Analisa Media Edisi Januari 2014 EdEEEEEE
Karut Marut BPJS
Awal tahun 2014, pemerintah resmi menjalankan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Berlakunya BPJS merupakan implementasi UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. BPJS sendiri merupakan mandat UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang pada pasal 5 ayat 1 dan pasal 52 menyatakan harus dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial melalui undang-undang. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang dimaksud merupakan transformasi empat Badan usaha Milik Negara. Hal ini dilakukan untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia. Keempat BUMN yang bertugas untuk mempercepat terselenggaranya sistem jaminan sosial, yakni: a) Perusahaan Perseroan (persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK); b) Peruhaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN); c) Perusahaan perseroan (Persero) Asuransi Sosial angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI); d) Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Pemerintah harus dan wajib menjalankan UU SJSN tersebut selambat-lambatnya lima tahun setelah UU SJSN ditanda-tangani. Artinya, pada tahun 2009 harusnya masyarakat sudah menikmati sistem tersebut. Faktanya, BPJS berlaku awal tahun 2014 atau 10 tahun UU SJSN setelah diundangkan. UU BPJS lahir setelah ada tekanan banyak pihak, termasuk masyarakat sipil. Namun kelahiran UU BJPS menuai banyak kontroversi. Sebagian masyarakat menilai bahwa UU BPJS belum memihak pada rakyat kecil. Dengan diberlakukannya BPJS awal tahun 2014 ini, banyak masyarakat menilai kebijakan tersebut terlalu dipaksakan, mengingat banyak kekurangannya di tingkat lapangan. BPJS berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 terdiri atas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Ruang lingkup BPJS Kesehatan menyelenggarakan jaminan kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Memberikan jaminan sosial pada tiap orang adalah mandat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat 3 yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Sementara dalam pasal 34 ayat 2 dinyatakan: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Hak tiap warga negara untuk memperoleh jaminan sosial tanpa diskriminasi. Negara wajib menjamin penyelenggaraan jaminan sosial untuk tiap warga negaranya. Jaminan sosial juga ada dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2014 EdEEEEEE
Asasi Manusia Tahun 1948 dan ditegaskan dalam Konvensi ILO No. 102 tahun 1952 yang menganjurkan agar semua negara memberikan perlindungan minimum kepada tiap tenaga kerja. Berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Program ini dimaksudkan untuk melindungi rakyat dari kebangkrutan rumah tangga akibat sakit berat, kematian, atau pensiun. Ada lima jenis jaminan sosial yang ada dalam UU ini yakni: (1) jaminan kesehatan, (2) jaminan kecelakaan kerja, (3) jaminan hari tua, (4) jaminan pensiun, dan (5) jaminan kematian. Konsep perlindungan sosial berasal dari negara kesejahteraan yang ingin melindungi warganya akibat krisis ekonomi atau perubahan sosial yang kompleks. Tujuannya ialah mewujudkan kondisi sosio-ekonomi yang stabil, tak rentan, apabila krisis menyerang. Secara umum, perlindungan sosial dirumuskan sebagai “segala daya upaya negara berupa tindakan pencegahan, baik dalam program maupun kebijakan, untuk melindungi rakyatnya dari krisis atau kemiskinan” (Pratama, 2011). Serupa dengan itu, perlindungan sosial juga didefinisikan sebagai “tindakan publik yang diambil sebagai respon atas tingkat kerentanan, resiko, dan kerugian yang dianggap tidak layak secara sosial dalam suatu masyarakat” (Conway, Foster, Norton, 2001:11). Perlindungan ini memiliki dua bentuk, yakni perlindungan sosial yang diselenggarakan negara (statutory) dan yang diselenggarakan atas inisiatif swadaya warga negara (non-statutory). Bentuk perlindungan sosial yang non-statutory dibedakan dari yang statutory dalam hal pelaksanaannya yang sepenuhnya bergantung pada relasi sosial yang ada. Iuran sebagai bisnis asuransi Sejak dicanangkan awal tahun 2014, BPJS dan Jaminan Kesehatan Nasional tentu dengan serta merta menggantikan sistem yang selama ini ada, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (Jamkesmas), Jaminan Persalinan (Jampersal), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) maupun Kartu Jakarta Sehat (KJS). Dengan sistem itu, kekurangan dan kelemahannya sering dikeluhkan oleh masyarakat. Dengan berlakunya JKN, masyarakat dituntut mengikuti sistem yang baru. Pasien diharuskan membayar ketika ingin memperoleh layanan kesehatan, padahal sebelumnya digratiskan. Hal ini terjadi karena sistem jaminan kesehatan nasional yang dilaksanakan pemerintah melalui BPJS tidak menjamin pengobatan penyakit tertentu. Selain karena PT Asuransi Kesehatan (Askes) sudah meleburkan diri menjadi BPJS, untuk mendapatkan layanan kesehatan, maka masyarakat juga diwajibkan membayar iuran BPJS mulai Rp. 25.500-59.500 per bulan. Apabila warga ingin dirawat di kelas I ketika sakit, maka wajib membayar Rp. 59.500 per kepala per bulan. Untuk layanan kelas II, warga wajib membayar Rp. 42.500 per bulan per kepala dan kelas III, warga wajib membayar Rp. 25.500 per bulan per kepala. Pembayaran iuran BPJS dapat dilakukan paling lambat tanggal 10 setiap bulan dan
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2014 EdEEEEEE
bila ada keterlambatan, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% dari total iuran yang tertunggak, paling lama untuk waktu 3 bulan. Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, negara membutukan dana Rp. 100 trilyun untuk mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam BPJS. Hingga kini, ada Rp. 40 trilyun dikeluarkan dari APBN untuk meng-cover 121,6 juta peserta BPJS Kesehatan, yang sebagian besar peserta Jamkesmas, Askes PNS, TNI/Polri, dan asuransi tertentu. Anggaran Rp. 40 triliun itu dipakai untuk membayar premi BPJS dan menambah dukungan penyediaan fasilitas, peralatan rumah sakit serta Puskesmas di seluruh daerah yang ditunjuk melayani BPJS Kesehatan. Sementara hingga saat ini ada 121 juta masyarakat yang belum tercover, yang berasal dari pekerja mandiri dan sektor informal. Diwajibkannya masyarakat membayar iuran setiap bulan, jika ingin memperoleh layanan kesehatan, tentu menambah beban hidup mereka. Apalagi iuran yang harus dibayar tidak murah. Contoh, sebuah keluarga yang memiliki dua anak, maka mereka harus membayar Rp. 102.000 per bulan untuk bisa dirawat di kelas III, bila sewaktuwaktu sakit. Dengan sistem sebelumnya, seperti Jamkesmas atau JKS, mereka bisa mendapatkan layanan kesehatan secara gratis. Ini juga dibenarkan Gubenur DKI Jakarta, Joko Widodo, yang mengakui memang ada perbedaan antara Jaminan Kesehatan Nasional dan Kartu Jakarta Sehat yang dibuatnya. Gubenur DKI Jakarta mengatakan bahwa KJS lebih andal dibandingkan JKM yang sama-sama memberikan layanan kesehatan terhadap masyarakat. Masyarakat membayar iuran BPJS merupakan implikasi jaminan sosial versi UU SJSN dan UU BPJS, seperti dalam bisnis asuransi. Dalam bisnis asuransi, berlaku kepesertaan, membayar premi asuransi, dan batasan jenis-jenis yang diasuransikan. Menurut kedua regulasi, jenis yang diasuransikan teruntuk ketenagakerjaan dan kesehatan. Berarti dari segi kepesertaan, jaminan sosial sekarang menjadi hajat negara yang hanya berlaku bagi tenaga kerja upahan. Kita tahu bahwa dalam konteks hubungan kerja-upahan, yang membayar premi itu pastilah kaum pekerja atau buruh yang gajinya secara otomatis akan dipotong atau dimasukkan sebagai bayaran premi. Tepatnya, kepesertaan kaum pekerja atau buruh itu berlaku wajib bagi calon penerima manfaat jaminan sosial dan bukan kewajiban negara. Yang berhubungan dengan kesehatan, ternyata hanya berlaku untuk menjamin kesehatan dasar, seperti sakit tropika. Akan tetapi, itu tidak menjamin masalah maternitas (fasilitas kesehatan reproduksi perempuan), kanker, HIV/AIDS, dan lainnya yang dipandang “berat”. Layanan yang amburadul Dengan sistem baru, masyarakat terombang-ambing dan kebingungan dalam mengakses layanan kesehatan. Biasanya hal itu dapat diakses secara gratis, sekarang harus membayar. Dengan kondisi demikian banyak orang mengalami kebingungan. Bagaimana melanjutkan proses pengobatan yang sedang mereka jalani. Pada 16 Januari 2014 lalu beberapa orang mendatangi DPR untuk
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2014 EdEEEEEE
mengeluhkan sulitnya memperoleh obat dan perubahan layanan kesehatan yang diterimanya sejak JKN berlaku di sejumlah layanan kesehatan. Belasan pasien termasuk pasien kanker dan ibu hamil, tidak mampu membayar. Pengalaman tidak dapat mengakses layanan kesehatan setelah diberlakukan sistem yang baru juga dialami Yati, perempuan berusia 48 tahun, yang mengalami kanker payudara stadium lanjut. Dia tinggal di rumah kumuh, tepatnya di Rusun Bidara Cina RT 09/RW 16 Jakarta Timur. Dia merasa program jaminan kesehatan yang baru tersebut cukup menyulitkan, karena beaya rumah sakit tetap harus dibayarnya meskipun mempunyai kartu Kartu Jakarta Sehat. Saat ini harusnya ia melakukan kemoterapi untuk mencegah pertumbuhan sel kanker ganas dalam tubuhnya. Tetapi sejak perubahan program jaminan kesehatan menjadi JKN, ia kini tidak dapat lagi melakukan kemoterapi, karena menurut petugas kesehatan di tempatnya dirawat di RS Islam Cempaka Putih, kemoterapi tidak ditanggung dalam BPJS Kesehatan. Begitu pula obat-obatan yang harus diminumnya tidak bisa dijamin semua. Padahal sesuai ketentuan INACBG's atau tarif paket yang ditetapkan Kementerian Kesehatan, seluruh perawatan dan obat untuk masyarakat tidak mampu mesti terjamin. Dengan perubahan sistem yang ada itu, menurut Yati, dia akan menyetop kemoterapi yang harusnya dilakukannya pada 17 Januari 2014, dengan berat hati. Selain kasus Yati, ada juga kasus Tuti, warga Depok yang mengeluhkan hal itu. Jika sebelumnya ia menerima Jampersal, maka dengan berubahnya sistem jaminan sosial, dia di tolak di beberapa Puskesmas dan rumah sakit, karena bukan anggota Jamkesmas atau Jamkesda. Hal senada dialami Candra, seorang remaja terkena kanker yang tak dapat melakukan control pasca amputasi kaki. Pasca operasi, ia harus melakukan control maksimal sebulan sekali hingga kondisinya pulih. Setelah itu, akan dilakukan per tiga bulan, enam bulan dan setahun sekali. Candra terancam tidak mampu membayar. Walaupun sebelumnya ia terdaftar sebagai peserta Jamkesda, namun pihak rumah sakit tetap bersikeras mengatakan bahwa beaya control dan rontgen tidak ditanggung BPJS. Berdasarkan evaluasi BPJS Watch Jawa Timur, pasca 40 hari BPJS Kesehatan diberlakukan, masih banyak masyarakat miskin yang menggunakan surat keterangan tak mampu dan belum menjadi peserta PBI yang ditolak rumah sakit. Demikian dengan pemegang kartu Jamkesmas warna kuning, yang sering ditolak berobat dengan alasan sudah tidak berlaku. Hal senada terjadi pada pemegang kartu JPK Jamsostek yang kerap ditolak berobat dengan alasan kartu sudah tidak berlaku dan fasilitas kesehatan belum bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Di Jawa Timur ada 40.903.400 jiwa penduduk per 1 Januari 2014, sementara kepesertaan awal BPJS Kesehatan estimasinya 17.330.767 jiwa. Angka itu sekitar 43% dari seluruh penduduk Jawa Timur. Penutup Karut marut pelaksanaan BPJS di lapangan memperlihatkan bahwa pemerintah belum siap melaksanakan UU No. 24 tahun 2011. Di tingkat lapangan belum terjadi
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Januari 2014 EdEEEEEE
koordinasi yang maksimal antara empat BUMN yang bertransformasi menjadi BPJS serta badan statistik yang seharusnya memiliki data akurat tentang penduduk di negeri ini. Demikian pula dinas sosial dan dinas kesehatan serta dinas tenaga kerja. Koordinasi tersebut sudah berjalan dengan barik, perangkat penunjang dapat disiapkan dengan maksimal karena UU BPJS sudah disahkan sejak 3 tahun lalu. Memberi perlindungan sosial pada seluruh warga negara merupakan mandat konstitusi. Negara harus siap memberikan perlindungan sosial sesuai dengan amanat UUD 1945. Kalau jaminan sosial basisnya adalah HAM, maka pertama-tama jaminan sosial harus dipastikan sebagai hak tiap orang tanpa pandang bulu (nondiskriminasi). Sebagai hak asasi manusia, maka: (1) orang bebas (tidak boleh dipaksa) untuk menikmati haknya; dan (2) merupakan kewajiban negara untuk menunaikan/mewujudkan untuk dinikmati/dikenyamnya hak-hak tersebut. Konsekuensi skema non-iuran yang harus menjadi patokan bukan skema bisnis asuransi dengan iuran dan kepesertaan. Jika hak asasi manusia atas jaminan sosial tidak ditunaikan atau diwujudkan oleh pemerintah, maka kegagalan ini harus dialamatkan keluhannya ke pemerintah; dapat dituntut via pengadilan; dan putusan hakim dapat memulihkan hak-hak atas jaminan sosial tersebut jika dilanggar, termasuk kesediaan ganti ruginya (remedy). Dengan asuransi sosial (baca: bisnis asuransi) dalam sistem jaminan sosial sebagai hak--bukan sebaliknya seperti sekarang, yakni hak hanya diberikan bila seseorang menjadi peserta--maka tugas negara (pemerintah) yang pertama-tama dan yang terutama ialah menyediakan alokasi anggaran (APBN/APBD) untuk berbagai skema jaminan sosial tanpa harus iuran/membayar premi, sekurang-kurangnya (minimal) untuk: (1) jaminan pengangguran (sebagai hak orang atas pekerjaan atau hak untuk bekerja); (2) jaminan kesehatan dasar (sebagai hak atas kesehatan); dan (3) tunjangan sosial (kehatan dan pendidikan) untuk orang miskin.
*****
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id