Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
Kesehatan Reproduksi, Kenapa Tabu?
Keheningan sekolah yang sibuk dengan aktifitas belajar itu mendadak riuh, tak hanya oleh siswa dan guru semata, namun pihak kepolisian dan masyarakat sekitar. Sebuah SMK swasta di Ponorogo, Jawa Timur, siang itu, 24 Oktober 2012, ditemukan bayi berjenis perempuan yang masih berlumur darah dan dalam kondisi tak bernyawa, di salah satu toilet sekolah. Tak khayal, ini menggemparkan seisi sekolah. Kasus siswi yang melahirkan di toilet sekolah itu terungkap setelah petugas kantin melihat salah seorang siswi kelas X masuk ke toilet setelah berjam-jam tidak keluar juga. Karena khawatir terjadi sesuatu, maka pintu toilet didobrak dan didapati siswi tersebut sudah dalam keadaan tergelak di lantai dengan berlumuran darah. Atas peristiwa itu, pihak sekolah segera mengontak pihak kepolisian untuk menangani dan membawa siswi tersebut ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan serta menghubungi keluarganya. Tak urung, pihak keluarganya pun terkejut mendengar kabar tersebut, karena sebelumnya tidak pernah mereka ketahui kalau anak mereka dalam keadaan hamil (www.kompas.com, 25 Oktober 2012, “Siswi SMA Melahirkan di Toilet Sekolah”). Beberapa hari sebelumnya, media juga ramai memberitakan kasus yang dialami AS, siswi SMP swasta di Depok. Setelah menjadi korban penculikan oleh teman facebook-nya selama seminggu dan diperkosa, dia diusir dari sekolahnya, karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Tak sampai di situ, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Muhamad Nuh ikut menyalahkan korban dengan memberikan komentar yang memojokan berikut: “Akan tetapi dalam kondisi tertentu, bisa saja karena kenakalannya maka sekolah mengembalikannya ke orangtuanya. Soalnya ada yang sengaja, kadang-kadang ada yang sama-sama senang, ngakunya diperkosa." (www.republika.co.id, 11 Oktober 2012). Peryataan Menteri Pendidikan yang melecehkan korban perkosaan ini tentu menuai berbagai kritik. Federasai Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Koalisi Pendidikan langsung mengadakan konferensi pers pada 14 Oktober 2012 di Kantor ICW untuk menuntut Mendikbud mundur dari jabatannya. "Sebagai seorang menteri, seharusnya M Nuh mempelajari UU 23/2002 mengenai Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa 'setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi sesuai martabat mereka sebagai manusia, dan harus dilindungi dari kekerasan dan diskriminasi", papar Sekjen FSGI, Retno Listyarti (www.tribunnews.com). Senada dengan FSGI, Aliansi Perempuan Tolak Perkosaan pun melakukan aksi di depan kantor Kemendikbud meminta pertanggungjawaban menteri atas pernyataannya. Dalam pernyataan sikapnya, aliansi yang terdiri atas kelompok lakilaki dan perempuan menolak bentuk kekerasan, dengan menyatakan sikap:
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
1. Meminta dengan tegas supaya Mendikbud membuat pernyataan ulang dengan subtansi melindungi remaja perempuan dari kekerasan seksual dan diskriminasi serta tidak lagi menyudutkan remaja perempuan atas kehamilannya. 2. Meminta dengan tegas supaya Mendikbud sebagai pejabat publik, yang bertanggung jawab atas pendidikan di Indonesia untuk dengan serius menjadikan kasus ini sebagai bagian dari rencana kurikulum pendidikan tentang perlunya pendidikan seks dan kesehatan reproduksi untuk remaja, dalam arti sebenarbenarnya menghindarkan remaja dari kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual dan pengetahuan tentang tubuh dan seksualitas. 3. Menuntut Mendikbud memberikan teguran keras kepada pihak sekolah untuk melakukan tindakan diskriminatif tanpa mempedulikan hak korban serta peringatan untuk tidak diulangi di sekolah-sekolah lain. Aliansi Perempuan Menolak Perkosaan juga menilai pernyataan diskriminatif Menteri Pendidikan tersebut sangat kontra produktif terhadap upaya penegakan Hak Asasi Manusia sebagai tercantum dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 23 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Seharusnya pemerintah memberikan jaminan keamanan dan pemenuhan hak masyarakat, khususnya perempuan dan anak untuk bebas dari kekerasan dan diskriminasi. Berhenti Menyalahkaan Korban! Apa yang dialami siswa SMK di Ponorogo dan siswa SMP di Depok tersebut, mungkin juga dialami sebagian besar remaja Indonesia lainnya. Mengingat saat ini, jumlah remaja Indonesia menduduki kelompok usia terbesar. Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2011, menunjukkan bahwa remaja rentang usia 10-24 tahun masih dalam kelompok dengan jumlah paling besar, yakni 64,8 juta orang. Yang terbagi menjadi: usia 10-14 tahun berjumlah 23.55.263, usia 15-19 tahun berjumlah 21.400.095 dan usia 20-24 tahun berjumlah 19.931.296. Dari data remaja 10-24 tahun tersebut, jumlah perempuan yakni 32.006.267 orang dan laki-laki adalah 32.839.984 orang. Dengan jumlah remaja yang besar itu akan menjadi kelompok yang rentan terhadap pelbagai masalah terkait kesehatan reproduksi, seperti kehamilan di usia muda, kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual (HIV dan AIDS), aborsi yang tidak aman, maupun kekerasan berbasis gender. Hampir setiap hari media massa memberitakan penemuan mayat bayi di jalan, di tong sampah, di sungai dan lainnya. Tak jarang media massa menginformasikan adanya seorang remaja yang meninggal karena aborsi atau dipaksa aborsi oleh pacarnya. Bahkan sering dimuat berita tentang kematian seorang remaja, karena melahirkan di usia dini. Berbagai persoalan terkait dengan kesehatan reproduksi remaja baik kehamilan yang tak diinginkan maupun menjadi korban perkosaan biasa kita lihat dan dengar beritanya di teve. Sayangnya, aparat yang berwenang dan pemerintah tiada pernah mencari akar masalah yang terjadi pada remaja. Sering mereka dipersalahkan atas apa yang terjadi tanpa menyelesaikan persoalannya.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
Pemerintah dan dunia pendidikan lupa bahwa banyaknya kasus yang terkait dengan kesehatan reproduksi remaja karena mereka tidak mengetahui tentang itu serta tidak tahu ke mana harus mengadu ketika sesuatu terjadi atas tubuhnya. Karena itu, ketika terjadi kehamilan yang tak diinginkan, karena ketidaktahuannya, maka mereka memilih untuk membuang bayinya atau melakukan aborsi yang tidak aman. Padahal melakukan hal itu nyawalah yang menjadi taruhannya. Apa yang terjadi pada siswa SMK di Ponorogo itu menjadi contoh bahwa ia tidak mengetahui apa yang terjadi pada atas tubuhnya. Dari pemberitaan media massa, korban selama ini tinggal bersama dengan nenek dan ayahnya, sedangkan ibunya, karena kemiskinan, sudah 12 tahun terakhir bekerja di Hongkong sebagai TKI. Korban mungkin tidak tahu ke mana ia harus mengadu saat terjadi sesuatu atas tubuhnya. Bisa jadi, ia sendiri tidak mengetahui kalau dirinya dalam keadaan hamil. Hal itu terjadi karena masyarakat sendiri melarang remaja membicarakan seksualitas tubuhnya. Pembicaraan tentang organ seksual hanya boleh dilakukan oleh orang yang dianggap sudah dewasa. Bagi remaja, hal itu tabu dibicarakan. Kehamilan siswa akibat perkosaan, karena tidak berani mengadukan pelakunya, maka korban hanya diam menanggung derita. Banyak hal mungkin berperan terhadap kehamilan siswa tersebut. Namun, masyarakat sering menilai negatif terlebih dulu terhadap korban. Kalau ia hamil, maka itu kesalahan korban karena dianggap sebagai anak yang tak bermoral. Masyarakat tak pernah mencari tahu kenapa ia hamil. Ketika kehamilan terjadi, masyarakat tak mau menyalahkan pihak laki-laki, tetapi selalu pihak perempuan yang dikorbankan. Masyarakat menjadi lupa bahwa kehamilan terjadi, karena bertemunya sperma dan sel telur. Artinya, kehamilan terjadi atas aktifitas seksual kedua jenis kelamin. Kuatnya pandangan patriarkhal di masyarakat, perempuan selalu dianggap sebagai makhluk yang bersalah. Apapun yang dilakukan perempuan, dalam budaya patriarkhal, dianggap suatu yang menyalahi kondrat. Tak heran kemudian banyak pernyataan yang mendiskriminasi datang dari kalangan masyarakat maupun oleh pejabat publik, seperti oleh Kemendikbud. Pernyataan pejabat publik yang menuai berbagai kritik juga disampaikan oleh Fauzi Bowo, ketika masih menjabat sebagai Gubenur DKI Jakarta. Saat itu, Fauzi Bowo mengomentari maraknya korban perkosaan di angkutan umum. Alih-alih member perlindungan pada korban, justru menyalahkan korban karena memakai rok mini. "Saya mengimbau, kaum hawa tidak mengenakan rok mini saat naik angkutan kota" (www.metronews.com (16/09/2011). Menanggapi pernyataan itu, Aliansi Perempuan Menolak Perkosaan melakukan aksi protes terhadap penyataan Fauzi Bowo. Dalam aksi di Bunderan Hotel Indonesia, Minggu 18 September 2011, Aliansi Perempuan Menolak Perkosaan mengecam pernyataan pejabat publik yang menyalahkan cara berpakaian korban perkosaan dan mencurigai adanya andil perempuan dalam serangan perkosaan. Yang jelas, harus diusut dan diungkapkan kejahatan pelaku perkosaan, mencakup identitas, modus dan sistematika tindak perkosaannya. Selain itu, Aliansi
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
Perempuan Menolak Perkosaan menuntut aparat penegak hukum lebih serius dan tangkas menangani perkara hukum semua kasus perkosaan, termasuk mempelajari akar masalah secara utuh sesuai dengan amanat undang-undang dan tujuan regulasi untuk mencapai keadilan hukum. Juga menuntut pemerintah daerah untuk menjamin keamanan di angkutan umum dan di ruang publik bagi warga masyarakat, serta memperbaiki tata kelola sistem transportasi untuk masyarakat di ibukota. Terkait dengan diskriminasi dalam pendidikan, kita masih ingat peryataan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, Bapak Harun, yang mana ia melarang siswa hamil untuk mengikuti ujian nasional. Siswa yang hamil diarahkan untuk mengikuti ujian paket C setelah pelaksaan resmi ujian nasional. Menurutnya, siswa yang hamil saat menempuh masa belajar merupakan kegagalan pendidikan. Ia juga mengungkapkan sekolah sejatinya tak hanya menempuh kurikulum, tetapi juga mengajarkan norma dan pendidikan karakter siswa. Masa pendidikan formal bukanlah masa bagi orang yang sudah menikah, apalagi hamil. Menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur itu, ada pelanggaran hakikat pendidikan jika siswa hamil diperbolehkan mengikuti ujian nasional, walaupun larangan bagi siswa hamil memang tidak diatur dalam UU pendidikan, namun menurutnya, hakikat pendidikan adalah mencetak manusia yang berperilaku normatif dalam keseharian. Dia menambahkan, sekolah sebenarnya bisa tidak meluluskan siswa yang melanggar norma, karena kelulusan siswa 60 persen dari hasil ujian nasional dan 40 persen dari penilaian sekolah. Sama seperti terhadap siswa yang terlibat narkoba atau terlibat aksi kriminal, sekolah berhak mengeluarkannya. (Analisa Media Kalyanamitra, April, 2012). Tak seharusnya para pejabat di Indonesia berlaku diskriminatif terhadap perempuan, karena sejak tahun 1984 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan atau CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984. CEDAW merupakan konvensi yang secara khusus/spesifik mempromosikan dan melindungi hak-hak asasi perempuan secara menyeluruh di bidang Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial, dan Budaya; di ruang publik hingga di ruang privat. CEDAW menetapkan prinsip-prinsip dan ketentuan untuk menghapus kesenjangan, subordinasi, dan tindakan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, yang merugikan perempuan dalam hukum, keluarga dan masyarakat. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin tiap anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, seperti tertuang dalam Pasal 28B ayat 1 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan pasal Pasal 28C ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”, serta Pasal 31 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Selain itu, juga dijamin oleh UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 9 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”, juga Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 50. Diskriminasi dalam bidang pendidikan melanggar Deklarasi Dunia Pendidian Untuk Semua (PUS), khususnya tujuan 5: “Menghapuskan kesenjangan gender pada pendidikan dasat dan menengah dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015 dengan focus memastikan akses sepenuhnya dan setara bagi anak-anak perempuan atas pendidikan dasar berkualias”. Juga Deklarasi Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals), khususnya tujuan 2 dan 3, yakni mencapai pendidikan dasar untuk semua dan mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Dengan berbagai kebijakan tersebut, harusnya negara dapat menjamin tiap anak, baik laki-laki dan perempuan, untuk memperoleh semua yang menjadi haknya serta menghapuskan diskriminasi gender, karena UUD 1945 dan CEDAW menjamin kesetaraan. Siswa SMK di Kabupaten Ponorogo dan siswa SMP di Depok adalah korban ketidaktahuan dan ketidakpedulian aparat pendidikan untuk memberikan pendidikan seksual yang komprehensif, yang dibutuhkan remaja. Berhenti menyalahkan korban dan mencari akar persoalan yang ada, menjadi tugas pemerintah dan masyarakat umumnya. Selama akar masalahnya tidak ditangani dengan benar, maka apa yang dialami oleh siswa SMK di Ponorogo dan siswa SMP di Depok akan terus mewarnai dunia pendidikan di Indonesia. Pentingnya Pendidikan tentang Kesehatan Reproduksi Remaja dirumuskan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja, menurut WHO (Badan PBB untuk kesehatan dunia), adalah 12 sampai 24 tahun. Hampir semua remaja di belahan bumi mana pun, saat ini berada dalam situasi yang penuh godaan dan ujian. Perkembangan teknologi komunikasi, hiburan, dan budaya pop telah mengubah wajah dunia. Keadaan ini tidak mungkin dibendung dengan mengurung anak-anak di rumah atau menyediakan berbagai fasilitas canggih di rumah. Karena kehidupan menuntut mereka untuk tampil luwes dan bergaul dengan dunia luar. Itulah yang mendorong mereka lebih menyukai berbagai kegiatan di luar rumah, seperti ke diskotik, kegiatan ekstra sekolah, berwisata, berkemah atau sekedar jalan-jalan ke mal. Masa remaja merupakan masa penuh gejolak. Dalam masa ini, remaja ingin mencoba segala sesuatu yang ia temukan. Sering karena proses mencoba, entah karena keingintahuan sendiri atau karena pengaruh lingkungannya, remaja tidak mengetahui resiko yang akan ditimbulkannya. Pada masa ini mereka membutuhkan perhatian yang lebih dari orang dewasa, karena ini terkait dengan perubahan alat-alat reproduksinya. Maka kehadiran orang dewasa, baik di rumah maupun di sekolah, diperlukan agar ketika terjadi sesuatu terhadap alat reproduksinya, mereka dapat bertanya mengapa hal tersebut terjadi. Sayangnya, hal tersebut hingga kini sulit di peroleh. Karena kerap saat berbicara tentang kesehatan reproduksi, terkait dengan kesehatan seksual, hal itu dianggap tabu untuk disampaikan kepada mereka. Lihat
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
misalnya kasus buku Lembar Kerja Siswa (LKS) di beberapa sekolah yang ditarik kembali, karena di dalamnya mengajarkan tentang alat-alat reproduksi pada manusia. Masyarakat dan kalangan agama menganggap tabu memberikan pendidikan seksual kepada anak-anak. Para orangtua dan guru cenderung membiarkan anak-anak untuk mencari sendiri informasi yang dibutuhkan terkait dengan sistem reproduksinya tanpa memperhitungkan kebenaran informasi tersebut. Sekolah harusnya tak hanya memberikan pendidikan normatif, tetapi juga pendidikan-pendidikan yang kritis terhadap siswanya. Selama ini, pendidikan formal hanya menyekoki siswa dengan pelajaran “text book” atau sekadar teori-teori yang tak terlalu penting. Kasus yang terjadi di Ponorogo menjadi contoh bahwa remaja membutuhkan pengetahuan terkait dengan alat-alat reproduksinya agar bisa mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Ketidaktahuan cenderung menjerumuskan para remaja ke jurang kehancuran. Kalau mereka memiliki pengetahuan yang mendalam terkait kesehatan reproduksinya, maka kasus kehamilan tak diinginkan atau pun melahirkan di dalam toilet, tidak akan terjadi. Menjadi kewajiban dunia pendidikan, untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif agar mereka memiliki informasi yang benar. Masalahnya, sekolah cenderung memberikan pelajaran yang normatif yang tidak sesuai dengan konsisi yang ada. Sama halnya dengan yang terjadi pada siswa SMP di Depok tersebut. Dalam era teknologi modern yang makin canggih, maka kita bisa berbuat apa saja. Jejaring sosial yang makin digemari berbagai kalangan, tidak hanya remaja, bahkan orang tua dan manula. Tanpa pengetahuan yang memadai akan mudah terjerumus dalam pergaulan bebas. Media sosial di mana semua orang bisa bertemu dengan orangorang baru yang ingin dikenali, tanpa kontrol lingkungan, maka ia mudah percaya dengan orang-orang baru. Akhirnya ia menjadi korban. Semua terjadi karena ketidaktahuannya yang mudah percaya terhadap orang yang baru dikenalnya. Dengan banyaknya persoalan kesehatan reproduksi remaja, maka pemberian informasi, layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja, menjadi sangat penting. Masalah remaja yang disebutkan itu berkait erat dengan kesehatan reproduksi, dan sering berakar dari kurangnya informasi dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi. Di sisi lain, remaja sendiri mengalami perubahan fisikal yang cepat. Remaja memerlukan pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif sedini mungkin. Pendidikan kesehatan reproduksi tentu tidak ada hubungannya dengan teknik-teknik hubungan seks, seperti selama ini ditakutkan oleh masyarakat luas. Pendidikan yang diberikan merupakan kumpulan pengetahuan yang berisi pengenalan dan fungsi-fungsi organ reproduksi (termasuk proses terjadinya menstruasi, mimpi basah), proses pembuahan, penyakit infeksi, HIV/AIDS, kepekaan gender, dan risiko-risiko hubungan seks yang tidak bertanggungjawab.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
Tanpa pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif akan mendorong peningkatan kehamilan tidak diinginkan pada remaja. Padahal kehamilan ini dapat mendorong korban melakukan aborsi. Berdasarkan data WHO, setiap tahun, 15 juta remaja mengalami kehamilan yang mana 60 %-nya berupaya mengakhiri dengan tindakan berbahaya. Ketika mengambil keputusan untuk mengakhiri kehamilan dengan aborsi, di dalam lingkungan yang masih melarang hal itu, akan mendorong mereka melakukan aborsi tidak aman. Hal ini dapat menimbulkan komplikasi akibat aborsi berupa perdarahan, infeksi pasca aborsi, bahkan sepsis yang menyebabkan kematian. Di sisi lain, pengetahuan remaja tentang resiko melakukan hubungan seksual masih sangat rendah karena kurang informasi mengenahi seksualitas dan reproduksi. Pendidikan kesehatan reproduksi bisa membekali remaja dari resiko pelecehan dan kekerasan seksual, kehamilan tak diinginkan serta mencegah penularan penyakit seksual dan HIV/AIDs. Isu kesehatan reproduksi remaja sudah dibicarakan dalam International Conference on Population Development (ICPD) Cairo tahun 1994 dan Beijing Platform tahun 1995. Itu karena isu kesehatan reproduksi menjadi hal yang penting, terutama karena minimnya perhatian dan layanan bagi remaja yang memiliki masalah dalam kesehatan reproduksinya. Berbicara kesehatan reproduksi tentu berkait dengan kesehatan seksual, sebagai elemen penting yang harus dipertimbangkan dalam melakukan program kesehatan reproduksi. Dalam ICPD, ada 4 kerangka tujuan yakni agar setiap kegiatan seks harus bebas dari paksaan serta berdasarkan pilihan yang dipahami dan bertanggung jawab; setiap tindakan seks harus bebas dari infeksi. Di antaranya, dengan kondomisasi bagi yang aktif secara seksual dengan lebih dari satu pasangan; setiap kehamilan dan persalinan harus diinginkan dan setiap kehamilan dan persalinan harus aman. Sementara ICPD Cairo mendefinisikan “kesehatan reproduksi” sebagai: “Keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial, dan bukan sekedar tidak adanya penyakit atau gangguan segala hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya maupun proses reproduksi itu sendiri”. Dengan demikian, kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa tiap orang dapat menikmati kehidupan seks yang aman dan menyenangkan, dan mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi, serta memiliki kebebasan untuk menetapkan kapan dan seberapa sering mereka ingin bereproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi juga mencakup kesehatan seksual, yang tujuannya untuk meningkatkan kehidupan dan hubungan antar pribadi, tidak semata merupakan konseling dan layanan yang berhubungan dengan reproduksi dan penyakit menular seksual (Mohamad, 1998: 154; UNFPA, 1996:46). Dari definisi itu, dapat dilihat bahwa kesehatan reproduksi sangat berkait erat dengan kesehatan seksual. Dengan kata lain, kesehatan seksual harus dipertimbangkan dalam program kesehatan reproduksi (Mueller, 1993: 277). Untuk nembedakan kedua hal itu, maka kesehatan seksual lebih memfokus diri pada kondisi alat seksual seseorang dan kesehatan reproduksi lebih menekankan pada alat reproduksi. Dengan lain kata, kondisi seksual seseorang harus bisa dinyatakan sehat apabila
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
terlindung dari kemungkinan terular PMS (Penyakit Menular Seksual) akibat hubungan seksual; terlindung dari praktek dan kekerasan seksual; mempunyai kontrol terhadap akses seksualnya; bisa memperoleh kenikmatan dan kepuasan seksual; serta bisa mendapatkan informasi yang memadai tentang seksualitasnya (Darwin, 19964:4). Seseorang bisa dikatakan tidak mempunyai gangguan reproduksi apabila aman dan terlindung dari KTD (Kehamilan Tidak Dinginkan); aborsi yang tidak aman; bebas memilih metode kontrasepsi yang cocok; mempunyai perawatan dan pelayan reproduksi yang aman; termasuk perawatan kemandulan (Darwin, 1996:4). Dalam perkembangannya, redefinisi kesehatan reproduksi termaktub dalam Platform for Action yang diadopsi dalam Konferensi Perempuan Sedunia ke-5, tahun 1995 di Beijing, merumuskan kesehatan reproduksi sebagai: “Suatu kondisi fisik, mental dan sosial yang sehat dan bukan semata-mata tidak ada penyakit atau kelainan/cacat, tetapi juga sehat dalam segala hal yang berhubungan dengan fungsi-fungsi dan proses sistem reproduksi. Dengan demikian, kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa tiap orang bisa memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman. Juga meyakinkan, bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi serta kebebasan untuk memutuskan apakah, kapan dan seberapa sering mereka melakukan proses tersebut.” Merujuk Beijing Platform, maka tersirat bahwa hak laki-laki dan perempuan untuk mengetahui dan memiliki akses terhadap metode keluarga berencana yang aman, efektif, terjangkau dan bisa diterima sesuai pilihan mereka. Juga metode-metode kontrasepsi lain yang sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum, serta hak untuk mendapatkan akses terhadap layanan perawatan kesehatan yang memungkinkan para perempuan melalui kehamilan dan kelahiran secara aman dan memberikan peluang terbaik kepada pasangan suami isteri untuk memiliki bayi yang sehat.” (FWCW Platform for Action, ayat 94). Penutup Kesehatan reproduksi remaja merupakan hal penting karena selama ini perhatian dan layanan bagi mereka yang memiliki persoalan dan kebutuhan khas, masih terabaikan. Sementara itu, persoalan remaja makin besar dan luas. Mempersoalkan kesehatan reproduksi remaja saat ini, menjadi penting karena tidak terbendungnya arus perubahan sosial, budaya dari dalam, maupun dari luar masyarakat kita saat ini. Remaja perlu diberikan pemahaman dan pencegahan sedini mungkin untuk menghadapi persoalan remaja dengan segala resiko yang harus dihadapi. Solusinya, memperhatikan dan mencari solusi atas persolan dan kebutuhan remaja. Sudah saatnya hal-hal yang kontraproduktif dan polemik yang mempertentangkan antara pendidikan kesehatan reproduksi dengan pornografi. Area pembatas kedua hal ini sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kekhawatiran bahwa dengan informasi pendidikan kesehatan reproduksi para murid akan meniru, sangat berlebihan, karena dalam pendidikan kesehatan reproduksi memang tidak ada
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kesepuluh, Oktober 2012 EdEEEEEE
sesuatu yang patut ditiru. Sebenarnya, tidak ada sesuatu yang patut dicurigai atau dikhawatirkan. Sudah saatnya tidak lagi menganggap seksualitas tabu bagi remaja, karena di tengah perkembangan teknologi yang makin modern, mereka dapat memperoleh berbagai informasi, dan jangan sampai mereka terjerumus oleh informasi yang keliru.
*****
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id