Analisa Media Edisi Juni 2013 EdEEEEEE
Negara Tidak Melindungi Pekerja Rumah Tangga
Pada 16 Juni 2013 ini genap dua tahun Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga diadopsi. Konvensi ini menjadi tonggak penting perjanjian internasional yang menetapkan standar internasional bagi perlindungan hak-hak pekerja rumah tangga. Konvensi ILO 189 merupakan Konvensi Internasional pertama yang secara khusus memberi perlindungan kerja layak bagi PRT. Konvensi ILO 189 lahir setelah melalui perjalanan waktu yang panjang kurang lebih 70 tahun, sejak resolusi mengenai aksi normatif kondisi Pekerja Rumah Tangga diusulkan di PBB, dan beberapa usulan resolusi berulang disampaikan. Dengan konvensi tersebut ada harapan baru bagi perlindungan PRT dan kondisi kerja PRT. Hal tersebut karena Konvensi ILO 189 memberikan perlindungan khusus bagi PRT. Konvensi ini menetapkan hak-hak dan prinsip-prinsip dasar dan mengharuskan negara mengambil langkah untuk mewujudkan kerja layak bagi pekerja rumah tangga. Hak-hak dasar bagi pekerja rumah tangga yang diatur dalam konvensi ini antara lain promosi dan perlindungan hak asasi manusia seluruh pekerja rumah tangga (Pembukaan; Pasal 3); penghormatan dan perlindungan prinsip-prinsip dan hak-hak dasar ditempat kerja seperti kebebasan berserikat dan pengakuan efektif terhadap hak atas perundingan bersama, penghapusan segala bentuk kerja paksa atau kerja wajib, penghapusan pekerja anak, penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan jabatan (Pasal 3, 4, 11); perlindungan efektif dari segala bentuk penyalahgunaan, pelecehan dan kekerasan (Pasal 5); ketentuan kerja yang fair dan kondisi hidup yang layak (Pasal 6). Selain itu, Pekerja Rumah Tangga harus diberi informasi mengenai syarat dan ketentuan kerja mereka dengan cara yang mudah dipahami yang diatur dalam Pasal 7. Konvensi ini juga mengatur tentang kerja dan pengupahan. Terkait dengan jam kerja, konvensi mengharuskan langkah-langkah yang ditujukan untuk menjamin perlakuan sama antara pekerja rumah tangga dan pekerja secara umum berkenaan dengan jam kerja normal, kompensasi lembur, masa istirahat harian dan mingguan, dan cuti tahunan berbayar (Pasal 10). Sementara dalam pengupahan, konvensi mensyaratkan upah minimum mengacu kepada aturan upah minimum yang ada untuk pekerja (Pasal 11). Selain itu, pembayaran upah harus dilakukan secara tunai, langsung kepada pekerja, dan dalam jangka rutin yang tidak lebih lama dari sebulan. Pembayaran dengan cek atau transfer bank bila diperbolehkan oleh undang-undang atau kesepakatan bersama, atau dengan persetujuan pekerja (Pasal 12). Pembayaran dengan barang diperbolehkan dengan 3 syarat: hanya proporsi terbatas dari total upah; nilai moneter adil dan wajar; barang atau jasa yang diberikan sebagai pembayaran dengan barang merupakan pemakaian pribadi dan bermanfaat bagi
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Juni 2013 EdEEEEEE
pekerja. Ini berarti bahwa seragam atau perlengkapan pelindung tidak dianggap sebagai pembayaran dengan barang, tetapi sebagai peralatan yang harus disediakan oleh majikan untuk pekerja secara gratis untuk pelaksanaan tugas-tugas mereka (Pasal 12). Konvensi ini memang telah memberikan banyak perlindungan bagi pekerja rumah tangga bila suatu negara telah meratifikasi konvensi tersebut, maka pemerintahnya secara formal telah membuat komitmen untuk menerapkan seluruh kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi tersebut, dan secara periodis harus melaporkan kepada ILO mengenai langkah-langkah yang telah diambil. Sesuai dengan konstitusi ILO, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyampaikan konvensi dan rekomendasi tersebut kepada badan legislatif nasionalnya yang bertujuan untuk mempromosikan langkah-langkah di tingkat domestik untuk implementasi instrument-instrumen dan juga mempromosikannya. Namun Indonesia belum meratifikasi konvensi ini, maka secara otomatis Indonesia belum terikat dengan konvensi tersebut. Sebagai negara yang memiliki jumlah pekerja rumah tangga yang besar sangat disayangkan Indonesia belum meratifikasi konvensi ini. Padahal berdasarkan data JALA PRT, jumlah PRT pada 2009 mencapai 10 juta orang dan sebesar 67 persen dari pekerja rumah tangga yang dipekerjakan kelas menengah dan menengah atas. Sementara itu, jumlah PRT migran Indonesia mencapai 6 juta orang dengan 80 persen di antara merupakan perempuan. Dengan jumlah pekerja rumah tangga yang besar, harusnya Indonesia memiliki kebijakan khusus yang melindungi pekerja rumah tangga baik yang ada di dalam negeri, maupun di luar negeri karena mereka adalah kelompok yang sangat rentan mengalami kekerasan. Antara “Pekerja” dan “Pembantu” Profesi pekerja rumah tangga (PRT) sudah ada sejak dahulu kala. Di Indonesia sendiri masa penjajahan Belanda, pekerjaan pekerja rumah tangga disebut baboe (dibaca “babu”), sebuah istilah yang kini kerap digunakan dengan konotasi negatif untuk pekerjaan itu. Sementara di lingkungan keraton telah lama dikenal istilah “abdi dalem”. Pada zaman dulu juga telah dikenal istilah “budak belian”. Selain istilah itu, masih banyak istilah lain yang digunakan masyarakat untuk menyebut profesi PRT ini. Selain abdi dalem misalnya, PRT juga di kenal dengan sebutan ngenger, bedinde, dan pembantu. Istilah yang terakhir inilah yang belakangan lebih sering dipergunakan. Istilah-istilah tersebut mengambarkan bahwa PRT merupakan profesi yang termajinalkan. Mereka yang terpaksa memilih profesi ini merupakan kelompok masyarakat yang secara ekonomi termajinalkan. Karena secara ekonomi termarjinalkan, maka banyak persoalan yang dihadapinya, salah satunya adalah putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Karena tidak memiliki pendidikan yang memadai, maka tidak banyak pilihan pekerjaan yang tersedia. Maka menjadi pekerja rumah tangga menjadi satu pilihan
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Juni 2013 EdEEEEEE
bagi mereka, karena pekerjaan yang dilakukan menjadi rutinitas sehari-hari yang biasa dilakukan perempuan dalam rumah tangga. Tentu ini akan menguatkan stereotipe yang ada dalam masyarakat bahwa tugas rumah tangga memang menjadi beban bagi perempuan. Banyak tugas yang harus dilakukan oleh pekerja rumah tangga untuk mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anakanak dan lainnya. Istilah “pembantu” yang banyak digunakan oleh masyarakat untuk menyebut profesi pekerja rumah tangga berangkat dari pekerjaan yang dilakukan yakni “membantu” si empunya rumah. Namun dalam perjalanannya, mereka tidak hanya sekadar membantu majikan untuk mengurus rumah tangganya, tetapi menjadi penanggung jawab utama rumah tangga majikannya. Karena tanggungjawabnya untuk mengurus rumah tangga majikannya itulah, mereka sering tinggal bersama majikan, dengan memperoleh ruangan yang sempit di bagian belakang. Dan karena tinggal bersama dengan majikan mereka, maka tidak memiliki jam kerja yang jelas. Mereka harus mau disuruh oleh majikan kapan pun. Mereka pun berkerja antara 1216 jam sehari. Waktu istirahat pun mereka harus tetap siaga, jika sewaktu-waktu mendapat tugas dari sang majikan. Selain itu, mereka juga tidak mendapatkan libur atau cuti serta minim akses bersosialisasi. Karena posisi yang lemah itu, PRT rentan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh majikannya. Kasus yang dialami Fitria Ningsih (19 tahun) dan Sifora Sanam (23 tahun) menjadi salah satu kasus bahwa sampai kini banyak majikan yang memperlakukan PRT dengan sangat kejam. Fitria dan Sifora sendiri merupakan pekerja rumah tangga yang berhasil kabur dari rumah majikannya di Jl. Yose Rizal Medan pada Jumat malam, tanggal 24 Mei 2013 lalu, setelah mengambil kunci rumah itu. Malam itu mereka langsung mengadukan apa yang diperbuat majikannya ke Mapolres Medan. Kepolisian kemudian mendampingi Fitia dan Sifora untuk melakukan visum di rumah sakit umum daerah Pirngadi Medan. Fitria merupakan PRT asal nganjuk, Jawa Timur. ia mengalami memar dan lebam di bagian kepala, bahu, tangan, dan kaki akibat dianiaya sang majikan. Sementara Sifora, PRT asal Nusa Tenggara Timur, mengatakan sering dipukul oleh majikannya. Siksaan lainnya yang dialami oleh Fitria dan Sifora adalah jika mereka terlambat bangun akan disuruh telanjang oleh majikannya. Selain itu, mereka juga belum menerima gaji selama 15 bulan bekerja di rumah majikannya itu. Seharusnya mereka tiap bulan menerima gaji masing-masing Rp. 1 juta. Mereka kabur karena tidak tahan dimarahi dan dipukuli majikannya, dengan alasan yang tidak jelas. Selama ini mereka bertahan di rumah majikan karena takut, maka mereka hanya pasrah menerima perlakuan kasar tersebut. Ditambah lagi, kampung halaman yang jauh dan tidak tahu bagaimana cara pulang. Kasus penyiksaan yang dialami Fitria dan Sifora menjadi bukti bahwa profesi pekerja rumah tangga sangat rentan mengalami kekerasan oleh majikan dan cibiran masyarakat. Sayangnya karena hanya dianggap sebagai pembantu, maka profesi ini tidak diatur dalam dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang tenaga Kerja. Padahal, kalau
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Juni 2013 EdEEEEEE
mau dilihat lebih dalam, maka PRT menjadi bagian dari buruh yang diatur dalam undang-undang ini. UU tentang Ketenagakerjaan hanya mengatur pekerja di sektor formal, mereka yang bekerja dalam unit produksi atau perusahaan, bukan orangorang yang bekerja dalam lembaga keluarga dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sekalipun esensinya sama. Tak adanya perlindungan itu terjadi tidak hanya pada PRT yang ada di dalam negeri, tetapi juga dialami jutaan pekerja rumah tangga Indonesia lainnya yang berkerja di luar negeri seperti di Hong Kong, Malaysia, Arab Saudi, dan Singapura. Para pekerja rumah tangga yang berkerja di luar negeri secara rutin menjadi korban perdagangan orang untuk kerja paksa dan korban penipuan kontrak, dan biaya rekrutmen yang terlalu mahal. Sementara mereka yang bekerja di dalam negeri juga tidak mendapatkan hak legal dan hak pekerjaan yang setara, seperti pekerja lainnya. Penyebutan “pembantu” menjadi “pekerja” dapat merubah persepsi dari masyarakat tentang pekerja rumah tangga. Dengan menganggap mereka bagian dari pekerja maka mereka akan mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal. Selain itu, mereka juga dapat memperoleh hak-haknya yang selama ini terabaikan seperti hari libur, jam kerja yang jelas, upah yang memadai dan lain sebagainya. Mutlak Perlindungan Hukum Pekerja Rumah Tangga Banyaknya kasus kekerasan yang dialami pekerja rumah tangga tidak membuat negara membuat peraturan yang melindungi mereka. Padahal dengan kondisi kerja yang terisolasi, maka para pekerja rumah tangga ini sangat rentan menjadi korban kekerasan. Berdasarkan data JALA PRT, tahun 2011-2012 telah terjadi 653 kasus kekerasan terhadap PRT yang terdiri atas: pelanggaran hak, penganiyaan, upah yang tidak dibayar, penelantaran, pengekangan, kecelakaan kerja sampai tindakan kekerasan berat yang menyebabkan 8 PRT meninggal dunia. Seharusnya pemerintah melihat hal itu, dan membuat kebijakan yang dapat melindungi mereka. Namun saying, hal tersebut tak kunjung dilakukan oleh negara. Menjadi tanggung jawab negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi tiap warga negaranya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945, terutama pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia 4, negara wajib dan bertanggung jawab terhadap kehidupan warga negaranya. Kewajiban itu masih diabaikan oleh negara. Negara belum mampu memberikan perlindungan terhadap warga negaranya, salah satunya terhadap profesi pekerja rumah tangga. Padahal dengan adanya perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga bertujuan memberikan kepastian, menjaga, dan mempertahankan hak mereka, jika dilanggar. Penting Indonesia memiliki undang-undang tentang perlindungan PRT. Tapi sayang RUU Perlindungan PRT yang sudah 10 tahun di bahas oleh DPR belum disahkan. RUU ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI sejak tahun
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Juni 2013 EdEEEEEE
2004 dan menjadi prioritas Prolegnas DPR sejak tahun 2010. Komisi IX DPR bahkan sudah melakukan pembahasan dan kunjungan kerja/studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina pada 27-31 Agustus 2012. Uji publik juga sudah dilakukan pada tanggal 27 Februari 2013. Namun dikalangan DPR masih terjadi banyak perdebatan. Banyak anggota DPR yang tidak menerima RUU ini untuk disahkan. Bahkan ada pendapat yang muncul, jika RUU ini disahkan bisa merusak tatanan kekerabatan dan sistem sosial yang telah mengakar di Indonesia. Pendapat tersebut disampaikan oleh Nurul Arifin, politisi dari Partai Golkar. Nurul mengungkapkan bahwa seharusnya RUU tersebut bukan ditujukan untuk rumah tangga yang memperkerjakan PRT, melainkan untuk mengatur penyedia jasa pekerja Rumah Tangga. Menurutnya, RUU PRT dinilai terlalu menitik-beratkan pada materi dan cenderung liberal. Seperti sebagian masyarakat lainnya, Nurul yang juga anggota Komisi II DPR ini menganggap, bahwa PRT bukanlah pekerja industri yang hanya mengandalkan tenaga, pikiran, dan keadilan. Lebih dari itu, Nurul mengatakan PRT adalah pekerja yang masuk ke dalam rumah dan menjadi bagian dari keluarga yang mempekerjakannya. Nurul juga berpendapat, bahwa RUU PRT juga tak perlu mengatur mengenai kekerasan dalam rumah tangga. Sebab persoalan itu telah diatur dalam undang-undang lain dengan jelas dan gamblang. Apa yang disampaikan oleh Nurul Arifin tidak melihat kondisi nyata masyarakat. Bahwa, hingga hari ini Pekerja Rumah Tangga sangat rentan mengalami kekerasan. Kekerasan yang dialami oleh pekerja rumah tangga terjadi karena posisi tawar mereka yang rendah. Majikan melihat mereka sebagai “pembantu” bahkan “budak”, sehingga bisa diperlakukan sesuka hati. Di sisi lain, tidak ada kebijakan yang benarbenar mengatur profesi pekerja rumah tangga. Padahal dengan tidak adanya kebijakan yang melindungi mereka dari tindak kekerasan dan diskriminasi tersebut telah mempengaruhi tingginya angka kekerasan yang terjadi. Banyak dari mereka tidak dapat memperoleh hak-haknya, karena tidak ada kebijakan yang secara tegas melindunginya. Cara pandang Nurul Arifin mungkin juga cara pandang masyarakat pada umumnya menganggap bahwa PRT yang ada di dalam rumahnya menjadi bagian dari keluarganya. Padangan tersebut memperlihatkan bahwa hingga kini masyarakat belum mau menerima peran penting pekerja rumah tangga. Padahal sebagian besar rumah tangga saat ini mempunyai ketergantungan terhadap pekerja rumah tangga. Masyarakat juga tidak mau mengubah penggunaan istilah “pembantu” menjadi “pekerja”. Hal tersebut karena ada konsekuensi logis penggunaan istilah “pembantu” menjadi “pekerja”. Dengan istilah “pekerja” akan meningkatkan martabat ataupun status PRT dan tentu lebih memanusiakan manusia, memanusiakan pekerja, dan memanusiakan perempuan, karena sebagian besar PRT adalah perempuan. Selain itu, sebagai manusia, PRT mempunyai hak untuk hidup layak, berekspresi, hak menjalankan ibadah, hak berbicara dan sebagainya. Sementara sebagai pekerja, PRT mempunyai hak upah yang layak, jaminan kesehatan, waktu istirahat, hari libur, dan beban kerja yang sesuai dengan upah dan kemampuan.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Juni 2013 EdEEEEEE
Banyak majikan akan tidak terima bahkan mencibir apabila PRT bisa mendapatkan hak-haknya sebagai manusia, pekerja, dan perempuan. Berbagai dalih, seperti yang diungkapkan Nurul Arifin akan terus digunakan karena para majikan ini merasa takut kehilangan kenyamanannya menggunakan jasa PRT. Ketika hak-hak PRT diatur dalam undang-undang, mereka mempunyai ketakutan karena tidak dapat berlaku semena-mena lagi terhadap PRT seperti ketika profesi ini belum dilindungi undangundang. Mereka ketakutan harus mengurus rumah tangganya sendiri ketika PRT sedang mendapatkan jatah libur. Mereka ketakutan tidak bisa membayar gaji PRT seperti dengan standar yang ada. Banyak ketakutan-ketakutan yang muncul dari para pengguna jasa PRT yang mengakibatkan undang-undang perlindungan PRT tak kunjung disahkan. Dengan banyaknya kasus yang dialami pekerja rumah tangga baik di dalam negeri maupun di luar negeri, memperlihalkan kegagalan yang berkelanjutan dari pemerintah Indonesia untuk menyediakan perlindungan yang memadai bagi PRT yang sebagian besar adalah perempuan. Gagalnya negara memberikan perlindungan terhadap warga negaranya merupakan pelanggaran kewajiban negara di bawah hukum internasional. Tidak segera disahkannya RUU Perlindungan PRT maupun ratifikasi Konvensi 189 ILO, juga bertentangan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang dua tahun lalu mendesak perwakilan di Konferensi ILO di Jenewa untuk mendukung diadopsinya Konvensi ILO tentang Kerja Layak PRT. Selain itu, bertentangan dengan komitmen pemerintah Indonesia selama Evaluasi Berkala Universalnya (Universal Periodic Review/UPR) pada 2012 lalu untuk meratifikasi konvensi ini. Padahal dengan melakukan ratifikasi tersebut tentu sejalan dengan rekomendasi yang telah dibuat oleh Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Committee on the Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW) yang pada kesimpulan pengamatan (Concluding Observation) di tahun 2012 menyerukan pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah konkrit dan memastikan perlindungan hukum yang memadai bagi hak-hak semua pekerja rumah tangga di Indonesia.
*****
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id