Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
KDRT Mengancam Perempuan
Penemuan potongan tubuh manusia di jalan tol Cawang-Cikampek awal Maret 2013 lalu telah menyita perhatian masyarakat. Tidak hanya yang berada di kota Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia. Tak ayal, potongan tubuh tersebut merupakan korban mutilasi yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya. Informasi mengenai pelaku sendiri baru diperoleh aparat penegak kepolisian keesokan harinya, setelah penemuan beberapa potong tubuh manusia tersebut. Adalah BS (36 tahun) yang tega membunuh dan memutilasi istrinya DNA (33), karena terbakar api cemburu. Aksi mutilasi tersebut dilakukan BS di kamar tidurnya. Berdasarkan informasi media, sebelum memutilasi, BS dan korban sempat bertengkar hebat yang dipicu oleh api cemburu. BS menuding istrinya telah selingkuh, namun sang istri tidak mengakuinya, dan BS langsung melakukan pemukulan hingga istrinya tidak bernyawa. Panik karena istrinya meninggal, BS pun terpikir untuk membuang jasad korban dengan terlebih dulu memotong-motong tubuh korban. Sang pembantu, T, disuruh BS untuk membeli kantong plastik guna membungkus potongan jasad korban. Tiga minggu sebelum tewas di tangan suaminya, DNA sempat mendatangi kakak iparnya di kawasan Kalideres, Jakarta Barat. DNA menceritakan perlakuan kasar suaminya terhadap dirinya. Pada saat itu, DNA juga tengah mengalami luka di bagian pergelangan tangan, sampai tulang di tangannya terlihat. Selain itu, kepalanya juga terluka terkena lemparan asahan pisau oleh suaminya saat bertengkar. Perlakuan kasar itu bukan pertama kali dialami DNA, menurut kakak iparnya, DNA sudah sering mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya. Perilaku sadis dan ringan tangan BS terhadap istrinya bukan baru pertama kali. Sebelum menjalani bahtera rumah tangga bersama DNA, BS telah menikah. Dalam pernikahan pertamanya, BS sudah sering melakukan kekerasan terhadap istri pertamanya, Rohini (32), yang menikah secara resmi pada 27 November 2000 dan resmi bercerai pada 19 Mei 2011. Namun menurut Rohini, dirinya dan BS sudah pisah ranjang jauh sebelum resmi bercerai. Selama 11 tahun membangun biduk rumah tangga tersebut, Rohini kerap mengalami kekerasan dari BS. Selain itu, ia juga sudah sering diancam akan dibunuh oleh suaminya. Rohini juga pernah melaporkan BS ke Polres Metro Jakarta Timur pada 10 April 2009 pukul 18.00 wib, dengan laporan kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu karena kekerasan yang dialaminya telah nyaris membuat matanya buta. Pada saat itu, dirinya mengalami luka cukup parah di bagian muka dan jidat hingga harus berobat jalan. Tindakan pelaku saat itu dipicu karena dirinya meminta uang untuk menafkahi dan membeli baju kedua anaknya.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
Mutilasi di Indonesia Di Indonesia, kasus mutilasi pertama kali mencuat dan menggemparkan masyarakat pada tahun 1989. Apalagi saat itu kasus mutilasi masih jarang terjadi. Kasus tersebut dialami Diah Hodiah yang dimutilasi oleh suaminya, Agus Naser, dengan cara menghantamkan kayu ke kepalanya terlebih dulu. Agus yang saat itu menjabat pimpinan di sekolah swasta di Jakarta, memutilasi tubuh istrinya menjadi tujuh bagian. Saat ditemukan, wajah Diah tak utuh lagi karena telah disayat-sayat oleh pelaku. Sementara hidung dan jemari tangan korban juga dihilangkan oleh pelaku. Usai memutilasi Diah, Agus yang dikenal pendiam dan jadi panutan banyak orang di lingkungannya ini, memasukkan potongan-potongan tubuh Diah ke dalam kantong plastic. Ia membuangnya di depan kampus Universitas Negeri Jakarta, yang dulu bernama IKIP Jakarta. Polisi bekerja keras memecahkan misteri itu. Semula, hanya mendapatkan data, bahwa korban adalah perempuan, rambut berombak, berkulit kuning. Setelah bekerja keras, akhirnya polisi dapat mengidentifikasi korban serta menangkap pelaku di rumah istri mudanya. Menurut pengakuan pelaku, ia membunuh istrinya yang juga berprofesi guru karena kesal dan sakit hati kerap dimarahi dan dicemburui. Ia juga panik lantaran Diah mulai mencium keberadaan istri mudanya. Alhasil, ia memutilasi Diah untuk menghilangkan jejaknya. Sementara ide mutilasi yang dilakukan Agus, menurutnya, diperoleh dari berita kasus mayat dipotong 13 bagian dan dimasukan kedalam dua dus besar yang dibuang di Jl Jend. Sudirman Jakarta, yang terjadi tahun 1985. Ia mengaku mendadak teringat berita itu dan yakin polisi sulit melacaknya, bila ia melakukan hal serupa. Atas perbuatannya, hakim mengganjar pria berusia 54 tahun itu hukuman penjara seumur hidup. Kasus mutilasi kembali mencuat pada tahun 2008, dengan ditemukannya potongan mayat di bus Primajasa arah Bandung. Tanpa diduga, pelaku pembunuhan sadis itu adalah Sri Rumiyati yang juga istri ke-4 korban. Pembunuhan dilakukan pelaku karena cemburu saat mengetahui suaminya akan menghabiskan Idul Fitri dengan ketiga istrinya. Jasad korban terpotong menjadi 13 bagian di dalam 8 kresek warna merah. Potongan mayatnya ditinggalkan pelaku dengan 2 kantong di bus Primajasa arah Bandung, 3 kantong dalam kardus di bus Prima Asli arah Cirebon, 2 kantong di bus patas mayasari dan 1 kantong di belakang kemudi taksi. Selain itu, ada serangkaian kasus mutilasi lain seperti yang dilakukan oleh Ryan Jombang pada tahun 2008; kasus mutilasi 8 anak jalanan pada tahun 2010; kasus mutilasi ibu dan anak pada tahun 2011 di Cakung, Jakarta Timur; kasus mutilasi perempuan di Tawangmangu tahun 2011; dan kasus mutilasi orang tua di Sumatera Utara pada tahun 2012.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
Mutilasi, Rangkaian KDRT Mutilasi yang dialami DNA merupakan ancaman bagi seluruh perempuan di dunia, mengingat kasus kekerasan dalam rumah tangga hingga kini masih terus terjadi. KDRT yang terus dibiarkan oleh korban maupun masyarakat yang mengetahuinya bisa berakibat fatal, seperti yang dialami DNA yakni kehilangan nyawa dan lebih tragis, menjadi korban mutilasi suaminya sendiri. Kasus mutilasi yang dialami DNA, menjadi contoh sangat ekstrim dari rangkaian KDRT yang selama ini telah ia alami. Menurut kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin, apa yang dilakukan BS tak semata akibat kondisi kejiwaan, tapi pada pilihan rasional yang dianggap cara termudah dan cepat untuk dilakukan. Menurutnya, mutilasi yang dilakukan BS atas istrinya karena sifat instrumental dan mutilasi dilakukan berdasarkan logika sederhana pelaku untuk membuang tubuh yang dianggap besar. Jalan tol menjadi pilihan karena dianggap kurang terawasi sehingga identitas korban dan pelaku akan sulit diketahui. BS sendiri sudah sering melakukan kekerasan terhadap istrinya, hingga puncaknya tega memutilasi dan membuang mayat korban di jalan raya. Kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dialami DNA hingga kehilangan nyawanya membuka mata masyarakat bahwa KDRT terus dialami perempuan Indonesia hingga kini. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Udang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No. 23 tahun 2004, namun nyatanya belum bisa mengurangi kasus KDRT yang dialami para perempuan. Bahkan setiap tahun, data kasus kekerasan terhadap perempuan terus mengalami kenaikan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan, tahun 2012 ada 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani. Dari data tersebut, 203.507 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 329 Pengadilan Agama (data BADILAG), 87 PN dan PM (data BADILUM) dan 2 UPPA (data UPPA) serta 12.649 kasus yang ditangani oleh 225 lembaga mitra pengada pelayanan yang tersebar di 30 Provinsi. Data tersebut mengalami kenaikan hampir 181% (2 kali lipat) dari data tahun sebelumnya. Dari data tersebut, kekerasan yang terjadi di ranah personal mencatat kasus paling tinggi. Sejumlah 203.507 kasus data Pengadilan Agama seluruhnya tentang kekerasan yang terjadi di ranah personal, yang terjadi terhadap istri. Sementara dari 12.649 kasus yang masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 66% atau 8.315 kasus. Dari data tersebut, 42% atau 4.305 kasus berupa kekerasan terhadap istri. Naiknya jumlah kekerasan yang dilaporkan juga pertanda meningkatnya keberanian dan kesadaran korban kekerasan untuk melapor. Namun, data yang berhasil dihimpun hanyalah data yang terlaporkan. Di samping itu, masih banyak korban kekerasan dalam rumah tangga yang tidak melaporkan kasusnya. Hal itu karena banyak hal, misalnya karena takut, malu dan lainnya. Selain itu, karena mereka tidak tahu ke mana harus melaporkan apa yang dialaminya. Akibat paling fatal dari
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
pengabaian kasus kekerasan yang dialami itu yakni kehilangan nyawa, seperti yang dialami DNA. Mengapa KDRT Terus Terjadi? Tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia tak terlepas dari cara pandang terhadap istri, yang sering dianggap lebih rendah dan bisa diberlakukan sesukanya oleh suami. Perempuan dianggap makhluk nomor dua dan layak diperlakukan sesuka hati. Dalam relasi suami istri, perempuan sering dianggap sebagai harta milik suami yang sudah dibeli dari keluarganya, dan dapat diperlakukan sesukanya. Dari kasus DNA terlihat bahwa suaminya sangat defensif. Ia melakukan kekerasan terhadap istrinya untuk menghentikan pertengakaran yang terjadi. Setiap terjadi pertengakaran, suami melakukan kekerasan. Hal itu dilakukan oleh suami karena ia ingin menunjukkan bahwa suami punya kuasa, tidak hanya secara fisik sebagai seorang lelaki, tapi juga dalam relasi keluarga di mana sering laki-laki disebut sebagai kepala keluarga dan istri hanyalah ibu rumah tangga. Sebagai ibu rumah tangga, ada aturan yang berlaku di masyarakat bahwa istri harus menurut apa kata suami sebagai kepala keluarga. Selain itu, di agama juga diajarkan bahwa seorang istri harus patuh pada suami dan tidak boleh melawannya. Akibat banyak norma yang dianut tersebut, maka ketika terjadi kekerasan, korban tidak pernah melaporkan kasusnya walaupun nyawa sebagai taruhannya. Mutilasi yang dilakukan oleh BS merupakan ujung serial KDRT yang selama ini sering dilakukannya. Kekerasan dalam rumah tangga yang berujung pada mutilasi yang dialami DNA tidak terlepas juga dari budaya masyarakat di mana sejumlah pasangan kerap menganggap posisi perempuan di bawah suami. KDRT yang kerap dilakukan BS berakar dari cara pandangnya terhadap istrinya, semasa hidup hingga tewas, termasuk ketika BS beraktivitas normal setelah memutilasi istrinya. Sementara peran T, perempuan yang membantu BS membuang potongan tubuh korban, tak bisa dilepaskan dari dominasi BS dalam relasi mereka berdua. Pelaku KDRT Tak Mengenal Status Sosial Selama ini ada anggapan bahwa perempuan dari kelas bawah lebih banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal tersebut karena kalangan kelas bawah dianggap tidak terdidik dan tidak mengetahui hak-haknya. Selain itu, KDRT yang terjadi sering dianggap karena faktor ekonomi semata. Maka, mereka yang sudah mempunyai pekerjaan tetap dan mapan tidak akan mengalami KDRT, karena mempunyai posisi tawar terhadap pasangannya. Selain itu, mereka yang diposisikan pada kelas menengah ke atas juga dianggap tidak mempunyai persoalan dengan masalah ekonomi, yang sering disinyalir sebagai akar KDRT. Ternyata anggapan tersebut tidak benar, kalau melihat beberapa kasus KDRT yang terjadi selama Maret 2013 ini. Mereka yang mengalami KDRT tak hanya dari
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
kalangan kelas bawah seperti DNA, tetapi juga kalangan kelas atas dan terdididik. Pelakunya pun beraneka ragam tidak hanya masyarat biasa, tetapi juga para pejabat yang seharusnya menjadi panutan masyarakat. Apa yang terjadi di Sleman, Jogjakarta, misalnya memberi gambaran bahwa KDRT juga dilakukan aparat penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum bagi masyarakat. Di Sleman, seorang Perwira menegah Polri yang sehari-hari bertugas di Polda DIY, divonis empat bulan penjara akibat tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atas istrinya. Dalam kasus tersebut, pengadilan menjatuhkan hukuman 4 bulan penjara dipotong masa tahanan terhadap pelaku. Menurut Jaksa Penuntut Umum, putusan tersebut memang lebih ringan dari tuntutan Jaksa, yang sebelumnya menuntut Kompol Subiyantoro dua tahun penjara, dengan mendasarkan pada pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 2004. Putusan pengadilan atas kasus KDRT yang dilakukan kalangan terdidik juga terjadi di Bandung, di mana seorang dokter yang menjadi terdakwa pelaku KDRT dijatuhi hukuman 4 bulan penjara, dengan masa percobaan 8 bulan. Atas putusan tersebut, istri pelaku yang juga dokter menyatakan kekecewaannya, dan meninggalkan ruang sidang sebelum sidang selesai. Pejabat pelaku KDRT dilakukan seorang pejabat Dinas Pendidikan Nunukan. Pelaku ditetapkan sebagai tersangka setelah polisi melakukan penyelidikan atas laporan korban. Tersangka juga diketahui telah memiliki istri siri. Walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka, pelaku tidak ditahan. Polisi beralasan penahanan tidak dilakukan karena pelaku cukup kooperatif. Setiap saat dipanggil, yang bersangkutan siap memberikan keterangan. Tidak ditahannya tersangka didasarkan pada permohonan penasihat hukumnya yang menjelaskan, jika tersangka merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang harus melaksanakan tugas dinas. Sementara yang bersangkutan tidak dapat digantikan orang lain. Yang bersangkutan sedang melaksanakan pelatihan guru. Sesuai dengan permohonan dari pengacara, dijelaskan saat ini kegiatan kepala sekolah dan pengawas sekolah sedang berjalan. Kasus lainnya adalah KDRT yang dilakukan anggota DPRD Lampung Tengah, yang dilaporkan polisi oleh istri mudanya. Menurut laporan, pelaku yang menduduki jabatan penting di Dewan Kehormatan DPRD Lampung itu melakukan pengrusakan perabotan rumah tangga berupa etalase, tv, kaca rumah, serta membacok pintu rumah kontrakannya dengan celurit. Peristiwa tersebut sering dialami korban, sehingga ia kemudian memilih menempuh jalur hukum. Kasus KDRT lainnya yang terjadi selama Maret 2013 adalah apa yang dialami Tutik Iswanti, yang menjadi korban KDRT lantaran mengambil uang tabungan tanpa sepengetahuan suaminya. Kasus tersebut bermula saat suami mengetahui sejumlah uang tabungannya diambil sang istri. Ia mengetahui hal itu setelah melihat print out saldo buku tabungannya. Karena curiga, sang istri mengambil uang tersebut, pelaku langsung menanyakan alasan pengambilan uang tanpa sepengetahuan dirinya. Korban menjawab, saat dia mengambil uang tersebut, pelaku tidak berada di tempat.
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
Kasus KDRT yang berujung pada kematian terjadi di Dusun Lamaran, Jatireja, Subang, Jawa Barat, yang menimpa Mak Embet yang meninggal setelah menjadi korban kekerasan suaminya. Kasus tersebut terjadi pada Februari 2013 yang lalu dan baru dilakukan reka ulang oleh aparat penegak hukum, sebulan setelahnya. Sementara penyebab KDRT sendiri, menurut pelaku, korban selalu menolak untuk diajak berhubungan badan dan minta cerai padahal mereka sudah mempunyai 4 anak dan semuanya telah berkeluarga. Putusan Pengadilan Belum Memberi Keadilan Rangkaian KDRT terus terjadi walaupun Indonesia telah memiliki UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sudah hampir berusia 10 tahun, implementasinya masih jauh dari harapan masyarakat. Dari pemantauan lembaya layanan, memperlihatkan adanya kesenjangan antara apa yang tertulis dalam UU dan praktik di lapangan. Salah satunya adalah tidak diterapkannya perintah perlindungan oleh pengadilan, dan pembatasan gerak pelaku oleh kepolisian. Selain itu, masih terdapat terjemahan yang beragam terhadap definisi kekerasan psikis, penelantaran rumah tangga serta penerapan yang tidak sama atas ketentuan pidana, khususnya bagi istri yang sering langsung dikategorikan sebagai KDRT ringan. Karena ada kategori KDRT ringan tersebut, sering putusan pengadilan tidak memberikan rasa keadilan bagi korban. Keputusan pengadilan yang dijatuhkan pada dokter di Bandung misalnya, yang hanya di vonis 4 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan, telah membuat korban sangat kecewa. Pasalnya, vonis yang diberikan jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya dengan hukuman selama 9 bulan penjara. Pelaku sendiri terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan kekerasan fisik terhadap istrinya. Namun apa yang dilakukan oleh suami terhadap istri tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatannya, maka pelaku bebas dari dakwaan primer Pasal 4 ayat 4 UU No. 23 Tahun 2004. Banyaknya putusan pengadilan yang tidak memberikan rasa keadilan terhadap korban tersebut salah satu penyebab mengapa korban sering enggan melaporkan kasusnya kepada aparat penegak hukum. Pengadilan sering tidak memperhitungkan dampak trauma yang dialami oleh korban KDRT. Hal tersebut memperlihatkan bahwa masih banyak aparat penegak hukum yang belum memahami filosofi dan jiwa dari UU PKDRT. Penutup Selama ini, KDRT masih dianggap sebagai hal yang biasa di masyarakat dan menjadi urusan rumah tangga masing-masing. Maka ketika di lingkungannya ada kasus KDRT, masyarakat cenderung menutup mata. Di sisi lain, perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga juga sering tidak menyadari bahwa
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id
Analisa Media Edisi Maret 2013 EdEEEEEE
hal tersebut adalah kejahatan yang bisa dituntut hukum. Masih banyak perempuan yang engan melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum karena banyak alasan misalnya malu, tidak mau membuka aib keluarga, bagaimana dengan anak-anak, dan yang paling tragis adalah tidak tahu ke mana harus melapor. Di sisi lain masih banyak aparat penegak hukum yang tidak mengetahui UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Aparat penegak hukum sendiri masih menganggap bahwa KDRT merupakah ranah domestik, maka sering pula ketika ada korban melaporkan kasusnya, bukan ditangani tetapi disuruh kembali agar berdiskusi lagi dengan sang suami. Banyak hal masih terjadi di masyarakat turut mendorong terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Padahal, KDRT yang terus dibiarkan dapat berakhir sangat fatal yakni kehilangan nyawa si korban. Maka itu harus ada kesadaran dalam masyarakat, bahwa KDRT bukan menjadi hal yang biasa, tetapi bentuk kejahatan yang harus dilaporkan ke aparat penegak hukum. Aparat penegak hukum harus mengetahui filosofi UU PKDRT dan harus memberikan perlindungan kepada masyarakat yang melaporkan kasusnya agar tidak terjadi halhal yang lebih buruk. Demikian juga dengan pengadilan, harus memberikan vonis yang memberikan keadilan bagi korban, untuk memberikan efek jera kepada pelaku KDRT.
*****
Jl. SMA 14 No. 17 RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713 Email:
[email protected] Website: www.kalyanamitra.or.id