PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum
Disampaikan
dalam
Sidang
Senat
Terbuka
UNS
Tanggal
14
Desember
2009
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia, kenikmatan, dan kelapangan hati sehingga kita dapat berkumpul di ruangan ini untuk mengikuti acara Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret guna menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Hukum Pidana dengan Judul ”Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup” di hadapan hadirin yang terhormat.
Lingkungan hidup bukan lagi menjadi permasalahan bangsa Indonesia saja, namun telah menjadi isu global negara-negara di dunia yang harus ditangulangi bersama seluruh umat manusia di muka bumi. Kesadaran lingkungan yang bersifat global ini telah dituangkan dalam berbagai konferensi Internasioanl, Regional dan Nasional. Konferensi Internasional pertama mengenai lingkungan hidup diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tahun 1972 yang terkenal dengan Deklarasi Stockholm, dua puluh tahun kemudian tepatnya tahun 1992 diadakan Deklarasi Rio De Janeiro di Brazil adalah merupakan konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup kedua yang lazim disebut Konferensi Tingkat Tinggi Bumi, dilanjutkan KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Afrika Selatan pada Tahun 2002 dan Bali Road Map Tahun 2007 di Bali Indonesia. Pada tingkat nasional kesadaran lingkungan hidup telah diwujudkan dalam berbagai peraturan perundangan-undangan dan kebijakan di bidang lingkungan hidup seperti UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Lingkungan Hidup yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang saat ini sudah direvisi dengan disahkannya UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Permasalahan yang muncul kemudian adalah kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ada tersebut tidak dapat menyelesaikan berbagai persoalan khususnya kejahatan dibidang lingkungan. Perjalanan waktu menunjukkan bahwa UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup belum mampu menjadi instrument yang efektif untuk melindungi lingkungan hidup. Sementara perkembangan teknologi diikuti oleh per¬kembangan kualitas dan kuantitas kejahatan dibidang lingkungan hidup yang semakin canggih dan seringkali mempunyai dampak internasional seperti, illegal mining, illegal fishing, dan illegal logging, yang dapat dikatagorikan sebagai white collar crime sampai sekarang masih terus berlangsung. Menurut Walhi illegal logging adalah sebuah kejahatan yang tak terkirakan, mempunyai dampak kejahatan dibidang ekonomi yang sangat besar, termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan. Illegal logging berdampak bukan hanya hilangnya paru-paru Indonesia tetapi juga paru-paru dunia yang mengakibatkan pemanasan global. Berdasarkan riset jangka panjang yang dilakukan sejumlah ahli menyimpulkan di Indonesia sejak tahun 1990-an musim kemarau mengalami percepatan
40 hari dan musim hujan bisa mundur sampai 4 dasarian. Akibat perubahan itu menyebabkan musim kemarau menjadi lebih lama 80 hari, sebaliknya musim hujan berkurang 80 hari dari kondisi normal. Dampak pemanasan global ini mengakibatkan naiknya temperatur rata-rata atmosfir, laut dan daratan bumi melanda Indonesia sejak 1990an, ditandai perubahan iklim yang bergeser dari siklusnya. Dulu musim kemarau berlangsung pada Maret hingga September sedangkan musim penghujan pada Oktober hingga Pebruari tiap tahunnya, tapi sekarang siklus tersebut tidak lagi seperti itu. Pemanasan global akan diikuti perubahan iklim seperti naiknya curah hujan di beberapa belahan bumi yang menimbulkan bencana banjir dan tanah longsor, tetapi sebaliknya di belahan bumi lainnya mengalami kekeringan berkepanjangan.
Selanjutnya, perusahaan-perusahaan atau badan-badan hukum yang bergerak di bidang industri, baik yang berskala besar yang menggunakan teknologi modern maupun industri kecil dan menengah termasuk industri kerajinan dan industri rumah tangga, pada kenyataannya telah menimbulkan kejahatan-kejahatan di bidang lingkungan hidup, seperti pencemaran udara sebagai akibat dari peningkatan kadar dioxide dari cerobong-cerobong asap pabrik dan pembakaran minyak oleh kendaraan bermotor, pencemaran air sungai dan laut akibat dari pembuangan limbah industri, serta kerusakan lingkungan alam oleh hasil industri berupa barang-barang kimia seperti pestisida yang sangat berbahaya bagi manusia dan lingkungan alam di sekitarnya.
Kejahatan berupa pencemaran dan perusakan lingkungan tersebut telah membawa dampak yang sangat besar bagi kehidupan manusia, seperti terjadinya pemanasan global, banjir bandang, kebakaran hutan, tanah longsor yang menimbulkan korban baik manusia maupun sumber-sumber ekonomi masyarakat, fasilitas-fasilitas sosial dan fasilitas umum, selain itu turunnya kualitas daya dukung lingkungan telah mengakibatkan berbagai endemi penyakit yang menimpa hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti wabah penyakit demam berdarah, muntaber, paru - paru maupun diare dan lain lain.
Menurut Muladi, kejahatan di bidang lingkungan dalam bentuk pembuangan limbah beracun secara illegal (illegal disposal of dangerous waste) di pelbagai negara sudah menjurus kearah kejahatan transnasional yang terorganisasi (organized transnational crime) dan di katagorikan sebagai kejahatan internasional (inter¬national crime), karena menyebabkan ancaman secara tidak langsung pada keamanan dan ketentraman dunia, perbuatan yang termasuk kejahatan internasional membawa dampak bagi warga negara diberbagai belahan dunia (indirect threat to world peace and security, conduct including or affecting citizens of more than one state), sehingga memerlukan metode kerjasama antar negara untuk penanggulangannya.
Dilihat dari kebijakan law enforcement maka tidak berhasilnya penegakan hukum pidana di bidang lingkungan hidup disebabkan karena ketiadaan sinkronoisasi, keserempakan atau keselarasan baik secara struktural, substansial maupun kultural dalam sistem peradilan pidana dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Selanjutnya apabila dilihat dari politik kriminal meningkatnya tindak kriminal dibidang lingkungan disebabkan antara lain proyek-proyek dan program pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan baik pada tingkat lokal, regional, dan nasional mengabaikan/tidak memperhatikan faktor lingkungan, tidak didasarkan pada penelitian yang
akurat dan perkiraan akan perkembangan atau kecenderungan kejahatan baik pada saat ini maupun saat yang akan datang. Disamping itu disebab¬kan tidak adanya penelitian mengenai pengaruh dan akibat-akibat sosial dan keputusan-keputusan serta investasi kebijakan, studistudi kelayakan yang meliputi faktor-faktor sosial serta kemungkinan timbulnya akibat kriminogen serta strategi alternatif untuk menghindarinya tidak pernah dilakukan, oleh karena itu tidak mengherankan bila kasus-kasus lingkungan hidup pada skala nasional tidak dapat diselesaikan secara tuntas.
Padahal kejahatan dibidang lingkungan oleh kongres PBB ke 5 tahun 1975 di Jenewa mengenai The Prevention Of Crime and The Treatment of Ofenders, dikatagorikan sebagai “Crime as business“ yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materiil melalui kegiatan dalam bisnis atau industri, yang pada umumnya dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat, yang biasa dikenal dengan “organized Crimes” “White Callor Crime”. Selanjutnya didalam Kongres ke-7 tahun 1985, antara lain dimintakan perhatian terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang dipandang membahayakan seperti “economic crimes”, “Environmental offences”, “illegal trafficking in drugs”, “terorism” dan “apartheid”. Sehubungan dengan peranan dari pertumbuhan industri serta kemajuan ilmu dan teknologi, Kongres ke-7 juga meminta perhatian khusus terhadap masalah “industrial crimes”, khususnya yang berhubungan dengan masalah : 1. Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (public health) 2. Kondisi para pekerja/buruh/karyawan (labour conditions) 3. Eksploitasi sumber-sumber alam dan lingkungan (the exploitation of natural resources and environment) 4. Pelanggaran terhadap ketentuan/persyaratan barang dan jasa bagi para konsumen. (offences against the provision of goods and services to consumers). Pernyataan Kongres ke-7 mengenai perlunya “protection against industrial crime” sebagai berikut: “In view of characteristic of contemporary post industrial society and the role played by scientific progress, special protection against criminal negligence should be ensured in matters pertaining to public health, labour conditions, the exploitation of natural recources and the environment and the provision of goods and sevices to consumers. Sebenarnya upaya penegakan hukum pidana di bidang lingkungan hidup sudah dilakukan, namun hasilnya belum sesuai harapan, hal ini dapat dilihat pada data tahun 2007-2008, ada sejumlah 516 perusahaan peserta Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diadakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, 128 Perusahaan diantaranya berpredikat hitam, merah, dan merah minus, dimana perusahaan tersebut dapat dikatagorikan telah melakukan kejahatan yang menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang luar biasa, belum satupun dibawa ke meja hijau /pengadilan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut salah satu upaya yang harus segera dilakukan adalah mereformasi sistem peradilan pidana yang selama ini berjalan belum terpadu baik secara struktural, substansial maupun kultural.
Kondisi Faktual Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Lingkungan Hidup
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati
Secara makro kondisi penegakan hukum pidana di bidang lingkungan hidup saat ini belum sesuai harapan masyarakat. Berbagai kasus pencemaran air akibat pembuangan limbah beracun secara illegal, perusakan kawasan hutan, perusakan terumbu karang, abrasi pantai akibat penambangan pasir, pembalakan liar dan pembakaran kawasan hutan yang dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana lingkungan hidup semakin merajalela dan bahkan menjurus kearah kejahatan transnasional yang terorganisir. Penyebab dari kasus-kasus tersebut sebagian bersumber dari kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak memihak kepentingan lingkungan, mafia hukum, sarana hukum pidana belum diaplikasi¬kan secara maksimal, tidak tepatnya jenis sanksi yang dipilih dan ditetapkan pada tahap aplikasi, belum adanya kesamaan persepsi diantara penegakan hukum tentang kejahatan lingkungan, rendahnya kesadaran hukum pengusaha terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup, tidak netralnya lembaga peradilan, tidak adanya sinkronisasi secara vertikal maupun horinzontal dalam general environmental law dan sectoral environmental law, dan belum adanya sinkronisasi, keserempakan dan keselarasan dalam sistem peradilan pidana.
Ketidakberhasilan penegakan tersebut dapat dilihat beberapa kasus besar seperti kasus Pembalakan liar pada tahun 2007 Polisi telah memproses 985 kasus yang melibatkan 1229 tersangka di seluruh Indonesia, dan pada tahun 2008 polisi berhasil menangkap 500 orang termasuk 3 cukong kelas kakap, namun perkara tersebut sebagian besar tidak diproses sampai di pengadilan dengan alasan tidak cukup bukti, adanya mafia hukum, intervensi politik dan kekuasaan. Para penjahat itu memang bekerja dalam kelompok besar, bertali-temali dengan banyak orang di dalam dan di luar negeri. Mereka inilah yang sering disebut sebagai cukong kayu. Mereka punya kuasa penuh termasuk terhadap sebagian aparat di dalam instansi pemerintah. Seperti Kepala Dinas Kehutanan Mandailing, Bupati Mandailing Natal, yang telah menjadi tersangka atas pembalakan liar oleh Adelin Lis di Mandailing Sumatra Utara. dan masih banyak kasus pembalakan liar yang terjadi di Kalimantan dan Papua, pencemaran Teluk Buyat oleh Newmont Minahasa Raya, dan masih banyak kasus-kasus besar yang tersebar di berbagai kota di Indonesia belum dapat diselesaikan secara baik.
Belum berhasilnya penegakan hukum pidana lingkungan juga dapat dilihat dari data PROPER Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Data yang ada menunjukan bahwa dari 516 perusahaan yang ikut dalam PROPER (peringkat kinerja perusahaan) hanya 1 (satu) yang memperoleh peringkat emas, 128 diantaranya berpredikat hitam terdiri dari (43 Perusahaan berperingkat hitam (8,33%), 39 merah minus (7,56 %), 46 Merah (8,91%)) 161 Biru Minus (31,20 %), 180 Biru (34,88 %, 46 Hijau (8,91 %), 1 Emas (0,19 %). Namun sayangnya kegiatan PROPER tersebut tidak ditindaklanjuti, padahal hasil akhir dari penilaian dapat dijadikan petunjuk awal/acuan untuk melihat berapa perusahaan yang taat yang diberi penghargaan, dan berapa banyak perusahaan yang tidak taat yang digolongkan sebagai perusahaan merah dan hitam yang telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup. Informasi ini sangat membantu aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan pemberian sanksi pidana kepada perusahaan yang mendapat predikat merah dan hitam
karena fakta menunjukkan mereka telah melakukan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup
Selanjutnya dilihat dari data rekapitulasi penanganan kasus lingkungan pada tingkat nasional dan regional, penegakan hukum lingkungan dengan menggunakan sarana hukum pidana belum ber¬hasil, karena dari 117 kasus di seluruh Indonesia 33 kasus pidana, baru 6 kasus yang dapat diputus. Sedikitnya jumlah kasus pidana lingkungan yang berhasil diselesaikan, dan hanya satu perusahaan yang mendapat peringkat emas sebagaimana dikemukakan diatas menunjukan penegakan hukum pidana lingkungan belum berhasil. Dari identifikasi permasalahan tersebut diatas sangat dibutuh¬kan satu konsep mengenai penegakan hukum lingkungan yang handal, konsisten dan tegas serta terintegrasi dalam satu sistem peradilan yang terpadu, yang mampu mencegah dan mengatasi berbagai permasalahan lingkungan yang muncul.
Kejahatan Di Bidang Lingkungan Hidup adalah Extra Ordinary Crimes
Hadiri yang saya hormati
Kejahatan lingkungan adalah tindak pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu perusakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya menurut Pasal 97 sampai dengan Pasal 120 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna DPR RI Selasa 8 September 2009 kejahatan lingkungan adalah perusakan dan pencemaran yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Kejahatan lingkungan dikatagorikan sebagai kejahatan di bidang ekonomi dalam arti yang luas, karena cakupan kriminalitas dan pelanggagaran lingkungan lebih luas dari kejahatan konvensional lainnya, dampaknya mengakibatkan kerugian ekonomi negara yang luar biasa, selain juga berdampak pada rusaknya lingkungan. Sebagai contoh pembalakan liar yang dilakukan oleh pengusaha kayu asal Medan Adelin Lis, telah merugikan keuangan negara hampir sekitar Rp.227,02 trilyun, sedangkan kerusakan lingkungan dapat dilihat adanya penggundulan hutan secara liar yang berlangsung dari tahun 1967 telah mengakibatkan kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahunnya meskipun disisi yang lain dapat meningkatkan devisa negara. Di Sumatra total penurunan luas kawasan hutan dari 23 juta ha menjadi 16 juta ha dimana Sumatra Selatan dan Jambi tercatat sebagai wilayah yang tercepat penurunan luas hutannya. Di Kalimantan total penurunan luas kawasan hutan dari 40 juta ha menjadi 30 juta ha, dimana Kalimantan Timur memiliki tingkat konversi hutan tertinggi. Sedangkan di Sulawesi laju penurunan luas hutan tergolong rendah, namun lebih karena konversi hutan sudah dilakukan pada per¬tengahan tahun 1980-an. Dari 3 pulau yaitu Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi, dari kurang lebih 69 juta ha luas hutan, saat ini hanya
sekitar 57 juta ha. Artinya terjadi pengurangan kawasan hutan lebih dari 12 juta ha. Menurut World Bank jika pengelolaan sumberdaya hutan tidak berubah, maka Sumatra akan kehilangan hutannya pada tahun 2005 dan Kalimantan 2010. Kegiatan pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran telah merubah bentang alam yang selain merusak tanah juga menghilangkan vegetasi yang berada diatasnya. Lahan-lahan pertambangan membentuk kubangan-kubangan raksasa, sehingga hamparan tanah menjadi gersang dan bersifat asam akibat limbah tailing dan batuan limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan. Dalam kurun waktu 3 dekade sejarah pertambangan banyak diwarnai konflik dengan masyarakat lokal karena ketidak¬puasan unsur-unsur masyarakat didaerah. Salah satu penyebabnya adalah sistem perijinan pertambangan yang dikelola secara ter¬sentralisasi, sehingga menciptakan ketidakadilan bagi masyarakat adat/lokal. Managemen pertambangan yang sentralistis juga menimbulkan benturan kepentingan antara pertambangan dengan sektor lain. Wilayah pertambangan yang diberikan kepada para investor melalui sistem kontrak karya sebagian besar terletak dalam kawasan hutan lindung atau bahkan dalam kawasan taman nasional, sehingga menimbulkan kerusakan kawasan hutan dan taman nasional. Selanjutnya menurut hasil penelitian yang dilakukan JICA, ternyata 73% sumur penduduk telah terkontaminasi oleh zat kimia amoniak yang bersumber dari limbah industri. Tingkat konsentrasi pencemaran kimia juga terhitung tinggi di sebagian besar sumur penduduk, karena sekitar 13% dari sumur-sumur penduduk yang diperiksa di wilayah Jakarta Selatan mengandung zat kimia jenis merkuri, yang berasal dari bakteri coli dan amoniak dari limbah tinja, organo chloride dan organo phospor yang berasal dari pupuk kimia, ditergen, pestisida, limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dari industri. Kondisi lingkungan seperti ini juga menyebabkan sebagian air sungai di Pulau Jawa menjadi tidak layak lagi diproses dan diproduksi menjadi air minum. Hasil pemantauan Bapedal terhadap air sungai memperlihatkan sebanyak 25-50% dari polutan yang mencemari air sungai ternyata berasal dari indusrti-industri yang membuang limbahnya ke Sungai. Setiap tahun diperkirakan lebih dari 2,2 juta ton limbah B3 telah dibuang ke sungai-Sungai di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.
Data kerusakan sebagaimana tersebut diatas memperlihatkan kepada kita bahwa dampak kejahatan lingkungan hidup yang luar biasa tersebut pada umumnya dilakukan oleh kalangan pengusaha bersama kegiatan bisnis yang biasa dilakukannya dimana pelakunya sering disebut White Collar Crime.
Menurut Edwin H. Sutherland White Collar Crime adalah kejahatan dilakukan oleh orang terhormat dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya, dilakukan dengan tanpa menggunakan kekerasan untuk memperoleh keuntungan finansial dengan cara-cara curang. Difinisi White Collar Crime yang disetujui oleh Congress’s Subcommitte on Crime dikemukakan bahwa White Collar Crime merupakan perbuatan ilegal atau serangkaian perbuatan illegal yang dilakukan dengan cara non fisik (tanpa kekerasan), serta dengan penggelapan atau tipu muslihat, atau untuk mendapatkan uang atau kekayaan untuk menghindari pembayaran atau mengeluarkan uang atau kekayaan, atau untuk mendapatkan keuntungan pribadi, termasuk di dalamnya kejahatan korporasi. Definisi ini disetujui oleh kongres pada tahun 1979 dalam Justice System Adiministration Improvement Act. Dari difinisi tersebut terlihat dengan jelas bahwa kejahatan yang dilaku¬kan oleh White Collar Crime di bidang lingkungan mempunyai kemampuan untuk menghancurkan kehidupan manusia dan planet bumi, harta benda dan kesejahteraan masyarakat yang tidak dilaku¬kan oleh penjahat yang lain.
Selanjutnya, menurut Giriraj Shah kejahatan dan pelanggaran dibidang lingkungan hidup diklasifikasikan sebagai white collar crime. Sebagai contoh, pembalakan liar yang terjadi di Papua dan Kalimantan dapat dikatagorikan sebagai white collar crime karena melibatkan orang-orang penting pada dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia, dilakukan oleh suatu organisasi yang sangat rapi, dengan menggunakan alat-alat canggih dan kejahatan tersebut berakibat bukan hanya hilangnya paru-paru Indonesia tetapi juga paru-paru dunia. Hal ini dapat dilihat pada operasi hutan lestari yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan instansi yang terkait di Papua yang berhasil menyita 980 buldoser dari sekitar 1800 unit yang beroperasi setiap harinya sebelum Maret 2008, menangkap 69 tersangka, menyita barang bukti berupa kayu olahan 17.325 meter kubik, kayu bulat 326.058 meter kubik, kayu batang 61.033 batang, empat kapal, dan delapan kapal tongkang. Sedangkan di Kalimantan Timur selama tahun 2008 berhasil disita 80.854 meter kubik kayu batang dan 14.522 kayu olahan.
Menurut Walhi pembalakan liar adalah sebuah kejahatan yang tak terkirakan. Setiap menitnya hutan Indonesia seluas 7,2 hektar musnah akibat penebangan yang merusak (destructive logging). Selanjutnya Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 trilyun rupiah per tahun, sementara CIFOR menyatakan bahwa Kalimantan Timur telah kehilangan 100 juta dolar setiap tahunnya akibat penebangan dan perdagangan kayu illegal, belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi hidrologis, serta nilai sosial dari bencana dan kehilangan sumber kehidupan akibat pengrusakan hutan. Pada tahun 2008 Polda Kalimantan Timur telah menyita 56.400 ribu meter kubik kayu illegal, sementara di tahun 2007 Polda Kalimantan Timur telah menyita sebanyak 87.000 ribu meter kubik kayu illegal, namun jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah peredaran kayu illegal yang beredar di Kalimantan Timur yaitu sekitar 70-90 % produk kayu yang beredar saat ini berasal dari illegal loging. Kejahatan di bidang lingkungan yang dikatagorikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti yang luas karena merugikan ekonomi negara yang sangat besar, saat ini tidak hanya dilakukan oleh orang perseorangan melainkan oleh korporasi, karena itu dinamakan corporate crime. Menurut Steven Box kejahatan korporasi dibedakan menjadi: 1. Crime for corporation (corporate crime) kejahatan yang dilakukan oleh korporasi untuk mencapai tujuan korporasi atau dengan kata lain corporate crime is clearly commited for the corporate and not against it. 2. Crime against corporation (employee crime) kejahatan terhadap korporasi, dalam hal ini yang menjadi sasaran kejahatan yakni korporasi dan korporasi menjadi korban. 3. Criminal corporation, korporasi digunakan sebagai sarana untuk melakukan kejahatan.
Bila dikaitkan dengan kejahatan lingkungan yang umumnya dilakukan secara terorganisasi bentuk kejahatan yang dilakukan adalah criminal corporation dan Crime for corporation, yang lingkup operasi dan dampaknya meliputi wilayah antar negara, sebagaimana dikemukakan oleh Muladi, kejahatan dibidang lingkungan di pelbagai negara sudah menjurus kearah kejahatan transnasional yang terorganisasi (organized transnational crime), di kategorikan sebagai kejahatan internasional (international crime) dan extra ordinary crime, oleh karenanya harus ditanggulangi secara luar biasa dan memerlukan metode kerjasama antar negara untuk penanggulangannya.
Kondisi Sistem Peradilan Pidana Faktual
Hadirin yang saya hormati,
Di depan telah saya diskripsikan berbagai permasalahan dan kondisi faktual penegakan hukum pidana di bidang lingkungan, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakannya, dampak yang ditimbulkan, dan berbagai regulasi baik pada tingkat global maupun nasional, yang membawa kepada satu kesimpulan bahwa penegakan hukum pidana di bidang lingkungan saat ini belum mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu penyebab kegagalan tersebut adalah ketiadaan sinkronisasi, koordinasi, keserempakan dan keselarasan secara kultural, struktural dan substansial dalam sistem peradilan pidana. Menurut Lawrence M. Friedman Sistem Hukum mencakup bidang yang sangat luas, yang meliputi substansi, struktur dan kultur. Apabila dikaitkan dengan Sistem Peradilan Pidana, maka menurut Muladi ketiga komponen tersebut yaitu substansi, struktur dan kultur harus terintegrasi, artinya harus ada sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam: 1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum 2. Sinkronisasi substansial (substansial syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif 3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Selanjutnya Muladi mengatakan sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun kelembagaan ini hanya dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Sistem peradilan pidana adalah mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Selanjutnya menurut Mardjono Reksodiputro sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Komponen-komponen inilah yang terlibat dan bekerjasama dalam menanggulangi kejahatan dan pelanggaran lingkungan, dan sekaligus bertanggung jawab atas ketidakberhasilannya dalam menanggulangi kejahatan lingkungan. Keempat komponen inilah yang harus mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari sistem peradilan pidana itu sendiri. Menurut Marjono Reksodiputro tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Mencegah masyarakat untuk menjadi korban kejahatan. 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Keempat komponen tersebut diharapkan bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama “integreted criminal justice system” saling berhubungan dalam suatu sistem yang disebut “sistem Peradilan Pidana”, yang terdiri atas sub-sub sistem kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Antara sub sistem yang satu dengan lainnya harus ada keterkaitan seperti bejana berhubungan, karena bila terjadi konflik dalam satu sub-sistem akan menimbulkan dampak pada sub sistem lainnya.
Benarkah ketidakberhasilan penegakan hukum pidana di bidang lingkungan saat ini disebabkan tidak adanya sinkronisasi, keserempakan dan keselarasan baik dalam aspek struktural, kultural dan subtansi pada sub sistem kepolisian, sub sistem kejaksaan, sub sistem pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan? Pertanyaan ini di sampaikan karena kondisi faktual menunjukkan banyak kasus-kasus lingkungan yang dampaknya besar yang ada disekitar kita tidak pernah tersentuh oleh hukum. Mengapa ini terjadi? Karena pada tingkat penyelidikan dan penyidikan baik yang dilakukan oleh polri maupun PPNS tidak pernah berhasil diajukan ke pengadilan. Oleh sebab itu perlu dilihat dan dikaji penyebabnya baik dari aspek struktur, kultur maupun substansi yang pada akhirnya mengganggu keberhasilan dan kinerja dari sistem peradilan pidana sebagai berikut:
Struktur, menurut Lawrence M. Friedman struktur adalah kerangka atau bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan sistem. Bagaimana struktur pada lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan? Apakah sudah terjalin adanya keserempakan dan keserasian diantara keempat lembaga tersebut secara terpadu? Atau sebaliknya. Karena itu sangat perlu dikritisi kondisi faktual masing-masing struktur.
Pertama, Polisi adalah garda terdepan atau ujung tombak bagi pengungkapan kasus di bidang lingkungan. Artinya berhasil tidaknya, terungkap tidaknya kasus-kasus di bidang lingkungan semua tergantung dari kejelian, kemahiran, kemampuan, dan komitmen dari penyidik. Dalam sistem peradilan pidana subsistem polisi mempunyai tugas penegakan yang bersifat preventif dan represif. Tugas preventif dilakukan oleh polisi dengan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat. Apabila upaya pencegahan tidak berhasil, polisi melakukan upaya-upaya yang bersifat represif.
Bila melihat data rekapitulasi penanganan kasus sebagaimana disebutkan diatas, maka sub sistem polisi mempunyai andil besar terhadap buruknya proses penegakan. Penyebabnya antara lain, dari aspek struktur, polisi belum mempunyai satu kebijakan khusus dalam menangani kasus pidana lingkungan yang bersifat nasional, demikian juga belum nampak adanya divisi khusus yang dipersiap¬kan polri dengan sumber daya manusia yang memadai untuk menangani masalah lingkungan, seperti halnya divisi penanganan korupsi, narkotika, pencucuian uang dan lain-lain.
Selain itu dengan lahirnya UU Lingkungan yang baru yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat tumpang tindah kewenangan, dimana Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang lingkungan hidup tidak lagi sebatas
koordinasi, tetapi juga berwenang melakukan penuntutan hukum. Dengan demikian hasil penangkapan, penahanan dan penyidikannya disampaikan ke jaksa penuntut umum yang dikoordinasikan dengan polisi. Ketentuan ini muncul sebagai protes atas buruknya kinerja polisi dalam mengungkap kasus lingkungan selama ini. Bila ketentuan ini tidak saling dipahami maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan, dan rebutan lahan penyidikan, yang pada akhirnya menimbulkan perseteruan antara polisi dan PPNS. Ketentuan ini nampaknya sulit diimplementasikan mengingat sumber daya manusia PPNS secara kualitas maupun kuantitas belum mencukupi, disamping perlu disiapkan sarana pendukung yang memadai, yang dibutuhkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan seperti yang dimiliki institusi Polri. Secara kualitas PPNS saat ini jauh dari harapan. Hanya sekitar 10 % dari jumlah PPNS yang telah mendapat bekal ilmu dibidang lingkungan. Itupun hanya tersebar di pusat dan di daerah tingkat I. Sedangkan didaerah tingkat II masih sangat memprihatinkan. Sehubungan dengan besarnya kewenangan yang diberikan kepada PPNS oleh undang-undang lingkungan yang baru dalam implementasinya akan mengalami hambatan mengingat selama ini kelembagaan lingkungan hidup tidak diberi wewenang yang kuat bahkan di daerah nomenklaturnya berbeda-beda. Ada yang statusnya Bagian, Kantor, Dinas yang masuk pada Eselon III bahkan ada juga yang digabung dengan dinas tertentu. Akibatnya di beberapa tempat instrumen hukum kebijakan lingkungan hidup yang bersifat langsung bukan menjadi kewenangan institusi lingkungan hidup di daerah. Dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan di daerah ini pun upaya untuk mengantisipasi berbagai akibat penerapan kebijakan otonomi daerah di bidang lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam, Kementerian Negara Lingkungan Hidup hanya sebatas berkonsultasi dengan sektor terkait, dan para mitra lingkungan guna mensenergikan kapasitas kelembagaannya di tingkat daerah. Oleh karena itu kedepan mengingat PPNS oleh undang-undang lingkungan yang baru diberi kewenangan yang laur biasa mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, melakukan penangkapan, penahanan dan penuntutan hukum maka; 1. Kelembagaan lingkungan hidup khususnya yang ada di Daerah Tingkat II kapasitas, nama dan eselonnya harus ditingkatkan menjadi setidak-tidaknya Badan atau Dinas Lingkungan Hidup sehingga secara kelembagaan mempunyai kedudukan dan kewenangan yang lebih kuat dan mempunyai posisi tawar dalam menangani kasuskasus lingkungan hidup. 2. Memperjelas cakupan kewenangan lembaga-lembaga pengelola lingkungan di daerah karena persoalan lingkungan hidup umumnya terjadi di daerah. 3. Pengembangan kapasitas sumber daya manusia, mengingat kewenangan PPNS tidak sebatas koordinasi, tetapi dapat melaku¬kan penuntutan hukum, maka konsekwensinya profesionalitas PPNS harus ditingkatkan 4. Mendorong tumbuhnya dukungan pihak legislatif dan eksekutif. Dukungan ini penting karena lembaga pengelola lingkungan tidak dapat bekerja optimal kalau tidak mendapat dukungan politik. 5. Mendorong penaatan terhadap hukum lingkungan melalui sosialisasi tentang lingkungan dan HAM.
Kedua, Kejaksaan adalah instansi terdepan dalam mengungkap kasus-kasus kejahatan, baik kejahatan dibidang ekonomi, politik, lingkungan dan kejahatan umum. Sebagai instansi terdepan, ia mempunyai tugas yang amat berat, karena terungkap tidaknya suatu kasus sangat tergantung dengan kemahiran, kecermatan jaksa dalam membuat tuntutan. Contoh, apakah proses pengungkapan kasus akan dilanjutkan apa tidak sangat tergantung pada lembaga kejaksaan. Tapi tampaknya lembaga ini sangat lamban bahkan tidak siap untuk menangani
kasus-kasus lingkungan hidup, yang memang membutuhkan, pengetahuan khusus mengenai lingkungan dan inter disipliner. Terbukti dengan lambatnya pemberkasan dan bahkan kegagalan didalam membuat pemberkasan dalam menangani kasus-kasus lingkungan yang seringkali melibatkan pengusaha-pengusaha kelas kakap. Ketidakmampuan dan kelambanan lembaga ini disebabkan karena UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah memberikan ruang yang teramat luas akan intervensi pemerintah/penguasa terhadap lembaga kejaksaan. Yaitu menempatkan kejaksaan sebagai lembaga pemerintah yang hanya menjadi salah satu komponen eksekutif. Hal ini dapat dimaklumi karena secara struktur ketatanegaraan kejaksaan adalah bagian dari pemerintah, dialah yang mewakili pemerintah dalam mengajukan kasus ke pengadilan sebagai penuntut terhadap tindakan melawan hukum, sehingga wajar apabila lembaga tersebut dipersepsikan sebagai alat pemerintah. Sebagai lembaga yang berdiri pada dua kepentingan, disatu sisi ia bertindak sebagai advokat pemerintah, tapi disisi lain karena jaksa mempunyai latar belakang pendidikan hukum maka sebagai orang hukum ia harus berpihak pada keadilan. Memang terjadi tarikan ambivalen dalam menjalankan tugas. Oleh karena itu memang diperlukan inde¬pedensi dalam menjalankan politik penuntutan hukum, benar-benar mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun.
Selain itu kegagalan para jaksa juga disebabkan kualitas SDM nya belum memadai. Untuk menangani kasus lingkungan diperlukan jaksa plus artinya pengetahuan dibidang lingkungan harus mumpuni, demikian juga ilmu yang berhubungan dengan lingkungan harus dikuasai, secara formal jaksa yang menangani lingkungan harus sudah menadapat pendidikan khusus tentang lingkungan, sehingga mampu melakukan pembuktian. Apabila hal-hal tersebut tidak dikuasai niscaya kegagalan yang ditemui. Selain itu para jaksa pada umumnya masih terbelenggu dengan paradigma positivistik, dimana wawasan pengetahuannya hanya sebatas hukum yang tertulis saja atau sangat positivistik. Artinya bila dalam melaksanakan tugas ia menemui kasus dimana perbuatannya tidak diatur dalam peraturan tertulis, sedangkan menurut hukum yang hidup sangat dibenci dan melukai hati rakyat, maka ia akan membebaskan kasus tersebut dengan alasan hukumnya tidak ada. Inilah permasalahan yang sering dihadapi oleh para aparat penegak hukum. Seyogyanya aparat penegak hukum harus melihat semangat yang tersirat dalam Pasal 16 UU No.4 Tahun 2004 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman yang berbunyi, pengadilan atau aparat penegak hukum tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.
Dalam rangka iusconstituendum perlu dirumuskan satu kebijakan oleh Mahkamah Agung mengenai penanganan kejahatan lingkungan hidup antara lain; Para hakim harus memberi sanksi yang berat kepada pelaku kejahatan lingkungan; Memberi sanksi tegas kepada hakim yang memutus perkara kejahatan lingkungan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat; Proses peradilan perkara lingkungan hidup berada di bawah pengawasan MA. Demikian juga Jaksa Agung mewajibkan para jaksa untuk menangani dua kasus lingkungan dalam satu tahun. Disamping itu perlu dibentuk satu sistem peradilan lingkungan dimana semua kekuatan atau institusi yang terlibat dalam memberantas kejahatan lingkungan hanya merupakan sekrup-sekrup dari mesin besar perlindungan lingkungan. Dengan demikian jaksa, polisi, hakim sama-sama berdiri di atas satu panggung yang sama dan kokoh, dengan satu harapan efek dari friksi-friksi yang terjadi di antara sesama sekrup mesin anti kejahatan lingkungan dapat ditekan serendah mungkin, mereka harus senantiasa bergandengan tangan dan bekerja sama untuk memberantas kejahatan lingkungan hidup.
Kultur, menurut Lawrence Friedman, budaya adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikirannya serta harapannya. Dari aspek budaya aparat penegak hukum khususnya polisi dan jaksa mempunyai persepsi yang berbeda dengan masyarakat akademis. Masyarakat akademis menganggap bahwa kejahatan lingkungan merupakan kejahatan luar biasa karena pelakunya tidak hanya mampu menghacurkan kehidupan manusia tapi juga harta benda, lingkungan hidup dan kesejahteraan manusia di dunia, oleh karena itu perlu ditanggulangi secara luar biasa. Sementara aparat kepolisian melihat, menanggapi kasus lingkungan sebagai kasus biasa, bahkan terkesan sebagai delik aduan, karena tanpa adanya aduan dari masyarakat maka kepolisian tidak mungkin bertindak, padahal tindak pidana atau kejahatan lingkungan merupakan tindak pidana biasa. Artinya tanpa adanya pengaduan dari masyarakat polisi harus bertindak, proaktif seperti menangani kasus korupsi, narkotika dan kejahatan lainnya. Yaitu melakukan penyelidikan, penyidikan, penahanan dan penuntutan.
Pengadilan. Wibawa pengadilan akhir-akhir ini juga merosot dan mendapat sorotan sinis dari berbagai kalangan khususnya dari masyarakat pencari keadilan. Sebab dari sekian banyak kasus pencemaran dan perusakan lingkungan yang tersebar di seluruh indonesia pada tahun 2007 yaitu kurang lebih sebanyak 117 kasus, yang mendapat putusan pengadilan baru 7 kasus dikenakan sanksi pidana, (6 kasus merupkan putusan pengadilan negeri Pasuruan dan Pengadilan Negeri Mojokerto Surabaya, dan satu kasus pidana merupakan putusan pengadilan negeri Bangkinang), 2 kasus dikenakan putusan administrasi. Sedangkan 50 kasus masih dalam proses penyelidikan dan pemberkasan oleh pihak kepolisian dan sudah diteruskan ke kejaksaan, 60 kasus diselesaikan di luar pengadilan masih dalam proses, 26 kasus lainnya masih dalam proses penyelesaian dan penyelidikan oleh Bapedalda di tingkat daerah.
Kondisi penegakan hukum lingkungan tersebut menggambar¬kan masih rendahnya kesadaran hukum para pengusaha, pemilik modal, terhadap lingkungan dan sangat lambannya kinerja aparat penegak hukum didalam menjalankan tugasnya. Hal ini tentu saja telah menghancurkan semangat untuk melindungi, mencegah kerusakan dan perusakan lingkungan yang sedang tumbuh di masyarakat. Bagaimana tidak di dalam negara hukum seperti di Indonesia penegakan hukum sangat ditentukan oleh Pengadilan. Jadi meskipun Kejaksaan sudah berusaha semaksimal mungkin membuat dakwaan yang lengkap dan akurat, setelah pelaku perusakan lingkungan diajukan ke pengadilan tidak divonis, hal ini tentu menjadi bumerang bagi kejaksaan. Oleh karenanya dibutuhkan hakim-hakim yang mempunyai empati, dedikasi dan determinasi untuk menciptakan keadilan.
Dengan kata lain harus ada koordinasi, sinkronisasi yang terjalin baik dalam menegakkan hukum antara sub sistem Pengadilan dengan sub-sistem Kejaksaan dan sub- sistem subsistem lainnya. Tujuan dari satu sub-sistem harus dihayati oleh sub-sistem lainnya, dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan utama yaitu sistemnya sendiri (sistem peradilan pidana) Ketidakberesan dari suatu sub-sistem (pengadilan) akan mempengaruhi sub-sistem lainnya (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan sebaliknya). Oleh karenanya diperlukan adanya kesamaan misi dan visi dari keseluruhan sub-sistem yang ada, sehingga keadilan dapat ditegakkan.
Bagi ilmu hukum maka bagian penting dalam proses mengadili terjadi pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara, dimana hakim melakukan pemeriksaan terhadap kenyataan yang terjadi, serta menghukumnya dengan peraturan yang berlaku. Pada waktu diputuskan tentang bagaimana atau apa hukum yang berlaku untuk suatu kasus maka pada waktu itulah penegakan hukum mencapai puncaknya.
Tugas utama peradilan adalah memberikan keadilan kepada masyarakat tanpa pandang bulu, peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya murah. Sedang pengadilan merupakan salah satu pilar utama bagi suatu negara. Lembaga ini menjadi instrumen vital sekaligus refleksi bagi banyak hal, seperti penegakan hukum, pembangunan ekonomi, martabat dan moral bangsa, ketertiban dan sebagainya. Undang-undang atau berbagai kaedah hukum boleh tidak bagus tetapi penegakan hukumnya haruslah prima, primanya penegakan hukum itu ditampilkan dalam berbagai putusan tepat dari institusi pengadilan. Artinya para hakim di pengadilan dengan tepat dan ektra bijak menjatuhkan putusan yang kemudian menjadi cermin bagi tegaknya hukum, munculnya law and order. Masalahnya untuk menghasilkan putusan pengadilan yang bagus, tidak bisa tidak hakim harus memiliki kreteria yang lengkap. Harus cerdas, sebab dengan kecerdasan hakim dapat melihat suatu perkara dengan jernih dan tepat, hakim harus mengusai bidangnya, punya kejujuran, hati nurani, bermoral tinggi, manusiawi, welas asih yang kuat. Tanpa kriteria ini sulit diharapkan hakim dapat menjatuhkan putusan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Hakim seharusnya memahami betul apa yang dikemukakan pujangga besar William Shakes Peare, I stand here for law (saya berdiri disini demi hukum).
Akan tetapi harapan terciptanya pengadilan yang murah, cepat, bersih yang sesuai dengan nurani dan rasa keadilan masyarakat sepertinya jauh panggang dari api. Sebab dilihat dari aspek kultur/ atau budaya masyarakat masih permitif terhadap adanya mafia hukum. Mafia hukum merupakan hal yang wajar, masyarakat suka melakukan jalan pintas, dengan menghalalkan berbagai cara. Dalam penyelesaian suatu perkara adanya lobi, konspirasi antara pengusaha dengan aparat penegak hukum dengan memberi sejumlah dana agar kasusnya tidak dilanjutkan atau hukumannya diringankan bila perlu dibebaskan merupakan fenomena yang biasa terjadi dan masyarakat memang yang menghendaki dan sudah membudaya. Mafia hukum tampaknya sebagai sesuatu yang ada/ nyata kita rasakan tapi wujudnya tidak tampak, sehingga sulit untuk dibuktikan karena pihak-pihak terkait saling menyembunyikan.
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Indonesian Corruption Watch tentang mafia peradilan di Indonesia, menemukan banyak¬nya pola korupsi di tubuh kepolisian dalam bentuk permintaan uang jasa, penggelapan perkara dengan alasan tidak cukup bukti, negosiasi perkara dalam rangka penyususunan BAP, pemerasan dan pengaturan dalam ruang tahanan. Demikian juga di tubuh kejaksaan juga sangat buruk, terbongkarnya persekongkolan dan transaksi korup antara jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani adalah salah satu bukti.
Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi persolan tersebut adalah menyatu padukan persepsi, kepercayaan, respon dan konsep serta pendapat masyarakat terhadap fenomena
kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang luar biasa, menimbulkan dampak yang laur biasa tidak hanya nyawa manusia tapi juga mampu menghancurkan alam, dunia tempat kita berpijak, harta benda dan kesejahteraan manusia, oleh karena itu harus ditanggulangi secara serius, tekad yang kuat, bersatu padu dalam satu sistem peradilan pidana yang terpadu.
Substansi, adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sisitem itu. Substansi berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, keputusan atau aturan baru yang mereka keluarkan. Substansi punya peran penting dalam menggerakkan kinerja organisasi, sebagai pedoman, patokan dan penunjuk arah. Agar sistem peradilan pidana dapat berjalan sesuai harapan maka Undang-Undang lingkungan hidup harus sinkron, selaras, baik secara vertikal maupun horizontal dengan undang-undang yang ada diatasnya maupun dengan undang-undang yang sederajat. Namun tampaknya secara horizontal pemerintah sering mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan lingkungan seperti dikeluarkannya Perpu No.1 Tahun 2004 tentang kebijakan pemberian konsesi pertambangan di hutan lindung kepada 13 perusahaan per¬tambangan dimana ketentuan ini bertentangan dengan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang dilakukannya kegiatan pertambangan di hutan lindung.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan pada proses penegakan hukum pidana di bidang lingkungan sudah sangat lengkap terdiri dari UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (general environmental law) dan UU sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, PP tentang Pengendalian dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, PP tentang Ijin Pembuangan Limbah, UU tentang Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya dan lain-lain (sektoral environmental law). Namun demikian peraturan per¬undangundangan tersebut belum mencukupi untuk memaksa para penentu kebijakan untuk tunduk dan mematuhi kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup.
Kebijakan di bidang lingkungan hidup hanya dilihat dengan sebelah mata. Dalam pertarungan antar sektor seringkali kepentingan lingkungan hidup dikalahkan oleh sektor-sektor yang lain seperti pertambangan, energi, kehutanan, investasi, dan lain-lain.
Penyebabnya isu lingkungan hidup tidak menonjol di kalangan masyarakat luas, gerakan lingkungan hidup seringkali berbenturan secara tidak seimbang dengan kepentingan pengusaha yang sangat diperlukan keberhasilannya dalam menyerap tenaga kerja agar pengangguran dapat dikurangi. Fakta menunjukan pengusung ide-ide lingkungan hidup harus menghadapi tantangan yang sangat tidak seimbang dari penguasa politik, penguasa dunia usaha dan dari masyarakat sendiri. Kalahnya kepentingan lingkungan hidup dalam pertarungan yang tidak seimbang melawan kepentingan-kepentingan lain tersebut terjadi tidak hanya di forum-forum teknis eksekutif, tetapi juga di forum-forum politik, di lingkungan lembaga legislatif. Oleh karena itu di samping ada UU lingkungan hidup yang tentu saja berpihak pada lingkungan, banyak pula produk undang-undang di bidang lain yang justru tidak ramah lingkungan. Hal demikian tentu harus diterima sebagai kenyataan yang ada di lembaga perwakilan rakyat yang menjadi muara dari semua jenis kepentingan yang hidup dan saling bertarung dalam masyarakat.
Karena itu muncul pemikiran untuk menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup tingkat Undang-Undang Dasar. Dengan kata lain berkembang ide untuk mengadopsi normanorma dalam hukum lingkungan ke dalam rumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar sehingga kedudukannya lebih kuat. Dengan di cantumkan dalam Undang-Undang Dasar setiap produk undang-undang yang dibuat oleh lembaga parlemen dapat dikontrol karena harus tunduk pada norma konstitusi. Forum parlemen yang biasanya harus mengkompromikan pelbagai kepentingan yang saling ber¬tentangan sebagaimana tercermin dalam kehidupan msyarakat yang diwakili oleh para wakil rakyat itu harus menundukkan diri pada konstitusi sebagai hukum tertinggi.
Penutup
Hadirin sidang senat terbuka yang saya hormati Sebagai penutup pidato pengukuhan ini perkenankan saya mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sekeluarga. Saya menyadari sepenuhnya banyak pihak yang telah memberi bantuan dan dorongan sehingga saya bisa mendapatkan jabatan Guru Besar Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Dalam kesempatan ini perkenankan saya menyatakan kerendahan hati dan menyampaikan pernyataan terima kasih yang tulus kepada: 1. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya meloloskan usulan sebagai Guru Besar Bidang Hukum Pidana 2. Rektor UNS yang juga sebagai Ketua Senat, Bapak Prof. Dr. H. Muchammad Syamsulhadi, dr. Sp.KJ (K), sekretaris Senat Universitas Sebelas Maret Bapak Prof. Dr.H.Aris Sudiyanto, dr, Sp.KJ (K) dan seluruh anggota Senat Universitas 3. Dekan Fakultas Hukum, Bapak Muhammad Jamin S.H., Mhum. Pembantu Dekan I, Bapak Prasetyo Hadi Purwandoko, S.H. M.S. Pembantu Dekan II, Bapak Suradji, S.H.,M.H. Pembantu Dekan III, Bapak Suranto,S.H.,M.H. Ketua Bagian Hukum pidana Bapak Ismunarno S.H.,M.Hum. Anggota Senat Fakultas Hukum Periode 20072011. Prof. Dr. H. Setiono, S.H.,M.S. Prof. Dr. Adi Sulistyono, S.H.,M.H. Prof. Dr. Jamal Wiwoho. S.H.,M.hum. dan teman-teman Dosen Fakultas Hukum UNS serta seluruh civitas akademika Fakultas Hukum UNS yang telah banyak membantu dengan setulus hati sehingga saya bisa mendapat jabatan sebagai Guru Besar seperti sekarang ini. 4. Kepada Bapak dan Ibu Guru/Dosen sejak di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Fakultas Hukum Universitas Lampung, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. 5. Yang saya hormati, Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH, Prof. Dr. Sudharto P.Hadi, yang penuh keihlasan dan kesabaran telah membimbing penyusunan disertasi dalam menyelesaikan Program Doktor. Kepada Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,SH, Prof.Dr. H. Muladi, SH dan Prof. Mumpuni Moelatingsih SH, ketiganya mantan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, saya mengucapkan terima kasih semoga Alloh SWT membalas budi baik beliau dengan pahala yang berlipat ganda dan semoga diberi kesehatan, sehingga tetap bisa berkarya.
6. Ungkapan terima kasih yang paling tinggi saya haturkan kepada kedua orang tua, Ibunda Hartati dan Almarhum ayahanda Rikin Siswoyo, Ibunda Hj. Ariyani dan Almarhum Ayahanda Sukatno, yang telah mengasuh, membesarkan, mendidik, dan selalu mendoakan saya dalam solatnya, Semoga Alloh SWT memberi kesehatan, kebahagiaan dan panjang umur untuk ibu, dan menerima amal bakti kedua ayahanda. 7. Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada suami tercinta Letnan Kolonel Drs. Agus Subroto, yang tiada hentinya memotivasi semangat saya untuk maju, memberi dorongan moril dan siraman cinta kasih yang demikian besar sehingga saya dapat berdiri disini untuk dikukuhkan menjadi guru besar. Untuk anak-anakku tercinta Wulan Permatasari, SE , Shanti Kirana. S.Ked, Nareswari Kencana, dan Dinda Carissa, Menantu saya Lettu Inf. Roni Sugiarto, cucu saya Garda dan Geysar, yang selalu memberi semangat untuk maju bagi ibundanya. 8. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu disini, yang memberi do’a, dukungan fasilitas berupa apapun yang memungkinkan prosesi pengukuhan guru besar ini berjalan dengan lancar. Terima kasih kepada semua hadirin tamu undangan, atas kesabaran dan perhatiannya mendengarkan pidato pengukuhan ini, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyelenggaraan terdapat hal-hal yang kurang berkenan di hati.
Wassalamualaikum Wr.Wb.
Surakarta 14 Desember 2009
Hartiwiningsih