Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
Yang Miskin Yang Bunuh Diri
Di tengah maraknya pemberitaan tentang pemilihan gubenur DKI Jakarta yang berlangsung pada 11 Juli 2012 lalu, ada berita yang harusnya mengusik sisi kemanusian kita semua, sebagai makhluk sosial. Peristiwa tersebut yakni aksi bunuh diri seorang Ibu yang bernama Markiah (30 th), yang mengajak dua anaknya untuk melompat dari Jembatan Pulo Empang, Tengah, Bogor, pada 4 Juli 2012. Markiah berasal dari Serang, Banten, Jawa Barat. Dalam aksinya itu, Krisna (6 th), salah seorang anak Markiah, berhasil diselamatkan oleh warga yang sedang melintas. Sedangkan Salman (2 th), anak Markiah lainnya, meninggal bersama Markiah. Depresi, putus asa, tekanan social ekonomi menjadi salah satu pemicu Markiah untuk bunuh diri. Mungkin Markiah sudah berusaha sekuat tenaga, namun usahanya tak membuahkan hasil. Karena sepeninggal suaminya, tanpa pekerjaan, dia harus mengurus rumah tangga dan membiayai empat orang anaknya, yang masih kecil. Hidup berpindah-pindah mencari pekerjaan, hingga mengemis pun sudah ia lakukan. Sayang usaha kerasnya tak menghasilkan, hingga akhirnya ia memutuskan bunuh diri dengan mengajak kedua anaknya.
Bunuh Diri Menjadi Pilihan Depresi karena kesulitan ekonomi seperti apa yang dialami Markiah menjadi faktor dominan mengapa seseorang memutuskan untuk bunuh diri. Walaupun hal ini kerap menjadi alasan, namun beberapa faktor lain juga banyak mendorong aksi tersebut, misalnya putus cinta, sakit kronik, cemas dan sebagainya. Namun menurut Hendro Riyanto, (http://www.rnw.nl) di Indonesia faktor terpenting orang bunuh diri ialah alasan ekonomi. Menurutnya, ketidakmampuan atau kemiskinan, dan ketidakberdayaan ekonomis, membuat orang putus asa. Di Indonesia, aksi bunuh diri tak hanya didominasi orang dewasa, tetapi juga dilakukan oleh anak-anak yang masih duduk di SMP dam SD. Berdasarkan catatan Komnas Perlindungan Anak, sejak Januari-Juni 2011, 23 anak melakukan upaya percobaan bunuh diri. Dari jumlah itu, enam anak bisa diselamatkan, sementara 17 lainnya meninggal dunia. Dari 23 anak yang bunuh diri itu, 80-90 persen kasusnya terjadi di perkotaan wilayah Jabodetabek. Mereka berusia mulai dari 7 tahun hingga 17 tahun. Sementara bila dilihat dari karakteristiknya, ke-23 anak yang melakukan bunuh diri itu berasal dari keluarga tidak mampu. Bila dilihat dari penyebabnya, sembilan di antaranya karena putus cinta, enam karena masalah sekolah, dan sembilan anak dipicu masalah keluarga. Semua penyebab tersebut membuat mereka mengalami tekanan berat, dan
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
akhirnya nekat melakukan bunuh diri. Hingga pertengahan tahun 2012, kasus bunuh diri anak mencapai 20 orang. Dalam tujuh kasus, korban dapat diselamatkan. Selebihnya, 13 orang tewas mengenaskan. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebutkan sekitar 80% insiden terjadi di wilayah Jabodetabek dengan usia korban 13-17 tahun. Berdasarkan hasil kajian Lembaga Kajian dan Pencegahan Bunuh Diri (LKPBD) Kunang-Kunang Al Qodir Cangkringan, Sleman, Jogyakarta (Republika, 1 Juni 2012) saat ini kasus bunuh diri menempati satu dari 10 penyebab kematian di tiap negara. Sementara itu, berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2010 dilaporkan angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Kasus bunuh diri dari tahun ke tahun terus meningkat. Menghadapi fenomena tersebut, International Association for Suicide Prevention dan World Health Organization mencetuskan Hari Pencegahan Bunuh Diri Internasional pada 10 September 2003 untuk meningkatkan kesadaran dunia mengenai bunuh diri. Badan kesehatan dunia tersebut memperkirakan tahun 2020 angka bunuh diri secara global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa dibandingkan 1,8 jiwa pada 1998. Kemiskinan Kronis di Indonesia Aksi bunuh diri Markiah hanya berselang dua hari setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data tentang menurunnya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan berita (Okezone, 2 Juli 2012), BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia turun 0,89 juta orang. Data itu merupakan hasil survey dalam kurun waktu Maret 2011 hingga Maret 2012. Menurut Kepala BPS, jumlah penduduk miskin atau yang berada di bawah garis kemiskinan di Indonesia pada Maret 2011, sebesar 30,02 juta orang, dan Maret 2012 menjadi 29,13 juta orang. Menurutnya, penurunannya tidak signifikan karena hanya turun 0,53 %. Sementara bila diperinci lagi, di perkotaan jumlah penduduk miskin berkurang 399.500 jiwa, sedangkan di pedesaan berkurang 487 ribu jiwa. Penduduk miskin, menurut BPS, yakni masyarakat yang pengeluaran per bulannya sebesar atau kurang dari Rp 233.740 per kapita atau sekira 0,85 dolar AS per kapita per hari. Data BPS menunjukan, sejak 2007 sampai 2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus mengalami penurunan. Namun, tahun ini jumlah penduduk hampir miskin justru bertambah lima juta orang. Pertambahan ini berasal dari satu juta penduduk miskin yang naik statusnya menjadi hampir miskin, dan empat juta penduduk tidak miskin yang turun statusnya menjadi hampir miskin. Total penduduk hampir miskin tahun ini, menurut data BPS, mencapai 27,12 juta jiwa atau sekira 10,28 persen dari total populasi. Jika ditambahkan dengan penduduk miskin, maka jumlahnya hampir mencapai 60 juta orang.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
Sementara itu, menurut Ginandjar (1993), kemiskinan ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi, sehingga makin tertinggal jauh dari masyarakat lain yang memiliki potensi lebih tinggi. Keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan dan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi “kemiskinan absolute” dan “kemiskinan relative”. Menurut Emil Salim (1980), kemiskinan biasanya dilukiskan sabagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan menurut May (Randy, Riant: 2007) kemiskinan adalah keadaan ketidakterjaminnya pendapatan, kurangnya kualitas kebutuhan dasar, ketidakmampuan memelihara kesehatan dengan baik, ketergantungan dan ketiadaan bantuan, adanya prilaku anti sosial, kurangnya jaringan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kurang infrastuktur dan keterpencilan, serta ketidakmampuan dan terpisah. “Markiah” lain di Pelosok Indonesia Peristiwa bunuh diri ala Markiah bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sebelumnya, media banyak memberitakan peristiwa serupa. Berdasarkan catatan (www.detik.com, 4/7/2012), ada 5 kasus bunuh diri ibu dan anaknya karena himpitan ekonomi yakni: 1. Ibu ajak anaknya bakar diri di Klaten, Jawa Tengah Khoir Umi Latifah (25 th), warga Buyengan, Klaten, Jawa Tengah, nekat mengajak dua anaknya yang masih balita untuk bakar diri. Umi yang bekerja sebagai penjaga rumah kos tewas, sedangkan kedua anaknya bisa diselamatkan meskipun mengalami sejumlah luka bakar. Peristiwa ini terjadi pada Agustus 2010 lalu di kamar mandi di dalam kos. Polisi menduga Umi Latifah depresi dan tak kuat menanggung himpitan ekonomi yang membelit rumah tangganya. Dugaan tersebut berdasarkan surat yang ditulis Umi untuk suaminya, Slamet. “Mas aku njileh duit Mbak Turiyah Rp 20.000, sok nek duwe duit, tolong dibalekno yo (mas aku meminjam uang kepada Mbak Turiyah Rp 20.000. Besok kalau punya uang, tolong dikembalikan ya)”, demikian isi singkat surat Umi. 2. Ibu di Lumajang ajak 2 anaknya tenggak racun tikus Utang yang menumpuk membuat seorang ibu asal Desa Tempeh Lor, Tempeh, Lumajang, Jawa Timur, nekat mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tikus berbentuk bubuk. Dia mengajak kedua anaknya untuk menenggak racun yang sama. Perempuan bernama Reni Yuliana ini meminum 10 bungkus racun tikus dalam bentuk bubuk. Dia meminumkan racun yang sama dalam takaran sendok kepada Feby dan Rara, dua buah hatinya. Saat ketiganya kejang dan mulut berbusa, datanglah si anak sulung yang baru pulang sekolah, Pegy. Akhirnya, mereka dilarikan ke Rumah Sakit untuk mendapat pertolongan. Peristiwa ini terjadi pada Agustus 2010.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
3. Ibu tenggelamkan anak, lalu potong urat nadinya sendiri Himpitan ekonomi dan mendapat perilaku kasar suaminya membuat Erawati (42 th) tega menenggelamkan anak bungsunya yang berumur 4 tahun, Andika, ke sungai hingga tewas. Setelah itu, ia memotong urat nadinya. Kamis tengah malam (1/3/2012), Erawati meninggalkan rumahnya di Kampung Cigeber, Desa Bojongsari, Bojongsoang, Bandung. Ia pergi sambil menggendong anaknya yang tengah tertidur lelap. Sempat ada tetangga yang melihatnya, namun tak sempat bertanya. Keesokan paginya, warga menemukan mayat keduanya di sungai kecil yang ada di Kampung Cijagra, Desa Bojongsoang, Bojongsoang. Tempat kejadian perkara berada di sekitar 300 meter dari rumah Erawati. Dari hasil penyelidikan kepolisian, Erawati menenggelamkan anaknya yang tengah tertidur ke sungai kecil selebar 1 meter, dengan kedalaman selutut. Setelah memastikan anaknya tewas, ia memotong urat nadi lengan kirinya hingga akhirnya tewas pula. 4. Ibu di Surabaya ajak 2 anaknya minum racun tikus Racun tikus lagi-lagi tidak digunakan sesuai peruntukannya. Ratna yang tinggal di kamar kos di Jemur Wonosari gang Modin, Surabaya, pada Jumat (23/3/2012) nekat meminum racun tikus bersama anaknya. Mulanya Ratna memaksa dua anaknya meminum racun tikus yang telah dilarutkannya kedalam air putih di dalam sebuah gelas bening. Setelah anaknya, giliran dia yang menenggak air racun itu. Sambil menunggu ajal, Ratna melihat anaknya muntah-muntah akibat efek racun. Dari situ kesadaran Ratna bangkit. Merasa kasihan dan tak tega melihat anaknya muntah, Ratna yang sempoyongan berlari ke kamar sebelah dan meminta pertolongan. Ratna diduga nekat bunuh diri lantaran frustasi, karena persoalan ekonomi yang menghimpitnya. 5. Gendong anak, Ibu menceburkan diri ke sungai Cisadane Markiyah (30 th) nekat bunuh diri bersama anak balita dalam gendongannya. Nyawa keduanya melayang ditelan arus deras Sungai Cisadane, Bogor Tengah, Jawa Barat. "Si ibu ini, Markiyah, menggendong anak yang umurnya sekitar 2 tahun tadi pukul 05.00 WIB subuh menghampiri jembatan Sungai Cisadane, Kampung Puloempang, Kelurahan Saledang. Dia lalu menceburkan diri," ujar Kapolsek Bogor Tengah, AKP Victor, saat dihubungi detikcom (Rabu (4/7/2012). Polisi menduga Markiyah bunuh diri karena tekanan hidup. "Suaminya lama nggak pulang-pulang. Ibu itu dan anak-anaknya juga baru sebulan tinggal di rumah itu. Rumahnya sederhana sekali tidak ada apa-apanya. Kata tetangga, bapaknya ada di Sukabumi," tutur Victor. Pemalsuan Pemerintah Data BPS teryata tidak sebanding dengan fakta di lapangan. Kasus bunuh diri yang dilakukan Markiah menjadi contoh nyata bagaimana kehidupan masyarakat saat ini.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
Walaupun Kementerian Sosial mengklaim bahwa Markiah dan anaknya merupakan peserta Program Keluarga Harapan (PKH) (Kompas, 6 Juli 2012), namun dia tetap harus hidup di jalanan. Menurut Zainul Akhsanudin, anggota Tim Reaksi Cepat (TRC) Kementerian Sosial, Markiah dan anak-anaknya mendapatkan bantuan sebesar Rp. 430.000 per bulan. Namun fakta di lapangan membuktikan bahwa Markiah dan anakanaknya harus berpindah-pindah tempat dengan mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ketidaksesuaian antara fakta di lapangan dan data BPS bisa jadi karena tolok ukur kategori miskin yang dipakai BPS terlalu rendah, di mana baru dikatakan miskin jika pengeluarannya sebesar Rp. 8000 per orang per hari. Berbeda dengan standar Bank Dunia bahwa dianggap miskin bila pengeluaran per hari per orang sebesar dua dolar atau sekitar Rp 19 ribu. Tak heran, jika kemudian bunuh diri menjadi pilihan terakhir bagi mereka yang miskin. Misalnya selain Markiah, pada Juli 2012 media massa mencatat aksi bunuh diri yang dilakukan oleh Ngataji (55 th), warga Dusun Jumok, Desa Sambirejo, Wonosalam, Jombang, Jawa Timur, yang nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di pohon durian, karena kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (www.jejaringnews.com, 28 Juli 2012). Terlepas benar atau tidaknya klaim Kementerian Sosial, bila dilakukan hitung-hitungan kasar bantuan yang diperoleh keluarga Markiah melalui Program Keluarga Harapan (PKH) yang jumlahnya Rp. 430.000 sebulan itu, artinya setiap hari Markiah dan keempat anaknya memperoleh bantuan Rp. 14.333 rupiah. Bagi Markiah yang memiliki 4 orang anak, untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini, bantuan itu tentu jauh dari cukup. Maka kemudian, kebijakan pemerintah tentang Program Keluarga Harapan selayaknya dievaluasi ulang, apakah sudah tepat sasaran atau belum. Mengingat, program tersebut sudah dicanangkan pemerintah sejak tahun 2007. Penerima PKH sendiri adalah rumah tangga sangat miskin (RTSM), yang memiliki anggota keluarga yang terdiri atas anak usia 0-15 tahun (atau usia 15-18 tahun namun belum menyelesaikan pendidikan dasar) dan/atau ibu hamil/nifas. PKH memberikan bantuan tunai kepada RTSM dengan mewajibkan RTSM tersebut mengikuti persyaratan yang ditetapkan program, yakni (i) menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan dan menghadiri kelas minimal 85% hari sekolah/tatap muka dalam sebulan selama tahun ajaran berlangsung, dan (ii) melakukan kunjungan rutin ke fasilitas kesehatan bagi anak usia 0-6 tahun, ibu hamil dan ibu nifas. Jika melihat keharuan diatas, maka PKH sebenarnya diperuntukan hanya untuk kesehatan dan pendidikan, lantas kebutuhan sehari-hari siapa yang akan menanggungnya? Di tengah kehidupan masyarakat yang makin terpuruk dan memprihatinkan, berita korupsi kian merajalela. Praktik korupsi makin ganas. Bahkan anggaran untuk pengadaan kitab suci dan proyek laboratorium madrasah tsanawiyah yang notabene untuk kemaslahatan umat, tak luput menjadi lahan korupsi. Jurang antara si kaya dan si miskin makin menganga. Hal itu bisa dilihat dengan banyaknya pengantre zakat dan
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
daging kurban setiap tahunnya. Berjubel, berdesakan, dan berebut satu sama lain demi mendapatkan beberapa kilo beras dan sepotong daging kurban. Korupsi yang marak, dan banyak pula tersangkanya yang ditangkap tidak berimbas pada kesejahteraan rakyat. Yang ada, para koruptor mendapatkan perlakuan yang mewah di dalam penjara. Banyak dari mereka yang sangat ringan hukumannya atau bebas murni dari dakwaan korupsi. Hukuman yang dijatuhkan pun tidak sebanding dengan apa yang sudah mereka curi. Bandingkan jika kejahatan itu dilakukan oleh rakyat miskin yang terpaksa harus mencuri, maka hukuman yang mereka terima jauh lebih berat dibandingkan para koruptor. Demikian dengan keluarga koruptor, seakan tidak tersentuh oleh hokum. Mereka tetap bebas menikmati kekayaan hasil korupsinya tanpa menanggung beban malu dan hidup serba kekurangan. Dengan kasus-kasus itu dapat dilihat, bahwa keadilan sampai kini hanya milik si kaya. Hal itu karena uang dapat digunakan untuk membeli hukum. Sementara bagi si miskin, mereka tak pernah memperoleh keadilan karena tidak mampu membelinya dengan uang. UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Pasal 27 ayat 1). Negara Indonesia Gagal Cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum, memberikan keadilan dan kemakmuran serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian dengan pasal 27 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara; (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Apa yang dialami Markiah dan warga lainnya sangat jauh dari cita-cita luhur tersebut. Jika konstitusi telah menjamin kehidupan warga negaranya, namun banyak warga yang terlantar tidak menjalani kehidupan selayaknya, maka siapa yang salah? Mencari siapa yang perlu dipersalahkan bukan satu-satunya jalan yang bisa di tempuh. Negara ada untuk memberikan kesejahteraan bagi tiap warga negaranya. Saat warga negara kelaparan, di mana negara? sehingga sebagian besar mereka memutuskan untuk bunuh diri. Markiah merupakan korban rezim yang tak lagi berpihak pada rakyat kecil, terutama perempuan sebagai kaum minoritas. Karena rezim yang ada kini lebih berpihak pada
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Ketujuh, Juli 2012 EdEEEEEE
kaum kapitalis. Negara membela mereka yang membayar. Demikian dalam situasi krisis saat ini, perempuan menanggung beban lebih banyak dibandingkan laki-laki. Seharusnya ada kebijaksanaan pemerintah untuk mengatasi hal itu. Selayaknya pula wakil rakyat yang ada di DPR membela kepentingan rakyat, karena mereka di sana menjadi wakil rakyat, bukan untuk menghambur-hamburkan uang rakyat dengan melakukan plesiran keluar negeri yang diklaim sebagai studi banding, dengan menggunakan uang rakyat pula. Saat ini, rakyat sangat jenuh dengan situasi yang ada, perlu terobosan politik untuk menjamin kesejahteraan rakyat, kalau tidak akan terjadi kasus markiah-markiah lainnya, yang memutuskan untuk bunuh diri, karena tidak tahan menanggung beban kehidupan yang ministakan.
*****
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id