FLUKTUASI SERANGAN PENYAKIT CACAR DAUN TEH (Exobasidium vexans Mass.) PADA TRIWULAN II 2013 DI WILAYAH KERJA BALAI BESAR PERBENIHAN DAN PROTEKSI TANAMAN PERKEBUNAN (BBPPTP) SURABAYA Dina Ernawati, SP. dan Vidiyastuti Ari Yustiani, SP.
Hampir satu setengah ekspor teh di seluruh dunia berasal dari Asia dengan negara-negara
utama
penghasil
teh
adalah Sri Lanka, India, China, Vietnam, dan
Indonesia.
Penyakit
pada
daun
sangat penting dalam produksi teh ketika tanaman ditumbuhkan untuk diambil daun mudanya. Penyakit penting pada daun teh Sumber : CABI, 2007
di
Asia
adalah
cacar
daun
yang
Gambar 1. Cacar daun teh
disebabkan oleh jamur yang hanya dapat
menginfeksi daun-daun muda. Ketika daun tua, daun menjadi tahan terhadap infeksi. Penyakit terjadi sepanjang tahun di hampir seluruh areal pertanaman teh di Asia. Penyakit ini tidak ada di Afrika atau Amerika (Gianessi, 2013). Penyakit cacar daun teh (blister blight) yang disebabkan oleh Exobasidium vexans Mass. dapat menurunkan produksi pucuk basah sampai 50% karena menyerang daun atau ranting yang masih muda. Umumnya serangan terjadi pada pucuk peko, daun pertama, kedua, dan ketiga (Effendi et al., 2010). Menurut Semangun (2000), mula-mula cacar tampak seperti bercak kecil hijau pucat dan tembus cahaya pada daun muda, dalam waktu 5-6 hari bercak meluas menjadi 0,6-1,3 cm. Bercak menjadi cekung, sehingga pada sisi bawah daun terbentuk bagian yang cembung, mirip dengan cacar. Cacar ini permukaannya tampak tertutup dengan debu putih kelabu yang terdiri atas basidiospora (Gambar 1). Permukaan atas yang cekung adalah licin, mengkilat, dan biasanya lebih pucat daripada bagian yang tidak sakit. Akhirnya cacar mengering dan sering menjadi lubang. Pertanaman teh di Indonesia kebanyakan diusahakan dalam bentuk Perkebunan Rakyat (PR). Penyebaran pertanaman teh di wilayah kerja BBPPTP Surabaya dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber Data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya, 2013
Gambar 2. Peta Luas Areal Tanaman Teh di Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya pada Triwulan II Tahun 2013
Gambar 2. menunjukkan bahwa pertanaman teh diusahakan di 3 provinsi di wilayah kerja BBPPTP Surabaya yakni Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Provinsi Jawa Barat mempunyai luas areal tanaman teh terbesar yaitu 38.547,40 ha, diikuti oleh Jawa Tengah seluas 4.194 ha, dan yang terkecil adalah DIY dengan luas areal 296,51 ha. Luas serangan E. vexans pada triwulan II tahun 2013 secara keseluruhan mengalami penurunan sebesar 506,58 ha atau 11,24%, dimana luas serangan E. vexans pada triwulan I tahun 2013 sebesar 4.507,68 ha dan triwulan II tahun 2013 sebesar 4.001,10 ha seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
Sumber Data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya, 2013
Gambar 3. Grafik Perbandingan Luas Serangan Exobasidium vexans pada Teh di Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya antara Triwulan I dengan Triwulan II Tahun 2013
Tingkat serangan E. vexans pada pertanaman teh di wilayah kerja BBPPTP Surabaya ditunjukkan pada Gambar 4.
Sumber Data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya, 2013
Gambar 4. Peta Tingkat Serangan Exobasidium vexans pada Teh di Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya Triwulan II Tahun 2013
Provinsi Jawa Barat memiliki kategori tingkat serangan tinggi, sedangkan Jawa Tengah berada dalam kategori serangan rendah, dan DIY berada pada kategori serangan sedang. Wilayah-wilayah di Provinsi Jawa Tengah terutama yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat dan DIY harus mewaspadai perkembangan penyakit ini agar tidak menyebar ke wilayah tersebut. Di Indonesia cacar daun teh terutama merugikan kebunkebun di atas 900 m dari permukaan laut. Pada umumnya penyakit berjangkit pada musim hujan (Semangun, 2000). Penyakit tersebar melalui spora yang terbawa angin, serangga atau manusia. Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh kelembaban udara yang tinggi, angin, ketinggian lokasi kebun dan sifat tanaman. Kedatangan cacar daun dapat diramalkan apabila dalam 7-10 hari berturut-turut turun hujan (Departemen Pertanian, 2002). Peramalan ini bertujuan untuk memperoleh efisiensi dari usaha pengendalian dengan menggunakan fungisida (Semangun, 2000). Oleh karena itu, monitoring perkembangan penyakit beserta kondisi cuaca harus diperhatikan sebagai dasar pengambilan keputusan tindakan pengendalian yang akan dilaksanakan. Jika dilihat dari perbandingan luas serangan dan luas pengendalian secara keseluruhan terlihat bahwa luas areal yang dilakukan usaha pengendalian lebih besar dibandingkan dengan luas serangan (Gambar 5).
Sumber Data : Bidang Proteksi BBPPTP Surabaya, 2013
Gambar 5. Grafik Perbandingan Luas Serangan dan Luas Pengendalian Exobasisidum vexans pada Teh di Wilayah Kerja BBPPTP Surabaya pada Triwulan II Tahun 2013
Namun, jika dikaitkan dengan tingkat serangan yang ada, sebagai contoh di Provinsi Jawa Barat maka upaya pengendalian yang dilakukan masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Pihak-pihak terkait seperti pemerintah, swasta, dan petani harus bekerja sama untuk lebih memaksimalkan upaya pengendalian. Diperlukan upaya pengendalian secara cepat untuk dapat segera menurunkan serangan penyakit ini, seperti penggunaan fungisida. Upaya pengendalian penyakit cacar daun teh (E. vexans) dapat dilakukan antara lain dengan cara : 1. Pengaturan naungan Pengaturan naungan ini dimaksudkan agar sinar matahari dapat masuk ke kebun. Cahaya matahari dapat mempengaruhi penyakit secara tidak langsung karena cahaya dapat mengurangi kelembapan udara dalam kebun. Selain itu, Weille (1956) cit. Semangun (2000) membuktikan bahwa sinar ultra violet dari cahaya matahari dapat membunuh spora jamur secara langsung. 2. Pemangkasan di musim kemarau Pemangkasan tanaman teh di musim kemarau bertujuan agar tanaman yang baru dipangkas dapat berkembang karena pada saat ini cacar teh sulit berkembang (Departemen Pertanian, 2002). 3. Pemangkasan sejajar dengan permukaan tanah Perdu teh yang dipangkas sejajar dengan kemiringan tanah. Usaha ini memberikan beberapa keuntungan, yaitu : (1) Permukaan kebun menjadi rata sehingga kabut fungisida yang disemprotkan kurang mendapat hambatan. (2) Tidak terdapat sudut-sudut yang lembap dan kurang mendapat sinar matahari. (3) Tanaman teh dapat segera menutup sehingga pertumbuhan gulma segera tertekan (Semangun, 2000). 4. Pengaturan daur petik Pengaturan daur petik kurang dari 9 hari dapat mengurangi sumber penularan baru karena pucuk terserang sudah terpetik (Departemen Pertanian, 2002). Hal ini dikarenakan 9 hari setelah infeksi jamur sudah dapat menghasilkan spora (Semangun, 2000). Sudirman (1987) cit. Semangun (2000) membuktikan bahwa pemetikan dengan daur pendek dapat mengurangi intensitas cacar. Selain itu, pemetikan ini secara kumulatif dapat memberikan pucuk yang lebih banyak 5. Penggunaan klon tahan Klon teh yang memiliki ketahanan tinggi antara lain PS 1, RB 1, PS 354, SA 40, dan Cin 143. Klon-klon yang dilepas oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina, yaitu Gmb 1, Gmb 2, Gmb 3, Gmb 4, Gmb 5, Gmb 6, dan Gmb 7 tahan terhadap cacar teh (Semangun, 2000). 6. Penggunaan fungisida Menurut Komisi Pestisida Indonesia (1997) cit. Semangun (2000), fungisida protektan maupun sistemik dapat dipakai untuk mengendalikan cacar teh. Fungisida
tembaga yang dapat dipakai adalah hidroksi tembaga, kuproksida, dan oksiklorida tembaga. Fungisida organik protektan yang dapat dipakai adalah kaptafol, kaptan, klorotalonil, mankozeb, dan propineb, sedangkan fungisida sistemik yang dapat digunakan yaitu bitertanol, flusilazol, propikonazol, siprokonazol, tebukonazol, triadimefon, dan tridemorf. Hasil penelitian Nithyameenakshi et al. (2010) menyatakan bahwa fungisida azoxystrobin dan difenikonazol masing-masing pada konsentrasi 0,05% dapat mengurangi penyakit secara berturut-turut sebesar 72,10% dan 76,14% di bawah kondisi rumah kaca. Sementara di lapang, difenikonazol dapat mengurangi penyakit sebesar 73,63% dan azoxystrobin dapat mengurangi penyakit sebesar 71,50% jika dibandingkan dengan kontrol. 7. Penggunaan Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Berdasarkan hasil penelitian Saranavakumar et al. (2007), penyemprotan daun dengan bioformulasi PGPR yang mengandung Pseudomonas fluorescens Pf1 pada interval 7 hari secara konsisten mengurangi insidensi penyakit cacar daun teh selama dua musim. Bioformulasi PGPR ini juga meningkatkan hasil teh secara signifikan jika dibandingkan kontrol. Daftar Pustaka Bidang Proteksi. 2013. Data Triwulan II. Bidang Proteksi Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya, Jombang. CAB International. 2007. Crop Protection Compedium. Wallingford, UK. Departemen Pertanian. 2002. Musuh Alami, Hama dan Penyakit Tanaman Teh. Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat. Direktorat Perlindungan Perkebunan. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian, Jakarta. 56p. Effendi, DS., M. Syakir, M. Yusron, dan Wiratno. 2010. Budidaya dan Pasca Panen Teh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Gianessi, L. 2013. Fungicides Are Indispensable to Prevent Fungal Blisters on tea Leaves in Asia. International Pesticide Benefits Case Study No. 83. Crop Protection Research Institute. CropLife Foundation, Washington. Nithyameenakshi, S., PR. Jeyaramraja, and S. Manian. 2010 Evaluation of Azoxystrobin and Difenoconazole Against Certain Crop Disease. International Journal of Agricultural Research 5 (10) : 865-876p. Savanakumar, D., C. Vijayakumar, N. Kumar, and R. Samiyappana. 2007. PGPR-Induced Defense Responses in The Tea Plant Against Blister Blight Disease. Crop Protection 26 : 556-565p. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 835p.