kinerja adalah proses penetapan kegiatan tahunan dan
indikator kinerja berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah
15
ditetapkan dalam rencana strategis. Hasil dari proses ini berupa rencana kinerja tahunan (RKT). a.
Perencanaan Strategis (Renstra) Perencanaan strategis merupakan proses yang sistematis dalam
pembuatan keputusan di masa yang akan datang yang penuh risiko, dengan memanfaatkan sebanyak‐banyaknya pengetahuan antisipatif dan mengorganisasikannya secara sistematis sebagai usaha melaksanakan keputusan tersebut dan mengukur hasilnya melalui umpan balik yang sistematis. Oleh karenanya, perencanaan strategis bukan sekedar seperti perencanaan anggaran belanja modal (capital budgeting) atau sekedar rencana kerja jangka menengah (5 tahunan). Perencanaan strategis lebih merupakan wahana bagi para pemimpin instansi dan seluruh staf/ anggota dalam menskenariokan dan menentukan masa depan organisasi instansi mereka. Perencanaan strategis juga memberikan arah dan sekaligus menentukan apa yang ingin dihasilkan, apa yang ingin dicapai dan apa yang ingin diubah. Dengan demikian, proses perencanaan strategis yang menghasilkan dokumen Rencana Strategis (Renstra) akan dapat digunakan dalam mengukur akuntabilitas kinerja sebuah entitas. Adapun manfaat yang diperoleh dari penyusunan Renstra antara lain sebagai berikut: 1) Merencanakan perubahan dalam lingkungan yang dinamis dan kompleks.
16
2) Mengelola organisasi untuk mencapai keberhasilan. 3) Mengantisipasi masa depan. 4) Menyesuaikan tuntutan perubahan lingkungan. 5) Selalu
memfokuskan
tindakan
organisasi
dengan
misi
memberikan pelayanan terbaik (prima) pada masyarakat. Untuk itu terdapat komponen renstra yang harus dipenuhi agar terbentuk suatu dokumen renstra, yaitu: 1) Pernyataan visi dan misi 2) Perumusan tujuan dan sasaran beserta indikator kinerja 3) Uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran (strategi) yang dijabarkan kedalaam kebijakan dan program b.
Perencanaan Kinerja Tahunan (RKT) Perencanaan kinerja tahunan merupakan langkah penjabaran renstra
dalam target‐target tahunan yang cukup terinci. Perencanaan kinerja tahunan ini juga merupakan suatu media yang akan menghubungkan antara renstra atau dokumen perencanaan kinerja jangka menengah dengan kebutuhan anggaran yang diperlukan untuk mencapai kinerja organisasi dalam suatu tahun tertentu. Target‐target kinerja tahunan ini boleh jadi sudah ditetapkan dalam menyusun renstra. Akan tetapi, rincian dan informasi tambahan
tentang penetapan target kinerja ini dapat
dilakukan setiap tahun, sehingga lebih dapat ditetapkan dengan lebih akurat.
17
Perencanaan kinerja mengandung arti bahwa instansi pemerintah harus merencanakan apa yang akan dilaksanakan (program, kegiatan) dan apa hasilnya (outcome, output). Perencanaan kinerja sesungguhnya tidak saja merencanakan apa yang akan dikerjakan, akan tetapi sekaligus menetapkan target (quantitative objective) hasil yang ingin dicapai. Oleh karena itu, perencanaan kinerja yang baik akan sangat tergantung dari pengumpulan data pelaksanaan tahun‐tahun sebelumnya, pemetaan sumber daya/kekuatan yang ada, dan ketepatan penentuan asumsi‐asumsi ataupun prognosis/ proyeksi ke depan. Modul SAKIP (LAN, 2004) menyebutkan bahwa dokumen dalam rencana kinerja tersebut akan dituangkan dalam bentuk formulir Rencana Kinerja Tahunan (RKT) yang antara lain berisikan informasi mengenai: 1) Sasaran, Indikator Kinerja, dan Target yang akan dicapai pada periode yang bersangkutan. 2) Program yang akan dilaksanakan. 3) Kegiatan, Indikator Kinerja, dan Target yang diharapkan dalam suatu kegiatan. c.
Penetapan Perjanjian atau Kontrak Kinerja (PK) Dokumen penetapan kinerja merupakan suatu dokumen pernyataan
kinerja/ kesepakatan kinerja/perjanjian kinerja antara atasan dan bawahan untuk mewujudkan target kinerja tertentu berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki oleh instansi. Penetapan kinerja juga menggambarkan capaian
kinerja
yang
akan
diwujudkan
oleh
suatu
instansi
18
pemerintah/unit
kerja
dalam
suatu
tahun
tertentu
dengan
mempertimbangkan sumber daya yang dikelola. Tingkat capaian kinerja tertentu ini juga akan membutuhkan beberapa informasi, antara lain: 1) Sasaran strategis organisasi atau kondisi yang ingin diwujudkan organisasi; 2) Output (hasil kegiatan) dan atau outcome (hasil program); 3) Indikator kinerja output dan atau outcome; 4) Perkiraan realistis tentang tingkat capaian. Pada dasarnya, dokumen penetapan kinerja dapat dimanfaatkan oleh setiap pimpinan instansi pemerintah untuk: 1) Memantau dan mengendalikan pencapaian kinerja organisasi; 2) Melaporkan
capaian
realisasi
kinerja
dalam
Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 3) Menilai keberhasilan organisasi. 4) Dalam
penyusunan
dokumen
penetapan
kinerja
agar
memperhatikan: kontrak kinerja antara Presiden dengan menteri, dokumen perencanaan jangka menengah, dokumen perencanaan kinerja tahunan, dan dokumen penganggaran dan atau pelaksanaan anggaran. d.
Penentuan Indikator Kinerja Utama (IKU) Dalam kaitannya dengan penerapan perjanjian kinerja atau kontrak
kinerja atau dokumen penetapan kinerja (PK), yang perlu juga
19
diperhatikan adalah penggunaan IKU (Indikator Kinerja Utama) yang menjadi ukuran keberhasilan unit‐unit atau entitas organisasi tertentu. Ukuran‐ukuran
atau
indikator-indikator
keberhasilan
ini
(yang
merupakan IKU) haruslah termasuk yang diperjanjikan di dalam dokumen perjanjian kinerja. Selain itu janji tentang pencapaian target kinerja dari IKU tersebut, juga dapat disertakan indikator output atau outcome yang sangat membantu atau menjelaskan ataupun melengkapi gambaran keberhasilan yang diungkapkan dengan memakai IKU. Berikut ini dijelaskan mengenai cara penyusunan IKU pada masing‐masing dokumen perencanaan kinerja: 1) Penentuan IKU pada Penyusunan Renstra Pedoman penyusunan dan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah yang disusun oleh LAN (Lembaga Administrasi Negara) memuat petunjuk menentukan target pencapaian sasaran dengan menentukan rencana capaian indikator atas pencapaian sasaran. Agar perencanaan berbasiskan kinerja menjadi lebih terukur hendaknya di dalam Renstra‐pun harus sudah ditentukan indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur kemajuan dan keberhasilan instansi yang bersangkutan. 2) Penentuan IKU pada Penyusunan RKT Pada proses penyusunan RKT, penentuan indikator kinerja untuk setiap kegiatan sudah mulai ditentukan secara rinci. Kegiatan‐kegiatan
yang
akan
dilaksanakan
dan
rinciannya
20
(sub‐kegiatan) terdapat indikator kinerja berupa keluaran dan dicantumkan pula target capaiannya. Sedangkan indikator yang lebih tinggi,
yaitu
hasil
dari
program
beberapa
instansi
telah
mengidentifikasi dan menentukan indikator hasil program tersebut. Akan tetapi, dalam petunjuk PP 21 Tahun 2004 memang tidak ada keharusan untuk menentukan target capaian pada tahun yang direncanakan atas hasil program ini. Walaupun tidak ada kewajiban dalam penyusunan RKA‐KL untuk menetapkan target hasil program, sebaiknya indikator keberhasilan program yang berupa hasil program maupun indikator lainnya sudah ditentukan. Perbaikan‐perbaikan
dalam
perencanaan
terutama
pada
penyusunan RKT seharusnya juga menjadi perhatian instansi pemerintah seperti dianjurkan pada buku pedoman penyusunan dan pelaporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. 3) Penentuan IKU pada Penyusunan PK Dokumen penetapan kinerja, berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 harus disusun oleh setiap instansi pemerintah sebagai perwujudan komitmen instansi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan. Indikator kinerja dan target‐target output maupun outcome sudah harus dicantumkan di dalam dokumen ini. Sinergi dan koordinasi antar satuan kerja atau antar unit organisasi sangat penting untuk mewujudkan hasil‐hasil program. Pada
penyusunan
dokumen
penetapan kinerja
(performance
21
agreement). yang terpenting adalah pencantuman target hasil (outcome) dan target‐target keluaran (output). Sedangkan masalah pendanaan dari anggaran dapat diperkirakan dari pagu anggaran keseluruhan yang diterima instansi. lndikator kinerja yang disajikan di dalam dokumen penetapan kinerja
(persetujuan
kinerja)
hendaknya
adalah
IKU
yang
menggambarkan keberhasilan instansi (atau unit organisasi) yang menyusunnya. menjadi
Walaupun
penyeimbang
demikian,
dan
indikator‐indikator
indikator‐indikator
yang
yang sangat
berhubungan dengan pencapaian tujuan organisasi juga dapat disajikan. e.
Hubungan Indikator Kinerja Utama dengan Indikator Kinerja Kunci Indikator kinerja utama (IKU) dan indikator kinerja kunci (IKK)
bukan merupakan suatu pertentangan, namun lebih kepada fokus penilaian manajemen. IKK ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Dalam Negeri untuk setiap urusan yang dilaksanakan oleh setiap daerah. IKK ini disusun dan ditetapkan Pemerintah berdasarkan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan oleh Kementerian/ Lembaga teknis terkait. Di sisi lain, IKU disusun dan ditetapkan sendiri oleh setiap organisasi dalam rangka mengukur keberhasilan organisasi secara menyeluruh dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. IKU disusun dan ditetapkan tidak didasarkan atas pelaksanaan standar pelayanan minimal semata, namun dalam
22
rangka mengukur kinerja organisasi dalam rangka memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat dan stakeholder. 2.
Pengukuran Kinerja Menurut Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk menilai keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi instansi pemerintah. Pengukuran dimaksud merupakan hasil dari suatu penilaian (assessment) yang sistematik dan didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator‐indikator masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Selanjutnya, dikatakan bahwa pengukuran kinerja juga digunakan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran (goals and objectives) dengan elemen kunci sebagai berikut: a.
Perencanaan dan penetapan tujuan.
b.
Pengembangan ukuran yang relevan.
c.
Pelaporan formal atas hasil.
d.
Penggunaan informasi.
Pengukuran adalah aktivitas pembandingan antara sesuatu dengan alat ukurnya. Oleh karena itu, instrumen penting dalam pengukuran adalah alat ukurnya sendiri. Alat ukur kinerja adalah ukuran kinerja (performance
23
measures) atau jika tidak ada alat ukur yang lebih akurat cukup menggunakan indikator kinerja (performance indicators). Oleh karenanya, kadang‐kadang istilah ukuran kinerja dan indikator kinerja menjadi sinomim yang sangat dekat. Pengukuran kinerja di lingkungan instansi pemerintah dilakukan sesuai dengan peran, tugas dan fungsi masing‐masing instansi pemerintah, sehingga lebih mengandalkan pada pengukuran keberhasilan instansi pemerintah yang dilakukan secara berjenjang dari tingkatan unit kerja sampai pada tingkatan tertinggi organisasi suatu instansi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai indikator kinerja di berbagai tingkatan. Misalnya indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja pelaksanaan kegiatan. Dengan indikator itu diharapkan pengelola kegiatan, atasan dan pihak luar dapat mengukur keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut. Untuk mengatasi berbagai kerumitan pengukuran di berbagai tingkatan dan agregasinya untuk mengambil simpulan, seringkali digunakan beberapa indikator kinerja utama. Indikator kinerja utama (IKU) ini dipilih di antara berbagai indikator yang paling dapat mewakili dan menggambarkan apa yang diukur. Pengukuran kinerja di berbagai tingkatan dilakukan dengan mengacu pada dokumen perencanaan kinerja, penganggaran dan perjanjian kinerja. Berbagai tingkatan itu mempunyai, tugas pokok dan fungsi dan tanggung jawab masing‐masing yang berbeda antara satu tingkatan dengan tingkatan
24
yang lain. Tingkatan entitas akuntabilitas itu dapat dikategorikan sebagai berikut: a.
Entitas akuntabilitas kinerja satuan kerja atau Eselon II pada Instansi Pemerintah Pusat;
b.
Entitas akuntabilitas kinerja unit organisasi Eselon I;
c.
Entitas akuntabilitas kinerja kementerian negara/lembaga;
d.
Entitas akuntabilitas kinerja SKPD;
e.
Entitas akuntabilitas kinerja Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Seluruh entitas tersebut wajib menyusun rencana kinerja, melaksanakan kegiatan/program dan memantau realisasi capaian berbagai indikator kinerja yang digunakan untuk mengukur terwujudnya output atau outcome sampai sasaran strategis Kementerian/Lembaga. Oleh karena itu, pengukuran kinerja juga dilakukan pada setiap tingkatan tersebut, yaitu: a.
Pengukuran kinerja hasil kegiatan atau output untuk entitas akuntabilitas kinerja satuan kerja atau Eselon II pada Pemerintah Pusat;
b.
Pengukuran kinerja hasil program atau outcome untuk entitas akuntabilitas kinerja unit organisasi Eselon I;
c.
Pengukuran kinerja pencapaian sasasaran strategis K/L untuk entitas akuntabilitas kinerja kementerian negara/lembaga;
d.
Pengukuran kinerja hasil program dan kegiatan untuk entitas akuntabilitas kinerja SKPD;
25
e.
Pengukuran kinerja hasil program untuk entitas akuntabilitas kinerja Pemerintah Daerah.
Instrumen pengukuran kinerja dengan menggunakan berbagai formulir pengukuran kinerja dapat dibedakan pada setiap tingkatan tersebut di atas. 3.
Evaluasi Kinerja Evaluasi atau analisis adalah proses untuk mengurai suatu kondisi
sehingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Analisis merupakan kebalikan dari sintesis, yaitu proses untuk menyatukan kondisi, ide, atau objek menjadi sesuatu yang baru secara keseluruhan. Oleh karena itu, analisis kinerja paling tidak dilakukan dengan cara melakukan analisis adanya beda kinerja (performance gap analysis), yaitu melihat beda (gap) antara yang sudah direncanakan dengan realisasinya atau kenyataannya. Jika terdapat gap yang besar, maka perlu diteliti sebab‐sebabnya berikut berbagai informasi kendala dan hambatan termasuk usulan tindakan‐tindakan apa yang diperlukan untuk memperbaiki kondisi tersebut. Keseluruhan hasil analisis kinerja selanjutnya dituangkan dalam pelaporan akuntabilitas kinerja. Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (SAKIP) analisis kinerja dilakukan terhadap kinerja instansi pemerintah sesuai dengan entitas akuntabilitas kinerja dengan memanfatkan hasil dari aktivitas pengukuran kinerja yang telah dilakukan. Oleh karena itu, adalah penting untuk mengidentifikasi entitas yang melaporkan akuntabilitas kinerja. Akuntabilitas kinerja di tingkat Kementerian/Lembaga sudah tentu menyangkut hal‐hal yang lebih besar, lebih penting, dan terkait dengan hasil‐hasil pembangunan
26
nasional yang bersifat strategis. Jika dibandingkan dengan laporan akuntabilitas kinerja Unit Kerja Organisasi tingkat Eselon I, maka akuntabilitas kinerja di tingkat unit kerja eselon I lebih rinci dan lebih operasional, demikian seterusnya sampai ke tingkatan di bawahnya. Pengukuran dan
analisis kinerja yang dilakukan
pada tingkat
Kementerian/Lembaga disarankan terbatas pada pencapaian sasaran‐sasaran strategis kementerian/lembaga. Dengan demikian, K/L hanya melaporkan hal‐hal yang penting atau strategis saja, dan kemudian hal‐hal yang lebih rinci dan lebih operasional dilaporkan unit kerja eselon I atau eselon II di bawahnya. Pengukuran kinerja di tingkat unit kerja organisasi eselon I, sebaiknya meliputi pelaporan sasaran strategis unit kerja tersebut dan juga kinerja pelaksanaan kegiatan atau output unit di bawahnya. Sedangkan unit kerja eselon II, mengukur dan melaporkan berbagai output pada unitnya beserta sub‐sub output‐nya. 4.
Pelaporan Kinerja Salah satu bentuk pelaporan kinerja yang digunakan dalam sektor publik
di Indonesia adalah LAKIP. LAKIP dipakai sebagai media akuntabilitas bagi instansi pemerintah. Laporan akuntabilitas kinerja adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggung jawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis instansi. 2.1.4 Pengertian Laporan Akuntabilitas Kinerja Dalam Modul Pembentukan Auditor Ahli yang berjudul Akuntabilitas Instansi Pemerintah yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan
27
Pengawasan BPKP, diartikan bahwa laporan kinerja adalah dokumen yang berisi gambaran perwujudan akuntabilitas kinerja kementerian, lembaga, pemerintah daerah, instansi pemerintah di berbagai tingkatan,
dan institusi yang
menggunakan serta mengelola sumber daya negara, yang disusun dan disampaikan secara sistematik dan melembaga. Laporan Akuntabilitas Kinerja adalah laporan kinerja tahunan. Laporan akuntabilitas lazimnya juga dimaksudkan sebagai laporan kinerja. Jadi, laporan akuntabilitas kinerja sama dengan LAKIP dan LAKIP pada dasarnya sama dengan laporan kinerja tahunan. 2.1.5 Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, setiap instansi pemerintah berkewajiban untuk menyusun dan melaporkan perencanaan strategik tentang program-program utama yang akan dicapai selama satu sampai lima tahun, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing instansi dan jajarannya. (Indra,2001:351)
Laporan
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah
(LAKIP) tersebut dimaksudkan untuk enforcement agar masing-masing instansi mempunyai visi, misi, dan strategi untuk mencapai program-program yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi. LAKIP tersebut sama sekali tidak menyinggung mengenai peranan laporan keuangan instansi yang seharusnya menjadi dasar penyusunan LAKIP, padahal seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintah bermuara pada keuangan/pendanaan. Oleh karena itu, tatacara penyusunan LAKIP tidak terstruktur, sehingga membutuhkan monitoring yang konsisten.
28
1.
Pengertian LAKIP Salah satu bentuk Laporan Kinerja yang digunakan dalam sektor publik
di Indonesia adalah LAKIP. LAKIP dipakai sebagai media akuntabilitas bagi instansi pemerintah. Laporan akuntabilitas kinerja adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggung jawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis instansi. Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (LAKIP) adalah sebuah laporan yang berisikan akuntabilitas dan kinerja dari suatu instansi pemerintah untuk pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Yang dimaksud instansi pemerintah adalah satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) adalah suatu unit kerja pemerintah yang diberikan hak dan tanggung jawab untuk mengelola sendiri administrasi dan keuangan. Penyusunan LAKIP berdasarkan siklus anggaran yang berjalan yaitu 1 (satu) tahun. secara lengkap memuat laporan yang membandingkan perencanaan dan hasil dalam penyusunan suatu kegiatan belanja, dibuat suatu masukan yaitu besaran dana yang dibutuhkan, hasil yaitu sesuatu hasil atau bentuk nyata yang didapat dari dana yang dikeluarkan. Permen PAN Nomor : 29 Tahun 2010 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Laporan akuntabilitas kinerja (Pasal 12) adalah laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggungjawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan/sasaran strategis instansi. Laporan akuntabilitas kinerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 berisi ikhtisar pencapaian sasaran sebagaimana ditetapkan dalam dokumen penetapan kinerja dan dokumen
29
perencanaan (Pasal 16 ayat 1). Pencapaian sasaran sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya menyajikan informasi (Pasal 16 ayat 2) tentang: a.
Pencapaian tujuan dan sasaran organisasi;
b.
Realisasi pencapaian indikator kinerja utama organisasi;
c.
Penjelasan yang memadai atas pencapaian kinerja; dan
d.
Pembandingan capaian kinerja sampai tahun berjalan dengan target kinerja 5 (lima) tahun yang direncanakan.
Fokus pelaporan kinerja dalam laporan akuntabilitas kinerja diatur pada pasal 17 sebagai berikut: a.
Kementrian/ Lembaga/ Pemerintah Provinsi/ Kabupaten/ Kota melaporkan pencapaian tujuan/ sasaran strategis yang bersifat hasil (outcome);
b.
Unit kerja organisasi eselon I pada kementrian/lembaga dan satuan kerja
perangkat
daerah
(SKPD)
melaporkan
pencapaian
tujuan/sasaran strategis yang bersifat hasil (outcome) dan atau keluaran (output) penting; c.
Unit kerja mandiri lainnya melaporkan pencapaian sasaran strategis yang bersifat keluaran (output) penting dan atau keluaran (output) lainnya.
2.
Manfaat LAKIP Manfaat laporan akuntabilitas kinerja yang diatur pada Permen PAN
Nomor 29 Tahun 2010 pasal 18 adalah sebagai berikut: a.
Bahan evaluasi akuntabilitas kinerja bagi pihak yang membutuhkan;
30
b.
Penyempurnaan dokumen perencanaan periode yang akan datang;
c.
Penyempurnaan pelaksanaan program dan kegiatan yang akan datang;
d. 3.
Penyempurnaan berbagai kebijakan yang diperlukan.
Prinsip-prinsip LAKIP Penyusunan LAKIP harus mengikuti prinsip‐prinsip yang lazim, yaitu
laporan harus disusun secara jujur, objektif, dan transparan. Disamping itu, perlu pula diperhatikan prinsip‐prinsip lain, seperti: a.
Prinsip pertanggungjawaban (adanya responsibility center), sehingga lingkupnya jelas. Hal‐hal yang dikendalikan (controllable) maupun yang tidak dapat dikendalikan (uncontrollable) oleh pihak yang melaporkan harus dapat dimengerti pembaca laporan.
b.
Prinsip pengecualian, yang dilaporkan adalah hal‐hal yang penting dan relevan bagi pengambilan keputusan dan pertanggungjawaban instansi yang bersangkutan. Misalnya hal‐hal yang menonjol baik keberhasilan realisasi
maupun dengan
kegagalan, sasaran/
perbedaan‐perbedaan standar/
rencana/
antara budget,
penyimpangan‐penyimpangan dari rencana karena alasan tertentu, dan sebagainya. c.
Prinsip perbandingan, laporan dapat memberikan gambaran keadaan masa yang dilaporkan dibandingkan dengan periode‐periode lain atau unit/ instansi lain.
31
d.
Prinsip akuntabilitas, sejalan dengan prinsip pertanggungjawaban dan prinsip pengecualian, maka prinsip ini mensyaratkan bahwa yang terutama dilaporkan adalah hal‐hal yang dominan yang membuat sukses atau gagalnya pelaksanaan rencana.
e.
Prinsip manfaat, yaitu manfaat laporan harus lebih besar dari pada biaya penyusunannya. Di samping itu, perlu pula diperhatikan beberapa ciri laporan yang baik seperti relevan, tepat waktu, dapat dipercaya/diandalkan, mudah dimengerti (jelas dan cermat), dalam bentuk yang menarik (tegas dan konsisten, tidak kontradiktif antar bagian), berdaya banding tinggi, berdaya uji (verifiable), lengkap, netral, padat, dan terstandarisasi (untuk yang rutin).
4.
Isi LAKIP Isi LAKIP adalah uraian pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan
fungsi dalam rangka pencapaian visi dan misi serta penjabarannya yang menjadi perhatian utama instansi pemerintah. Selain itu perlu dimasukkan juga beberapa aspek pendukung meliputi uraian pertanggungjawaban mengenai: a.
Aspek keuangan
b.
Aspek sumber daya
c.
Aspek sarana dan prasarana
d.
Metode kinerja, pengendalian manajemen, dan kebijaksanaan lain yang mendukung pelaksanaan tugas utama instansi.
32
Agar LAKIP dapat lebih berguna sebagai umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan, maka bentuk dan isinya diseragamkan tanpa mengabaikan keunikan masing-masing instansi pemerintah. Penyeragaman ini paling tidak dapat mengurangi perbedaan cara penyajian yang cenderung menjauhkan pemenuhan persyaratan minimal akan informasi yang seharusnya dimuat dalam LAKIP. Penyeragaman juga dimaksudkan untuk pelaporan yang bersifat rutin, sehingga pembandingan atau evaluasi dapat dilakukan secara memadai. LAKIP dapat dimasukkan pada kategori laporan rutin, karena paling tidak disusun dan disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan setahun sekali. 5.
Penyusunan, Penyampaian dan Pelaksanaan LAKIP a.
Instansi yang wajib menyusun LAKIP Pada dasarnya, instansi yang wajib menyusun laporan akuntabilitas
kinerja adalah: 1) Kementerian/Lembaga; 2) Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota; 3) Unit Organisasi Eselon I pada Kementerian/Lembaga; 4) Satuan Kerja Perangkat Daerah; 5) Unit kerja mandiri, yaitu unit kerja yang mengelola anggaran tersendiri dan/atau unit yang ditentukan oleh pimpinan instansi masing‐masing.
33
b.
Penanggungjawab Penyusunan LAKIP Adapun penanggung jawab penyusunan LAKIP adalah pejabat yang
secara fungsional bertanggung jawab melayani fungsi administrasi di masing-masing instansi, yang selanjutnya pimpinan instansi bersama tim kerja harus mempertanggungjawabkan dan menjelaskan keberhasilan atau kegagalan tingkat kinerja yang dicapainya (Indra,2001:350). c.
Jangka Waktu Penyampaian LAKIP Selanjutnya, jangka waktu penyampaian LAKIP untuk instansi
pemerintah pusat diatur sebagai berikut: 1) Laporan Akuntabilitas Kinerja tingkat Kementerian/Lembaga disampaikan
kepada
Presiden
melalui
Menteri
Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi selambat‐lambatnya 2,5 (dua setengah) bulan setelah tahun anggaran berakhir. 2) Laporan Akuntabilitas Kinerja tingkat unit organisasi eselon I dan unit kerja mandiri pada Kementerian/Lembaga disampaikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. 3) Waktu penyampaian Laporan Akuntabilitas Kinerja tingkat unit organisasi
eselon
I
dan
unit
kerja
mandiri
pada
Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas diatur tersendiri oleh Menteri/ Pimpinan Lembaga. Sedangkan jangka waktu penyampaian LAKIP untuk instansi pemerintah daerah mengikuti ketentuan sebagai berikut:
34
1) Laporan
Akuntabilitas
Kinerja
tingkat
Pemerintah
Provinsi/Kabupaten atau Kota disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi selambat‐lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. 2) Laporan Akuntabilitas Kinerja tingkat SKPD dan unit kerja mandiri
pada
Pemerintah
Provinsi/
Kabupaten/
Kota
disampaikan kepada Gubernur/ Bupati/ Walikota. 3) Waktu penyampaian Laporan Akuntabilitas Kinerja tingkat SKPD dan unit kerja mandiri sebagaimana dimaksud pada butir 2 di atas diatur tersendiri oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota. d.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan LAKIP: Agar pengungkapan akuntabilitas dan aspek-aspek pendukung
pelaksanaan tugas dan fungsi tersebut tidak tumpang tindih dengan pengungkapan akuntabiliats
kinerja,
maka harus
memperhatikan
beberapa hal (Indra, 2001:351). Hal-hal tersebut sebagai berikut: 1) Uraian pertanggungjawaban keuangan dititikberatkan pada perolehan dan penggunaan dana, baik dana yang berasal dari alokasi APBN (rutin maupun pembangunan) maupun dana yang berasal dari PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) 2) Uraian
pertanggungjawaban
dititikberatkan
pada
sumber
penggunaan
dan
daya
manusia,
pembinaan
dalam
hubungannya dengan peningkatan kinerja yang berorientasi
35
pada hasil dan manfaat, dan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. 3) Uraian mengenai pertanggungjawaban penggunaan sarana dan prasarana dititikberatkan pada pengelolaan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangannya. 4) Uraian tentang metode kerja, pengendalian manajemen dan kebijaksanaan lainnya, difokuskan pada manfaat atau dampak dari
suatu
kebijaksanaan
yang
merupakan
cerminan
pertanggungjawaban kebijaksanaan (Policy Accountability).
2.2 Rerangka Pemikiran Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP)
(LAKIP)
Implementasi dan Pemahaman Aparatur terhadap SAKIP dalam Proses Penyusunan LAKIP
Analisis
Kesimpulan