Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
Pejabat Melanggar Hukum Harus Dihukum!
Pengantar Pemimpin sering dirumuskan sebagai orang yang mampu mengatur, mengelola, serta mengarahkan diri, kelompok, agama, bangsa, atau bahkan dunia. Lebih dari itu, pemimpin merupakan sebuah konsep keteladanan. Artinya, seseorang mampu meneladankan apa yang ia lakukan tanpa sedikit pun ragu. Dengan demikian, tak hanya pengikutnya atau orang-orang terdekatnya yang mau dan mampu ia rangkul untuk meneladani serta berdecak kagum dengan apa yang ia lakukan. Bahkan, musuh sekalipun mengakui bahwa ia teladan yang baik bagi siapapun. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengingkutnya dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Sementara kepemimpinan menurut Edwin A. Locke adalah sebagai proses mempengaruhi orang lain untuk mengambil langkah menuju suatu sasaran bersama. Namun, kebanyakan orang masih cenderung mengatakan bahwa pemimpin yang efektif mempunyai sifat atau ciri-ciri tertentu yang sangat penting, misalnya kharisma, pandangan ke depan, daya persuasi, dan intensitas. Adanya pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan telah melahirkan ratusan buku yang membahas tentang kepemimpinan. Banyak buku yang memberikan nasihat tentang siapa yang harus ditiru, apa yang harus diraih, apa yang harus dipelajari, apa yang harus diperjuangkan, perlu tidaknya pendelegasian, perlu tidaknya berkolaborasi, bagaimana menjadi pemimpin dan sebagainya. Max weber, sosiolog Jerman, ilmuwan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Lebih dari seabad yang lalu, ia mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "anugerah") sebagai "suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak memiliki daya istimewa. Kemampuan-kemampuan ini tidak dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai kekuatan yang bersumber dari yang Ilahi. Berdasarkan hal ini seseorang kemudian dianggap sebagai pemimpin. Pemilihan Pemimpin di Indonesia Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, pucuk tertinggi pimpinan dipegang oleh Presiden, yang dibantu para menterinya. Satu level dibawahnya adalah Gubenur beserta jajarannya dan di level bawahnya ada Bupati/Walikota,
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
Camat, Lurah/Kades, Kadus, RW hingga level RT. Dalam perjalanan kehidupan berdemokrasi di Indonesia, pemilihan Presiden dan kepala daerah lainnya mengalami berbagai dinamika. Pemilihan Umum Indonesia tahun 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah (seperti Pemilu 1999)--pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon (pasangan calon presiden dan wakil presiden), bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah. Demikian juga dengan pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, rakyat dapat memilih secara langsung wakilwakilnya. Senada dengan pemilihan Presiden dan anggota DPR, DPD dan DPRD, maka pemilihan Kepala Daerah juga dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan kepala daerah diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 24 ayat 5 yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Tugas dan wewenang Kepala Daerah diatur dalam pasal 25. Beberapa tugas dan wewenangnya adalah berikut: a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. Mengajukan rancangan Perda; c. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan g. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sementara dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, ada kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kepala daerah dan wakilnya antara lain: a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat; c. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. Melaksanakan kehidupan demokrasi;
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
e. f. g. h. i. j.
Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; Memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah; k. Menyampaikan rencana strategis penyelenggaraan pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Sumpah Jabatan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, pasal 110, Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebelum memangku jabatannya dilantik dengan mengucapkan sumpah janji yang dipandu oleh pejabat yang melantik. Dalam hal pejabat yang melantik diatur dalam pasal 111, yang yakni: 1. Gubernur dan wakil Gubernur dilantik oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden. 2. Bupati dan wakil bupati atau Walikota dan wakil walikota dilantik oleh Gubernur atas nama Presiden. 3. Pelantikan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dan ayat (2) dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD. 4. Tata cara pelantikan dan pengaturan selanjutinya diatur dalam PeraturanPemerintah. Pada saat pelantikan, kepala daerah dan wakil kepala daerah mengucapkan sumpah janji dengan berpegang teguh kepada ajaran agama dan kepercayaannya. Sementara berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 pasal 110 ayat 2 berbunyi Sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: "Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa". Kebijakan Dilanggar Undang-undang sudah tegas mengatur tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah. Meningkatkan kesejahteraan rakyat serta mentaati dan menegakkan suluruh peraturan perundang-undang menjadi salah satu kewajiban yang harus ditaati kepala daerah dan wakilnya. Artinya, kepala daerah dilarang melanggar perundang-undangan yang ada dan akan mendapatkan sanksi hukum ketika melanggarnya. Kepala daerah dan wakil kepala daerah terikat oleh kebijakan yang sudah ada.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
Dalam perjalanannya, banyak pelanggaran dilakukan oleh para kepala daerah dan wakilnya. Hingga saat ini, mereka yang melanggar peraturan tetap berkuasa tanpa mendapatkan sanksi oleh pemerintah pusat maupun Dewan Perwakilan Rayat (DPR) baik tingkat pusat, tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Salah satu kasus yang saat ini ramai dibicarakan masyarakat umum dan media di seluruh Indonesia ialah tindakan sewenang-wenang dan tidak berperikemanusiaan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang menikahi anak dibawah umur tanpa pencatatan pernikahan secara resmi atau nikah siri (menikah dibawah tangan), kemudian menceraikan dia hanya melalui SMS dalam waktu empat hari, setelah pernikahannya. Apa yang dilakukan bupati itu telah melanggar UU di Negara Republik Indonesia ini, seperti Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) pasal 297 tentang kejahatan perkawinan, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan, UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Undang-Undang Dasar 1945. Pernikahan siri yang dilakukan Aceng Fikri bukan pertama kali ia lakukan, karena sebelumnya ia telah melakukan hal yang sama dengan perempuan berusia 22 tahun asal Kerawang. Pernikahan tersebut berlangsung selama 3 bulan, dan menceraikannya pada Juni 2011. Dalam pernikahan siri itu, Aceng Fikri menceraikan istrinya hanya melalui pesan singkat Blackbery. Walaupun banyak bukti menyatakan pernikahan siri tersebut benar adanya, namun Aceng belum mengakui apa yang pernah dilakukannya. Dalam beberapa kesempatan, Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi mengatakan, bahwa Bupati Garut Aceng Fikri telah melanggar Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan dengan tidak mencatatkan pernikahannya di catatan sipil. Dengan pelanggaran UU tersebut, secara otomatis Aceng Fikri melanggar sumpah jabatan sebagai kepala daerah, yang menyebutkan bahwa tiap kepala daerah harus patuh dan taat pada peraturan dan UU yang berlaku. Walaupun Aceng Fikri jelasjelas melanggar perundang-undangan dan sumpah jabatan, namun Gubenur Jawa Barat yang menjadi atasan langsung Aceng Fikri masih menunggu rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri untuk memberikan sanksi kepada Bupati Garut ini. Poligami di Kalangan Pejabat Publik Bupati Garut bukan satu-satunya kepala daerah yang melanggar hukum dan norma social serta melakukan kekerasan terhadap perempuan. Bersamaan dengan terkuaknya kasus Aceng Fikri, terkuak pula kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan wakil walikota Magelang, Joko Prasetyo. Walikota Magelang telah melakukan pernikahan siri dengan perempuan serta menelantarkan keluarganya tanpa memberi nafkah dan melakukan kekerasan di dalam rumah tangganya. Atas perbuatan tersebut, sang istri melaporkan perbuatan Joko Prasetyo ke pihak berwajib dan telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku kekerasan dalam rumah tangga
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
(KDRT) karena melanggar UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, pasal 44 ayat 1 dan atau 4, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. Poligami menjadi salah satu yang banyak dilakukan para pejabat publik/negara, baik kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPR baik pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota serta pejabat publik lainnya. Selain Joko Prasetyo, masih banyak pejabat publik melakukan poligami di antaranya Deny Ramdhani anggota DPRD kabupaten Tasikmalaya, Fraksi Partai Amanat Nasional. Deny Ramdhani dilaporkan istri sahnya, Fitriani Wulan, ke polisi karena melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan menikah siri tanpa sepengetahuan istri sahnya. Media juga pernah memberitakan poligami yang dilakukan Ruhut Sitompul yang merupakan anggota DPR RI, Fraksi Demokrat. Kasus poligami lainnya yakni yang dilakukan Walikota Bekasi dari partai Golkar, Rahmat Efendy. Bahkan di Bekasi, menjelang pemilihan walikota Bekasi tanggal 16 Desember 2012 lalu, ibu-ibu melakukan aksi atas apa yang dilakukan Rahmat Efendy yang kembali mencalonkan diri sebagai walikota Bekasi. Walaupun sudah terbukti melakukan poligami, Rahmat Efendy tidak mendapatkan sanksi tegas dari Gubenur Jawa Barat maupun Kementerian Dalam Negeri. Ia terbukti tetap bisa mencalonkan kembali sebagai calon walikota Bekasi dalam Pemilukada, yang baru berlangsung. Bupati Cirebon, Dedi Supardi juga pernah melakukan nikah siri. Ia melakukan nikah siri dengan penyanyi dangdut. Dia memiliki seorang anak dari pernikahan itu. Kasusnya mencuat karena ia tidak mau mengakui anak hasil pernikahannya dan melepas tanggung jawab. Pelaku poligami lainnya adalah Diani Budiarto, walikota Bogor yang diusung PKS. Diani diketahui memiliki 4 istri. Pernikahan terakhirnya dilakukan pada 23 Juni 2011 dengan gadis berusia 19 tahun. Media massa memberitakan bahwa waktu resepsi pernikahan keempat Walikota Bogor yang berlangsung pada 23 Juni 2011, ternyata istri pertamanya Fauziah sedang terbaring di Rumah Sakit Jakarta. Walikota Singkawang, Awang Ishack dan wakilnya, Abdul Muthalib juga kepala daerah yang melakukan poligami. Awang Ishack merupakan mantan walikota Singkawang periode 2002-2007, yang video mesumnya tersebar di internet bersama seorang perempuan di sebuah hotel di Jakarta sekitar tahun 2006 lalu. Dalam percakapan di video mesum yang berdurasi hampir dua menit antar Awang dengan perempuan tersebut, meminta perempuan tersebut untuk menggugurkan bayi yang ada dalam kandungannya (aborsi). Karena kesal dengan sikap Awang yang tidak mau bertanggung jawab, akhirnya perempuan tersebut menyebarkan video mesumnya. Tersebarnya video tersebut membuat rumah tangga Awang Ishack dengan istri pertamanya berantakan hingga berujung perceraian. Awang Ishack pun akhirnya melakukan nikah siri dengan gadis yang jauh lebih muda darinya. Dalam pemilihan walikota dan wakil walikota Singkawang periode 2013-2018, pasangan ini memperoleh suara terbanyak dan dinyatakan menang. Walaupun telah terbukti melakukan banyak pelanggaran hukum, kedua pasangan ini tetap dilantik menjadi
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
walikota dan wakil walikota Singkawang pada 17 Desember 2012, padahal banyak protes telah dilayangkan oleh masyarakat. Hampir sama dengan walikota Singkawang, awal tahun 2012 lalu seorang tersangka poligami, Firdaus MT tetap dilantik menjadi walikota Pekanbaru untuk periode 20122017. Pilkada Pekanbaru sendiri membutuhkan proses panjang, di mana sebelumnya KPUD hanya menetapkan dua pasangan calon wali kota, yakni Firdaus MT-Ayat Cahyadi dan Septina Primawati-Erizal Muluk. Hasil pilkada awal Mei 2011 dimenangkan pasangan Firdaus-Ayat. Tetapi pasangan Septina-Erizal menggugat. hasilnya, dan MK memutuskan pilkada ulang di Pekanbaru. Awal Desember 2011, pilkada ulang digelar dan hasilnya lagi-lagi pasangan Firdaus-Ayat yang menang. Tetapi kemenangan ini dipersoalkan. Firdaus dilaporkan LSM ke Panwaslu karena memiliki istri muda di Jakarta. Firdaus dianggap membohongi publik karena tidak mencantumkan nama istri mudanya. Lalu, Polresta Pekanbaru menetapkan Firdaus sebagai tersangka. Meskipun menjadi tersangka, MK tetap memutuskan Firdaus sebagai wali kota dan dilantik awal tahun 2012 yang lalu. Poligami adalah Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Poligami dan nikah siri yang marak dilakukan para pejabat publik/negara, baik yang terungkap oleh media maupun yang sembunyi-sembunyi merupakan fenomena yang terus menindas perempuan. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, setidaknya dalam sebulan ada 4 kasus pernikahan siri yang diadukan. Data tersebut merupakan yang terlaporkan, karena banyak orang yang belum berani mengungkap kasus poligami ke publik. Poligami menjadi salah satu bentuk kekerasan yang dialami perempuan karena melahirkan dampak tertentu bagi perempuan dan anak-anak. Dampak-dampak yang paling banyak dirasakan perempuan adalah tidak memperoleh nafkah oleh suami, ditelantarkan atau ditinggal pergi, kekerasan psikis, dianiaya secara fisik dan diceraikan. Pernikahan siri juga berdampak pada anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut, karena tak dapat memperoleh akta kelahiran. Poligami dan nikah siri telah mendorong jumlah kekerasan terhadap perempuan, yang setiap tahun mengalami kenaikan signifikan. Tahun 2011 lalu Komnas Perempuan mencatat lebih dari 19 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari data tersebut hampir 95% adalah kasus kekerasan terhadap istri, termasuk nikah siri. Komnas Perempuan juga mencatat selama dua tahun terakhir, menemukan bahwa korban kekerasan terhadap perempuan di luar KDRT, banyak dilakukan oleh pejabat publik, pemuka agama, tokoh ternama, bahkan pendidik (guru/dosen). Poligami dan nikah siri melanggar UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada dasarnya, UU itu menganut asas monogamy. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 3 ayat 1 yang berbunyi “Pada dasarnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri”. Namun diayat berikutnya, ayat 3 dikatakan “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
pihak-pihak yang bersangkutan”. Itu artinya, poligami yang dilakukan harus memenuhi syarat seperti yang diatur dalam pasal 4, yakni: 1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2. Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Dan juga pasal 5: 1. Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari istri/istri-istri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. 2. Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Walaupun undang-undang telah mengatur berbagai syarat bagi yang ingin melakukan poligami, nyatanya segala aturan itu banyak dilanggar. Dari kasus poligami yang dilakukan para pejabat publik/negara tersebut tak satupun yang mendapatkan izin istri sahnya. Sementara dalam kasus poligami Walikota Bogor yang beristri 4, masyarakat pun meragukan izin poligami yang didapatnya. Kenapa Sanksi Tidak Diberikan? Jika melihat aturan yang tertuang dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 27 ayat 1f, yang tegas mengatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. Pernikahan siri dan poligami yang marak dilakukan pejabat publik/negara, terutama kepala daerah dan wakil kepala daerah, jelas-jelas masuk kategori pelanggaran terhadap sumpah jabatan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Selain itu, juga melanggar PP No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
Nikah siri yang banyak dilakukan oleh para pejabat publik merupakan nikah yang tidak dicatatkan. Hal ini sangat bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana dalam pasal 2 ayat 2 tegas disebutkan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Demikian juga poligami, walaupun diizinkan tetapi banyak persyaratan harus dipenuhi. Praktik poligami tanpa seizin istri dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana dan diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, yakni yang disebutkan dalam pasal 279 ayat 2 KUHP yang berbunyi: “Dan apabila ketika menikah lagi suami menyembunyikan status pernikahan sebelumnya, suami bisa diancam hukuman penjara maksimal 7 tahun”. Apa yang dilakukan oleh para pejabat publik/negara tersebut juga melanggar UU No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against women [CEDAW]). Dalam CEDAW diatur mengenai salah satu bentuk kewajiban negara, yakni menjamin pejabat-pejabat pemerintah dan lembaga-lembaga negara tidak melakukan suatu tindakan atau praktik diskriminasi terhadap perempuan (Pasal 2 huruf d). Dan ini pun tersiar dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Dengan banyaknya perundang-udangan yang dilanggar, seharusnya dapat dijadikan acuan oleh Kemendagri maupun pemerintah yang ada diatasnya serta DPRD untuk menindak pelaku poligami, nikah siri, dan pelaku kekerasan terhadap perempuan. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, pasal 29 ayat 2d menyatakan bahwa kepala daerah/wakil kepala daerah dapat diberhentikan jika dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dalam ayat 2f mengatakan melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Salah satu larangan yang tercantum dalam pasal 28 huruf f adalah “menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya”. Kementerian Dalam Negeri sebagai pihak yang paling berwenang, seharusnya dapat memberikan sanksi yang tegas kepada kepala daerah dan wakil kepada daerah yang melanggar hukum dan norma sosial. Namun sayang, kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melakukan pelanggaran hukum dan norma sosial tak pernah ditindak tegas oleh Kementerian Dalam Negeri, bahkan tetap berkuasa. Seharusnya, kepala daerah yang melanggar hukum dan norma sosial diberi sanksi pidana dan administrasi yang tegas, serta dicopot dari jabatannya agar menjadi pembelajaran bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah lainnya. Dengan tindakan tegas diharapkan akan lahir pejabat-pejabat publik/negara yang amanah dan menjunjung tinggi norma hukum dan sosial. Pembiaran atas hal itu adalah pengkhianatan atas amanah rakyat, sumpah jabatan, UUD 1945 dan Pancasila.
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Desember 2012 EdEEEEEE
Beberapa waktu lalu, Gamawan Fauzi selaku Menteri Dalam Negeri RI, mengatakan bahwa saat ini kurang lebih 281 kepala daerah dan wakil kepala daerah terjerat masalah hukum. Status ke 281 kepala daerah tersebut berupa tersangka, terdakwa, saksi, dan terpidana. Menteri Dalam Negeri berjanji menghubungi Sekda dan Gubernurnya untuk memberikan sanksi kepada 281 kepala daerah yang terjerat masalah hukum itu. Kalau terbukti melanggar hukum, sanksi yang akan diberikan adalah dicopot dari jabatannya. Sementara menurut Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen), Kementerian Dalam Negeri RI, Reydonnyzar Moenoek, sekitar 70 persen dari 281 kepala daerah terjerat pidana korupsi. Selain terjerat korupsi, ada kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terkait tindak pidana umum, seperti pemalsuan ijazah. Namun saying, Kementerian Dalam Negeri hanya mengangkat kasus pelanggaran hukum kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya terkait kasus korupsi, pidana umum, dan ijazah palsu. Kementerian Dalam Negeri tidak mengangkat kasus kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melanggar Hak Asasi Manusia serta melakukan tindak pidana kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kementerian Dalam Negeri RI harus menindak tegas kepala daerah dan wakil kepala daerah yang melanggar hukum dan norma sosial dengan mencopot mereka dari jabatannya dan menyerahkan kasusnya ke penegak hukum untuk diproses. Selain itu, Kemendagri dan Kemenpan harus memperluas indikator pengawasan untuk pelanggaran kode etik kepala daerah/wakil kepala daerah yang mencakup: a) Tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan dan anak; b) Tidak melakukan kekerasan dalam rumah tangga; c) Tidak melakukan poligami; d) Menaati hukum yang ada dan norma sosial; e) Menjaga setiap perkataan dan perbuatan agar tidak bias gender; f) Tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan; dan g) Tidak melakukan korupsi. Dengan demikian, tata kelola pemerintahan yang ada akan dapat mendorong penghapusan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan serta dapat menciptakan keadilan dan kesetaraan gender yang lebih baik menuju masyarakat Indonesia yang berkeadilan sosial.
*****
Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id