PERATURAN STANDAR MINIMUM UNTUK TINDAKAN NON-PENAHANAN (PERATURAN TOKYO)
Disahkan oleh resolusi Majelis Umum 45/110 tanggal 14 Desember 1990
I.
1.
PRINSIP UMUM
Tujuan Dasar
Peraturan Standar Minimum ini menetapkan seperakat prinsip dasar untuk memajukan penggunaan tindakan-tindakan non-penahanan, maupun pengamanan minimum bagi orang-orang yang dikenai tindakan alternatif terhadap pemanjaraan. Peraturan ini dimaksud untuk memajukan ketertiban masyarakat yang lebih besar dalam mengelolah pengadilan pidana, khususnya perlakuan terhadap pelaku kejahatan, maupun untuk memajukan rasa tanggung jawab terhadap masyarakat diantara pelaku kejahatan. Peraturan itu akan dilaksanakan dengan memperhitungan kondisi Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya di setiap negara dan maksud serta tujuan dari sistem pengadilan pidananya. 1.4. Ketika melaksanakan peraturan itu, negara-negara Anggota akan berusaha memastikan suatu keseimbangan yang layak antara hak masing-masing pelaku kejahatan, hak dari para korban, dan kepedulian masyarakat akan keamanan umum dan pencegahan kejahatan. 1.5. Negara-negara Anggota akan mengembangkan tindak-tindakan nonpenahanan dalam sistem hukum mereka untuk memberikan opsisi-opsisi lain, dan dengan demikian mengurangi penggunaan pemenjaraan, dan untuk merasionalkan kebijakan pengadilan pidana, dengan memperhitungan kepatuhan kepada Hak Asasi Manusia, kebutuhan akan keadilan sosial dan kebutuhan rehabilitasi dari pelaku kejahatan.
2.
Ruang-Lingkup Tindakan non-penahanan
2.1. Ketentuan-ketentuan yang relevan dari Peraturan ini berlaku bagi semua orang yang dikenai penuntutan, pengadilan atau pelaksanaan suatu hukum, pada setiap tahap pelaksanaan keadilan pidana. Untuk kepentingan Peraturan itu, orangorang ini diacu sebagai ”pelaku kejahatan”, tidak peduli apakah mereka dicurigai, dituduh atau dijatuhi hukuman. 2.2. Peraturan itu berlaku tanpa suatu diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal usul nasional atau sosial, kekayaan, status kelahiran atau lainnya. 2.3. Untuk memberikan keluwesan lebih besar sesuai dengan sifat dan beratnya pelaku kejahatan, dengan kepribadian dan latar belakang dari orang yang melakukan kejahatan dan dengan perlidungan masyarakat serta untuk menghindari penggunaan pemenjaraan yang tidak perlu, sistem peradilan pidana harus memberikan tindakan non-penjaraan yang berjangkauan luas, dari pengaturan pra-pengadilan sampai pasca-hukuman. Jumlah dan jenis tindakan non-penahanan yang tersedia seharusnya ditetapkan sedemikian rupa sehingga penghukuman yang konsisten tetap dimungkinkan. 2.4. Perkembangan dari tindakan-tindakan non-penahanan baru harus didorong dan dipantau dengan ketat dan penggunaannya dievaluasi secara sistematik. 2.5. Pertimbangan akan diberikan untuk menangani para pelaku kejahatan dalam masyarakat sambil menghindari sejauh mungkin penggunaan tata cara formal atau persidangan oleh suatu pengadilan, sesuai dengan pengamanan hukum dan peraturan hukum. 2.6. Tindakan non-penahanan seharusnya digunakan sesuai dengan prinsip intervensi minimum. 2.7. Penggunaan tindakan non-penahanan seharusnya merupakan bagian dari gerakan kearah depenalisasi dan dekriminalisasi dan bukan mencampuri atau memperlambat usaha ke arah itu.
3.
Pengamanan Hukum
3.1. Pengenalan, definisi dan penerapan tindakan non-penahanan harus ditetapkan oleh hukum. 3.2. Seleksi mengenai suatu tindakan non-penahanan didasarkan pada suatu penilaian kreteria yang ada berkenanan dengan sifat maupun beratnya kejahatan,
kepribadian dan latar belakang dijatuhkannya hukuman dan hak para korban.
pelaku
kejahatan,
maksud
3.3. Kebijaksanaan oleh pengadilan atau badan idenpenden berwenang lainnya yang kompeten akan dilaksanakan pada suatu tahapan prosedur dengan memastikan pertanggungjawaban penuh dan hanya sesuai dengan aturan hukum. 3.4. Tindakan non-penahanan yang menetapkan suatu kewajiban kepada pelaku kejahatan, yang diterapkan sebelum atau menggantikan pemeriksaan resmi atau sidang pengadilan, memerlukan persetujuan dari pelaku kejahatan. 3.5. Keputusan tentang pemberlakukan tindakan non-penahanan tunduk pada peninjauan oleh pengadilan atau badan idenpenden lainnya yang kompeten, berdasarkan permohonan oleh pelaku kejahatan. 3.6. Pelaku kejahatan berhak mengajukan suatu permohonan atau keluhan kepada pengadilan atau badan idenpenden berwenang lainnya yang kompeten mengenai masalah-masalah yang menyangku hak-hak pribadinya dalam pelaksanaan tindakan non-penahanan. 3.7. Instrumen yang memadai disediakan untuk jalan lain dan, kalau mungkin, perbaikan dari suatu keluahan yang berkaitan dengan ketidak-patuhan dengan Hak Asasi Manusia yang diakui secara internasional. 3.8. Tindakan non-penahanan tidak akan menyangkut percobaan medis atau psikologis atau resiko kerugian fisik atau mental yang tidak pada tempatnya, terhadap pelaku kejahatan. 3.9. Martabat pelaku kejahatan yang berada dibawah tindakan non-penahanan dilindungi sepanjang waktu. 3.10. Dalam melaksanan tindakan non-penahanan, hak pelaku kejahatan tidak boleh dibatasi lebih lanjut dari yang telah diberikan oleh badan berwenang yang kompeten yang mengubah keputusan asilnya. 3.11. Dalam melaksanakan tindakan non-penahanan, hak privasi dari pelaku kejahatan akan dihormati, sebagaimana juga hak privasi dari keluarga pelaku kejahatan. 3.12. Catatan pribadi pelaku kejahatan akan dirahasiakan dengan ketat dan tertutup terhadap pihak-pihak ketiga. Akses kepada catatan-catatan tersebut dibatasi kepada orang-orang yang secara langsung berkepentingan dengan menetapkan kasus pelaku kejahatan atau kepada orang-orang lain yang diberi wewenang dengan semestinya.
4. Clausula Penyelamatan 4.1. Tidak satupun dalam Peraturan ini akan ditafsirkan sebagai menghalangi penerapan Peraturan Standar Minimum untuk perlakuan terhadap Narapidana, Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pelaksanaan peradilan anak, Kumpulan Prinsip Bagi Perlindungan Semua Orang Dalam Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan atau suatu instrumen dan Standar Hak Asasi Manusia lainnya yang diakui oleh masyarakat internasional dan yang berkaitan dengan perlakukan terhadap pelaku kejahatan serta perlindungan hak-hak asasi mereka.
II TAHAP PRA-PERADILAN
5.
Penetapan Pra-Peradilan
5.1. Bilamana patut dan sesuai dengan sistem hukum, polisi, badan penuntut atau badan lainnya yang mengenai kasus-kasus pidana harus diberi wewenang untuk memebebaskan orang yang melakukan kesalahan karena mereka menganggap bahwa tidaklah perlu melanjutkan kasus itu demi kepentingan melindungi masyarakat, pencegahan kejahatan atau dimajukannya penghormatan terhadap hukum dan hak para korban. Untuk keperluan memutuskan kelayakan untuk membebaskan atau penentuan acara kerja, seperangkat kreteria yang sudah ditetapkan akan dikembangkan dalam setiap sistem hukum. Untuk kasus-kasus ringan jaksa dapat menetapkan tindakan non-penahanan yang sesuai, sebagaimana layaknya.
6.
Dihindarinya penahanan pra-pengadilan
6.1. Penahanan pra-pengadilan digunakan sebagai suatu sarana terakhir dalam acara kerja pidana, dengan memberi perhatian yang layak untuk penyelidikan terhadap pelaku kejahatan yang dinyatakan dan untuk perlindungan kepada masyarakat dan korban. 6.2. Alternatif kepada penahanan pra-pengadilan akan digunakan pada tahap sedini mungkin, penahanan pra-pengadilan berlangsung tidak lebih lama ketimbang yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan berdasarkan peraturan 5.1. dan dilaksanakan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat umat manusia yang hakiki.
6.3. Pelaku kejahatan akan mempunyai hak untuk mengajukan banding kepada suatu otoritas pengadilan atau otoritas mandiri lain yang kompeten dalam kasus-kasus dimana penahanan pra-pengadilan digunakan.
III. TAHAP PENGADILAN DAN DIJATUHKANNYA HUKUMAN
7. Laporan penyelidikan masyarakat 7.1. Kalau dimungkinkan dibuat laporan penyelidikan masyarakat, otoritas pengadilan dapat menarik manfaat dari suatu laporan yang dipersiapkan oleh seseorang atau suatu badan yang kompenten dan berwenang. Laporan itu haruslah berisi informasi masyarakat tentang pelaku kejahatan yang berkaitan dengan pola kejahatan dan pelaku kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini yang dilakukan orang tersebut, laporan itu juga harus menganggung informasi dan rekomendasi yang relevan dengan prosedur dijatuhakannya hukuman. Laporan itu haruslah aktual, obyektif dan tidak berkecenderungan, dengan suatu ungkapan pendapat yang diidentifikasi dengan jelas.
8. Disposisi Pemberian Hukuman 8.1. Pengadilan yang berwenang, yang mempunyai sederajat tindakan nonpenahanan, dalam mengambil keputusan haruslah mempertimbangkan kebutuhan rehabilitasi dari pelaku kejahatan, perlindungan masyarakat dan kepentingakepentingan korban, yang seharusnya diajak berkonsultasi apabila perlu. 8.2. Ototitas yang menjatuhi hukuman dapat menyelesaikan kasus-kasus dengan jalan berikut ini: a)
Saksi lisan, seperti misalnya tegoran, mengomeli dan peringatan;
b)
Pembebasan bersyarat’
c)
Hukuman status;
d) Saksi ekonomi dan hukuman moneter, seperti misalnya denda dan dendaharian; e)
Penyitaan atau suatu perintah mengambil alih;
f)
Restitusi kepada korban atau suatu perintah kompensasi;
g)
Hukuman yang ditunda atau ditangguhkan;
h)
Percobaan dan supervisi pengadilan;
i)
Suatu perintah pelayanan masyarakat;
j)
Acuan kepada pusat perawatan;
k)
Tahanan rumah;
l)
Suatu cara lain dari perlakuan non-kelembagaan;
m)
Beberapa kombinasi dari tindakan-tindakan yang tercantum diatas.
IV. TAHAP PASCA DIJATUHINYA HUKUMAN
9. Disposisi Pasca dijatuhinya hukuman 9.1. Otoritas yang kompeten akan mempunyai alternatif pasca pemberian hukuman yang luas untuk menghindari institusionalisasi dan untuk membantu pelaku kejahatan dalam integrasi mereka kembali secepatnya ke dalam mas, 9.2.
Disposisi pasca dijatuhinya hukuman dapat mencangkup :
a)Cuti dan rumah persinggahan; b)Kerja atau pembebasan pendidikan; c)Berbagai bentuk pembebasan bermasyarakat; d)Remisi; e)Pengampunan. 9.3. Keputusan tentang diposisi pasca pemberian hukuman, kecuali dalam hal pengampunan, tunduk pada peninjauan kembali oleh suatu otoritas pengadilan atau otoritas idenpenden lain yang kompeten atas permohonan pelaku kejahatan.
9.4. Setiap bentuk pembebasan dari suatu lembaga ke suatu program tindakan non-penahanan akan dipertimbangkan secepat mungkin.
V. PELAKSANAAN TINDAKAN NON-PENAHANAN
10.Pengawasan 10.1. Maksud pengawasan adalah untuk mengurangi pengurangannya kejahatan dan untuk membantu integrasi pelaku kejahatan ke dalam masyarakat dengan cara yang mengurangi kemungkinan kembalinya kejahatan. 10.2. Kalau suatu tindakan non-penahanan mengakibatkan adanya pengawasan, maka pengawasan itu akan dilaksanakan oleh suatu otoritas yang kompeten dibawah syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. 10.3. Dalam rangka suatu tindakan non-penahanan tertentu, jenis pengawasan dan perlakukan yang paling sesuai harus ditetapkan bagi setiap kasus yang tertujuan untuk membantu pelaku kejahatan untuk menimbulkan pengaruh pada kejahatan yang dilakukannya. Pengawasan dan perlakuan haruslah ditinjau secara berkala dan disesuaikan sepenuhnya. 10.4. Pelaku kejahatan, apabila diperlukan seharusnya diberikan bantuan psikologi, sosial dan material dan dengan kesempatan untuk memperkuat kaitankaitan dengan masyarakat dan memudahkan integrasi mereka ke dalam masyarakat.
11.Jangka waktu 11.1. Lamanya suatu tindakan non-penahanan tidak melebihi jangka waktu yang ditetapkan oleh otoritas kompeten sesuai dengan undang-undang. 11.2. Ketentuan dapat diambil untuk diakhirinya tindakan itu lebih awal kalau pelaku kejahatan telah memberikan tanggapan yang menguntungkan pada tindakan itu.
12.Syarat-syarat
12.1. Kalau pengusaha yang kompeten menetapkan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh pelaku kejahatan, maka otoritas itu seharusnya memperhitungkan kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan dan hak pelaku kejahatan maupun korban. 12.2. Syarat-syarat yang harus dipatuhi bersifat praktis, tepat dan sedikit mungkin, dan ditujukan untuk mengurangi kemungkinan si pelaku kejahatan terjerumus lagi ke perilaku pidana dan mengingkatkan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk berintegrasi dengan masyarakat, dengan memperhitungkan kebutuhan dari korban. 12.3. Pada awal penerapan suatu tindakan non-penahanan, pelaku kejahatan akan menerima penjelasan secara lisan dan tertulis, mengenai syarat-syarat yang mengatur penerapan tindakan itu, termasuk kewajiban dan hak pelaku kejahatan. 12.4. Syarat-syarat itu dapat dirubah oleh otoritas yang kompeten berdasarkan ketentuan-ketentuan menurut undang-undang yang berlaku, sesuai dengan kemajuan yang dicapai oleh pelaku kejahatan.
13.
Proses Perlakukan
13.1. Dalam rangka suatu tindakan non-penahanan tertentu, pada kasus-kasus yang sesuai, berbagai program, seperti kerja kasus, terapi kelompok, program di tempat tinggal dan perlakukan khusus terhadap berbagai kategori pelaku kejahatan seharusnya dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan para pelaku kejahatan secara lebih efektif. 13.2. Perlakukan harus dilakukan oleh para petugas profesional yang telah mendapat latihan yang sesuai dan mempunyai pengalaman praktis. 13.3. Apabila dibutuskan bahwa perlakukan adalah perlu, usaha seharusnya dilakukan untuk memahami latar belakang, kepribadian, bakat, kecerdasaan, nilai pelaku kejahatan dan, secara khusus keadaan-keadaan yang menyebabkan dilakukannya kejahatan. 13.4. Otoritas yang kompeten dapat melibatkan masyarakat dan sistem-sistem dukungan sosial dan merepkan tindakan non-penahanan. 13.5. Pengusaha yang bermuatan kasus dipertahankan sejauh hal itu dapat dilakukan pada tingkat yang terkendali untuk memastikan pelaksanaan programprogram perlakuan secara efektif. 13.6. Untuk setiap pelaku kejahatan, suatu catatan kasus akan dibuat dan disimpan oleh otoritas yang kompeten.
14.Disiplin dan Pelanggaran Syarat 14.1. Pelanggaran terhadap suatu syarat yang seharusnya dipatuhi oleh pelaku kejahatan dapat mengakibatkan perubahan atau pencabutan tindakan nonpenahanan. 14.2. Perubahan atau pencabutan tindakan non-penahanan akan dilakukan oleh petugas yang kompeten, ini akan dilakukan hanya setelah suatu pemeriksaan yang teliti mengenai fakta-fakta yang dikemukakan baik oleh pejabat yang melakukan pengawasan maupun oleh pelaku kejahatan 14.3. Kegagalan suatu tindakan non-penahanan seharusnya tidak secara otomatis menyebabkan diperlakukannya suatu tindakan penahanan. 14.4. Dalam hal modifikasi atau pencabutan tindakan non-penahanan, otoritas yang kompeten akan berusaha menetapkan suatu tindakan non-penahanan alternatif yang sesuai. Hukuman penjara dapat dikenakan hanya dalam keadaan tidak adanya alternatif yang sesuai. 14.5. Kekuasaan untuk menangkap dan menahan pelaku kejahatan dibawah pengawasan dalam kasus-kasus dimana terjadi pelanggaran kondisi akan ditetapkan dengan undang-undang. 14.6. Tentang modifikasi atau pencabutan tindakan non-penahanan, pelaku kejahatan mempunyai hak untuk mengajukan banding kepada otoritas mandiri yang kompeten lainnya.
IV. STAFF
15.Rekrutmen 15.1. Tidak akan ada diskriminasi dalam rekrutmen staff atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lain, kebangsaan atau asal-usul sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Kebijakan mengenai rekrutmen staff seharusnya mempertimbangan kebijakankebijakan nasional mengenai tindakan penegasan dan mencerminkan keanekaragaman dari pelaku kejahatan yang hendak diawasi.
15.2. Orang-orang yang ditunjuk untuk menerapkan tindakan nonpenahanan haruslah secara pribadi sesuai dan, dimana mungkin, telah mendapat latihan profesional dan pengalaman praktis yang memadai. Kualifikasi tersebut harus dispesifikasi secara jelas. 15.3. Untuk memastikan dan tetap menggunakan staff profesional yang memenuhi syarat, status pelayanan yang tepat, gaji yang memadai dan tunjungan yang sepadan dengan sifat pekerjaan harus dipastikan dan kesempatan haruslah disediakan bagi pertumbuhan profesional dan perkembangan karir.
16.Latihan Staff 16.1. Tujuan latihan haruslah memperjelas tanggungjawab bagi staff berkenanan dengan rehabilitasi pelaku kejahatan, memastikan hak pelaku kejahatan dan melindungi masyarakat. Latihan juga memberikan kepada staff suatu pemahaman mengenai kebutuhan untuk bekerjasama dan mengkooridnasikan kegiatan dengan instansi-instansi terkait. 16.2. Sebelum memasuki tugas, staff haruslah diberi latihan yang mencakup petunjuk mengenai sifat dari tindakan non-penahanan, maksud pengawasan dan berbagai modalitas mengenai menerapkan tindakan non-penahanan. 16.3. Setelah memasuki tugas, staff haruslah mempertahankan dan memperbaiki pengetahuan dan kapasitas profesional mereka dengan menghadiri latihan selama tugas dan kursus-kursus penyelenggara. Fasilitas yang memadai haruslah disediakan untuk keperluan tersebut.
VII. RELAWAN DAN SUMBER DAYA MASYARAKAT LAINNYA
17.Partisipasi masyarakat. 17.1. Partisipasi masyarakat seharusnya didorong karena hal itu merupakan suatu sumber utama dan salah satu faktor yang paling penting dalam memperbaiki hubungan antara pelaku kejahatan yang menjalani tindakan nonpenahanan dan keluarga serta masyarakat. Partisipasi masyarakat haruslah melengkapi usaha dari pelaksanaan peradilan pidana.
17.2. Partisipasi masyarakat harulah dianggap sebagai suatu kesempatan bagi para anggota masyarakat untuk memberi sumbangan kepada perlindungan masyarakat mereka.
18.Pemahaman dan Kerjasama masyarakat 18.1. Instansi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat umum seharusnya didorong untuk mendukung organisasi-organisasi sukarela yang memajukan tindakan-tindakan non-penahanan. 18.2. Konferensi, seminar, simposium dan kegiatan-kegiatan lain seharusnya diselenggarakan secara teratur untuk memacu kesadaran mengenai kebutuhan akan partisipasi masyarakat dalam penerapan tindakan-tindakan non-penahanan. 18.3. Semua bentuk media massa haruslah digunakan untuk membantu menciptakan suatu sikap masyarakat yang konstruktif, yang menuju kegiatankegiatan yang konduktif dengan menerapkan perlakuan non-penahanan yang lebih luas dan integrasi sosial dari para pelaku kejahatan. 18.4. Setiap usaha haruslah diambil untuk memberi informasi kepada masyarakat mengenai arti penting dari peranannya dalam pelaksanaan tindakantindakan non-penahanan.
19.
Relawan
19.1. Relawan seharusnya disaring dan d rekrut dengan teliti atas dasar bakat dan minat mereka dalam pekerjaan yang bersangkutan. Mereka akan dilatih dengan benar untuk tanggung jawab khusus yang hendak mereka pikul dan haruslah mempunyai akses kepada dukungan konseling dari, serta kesempatan untuk berkonsultasi dengan, otoritas yang berwenang. 19.2. Para relawan seharusnya mendorong para pelaku kejahatan dan keluarga mereka untuk mengembanngkan hubungan-hubungan yang bermanfaat dengan masyarakat dan ruang-lingkup kontak yang lebih luas dengan menyediakan konseling dan bentuk-bentuk bantuan yang layak sesuai dengan kapasitas mereka dan kebutuhan para pelaku kejahatan. 19.3. Para relawan haruslah diasuransikan terhadap kecelakaan, cedera dan pertanggungjawaban publik apabila melaksanakan tugas mereka. Mereka akan memperoleh pembayaran kembali atas pengeluarkan yang diberikan wewenang yang timbul selama mereka bekerja. Pengakuan publik seharusnya diberikan
kepada mereka atas pelayanan yang mereka berikan untuk kesejahteraan masyarakat.
VIII. PENELITIAN, PERENCANAAN, FORMULASI KEBIJAKAN DAN EVALUASI
20.
Penelitian dan Perencanaan
20.1. Sebagai suatu aspek terpenting dari proses perencanaan, seharusnya diupayakan untuk melibatkan masyarakat maupun badan-badan swasta dalam melaksanakan dan melakukan promosi penelitian mengenai perlakuan nonpenahanan terhadap para pelaku kejahatan. 20.2. Penelitian tentang masalah yang dihadapi para klien, praktisi, masyarakat dan pembuatan kebijakan haruslah dilaksanakan secara teratur. 20.3. Mekanisme penelitian dan informasi seharusnya dimasukan kedalam sistem peradilan untuk koleksi dan analisis data dan statistik tentang pelaksanaan perlakuan non-penahanan bagi para pelaku kejahatan.
21
Formulasi kebijakan dan perkembangan program
21.1. Program bagi tindakan non-penahanan haruslah direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari sistem peradilan pidana dalam rangka proses pembangunan nasional. 21.2. Evaluasi secara teratur seharusnya diadakan dengan tujuan untuk melaksanakan tindakan non-penahanan secara lebih efektif. 21.3. Tinjauan berkala seharusnya dilakukan untuk menilai tujuan, berfungsinya dan kedayagunaan tindakan-tindakan non-penahanan.
22
Hubungan dengan instansi dan kegiatan terkait
22.1 Mekanisme yang sesuai seharusnya dikembangkan diberbagai tindakan untuk menfasilitasi terbentuknya hubungan antara dinas-dinas yang
bertanggungjawab atas tindakan non-penahanan, cabang lain dari sistem peradilan pidana, perkembangan sosial dan instansi-instansi kesejahteraan, di bidang-bidang seperti kesehatan, perumahan, pendidikan, dan tenaga kerja, dan media massa.
23
Kerjasama Internasional
23.1. Seharusnya dilakukan usaha untuk memajukan kerjasama ilmiah antara negara-negara dibidang perlakuan non-kelembagaan. Penelitian, latihan, bantuan teknik dan petukaran informasi di antara negara-negara anggota mengenai tindakan non-penahanan haruslah diperkuat, lewat lembaga-lembaga Perserikatan BangsaBangsa untuk pencegahan kejahatan dan perlakukan terhadap pelaku kejahatan, bekerjasama erat dengan Cabang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana dari Pusat Perkembangan Sosial dan Unsuran Kemanusian Sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa. 23.2. Studi-studi perbandingan dan keselarasan ketentuan-ketentuan legislatif haruslah dilanjutkan untuk memperluas jangkuan dari pilihan-pilihan nonkelembagaan memfasiliasi penerapannya melampaui perbatasan-perbatasan nasional, sesuai dengan modal perjanjian tentang pengailihan pengawasan terhadap para pelaku kejahatan yang dijatuhi hukuman bersyarat atau dibebaskan bersyarat.