Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
Masih Adakah Keadilan Itu? Pengantar Pada 17 Agustus 2012 bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-67, artinya usia negara ini sudah 67 tahun. Usia yang tidak muda lagi, bila itu usia seorang manusia. Namun bagi sebuah negara bisa saja dikatakan baru menginjak usia dewasa. Terlepas dari semua itu, negara ini merdeka atas perjuangan para pahlawan bangsa yang gigih merebutnya dari tangan penjajah yang berabad-abad menguasai negeri ini. Mereka gigih mempersatukan bangsa yang terdiri atas riabuan pulau, suku, bahasa, adat dan budaya. Sejarah panjang bangsa ini hingga menginjak usia ke-67 tahun baik dan buruknya tak dapat terlepas dari pasang surutnya perjuangan itu. Maka apa yang menjadi slogan Bung Karno, sang proklamator, hingga kini kerap terdengar yakni “JAS MERAH”; artinya “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Dalam sebuah pidatonya, Sukarno pernah berkata “Djikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri di atas vacuum, engkau akan berdiri di atas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap”. Untuk itu, sejarah tak dapat terpisahkan dari kehidupan kita, bagaimanapun kita ingin melupakannya. Dalam perjalanannya, bangsa ini juga memiliki sejarah kelam yang belum terungkapkan. Sejarah itu ialah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) atau sering disebut Peristiwa 65, yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam peristiwa tersebut, diperkirakan 500.000 sampai 3.000.000 orang tak bersalah menjadi korban pembantaian. Peristiwa 65 bukan satu-satunya hutang sejarah yang belum diselesaikan negara. Peristiwa lainnya yang hingga kini belum jelas penyelesaiannya peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958, kasus Referendum di Timor Timur (1999) dan kasus Tanjung Priok (1984). Kemudian tercatat peristiwa penculikan aktivis mahasiswa (1998), kasus Poso (1998-2000), Ambon (1999) dan kasus Dayak-Madura (2000). Babak Baru Penyelesaian Peristiwa 65 Akhir Juli 2012 lalu, pengungkapan peristiwa 65 menemukan babak baru. Setelah melakukan penyelidikan selama kurang lebih 4 tahun, tim adhoc penyelidikan pelanggaran HAM Berat peristiwa 1965-1966 yang dibentuk Komnas HAM menggolongkan Peristiwa 65 sebagai pelanggaran HAM berat, karena terjadi secara sistematis dan meluas meliputi seluruh wilayah di Indonesia. Komnas HAM juga mengeluarkan dua rekomendasi untuk menindaklanjuti penanganan peristiwa tersebut. Pertama, sesuai dengan ketentuan pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Jaksa Agung diminta menindaklanjuti hasil penyelidikan itu dengan melakukan penyidikan. Kedua, sesuai
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
dengan ketentuan pasal 47 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, maka hasil penyelidikan tersebut dapat juga diselesaikan melalui mekanisme non yudisial demi terpenuhinya rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Dalam penyelidikannya, Komnas HAM melakukan pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksisaksi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Hal tersebut dilakukan untuk menunjukan bahwa tindakan tersebut terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Dari hasil penyelidikan tersebut, Komnas HAM menemukan sembilan pelanggaran HAM, yakni pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Maka sesuai dengan Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, seluruh pelanggaran itu adalah kejahatan hak asasi manusia berat. Hasil penyelidikan Komnas HAM diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kedua lembaga ini yang kelak menentukan tindak lanjut atas temuan tersebut. Kewenangan untuk membuka pengadilan adhoc untuk pelanggaran HAM berat masa lalu memang ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Tanggapan Korban Peristiwa 65 Tanggapan disampaikan oleh korban maupun masyarakat luas terkait rekomendasi dari Komnas HAM tersebut. Beberapa tahanan politik kasus kekerasan massal di awal masa pemerintahan Orde Baru menyatakan kegembiraan dan harapannya atas keluarnya laporan penyelidikan Komnas HAM itu. Namun, ada dari mereka yang menanggapi dingin temuan tersebut. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), sebagai organisasi yang selama ini banyak mendampingi korban penghilangan paksa, pada 25 Juli 2012 membuat konferensi pers dengan menghadirkan banyak saksi sejarah kasus kekerasan massal tersebut. Dalam konferensi pers itu, para korban mengatakan bahwa sudah terlalu banyak diskriminasi yang mereka alami dan segala manipulasi sejarah harus segera dihapuskan. Rasa lega disampaikan Sri Lestari, perempuan berumur 82 tahun yang sempat ditahan tanpa diadili selama 11 tahun 4 bulan di Penjara Malang, Jawa Timur dalam konferensi pers tersebut, seperti apa yang diliput oleh www.beritasatu.com berjudul “Mantan Gerwani Lega Ada Titik Terang Peristiwa 1965” (25/7). Perempuan yang pernah menjadi pimpinan Gerwani tingkat Kabupaten Bojonegoro ini mengatakan hasil laporan Komnas HAM berhasil membuatnya merasa lega. Hal itu baginya merupakan angin segar dan titik terang untuk penyelesaian kasus yang terlantar selama lebih dari 40 tahun. "Keputusan ini membawa perasaan adem ayem. Untuk itu, saya berdoa agar perjuangan kami bisa berhasil dan semua berjalan dengan baik. Semoga kami
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
bisa kembali tertawa bersama keluarga dan teman-teman yang telah tersiksa hidupnya selama ini”. Senada dengan Sri Lestari, keluarga besar Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) juga memberikan apresiasi atas kerja keras Komnas HAM tersebut. Hasil yang dilaporkan Komnas HAM juga menjadi apa yang dikehendaki oleh lembaga ini. Sebelumnya YPKP 65 sempat merasa khawatir, bahwa kasus itu akan ditutup semeninggalnya Soeharto. "Sempat ada kabar kasus ini akan ditutup karena Soeharto telah meninggal dunia. Tapi, kami sebagai korban yang telah merasakan sendiri kejadiannya yang ada merasa itu tidak adil. Para pelaku yang ada sungguh biadab, karena memaksa kerja kami dengan keadaan yang sungguh terbatas," ujar Bejo dari YPKP 65 (www.beritastu.com) Lain dengan Sri Sulistyawati, 72 tahun, yang sempat dipenjara selama 11 tahun 6 bulan di Penjara Bukit Duri. Mantan wartawan Warta Bakti dari Grup Sinpo ini menegaskan keinginannya agar bukti-bukti manipulasi sejarah dapat segera dihapus, seperti film G 30 S/PKI yang disutradarai Arifin C Noer dan Monumen Pancasila di Lubang Buaya. Selain itu, ia pun membagikan pengalaman menariknya saat menjadi tahanan politik selama bertahun-tahun lamanya. "Saat di Penjara Bukit Duri, hati saya panas sekali ketika melihat pengambilan gambar film G 30 S/PKI yang dilakukan dalam aula penjara itu. Di sana diperlihatkan sosok anggotaanggota PKI yang sedang merokok hingga puntung-puntung tertumpuk begitu tinggi. Padahal, syarat untuk masuk menjadi anggota PKI di masa lampau ada dua: tidak boleh poligami dan tidak boleh merokok!" tutur Sri dengan berapi-api. Sementara itu, www.tempo.co, 25 Juli 2012 memberitakan sejumlah korban tragedi 1965 di Jawa Timur menanggapi dingin rekomendasi Komnas HAM yang meminta Jaksa Agung menyidik kasus kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 1965. "Saya tidak banyak berharap. Lah peristiwa kejahatan kemanusiaan pada 1998 saja tidak selesai hingga saat ini, apalagi peristiwa 1965," kata Pardi. Pardi yang juga mantan guru mengatakan bahwa kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 1965 tersebut mungkin bisa terungkap pada puluhan tahun lagi dengan rezim baru. "Saya tidak mau berharap karena hal kayak gini bisa membuat kami-kami mati mendadak. Korban terlanjur berharap namun nyatanya enggak ada apa-apa, nantinya kan justru tambah bikin sakit hati. Jadi kami biasa-biasa saja", tulis Tempo. Sikap Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Menangapi hasil temuan Komnas HAM, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memerintahkan Kejaksaan Agung untuk mempelajari rekomendasi tersebut. Pada saat
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
bersamaan, dirinya akan berkonsultasi dengan MA dan DPR atas penanganan kasus di masa lalu tersebut (www.detik.com) Dalam keterangan pers seusai rapat kabinet di Kantor Kejaksaan Agung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta, Rabu (25/7/2012), SBY sebelumnya menyatakan bahwa Indonesia berniat kuat untuk menyelesaikan semua kasus pelanggaraan HAM berat. Tidak terkecuali, kasus yang terjadi di masa lalu. Namun penyelesaiannya harus dengan melihat secara jernih apa yang berlangsung di masa lalu. Tidak lantas memutarbalikkan sejarah bangsa yang berkait dengan banyak pihak tersebut. Bila merujuk pada pengalaman negara lain, maka setidaknya ada tiga cara yang bisa ditempuh, yakni rekonsiliasi, pendekatan hokum, dan truth. "Karena ini menyangkut sejarah bangsa, saya akan konsultasilkan ke lembaga Negara lainnya, seperti dengan MA dan DPR. Kita mau menyelesaikan masalah secara cerdas, faktual dan konstruktif," ujar SBY (www.detik.com) Kontra Rekomendasi Kalangan Reaksioner Sementara www.jurnas.com, Senin, 6 Agustus 2012 menuliskan ada komunitas yang menamakan dirinya Front Anti Komunis (FAK) Jawa Timur mendatangi Kejaksaan Agung. Mereka menuntut Jaksa Agung mengabaikan rekomendasi Komnas HAM atas penyelidikan peristiwa 1965-1966. Ketua Umum FAK Jatim, Arukat mengatakan, Komnas HAM dalam penyelidikan menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah terhadap sejumlah masyarakat pada 1965-1966. Meskipun tidak menyebutkan secara gamblang, masyarakat yang dimaksud tersebut yakni simpatisan PKI. Menurutnya, sikap Komnas HAM ini telah mengkhianati konstitusi dan diduga dilatari oleh desakan sejumlah massa komunis berkedok LSM. Dengan membuka kembali kasus ini, maka bisa memutarbalikkan sejarah. Pasalnya, pemerintah melakukan pemusnahan terhadap simpatisan komunis karena berbagai sebab. Di antaranya, pembunuhan terhadap sejumlah jenderal atau dikenal dengan peristiwa G30S. “Jenderal-jenderal itu siapa yang membunuh, sedangkan peristiwa 65-66 itu satu rangkaian. Jika saat itu terjadi konflik itu konflik sipil. Implikasi ini kalau tidak dihadapi secara kritis saya khawatir Kejagung termakan oleh bedak demokrasi komunis,” kata Arukat saat audiensi di Kejagung, Jakarta (www.jurnas.com). Ia juga mempertanyakan, kenapa Komnas HAM justru memilih menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah terhadap simpatisan PKI. Padahal ada banyak peristiwa lain seperti persitiwa 1948, Sampit, hingga Poso yang juga mengakibatkan jatuhnya korban masyarakat sipil. Menurutnya, pemerintah tidak perlu melakukan rekonsiliasi seperti desakan Komnas HAM. “Kami menuntut Komnas HAM untuk membatalkan rekomendasi, kami juga menuntut Kejagung tidak memenuhi permintaan Komnas HAM membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc”. Ketua Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama di Jatim, Ahmad Jazuri juga menyayangkan hasil
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
penyelidikan Komnas HAM yang merekomendasikan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan pemerintah terhadap simpatisan PKI. Hal ini menyakiti warga NU yang pada masa itu banyak menjadi korban kekejaman komunis. “Kami harap Jaksa Agung lebih arif dan bijak terkait masalah ini sehingga tidak menyakiti kami warga NU,” katanya. Sementara itu, Baharuddin dari Forum Kajian Citra Bangsa mengatakan bahwa rekomendasi Komnas HAM itu justru menempatkan PKI dan organisasinya sebagai korban kejahatan, bukan sebagai pelaku kejahatan. Padahal fakta sejarah menunjukkan pada 1964 terjadi pembunuhan tokoh-tokoh agama dengan pelaku kaum komunis saat itu. “Rekomendasi Komnas HAM ini tidak berimbang dan menunjukkan keberpihakan Komnas HAM kepada PKI,” katanya. Penolakan terhadap rekomendasi tersebut juga dilakukan di Bandung, seperti yang ditulis www.tempo.co, Sabtu, 4 Agustus 2012. Penolakan dideklarasikan dalam bentuk penandatangan petisi di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Hadir dalam deklarasi itu: Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, mantan Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Nuriana, serta politikus lokal Jawa Barat seperti Otje Popong Djundjunan, Cece Padmadinata, Uu Rukmana, dan Kiki Syahnakri. Para penandatangan petisi juga mewakili organisasi seperti Pepabri, BPK 45 Jabar, LVRI, Pemuda Pancasila, dan Majelis Ulama Indonesia. Dalam deklarasi yang dibacakan Ketua KNPI Jabar, Husni Farhani Mubarok, para penandatangan petisi menegaskan penolakan atas kembalinya ideologi komunisme di Indonesia. Selain itu, mereka juga menolak rencana Presiden SBY untuk meminta maaf kepada para korban pembunuhan massal 1965. Mereka juga menolak adanya pengadilan HAM adhoc terhadap pelaku pembunuhan ratusan ribu orang yang dituduh PKI pada 1965, seperti rekomendasi Komnas HAM. “Terakhir, kami menuntut pemerintah mewujudkan keadilan sosial secepatnya,” kata Husni. Demikian juga dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyatakan penolakan atas rekomendasi Komnas HAM soal kasus pelanggaran pembantaian 1965-1966. Seperti dituliskan www.tempo.co, Rabu 15 Agustus 2012, Ketua Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid mengatakan PBNU mendorong upaya rekonsiliasi, tetapi dia meminta pengakuan negara atas adanya kasus pembantaian tersebut tak perlu dikejar, karena menurutnya hal tersebut tidak baik dan tidak konstruktif bagi kepentingan bangsa ke depan. Nusron menilai upaya mengungkit sesuatu yang sudah terjadi berpotensi membangkitkan kembali permusuhan antar kelompok dan golongan. Menurutnya, yang terpenting saat ini adalah perdamaian dan rekonsiliasi. Meskipun begitu, dia menolak jika rekonsiliasi didahului dengan pengakuan dan permintaan maaf resmi dari pemerintah atas tragedi 1965. “Waktu itu, banyak NU jadi korban, PKI jadi korban, masak mau diungkit lagi?” katanya.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
Pemulihan Hak Kaum Perempuan (Gerwani) Peristiwa G30S sudah berlangsung lebih dari 40 tahun, namun apa yang menjadi temuan dan rekomendasi Komnas HAM membawa angin segar bagi korban yang telah lama menantinya. Karena, hingga kini pengalaman pahit yang dialami para korban tidak mudah untuk dilupakan. Stigma negatif terus melekat pada diri mereka dan keluarganya. Padahal, mereka sendiri banyak yang tidak tahu apa yang menjadi kesalahannya, karena dipenjara tanpa melalui proses pengadilan. Mereka tetap berharap mendapatkan keadilan akibat peristiwa tersebut. Selain berharap ada pelurusan sejarah yang benar. Demikian dengan mereka yang menolak rekomendasi tersebut. Mereka meyakini bahwa apa yang terjadi pada Peristiwa 65 merupakan kekejian yang tidak boleh terulang lagi. Bagi mereka, PKI adalah bahaya laten negara ini yang suatu saat kelak mereka anggap dapat menghancurkan kesatuan dan persatuan bangsa. Mereka ingin menutup masa lalu sebagai bagian dari sejarah dan menatap masa depan untuk mengisi kemerdekaan. Hari ini ada karena hari kemarin serta masa yang lalu. Untuk itu, masa lalu tidak dapat dihilangkan begitu saja. Demikian juga sejarah, sekelam apapun itu, ia merupakan bagian dari perjalanan panjang suatu bangsa, maka harus tetap diakui dan diterima. Meluruskan sejarah yang salah menjadi tugas generasi sekarang, dengan membuka peristiwa yang pernah terjadi. Komnas HAM telah melakukan itu dan menemukan bukti-bukti terkait peristiwa itu. Apa yang menjadi temuan Komnas HAM bisa dijadikan pelurusan sejarah yang sudah jauh dari aslinya, karena Peristiwa 65 telah menyisakan banyak tanda tanya besar bagi mereka yang mengalaminya maupun masyarakat luas. Apakah para tahanan politik itu sebagai pelakunya? Atau, ada kekuatan politik lain yang menjadi dalang peristiwa tersebut? Mereka yang ditahan tanpa mengetahui kesalahannya, apakah pelaku atau korban dari peristiwa tersebut? Peristiwa 65 syarat dengan kepentingan politik perebutan kekuasaan di dalam negeri maupun dari luar negeri, serta bagaimana kekuatan penguasa mempertahankan kekuasaannya. Pemerintahan Orde Baru telah berhasil memutarbalikan fakta sejarah yang ada untuk tetap mempertahankan kekuasaannya selama 34 tahun. Dalam era mereka yang mencoba kritis, yang mempertanyakan kenapa ini terjadi, kemudian dihilangkan paksa atau dimasukan kedalam penjara. Sementara untuk meyakinkan warga negara yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa 65, maka ancaman demi ancaman pun disebarluaskan. Selain itu, berbagai upaya dilakukan termasuk dengan memberikan pemahaman yang sesuai dengan keinginan penguasa melalui pendidikan di sekolah-sekolah. Hal itu dilakukan agar generasi muda meyakini hal itu dan Orde Baru dapat terus berkuasa. Mereka lupa bahwa roda kehidupan terus berputar. Mereka pun lupa bahwa bagaimanapun bau busuk ditutupi, maka suatu saat akan tercium. Demikian dengan fakta sejarah yang ada, dengan kemampuan dan kemauan generasi yang ada, maka akan terkuak apa yang sebenarnya terjadi.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
Penanaman ideologi yang dilakukan terus-menerus hingga mendarah daging akan melahirkan generasi yang hidup dalam banyang-bayang semu sejarah masa lalu. Untungnya, tak semua generasi muda percaya begitu saja. Sebagai anak bangsa, mereka mencoba mencari kebenaran yang ada atas apa yang menjadi dalam perjalanan panjang sejarah bangsa ini. Namun banyak juga yang menyakini apa yang telah ditanamkan selama ini. Maka tak heran, mereka memiliki ketakutan bahwa hal tersebut akan terulang lagi. Reformasi diharapkan akan membawa perubahan baru untuk membuka kembali luka lama itu. Terus berjuang dilakukan oleh mereka yang menjadi korban peristiwa keji tersebut. Tentu dengan tujuan meluruskan sejarah yang sudah diobrak-abrik berdasarkan kepentingan politik penguasa. Melalui berbagai cara, mereka terus bersatu mencari keadilan. Satu demi satu mereka telah berpulang ke pangkuan Tuhan yang maha Esa tanpa memperoleh keadilan. Ironisnya, keluarga yang ditinggalkan pun masih tetap mengalami stigma negatif atas apa yang tidak mereka perbuat. Ketika berbicara tentang Peristiwa 65, kita tak lepas dari nama Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), yang dalam peristiwa tersebut telah menyeret anggota-anggotanya. Dalam cerita yang dibentuk Rezim Orde Baru, mereka diceritakan sangat keji. Dalam sebuah adengan, mereka digambarkan sedang menari telanjang sambil menyilet-nyilet para jenderal dan memotong penisnya. Saskia E. Wieringa, dalam buku yang merupakan hasil disertasinya, yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, terbitan Kalyanamitra dan Garba budaya, mengungkapkan fakta sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru. Hasil penelitian Saskia ini, Gerwani yang selama ini dicap sebagai perempuan bejat, tidak bermoral dan pendukung PKI, sebenarnya turut membangun sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Untuk itu, dalam perspektif penelitian Saskia, Gerwani ditempatkan sebagai korban politik tahun 1965. Sementara itu, penguasa rezim Orde Baru menggunakan simbol seksualitas perempuan untuk menghancurkan gerakan PKI yang dianggap sebagai gerakan makar untuk merebut kekuasaan rezim Orde Baru. Berdasarkan penelitian yang menggunakan perspektif feminism itu, Saskia juga menemukan fakta bahwa Gerwani adalah organisasi massa perempuan yang suaranya sangat keras dalam membela hak-hak perempuan dan anak-anak sesuai dengan keadaan zamannya. Saskia juga menuliskan sejarah berdirinya Gerwani pada tahun 1950, yang awalnya bernama Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar). Gerwis menempuh tiga medan perjuangan: (1) Medan politik: menghadapi unsur-unsur “reaksioner” antara lain yang telah mengorganisasi Peristiwa 17 Oktober 1952 untuk menuntut pembubaran parlemen masa presiden Sukarno; (2) Medan perempuan atau feminisme: melawan Peraturan Pemerintahan Nomor 19 dan menyokong perjuangan untuk undang-undang perkawinan yang demokratis yang diajukan oleh Kongres II
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
KWI tahun 1952; (3) Medan daerah; giat dalam gerakan tani melawan upaya pemerintahan mengusir petani dari tanah garapannya. Gerwis kemudian berubah menjadi Gerwani pada tahun 1954. Selanjutnya, Gerwani menjadi organisasi yang bekerja menggalang massa perempuan seluas-luasnya dan melakukan advokasi di parlemen. Bagi Gerwani yang oleh rezim Orde Baru digambarkan sangat keji, maka musuh ideologis perempuan adalah feodalisme (tradisi, nilai, dan norma warisan keterbelakangan budaya kerajaan-kerajaan pribumi dan kolonialisme Belanda seperti poligami, kawin paksa, perdagangan perempuan untuk dijadikan gundik dan pekerja seks), imperialisme dan kolonialisme (bidang ekonomi: modal monopoli asing yang menghisap kaum tani dan buruh, di bidang politik : penjajahan atas Irian Barat, di bidang budaya : berkuasanya produk film-film Hollywood). Maka itu, strategi perjuangan massa di medan perempuan (femininisme) dan daerah, Gerwani melakukan kegiatan pemberantasan buta huruf, kursus-kursus politik, penanganan bencana alam, mengurus anggota yang menjadi korban kekerasan dan poligami, dan mengurus Taman Kanak-Kanak. Selain itu, Gerwani juga mendukung perjuangan menuju landreform untuk kesejahteraan hak-hak buruh petani perempuan yang miskin. Gerwani mendukung perjuangan Barisan Tani Indonesia (BTI). Perjuangan Gerwani juga dilakukan di tingkat parlemen melalui advokasi RUU Perkawinan yang menjunjung tinggi prinsip hak-hak perempuan. Di medan politik nasional, Gerwani mendukung politik Soekarno terutama sejak tahun 1959, yakni politik antineokolonialisme, kolonialisme, dan imperialism (anti-nekolim). Dalam pemikiran Gerwani, kemajuan perempuan Indonesia dihambat oleh kungkungan kekuasaan tuan tanah feodal dan kekuasaan modal asing (imperialis). Selain mengungkap bahwa sesungguhnya Gerwani adalah organisasi massa perempuan yang aktif dan militan, Saskia berhasil menggali fakta sejarah gerakan perempuan. Gerwani merupakan kelanjutan perjuangan enam organisasi perempuan yang ada masa perjuangan kemerdekaan menuju revolusi nasional demokrasi, yakni Istri Sedar (Bandung), Rukun Putri Indonesia (Rupindo, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan). Pada masa revolusi nasional, para aktivis yang mendirikan Gerwani adalah pejuang gerakan bawah tanah yang terlibat dalam satuan-satuan gerilya melawan Jepang dan Belanda, sedangkan masa pemerintah Soekarno, Gerwani satu-satunya organisasi perempuan yang merambah ke pentas politik nasional. Pemikiran dan perjuangan Gerwani, pada intinya, membentuk perempuan menjadi militan untuk menuntut hak-haknya. Gerwani tidak ada hubungannya dengan simbol seksualitas yang buruk yang dikonstruksi rezim Orde Baru. Simbolisasi Gerwani sebagai perempuan bejat ini merupakan bagian penting Peristiwa Oktober 1965 yang menjadi awal berkuasanya Orde Baru. Gerwani difitnah terlibat dalam gerakan 30 September (G30 S) yang menculik dan membunuh enam
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
Jenderal dan satu Letnan Angkatan Darat di desa Lubang Buaya, Jakarta. Menurut Wieringa, kampanye fitnah dibangun oleh Angkatan Darat untuk melakukan brainwashing terhadap opini masyarakat atas komunisme yang sedemikian amoral dan anti-agama, sehingga mengakibatkan perempuan melupakan tugas-tugas keperempuanan mereka sebagai isteri yang setia, ibu yang baik, dan taat pada ideologi Pancasila dan agama. Tetapi, malah giat dalam politik dan tidak bersusila. Kampanye Angakatan Darat berhasil memanipulasi Gerwani yang militan menjadi perempuan yang bejat moral. Kampanye ini membangunkan kebencian kolektif dan tuntutan pembubaran organisasi komunis dan Gerwani. Pihak-pihak yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia dan Gerwani dibantai, ditangkap dan menjadi tahanan politik selama 14 tahun (1965-1979). Penutup Hasil penelitian Saskia E. Wierenga telah memberikan gambaran tentang peristiwa 65, terutama tentang Gerwani, kepada kita. Demikian juga dengan hasil peyelidikan dan rekomendasi Komnas HAM. Pemerintah seharusnya menggunakan apa yang menjadi temuan Komnas HAM untuk mengakui bahwa ada pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa 65. Rekonsiliasi menjadi satu hal yang bisa dilakukan pemerintah sebagai permintaan maaf terhadap para korban pelanggaran HAM yang berat tersebut. Di samping itu, dalam rangka meluruskan sejarah yang sebenarnya agar generasi mendatang mengetahui apa yang terjadi terkait peristiwa 65, maka perlu mengenal sejarah yang benar. Jika akhirnya Indonesia memutuskan untuk menggelar pengadilan HAM untuk kasus 1965, ini akan menjadi kemenangan besar untuk barisan aktivis HAM dan demokrasi yang telah menuntut penuntasan kasus ini sejak tahun 1998. Demikian juga bagi korban pelanggaran HAM lainnya, karena dengan demikian muncul harapan baru bahwa pelanggaran HAM yang selama ini dipetieskan dapat dibuka kembali dan dilakukan penyelidikan. Sehingga, bangsa ini menjadi bangsa yang tidak lupa akan sejarah masa lalunya; sejarah yang turut mewarnai perjalanan hidup berbangsa dan bernegaranya. Demikian juga dengan para korban, akan mendapatkan keadilan sesuai dengan apa yang mereka perjuangkan selama ini. Bagi gerakan perempuan saat ini, pemikiran dan strategi perjuangan Gerwani sebenarnya masih sangat relevan dengan kondisi ekonomi, sosial, dan politik masyarakat Indonesia yang sedang krisis akibat kekuasaan rezim SBY neoliberalis. Pada masanya, Gerwani berhasil menerobos pembagian kerja secara gender, dengan merumuskan “Dua Segi Perjuangan”. Segi pertama, perjuangan umum berdasarkan asumsi bahwa feodalisme, imperialisme, dan kolonialisme adalah musuh bersama kaum laki-laki dan perempuan. Segi kedua, perjuangan khusus bahwa perempuan menjadi korban feodalisme, imperialisme, dan kolonialisme karena adanya hubungan gender yang tidak adil. Sudah saatnya, gerakan perempuan belajar dari strategi perjuangan Gerwani untuk menghancurkan sistem kapitalis yang patriarkhis.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Kedelapan, Agustus 2012 EdEEEEEE
*****
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 17115 Telp. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id