STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE)
TESIS
Oleh MISWAR 067024037/SP
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE)
TESIS Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh MISWAR 067024037/SP
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (STUDI KASUS DI KOTA LHOKSEUMAWE : Miswar : 067024037 : Studi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Badaruddin, M.Si) Ketua
(Drs. Kariono, M.Si) Anggota
Ketua Program Studi,
Direktur,
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal Lulus: 8 Juli 2008
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada Tanggal 8 Juli 2008
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
: Prof. Dr. Badaruddin, M.Si
Anggota
: 1. Drs. Kariono, M.Si 2. Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si 3. Drs. Agus Suriadi, M.Si 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
PERNYATAAN STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe)
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 8 Juli 2008
Miswar
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Tidak terkecuali yang terjadi di Pemerintah Kota Lhokseumawe. Berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah lain. Oleh karena itu, peneliti ini hendak melihat strategi efisiensi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe dan apa saja kendalanya. Pembahasan mengenai strategi efisiensi dalam pemerintahan daerah akan terkait dengan beberapa teori atau konsep, diantaranya teori pemerintahan daerah desentralisasi, otonomi dan pemerintahan wirausaha, serta efisiensi beserta strategi efisiensi itu sendiri dari Rodinelli, Osborn dan Gaebler. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan pengamatan langsung dan wawancara semi terstruktur. Informan yang dipilih sebagai sumber data ditentukan secara purposive yang berjumlah 14 orang dan berasal dari pejabat pemerintah dari walikota sampai kepala desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, Strategi efisiensi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah Strategi Dana, Orang dan Aset, yaitu pendayagunaan anggaran keuangan, personal termasuk struktur organisasi dan seluruh asset/fasilitas/sarana secara seefisien mungkin dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan, manfaat dan kesinambungan yang mengacu pada tujuan organisasi pemerintah daerah dan bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Kedua, efisiensi orang atau personil. Dilakukan dengan restrukturisasi organisasi birokrasi pemerintah daerah yang sebelumnya gemuk dan boros menjadi ramping. Miskin struktur kaya fungsi. Rasionalisasi struktur organisasi ini mencakup jumlah organisasinya dan jumlah jabatan serta jumlah personil yang dibutuhkan. Ketiga, efisiensi aset/alat. Antara lain dengan pemanfaatan aset berupa gedung, tanah dan lain-lain secara maksimal. Kata kunci: strategi, efisiensi, dan pemerintah daerah
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
The efficiency is the normative case that must be done by every organization. In the normative part, the efficiency is a easy thing to said by everyone but it is not easy to be done and it is not a free trouble. It is interesting to learn deeply. It is unexcept that happened in Lhokseumawe government. Every the limitation, the challenges and the problems have different way and it will result different things. A part of area receive the outonomy enthusiastically and high creativity in public serve optimalitation case and reaching security council people. One of areas that is suitable get the appreciation is Lhokseumawe government that has done many case such as innovative programs by the same limitation as other areas. Even though researcher will know the efficient strategy that is held by Lhokseumawe government and the problem is. The explaination about the efficient strategy in district government will be connected by some theories and concepts, some of them are desentralization of district government, autonomy and industry life, also efficient and efficient strategy it self by Rodinelly, Osborn and Gaebler. Kind of the research that is used is descriptive with kwalitative approach by using direct research the semi structure interview. The object that chosen as data resourch determined purposively that account 14 persons they are from officials government from chief of town to chief of village. The result of the research shows that the first, the efficient strategy of bureaucracy that done by Lhokseumawe government is fund strategy, people and properties, those are using financial budget, personil include organization structure and all of properties/facilities efficiently by considering needs, usefull and continuing aspect that based of district government organization purpose and resource on safety people. The second, it is the person efficient. It is done by restructurization of district government bureaucracy organization that was before fat and waste to be slim. Poor structure rich function. Rasionalization of the organization structure include amount of organizations officials and people needed. The third, it is equipment efficient. Part of them by using properties such as buildings, lands and soon maximally. Keywords: strategy, efficiency, and district goverment
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang senantiasa memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini dengan judul “Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah” (Studi Kasus di Kota Lhokseumawe). Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang dengan keiklasan dan ketulusan telah banyak memberikan bantuan baik secara moriel maupun materil untuk kelancaran studi dan penulisan tesis ini, yaitu : 1. Bapak Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSAK, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Ibu Prof. Dr. Ir. Chairun Nisa, B. M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara 3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara 4. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku dosen Pembimbing I, yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini. Bapak Drs. Kariono, M.Si, selaku dosen Pembimbing II, yang telah memberikan waktu dan pemikiran dalam penyelesaian tesis ini 5. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nst, M.Si, selaku dosen Penguji I, yang selalu sabar dan memberikan waktu serta pemikiran dalam penyelesaian tesis ini serta
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Bapak Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku dosen Penguji II, yang tidak bosanbosannya memberikan waktu dan arahannya dalam penyelesaian tesis ini 6. Bapak Munir Usman, Selaku Wali Kota Lhokseumawe beserta seluruh jajaran yang telah banyak membantu dalam memberikan arahan dan data bagi penulis. 7. Para rekan-rekan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana USU Program Studi- Studi Pembangunan angkatan X (sepuluh) yang telah memberikan dukungan dan bantuan guna kelancaran studi ini. Segenap civitas akademika, terutama dosen dan staf sekretariat Sekolah Pascasarjana Studi Pembangunan USU yang telah memberikan pelayanan akademik dan adminstratif guna kelancaran studi ini. 8. Teristimewa untuk seluruh anggota keluarga, ibunda sulbiah yang berbahagia, isteri yang tercinta Asmiati dan anak-anakku Dedy Iswardy, Fachrizaldy, Fachrurrazi dan Fachrurreza yang telah memberikan inspirasi dan dukungan serta doa, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di MSP-USU Medan Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut andil dan memberi bantuan langsung maupun tidak langsung, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan atas segala saran dan kritik untuk penyempurnaan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih. Medan, 8 Juli 2008 Penulis
Miswar
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP
Identitas Nama
: Miswar
Tempat/Tgl.Lahir
: Aceh Utara, 15 Agustus 1960
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Jabatan
: Kabag. Humas dan Sistem Informasi Setdako Lhokseumawe
Alamat
: Jalan Cut Nyak Sada 4 Cot Girek Kandang Kec.Muara Dua Kota Lhokseumawe
Status Perkawinan
: Kawin
Nama Isteri
: Asmiati
Nama Anak
: 1. Dedy Iswardy 2. Fachrizaldy 3. Fachrurrazi 4. Fachrurreza
Riwayat Pendidikan 1. SD Negeri Kutablang Lhokseumawe.......................................Tahun 1967 – 1972 2. SMP Negeri I Lhokseumawe................................................... Tahun 1974 – 1976 3. SMEA Negeri Lhokseumawe.................................................. Tahun 1977 – 1980 4. Fakultas Ekonomi Unima Lhokseumawe................................ Tahun 1999 – 2003
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Riwayat Pekerjaan 1. Bendaharawan Proyek UPP-PKKR Lhoksukon....................... Tahun 1980 – 1984 2. Bendaharawan Bag.Pro. Wilayah II Aceh Utara-Tengah......... Tahun 1984 – 1985 3. Sekretaris Korpri Sub Unit Dinas Perkebunan Aceh Utara...... Tahun 1986 – 1991 4. Bendaharawan Gaji dan Rutin Dinas Perkebunan Aceh Utara. Tahun 1991 – 1995 5. Pj. Kaur Umum Dinas Perkebunan Aceh Utara........................ Tahun 1996 – 1999 6. Kaur Umum Dinas Perkebunan Aceh Utara............................ Tahun 1999 – 2001 7. Pj. Kasubbag Umum Disbunhut Aceh Utara............................ Tahun 2001 – 2005 8. Sekretaris Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Lsm........... Tahun 2005 – 2007 9. Kabag. Humas dan Sistem Informasi Setdako Lhokseumawe.. Tahun 2008.
Medan, 8 Juli 2008
(Miswar)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ....................................................................................................... i ABSTRACT ..................................................................................................... ii KATA PENGANTAR..................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ......................................................................................... v DAFTAR ISI.................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ........................................................................................... x DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii BAB I
PENDAHULUAN............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1.2. Permasalahan .............................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4. Manfaat Penelitian ......................................................................
1 1 14 15 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Strategi ........................................................................................ 2.2. Efisiensi....................................................................................... 2.3. Birokrasi...................................................................................... 2.4. Pemerintahan Daerah .................................................................. 2.4.1. Desentralisasi ..................................................................... 2.4.2. Otonomi Daerah ................................................................. 2.4.3. Pemerintahan Bercorak Wira Usaha .................................. 2.4.3.1 Entrepreneur dan Entrepreneurship......................... 2.4.3.2 Makna ”Pemerintahan Wirausaha” ......................... 2.4.3.3 Inovasi ..................................................................... 2.4.3.4 Organisasi Berkinerja Tinggi .................................. 2.5. Strategi Efisiensi dan Manajemen Biaya Strategik untuk Mengendalikan Pengeluaran Daerah........................................... 2.6. Kesejahteraan Sebagai Fungsi Pelayanan Pemerintah Daerah... 2.7. Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha.................................. 2.7.1. Strategi Inti........................................................................ 2.7.2. Strategi Konsekuensi......................................................... 2.7.3. Strategi Pelanggan............................................................. 2.7.4. Strategi Kontrol................................................................. 2.7.5. Strategi Budaya .................................................................
17 17 19 20 25 27 30 32 32 36 43 46
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
48 49 50 50 51 52 53 53
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian.................................................. 3.2. Teknik Pemilihan Informan ........................................................ 3.3. Teknik Pengumpulan Data.......................................................... 3.4. Analisis Data ...............................................................................
55 55 56 58 59
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS........................................ 4.1. Gambaran Umum Kota Lhokseumawe....................................... 4.1.1. Sejarah Singkat Lahirnya Kota Lhokseumawe ................. 4.1.2. Letak Geografis Kota Lhokseumawe................................ 4.1.3. Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe ............................. 4.1.4. Lembaga Pendidikan dan Sarana Prasarana Kota Lhokseumawe........................................................... 4.2. Visi dan Misi Pemerintah Kota Lhokseumawe........................... 4.2.1. Visi .................................................................................... 4.2.2. Misi ................................................................................... 4.3. Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah.......................... 4.3.1. Strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe ............................ 4.3.1.1 Strategi Efisiensi Dana....................................... 4.3.1.2 Strategi Efisiensi Sumber Daya Manusia........... 4.3.1.3 Strategi Efisiensi Aset/Alat (Pemanfaatan Sarana) ......................................... 4.4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi...................................................... 4.4.1. Faktor-Faktor Pendukung dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi ................................................................ 4.4.2. Faktor-Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi ................................................................ 4.5. Peran Kebijakan Strategi Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat di Lhokseumawe .............................................................. 4.5.1. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang pendidikan............................................... 4.5.2. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang kesehatan................................................. 4.5.3. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Ekonomi.................................................. 4.5.4. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Pelayanan Perizinan................................ 4.5.5. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Pembangunan Insfrastruktur ...................
60 60 60 65 67
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
67 69 69 69 70 70 76 87 92 94 94 97 100 102 105 108 111 113
4.6. Analisis........................................................................................ 4.6.1. Strategi Efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe................................ 4.6.2. Faktor-faktor yang menjadi Penghambat dan Pendukung dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi................................ 4.6.3. Peran Kebijakan Strategi Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat.........................................................
117 117 121 125
BAB V PENUTUP......................................................................................... 127 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 127 5.2. Saran............................................................................................ 129 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 132
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL Nomor
Judul
Halaman
1. Penetapan Informan Berdasarkan Informasi yang dicari .....................
57
2. Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe ......
66
3. Jumlah Penduduk dan Konsentrasi Penduduk per kecamatan dalam Kota Lhokseumawe...................................................................
67
4. Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Lhokseumawe ..........................
68
5. Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe ....................
68
6. Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe.......................
69
7. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Lhokseumawe.................. 102 8. Jumlah Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006............... 103 9. Jumlah Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006 .............................................................................. 104 10. Rasio Sekolah, Guru dan Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe 2006 ............................................................................ 104 11. Perkembangan Angka Kematian Ibu Hamil dan Bayi Kota Lhokseumawe Tahun 2006 – Mei 2008.............................................. 107 12. Struktur Perekonomian Kota Lhokseumawe Tahun 2000-2006.......... 111 13. Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Penduduk menurut Kecamaan Kota Lhokseumawe........................................................... 115
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR Nomor
Judul
Halaman
1. Grand Strategy Pemerintah Pemko Lhokseumawe dalam Pemanfaatan Sumber daya ...................................................................
75
2. Peran Kebijakan Efisiensi Terhadap Kesejahteraan Rakyat ................ 101
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Judul
Halaman
1. Wawancara dengan Pejabat Pemerintah Kota Lhokseumawe ............... 134
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat. Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat. Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
1
untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern. Keberadaan/pembentukan
daerah
otonom melalui
desentralisasi
pada
hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya. Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaran otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Berbicara soal kesajahteraan, tentu kita be!um bisa berbangga hati dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia dewasa ini. Berdasarkan data Menteri Koordinator Perekonomian, pada akhir Tahun 2004 masih terdapat 16 persen penduduk miskin di Indonesia. Apabila menuruti ukuran kemiskinan Bank Dunia US$ 2 per hari, maka masih ada 47 persen penduduk yang tergolong miskin (Tempo Interaktif, 2004), Posisi HDI (Human Development Index) Indonesia pada Tahun 2004 ada di urutan 111 (setingkat di atas Vietnam, tetapi masih di bawah Filipina, Malaysia, dan Thailand). Indeks itu didasarkan pada ukuran pendapatan per kapita serta tingkat pendidikan, kasehatan dan harapan hidup dalam lingkup kesejahteraan nasional. Di bidang pendidikan khususnya, data dari Depdiknas menunjukkan, Tahun 2004 angka putus sekolah SD/MI mencapai 650.000 siswa, sedangkan angka tidak melanjutkan mencapai 500.000. Adapun jenjang SMP/MTs angka putus sekolah mencapai 100.000 dan SMA/MA/SMK mancapai 45.000. Angka-angka tersebut kaitmengait dengan angka buta huruf di Indonesia yang jumlahnya 15,5 juta jiwa. Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan, mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan kemajuan bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan tentunya. ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal sejak tahun 2003 melalui UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003 sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat nasional dan juga di daerah-daerah.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upayaupaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic
inefficiency),
peraturan/perundang-undangan
yang
berbelit-belit
(complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin. Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo, Kompas 2004). Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal. Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme.
patronase,
keengganan
mendelegasikan,
ritualisme,
xenophobia,
ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994:35-145). Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien. Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif. Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan
birokrasi
sebagai
organisasi
publik.
Sesuatu
itu
adalah
"perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilahistilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisidefinisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama “managerialism" oleh Pollitt, "new public management” oleh Hood, "market based public
administration"
oleh
Lan
dan
Rosenbloom,
dan
"entrepreneurial
government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur. Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik. Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community). Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar ditengah
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan. Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar. Selama beberapa tahun terakhir ini semenjak diberlakukannya otonomi (mulai dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar UU No. 32/2004), kita mulai melihat adanya nuansa baru dalam praktek
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pemerintahan di daerah yang menangkap bola otonomi melalui program-program inovatif dan terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan sedang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan Tabanan, Pemko Deli Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir serta melalui Pengembangan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran Irigasi yang Partisipatif. Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS) dan Pemko Sumba Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi, 2003 dalam Prasojo, Dkk, 2004:2). Daerah lain yang juga punya prestasi yang tidak kalah menariknya seperti Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu sempat memperoleh penghargaan sebagai daerah dengan iklim investasi terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi terbaik yang disandang oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi, kecepatan, kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan pelayanan one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan dukungan sarana prasarana.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Pemko Kudus belakangan juga menjadi sorotan para Walikota-waIikota. Para Walikota tersebut ingin belajar dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola pelayanan izin satu pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga mencapai 250%. Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan. "Pemuda Award 2005", karena prestasinya di bidang ini. Hal yang sama juga terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang tak kalah inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM pemula. Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia harus menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah mendapat kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini, dan untuk itu perlu keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara terpadu. Dampaknya pun langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu pintunya, Walikota Sragen mampu menumbuhkan wirausahawan baru secara sangat signifikan di daerahnya sampai 700% pada Tahun 2004. Dampak ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen yang signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa Tengah seperti Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi pelayanan publiknya dengan pola yang sama. Satu lagi daerah yang belakangan ini sering menjadi perbincangan di era otonomi daerah adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe. Hal ini dikarenakan sejumlah program inovasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe yang terbukti mampu mengangkat derajat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secare efisien. Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
1.2. Permasalahan Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan. Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri. Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain. Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan ,
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe? 2. Faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut? 3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di Lhokseumawe?
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni: 1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program program inovatif. 2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut. 3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejateraan rakyat Lhokseumawe.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
1.4. Manfaat Penelitian Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pembahasan mengenai strategi efisiensi birokrasi pemerintahan daerah akan terkait dengan beberapa teori atau konsep, diantaranya teori strategi, efesiensi, birokrasi, pemerintahan daerah, desentralisasi, otonomi dan pemerintahan wirausaha, serta strategi efisiensi itu sendiri. Berikut ini akan dipaparkan pengertian, cakupan dan hakekat dari konsep-konsep tersebut sebagai kerangka teori dari penelitian ini.
2.1. Strategi Henry Mintzberg mendefenisikan strategi sebagai 5 P, yaitu strategi sebagai PERSPECTIF, strategi sebagai POSISI, strategi sebagai PERENCANAAN, strategi sebagai POLA kegiatan, dan strategi sebagai PENIPUAN (Ploy). Sebagai Perspectif, dimana strategi dalam membentuk misi, menggambarkan perspectif kepada semua aktifitas. sebagai posisi, dimana dicari pilihan untuk bersaing, sebagai perencanaan, dalam hal strategi menentukan tujuan performansi perusahaan, sebagai pola kegiatan, dimana dalam strategi dibentuk suatu pola, yaitu umpan balik dan penyesuaian. dan strategi sebagai penipuan yaitu muslihat rahasia. Dalam bidang manajemen, defenisi mengenai strategi cukup beragam dan bervariasi dari beberapa ahli dan pengarangnya. Gerry Johnson dan Kevan Scholes (dalam buku “Exploring Corporate Strategi”) misalnya mendefinisikan strategi sebagai arah dan cakupan jangka panjang organisasi untuk mendapatkan keunggulan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
17
melalui konfigurasi sumber daya alam dan lingkungan yang berubah untuk mencapai kebutuhan pasar dan memenuhi harapan pihak yang berkepentingan (stakeholder). Menurut Iman Mulyana, Strategi adalah ilmu dan seni menggunakan kemampuan bersama sumberdaya dan lingkungan secara efektif yang terbaik. Terdapat empat unsur penting dalam pengertian strategi yaitu: kemampuan, sumberdaya, lingkungan, dan tujuan. Empat unsur tersebut sedemikian rupa disatukan secara rasional dan indah sehingga muncul beberapa alternatif pilihan yang kemudian dievaluasi dan diambil yang terbaik. Lantas hasilnya diumumkan secara tersurat sebagai pedoman taktik yang selanjutnya turun pada tindakan operasional. Rumusan strategi paling tidak mesti memberikan informasi apa yang akan dilakukan, mengapa dilakukan demikian, siapa yang bertanggung jawab dan mengoperasionalkan, berapa besar biaya dan lama waktu pelaksanaan, hasil apa yang akan diperoleh. Akhirnya tidak terlupa keberadaan strategipun harus konsisten dengan lingkungan, mempunyai alternatif strategi, fokus keunggulan yang menyeluruh, mempertimbangkan kehadiran resiko, serta dilengkapi tanggung jawab sosial. Singkatnya strategi yang ditetapkan tidak boleh mengabaikan tujuan, kemampuan, sumber daya, dan lingkungan. Pengabaian terhadap kualitas maupun kuantitas salah satunya memastikan dan membuka keberadaan titik serang kompetitor. Dari berbagai pengertian dan defenisi mengenai strategi, secara umum dapat didefinisikan bahwa strategi itu adalah rencana tentang serangkaian tindakan, yang mencakup seluruh elemen yang terlihat maupun yang tidak terlihat, untuk menjamin keberhasilan mencapai tujuan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
2.2. Efesiensi Hal yang paling rawan adalah apabila efesiensi diartikan sebagai penghematan, karena bisa menggangu operasi, sehingga pada gilirannya akan mengganggu hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan juga tidak setinggi yang diharapkan. Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efesiensi. Persepsi yang tidak tepat mengenai efesiensi dengan menganggap semata-mata sebagai penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai program pengurangan biaya (Cost reduction program), yang sebaliknya dipandang sebagai Program perbaikan biaya (Cost improvement program) yang berarti mengefektifkan biaya. (Kisdarto, 2002:139) The Liang Gie dalam rujukan Filsafat Administrasi menyebutkan, Efesiensi adalah perbandingan terbaik antara suatu kegiatan dengan hasilnya, menurut defenisi ini, efesiensi terdiri atas dua unsur yaitu kegiatan dan hasil dari kegiatan tersebut. Kedua unsur ini masing – masing dapat dijadikan pangkal untuk mengembangkan pengertian efesiensi berikut a. Unsur kegiatan yaitu suatu kegiatan dianggap mewujudkan efesiensi kalau suatu hasil tertentu tercapai dengan kegiatan terkecil. Unsur kegiatan terdiri dari lima sub unsur, yaitu pikiran, tenaga, bahan, waktu dan ruang. b. Unsur hasil yaitu suatu kegiatan dianggap mewujudkan efesiensi kalau dengan suatu kegiatan tertentu mencapai hasil yang terbesar, unsur hasil terdiri dari dua sub unsur, yaitu jumlah (kuantitas) dan mutu (kualitas).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Efesiensi merupakan sebuah konsep yang bulat pengertiannya dan utuh jangkauannya. Hal ini berarti bagi efesiensi tidak tepat dibuat tingkat-tingkat perbandingan derajat, seperti ”lebih efisien” atau ”paling efesien”. Efesiensi adalah perbandingan terbaik diantara dua unsur kegiatan dan hasilnya. Oleh karena itu tidaklah mungkin dikatakan perbandingan yang ”lebih” atau ”paling” terbaik. Kemungkinannya adalah efisiensi dan nonefisiensi.
2.3. Birokrasi Birokrasi seringkali memiliki makna ganda yang berbeda, pertama ia selalu dikaitkan dengan ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayananan – pelayanan pemerintah, seperti kelambanan, kekakuan, pungli, dan korupsi. Ini terjadi karena persepsi masyarakat mengenai birokrasi sebagai salah satu sumber pelayanan publik pada umumnya cenderung negatif, namun disamping makna yang negatif itu, birokrasi sebenarnya memiliki makna yang lain. Birokrasi sebagaimana dijelaskan oleh Weber, adalah suatu organisasi modern yang memiliki struktur tertentu, seperti hirarkhi, spesialisasi, impersonalitas, dan formalisasi yang memungkinkan ia bekerja secara efisien dan efektif,. Namun karena dalam banyak kasus birokrasi publik sering kali gagal dalam memberi pelayanan yang efisien dan adil kepada masyarakat maka makna yang pertama itu yang kemudian dominan dalam masyarakat. Perlu diberikan penjelasan terhadap adanya kesalah pahaman umum bahwa pengertian birokrasi diberikan kepada hal–hal seperti jika seorang ingin mendapatkan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
informasi tertentu dikirim dari pejabat satu kepada pejabat yang lain, tanpa mendapat informasi yang diinginkan. Demikian pula keharusan pengisian formulir-formulir dalam enam lembar atau lebih. Sehingga birokrasi dihubungkan dengan kemacetankemacetan administrasi atau tidak adanya efesiensi. Padahal pengertian birokrasi yang sebenarnya bukan itu. Birokrasi dimaksud untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan oleh banyak orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Dalam perumusan lain dikemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah (Tjokroamidjoyo, Bintoro, 1988). Menurut (Blau dan Page, 1956) birokrasi justeru untuk melaksanakan prinsipprinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efesiensi administratif, biarpun kadangkala dalam pelaksanaannya birokratisasi akibatnya seringkali malahan kurang adanya efesiensi. Istilah birokrasi pertama kali diperkenalkan oleh max Weber, sosiolog Jerman. Birokrasi merujuk pada hubungan rasional sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam wujud konkritnya, hubungan tersebut terwadahi dalam organisasi. Melalui organisasi sekelompok orang berkumpul dan bersepakat melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu yang disepakati.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Agar hubungan antar orang dalam organisasi tersebut berjalan efektif sehingga tujuan bisa dicapai secara efektif dan efisien, maka hubungan tersebut harus diatur secara rasional. Pertama, hubungan tersebut harus diatur dalam bentuk peraturan. Dengan peraturan yang jelas maka peran yang dimainkan seseorang dalam organisasi, wewenang dan batas-batasnya jelas. Kedua, harus dibuat tata jenjang hirarki dan tingkat kewenangan. Ini berarti bahwa ada tata jenjang tingkat atas dan tingkat bawah. Yang berada pada tingkat atas mempunyai kewenangan dan mengendalikan tingkat bawahnya. Ketiga, harus didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis. Keempat, orang yang menduduki jabatan dalam organisasi tersebut harus orang yang terlatih, Kelima, hubungan kerja di antara orang-orang dalam organisasi didasarkan pada hubungan impersonal: tak mendasarkan pada hubungan-hubungan yang bersifat pribadi seperti belas kasih, tak tega, kasihan, dan lain-lain karena saudara / keluarga / teman baik. Birokrasi lokal yaitu organisasi pemerintahan daerah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan daerah untuk mencapai tujuan negara pada lingkup daerah. Birokrasi lokal terdiri atas kepala daerah beserta aparaturnya. Pada daerah Pemkab dan kota berarti Bupati/walikota dan aparaturnya sekretaris daerah dan bawahannya, kepala dinas dan bawahannya, kepala kantor dan bawahannya, kepala badan dan bawahannya, camat dan bawahannya, lurah dan bawahannya, dan direktur BUMD dan bawahannya.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Semua aparatur pemerintah daerah diluar kepala daerah yang duduk dalam birokrasi lokal disebut birokrat lokal. Para birokrat lokal bekerja atas dasar sistem merit, yaitu kecakapan dan keahlian. Birokrasi lokal merupakan konsekuensi kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah. Dengan desentralisasi/otonomi daerah maka lahirlah daerah otonomi yaitu daerah yang berhak mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi masyarakatnya. Disebut birokrasi lokal karena organisasi birokrasi ini berada dibawah pemerintahan lokal (daerah). Kedudukan dan tugas pokok birokrasi lokal sebagai pelaksana kebijakan pemerintah daerah, baik yang ditetapkan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan maupun pemerintah pusat. Sedangkan fungsinya adalah memberikan pelayanan publik demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah yang bersangkutan. Dalam hal memberikan pelayanan publik, sesuai dengan lima prinsip konsep birokrasi Max Weber, maka birokrasi lokal harus profesional dalam memberikan pelayanan publik, yang mencakup pelayanan publik, pembangunan infrastruktur ekonomi, dan penciptaan ketentraman, ketertiban dan keamanan masyarakat. Ciri-ciri utama dari struktur birokrasi didalam tipe idealnya menurut Max Weber adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan-kegiatan reguler yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi dalam cara yang tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Pembagian kerja yang jelas ini memungkinkan untuk mengerjakan tenagatenaga spesialisasi dalam tiap jabatan, dan membuat mereka bertanggung jawab untuk pelaksanaan efektif dari tugasnya tersebut.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hirarki, yaitu jabatan yang lebih rendah berada dibawah pengawasan atau pimpinan dari pada jabatan yang lebih atas. Setiap pejabat didalam hirarki administratif ini dapat diminta pertanggungan jawabnya oleh atasannya mengenai keputusan atau kegiatan pejabat yang dibawah pimpinannya itu. Supaya ia dapat memimpin bawahan, seorang mempunyai kewenangan atas bawahan tersebut, yaitu mempunyai hak untuk mengeluarkan petunjuk/instruksi dan bahwa atas kewenangan itu, bawahan diminta kesediaannya untuk menuruti. Kewenangan tersebut hanyalah terbatas kepada pemberian petunjuk/instruksi yang relevan dengan tugas atau fungsi jabatan. Penggunaan dari prerogatif status untuk memperluas kekuasaan terhadap bawahan tidak dibenarkan karena tidak sesuai pelaksanaan kewenangan birokratis yang sah (legitimate). 3. Operasi-operasi atau pelaksanaan kegiatan, dikendalikan oleh suatu sistem peraturan yang konsisten dan pelaksanaan dari pada peraturan-peraturan ini terhadap kejadian atau kasus-kasus tertentu. Sistem dari standar ataupun peraturan-peraturan ini dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan, tanpa melihat jumlah orang yang terlibat didalamnya, serta untuk koordinasi berbagai tugas. Peraturan atau tata cara tersebut juga memberikan pembatasan wilayah tanggung jawab setiap anggota organisasi dan hubungan antar mereka. Pelaksanaan kegiatan yang mendasarkan diri kepada peraturan atau standar-standar tersebut dipakai untuk jabatan-jabatan di tingkat bawah yang bersifat rutin, tetapi juga untuk jabatanjabatan tinggi ada standar untuk menjadi dasar pelaksanaan kegiatannya. 4. Pejabat yang ideal dalam sesuatu birokrasi melaksanakan kewajiban didalam semangat formil non pribadi. Artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Supaya standar-standar rasional dapat berjalan dalam pelaksanaan kegiatan tanpa gangguan pertimbangan yang bersifat pribadi, maka suatu pendekatan yang non pribadi harus berlaku didalam suatu organisasi dan terutama kepada pelanggan. Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi didalam urusan jabatan berarti suatu pra kondisi untuk sikap tidak memihak dan juga untuk efisiensi. Dan sebetulnya hal ini adalah untuk keuntungan mereka yang dilayani. Dengan sikap pelayanan yang sama berarti juga membina demokrasi dalam administrasi. 5. Penempatan kerja didalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Didalam suatu organisasi birokrasi, penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karir. Ada sistem promosi, entah atas dasar senioritas atau prestasi atau keduaduanya. Kebijaksanaan kepegawaian demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan tumbuhnya jiwa korps diantara para anggotanya. Identifikasi anggota organisasi dengan organisasinya merangsang mereka mengusahakan tujuan dan kepentingan organisasi secara lebih baik.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
6. Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari penglihatan teknis akan dapat memenuhi efisien tingkat tertinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efisien dari pada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya. Birokrasi memecahkan masalah organisasi yang utama, yaitu memaksimalkan efisiensi organisasi dan bukan dari masing-masing anggota organisasi tersebut. Untuk inilah maka diperkembangkan spesialisasi dan pengadaan serta penempatan kerja pegawai atas dasar kualifikasi teknis. 2.4. Pemerintahan Daerah Secara politis, desentralisasi dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi tuntutan golongan minoritas yang menuntut otonomi dalam wilayahnya. Makin tinggi praktek-praktek diskriminasi, akan makin kuat menciptakan tuntutan akan otonomi. Tuntutan tersebut ditujukan agar golongan minoritas dapat menikmati hak-hak yang sama dengan yang dinikmati oleh golongan mayoritas. Di berbagai belahan dunia, desentralisasi juga dipakai sebagai suatu alat untuk meredam gejolak politik yang ditimbu!kan oleh golongan separatis. Dari situasi ini muncullah kebutuhan untuk mendesentralisasikan sebagian kewenangan pemerintah dalam konotasi politik maupun administratif. Dalam konteks ini timbul kebutuhan membuat kebijakan membentuk unit pemerintahan lokal, dengan kewenangan-kewenangan yang berkarakter lokal, dengan suatu asumsi bahwa masyarakat setempatlah yang paling tahu persoalan-persoalan yang dihadapinya dan cara-cara untuk memecahkan persoalan tersebut secara efektif. Oleh karena itu keberadaan pemerintahan sendiri di tingkat daerah adalah sangat penting untuk artikulasi kepentingan rakyat daerah yang pada akhirnya secara kumulatif akan menguntungkan persatuan dan kesatuan negara dan bangsa.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Secara
tradisional,
argumen
keberadaan
pemerintah
daerah
lebih
dititikberatkan pada kepentingan untuk mengetahui kondisi daerah untuk menangani persoalan-persoalan daerah secara lebih efektif. Tujuan lainnya adalah bahwa dengan adanya pemerintah daerah akan memungkinkan adanya interaksi yang efektif antara rakyat dengan wakil-wakilnya ataupun dengan birokrasi pemerintah daerah. Hoessein
menjelaskan
bahwa
konsep
Pemerintahan
Daerah
(local
Government) dapat mengandung tiga arti. Pertama, berarti pemerintah lokal. Kedua, berarti pemerintahan lokal yang dilakukan oleh pemerintah lokal. Ketiga, berarti daerah otonom. Local Government pada arti pertama menunjuk pada lembaga atau organnya. Maksudnya local Government adalah organ/badan/organisasi pemerintah di tingkat daerah atau wadah yang menyelenggarakan kegiatan pemerintahan di daerah. Local Government dalam arti kedua menunjuk pada fungsi/kegiatannya. Dalam arti ini local Government sama dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks Indonesia pemerintahan daerah dibedakan dengan istilah pemerintah daerah. Pemerintah daerah adalah badan atau organisasi yang lebih merupakan bentuk pasifnya, sedangkan pemerintahan daerah merupakan bentuk aktifnya. Dengan kata lain, pemerintahan daerah adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. De Guzman dan Taples, menyebutkan unsur-unsur .pemerintahan daerah yaitu : 1. Pemerintahan daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara 2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum 3. Pemerintahan daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
penduduk setempat 4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundangan 5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya.
Hoessein
menjelaskan
bahwa
otonomi
daerah
berhubungan
dengan
pemerintahan daerah otonom (self local-Government). Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional. 2.4.1. Desentralisasi Berdasarkan realitas negara-negara yang ada di dunia Bowman dan Hampton dalam Oentarto,dkk. berpendapat bahwa tidak ada satupun pemerintah dari suatu negara dengan wilayah yang luas dapat menentukan kebijaksanaan secara efektif ataupun dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efisien melalui sistem sentralisasi. Dari pandangan ini dapat dilihat urgensi kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan pemerintah pusat baik dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar pemerintah pusat itu sendiri. Dalam pengertian yang luas, penyerahan atau pelimpahan sebagian kewenangan pemerintah pusat tersebut masuk dalam domain kebijakan desentralisasi Argumen di atas memberikan gambaran bahwa pada hakekatnya otonomi daerah tidak lain merupakan refleksi dari power sharing yaitu pembagian atau
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
distribusi kewenangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan kebijakan desentralisasi. Konsep power sharing tersebut dilakukan oleh pemerintah mengingat luasnya wilayah negara yang harus dikelola. Rondinelli dalam Oentarto dkk, mengatakan bahwa desentra!isasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat baik kepada pemerintah daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat yang ditugaskan di daerah. Dalam hak kewenangan diserahkan kepada pemerintah daerah, kebijakan tersebut disebut devolusi. Sedangkan kalau kewenangan dilimpahkan kepada pejabatpejabat pusat yang ditugaskan di daerah, maka hal tersebut masuk dalam kategori kebijakan dekonsentrasi. Sebagai
model
pertama
pelaksanaan
devolusi
diwujudkan
dengan
pembentukan daerah otonom dan pemberian otonomi serta dibentuknya lembaga daerah seperti pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sedangkan lembaga yang dibentuk dengan kebijakan dekonsentrasi sebagai model kedua, disebut instansi vertikal dan wilayah kerjanya disebut wilayah administrasi yang dapat mencakup satu atau lebih wilayah daerah otonom. Pada umumnya semua negara yang mempunyai wilayah yang luas menganut kebijakan desentralisasi yang dimanifestasikan dalam bentuk unit pemerintahan bawahan (sub-national government). Kebijakan desentralisasi ini dilakukan untuk menjaga agar kegiatan pemerintahan dapat dilakukan secara efektif dan efisien (Oentarto, Suwandi, Riyamadji, 2004:11).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Khusus untuk pemahaman di Indonesia, apa yang secara umum dipahami sebagai devolusi, dalam praktik pemerintahan disebut dengan istilah desentralisasi. Sedangkan istilah dekonsentrasi dalam praktek di Indonesia tidak mengalami perubahan pengertian. Dekonsentrasi tetap dipahami sebagai pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang ditugaskan di daerah untuk menjalankan sebagian dari kewenangan pusat yang dilaksanakan di daerah. Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kerja di pemerintah pusat. Program didesentralisasikan dengan harapan keterlambatan-keterlambatan dapat dikurangi. Juga diperkirakan desentralisasi akan meningkatkan pemerintah menjadi lebih tanggap pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah pada rakyatnya. Desentralisasi sering juga dimaksudkan sebagai cara untuk mengelola pembangunan ekonomi secara lebih efektif dan efisien. Dilain pihak desentralisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah dan memperoleh informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun program-program daerah secara lebih responsif dan untuk mengantisipasi secara cepat manakala persoalan.-persaoalan timbul dalam pelaksanaan. Secara ekonomis desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi yang terlihat dari terpenuhinya kebutuhan rakyat daerah melalui pelayanan yang diberikan oleh
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pemerintah daerah. Desentralisasi merupakan alat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beragam atas barang dan jasa publik sesuai dengan kekhususan wilayahnya. Sebagai contoh, pemerintah daerah menyediakan fasilitas-fasilitas pariwisata untuk daerah dengan potensi pariwisata yang dominan. Secara ekonomis desentralisasi dapat mengurangi biaya dan meningkatkan pelayanan pemerintah karena mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, dan secara efektif memanfaatkan sumber daya manusia. Atas dasar berbagai argumen tersebut, maka dapat disimpulkan adanya dua tujuan utama dari kebijakan desentralisasi. Pertama adalah tujuan politis yang ditujukan untuk menyalurkan partisipasi politik masyarakat daerah dalam usaha menggalang stabilitas politik nasional. Kedua adalah tujuan administratif dan ekonomis yaitu untuk meyakinkan bahwa pembangunan telah dilaksanakan secara efektif dan efisien di daerah-daerah untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. 2.4.2. Otonomi Daerah Otonomi mempunyai arti pemerintah sendiri dimana auto berarti sendiri dan nomes berarti pemerintahan. Lebih spesifik lagi Manan mengemukakan bahwa otonomi mengandung arti “kemandirian” untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri dimana beliau mendefinisikan sebagai “Kebebasan dan kemandirian satuan pemerintahan lebih rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang boleh diatur dan diurus
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
secara bebas dan mandiri itu menjadi atau merupakan urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah tersebut. Kebebasan dan kemandirian merupakan hakekat isi otonomi”. Perlu ditekankan kembali disini bahwa arti kebebasan dan kemandirian disini adalah dalam arti ikatan kesatuan yang lebih besar. Menurut Pide, pada dasarya penyelenggaraan azas desentralisasi akan menghasilkan “daerah otonomi”, sedangkan urusan yang diserahkan kepada daerah otonom yang menjadi hak atau kewenangannya di sebut “otonomi daerah” atau otonomi saja. Daerah yang menerima penyerahan wewenang dari pusat dengan cara desentralisasi atau devolusi menjadi daerah otonom. Daerah ini disebut daerah otonom karena penduduknya berhak mengatur dan mengurus kepentigannya berdasarkan prakarsanya sendiri. Maksudnya daerah tersebut memiliki kebebasan untuk mengatur dan mengurusi urusan-urusan rumah tanggannya (kepentingannya sendiri) yang diperbolehkan oleh undang-undang tanpa mendapat campur tangan langsung dari pemerintah pusat. Di sini posisi pemerintah pusat hanya mengarahkan, mengawasi, dan mengendalikan agar penyelenggaraan otonominya tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan yang diterapkan Contoh daerah otonom (local self Government) adalah Pemkab dan kota. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pemkab dan Kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada Pemkab dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
otonom penuh. Hal ini berbeda dengan status Pemkab dan kota di bawah UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Di bawah undang-undang ini Pemkab dan kota, disamping sebagai daerah otonom juga sebagai daerah/wilayah administrasi atau local state Government. Perbedaan antara daerah otonomi dengan otonomi daerah adalah daerah otonomi menunjuk pada daerah/tempat (geografi) sedangkan otonomi daerah menunjuk pada isi otonomi atau kebebasan masyarakat. Charles Eisenmann menjelaskan bahwa otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan. Sementara The Liang Gie menjelaskan otonomi adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang mencakup mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan penduduk. Jadi, otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, msngendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku.
2.4.3. Pemerintahan Bercorak Wirausaha 2.4.3.1. Entrepreneur dan Entrepreneurship Kajian mengenai pemerintahan berjiwa wirausaha tidak bisa dilepaskan dari pembahasan kewirausahaan dalam pengertian atau sudut pandang bisnis sebagai sumber munculnya istilah tersebut.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Istilah ”entrepreneur” berasal dari perkataan bahasa Perancis dan secara harfiah berarti perantara (Bahasa Inggris: Between-taker atau go-between). Pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 para entrepreneur seringkali tidak dibedakan dengan kelompok manajer dan kelompok pengusaha terutama dipandang dari sudut perspektif ekonomi. Pada pertengahan abad ke-20. muncullah pandangan tentang seorang entrepreneur sebagai seorang inovator/orang yang menemukan halhal baru (Winardi, 2003:2-3). Schumpeter seorang ekonom yang banyak melakukan penelitian-penelitian tentang entrepreneur, mengemukakan (Winardi, 2003:3) : “Fungsi para entrepreneur adalah mengubah atau merevolusionerkan pola produksi dengan jalan memanfaatkan sebuah penemuan baru (invention) atau secara !ebih umum, sebuah kemungkinan teknogikal untuk memproduksi sebuah komoditi baru, atau memproduksi sebuah komoditi lama dengan cara baru, membuka sebuah sumber suplai bahan-bahan baru, atau suatu cara penyaluran baru (ingat saluran distribusi dalam kegiatan pemasaran), atau mereorganisasi sebuah industri baru”. Mengenai siapa yang layak disebut sebagai entrepreneur, Drucker menisbatkannya kepada seorang yang mampu mengalihkan sumber-sumber daya dari daerah-daerah yang menghasilkan hasil rendah atau hasil-hasil yang sedang menyusut, ke bidang-bidang yang memberikan hasil tinggi, atau yang meningkat. Ia perlu memangkas masa lampau dan ia perlu melepaskan apa yang berlaku. Ia harus menciptakan hari esok (Winardi, 2003:13). Drucker menekankan pada bahwa sumber-sumber daya harus dialokasikan ke peluang-peluang bukan masalah-masalah, maksimalisasi peluang merupakan sebuah definisi berarti bahkan sangat tepat untuk
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pekerjaan entrepreneurial. Ia mengimplikasikan bahwa efektivitas dan bukanlah efisiensi bersifat esensial di lingkungan bisnis. Menurut
Schermerhorn
dalam
Winardi
(2003:16-17),
ada
sejumlah
karakteristik tipikal entepreneur yang antara lain mencakup: a. Lokus pengendalian internal: para entrepreneur beranggapan bahwa mereka berkemampuan untuk mengendalikan nasib mereka sendiri, mereka mampu mengarahkan diri mereka, dan mereka menyukai otonomi. b. Tingkat energi tinggi: para entrepreneur merupakan manusia yang persisten, yang bersedia bekerja keras, dan mereka bersedia untuk berupaya ekstra untuk meraih keberhasilan. c. Kebutuhan tinggi akan prestasi: para entrepreneur termotivasi untuk bertindak secara individual untuk melaksanakan pencapaian tujuan-tujuan yang menentang. d. Toleransi terhadap ambiguitas: para entrepreneur merupakan manusia yang bersedia menerima resiko; mereka mentoleransi situasi-situasi yang menunjukkan tingkat ketidakpastian tinggi. e. Kepercayaan diri : para entrepreneur merasa diri kompeten, dan mereka yakin akan diri mereka sendiri, dan mereka bersedia mengambil keputusan-keputusan. f. Berorientasi pada action: para entrepreneur berupaya agar mereka bertindak mendahului munculnya masalah-masalah, mereka ingin menyelesaikan tugastugas mereka secepat mungkin dan mereka tidak bersedia menghamburkan waktu yang berharga.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Pengertian entrepreneurship oleh Hisrich didefinisikan sebagai proses di mana diciptakan sesuatu yang berbeda, dan yang bernilai, melalui pengorbanan waktu, dan upaya yang diperlukan di mana orang yang bersangkutan menerima resiko finansial-psikologikal dan sosial, untuk mana ia menerima imbalan moneter dan kepuasan pribadi (Winardi, 2003:164). Schumpeter melukiskan entrepreneurship sebagai sebuah proses dan para entrepreneur dianggapnya sebagai inovator yang memanfaatkan proses tersebut untuk menghancurkan kondisi status quo melalui kombinasi-kombinasi baru sumbersumber daya metode-metode perniagaan baru (Winardi, 2003:14) Adapun pandangan modern tentang entrepreneurship menerima kenyataan bahwa
individu-individu
memainkan
peranan
maha
penting
dalam
hal
mengintroduksi perubahan inovatif, dan bahwa pertumbuhan serta pengembangan muncul karena perubahan konstruktif, dan bahwa birokrasi-birokrasi yang stagnan, perlu diganti dengan organisasi-organisasi entrepreneurial yang terdesentralisasi, adaptif serta kreatif (Winardi, 2003:14) Menurut Schermerhorn, entrepreneurship merupakan perilaku dinamik, menerima risiko, kreatif serta yang berorientasi pada pertumbuhan. Seorang entrepreneur merupakan seorang individu yang menerima resiko, dan yang melaksanakan tindakan-tindakan untuk mengejar peluang-peluang da!am situasi dimana pihak lain tidak melihatnya atau merasakannya, bahkan ada kemungkinan bahwa pihak lain tersebut menganggapnya sebagai problem-problem atau bahkan ancaman-ancaman (Winardi, 2003:16).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Dari uraian di atas dapat dirangkum bahwa entrepreneurship adalah sebuah proses
(penerimaan/sebuah
ide
dan
menginvensi
sebuah
organisasi
guna
mengembangkan ide tersebut) dan para entrepreneur merupakan inovator yang memanfaatkan proses tersebut sebagai alat untuk menghancurkan kondisi status Quo melalui kombinasi-kombinasi baru, sumber-sumber daya dan metoda-metode baru dalam bidang perniagaan. la juga berusaha mengalihkan sumber-sumber daya dari daerah-daerah yang menghasilkan hasil rendah atau hasil-hasil yang sedang menyusut, ke bidang-bidang yang memberikan hasil tinggi, atau yang meningkat. Entrepreneur memiliki karakteristik tertentu yang kebanyakan dinilai positif, juga menunjang pencapaian sasarannya. Hal lain yang cukup penting adalah saat ini telah mulai digunakan cara pandang bahwa selain entrepreneurship menerima kenyataan bahwa individuindividu memainkan peranan maha penting dalam hal mengintroduksi perubahan inovatif, juga dalam kaitannya dengan birokrasi bahwa birokrasi-birokrasi yang stagnan,
perlu
diganti
dengan
organisasi-organisasi
entrepreneurial
yang
terdesentralisasi, adaptif serta kreatif Dengan pertimbangan di atas maka bisa dikatakan bahwa seorang birokrat dapat pula bertindak sebagai seorang entrepreneur. 2.4.3.2. Makna “Pemerintahan Wirausaha” Pada Tahun 1992 Osborn dan Gaebler sempat menggemparkan public Amerika maupun dunia (terutama para akademisi dan praktisi administrasi publik)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
dengan mengusung ide Pemerintahan Wirausaha yang terkenal dengan 10 prinsipnya. Osborn dan Gaebler sendiri mengakui (1996:xvi) bahwa istilah pemerintahan wirausaha mungkin mengejutkan. banyak pihak, yang berfikir bahwa wirausaha semata-mata adalah pria atau wanita yang menjalankan bisnis. Tetapi arti sebenarnya dari kata wirausaha (entrepreneur) Jauh lebih luas. Kata ini diciptakan oleh ahli ekonomi kebangsaan Perancis, J.B.Say, sekitar tahun 1800. "Wirausaha." Tulis Say.”memindahkan berbagai sumber ekonomi dari suatu wilayah dengan produktivitas rendah ke wilayah dengan produktivitas lebih tinggi dan hasil yang lebih besar. Dengan kata lain, seorang wirausahawan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Menurut Osborn dan Gaebler definisi Say berlaku juga bagi sektor swasta, pemerintah, dan sukarelawan atau sektor ketiga. Pengawas dan kepala sekolah yang dinamis menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan etektivitas. Para manajer bandar udara yang inovatif melakukan hal yang sama. Anggota komisi kesejahteraan, menteri tenaga kerja, staf departemen perdagangan -semua dapat memindahkan sumber daya ke wilayah yang produktivitas dan hasilnya lebih tinggi. Wirausaha pemerintah yang dimaksud adalah orang-orang yang melakukan persis seperti ini. Bila berbicara mengenai model wirausaha, yang dimaksud adalah lembaga sektor pemerintah yang mempunyai kebiasaan bertindak seperti ini- yang tetap menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk mempertinggi efisiensi dan efektivitas mereka (Osborne dan Gaebler, 1996:xvi)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Osborne dan Gaebler memposisikan pemerintahan wirausaha sebagai solusi di bidang
pemerintahan
karena
kebangkrutan/ketidakmampuan
birokrasi
dalam
memecahkan berbagai persoalan (yang semakin kompleks) dengan cepat dan efektif dan tuntutan perubahan yang semakin kuat. Pemerintahan wirausaha adalah anti tesis dari fakta pemerintahan dengan etos yang lamban, tidak efisien, impersonal dan memiliki
kecenderungan
rutin
menolak
perubahan,
membangun,
kerajaan,
memperbesar lingkup kendali seseorang, melindungi proyek / program (yang tidak peduli masih diperlukan atau tidak). Sebaliknya, pemerintahan bergaya "wirausaha" akan mencari cara yang lebih efisien dan efektif dalam mengelola. Pemerintahan wirausaha dicirikan bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif, dan kreatif, serta berani mengambil risiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana penghasil uang ketimbang penguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif tradisional yang hanya memberikan system penopang hidup. Ia bekerja sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan dan mengadakan berbagai usaha yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan terhadap jasa. Ia pun mengatakan, "Mari kita selesaikan pekerjaan ini," dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar (Osborne dan Gaebler, 1996:20) Secara lebih rinci Osborne dan Gaebler (1996:29-341) memetakan pemerintahan wirausaha dengan uraian 10 prinsipnya, yaitu:
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Pemerintahan Katalis Pemerintahan Katalis memisahkan fungsi pemerintah sebagai pengarah (membuat kebijakan, peraturan, undang-undang) dengan fungsi sebagai pelaksana (fungsi penyampai jasa dan penegakan). Selain itu, kemudian mereka menggunakan berbagai metode (kontrak, voucher, hadiah, insentif pajak, dan sebagainya) untuk membantu organisasi publik mencapai tujuan, memilih metode yang paling sesuai untuk mencapai efisiensi, efektivitas, persamaan, pertanggungjawaban, dan fleksibilitas. 2. Pemerintahan Milik Masyarakat Pemerintah milik masyarakat mengalihkan wewenang kontrol yang dimilikinya ke tangan masyarakat. Masyarakat diberdayakan sehingga mampu mengontrol pelayanan yang diberikan. oleh birokrasi. Dengan adanya kontrol dari masyarakat, pegawai negeri (dan juga pejabat terpilih, politisi) akan memiliki komitmen yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. 3. Pemerintahan Kompetitif Pemerintahan kompetitif mensyaratkan persaingan diantara para penyampai jasa atau pelayanan untuk bersaing berdasarkan kinerja dan harga. Mereka memahami bahwa kompetisi adalah kekuatan fundamental untuk memaksa badan pemerintah untuk melakukan perbaikan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4. Pemerintahan Berorientasi Misi Pemerintah berorientasi misi melakukan deregulasi internal, menghapus banyak peraturan internal dan secara radikal menyederhanakan sistem administratif, seperti anggaran, kepegawaian, dan pengadaan Mereka mensyaratkan setiap badan pemerintah untuk mendapatkan misi yang jelas, kemudian memberi kebebasan kepada manajer untuk menemukan cara terbaik mewujudkan misi tersebut, dalam batas-batas legal. 5. Pemerintahan Berorientasi pada Hasil Pemerintah yang result-oriented mengubah fokus dari input (kepatuhan pada peraturan dan membelanjakan anggaran sesuai ketetapan) menjadi akuntabilitas pada keluaran atau hasil. Mereka mengukur kinerja badan publik, menetapkan target, memberi imbalan pada badan-badan yang mencapai atau melebihi target, dan menggunakan anggaran untuk mengungkapkan tingkat kinerja yang diharapkan dalam bentuk besarnya anggaran. 6. Pemerintahan Berorientasi Pelanggan Pemerintah berorientasi pelanggan memperlakukan masyarakat yang dilayani siswa, orang tua siswa, pembayar pajak, orang mengurus KTP, pelanggan telepon, sebagai pelanggan. Mereka melakukan survei pelanggan, menetapkan standar pelayanan, memberikan jaminan dan sebagainya. Dengan masukan dan insentif ini, mereka mendesain organisasinya untuk menyampaikan nilai maksimum kepada pelanggan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
7. Pemerintahan Wirausaha Pemerintah
berusaha
memfokuskan
energinya
bukan
sekedar
untuk
menghabiskan anggaran. Tetapi juga menghasilkan uang. Mereka meminta masyarakat yang dilayani untuk membayar, menurut return of investment. Mereka memanfaatkan insentif seperti dana usaha, dan inovasi untuk mendorong para pimpinan badan pemerintah berpikir mendapatkan dana operasional. 8. Pemerintahan Antisipatif Pemerintahan antisipatif adalah pemerintahan yang berpikir ke depan. Mereka mencoba mencegah timbulnya masalah daripada memberikan pelayanan untuk menghilangkan masalah. Mereka menggunakan perencanaan strategi pemberian visi masa depan, dan berbagai metode lain untuk melihat masa depan. 9. Pemerintahan Desentralisasi Pemerintah Desentralisasi adalah pemerintah yang mendorong wewenang dari pusat pemerintahan melalui organisasi atau sistem. Mendorong mereka yang langsung melakukan pelayanan, untuk lebih berani membuat keputusan sendiri. 10. Pemerintahan Berorientasi Pasar Pemerintah berorientasi pasar sering memanfaatkan struktur pasar swasta untuk memecahkan masalah dari pada menggunakan mekanisme administratif, seperti menyampaikan pelayanan atau perintah dan control dengan memanfaatkan peraturan. Mereka menciptakan insentif keuangan – insentif pajak, pajak hijau, affluent fees. Dengan cara ini, organisasi swasta atau anggota masyarakat
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
berprilaku yang mengarah pada pemecahan masalah sosial. Konsep Osborn dan Gaebler di atas menurut Wahab adalah salah satu dari sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) gugus pemikiran yang berpengaruh terhadap upaya reformasi pelayanan publik, khususnya yang berkaitan dengan persoalan kualitas dan keadilan. Pertama, munculnya pemikiran baru dalam studi ilmu politik / pemerintahan yang menekankan perlunya ditegakkan prinsip pemerintahan yang berpusat pada warganegara (citizen - centered government) dan pemerintahan yang jujur (fair) dan adil (equality) sebagai terpantul lewat konsep Total Quality PolitiesTQP; Kedua, gerakan pemikiran reformasi administrasi publik yang disebut New Public Administration movement yang dipelopori oleh Marim dan Frederickson sejak dekade 1960-an dan masih berlanjut hingga sekarang; Ketiga, gerakan reformasi administrasi publik yang lebih radikal, yakni Reinventing Government movement (dipelopori oleh Osborne dan Gaebler pada 1992) yang oleh banyak kalangan dinilai berhasil dengan cukup gemilang mengkombinasikan antara Total Quality Management (TQM) dan entrepreneurial management. Wahab Juga melihat adanya satu benang merah yang dapat ditemukan Gerakan - gerakan pemikiran tersebut baik sendiri-sendiri atau secara bersama -sama, secara implisit maupun eksplisit, menekankan perlunya demokratisasi dan desentralisasi dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan (termasuk sector pelayanan publik). Di balik itu, esensi ide dasarnya ialah hasrat melenyapkan monopoli (pemerintah atau swasta), pemangkasan atau perampingan atas struktur
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
birokrasi publik yang kelewat gendut, penginjeksian sikap pro aktif, inovatif dan jiwa kewirausahaan {enterpreneurial spirit} pada diri administrator publik, serta diperhatikannya aspek keadilan dalam pemberian pelayanan publik. 2.4.3.3. Inovasi Salah seorang pakar manajemen modern Drucker, merumuskan jiwa kewirausahaan itu sebagai spotting opportunities and marshalling resources to produce innovation. Sedangkan dalam kontek, administrasi publik, menurut Staver, jiwa kewirausahaan itu adalah an adaptive, apportunistic, and individualistic response to the chaos and fragmentation of post-proqressive public administration. Kalau kedua konsep tersebut diperlukan dengan seksama, maka kata kuncinya tak lain adalah inovasi. Namun, konsep inovasi di sini tidak harus dipahami secara kaku dan diartikan hanya menyangkut sesuatu yang baru sama sekali. Inovasi dalam konteks pelayanan publik bisa pula berarti merekombinasikan secara kreatif unsurunsur yang sebelumnya sudah dikenal untuk kemudian diterapkan dalam bentuk caracara baru atau pada situasi / lingkungan baru. Kata inovasi merupakan kata serapan dari innovation, dengan kata dasar Innovate yang berarti mendapatkan faham-faham baru atau membawakan pendapatpendapat baru. Janszen dalam bukunya “The age of Innovation” menyebutkan bahwa inovasi merupakan komersialisasi dari sesuatu yang mungkin berupa technology, aplikasi baru dari produk, jasa dan proses yang baru, segmen pasar yang baru serta bentuk
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
organisasi yang baru atau pendekatan manajemen yang baru. Inovasi yang digambarkan mempunyai beberapa aspek yaitu teknologi, aplikasi produk baru, service, process dan pasar serta Inovasi Organisasi (Jones, 1986:8). Menurut Shapiro nilai inovasi mencakup lima komponen kunci yaitu strategy, measurements, processes, people, and technology
dipandang sebagai alat untuk
meningkatkan kemampuan suatu organisasi dalam mencapai kinerjanya secara optimal. Shapiro juga menyebut bahwa inovasi itu sebagai kapabilitas (innovation as a capability). Supaya kapabilitas ini dapat bekerja, Shapiro terlebih dahulu menjelaskan proses yang dapat memberikan peluang terjadinya inovasi (process enabled innovation). Proses ini sebagai suatu cara dalam mengorganisir kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber daya suatu perusahaan dengan membangun koordinasi lintas fungsional di seluruh perusahaan. Sedangkan inovasi proses berkaitan dengan menggerakkan, mengevaluasi dan mengimplementasikan pemecahan-pemecahan yang inovatif yang memungkinkan perusahaan mencapai dan memperbaharui bisnisnya (Shapiro, 2001 :7). Sementara Drucker mengatakan, bahwa inovasi morupakan tindakan yang memberi sumber daya kekuatan dan kemampuan baru untuk menciptakan kesejahteraan. Memang inovasi menciptakan sumber daya. Tidak ada sesuatupun yang menjadi “sumber daya” sampai orang menemukan manfaat dari sesuatu yang terdapat di alam, sehingga memberinya nilai ekonomis (Drucker, 1991:33).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Pengertian Inovasi tersebut melahirkan kreatifitas sebagaimana Stoner dan Freeman menyebutkan bahwa proses kreatif di dalam organisasi terdiri dari tiga tahap yaitu (Stoner dan Freeman, 1992:424). a. Generetion Ideas, munculnya ide dalam Suatu organisasi terutama tergantung keterkaitan antara orang-orang dengan informasi serta antara perusahaan dengan lingkungannya. b. Idea developments, sebagian besar dipengaruhi oleh kontak dangan lingkungan eksternal, pengembangan ide. tergantung pada culture dan proses di dalam organisasi. c. Implementation, tahap implementasi proses kreatif dalam organisasi berupa solusi dan invention terhadap marketplace.
Dari beberapa konsep inovasi tersebut dapat dirumuskan bahwa organisasi yang berdaya saing terbangun melalui suatu inovasi. Organisasi yang inovatif adalah organisasi yang memiliki kreativitas untuk menemukan dan menerapkan ide, metode dan rencana baru, atau proses menerapkan sesuatu yang baru. Sesuatu yang baru dapat berupa teknologi, produk, jasa, proses, market, organisasi, strategy, measurements, people. Penerapan sesuatu yang baru bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan atau mencapai kinerja organisasi secara optimal. Tujuan tersebut diartikan sebagai efektifitas organisasi.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Inovasi sebagai salah satu (selain efisiensi) hakekat maksud pelaksanaan desentralisasi sekaligus menjadi ukuran paling nyata keberhasilan otonomi daerah. Menilai kemajuan dalam ukuran inovasi berarti menilai seberapa jauh kebebasan yang dimiliki daerah. mampu mendorong munculnya program, kebijakan serta gagasan lokal yang cerdas, khas dan genuine dalam mensiasati setiap bentuk keterbatasan atau mengoptimalkan setiap bentuk keunggulan daerah yang dimiliki. Dalam konteks ini, inovasi menemukan arti penting. Inovasi bukan saja nama lain dari kearifan dan kejeniusan lokal yang terlembaga. Dalam tiap inovasi terpendam senantiasa kreativitas (Sobari dkk, 2004:3). Betapapun bagusnya sebuah inovasi, ia tidak akan berguna jika tidak bermakna strategis, berpotensi produktif, serta memberi efek kesinambungan. Inovasi dikatakan strategis manakala tampil sebagai jawaban atas kebutuhan daerah yang paling krusial. Inovasi dikatakan produktif manakala mampu beroperasi dilapangan sebaik yang diharapkan. Inovasi dikatakan berkelanjutan manakala tersusun secara sistematik, bukan hasil respon reaksioner dan bervisi jauh ke depan. Kombinasi kualitas strategis, produktif dan berkelanjutan suatu inovasi ditingkat gagasan maupun praktek dalam efek jangka panjang maupun pendek, selanjutnya merupakan penentu derajat dan kualitasnya sebagai sebuah kemajuan (Sobari dkk, 2004:4). 2.4.3.4. Organisasi Berkinerja Tinggi Pemerintahan yang efektif dan efisien secara keorganisasian dapat disebut sebagai organisasi berkinerja tinggi. Organisasi-organisasi sebagai suatu kesatuan sosial dari
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
sekelompok manusia, memiliki kinerja yang berbeda-beda. Popovich dalam Etzioni (1985 :7) mendifinisikan secara operasional organisasi yang berkinerja tinggi sebaga berikut: “Kelompok pekerja yang memproduksi barang dan jasa yang diinginkan dengan kualitas tinggi, menggunakan sumber daya yang sama atau lebih kecil. Perbaikan produktivitas dan kualitas yang terus-menerus, dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan tahun ke tahun, yang diarahkan untuk mencapai misinya).”.....
Sedangkan Siagian merumuskan karakteristik organisasi yang berkinerja tinggi (Siagian, 1998:27-29), yaitu : Pertama, mempunyai arah yang jelas yang tercermin pada visi yang dimiliki oleh para manajer dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kedua, tersedia tenaga-tenaga berpengetahuan dan ketrampilan tinggi yang disertai semangat kewirausahaan. Ketiga, - berkomitmen kuat terhadap rencana aksi stratagik, yaitu rencana aksi yang membuahkan keuntungan finansial yang optimal dan menempatkan organisasi pada posisi bersaing yang diandalkan. Keempat, berorientasi pada “hasil” dan memiliki kesadaran yang tinggi tentang pentingnya efektifitas dan produktivitas yang meningkat. Kelima, kesediaan membuat komitmen pada strategi yang ditentukan dan berupaya bersama seluruh komponen organisasi agar strategi tersebut membuahkan hasil yang optimal.”
Setiap organisasi untuk dapat tetap “survive” harus dapat bersifat fleksibel terhadap pengaruh lingkungannya. Sebagaimana yang dikatakan Burn dan Stalker bahwa suatu organisasi tidak akan berfungsi dengan efektif apabila strukturnya tidak disesuaikan dengan kondisi lingkungannya. Dikatakan pula bahwa apabila sistem organisasi dan manajemen tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungannya, maka akan timbul friksi, ketidaksesuaian organisasi sehingga menimbulkan masalah inefisiensi. (Kasim, 1993:47).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
2.5. Strategi Efisiensi dan Manajemen Biaya Strategik untuk Mengendalikan Pengeluaran Daerah Penggunaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja memberikan implikasi bagi pemerintah daerah untuk melakukan efisiensi dalam pengeluaran daerah. Untuk itu pemerintah daerah dituntut menerapkan manajemen biaya strategik dengan memfokuskan pengurangan biaya secara signifikan. Pengurangan biaya pelayanan publik merupakan hasil dari perbaikan kinerja pemerintah daerah. Kegagalan pemerintah daerah dalam program efisiensi pengeluaran daerah di masa lalu disebabkan oJeh beberapa faktor, antara lain: a. Pengeluaran belum berorientasi pada kinerja dan kepentingan public b. Pengeluaran daerah yang dilakukan berorientasi jangka pendek c. Pemerintah daerah bersifat reaktif, tidak proaktif untuk mengeliminasi sumber pemborosan keuangan daerah d. Tidak adanya pengetahuan yang memadai mengenai sifat biaya Strategi Efisiensi dan Pendekatan strategik dalam pengurangan biaya (manajemen biaya strategik) memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Berjangka panjang. Manajemen biaya strategik merupakan usaha jangka panjang yang membentuk kultur organisasi agar penurunan biaya menjadi budaya yang mampu bertahan lama. 2. Berdasarkan kultur perbaikan berkelanjutan (continuous improvement) dan berfokus pada pelayanan masyarakat. Manajemen biaya strategik harus dilandasi oleh semangat untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan atas kinerja Pemerintah Daerah dalam melakukan pelayanan publik. 3. Pemerintah Daerah harus bersifat proaktif. 4. Keseriusan manajemen puncak ( Kepala Daerah ) merupakan penentu efektivitas program pengurangan biaya karena pada dasarnya menajemen biaya strategik merupakan tone from the top.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Strategi Efisiensi dan Penurunan biaya Pemerintah Daerah dapat dilakukan melalui perencanaan dan pengendalian" aktivitas, yaitu dengan cara: a. Pilihan aktivitas. Strategi yang berbeda menentukan aktivitas yang berbeda. Aktivitas yang berbeda akan menyebabkan biaya yang berbeda, Pemerintah Daerah hendaknya memilih strategi yang memerlukan biaya terendah untuk mencapai tujuan Pemerintah Daerah. b. Pengurangan Aktivitas. Pengurangan biaya dapat dicapai dengan mengurangi waktu dan sumber daya yang digunakan. Pendekatan pengurangan aktivitas dimaksudkan untuk perbaikan efesiensi dengan catatan aktivitas yang dikurangi adalah aktivitas yang tidak menambah nilai bagi kesejahteraan masyarakat (nonvalue-added activities). c. Penghilangan aktivitas dan fungsi yang tidak menambah nilai bagi kesejahteraan masyarakat dan justru membebani anggaran
2.6. Kesejahteraan sebagai Fungsi Pelayanan Pemerintah Daerah Tujuan Penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah utama mensejahterakan masyarakat daerah yang bersangkutan. Untuk mencapai tujuan ini, pemarintah harus melakukan pelayanan kepada masyarakatnya. Di sini pemerintah daerah dituntut untuk menjalankan fungsinya secara efisien. Karena jika tidak demikian, tujuan pemerintah untuk menciptakan masyarakat tidak akan tercapai. Kesejahteraan masyarakat akan terwujud manakala pemerintah daerah memberikan pelayanan publik yang baik. pelayanan publik yang baik kepada masyarakat dikenal dengan pelayanan prima (exellent service), artinya memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan dan stakeholder. Pelayanan prima ini berhubungan dengan good governance, artinya untuk
bisa
melaksanakan
pelayanan
prima,
pemerintahan
daerah
harus
menyelenggarakan good governance. Jika proses kegiatan pemerintahan didasarkan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pada prinsip-prinsip good governance, maka hasilnya adalah pelayanan prima. Outcome-nya adalah kepuasan rakyat, sedangkan dampaknya adalah kesejahteraan rakyat. Menganai gambaran masyarakat yang sejahtera, berpendapat bahwa kesejahteraan secara umum berhubungan dengan tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, tingkat kenyamanan dan keamanan hidup dan tingkat kemudahan mendapat barang dan jasa yang diinginkan.
2.7. Strategi menuju Pemerintahan Wirausaha Setelah buku Reinventing Government menggambarkan peta kasar mengenai dunia baru governance abad dua puluh satu, 5-6 tahun berikutnya Osborn, kali ini bersama Plastrik mengeluarkan konsep-konsep "How to" dan Reinventing Government, melalui bukunya Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government yang berperan sebagai rute-rute pada peta tadi, menjelaskan cara mentransformasi, menata strategi untuk mentransformasi organisasi dan sistem birokratis menjadi sistem dan organisasi yang bersifat wirausaha. 2.7.1. Strategi Inti Bagian kritis pertama dari DNA (kode genetika) adalah bagian yang menentukan tujuan sistem dan organisasi pemerintah. Jika suatu organisasi tidak jelas tujuannya atau punya tujuan ganda dan saling bertentangan- organisasi itu tidak bisa mencapai kinerja yang tinggi. Strategi yang menjelaskan tujuan disebut sebagai strategi inti, karena berkaitan dengan fungsi inti pemerintahan : fungsi mengarahkan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Apabila empat strategi lainnya lebih memusatkan pada perbaikan mengarahkan. Fungsi
melaksanakan,
Strategi
inti
terutama
mengenai
perbaikan
fungsi
mengarahkan. Strategi ini menghapus fungsi-fungsi yang tidak lagi menjalankan tujuan pemerintah yang sebenarnya, fungsi yang bisa lebih baik jika dikerjakan oleh sektor swasta atau oleh tingkat pemerintahan yang lain. Strategi ini memisahkan fungsi mengarahkan dari fungsi melaksanakan (dan fungsi pelayanan dari penegakan), sehingga tiap organisasi dapat memusatkan pada satu tujuan. Dan strategi ini meningkatkan kemampuan pemerintah untuk mengarahkan dengan menciptakan mekanisme baru guna mendefinisikan tujuan dan strategi. 2.7.2. Strategi Konsekuensi Bagian penting kedua dari DNA sistem pemerintah adalah DNA yang menunjukkan sistem insentif pemerintah. DNA birokratis memberi insentif yang kuat kepada pegawai untuk taat aturan dan tunduk. Inovasi hanya akan membawa kesulitan; status quo terus-menerus mendatangkan hadiah. Pegawai dibayar sama tanpa memandang hasil. Dan sebagian besar organisasi adalah monopoli atau mendekati monopoli yang diisolasi dari kegagalan-kegagalan mereka. Tidak seperti perusahaan swasta, mereka tidak kehilangan pendapatan atau keluar dari bisnis jika pesaing bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik Para pembaru menulis kembali kode genetika untuk mengubah insentif ini, dengan menciptakan konsekuensi atas kinerja yang dihasilkan. Bila sesuai, mereka memasukkan organisasi-organisasi pemerintah ke dalam pasar dan membuat mereka
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
bergantung langsung pada pelanggan dalam hal pendapatan. Bila tidak sesuai, mereka menggunakan kontrak untuk menciptakan persaingan antara organisasi pemerintah dan (atau organisasi swasta pemerintah dengan pemerintah). 2.7.3. Strategi Pelanggan Bagian fundamental berikutnya dari sistem DNA terutama memusatkan pada akuntabilitas,
pertanggungjawaban
kepada
siapa
seharusnya
organisasi
bertanggungjawab? Sebagian besar entitas pemerintah bertanggungjawab kepada pejabat terpilih, yang membuat entitas itu, menentukan fungsi mereka, dan mendanai mereka. Karena pejabat-pejabat ini ditekan terus-menerus untuk menjawab tuntutan kelompok-kelompok
kepentingan,
mereka
sering
lebih
peduli
terhadap
penggunaar/sumber daya pemerintah daripada terhadap hasil-hasil yang mereka peroleh. Strategi pelanggan memecah pola ini dengan rnenggeser sebagian pertanggung jawaban kepada pelanggan. Strategi ini memberi pilihan kepada pelanggan mengenai organisasi yang memberikan pelayanan dan menetapkan standar pelayanan pelanggan yang harus dipenuhi oleh organisasi-organisasi itu. Penciptaan pertanggungjawaban kepada pelanggan semakin menekan organisasi organisasi pemerintah untuk memperbaiki hasil-hasil mereka, tidak sekedar mengelola sumbersumber daya mereka. Strategi ini menciptakan informasi
kepuasan pelanggan
terhadap pelayanan dan hasil-hasil tertentu dari pemerintah yang suiit untuk diabaikan oleh pejabat terpilih, manajer pemerintah. dan pegawai. Dan strategi ini
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
memberi organisasi-organisasi pemerintah sasaran yang tepat untuk dibidik: meningkatnya kepuasan pelanggan. 2.7.4. Strategi Kontrol Strategi pengendalian secara signifikan mendorong turun kekuasaan pangambilan keputusan melalui hierarki, dan kadang-kadang keluar ke kelompok masyarakat. Strategi ini menggeser bentuk pengendalian yang digunakan dari aturanaturan yang rinci serta komando hierarkis ke misi bersama dan sistem yang menciptakan akuntabilitas kinerja. Strategi ini memberdayakan organisasi dengan mengendurkan cengkeraman badan kontrol pusat. 2.7.5. Strategi Budaya Bagian kritis terakhir dari DNA sistem pemerintahan adalah DNA yang menentukan budaya organisasi pemerintah : nilai-nilai, norma, sikap, dan harapan pegawai. Budaya sangat dipengaruhi oleh bagian DNA lainnya oleh tujuan organisasi,
sistem
insentif,
sistem
pertanggungjawabannya,
dan
struktur
kekuasaannya. Ubahlah unsur-unsur ini maka budaya akan berubah. Tetapi budaya tidak selalu berubah persis seperti apa yang diharapkan para pemimpinnya. Kadangkadang budaya akan memperkeras resistensi dan kebencian. Seringkali budaya akan berubah lamban sekali dalam memuaskan pelanggan dan pembuat kebijakan. Sebenarnya setiap organisasi yang telah menggunakan empat strategi lainnya akhirnya harus mamutuskan untuk mengubah budaya organisasinya.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Sistem birokrasi menggunakan spesifikasi yang rinci -unit-unit fungsional, aturan prosedur, dan uraian pekerjaan- untuk membentuk hal-hal yang harus dikerjakan pegawai. Spesifikasi itu membuat inisiatif jadi beresiko. Apabila pegawai terbiasa dengan kondisi seperti ini, akibatnya mereka menjadi pembawa budaya itu, Mereka menjadi reaktif, menggantungkan diri, takut mengambil tertalu banyak inisiatif sendirian. Dengan cara demikian, DNA birokrasi menciptakan budaya takut, menyalahkan, dan sikap defensif. Para pembaru menggunakan tiga pendekatan untuk. membentuk kembali budaya; mereka membentuk kebiasaan, perasaan, dan pikiran organisasi. Mereka mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru dengan memberi pengalaman baru jenis pekerjaan baru dan interaksi dengan orang baru. Mereka memperkuat perilaku-perilaku baru ini dengan membantu orang lain mengalihkan ikatan emosi mereka; harapan, rasa takut, dan impian mereka. Dan mereka mendukung ikatan emosi baru ini dengan membangun misi bersama mengenai masa depan, sebuah model mental baru ke mana organisasi akan menuju dan bagaimana organisasi tersebut sampai di sana.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti turun kelapangan untuk melakukan pengamatan guna memperoleh informasi tentang strategi efisiensi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe dan faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan strategi efisiensi. Pendekatan ini sesuai dengan tujuan penelitian kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong yang mendefinisikan "metode kualitatif” sebagai: "Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati yang diarahkan pada latar dan individu tersebut secara olistik (utuh), sehingga dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variable atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan" Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian kualitatif lebih mengutamakan penghayatan untuk memahami dan menafsirkan data atau informasi yang didapatkan dilapangan sehingga akan dapat diperoleh gambaran yang lebih mendalam tentang strategi efisiensi birokrasi Pemerintah Kota Lhokseumawe. Selanjutnya guna menunjang hasil penelitian yang lebih akurat, dalam pendekatan penelitian ini menggunakan pengamatan langsung dan wawancara semi terstruktur. Wawancara dilakukan secara mendalam kepada informan dengan pedoman
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
55
wawancara yang telah disusul dan pengamatan dilakukan secara langsung terhadap strategi efisiensi birokrasi Pemerintah Kota Lhokseumawe dan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat dalam pelaksanaan efisiensi birokrasi tersebut. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan penelitian deskriptif karena panelitian ini digunakan untuk mengamati dan menganalisis strategi efisiensi birokrasi yang dilaksanakan Pemerintah Kota Lhokseumawe sehingga didapatkan gambaran nyata di lapangan., latar belakang, proses, kegiatan, keadaan dan hubungan antar fenomena berdasarkan fakta dan informasi yang di dapatkan dari kata-kata, tindakan dan gambar
3.2. Teknik Pemilihan Informan Untuk memperoleh informasi-informasi yang dibutuhkan maka dalam penelitian ini memerlukan informan. Menurut Moleong, "informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian". Agar informasi yang didapat lebih tepat dan akurat maka informan yang dimaksud haruslah mengetahui dan memahami sepenuhnya mengenai objek kajian yang diteliti. Dalam penelitian ini informan sebagai sumber data ditentukan dengan teknik purposive sampling. Berdasarkan purposive sampling dapat diperkirakan orang yang dipandang bisa memberikan data optimal diantaranya" Walikota Lhokseumawe, Asisten, Kadis Pendidikan, Kadis Kesehatan, Kadis PU, Kadis DPKAD, Kabag Umum dan perlengkapan. Kabag HOT (Hukum, Organisasi Tata laksana) Kabag Kepegawaian,
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Kabag Ekobang, Camat, Kepala Sekolah, Kepala Puskesmas dan Lurah. Karena merekalah yang menduduki posisi kunci pelaksana pemerintahan yang sangat terkait dengan pembahasan strategi efisiensi birokrasi Pemerintah Kota Lhokseumawe. Kemudian para informan diwawancarai sehingga didapatkan data-data yang dibutuhkan. Lebih lanjut mengenai orang-orang yang ditetapkan sebagai informan dan informasi yang akan diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Penetapan Informan berdasarkan Informasi yang Dicari Informasi yang ingin diperoleh
1.
2. 3. 4. 1.
2. 1.
2. 1.
1 Kebijakan umum dan Programprogram peningkatan kesejahteraan rakyat Proses awal/latar belakang kebijakan efisiensi birokrasi Kebijakan-kebijakan efesiensi birokrasi yang dilaksanakan Faktor pendukung dan hambatan yang ditemui Kebijakan dan pelaksanaan efesiensi birokrasi yang berkaitan dengan keuangan Faktor pendukung dan hambatan yang ditemui Kebijakan dan pelaksanaan efesiensi birokrasi yang berhubungan dengan sarana/fasilitas/asset Faktor pendukung dan hambatan yang ditemui Efesiensi yang berkaitan dengan pembangunan fisik
1. Kebijakan dan pelaksanaan efesiensi yang berhubungan dengan organisasi dan pesonil 2. Faktor pendukung dan hambatan yang ditemui
Informan
Jumlah Informan
2 1. Walikota Lhokseumawe 2. Asisten Tata Praja
3 2 informan
1. Kadis Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah
1 informan
1. Kabag Umum dan Perlengkapan
1 informan
1. Kadis PU 2. Kabag Ekobang
2 informan
1. Kabag Kepegawaian 2. Kabag hukum dan organisasi
2 informan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Lanjutan 1. Efesiensi di bidang kesehatan 1. Efesiensi di bidang Pendidikan 1. Kebijakan efesiensi yang terkait dengan desa/kelurahan 1. Kebijakan Efesiensi yang menyangkut kesejahteraan rakyat
1. Kadis Kesehatan 2. Kepala Puskesmas 1. Kadis Pendidikan 2. Kepala Sekolah 1. Camat 2. Kepala Desa 1. Wartawan 1. Lsm 2. Warga Masyarakat
Jumlah
2 informan 2 informan 2 informan
4 informan 14 informan
3.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Wawancara Wawancara mendalam (indepth interview) secara semi terstruktur yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka secara langsung kepada informan dan diharapkan mendapat penjelasan, mengenai pendapat, sikap dan keyakinan informan tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah penelitian. b. Studi Dokumentasi Studi Dokumentasi dalam hal ini dilakukan dengan mencari data mengenai hal hal permasalahan penelitian berupa dokumen-dokumen, catatan, buku, peraturan daerah, APBD, surat-surat dan kebijakan Pemerintah Kota Lhokseumawe yang relevan dengan objek penelitian
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
3.4. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menelaah data yang diperoleh dari berbagai sumber atau informasi. Menurut Moleong, analisis data adalah: " Proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data. Dengan demikian, data yang telah terkumpul dari hasil wawancara dan studi kepustakaan atau dokumentasi akan dianalisis dan ditafsirkan untuk mengetahui maksud serta maknanya, kemudian dihubungkan dengan masalah penelitian. Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk narasi dan kutipan-kutipan langsung dari hasil wawancara". Analisis data dalam penelitian ini menggunakan tahap-tahap seperti yang dikemukakan oleh Sarantakos dalam A.lston dan Bowles (1998:195), yaitu: a. Reduksi data, pada tahap ini data diberi kode, disimpulkan, dan dikategorikan menurut aspek-aspek penting dari setiap tema yang diteliti. Tahap ini juga membantu dalam menentukan data apa lagi yang diperlukan dan bagaimana serta siapa yang akan memberikan informasi selanjutnya, metode apa yang akan digunakan untuk menganalisis yang akhirnya akan membawa pada kesimpulan. b. Pengorganisasian data yang telah ditentukan sebelumnya meliputi beberapa kategori yang ditetapkan, sehingga pada tahap ini adalah proses pengumpulan informasi yang sangat penting dan dianggap sebagai tema atau pusat penelitian. c. Interpretasi atau penafsiran, tahap ini meliputi proses mengidentifikasikan polapola, kecenderungan, dan penjelasan yang akan membawa kepada kesimpulan yang telah teruji melalui data yang benar-benar lengkap, sehingga tidak ada informasi atau pengertian baru yang terlewatkan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
4.1. Gambaran Umum Kota Lhokseumawe 4.1.1. Sejarah Singkat Lahirnya Kota Lhokseumawe Asal kata Lhokseumawe adalah "Lhok" dan "Seumawe". Lhok artinya dalam teluk, palung laut dan Seumawe artinya air yang berputar-putar atau pusat dan mata air pada laut sepanjang lepas Pantai Banda Sakti dan sekitarnya. Keterangan lain juga menyebutkan nama Lhokseumawe berasal dari nama seorang Teungku Yaitu Teungku Lhokseumawe, Yang dimakamkan di Kampung Uteun Bayi, merupakan kampung tertua di Kecamatan Banda Sakti. Sebelum abad ke-XX negeri ini diperintah oleh Uleebalang Kutablang. Tahun 1903 setelah perlawanan pejuang Aceh terhadap penjajah Belanda melemah, Aceh mulai dikuasai, Lhokseumawe menjadi daerah takluknya dan mulai saat itu status Lhokseumawe menjadi Bestuur Van Lhokseumawe dengan Zelf Bestuurder adalah Teuku Abdul Lhokseumawe dan tunduk dibawah aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Controleur atau wedena serta Asisten Residen atau Bupati. Pada dasa warsa kedua abad XX itu, diantara seluruh daratan Aceh, salah satu pulau kecil luas sekitar 2 Km2 yang dipisahkan sungai Krueng Cunda diisi dengan bangunan-bangunan pemerintah umum, militer dan perhubungan kereta api oleh pemerintah Belanda pulau kecil dengan desa-desa Kampung Keude Aceh, Kampung
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
60
Jawa, Kampung Kuta Blang, Kampung Mon Geudung, Kampung Tumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteun Bayi dan Kampung Ujong Blang, yang keseluruhan berpenduduk 5.500 jiwa, secara jamak disebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-kantor lembaga pemerintah. Masa pendudukan Jepang, Zelf Bestuurder Lhokseumawe tidak lagi dipegang Maharaja, tetapi mulai tahun 1942 sampai dengan 1946 dipegang putranya Teuku Baharuddin. Sejak proklamasi kemerdekaan, pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk secara sistematik sampai ke kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder Van Cunda. Penduduk di daratan ini semakin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Loksukon, Blang Jruen, Nisam dan Cunda serta Pidie. Pada tahun 1956 dengan Undang-Undang DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Nomor 7 tahun 1956, terbentuk daerah otonom. Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera Utara, dimana salah satu Kabupaten diantaranya adalah Aceh Utara dengan Ibukotanya Lhokseumawe. Dengan wedenanya M. Hasan dan Bupati Aceh Utara saat itu Tgk. A. Wahab Dahlawy. Kemudian pada tahun 1964 dengan keputusan Gubernur Daerah Istimewa Aceh Nomor 24/G.A/I964 tanggal 30 November 1964, ditetapkan bahwa kemudian Banda Sakti dalam Kecamatan Muara Dua, dijadikan Kecamatan tersendiri dengan nama
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Kecamatan Banda Sakti. Nama Banda Sakti diberikan oleh Kolonel Habib Muhammad Syarif Danrem Lilawangsa waktu itu. Camat Banda Sakti yang pertama adalah M. Jamil Insya beliau adalah purnawirawan ABRl. Asisten wedena atau camat M. Jamil Insya mengakhiri masa bhaktinya tahun 1966 dan mulai tahun 1967 Camat Banda Sakti dijabat Bupati Aceh Utara Teuku Ramli Angkasah. Selanjutnya berturut-turut mulai tanggal 04 Agustus 1967 sampai saat ini Camat Banda Sakti adalah : 1. Said Umar Muhammad
8. GhazaIi A Gani, BA
2. Alibasyah HS
9. Drs. Mahyiddin AR
3.
10. Drs. Jakfar M. Adam
Drs. Ramli A. Haitami
4. Drs. M. Su 'ud
11. Drs. Rachmatsyah
5. Drs. Nurhayati A Y
12. Drs. H. ZuIkifli Yusuf
6. Drs. Zakaria
13. Bukhari, S.Sos., M.Si
7. A. Haris, S.Sos., M.si Peningkatan status Lhokseumawe menjadi kota Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan Nota Dinas Bupati Kepala Daerah TK.lI Aceh Utara Nomor 125/50/80 tanggal 12 Mei 1980, Drs. H. Mahyiddin AR ditunjuk sebagai Ketua Tim perencanaan Kota Lhokseumawe menjadi Kota Administratif dibawah arahan Bupati Aceh Utara Kolonel H. Ali Basyah.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Pada tanggal 14 Agustus 1986 dengan peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1986 Pembentukan Kota Administratif (Kotif) Lhokseumawe ditandatangani oleh Presiden Soeharto, yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Soeparjo Roestam, pada tanggal 31 Aguntus 1987 dengan Walikota Pertamanya Bapak Drs. H. Mahyiddin AR yang dilantik oleh Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA. Dengan peresmian dan pelantikan walikota secara dejuree dan defacto Lhokseumawe telah menjadi Kota Administratif dengan luas wilayah 253.87 Km2 yang meliputi 101 Desa dan 6 Kelurahan yang tersebar di 5 (lima) Kecamatan, yaitu : 1. Kecamatan Banda Sakti
2. Kecamatan Muara Dua
3. Kecamatan Dewantara
4. Kecamatan Muara Batu
5. Kecamatan Blang Mangat. Pada tanggal 31 Oktober 1992, Pejabat Walikota (Drs. Mahyiddin AR) meninggal dunia dan dilanjutkan oleh Sekretaris Kotif sebagai pelaksana tugas H. Syuib Nursyah, SH. Kemudian pada tanggal 29 Juni 1994 jabatan Walikota definitif dijabat oleh Drs. Muhammad Usman dibawah Bupati Kepala Daerah Tk.II Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE selanjutnya mulai tanggal 11 Juni 1996 dijabat oleh Drs. Rachmatsyah dibawah kepemimpinan Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE. Sejak tahun 1988 Bupati Aceh Utara H. Karimuddin Hasybullah, SE menggagas peningkatan status Kotif Lhokseumawe untuk menjadi Kotamadya, kemudian pada
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
tahun 2000 Bupati Aceh Utara Tarmizi A. Karim, merekomendasi peningkatan status itu bersama Pimpinan DPRD Aceh Utara yang diketuai H. Saifuddin Ilyas. Atas dukungan Gubernur Aceh mulai Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud pejabat Gubernur H. Ramli Ridwan, SH dan Gubernur Ir. H. Abdullah Puteh Msi serta penyampaian visimisi Kota ke Departemen Dalam Negeri dan DPR-RI oleh Walikota Drs. H. Rachmatsyah, kemudian lahir UU Nomor 2 Tahun 2001, tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe tanggal 21 juni 2001 yang di tandatangani Presiden RI H. Abdurrachman Wahid, yang wilayahnya mencakup 3 (tiga) kecamatan yaitu : 1. Kecamatan Banda Sakti 2. Kecamatan Muara Dua 3. Kecamatan Blang Mangat Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2001 di Jakarta, Menteri Dalam Negeri Republik
Indonesia
Hari
Sabarno
meresmikan
Pemerintah
Kota
(Pemko)
Lhokseumawe bersama 12 Kabupaten/Kota seluruh Indonesia, selanjutnya pada tangggal 02 November 2001 bertempat di Banda Aceh, Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Utara Ir. H. Abdullah puteh melantik Drs. H. Rachmatsyah MM sebagai Pejabat Walikota Lhokseumawe Pertama, dan berakhir masa jabatannya pada akhir tahun 2004 dan berikutnya sebagai Walikota ditunjuk selaku penjabat sementara yaitu Drs. Marzuki Mood. Amin, MM. Bertepatan dengan tanggal 23 Desember 2001, yaitu lebih kurang 2(dua) bulan setelah diresmikan Pemerintah Kota Lhokseumawe, susunan organisasi
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Perangkat Pemko Lhokseumawe, dibentuk yang terdiri dari Sekretariat Daerah ,Bawasda, Bappeda, Dinas Pendapatan, Dinas Kesehatan, Dinas Kimpraswil, Dinas PSDA dan kelautan, Dinas P & K, Kantor Sanitasi Kebersihan dan Pertamanan dan Kecamatan Banda Sakti, Kecamatan Muara Dua, serta Kecamatan Blang Mangat, dikukuhkan serta diisi jabatan strukturalnya, sehingga mulai tahun anggaran 2002 Daerah Otonom baru Kota Lhokseumawe telah ada dengan baik. 4.1.2. Letak Geografis Kota Lhokseumawe Kota Lhokseumawe menempati bagian tengah wilayah Kabupaten Aceh Utara, tepatnya pada posisi 04° 54' - 05° 18' Lintang Utara (LU) dan 96° 20' - 97° 21' Bujur Timur (BT). Secara geografis, Kota Lhokseumawe berbatasan dengan wilayah sebagai berikut : a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka b. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Syamtalira Bayu Kabupaten Aceh Utara. c. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Makmur Kabupaten Aceh Utara. d. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Luas wilayah Kota Lhoseumawe ini mencapai 181,10 km2, terdiri dari 4 (Empat) kecamatan, yaitu kecamatan Banda Sakti, Muara Dua, Blang Mangat dan Muara Satu. Kecamatan Blang Mangat saat ini memiliki wilayah paling luas, yaitu
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
56,12 km2 (30,98 %), dari wilayah Kota Lhokseumawe, disusul Kecamatan Muara Dua 56,85 km2 (%) dan Muara satu sedangkan kecamatan Banda Sakti adalah wilayah yang terkecil, yaitu 11,28 km2 (6,22 %) dari luas wilayah Kota Lhokseumawe. Luas wilayah Kota Lhokseumawe yang 18.108 Ha dimanfaatkan untuk berbagai keperluan atau kebutuhan masyarakat, yang sebagian besar adalah untuk kebutuhan permukiman, yaitu 8.491 Ha (46,90 %). Kebutuhan lahan yang menonjol adalah untuk usaha kebun campuran (4.590 Ha atau 25,35 %), disamping untuk kebutuhan persawahan seluas 1.679 Ha (9,27 %). Untuk kebutuhan perkebunan rakyat telah dimanfaatkan seluas 674 Ha (3,72 %), dan untuk lain-lainnya. Kendati demikian, terdapat seluas 948 Ha (5,24 %) yang masih berupa hutan belukar dan belum dimanfaatkan. Wilayah Pemerintah Kota Lhokseumawe yang meliputi 4 (empat) kecamatan yang terdiri dari 62 desa dan 6 kelurahan, adapun jumlah desa dan kelurahan pada setiap kecamatan adalah seperti terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Jumlah Desa dan Kelurahan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Kecamatan Jumlah Desa / Kelurahan No Desa Kelurahan 1 Banda Sakti 13 5 2 Muara dua 17 3 Blang Mangat 22 4 Muara Satu 10 1 Jumlah 62 6 Sumber : BPS dan Bappeda Kota Lhokseumawe, 2007
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4.1.3 Jumlah Penduduk Kota Lhokseumawe Jumlah penduduk Kota Lhokseumawe hingga tahun 2006, tidak kurang dari 156.556 jiwa, terdiri dari 77.898 laki-laki dan 78.658 perempuan. Dengan demikian, sex rasio penduduk kota ini 1,01 atau dalam setiap 100 jiwa penduduk laki – laki terdapat 101 jiwa penduduk perempuan yang berarti lebih banyak penduduk perempuan dibandingkan Laki-laki. Konsentrasi penduduk lebih terpusat Kecamatan Banda Sakti. Sebagai pusat Pemerintahan Kota Lhokseumawe, Penduduk di Kecamatan ini mencapai 45,08 % (70.569) jiwa dari total penduduk yang Kota Lhokseumawe. Sementara penduduk yang paling sedikit adalah di Kecamatan Blang Mangat yaitu hanya 18.552 jiwa (11,85 %) sedangkan di kecamatan Muara Dua Penduduknya adalah 36.505 jiwa (23,32%) dan Kecamatan Muara Satu, penduduknya adalah 30.930 jiwa (19,76%) Tabel 3. Jumlah penduduk dan Konsentrasi Penduduk per Kecamatan dalam Kota Lhokseumawe Kecamatan Jumlah Persen (%) No Penduduk 1 Banda Sakti 70.569 45.08 2 Muara dua 36.505 23.32 3 Blang Mangat 18.552 11.85 4 Muara Satu 30.930 19,75 Jumlah 156.556 100,00 Sumber : BPS Lhokseumawe, 2007
4.1.4. Lembaga Pendidikan dan Sarana Prasarana Kota Lhoukseumawe Lembaga pendidikan di Kota Lhokseumawe yang tersebar di 4 (empat) kecamatan terdiri dari; TK/RA, SD/MI, SLTP/MTs, SLTA/MA, Perguruan Tinggi,
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Akademi, Pondok Pasantren, Balai
Pengajian dan kursus, jumlah lembaga
pendidikan tersebut secara terinci dapat dilihat pada tabel : Tabel 4. Jumlah Lembaga Pendidikan di Kota Lhokseumawe No Jenis pendidikan Jumlah lembaga (Unit) Negeri Swasta Jumlah 1 TK 22 22 2 RA 2 2 3 SD 6 60 54 4 MI 1 6 5 5 SLTP 1 11 10 6 MTS 2 7 5 7 SMU 2 8 6 8 SMK 1 8 7 9 MA 3 4 1 10 Perguruan Tinggi 2 4 2 11 Akademi 4 5 1 12 Pondok Pesantren 47 47 13 Balai Pengajian 486 486 14 Kursus 10 10 Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2007
Jumlah prasarana kesehatan yang tersedia di Kota Lhokseumawe terdiri dari ; 3 (tiga) unit puskesmas induk, 9 (sembilan) unit puskesmas pembantu dan 3 (tiga) unit puskesmas keliling. Sementara untuk mendukung kelancaran transportasi darat wilayah Kota Lhokseumawe pada saat ini telah tersedia jalan dan jembatan yang baik, dengan keadaan sebagai berikut: Tabel 5. Kondisi Jalan Raya dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Panjang (KM) No Jenis Jalan Jumlah Aspal Homix Batu Tanah 1 Jalan Negara 32,70 6,00 38,70 2 Jalan Propinsi 4,70 4,70 3 Jalan Kabupaten 80,20 6,70 86,90 Jumlah 117,60 6,00 6,70 130,30 Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2007
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 6. Kondisi Jembatan dalam Wilayah Kota Lhokseumawe Panjang (M) No Jenis Jalan Jumlah Beton Baja Kayu 1 Jbt Negara 79,65 79,65 2 Jbt Propinsi 60,00 60,00 120,00 3 Jbt Kabupaten 68,50 68,50 4 Jbt Desa 55,00 6,70 61,70 Jumlah 263,15 60,00 6,70 329,85 Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2007
Dari gambaran umum Kota Lhokseumawe di atas dapat dilihat berbagai keadaan dan kondisi Kota Lhokseumawe secara umum, dari letak geografis hingga pada sarana dan prasarana Kota Lhokseumawe. Namun dengan terjadinya gempa bumi yang kemudian disusul dengan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, membuat kondisi Kota Lhokseumawe sebahagian mengalami kerusakan/kehancuran, seperti sarana dan prasarana kota Lhokseumawe yang mencakup, infrastruktur, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, perumahan penduduk dan lain-lainnya
4.2. Visi dan Misi Pemerintah Kota Lhokseumawe 4.2.1. Visi Bersama rakyat kita membangun dan mewujudkan Kota Lhokseumawe yang Islami, Makmur, Sejahtera dan "Beradat" (Bersih, Aman, Damai dan Tertib). 4.2.2. Misi 1. Mengimplementasikan kebutuhan dasar masyarakat demi tercapainya ketahanan pangan, air minum, kesehatan dan pendidikan. 2. Mewujudkan pengembangan sektor-sektor ekonomi kerakyatan meliputi pertanian kelautan, perdagangan dan jasa.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
3. Meningkatkan
penyediaan
sarana
dan
prasarana
sebagai
penggerak
pembangunan. 4. Menciptakan nuansa Islami dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan berkarya. 5. Menjadikan atau merubah Kota Lhokseumawe sebagai Kota tujuan wisata yang Islam.
4.3. Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah 4.3.1. Strategi Efesiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe Berbagai kebijakan dan program yang dilakukan di Pemko Lhokseumawe bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui suatu proses yang alami yang terkait dengan peranan Walikota Lhokseumawe, organisasi birokrasi dan kondisi masyarakat yang ada. Mengenai proses awal langkah efisiensi dan inovasi dan peranan Walikota Lhokseumawe, Asisten Tata Praja Setdako Lhokseumawe memberikan penjelasan: ". . Di sini memang yang menjadi aktor intelektualnya adalah Walikota Lhokseumawe sendiri.. Kenapa kita ingin seperti ini? Dan kenapa mau seperti ini? Karena dari dulu Lhokseumawe terkenal sebagai daerah yang terbelakang namun sebenarnya kaya akan hasil bumi. Namun kenapa pula masyarakatnya tidak sejahtera? Proses awalnya berbagai inovasi di wilayah Pemerintah Kota Lhokseumawe berawal dengan mempelajari kenyataan bahwa selama ini perizinan yang dikelola Pemerintah Kota Lhokseumawe tersebar di berbagai unit kerja. Oleh karena itu, untuk efisiensi biaya dan waktu bagi masyarakat, maka timbullah ide untuk membentuk kantor pelayanan perizinan satu pintu misalnya. (16 Maret 2008)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Berangkat dari keinginan dan filosofi di atas, maka langkah berikutnya yang di upayakan oleh pemerintah Pemko Lhokseumawe adalah menetapkan Visi dan Misi dengan indikator tertentu sebagaimana penjelasan berikut: "... setelah filosofi dikeluarkan, lantas bagaimana pelaksanaannya? Maka beliau menjadi Walikota mengeluarkan visi dan misi yang intinya adalah untuk mensejahterakan masyarakat Lhokseumawe. Pertanyaaannya bagaimana cara mensejahterakan atau mengaktualisasikan visi itu? Maka. disini perlu adanya indikator kesejahteraan yaitu:yang pertama pendidikan, kedua kesehatan yang ketiga adalah kualitas hidup. Inilah yang ingin segera dicapai dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada secara efisien yang mencakup efisiensi pada organisasi birokrasi maupun pada masing-masing sektor tadi seperti efisiensi di sektor pendidikan dan kesehatan..."(16 Maret 2008)
Paparan di atas menunjukkan bahwa Walikota Lhokseumawe berperan penting sejak awal proses kebijakan efisiensi dan inovasi, mulai dari gagasan sampai pada pelaksanaan. Walikota Lhokseumawe mempunyai perhatian yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat Lhokseumawe dan perlunya reformasi birokrasi pemerintahan daerah bahkan sejak sebelum menjadi Walikota. Hal ini juga didukung oleh kehadiran era otonomi daerah yang memberi peluang kepada pimpinan daerah untuk menjalankan kebijakan inovatif sesuai kondisi daerah masing-masing. Walikota Lhokseumawe sering menekankan kepada para staf dan siapapun tentang pentingnya kesadaran akan tugas dan fungsi pemerintah dalam hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini Walikota Lhokseumawe menegaskan: " Pada saat awal mula saya tempati posisi Walikota, sebelumnya saya sudah pelajari bahwa Pemerintahan secara umum baik Kabupaten, Kota maupun Provinsi dan Pusat, ini selalu tidak menyentuh harapan dari pada masyarakat, beranjak dari itu yang perlu diperbaiki dulu paradigma, paradigma instansi
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pemerintahan selama ini, Walikota ada tapi yang berfungsi didaerah ini dinas-dinas, dinas-dinas selalu melakukan suatu kegiatan yang ber top down, kalau sistim ini dilakukan tidak menyentuh masyarakat, maka selama ini juga belum dirasakan oleh masyarakat, belum mendapat perhatian penuh juga dari dinas – dinas, fungsi mereka itu yang tidak berjalan artinya dia yang harus melakukan semua aspirasi dari masyarakat artinya dia harus merubah jangan berprinsip top down, dia harus berprinsip buttom up. Kalau buttom up dilaksanakan insyaAllah program yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan khususnya walikota dan bupati akan berjalan dengan baik karena harus menjemput dan menampung kehendak masyarakat, daerah, desa yang harus diprioritaskan bukan kehendak dari program walikota. Program walikota masih berprinsip top down, tetapi apabila kita melakukan kehendak masyarakat kita harus merubah paradigma dahulu dari fungsi – fungsi jabatan masing – masing yang berdasarkan SKPD, sehingga kadang kala salah mengartikan fungsi dari jabatan yang diembannya, sehingga disitu terjadi salah pengertian, jikalau salah pengertiannya maka akan salah pula cara pelaksaannya, jadi yang harus dirubah seperti juga yang telah saya (walikota) utarakan pada forum RRI dan TVRI bahwa dengan perubahan paradigma disitulah akan terakomodirnya segala kebutuhan dan keinginan masyarakat. Saya mulai dari definisi kesejateraan. Definisi kesejahteraan di Lhokseumawe adalah kemampuan fisik dan kompetensi masyarakat untuk memenuhi sandang, pangan dan papan. Begitu kita cerita fisik berarti itu adalah kesehatannya, begitu kita cerita kompetensi, itu adalah pendidikannya dan terakhir juga masyarakat mempunyai daya beli untuk memenuhi sandang dan papan tadi. Jadi ada tiga definisi dari kesejahteraan itu, satu pendidikan, dua kesehatan, tiga adalah daya beli. Ringkasnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan, meningkatkan kesehatan dan daya beli masyarakat." (17 Maret 2008)
Filosofi
fungsi
pemerintah
dan
dioperasionalisasikan dengan strategi dan
kesejahteraan
itu
kemudian
program peningkatan ketiga sektor
tersebut berdasarkan indikator-indikatorya, Walikota Lhokseumawe menjelaskan: "”Efisiensi dan fokus pembangunan kita harus mengambilnya dari harapan masyarakat, desa dll. Mungkin harus digaris bawahi strategi pembangunan itu ada 3 yaitu: 1. fisik, 2. Politik, sosial dan budaya, 3. Pemberdayaan ekonomi rakyat. Kalau ini diadop dari kebutuhan masyarakat, ini yang harus diangkat untuk menjadi strategi pembangunan. (17 Maret 2008)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Program-program
tersebut
berarti
berkonsekwensi
pada
kebutuhan.
Ketersediaan dana yang tidak sedikit pada pemerintah daerah. Untuk melaksanakan program-program prioritas tersebut diperlukan proses perencanaan dan langkahlangkah praktis yang akan dilakukan oleh pemerintah kota. Kesemua program ini tentu memerlukan komitmen dari pejabat pemerintah untuk pelaksanaan di lapangan. Mengenai hal Walikota Lhokseumawe menjawab: "Berdayakan semuanya, elemen pemerintahan termasuk elemen perangkat desa yang kita berikan suatu bimbingan sehingga mereka mengerti apa yang harus dilakukan sehingga menyentuh masyarakat dan desa – desa, jikalau desa sudah bagus maka yang diatasnya atau kota akan bagus pula, dan yang harus diketahui kita tidak hanya memikirkan pembangunan fisik, yang kita pikirkan adalah untuk ketahanan nasional adalah harus kita bangun ketahanan individual masyarakat dan masyarakat desa serta kecamatan secara otomatis akan terjadi kekuatan ketahanan dari pada suatu daerah dan seterusnya. Saat ketahanan ini telah mencapai puncaknya maka ketahanan nasional secara otomatis akan tercipta, kemudian kita harus memberi bimbingan atau mengharapkan kepada masyarakat juga berwawasan. Wawasan nusantara lahir dari pada wawasan individu, keluarga, masyarakat atau wawasan tingkat kota, inilah yang tidak disadari sebelumnya sehingga dimana - mana terjadi ketidak puasan masyarakat, tidak mempelajari kebutuhan dari masyarakat sehingga tidak terfokusnya strategi pembangunan".(17 Mei 2008)
Sebagaimana gambaran pada bab sebelumnya, Pemko Lhokseumawe bukanlah daerah yang kaya seperti daerah lainnya. Ketika berbagai upaya inovasi digagas perlu dukungan upaya peningkatan kesejahteraan yang membutuhkan komitmen besar dari para pejabat pemerintah. Pemerintah Pemko Lhokseumawe berupaya dan terus mencari jalan untuk mendukung program peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan adalah bahwa Pemko Lhokseumawe tidak sama dengan daerah lainnya.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Harus
diarahkan
pejabat-pejabat
yang
paling
berperan
dalam
proses
pelaksanaannya.Walikota Lhokseumawe selanjutnya menyatakan. ”Elemen masyarakat yang paling utama dan yang terpenting, kemudian harus di adop oleh perangkat desa, perangkat desa harus naik lagi ke perangkat kecamatan baru kemudian di ambil oleh perangkat pemerintahan kota atau kabupaten. Perangkat dari strategi pembangunan yang dari bawah harus mempunyai inovasi yang tinggi untuk melakukan keinginan dari pada masyarakat”.(17 Mei 2008)
Mengenai efisiensi ini, ada langkah-langkah yang spesifik yang harus dilakukan pada masing-masing unit kerja maupun bidang terutama di sektor pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Walikota Lhokseumawe menyatakan ”Ada, karena kita atur kebutuhan sudah itu fokus, selama ini tidak dari atas ngocor habis itu ngecer ke masyarakat netes sehingga terjadi pemborosanpemborosan yang tidak fokus. Bidang pendidikan sama, sekarang yang sudah tidak disadari oleh seluruh unsur pimpinan baik ditingkat pusat, daerah maupun desa masalah mental, mental masyarakat tidak ada, pertama wawasan nusantara tentang pancasila, tentang tata negara apalagi tentang mental masalah agama ini sudah hiruk pikuk tidak ada lagi backgrounnya tidak adalagi arahannya sehingga dikhawatirkan lama kelamaan kalau ini tidak mendapat perhatian penuh dari seluruh aparatur pemerintahan, ini lama kelamaan akan terjadi perpecahan dimana-mana.” (17 Mei 2008)
Dari berbagi paparan di atas terlihat bahwa proses awalnya (kabanyakan efisiensi dan inovasi) adalah berangkat dari semangat yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Lhokseumawe seiring dengan keadaan penuh akan fungsi pemerintah sebagai pengemban amanat mewujudkan kesejahteraan rakyat, yang dengan sadar pula akan keterbatasan sumbardaya yang tersedia, kemudian merumuskan kebijakan umum pembangunan berupa efisiensi di segala
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
bidang dan inovasi di berbagai sektor dengan program-program yang mendukung terciptanya peningkatan kesejahteraan rakyat. Kebijakan Umum Pembangunan di Pemko Lhokseumawe berupa Grand Strategy Pemanfaatan sumber daya dapat di gambarkan sebagai berikut: Peningkatan Kualitas hidup - Kualitas - Pendidikan - derajat
Manajemen
Efisiensi SDM Sumber Daya. Terbatas
Pendidikan
Visi: Masyarakat sejahtera
Efisiensi sarana
Efisiensi Dana Pelayanan masyarakat - Pelayanan - Administrative - Pelayanan
Gambar 1. Grand Strategy Pemerintah Pemko Lhokseumawe dalam Pemanfaatan Sumber Daya
Kesadaran akan sumber daya yang terbatas dalam mewujudkan visi masyarakat yang bahagia dan sejahtera, mengharuskan Pemerintah Lhokseumawe agar berperilaku efisien dan inovatif dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Mengenai strategi efisiensi yang dilakukan di Pemko Lhokseumawe, Asisten menjelaskan:
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
”... Grand strategi yang dilakukan adalah dengan mempelajari kenyataan bahwa selama ini berbagai perizinan yang dikelola oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe tersebar diberbagai unit kerja oleh karena itu untuk efesiensi biaya dari pemerintah maupun efesiensi biaya dan waktu bagi masyarakat, maka timbullah ide untuk membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu. Kalau ditanyakan langkah efesiensi yang spesifik, mungkin dapat dikatakan sebagai contoh adalah dalam hal pengelolaan perizinan yang sudah saya sebutkan diatas yang sebelumnya tersebar diberbagai organisasi perangkat daerah maka dengan dibentuknya kantor pelayanan perizinan satu pintu otomatis akan terjadi efesiensi dalam hal pengelolaan pembiayan proses pengeluaran perizinan tersebut”. (16 Maret 2008)
Secara umum efisiensi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pemko Lhokseumawe berupa strategi efisiensi dapat dilihat dari langkah spesifik yang dilaksanakan yaitu: ”Langkah spesifik sebagaimana yang kami katakan tadi dengan terbentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu maka anggota masyarakat baik pribadi maupun perusahaan yang membutuhkan surat izin masing-masing tidak harus lagi menghubungi banyak instansi, tetapi sudah cukup hanya dengan datang dan melengkapi persyaratan kepada satu organisasi yaitu Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu”. (16 Maret 2008)
4.3.1.1. Strategi Efisiensi Dana “Uang bukanlah segalanya" Mungkin sering terdengar ungkapan yang demikian. Tapi bagaimanapun juga, dana adalah salah satu faktor penting dalam proses manajemen pemerintahan. Hanya saja, hal penting yang harus menjadi perhatian adalah "bukan pada berapa jumlah atau berapa persen dana yang dialokasikan, tapi bagaimana pemanfaatan dana tersebut". Dasar pemikiran inilah yang dipegang oleh Pemerintah Lhokseumawe dalam menyusun langkah-langkah efisiensi pemanfaatan dana, mulai dari perencanaan anggaran, penggunaan anggaran
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
dan seterusnya. Mengenai efisiensi secara khusus disamping yang telah dipaparkan secara umum oleh Bapak Asisten dalam hal ini Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah Pemko Lhokseumawe menjelaskan. secara lebih rinci mengenai filosofi dan pentingnya efisiensi dana dan langkah awal yang dilakukan : "... segi dana kita berfikir bagaimana memanfaatkan dana yang kecil, dana yang terbatas untuk tujuan memberikan kesejahteraan masyarakat. Nah khusus dalam pengelolaan dana ini, konsep yang kita pakai adalah konsep kinerja. Artinya di sana bahwa tiap sen yang dikeluarkan, itu harus ada manfaatnya. Ini uang yang dikeluarkan hasilnya apa? Yaitu untuk kesejahteraan masyarakat atau memberi pelayanan kepada masyarakat atau untuk menghasilkan lagi. Jadi uang itu ada manfaatnya. Sehingga dalam kita menyusun APBD kan kita tahu arahnya. Dalam menyusun APBD ini kan kita menghimpun dana-dana yang ada. Di sini bukan masalah besar dan kecilnya, tapi bagaimana kita memanfaatkan uang tersebut. Bagaimana menggunakan anggaran itu supaya tepat. Pemborosan sering terjadi , karena perencanaan dan penggunaan anggarannya tidak mengacu pada prinsip efektif dan efisien, contohnya - dengan mengunakan anggaran hanya untuk - umpamanya pembinaan, penyuluhan, studi banding, workshop, pelatihan dan lain-lain. Bukan itu tidak perlu, tapi jangan sampai habis hanya untuk itu sementara masih banyak kebutuhan lain yang lebih urgen. Jadi jelas bahwa awal dari efisiensi itu mulai dari penganggaran. Kita tidak bisa efisiensi nanti di belakang. Kalau kita melakukan efisiensi di bidang dana harus di mulai dari penganggarannya lebih dahulu, dari perencanaan. Manajemen pengelolaan keuangan itukan mulai dari planning, organizing, actuating dan controlling Jadi dari sinilah efisiensi harus di mulai. Perencanaan penganggaran ini wujudnya adalah penyusunan APBD , bahwa ketika kita melakukan efisiensi ini juga harus diawali dengan perencanaan penyusunan APBD secara matang." (19 Maret 2008) 1. Perencanaan/Penyusunan Anggaran a. Pemaparan Rencana Anggaran Masing-masing Unit Kerja Langkah efisiensi ketiga dalam penyusunan anggaran adalah pemaparan program dan angaran oleh pimpinan unit kerja. Disini yang berperan penting "Desk Anggaran" yang dipimpin langsung olen Walikota dan berfungsi untuk melakukan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
penilaian terhadap kelayakan anggaran yang diajukan. Setiap pimpinan perangkat daerah diminta memaparkan program dan anggarannya kecil dihadapan Walikota dan tim Desk Anggaran. Pola penyusunan anggaran seperti ini mendorong adanya sikap kesungguhan dan kehati-hatian dari para pimpinan perangkat daerah dalam mengajukan program dan anggaran. Mereka tidak bisa lagi menyusun program dan anggaran secara "asalasalan". b. Anggaran berbasis kinerja Perencanaan atau penyusunan anggaran merupakan langkah awal yang sangat penting karena perencanaan anggaran adalah dasar bagi seluruh program kegiatan. Pemko Lhokseumawe telah menggunakan anggaran yang berbasis kinerja sesuai dengan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, Anggaran berbasis kinerja ini memang tidak bersifat khusus bagi Lhokseumawe, karena kabupaten lainnya juga sebagian besar telah menjalankan amanat Kepmendagri tersebut. Penyusunan anggaran berbasis
kinerja
ini
sangat
membantu
Pemerintah
Lhokseumawe
dalam
merencanakan dan menetapkan masing-masing program kegiatan secara tepat guna karena pendekatan kinerja adalah satu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kinerja atau output dan outcome dari perencanaan/alokasi biaya yang ditetapkan. Dalam bahasa Kadis DPKAD Lhokseumawe : "Setiap rupiah yang dikeluarkan harus ada manfaatnya dan hasilnya?". Lebih jauh dijelaskan oleh Kadis DPKAD Lhokseumawe, bahwa manfaat atau hasil dari rupiah yang dikeluarkan harus
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
berbuah atau mengarah kepada kesejahteraan, pelayanan ataupun menghasilkan lagi. Disinilah letak efisiensinya, Instrumen Anggaran berbasis kinerja yang mensyaratkan indikator output dapat menghindarkan perencanaan/penyusunan anggaran atau program yang tidak jelas manfaatnya, hanya sekedar formalitas, menghabiskan anggaran karena tradisi atau karena pada tahun sebelumnya juga tercantum pos anggaran tersebut, maka tahun ini juga harus ada. c. Pemenuhan Skala Prioritas Efisiensi berikutnya dalam hal perencanaan ini adalah pemenuhan skala prioritas
program
yang
tepat
dan
berorientasi
pada
kepentingan
publik
(Mardiasmo,2002:178). Dikatakan tepat karena fokus pemanfaatan sumber daya dan alokasi anggaran mengacu pada indikator Human Development Index (HDI) yaitu sektor kesehatan, pendidikan dan peningkatan daya beli, yang merupakan sektor yang paling bersentuhan dengan masyarakat umum. Ini dibuktikan dengan tingkat penerimaan masyarakat yang tinggi terhadap berbagai program, terutama tiga sektor tersebut. Sebaliknya akan dikatakan tidak efisien ketika skala prioritas atau anggaran yang tersedia (biasanya terbatas) diarahkan untuk proyek-proyek mercusuar, yang tidak ada hubungannya dengan kesejahteraan rakyat. d. Pamaparan Rencana Anggaran Masing-masing Unit Kerja Langkah efisiensi ketiga dalam penyusunan anggaran adalah pemaparan program dan anggaran oleh pimpinan unit kerja. Disini yang berperan penting adalah Walikota dan berfungsi untuk melakukan penilaian terhadap kelayakan anggaran
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
yang diajukan. Setiap pimpinan perangkat daerah diminta memaparkan program dan anggarannya dihadapan Walikota. Pola penyusunan anggaran seperti ini mendorong adanya sikap kesungguhan dan kehati-hatian dari para pimpinan perangkat daerah dalam mengajukan program dan anggaran. Mereka tidak bisa lagi menyusun program dan anggaran secara "asalasalan". 2. Pelaksanaan Penggunaan Anggaran a. Pola Rutin bukan proyek Secara umum penyelenggaraan kegiatan, pengadaan maupun pemeliharaan dibiayai dengan pola rutin bukan proyek. Prinsip pelaksanaannya mengacu pada tupoksi masing-masing perangkat daerah. Prinsip ini sangat mudah diterima logika. Sebagai contoh, apa yang selama ini disebut sebagai proyek pemeliharaan jalan, sebenarnya secara fungsi, tugas dan tanggung jawab, sudah menjadi tugas Pokok rutin dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) sehingga tidak perlu diserahkan ke lembaga lain diluar lembaga pemerintahan atas nama proyek karena itu memang sudah sesuai. Pekerjaan itu merupakan bagian dari job description nya Dinas PU. Disini, akan lain halnya bila pekerjaan tersebut memiliki kekhususan dan skala yang sangat besar, maka keterlibatan pihak ketiga sudah semestinya diterima dengan catatan professional dan punya kredibilitas tinggi Saat ini di Pemko Lhokseumawe sudah tidak ada lagi misalnya yang namanya proyek penataan asset daerah, atau proyek pemberdayaan aparatur, karena itu sudah
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
merupakan tugas rutin diri Bagian Umum dan Perlengkapan dan Bagian Pemerintahan pada Sekretariat Daerah. Penghematan pola rutin dibanding sistem proyek sangat jelas, sebab biaya yang dibutuhkan/dianggarkan adalah biaya riil program/kegiatan, tidak perlu biaya Administrasi proyek (AP), pajak, honor dan lain-lain yang biasanya bisa mencapai 40% dari nilai proyek, belum lagi memang selama ini sistim proyek dikenal berpeluang besar untuk terjadinya KKN. b. Standarisasi Harga Pengadaan barang dan jasa selama ini ditengarai dijadikan lahan subur untuk KKN. Modusnya adalah melakukan pembelian/pengadaan barang dengan nilai harga tertentu, dimana harga riil tidak sama atau lebih rendah daripada harga yang tercantum dalam nota pesan ataupun kuitansi pembelian. Selisih harga tersebut kemudian masuk ke kantong pribadi atau bisa juga dengan memberi suatu barang dengan harga dan kualitas yang jauh dibawah harga dan kualitas (spesifikasi barang) yang seharusnya dibeli sebagaimana tercantum dalam perencanaan/nota pesan. Padahal dalam kuitansi pembelian tercantum spesifikasi barang yang kualitasnya lebih bagus dan harganya lebih mahal. Untuk mencegah penyimpangan dan biaya tinggi dalam pengadaan barang dan jasa ini, Pemerintah Pemko Lhokseumawe menggunakan instrumen sebagai berikut:
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Standar Harga Dinamis Dalam setiap pembelian barang-barang biasa dan rutin seperti pembelian alat tulis kantor, misalnya digunakan "Standar Harga Dinamis" yang berlaku setiap 3 (tiga) bulan (triwulan) yang disesuaikan dengan harga grosir dari "Pusat Grosir MAKRO" yang dianggap sebagai harga terendah sehingga diperoleh harga yang paling menguntungkan bagi pihak pemerintah daerah dalam pengadaan barang. (Kabag Ekbang, 15 Maret 2008 ) Disamping keuntungan harga yang murah. standar harga dinamis ini juga merupakan instrumen efektif untuk mencegah penggelembungan harga (mark up) dalam setiap pengadaan barang, ini dikarenakan bahwa setiap pembelian barang barang yang dibutuhkan oleh unit kerja tidak boleh melebihi harga yang tercantum dalam buku standar kerja tersebut. Disini seluruh jenis barang sudah di data spesifikasinya lengkap harganya masing-masing, sehingga tidak bisa bermain-main dengan mengutak-atik harga dalam pembelian. Dengan standarisasi harga ini, kebocoran anggaran dalam pengadaan barang bisa diminimalisir Buku standar harga ini sebelumnya disiapkan olah Kasubbag Perlengkapan pada Bagian Umum Setdako Lhokseumawe. Hal ini dimaksudkan sebagai sistem kontrol dan agar tidak terjadi kerancuan. Bagian umum selama ini berperan besar dalam pengadaan barang, sehingga perlu dihindari penetapan standar harga oleh pihak yang akan mengadakannya sendiri. Karena jika seperti itu, bisa jadi bagian umum akan menetapkan standar harga tinggi. Berdasarkan pertimbangan inilah maka
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
perlu penetapan standar harga dari unit kerja lain yaitu Bappeda. a. Penerapan Paradigma Penggunaan Anggaran Bersisa Pada masa Orde Baru dikenal prinsip "Anggaran Harus Habis", dalam praktek penggunaan anggaran, muncul opini, "Kalau anggaran tidak habis itu bodoh namanya atau berarti perencanaannya tidak matang", yang berkonsekuensi pada tidak hanya harus mengembalikan anggaran, tapi anggaran tahun depan pasti akan dikurangi. Kekahawatiran seperti ini membuat masing-masing unit kerja berlomba untuk menghabiskan anggaran di akhir tahun. Caranya dengan membuat kegiatan "asal ada" tanpa mempertimbangkan urgensi (kebutuhan/manfaat) kegiatan tersebut, atau bisa juga dengan membuat SPJ (pertanggungjawaban) fiktif. Dalam konteks Lhokseumawe, sejalan dengan reformasi bidang anggaran di Indonesia, paradigma di atas diganti dengan paradigma anggaran bersisa. ”Kalau bisa dihemat, kenapa mesti dihabiskan? Bukankah masih banyak hal lain yang juga membutuhkan banyak dana? Sehingga dalam prakteknya, unit kerja berjalan secara alami antara perencanaan dan realisasi, bahkan berusaha untuk berhemat dalam menghindari pemborosan.” (Kabag Keuangan dan Kadis PU, 19 Mei 2008) b. Sistem Kasir induk dalam Pennyimpanan uan Pengeluaran Dana Sistem kasir induk ini dimaksudkan sebagai kontrol terhadap aliran dana, sehingga dengan mudah dan kapan saja dapat diketahui, posisi keuangan daerah secara umum dan masing-masing unit kerja. Berdasarkan Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan mekanisme pencairan dana dan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
penyimpanannya, dimana pemegang Kas Bendahara masing-masing unit kerja, setelah mencairkan dananya, dana tersebut dititipkan pada petugas Penitipan Kas Daerah Pemerintah Pemko Lhokseumawe,atau dengan kata lain Surat Perintah Membayar {SPM} setelah dicairkan pada Bank secara langsung masuk ke rekening petugas penitipan Kas Daerah. Nantinya masing-masing unit kerja melalui pamegang kasnya hanya mencairkan dana dari kas daerah sesuai kebutuhan dana/pengeluaran saat itu. Ringkasnya pemegang unit kerja tidak dibenarkan untuk mencairkan dan menyimpan dana selain yang akan digunakan langsung, kalaupun ada dana yang disimpan oleh unit kerja sebagai dana cadangan mengantisipasi kebutuhan mendadak, jumlahnya dibatasi yaitu maksimal 10 juta Sistem kasir induk ini berperan penting, selain sebagai kontrol
dana juga
berfungsi meminimalisir perilaku menyimpang dari unit kerja. Pada pola sebelumnya (yaitu masing-masing unit kerja menyimpan dana), lebih terbuka peluang untuk menggunakan dana secara tidak tepat. Secara psikologis, ketika RKA {Rencana Kegiatan Anggaran} disetujui menjadi DPA (Daftar Pelaksanaan Anggaran) kemudian mereka menyimpan uangnya sendiri, unit kerja tersebut akan merasa bahwa dana tersebut adalah milik mereka. Secara tidak sadar mereka menganggap berhak dengan jumlah dana tertentu untuk menggunakan dana tersebut secara keseluruhan. Apabila diakhir tahun dana berdasarkan DPA unit kerja masih tersisa dan uangnya ada pada pemegang kas unit kerja, maka bisa jadi pula mereka enggan mengembalikan dana tersebut. Bisa jadi malah membuat SPJ (pertanggungjawaban) bahwa dana sudah terpakai seluruhnya.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Hal-hal seperti tersebut di atas bisa dicegah dengan mekanisme sistem kasir induk, sehingga kebocoran anggaran tidak mudah terjadi. Sistem kasir induk ini juga sangat didukung oleh letak kantor/unit kerja yang hampir seluruhnya berada dalam lokasi yang sama, satu pagar komplek perkantoran, sehingga memudahkan koordinasi unit kerja dengan kasda, apabila sewaktu-waktu butuh segera mencairkan dana. Pada intinya, dalam sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah tersebut diatur hal-hal sebagai berikut: 1. Sistem dan prosedur pengeluaran Surat Keputusan Otorisasi (SKO). 2. Sistem dan prosedur pengetuaran Surat Perintah Membayar (SPM). 3. Sistem dan prosedur penatausahaan keuangan pada petugas penitipan kas daerah. 4. Sistem dan prosedur psmegang kas dan bendahara khusus penerima. 5. Sistem dan prosedur penatausahaan keuangan pemegang kas/bendahara daerah. 6. Pertanggungjawaban pemegang kas/bendahara daerah. 7. Tanda bukti yang sah. Untuk pengeluaran SKO, setiap pemegang kas/bendahara dapat meminta Nomor SKO setelah DPA (Dokumen Pelaksanaan Anggaran ) mendapat pengesahan Walikota. Berdasarkan Nomor SKO yang telah diterbitkan dan disahkan Walikota, pemegang kas/bendahara hanya dapat mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) untuk belanja tidak tangsung (betanja administrasi umum/rutin). Permintaan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
SKO
buian
berikutnya
dapat
dilakukan
setelah
mengajukan
Surat
Pertanggungjawaban (SPJ) dan melampirkan pengisian kas yang dipakai. Dalam hal pengeluaran SPM, pemegang kas/bendahara mengajukan SPP dilengkapi SKO yang telah disahkan oleh Walikota Lhokseumawe c.q. Kepala DPKAD dengan daftar pengantar SPP yang turut ditandatangani oleh atasan langsung pemegang kas bendahara. Setelah mencairkan dana, pemegang kas/bendahara dapat menitipkan SPP pada Petugas Penitipan Kas Daerah Pemko Lhokseumawe atau SPM kepada bank secara langsung masuk ke rekening Petugas Penitipan Kas Daerah. Selanjutnya dalam penatausahaan keuangan pada Petugas Penitipan Kas Daerah, pengeluaran dapat dilakukan dengan pemberian panjan Petugas Penitipan Kas Daerah dapat menolak pencairan dana/penarikan kas oleh Pemegang Kas apabila panjar belum di-SPJ-kan. Untuk itu petugas Penitipan Kas Daerah membuat laporan harian tentang posisi kas yang ditutup setiap hari kerja pukul 15.00 Wib. Dalam hal penatausahaan keuangan, untuk pembayaran tunai, Pemegang Kas/Bendahara Daerah dizinkan mempunyai persediaan uang tunai setinggi tingginya Rp 10 juta. Untuk keperluan pembayaran lebih dari Rp 1 juta bagi kegiatan yang sangat mendesak, Pemegang Kas dapat menarik kas pada Petugas Penitipan Kas Daerah setelah mendapat persetujuan dari kepala unit kerja. Sedangkan untuk pembayaran lebih dari Rp 5 juta bagi kegiatan yang sifatnya sangat mendesak, pemegang kas dapat menarik kas pada Petugas Penitipan Kas Daerah dengan melampirkan uraian kegiatan/proposal dan telah mendapat persetujuan Walikota.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Pertanggungjawaban pemegang kas dilakukan setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Kemudian mengenai pertanggungjawaban Pemegang Kas/Bendahara Daerah dilakukan selambat-lambatnya pada Tanggal 10 bulan berikutnya. Apabila belum disampaikan, maka Pemegang Kas/Bendahara Daerah diberikan Surat Peringatan Pertama yang tembusannya disampaikan kepada Kepala Unit Kerja Pengguna Anggaran. Apabila ternyata sampai dengan tanggal 20 belum juga disampaikan, maka Pejabat Pengelola Keuangan atas nama Sekretaris Daerah berwenang menyampaikan Surat Peringatan Kedua kepada Unit Kerja Pengguna Anggaran. 2. Pendayagunaan Dana Melalui Pola Deposito Dana-dana yang diterima dari pemerintah pusat baik dalam bentuk DAU atau DAK dicairkan per Tri Wulan, sehingga pada Tri Wulan tersebut Pemko menerima dana untuk tiga bulan, pada bulan pertama dana yang terpakai adalah 1/3 sehingga 2/3 lagi bisa disimpan di bank dalam bentuk deposito bulanan dimana tiap bulan dapat ditarik dan diperpanjang depositonya. Dimana sebelumnya banyak dana yang tersimpan dan tidak produktif, pola ini membuahkan hasil yang manfaat. 4.3.1.2. Strategi Efisiensi Sumber Daya Manusia Pemko Lhokseumawe menempatkan SDM sebagai faktor yang sangat penting, sebagai pelaksana roda pemerintahan. Efisiensi di bidang SDM ini terutama berkaitan dengan organisasi yaitu perampingan struktur organisasi pemerintahan, juga regrouping sumber daya yang tidak rasional serta regrouping puskesmaspuskesmas. kedua, berkaitan pemanfaatan dan peningkatan kualitas SDM. Tentang
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
efisiensi SDM ini Asisten I menjelaskan: "...Tadi saya sampaikan bahwa yang pertama kita lakukan adalah mereformasi birokrasi pertama rasionalisasi dari struktur yang ada. Mereformasi struktur organisasi yang selama ini dianggap terlalu gemuk. Kemudian diciutkan sesuai dengan kebutuhan organisasi terutama menerapkan PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Kita di Lhokseumawe senantiasa setiap peraturan laksanakan, tiap peraturan dilaksanakan, karena itu menguntungkan daerah. Nah diadakanlah suatu evaluasi kembali pada Tahun 2008 dilakukan restrukturisasi organisasi pemerintahan"( 16 Maret 2008)
Berikutnya langkah efisiensi juga dilakukan kepada hal-hal yang tidak rasional. Latar belakang dilakukan penggabungan SD-SD karena pertimbangan jarak yang sangat dekat antara sekolah dan jumlah murid yang tidak memadai. Kadis Pendidikan Pemuda dan Olah Raga,menjelaskan: "... Dulu di awal-awal setelah di lantik, Bapak Walikota sering mengajak saya turun ke lapangan ke lingkungan. Ternyata beliau banyak menemukan langsung bahwa banyak Sekolah Dasar yang lokasinya sangat dekat antar sekolah. Setelah dilakukan pengecekan, ternyata jumlah siswanya sebagian kurang dari 75 orang, sementara masing-masing sekolah itu mempunyai biaya operasional tersendiri. Inikan inefisiensi namanya. Kenapa tidak digabung saja jadi satu? (20 Maret 2008)
Regrouping SD-SD ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan yaitu efisiensi, peningkatan kualitas guru dan siswa, peningkatan kualitas proses belajar mengajar (PBM). Pola Regrouping yang dilakukan yaitu penggabungan SD-SD yang jumlah siswa kurang dari 75 orang, dengan pola SD kecil, SD normal dan SD besar, (SD dengan beberapa kelas paralel). Kondisi geografis juga menjadi dasar grouping tersebut, sehingga ada 22 SD yang regrouping dengan tanpa mengurangi cakupan pelayanan pendidikan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Langkah
selanjutnya
adalah
Regrouping
Puskesmas-Puskesmas
dan
Pengalihan Subsidi Kesehatan. Regrouping puskesmas dilakukan karena tidak rasionalnya jumlah kunjungan dengan pegawai puskesmas. Pada Tahun 2001 dari 11 Puskesmas digabung menjadi 6 Puskesmas. Kadis Kesehatan Lhokseumawe menjelaskan "... di bidang kesehatan kita melakukan efisiensi melalui regrouping puskesmas. Tadinya kan banyak puskesmas, kemudian sebagian digabung. Dana operasional untuk puskesmas kan lumayan, nah ini yang ditekan dengan adanya penggabungan tersebut”. (21 Maret 2008) Penghematan atau efisiensi di sektor pelayanan kesehatan yang dilakukan tidak hanya berupa penggabungan antar puskesmas maupun pustu (puskesmas pembantu), tapi juga berupa pengalihan subsidi dari sebelumnya subsidi diberikan kepada puskesmas dan puskesmas pembantu untuk biaya operasional kemudian dijadikan menjadi subsidi langsung kepada masyarakat melalui lembaga JK (Jaminan Kesehatan). Pengalihan subsidi ini berdasarkan realitas bahwa jumlah masyarakat yang berkunjung ke puskesmas relatif sedikit. Sementara dana operasional yang harus dikeluarkan oleh Pemko relatif besar. Faktor ini yang menjadi salah satu alasan pengalihan subsidi, seperti penjelasan Kepala Sosial dan Ketenagakerjaan berikut: "...Subsidi yang sebelumnya langsung ke puskesmas, misalnya JPS kesehatan, kemudian ada inpres masuk ke puskesmas. Tapi di sana kan di kelola oleh puskesmas tidak jelas apakah sampai kepada masyarakat. Dalam arti, masyarakat datang ke puskesmas nggak? Kalau masyarakat yang berkunjung ke puskemas sedikit berarti kan tidak efisien, dana yang berkunjung ke puskemas sedikit berarti kan tidak efisien, dana operasional besar tapi yang memanfaatkan pelayanan sedikit. Nah uang itu kemudian ditaruh atau dikelola oleh JK" (23 Maret 2008)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Kebijakan ini dilakukan untuk mendukung perwujudan visi dan misi kota Lhokseumawe yaitu sehat secara madani dan islami tahun 2012. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan sebagai berikut. “ Dinas kesehatan sebagai penanggung jawab terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya, haruslah senantiasa inovatif dan berorientasi pasar dalam pelayanan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Berkaitan dengan hal tersebut maka Dinas kesehatan dalam rangka pelaksanaan efisiensi di bidang kesehatan menempuh beberapa langkah antara lain penerapan efisiensi dalam perencanaan sehingga akan menghasilkan produk pelayanan yang efektif dan efisien dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada. Penerapan efisien dan penempatan sumber daya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing serta meningkatkan pendidikan dan pelatihan. Pembangunan infrastruktur kesehatan dengan daya fungsi efektif dalam mendukung pelayanan kesehatan bagi masyarakat di kota Lhokseumawe”. (24 Maret 2008)
Menurut Kabag Kepegawaian Lhokseumawe, efisiensi di bidang SDM di Lhokseumawe terutama berkaitan dengan rasionalisasi struktur organisasi Pemerintah Daerah yang telah menjadi ramping. Disamping itu juga berhubungan dengan pemanfaatan SDM yaitu cara pemanfaatan SDM yang tersedia dan peningkatan kapasitas SDM serta rekrutmen pegawai dan yang menduduki jabatan tertentu (17 Maret 2008). Langkah-Iangkah yang dilakukan adalah: “Sesuai dengan penegasan PP No. 41 Th.2007 tentang organisasi perangkat daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah, Kepala Daerah di bantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Mengacu kepada ketentuan diatas, penempatan personil pada masing-masing satuan kerja perangkat daerah disesuaikan dengan struktur organisasi dan tugas pokok dan fungsinya”.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Sedangkan untuk pola rekrutmen pegawai kontrak. Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 pemerintah Pemko Lhokseumawe tidak melakukan pengangkatan pegawai baik PNS maupun Honor/harian. Untuk memenuhi kebutuhan pegawai pada bidang-bidang teknis tertentu dilakukan dengan pola kontrak dengan gaji Rp. 600.000,- s.d. Rp. 1.000.000, per bulan. Mengenai pegawai-pegawai kontrak ini Kepala Bagian Kepegawaian menyatakan: “ …Keberadaan pegawai-pegawai kontrak ini memang sangat membantu, karena mereka yang direkrut jadi pegawai kontrak ini adalah yang memilki kemampuan teknis tertentu, bukan yang umum-umum. Misalnya tahu mengenai AC, listrik, bangunan, sehingga saat diperlukan untuk memperbaiki AC atau listrik misalnya tidak perlu lagi memanggil orang luar dengan biaya yang mahal. Paling, kita hanya membayar harga barang/ sparepart tertentu yang memang harus diganti misalnya. " (16 Maret 2008)
Pola rekrutmen Pejabat struktural melalui sistem kompetensi. Mutasi PNS masih menjadi bagian kerisauan bagi pejabat, indikasi "like and dislike" menjadi momok dalam penempatan pejabat. Untuk mengantisipasi hal tersebut pemerintah Pemko Lhokseumawe sejak tahun 2007 mencoba perekrutan pejabat struktural melalui pada sistem kompetisi yang berbasis pada kompetensi, dengan persyaratan yang sesuai dengan aturan kepegawaian. Evaluasi sistem Penilaian Angka Kredit Fungsional. Penilaian angka kredit fungsional saat ini tidak rasional dan tidak valid. Suatu contoh Fungsional Dokter, (Dn Spesialis) dinilai oleh pejabat struktur (Kepala RSU yang notabene dokter umum). Bagaimana seorang dokter umum akan menilai keprofesian seorang dokter
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
spesialis. Untuk itu Pemerintah Kota Lhokseumawe mencoba mengembangkan model pengembangan pejabat fungsional dengan tim evaluasi. Evaluas Pejabat Struktural melalu LAKIP. DP3 sebagai ukuran penilaian PNS khususnya pada pejabat struktural sudah tidak memberikan penilaian yang secara signifikan pada kemampuan dan hasil kerja. DP3 menjadi formalitas saja yang tidak terlalu berarti, karena ukuran-ukuran yang dipakai masih bersifat umum dan kurun waktu penilaian yang cukup lama. Untuk hal tersebut dicoba untuk evaluasi pejabat struktural eselon II dilakukan dengan menggunakan LAKIP. 4.3.1.3. Strategi Efisiensi Aset/Alat (Pemanfaatan Sarana) Efisiensi di bidang alat/aset atau sarana ini berkaitan dengan pengadaan, pemeliharaan dan penggunanaan sarana. Walikota Lhokseumawe menggariskan agar para staf dalam pengadaan, pemeliharaan dan penggunaan selalu mengacu pada prinsip kebutuhan, manfaat, berkesinambungan. Untuk itu demi Efisiensi maka Pemerintah Pemko Lhokseumawe melakukan langkah-langkah berikut. a. Pemanfaatan aset-aset Pemerintah Daerah secara maksimal. Paska otonomi daerah banyak sekali aset pemerintah baik berupa gedung, tanah dan sebagainya yang tidak terurus. Sementara masyarakat, kelompok masyarakat membutuhkan sarana-sarana tersebut. Untuk itu Pemerintah Pemko Lhokseumawe mencoba memanfaat aset-aset tersebut secara maksimal, apabila tidak dipergunakan diberikan kepada masyarakat untuk memanfaatkannya sehingga
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pemerintah tidak mengeluarkan biaya untuk perawatan. (Kadis Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah, 12 Maret 2008) b. Pola pemeliharaan sarana dan prasarana Pemerintah Pola pemeliharaan yang diproyekkan kurang tepat, karena harus melalui tahapan yang sangat panjang padahal tahapan tersebut dapat dipendekkan dan bahkan langsung dapat dikerjakan tanpa harus menunggu masalah baru yang akan muncul. Sebagai contoh pemeliharaan jalan merupakan hal yang semestinya secara rutin dilakukan dan itu merupakan tugas pokok dan tugas rutin Dinas PU. kecuali hal-hal yang memerlukan biaya yang sangat besar (Kadis Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah, 12 Maret 2008) c. Pola kewenangan Seluruh Kebijakan yang dilakukan melalui pola efisiensi tiada lain untuk memanfaatkan seluruh sumber dana, sumber daya manusia dan prasarana secara maksimal untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pada aspek/bidang yang mempunyai kewenangan yang dapat diukur seperti DPKAD kota Lhokseumawe, KPPTS kota Lhokseumawe, Bag. Kepegawaian Setdako Lhokseumawe. Efesiensi pada SKPD tersebut relatif tinggi karena menangani urusan yang mempunyai tolak ukur yang jelas. (Kadis Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah, 12 Maret 2008)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4.4. Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi 4.4.1. Faktor-foktor Pendukung dalam pelaksanaan Strategi Efesiensi Keberhasilan beberapa kebijakan efisiensi yang dijalankan oleh Pemerintah Lhokseumawe didukung oleh beberapa hal. Diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi
adalah
kepemimpinan
yang
kuat.
Faktor
lain
yang
mempengaruhi/mendukung dalam pelaksanaan efisiensi adalah adanya kebijakan desentralisasi dari pusat melalui UU No. 32/2004 tentang Pemerintanan Daerah. Bagi Pemerintah Lhokseumawe era otonomi ini sangat besar maknanya dan menganggap otonomi daerah ini ibarat gayung bersambut dengan keberadaan Walikota Lhokseumawe yang baru dilantik ketika itu sempat menyatakan "Andai saya menjadi Walikota di masa Orde Baru, mungkin saya juga tidak bisa berbuat banyak". Peran besar reformasi dan otonomi daerah bagi Pemko Lhokseumawe ini terutama dari sisi kewenangan yang besar dan luas, yang memungkinkan Pemerintah Daerah untuk berinovasi bersikap kreatif, menjalankan Kebijakan inovatif secara efisien sesuai dengan kondisi daerah tanpa khawatir bertentangan dengan kewenangan peraturan dari pemerintah pusat. Faktor berikutnya adalah sumber daya manusia yang berkualitas, sarana dan prasarana serta dana yang bersumber dari APBD/APBN maupun hibah daripada donatur. Untuk lebih jelasnya faktor-faktor pendukung dalam pelaksanaan strategi efesiensi, menurut bidang yang penulis teliti memperoleh gambaran sebagai berikut :
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
1. Dibidang pendidikan; Tersedianya lembaga pendidikan dari jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi; adanya good will dari pemerintah kota Lhokseumawe dan masyarakat dalam rangka memajukan pendidikan kota Lhokseumawe; tersedianya tenaga pendidik dan kependidikan serta ruang belajar yang memadai; adanya komitmen pemerintah yang mengalokasikan dana pendidikan dalam APBK, lebih dari 20%; adanya Undang – undang sisitem pendidikan nasional; adanya kebijakan sertefikasi tenaga pendidik dalam rangka meningkatkan mutu tenaga pendidik, dilain pihak penerapan otonomi daerah membuka kesempatan luas untuk meningkatkan mutu pendidikan, adanya Undang-undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, adanya partisipasi perguruan tinggi kota lhokseumawe dalam pembangunan daerah, serta adanya bantuan dari NGO dan BRR terhadap peningkatan sarana dan prasarana pendidikan. 2. Dibidang kesehatan; di Kota Lhokseumawe saat ini tersedia 1(satu) Unit Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Meutia, 1(satu) rumah sakit Kesrem, 1(satu) Rumah Sakit PMI, 5 (lima) Unit Rumah Sakit Swasta, 5 (lima) unit Puskesmas, 14 (empat belas) unit Puskesmas Pembantu, 14 (empat belas) unit Polindes; tersedianya tenaga kesehatan; tersedianya dokumen rencana induk kesehatan; adanya program askeskin, berupa penyediaan dana kesehatan bagi masyarakat miskin; 90% (sembilan puluh) persen pertolongan persalinan telah ditangani oleh tenaga kesehatan, dilain pihak tersedianya bantuan anggaran kesehatan dari NGO
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
dan BRR, serta tersedianya lembaga pendidikan kesehatan. 3. Dibidang Ekonomi; Besarnya animo masyarakat dan investor dalam menanamkan modalnya disektor perdagangan, industri dan jasa; ditetapkan nya kota Lhokseumawe dalam RTRW Privinsi sebagai sub Wilayah Pengembangan III di Provinsi NAD dimana daerah Hinterlandnya adalah Kabupaten Bireuen, Takengon, Langsa, Aceh Timur dan Tamiang; adanya kebijakan Pemda NAD tentang penerapan kota Lhokseumawe, sebagai salah satu pintu gerbang pengembangan industri dan pusat pertumbuhan ekonomi NAD (growth centers), disamping itu adanya Undang-undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adanya pelabuhan laut dan udara di kabupaten Aceh Utara sebagai daerah hiterland dari kota Lhokseumawe, letak kota Lhokseumawe yang strategis yang meghadap ke selat malaka sebagai jalur laut terpada nomor 2 (dua) di dunia serta sebagai daerah pesisir, dimana kota Lhokseumawe bisa dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari islami. 4. Dibidang pelayanan perizinan ; mekanisme pelayanan perizinan yang dilakukan Pemko Lhokseumawe, melalui Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu memiliki banyak kelebihan, yaitu; daya jangka masyarakat terhadap pelayanan perizinan dan non perizinan menjadi lebih baik; proses perizinan dan non perizinan terlaksana secara transparan, jelas biaya, waktu penyelesaian, syarat dan prosedur; memberikan kemudahan kepada masyarakat karena sistem yang efektif dan efisien; proses suap yang biasa diberikan oleh pengurus perizinan kepada
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
petugas menjadi sangat berkurang, bahkan tidak ada; memungkinkan pengurusan perizinan secara paralel; meningkatkan kedisiplinan pengurus perizinan (masyarakat) dan petugas, karena segalanya harus mengikuti sistem; efesiensi sumber daya (SDM dan sarana prasarana) karena setiap jenis perizinan/non perizinan yang masuk/keluar hanya melalui satu pintu. 5. Dibidang pembangunan insfrastruktur; besarnya animo masyarakat dan investor dalam pelaksanaan pembangunan permukiman serta kawasan perdagangan dan jasa, tersedianya Sumberdaya Manusia (SDM) dan aparatur dalam perencanaan , pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian pembangunan, dipihak lain adanya bantuan pemerintah pusat terhadap pembangunan insfrastruktur, adanya bantuan dari NGO dan BRR terhadap pembangunan perumahan dan insfrastruktur serta adanya lembaga dan institusi yang memberikan sertefikasi terhadap tenaga ahli. 4.4.2. Faktor-Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Strategi Efisiensi Hambatan yang dirasakan dalam Kebijakan efisiensi dan inovasi selama ini adalah aspek aparatur birokrasi. Menurut Walikota Lhokseumawe: “Setiap kebijakan pasti ada kendala, dalam hal efesiensi kendala nya adalah sesuatu yang telah direncanakan program dan kegiatan beserta besaran biayanya itu pada prinsipnya boleh dikeluarkan sesuai dengan plafon anggaran yang tersedia namun pimpinan selalu memberikan arahan pada para pejabat, pimpinan organisasi dan yang terkait dalam pengelolaan anggaran untuk melakukan efesiensi
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
yang
memungkinkan
dari
kegiatan–kegiatan
tersebut
sejauh
tidak
menghambat
pelaksanaan program dan kegiatan”. Namun, Walikota Lhokseumawe juga menyatakan bahwa: “Menghadapi kendala tersebut semua pejabat atau para pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan program dan kegiatan sampai saat ini nampaknya tidak menjadi persoalan karena tidak ada kendala yang berarti dalam hal pelaksanaan efesiensi yang sudah diwacanakan”. Aspek aparatur terkait dengan pegawai-pegawai yang sudah terbiasa dengan pola orde baru, kebiasaan ingin dilayani, boros. Senada dengan Walikota, Asisten Tata Praja berpendapat hambatannya adalah faktor perilaku yang masih terbawa gaya lama birokrat. Hambatan-hambatan ini terjadi di masa-masa awal kepemimpinan Walikota Lhokseumawe. Hambatan lainnya adalah kendala teknis dalam pelaksanaan tugas. Walau banyak hal yang dinilai positif dengan adanya kebijakan efisiensi di berbagai bidang, namun pada unit kerja tertentu dirasakan kendala teknis berupa kurangnya fasilitas ruangan bagi unit kerja yang memiliki jumlah personil relatif banyak. Selain itu juga kendala yang berkaitan dengan struktur birokrasi yang terlalu ramping, sehingga terjadi pemusatan beban kepada unit kerja tertentu dan ini dirasakan berat oleh sebagian pegawai tersebut. Adapun faktor – faktor penghambat menurut bidang yang penulis teliti dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Bidang pendidikan; Angka partisipasi sekolah untuk jenjang pendidikan menengah atas masih rendah, belum idealnya rasio sekolah terhadap siswa untuk tingkat SD, SMP dan SMA, belum meratanya distribusi guru dan mutu
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pendidikan pada beberapa kecamatan, rendahnya koordinasi antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha, kurangnya guru dan sekolah yang telah bersertifikasi, belum optimalnya serapan kurikulum dan belum adanya peraturan daerah tentang pendidikan kota Lhokseumawe serta rendahnya penyerapan lulusan sekolah umum bagi dunia usaha. 2. Bidang Kesehatan; Distribusi pelayanan kesehatan belum terselenggara secara merata, masih kurangnya dokter spesialis, tingginya kasus penyakit menular dan distribusi sarana kesehatan tingkat dasar belum merata dilain pihak besarnya tuntutan masyarakat terhadap peningkatan mutu pelayanan kesehatan serta tingginya animo masyarakat untuk berobat keluar daerah ataupun luar negeri. 3. Bidang ekonomi; kurang berfungsinya peran mediasi antara dinas terkait dengan masyarakat serta industri dalam penerapan teknologi madya, pengembangan dan pemasaran produk, kurangnya inovasi dalam pemasaran produk baik dari segi kemasan maupun keragaman produk, terbatasnya dukungan insfrastruktur (air minum dan listrik) bagi calon pemodal, sehingga menyurutkan minat mereka dalam menanamkan modal di kota Lhokseumawe, belum terindikasinya produk pertanian lokal unggulan, rendahnya peran sektor pertanian dalam struktur perekonomian kota Lhokseumawe, belum berfungsinya saluran tata niaga dengan baik dikarenakan belum berfungsinya lembaga pemasaran ditingkat pedesaan. 4. Bidang Pelayanan perizinan; sebagian jenis perizinan belum ada peraturan wali kota yang mengatur mekanisme izin dan tarif restribusi; Kantor Pelayanan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) hanya merupakan front office; kewenagan masih terbatas, hanya kewenangan koordinasi dan administrasi saja, secara umum proses tehnis masih banyak diunit/instansi teknis, sehingga masih banyak kendala yang kemungkinan tidak terpantau oleh pelayanan satu pintu. 5. Bidang Insfrastruktur; masih tergantungnya kebutuhan material dan bahan bangunan dari luar daerah, renhanya kesadaran masyarakat dalam hal pengurusan IMB, tidak seimbangnya antara peningkatan dan pemeliharaan jalan dengan pertumbuhan kenderaan bermotor, belum adanya pengendalian tata ruang secara konprehensif dan terpadu serta pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, dibandingkan dengan lahan yang tersedia, akibatnya kepadatan penduduk semakin tinggi.
4.5. Peran Kebijakan Strategi Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat di Lhokseumawe Sebagaimana kesimpulan umum yang disebutkan bahwa kunci sukses berbagai program peningkatan kesejahteraan rakyat di Lhokseumawe adalah efisiensi di segala sektor (Prasodjo, 2004:15). Hal ini dinyatakan langsung oleh Walikota bahwa semua program peningkatan kesejahteraan di Pemko Lhokseumawe bisa dilakukan karena keberhasilan efisiensi di segala bidang. Asisten Tata Praja juga menegaskan: "...dari hasil-hasil efisiensi inilah yang kita pergunakan untuk mendukung pembiayaan Kebijakan Pemerintah Pemko Lhokseumawe untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat."
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Keberhasilan
peningkatan
kesejahteraan
rakyat
pada
masing-masing.
indikatornya. Peningkatan kesejahteraan tersebut terjadi secara signifikan setelah adanya berbagai program inovatif yang didukung oleh kebijakan efisiensi di berbagai bidang. Mengenai dampak Kebilakan Efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat Lhokseumawe dapat dilihat dalam gambar berikut:
EFESIENSI SELURUH BIDANG
Sumber Daya Aparatur
Tersedianya dana pendukung program inovatif dan fungsi
pemerintah
Program inovatif 1. Pendidikan 2. Kesehatan 3. Ekonomi/daya beli 4. Pelayanan 5. Pembangunan infrastruktur
Gambar 2. Peran Kebijakan Efisiensi Terhadap Kesejahteraan Rakyat
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Peningkatan kesejahteraan 1. Peningkatan APK, APM, UAN, penurunan DO 2. Peningkatan derajat kesehatan 3. Peningkatan pertumbuhan ekonomi, penurunan kemiskinan
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 7. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Lhokseumawe Indikator 2006 2007 Nilai IPM/HDI 73,8 74,4 Usia Harapan Hidup 73,7 74,5 Melek Huruf Usia Dewasa 98,6 99,0 Rata-Rata Lama Sekolah (tahun) 8,0 8,5 Rata-Rata Pengeluaran Belanja perkapita 604,3 606,6
Sumber : Bapeda Kota Lhokseumawe Tahun 2007
4.5.1. Peran Kebijakan Efesiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat Dibidang Pendidikan Pendidikan adalah faktor dalam pengembangan sumberdaya manusia sebagai penggerak pembangunan. Pendidikan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan sumber daya manusia, telah menjadi kebutuhan setiap warga negara dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan fasilitas pendidikan secara merata. Untuk dapat meningkatkan potensi sumber daya manusia yang berkualitas, peran ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan yang optimal sangat diperlukan. Pengesahan Undang – Undang RI Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh pada tanggal 1 Agustus 2006 telah memberi harapan besar bagi reformasi pendidikan yang konfrehensif di Aceh pada umumnya dan Kota Lhokseumawe pada khususnya. Meskipun pada prinsipnya pendidikan merupakan urusan strategis yang masih menjadi kewenangan negara, namun karena kekhususan daerah, Pemerintah Aceh ( Provinsi, Kabupaten/Kota ) memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan karakteristik, potensi dan kebutuhan masyarakatnya. Menyadari akan hal tersebut Pemerintah Kota Lhokseumawe telah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas manajemen
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
pendidikan secara menyeluruh. sehingga dampak positif dari peran kebijakan efesiensi terhadap kesejahteraan rakyat dibidang
pendidikan ditandai dengan
meningkatnya partisipasi masyarakat untuk memperoleh pendidikan. Ketersediaan lembaga pendidikan di Kota Lhokseumawe terus bertambah dari tahun ketahun, hal ini dapat terlihat jelas pada tabel berikut : Tabel 8. Jumlah Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006 Sekolah SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
N 51 9 8
2001 S 2 3 2
Jlh 53 12 10
N 52 9 8
2002 S 2 3 2
Jlh 54 12 10
N 52 9 8
2003 S 4 3 2
Jlh 56 12 10
N 55 10 8
2004 S 4 3 3
Jlh 59 13 11
N 58 12 10
2005 S Jlh 7 65 12 24 7 17
N 59 14 11
2006 S 9 12 10
Jlh 68 26 21
Sumber: Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Lhokseumawe 2006
Berdasarkan data yang ada kurun waktu 2001 – 2006, penambahan unit sekolah baru (USB) lebih banyak pada jenjang sekolah menengah yang tumbuh ratarata sekitar 16 persen, sementara untuk jenjang sekolah dasar pertumbuhannya 5,11 persen. Penyediaan layanan pendidikan yang berkualitas juga berkaitan erat dengan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Permasalahan pendidikan di Kota Lhokseumawe tidak hanya menyangkut penyediaan layanan pendidikan formal bagi anak-anak, tetapi juga pembekalan ilmu pengetahun (knowledge) dan ketrampilan (life skill) bagi setiap anggota masyarakat melalui program pendidikan non formal (PNF). Pemberantasan buta aksarab (illiteracy) dilakukan secara serius sebagai upaya untuk mencerdaskan seluruh rakyat dan mendukung pembelajaran sepanjang hayat (long leaf learning).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Hingga akhir tahun 2006, jumlah penduduk buta aksara latin usia 15 tahun keatas sebesar 1.107 orang atau 1,02 %. Kelompok usia 15-44 tahun merupakan sasaran prioritas pemberantasan buta aksara, sedangkan usia diatas 45 tahun merupakan sasaran tambahan yang ditangani melalui program keaksaraan fungsional. Dalam hal pemberantasan buta aksara, Pemerintah Kota Lhokseumawe tidak hanya melakukan program penghapusan buta aksara latin, tetapi juga penghapusan buta aksara Al-Quran dengan indikator kemampuan membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Tabel 9. Jumlah Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe Tahun 2001 – 2006 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 1. SD/MI 21,529 22,836 22,505 22,857 22,110 2. SMP/MTs 9,867 10,033 10,528 11,088 11,162 3. SMA/MA/SMK 7,356 7,461 8,759 9,532 9,975 Sumber: Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Lhokseumawe, 2007 No.
Sekolah
2006 22,228 11,342 10,050
Seiring dengan penambahan jumlah USB dan Guru, jumlah murid dan siswa juga cenderung mengalami peningkatan, secara berturut-turut siswa SMA/MA/SMK bertambah rata-rata 6,44 persen, SMP/MTs 2,83 persen dan SD/MI 0,64 persen Tabel 10. Rasio Sekolah, Guru dan Murid/Siswa Sekolah di Kota Lhokseumawe 2006 Jenjang Pendidikan 1 SD/MI 2 SMP/MTs 3 SMA/MA/SMK
No.
Jlh Sekolah Jlh Guru Jlh Murid (unit) (Orang) (Orang) Sklh:Mrd 68 1,100 22,228 1:326,88 26 835 11,342 1:436,23 21 866 10,050 1:478,57
Sumber : Bappeda Kota Lhokseumawe, 2007
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Rasio Guru:Mrd Sklh:Guru 1:20,21 1:16,18 1:13,58 1:23,12 1:11,61 1:41,24
4.5.2. Peran Kebijakan Efesiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Kesehatan Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, meningkatkan mutu sumber daya manusia dan produktifitas yang dapat meningkatkan taraf hidup. Salah satu tolak ukur keberhasilan adalah meningkatnya derajat kesehatan yang optimal dan islami yang memungkinkan setiap individu hidup sehat dan produktif secara sosial dan ekonomis dengan menurunnya kasus kekurangan gizi pada usia bayi, balita, usia produktif, dan kelompok usia rentan lainnya. Beberapa indikator kesehatan yang paling sensitif untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat, adalah Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Status Gizi Masyarakat. Melihat besarnya permasalahan kesehatan khususnya Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui Dinas Kesehatan telah melakukan upaya-upaya peningkatan kualitas pelayanan melalui peningkatan kemampuan petugas, penyediaan peralatan medis, sarana transportasi, dukungan manajemen program dan manajemen teknis medis di fasilitas pelayanan (polindes, pustu dan puskesmas. Pada saat ini sebahagian besar tenaga kesehatan (dokter,bidan puskesmas, bidan desa) telah terlatih Asuhan Persalinan Normal (APN), pencegahan infeksi, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), Manajemen Laktasi/Konseling ASI Eksklusif dan manajemen kasus gizi buruk disetiap level pelayanan. Beberapa
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
puskesmas telah dipersiapkan sebagai rujukan pelayanan kasus emergensi kebidanan dan neonatal dasar (PONED) di Puskesmas Muara Dua Kecamatan Muara Dua. Kemudian Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cut Meutia sebagai pusat rujukan juga telah mampu melakukan pelayanan kebidanan dan neonatal konprehensif (PONEK). Pemerintah Kota Lhokseumawe, melalui Dinas Kesehatan, telah menerapkan strategi perencanaan dengan mempertimbangkan 3(tiga) hal, yaitu supply, demand dan manajemen sbb: 1. Supply; tetap mengacu pada peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan cara supaya fasilitas pelayanan bisa diakses oleh kelompok sasaran. Peningkatan kapasitas tenaga kesehatan dilakukan melalui pelatihan, bimbingan teknis dan on the job training. Pelatihan teknis dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan menggunakan standar yang yang disepakati. Uji kompetensi terhadap ketrampilan teknis juga merupakan salah satu indikator untuk menentukan tingkat kompetensi tenaga yang tetap terus diupayakan. 2. Demand; konsep desa siaga semakin terus digalakkan untuk mempersiapkan masyarakat tanggap terhadap kondisi yang membahayakan lingkungannya. Khusus untuk siaga terhadap upaya penurunan angka kesakitan dan kematian ibu. Setiap individu dilatih untuk menolong anggotanya (khususnya ibu hamil) mendapat proses persalinan yang aman melalui pengumpulan dana tabulin, ambulans desa, donor darah bila diperlukan dan tentunya keluarga/suami siaga.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Penyuluhan KIA, baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun melalui kelompok KP KIA (Kelompok Peminat Kesehatan Ibu dan Anak) yang terdiri dari kader kesehatan terlatih/kader PKK serta revitalisasi posyandu telah dan terus dilaksanakan sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan. 3. Manajemen program kesehatan ibu; kegiatannya diarahkan pada peningkatan kapasitas manajemen pengelola KIA, melalui pelatihan manajemen DTPS, manajemen pengelolaan KB, manajemen data, asistensi atau bimbingan teknis dari propinsi maupun pusat, sistem pelaporan bidan desa sudah merata disetiap desa dan sudah bekerja sesuai bidang dan fungsinya sehingga pelaporan semakin baik, workshop dan evaluasi program untuk mendapatkan profil tahunan ytang akurat tentang pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Kota Lhokseumawe
Keberhasilan dari pada Peran Kebijakan Efesiensi terhadap kesejahteraan rakyat
dibidang
Kesehatan
yang
telah
dilakukan
oleh
pemerintah
Kota
Lhokseumawe, dapat dilihat pada tabel 4.10, bahwa kematian ibu hamil dan bayi semakin menurun. Tabel 11. Perkembangan Angka Kematian Ibu Hamil dan Bayi Kota Lhokseumawe Tahun 2006 – Mei 2008 No. Uraian 2006 1. Kematian Ibu Hamil 12 2. Kematian Bayi 43 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
2007 5 38
s/d Mei 2008 2 18
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4.5.3. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat dibidang Ekonomi Kebijakan ekonomi daerah diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi agar mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang mendasar terutama pengangguran dan kemiskinan dengan tetap mempertahankan stabilitas ekonomi. Dalam mempercepat pemulihan ekonomi dan penanganan kemiskinan di Kota Lhokseumawe, maka kebijakan efesiensi terhadap kesejahteraan rakyat dibidang ekonomi diarahkan sebagai berikut: 1. Mendorong pelaksanaan program/kegiatan yang bersifat mempercepat pemulihan perekonomian rakyat, melalui instrumen kemudahan permodalan, pembinaan ketrampilan dan kemudahan pasar, disamping rehabilitas dan pengembangan saarana dan prasarana perekonomian seperti pasar dan terminal. 2. Melanjutkan pelaksanaan ”Program cepat”
(crash program) yang bersifat
menyelamatkan (resque), utamanya bagi kelompok keluarga miskin. 3. Secara
bertahap
mengimplementasikan
kebijaksanaan
”desentralisasi”
pengelolaan siklus pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan) ketingkat Kelurahan dan Kecamatan, utamanya untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat memenuhi kebutuhan masyarakat secara lokal, sebagai upaya memperkuat kelembagaan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di masyarakat. 4. Memperkuat kinerja dan kualitas pelayanan kota yang berskala regional
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
seprovinsi Nanggroe Aceh Daerussalam (terhadap kota-kota disekitarnya: Aceh Utara, Aceh Timur, Langsa, Tamiang, Bireuen. Takengon dan Sigli) seperti pendidikan tinggi/akademi/kursus-kursus/latihan, kesehatan(rumah sakit) dan parawisata (sebagai tujuan maupun transit point) 5. Mendorong pembangunan insfrastruktur utama, jalan, air bersih dan listrik, guna menciptakan keunggulan kompetitif terhadap daerah lainnya. 6. Memperkuat langkah strategis dan promosi potensi daerah, kebijakan insentif dan dis-insentif bagi pengembangan usaha, melalui penyederhanaan pelayanan dan perlindungan (kapasitas hukum/peraturan) dalam kegiatan usaha dan investasi. 7. Mendorong langkah-langkah pengembagan deversifikasi usaha dan re-investasi bagi pelaku-pelaku usaha yang telah memperoleh surplus dari belanja pemerintah (utama pelaku usaha di sektor konstruksi), ke sektor-sektor yang lebih mempunyai dampak multiplier (pengganda) bagi perekonomian wilayah, seperti pada sektor agribisnis/agroindustri., 8. Mendukung terbentuknya pembangunan kawasan sentra kecil yang spesifik seperti industri kerajinan gembol, perak dan rotan. Bersama itu pula diperlukan eksisnya lembaga-lembaga yang memungkinkan akses usaha kecil terhadap permodalan dan pasar, seperti Pos Ekonomi Rakyat (PER), lembaga– lembaga non bank dan people telecenter.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Untuk mempercepat transformasi ekonomi yaitu dari ekonomi yang berbasis pertanian keekonomi yang berbasis industri, parawisata, perdagangan dan jasa, maka pertanian kota Lhokseumawe diarahkan pada pertanian intensif dengan komoditas andalan holtikultura serta ternak penghasil daging dan telur, yang utamanya ditujukan untuk pemenuhan konsumsi warga kota, dimana pengelolaannya berdasarkan pendekatan agrowisata. Struktur perekonomian daerah dalam PDRB Kota Lhokseumawe, selama 7 tahun terakhir senantiasa didominasi oleh sektor sekunder sebagai kontribusi dominan, dengan andalan utama adalah sektor industri pengolahan, sumbangan lapangan usaha dalam struktur ekonomi kota Lhokseumawe mencapai 82,81% (Tahun 2006). Dibanding dengan sumbangan nilai tambah pada tahun 2005, mengalami pertumbuhan sebesar 1,25%. Lapangan usaha tersier adalah penyumbang kedua terbesar. Lapangan usaha ini menyumbang 13,74%
dalam PDRB Kota
Lhokseumawe, dengan pertumbuhan rata – rata 7.07% pertahun selama priode 2000 – 2006, sektor yang dominan dalam lapangan usaha tersier adalah perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 10,10% dalam struktur ekonomi daerah tahun 2006. sumbangan lapangan usaha primer dengan andalan sektor pertanian hanya menyumbang 3,34% dalam struktur ekonomi kota Lhokseumawe. Selama tahun 2000 – 2006. sumbangan nilai tambah lapangan usaha primer meningkat rata-rata 4,12% pertahun, secara terperinci struktur ekonomi Kota Lhokseumawe dapat disajikan sebagai berikut:
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 12. Struktur Perekonomian Kota Lhokseumawe Tahun 2000 – 2006 No. 1.
2.
3.
Lapangan Usaha Primer a. Pertanian b. Pertambangan & Penggalian Sekunder a. Industri Pengolahan b. Listrik dan Air Minum c. Bangunan Konstruksi Tersier a. Perdagangan, Hotel & Restoran b. Pengangkuta dan Komunikasi c. Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan d. Jasa-Jasa Jumlah
Rata-Rata Pertumbuhan (%)
Kontribusi terhadap PDRB 2000 2,70 2,63
2001 2,85 2,78
2002 3,67 3,57
2003 3,78 3,58
2004 3,64 3,54
2005 3,63 3,52
2006 3,44 3,34
4,12 4,06
0,06 88,19 86,99 0,02 1,18 9,12
0,07 87,59 86,16 0,02 1,41 9,56
0,10 83,54 81,67 0,03 1,84 12,80
0,10 82,69 80,74 0,03 1,92 13,52
0,10 82,80 80,91 0,03 1,86 13,55
0,11 81,56 79,58 0,03 1,95 14,80
0,10 82,81 80,85 0,03 1,95 14,80
8,89 -1,04 -1,21 6,99 8,55 7,07
6,39
6,74
9,02
9,55
9,62
10,54
10,54
7,93
1,47
1,52
1,98
2,04
1,99
2,13
2,13
5,35
(0,01) 1,27 100
(0,01) 1,31 100
0,06 1,74 100
0,12 1,81 100
0,14 1,80 100
0,22 1,91 100
0,22 1,91 100
69,84 6,66
Sumber : BPS Kota Lhokseumawe, 2007
4.5.4. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat Dibidang Pelayanan Perizinan Melakukan deragulasi dalam rangka mendorong pemberdayaan masyarakat, dengan tujuan akhir yaitu penyederhanaan
prosedur perizinan dengan strategi
pembangunan yang diletakkan adalah pemantapan pelayanan perizinan satu atap dengan indikator pelayanan yang persyaratan sederhana, cepat murah dan adil. Pemerintah Kota Lhokseumawe dalam hal ini telah membentuk sebuah organisasi yaitu Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) yang memberikan pelayanan kepada publik, yang pelayanan perizinan dan non perizinan dalam melaksanakan kegiatan berorientasi pada kepuasan pelanggan, oleh karena itu KPPTSP dalam melakukan kegiatan pelayanan mengutamakan kepentingan masyarakat. Kegiatan-kegiatan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
perizinan kepada masyarakat sebagai penerima layanan diarahkan sebagai berikut: 1. Menciptakan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang transparan. 2. Menetapkan syarat-syarat pengurusan perizinan dan non perizinan seminimal dan sesederhana mungkin sehingga memudahkan masyarakat. 3. Menciptakan prosedur yang efektif dan tidak berbelit-belit. 4. Menetapkan biaya yang sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. 5. Menetapkan jangka waktu perizinan secepat mungkin. 6. Memberikan petunjuk dan panduan yang benar kepada masyarakat yang akan mengurus perijinan/non perijinan. 7. Menyajikan pelayanan perijinan dan non perijinan unggulan, misalnya: pengurusan perijinan dan non perijinan gratis untuk jenis tertentu atau masyarakat tertentu, pengurusan perijinan paralel, dll. 8. Memberikan pelayanan-pelayanan istimewa pada moment-moment tertentu, misal: sayembara, discount, dll. 9. Secara rutin mengukur tingkat ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan perijinan dan non perijinan, misalnya melalui survey kepuasan masyarakat, pengaduan masyarakat, dll. 10. Menciptakan suasana kerja yang profesional. 11. Melayani seluruh masyarakat yang akan mengurus perizinan dan non perijinan dengan ramah dan profesional. 12. Tidak membeda-bedakan kualitas pelayanan kepada masyarakat satu dengan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
masyarakat yang lain (tidak pilih kasih dalam memberikan pelayanan). 13. Bersikap terbuka dalam menerima kritik dan saran dari masyarakat.
4.5.5. Peran Kebijakan Efisiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat Dibidang Pembangunan Insfrastruktur Perkembangan aktivitas ekonomi dan sosial di Kota Lhokseumawe yang menunjukkan kecendrungan peningkatan dari segi kuantitas dan kualitas dalam tahun-tahun terakhir ini, diimbangi dengan pembangunan insfrastruktur yang berkesinambungan dan berkelanjutan, hal-hal yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan kota Lhokseumawe saat ini antara lain : 1. Penanganan sistem penyediaan air minum (SPAM), masalah penanggulangan air bersih masih merupakan pekerjaan yang menjadi prioritas, kota Lhokseumawe merupakan kawasan yang rawan air bersih, dengan perkiraan kebutuhan terhadap air bersih bagi penduduk mencapai lebih kurang 100 liter/orang/hari dengan sambungan mencapai 5.544 unit sambungan. Peta jaringan yang diperoleh memperlihatkan bahwa jaringan pipa didistribusikan telah terpasang menyebar keseluruh kota (sumber bappeda kota Lhokseumawe). 2. Perkembangan kota Lhokseumawe pasca bencana alam gempa-tsunami 2004 dan perjanjian kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menunjukkan peningkatan yang signifikan, ini ditandai dengan tumbuhnya pusat perbelanjaan, dan makin padatnya arus lalu lintas di jalan-jalan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
utama kot. Hal ini berarti pula bahwa perekonomian mulai bergairah dan berkembang menuju arah yang lebih baik. Diantara faktor dominan yang mempengaruhi kemajuan perekonomian perkotaan adalah tersedianya prasarana transportasi. peningkatan pembangunan dan pengaspalan jalan dengan fasilitas jalan hotmix serta pelebaran beberapa ruas jalan yang terus dipacu pembangunannya. 3. Pengembangan
dan
pengelolaan
irigasi
pemerintah
kota
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan petani
Lhokseumawe serta mengikut
sertakan petani dalam keseluruhan proses pegambilan keputusan serta pengelolaan irigasi agar dapat dicapai pemanfaatan secara optimal. Untuk menjamin terselenggaranya pengembangan dan pengelolaan irigasi yang efisien dan efektif serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada para petani, pengembangan dan pengelolaan irigasi di Wilayah Pemerintah Kota Lhokseumawe, memaksimalkan pemanfaatan air hujan, air permukaan dan air tanah secara terpadu dengan memanfaatkan air permukaan, serta memperhatikan pengguna bagian hulu, tengah dan hilir secara seimbang. ”sumber data dari Bappeda Kota Lhokseumawe” menyebutkan bahwa untuk menunjang aktifitas usaha tani masyarakat Kota Lhokseumawe, tersedia beberapa irigasi dan bendungan, antara lain irigasi krueng pase di Kecamatan Blang Mangat dengan saluran sekunder sepanjang 1.417,5 meter yang melintasi yang melintasi beberapa desa dengan luas areal 1.006 Ha, Daerah irigasi Alue Lim yang memiliki saluran
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
primer 447 meter, sekunder 318 meter dan tersier 1.082 meter dengan luas areal 150 Ha, disamping itu masih terdapat waduk irigasi Jeuleukat dan Blang Poroh Muara Dua dengan saluran sekunder sepanjang 785 meter dengan luas areal 641 ha dan waduk kareung puteh Desa Cot girek Kandang Kecamatan Muara Dua, selama ini terus dilaksanakan peningkatan pembangunannya bagi usaha untuk mewujudkan peningkatan pendapatan petani. Perkembangan penduduk yang begitu cepat , dibandingkan dengan luas wilayah yang terbatas, telah menyebabkan tingkat kepadatan penduduk Kota Lhokseumawe relatif semakin tinggi (865 jiwa/Km2). Luas wilayah Lhokseumawe 18.106 Ha telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan atau kebutuhan oleh 156.556 jiwa penduduk. Dilihat dari tata guna pemafaatan lahan (wilayah) yang ada, peruntukan untuk kebutuhan pemukiman sangat menonjol, yaitu sekitar 10.630 Ha atau 58,71 % dari luas wilayah seluruhnya, berarti terjadi peningkatan dari tahun 2004 dimana lahan yang digunakan untuk pemukiman hanya 8.491 Ha (47%). (Sumber Bappeda Kota Lhokseumawe) Tabel 13. Luas Wilayah dan Tingkat Kepadatan Penduduk menurut Kecamatan Kota Lhokseumawe No. 1 2 3 4
Kecamatan Banda Sakti Muara Satu Muara Dua Blang Mangat
Luas(Km2) 11,24 55,90 57,80 56,12 181,08
Tingkat kepadatan Penduduk (jiwa/Km2) 6.207 542 626 328 -
Sumber : BPS Kota Lhokseumawe Tahun 2007
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi untuk pemukiman menimbulkan permasalahan menjadi begitu kompleks, untuk itu Pemerintah Kota Lhokseumawe telah berupaya meningkatkan kinerja dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) sehingga terjadi sinkronisasi terhadap pelaksanaan dan pengawasan pelaksanaan tata ruang yang ada. Pola tata ruang dan peruntukkan penggunaan lahan di Kota Lhokseumawe di kaji ulang, dengan memperhatikan mitigasi bencana sehingga mampu meminimalisir terhadap kerugian harta benda, serta guna menyelaraskan antara situasi lokal dengan kebutuhan perencanaan dimasa depan. Kewenangan permukiman dan perumahan diarahkan kepada peningkatan sarana air bersih, penataan kawasan pemukiman yang indah dan nyaman, perkembangan perumahan bagi keluarga yang kurang mampudan peningkatan kesadaran masyarakatterhadap keserasian pemukiman. Dengan damikian maka dapat dikatakan bahwa kebijakan efisiensi mempunyai peran yang besar dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat Lhokseumawe baik secara langsung maupun tidak langsung, disamping peran inovasi program. Peran tersebut adalah berupa dukungan dana yang memang sangat diperlukan untuk menjalankan berbagai program inovatif tersebut.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4.6. Analisis 4.6.1. Strategi Efisiensi dan Pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe Hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa Pemerintah Pemko Lhokseumawe telah menetapkan dan menerapkan kebijakan umum pembangunan berupa efisiensi di segala bidang baik berkaitan dengan dana, orang maupun aset dalam rangka peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kepada masyarakat untuk mencapai visi masyarakat Lhokseumawe. Di era good govenance ini efisiensi dalam pemerintahan seakan merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawartawar lagi. Pengertian good governance ini sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Sementara itu, World Bank dalam Mardiasmo (Bab 2:57) mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaran manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan prinsip efisiensi, menghindarkan salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disinipun anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. UNDP
juga
memberikan
beberapa
karakteristik
pelaksanaan
good
governance, di mana salah satu karakteristiknya adalah efficiency and effectiveness, yaitu pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan efektif I berhasil guna (Bab 2:58).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Aspek efisiensi ini juga merupakan sesuatu yang ingin capai dengan keberadaan pemerintah daerah dan kebijakan desentralisasi. Rondinelli menyatakan bahwa desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan beban kepada di pemerintah pusat. Program didesentralisasikan dengan harapan keterlambatan-keterlambatan dapat dikurangi. Juga diperkirakan desentralisasi akan meningkatkan pemerintah menjadi lebih tanggap pada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan pemerintah pada rakyatnya. Desentralisasi sering juga dimaksudkan sebagai cara untuk mengelola pembangunan ekonomi agar lebih efektif dan efisien. Keefektifan dan efisiensi dapat dicapai oleh pemerintah lokal (local Government) menurut Oentarto, Suwandi, Riyamadji karena pemerintah lokal memiliki kewenangan-kewenangan yang berkarakter lokal, dengan suatu asumsi bahwa masyarakat setempatlah yang paling tahu persoalan-persoalan yang dihadapinya dan cara-cara untuk memecahkan persoalan tersebut secara efektif (Bab 2:47). Apabila dibandingkan dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dewasa ini dari sisi efisiensinya, apa yang telah diterapkan di Pemko Lhokseumawe hampir bisa dikatakan sebagai suatu pengecualian. Ini dikarenakan berbagai patologi birokrasi (penyakit birokrasi) seperti struktur yang gemuk, pemborosan, tidak profesional; tidak disiplin, lamban dan lain-lain masih menyeumuti kebanyakan organisasi pemerintahan di negeri ini. Hal ini sebenarnya
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
merupakan penyakit umum organisasi pemerintahan di mana-mana, tidak hanya di Indonesia. Pada saat yang sama, jika dilakukan perbandingan atau pandangan diarahkan kepada organisasiperusahaan swasta, maka kesan atau persepsi yang kelihatan adalah bahwa organisasi swasta merupakan organisasi yang ramping, efisien, profesional, kreatif, cepat bertindak dan lain sebagainya. Dua kondisi yang kontras inilah yang kemudian memunculkan kritik terhadap kinerja organisasi birokrasi yang selanjutnya malahirkan konsep-konsep pembaharuan pemerintahan (reinventing government) seperti
yang
dikemukakan
oleh
Osborne
dan
Gaebler
dengan
rumusan
entrepreneurial government nya ( pemerintahan berjiwa kewirausahaan). Ini sejalan dengan arah yang dinyatakan oleh Winardi (Bab 2:24) bahwa pandangan modern tentang entrepreneurship menerima kenyataan bahwa individu memainkan peranan maha penting dalam hal mengintroduksi perubahan inovatif, dan bahwa pertumbuhan serta pengembangan muncul karena perubahan. Konstruktif. Bahwa birokrasibirokrasi yang stagnan perlu diganti dengan organisasi-organisasi entrepreneurial yang terdesentralisasi, adaptif serta kreatif. Aspek semangat kewirausahaan (entrepreneurship) ini pulalah yang digelorakan oleh Walikota Lhokseumawe dalam menjalankan pemerintahannya. Hanya saja semangat kewirausahaan ini digunakan dengan
orientasi
kepada
kesejahteraan
rakyat,
bukan
sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga bisnis.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
kepada
keuntungan
Pada hakekatnya berbagai Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Lhokseumawe merupakan penampakan dari pemerintahan berjiwa wirausaha seperti gambaran dasar Osborne dan Gaebler tentang pemerintahan wirausaha bahwa pemerintahan bergaya "wirausaha" akan mencari cara yang lebih efisien dan efektif dalam mengelola. Pemerintahan wirausaha dicirikan bersedia meninggalkan program dan metode lama. la bersifat inovatif, imajinatif, dan kreatif, serta berani mengambil risiko. Hal ini bisa dilihat dari kesadaran yang tinggi Pemerintah Pemko Lhokseumawe akan keterbatasan sumber daya yang dimiliki yang kemudian merumuskan Kebijakan efisiensi dana, orang dan aset dengan pelaksanaan yang konsisten. Pemerintahan dengan semangat wirausaha yang dilaksanakan oleh Pemerintah Lhokseumawe secara umum tidak sama persis dengan konsep yang dikemukan oleh Osborne-Gaebler dengan sepuluh prinsipnya maupun Osborne-Plastrik denga lima strateginya, karena secara konseptual Osborne Gaebler-Plastrik telah menetapkan pola dengan karakieristik tertentu (yang sering disebut radikal ) seperti apa dan bagaimana menjadi pemerintah wirausaha. Namun di sini tetap bertemu pada satu semangat dasar yang sama yaitu bagaimana menjadi pemerintah yang efisien, bersedia meninggalkan metode lama yang tidak relevan lagi, juga semangat pentingnya inovasi, kreatifitas dan menyukai perubahan serta siap/berani dalam menghadapi resiko (dengan rincian cara yang.berbeda Walikota Lhokseumawe sendiri mengaku belum pernah (sempat) membaca buku Reinventing Government dan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Banishing Bureaucracy, tapi hanya lihat-lihat sekilas saja. Bagi Walikota Lhokseumawe selaku inovator dan motor penggerak perubahan pada Pemerintah Pemko Lhokseumawe, semangat entrepreneurship itu sendiri dimaknai hakekatnya adalah bagaimana kita menghadapi tantangan. Intinya entrepreneurship itu terdiri dari efisiensi, inovasi dan kompetisi. Pemerintahan yang efektif dan efisien yang disalurkan oleh pemerintah Pemko Lhokseumawe secara keorganisasian dapat digolongkan sebagai organisasi yang berkinerja tinggi. Bahwa organisasi berkinerja tinggi adalah suatu kelompok pekerja yang memproduksi barang dan jasa yang diinginkan dengan kualitas tinggi, menggunakan sumber daya yang sama atau lebih kecil. Perbaikan produkiivitas dan kualitas yang terus menerus, dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan tahun ke tahun, yang diarahkan untuk mencapai misinya. 4.6.2. Faktor-Faktor yang menjadi Penghambat dan Pendukung dalam Pelaksanaan Strategi Efesiensi Secara umum, program inovatif Pemko Lhokseumawe, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam pelaksanaan program jangka panjang maupun dari sisi kemungkinan repukasi bagi daerah-daerah lain. Hal tersebut seperti aspek pemahaman dan dukungan masyarakat yang tinggi terhadap berbagai program; peran lembaga adat yang besar; dominasi peran oleh Walikota; efisiensi menyeluruh dan lain-lain (Prasojo dkk, 2004:103-110).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam konteks langkah efisiensi yang dilakukan Pemko Lhokseumawe, berdasarkan hasil penelitian di lapangan, juga terdapat beberapa catatan penting baik itu berupa faktor-faktor penghambat maupun faktor-faktor pendukung dalam pelaksanaan strategi efesiensi. Kehadiran era reformasi dan otonomi daerah melalui UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi "anugerah" besar bagi Pemko Lhokseumawe. Ini diakui oleh Walikota Lhokseumawe, dan sempat menyatakan "Andai saya menjadi Walikota di masa Orde Baru, mungkin saya juga tidak bisa berbuat banyak." Peran besar reformasi dan otonomi daerah bagi Pemko Lhokseumawe ini dapat ditinjau dalam beberapa hal, yaitu pertama, Kemenangan yang besar dan luas, kedua, keuangan daerah, dan ketiga, Peraturan Pemerintah yang reformatif. Pertama, kewenangan yang besar dan luas, memberi peluang bagi Pemerintah Lhokseumawe untuk bersikap kreatif, menjalankan kebijakan inovatif tanpa terlalu khawatir bertentangan dengan kewenangan peraturan dari pemerintah pusat. Kedua, aspek keuangan daerah. Sejalan dengan otonomi daerah kemampuan finansiai Pemerintah Pemko Lhokseumawe secara nominal mengalami peningkatan signifikan. Ketiga, Walikota Lhokseumawe sebagai seorang yang memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi sudah sejak awal menetapkan langkah efisiensi di segala bidang. Upaya efisiensi organisasi birokrasi berupa perampingan struktur organisasi bukanlah hal yang mudah. Menyangkut kepentingan banyak pegawai yang sebelumnya menduduki jabatan struktural, kemudian tiba-tiba harus kehilangan jabatan tersebut karena
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
jumlah formasinya berkurang. Kehadiran PP No 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah telah menjadi payung hukum yang kuat dalam langkah efisiensi birokrasi tersebut sehingga resistensi dari pegawai tidak begitu besar karena perampingan organisasi birokrasi tersebut merupakan Kebijakan langsung dari pemerintah pusat bukan sekedar kemauan Walikota agar menghemat anggaran. Langkah-langkah efisiensi yang diterapkan oleh Pemerintah Lhokseumawe sebagian merupakan inovasi atau langkah yang baru, tentu bukanlah suatu yang mudah. Kalau hanya ide mungkin lebih mudah melontarkannya, tetapi ide menarik dan melaksanakan sampai tuntas berikut konsekuensinya, bukan pekerjaan sederhana, butuh konsentrasi/fokus perhatian, ketelatenan, pemberdayaan staf, motivasi, ketegasan, pengawasan. Itulah yang dilakukan oleh Walikota. Di samping sebagai pemimpin yang punya karakter yang kuat, Walikota Lhokseumawe juga memiliki semangat kewirausahaan yang tinggi. Tampak dari keberaniannya menghadapi berbagai tantangan. Walikota Lhokseumawe tidak mau terjebak pada hal-hal yang bersifat rutin, yang sudah seperti itu adanya, tanpa menerobos sesuatu yang baru untuk menemukan solusi terbaik bagi kesejahteraan masyarakatnya. Adapun kewirausahaan atau entrepreneurship yang dimaksudkan oleh Walikota adalah sederhana saja, yaitu bagaimana menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Dan intinya entrepreneurship berisikan efisiensi, inovasi dan kompetisi.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Peranan Walikota yang sangat dominan ini dimulai dari munculnya ide, pelaksanaan dan pengawasan memang telah menampakkan hasil yang nyata. Namun, dalam
konteks
jangka
panjang
keberlangsungan
organisasi
Pemerintah
Lhokseumawe, justru dibutuhkan pemerataan peran seluruh perangkat organisasi. Aspek kelemahan atau faktor penghambat dalam pelaksanaan efisiensi birokrasi adalah sebagai berikut. 1. Perilaku birokrasi yang dimaksud adalah budaya lama birokrasi peninggalan Orde Baru yang ulet. Sebagian disebut dengan Patologi Birokrasi (penyakit birokrasi) seperti inefisien, lamban, ingin dilayani, korupsi dan lain-lain. Sebagian pegawai Lhokseumawe diakui masih mengalami hal-hal seperti itu. Hal ini memang membutuhkan waktu untuk perubahan secara menyeluruh. 2. Pemerintah Lhokseumawe berdasarkan PP No 41 Tahun 2007 telah melakukan perampingan organisasi. Namun dalam pelaksanaannya ternyata beban kerja yang melekat pada struktur jabatan masih dirasakan tidak seimbang. Pada unit kerja tertentu terjadi penumpukan beban kerja yang tinggi, sehingga terjadi ketidak seimbangan. Hal ini bila tidak segera diatasi akan mempengaruhi produkrifitas kerja para pegawai. Ketersediaan lembaga pendidikan berdasarkan tabel.4.7, sebenarnya terus bertambah dari tahun ketahun, namun penyebarannya masih belum merata hingga kedaerah-daerah terpencil, kemampuan ekonomi masyarakat yang relatif lemah terutama dipedesaan, kondisi geografis yang masih sulit, serta belum tersedianya
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
transportasi yang memadai menyebabkan masyarakat menjadi kendala untuk mengakses layanan pendidikan yang lebih luas. Distribusi pelayanan kesehatan belum terselenggara dengan merata, masih kurangnya dokter spesialis, tingginya kasus penyakit menular dan distribusi sarana kesehatan tingkat dasar belum merata. 4.6.3. Peran Kebijakan Strategi Efesiensi terhadap Kesejahteraan Rakyat Peran kebijakan strategi terhadap kesejahteraan rakyat difokuskan pada perluasan akses masyarakat miskin terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi dan pelayanan serta pembangunan insfrastruktur dasar, sbb: 1. Situasi pendidikan di Kota Lhokseumawe dapat juga dianalisis melalui perbandingan antara jumlah sekolah, guru dan murid sejak jenjang sekolah dasar hingga jenjang sekolah menengah. Secara umum perbandingan angka-angka tersebut adalah sebagai berikut : Rasio sekolah dan murid pada SD/MI SMA/MA/SMK
1 : 329; pada SMP/MTs
1 : 436 dan pada
1 : 479. Sementara standar yang ditentukan oleh Depdiknas
untuk SD adalah Untuk SD
1 : 40, SMP 1 : 21, dan SMA 1 : 21. Dengan
demikian pada tingkat SD, SMP dan SMA masih belum mencapai standar yang diwajibkan dimana jumlah murid lebih kecil dibandingkan dengan jumlah guru. Secara sepintas analisis tersebut mengindikasikan terjadinya over supply tenaga pendidik, namun kondisi riel dilapangan menunjukkan masih banyak guru yang terkonsentrasi hanya pada sekolah tertentu, terutama sekolah favorit diwilayah
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
perkotaan. Oleh karena itu langkah yang akan ditempuh oleh Pemko Lhokseumawe adalah diperlukan penataan kembali penempatan tenaga pendidik pada sekolah-sekolah yang belum memiliki jumlah guru secara memadai, sementara itu jumlah rasio sekolah dengan guru adalah sebagai berikut : SD/MI 1 : 16 ;
SMP/MTs
1: 32 dan SMA/MA/SMK 1 : 41
Melihat kondisi rasio sekolah, guru dan murid, yang belum merata, maka Pemerintah Kota Lhokseumawe, akan melaksanakan program regrouping SD-SD dengan beberapa pertimbangan yaitu efesiensi, peningkatan kualitas guru dan siswa. 2. Keberhasilan pembangunan Kota Lhokseumawe dapat dilihat dari ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM), IPM Kota Lhokseumawe tahun 2007 yaitu 74,4, untuk jelasnya dapat kita lihat pada tabel 4.11 berikut: Pencapaian IPM Kota Lhokseumawe pada tahun 2006 berada pada peringkat 2 dilevel Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan pencapaian sebesar 73,8 atau berada pada peringkat 63 secara nasional. Angka ini berada pada status pembangunan manusia dengan tingkat menengah (BPS Kota Lhokseumawe Tahun 2007)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V PENUTUP
Bab ini mengemukakan secara ringkas hasil penelitian/temuan lapangan yang utama dan penting mengenai strategi efisiensi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Lhokseumawe dan rekomendasi terhadap Pemerintah Lhokseumawe dan berbagai pihak yang terkait dengan pemerintahan daerah, untuk pengembangan berbagai kebijakan dan program ke depan, demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 5.1. Kesimpulan Kesimpulan akan disajikan sesuai dengan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan. Terdapat tiga butir permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu bagaimana strategi efisiensi birokrasi serta pelaksanaannya yang dilakukan oleh
Pemerintah
Lhokseumawe?
Dan
faktor-faktor
apa
yang
menjadi
pendukung/penghambat pelaksanaan efisiensi tersebut? Serta bagaimana dampak langkah efisiensi terhadap kesejahteraan masyarakat? Berdasarkan temuan lapangan dan analisis pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang merupakan jawaban dari tiga permasalahan penelitian di atas, yaitu: Pertama, Strategi efisiensi birokrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah Strategi Dana, Orang dan Aset, yaitu pendayagunaan anggaran keuangan, personal termasuk struktur organisasi dan seluruh asset/fasilitas/sarana
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
127
secara seefisien mungkin dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan, manfaat dan kesinambungan yang mengacu pada tujuan organisasi pemerintah daerah dan bermuara pada kesejahteraan masyarakat. Kedua, efisiensi orang atau personil. Dilakukan dengan restrukturisasi organisasi birokrasi pemerintah daerah yang sebelumnya gemuk dan boros menjadi ramping. Miskin struktur kaya fungsi. Rasionalisasi struktur organisasi ini mencakup jumlah organisasinya dan jumlah jabatan serta jumlah personil yang dibutuhkan. Dari sini bisa dilakukan penghematan dengan meniadakan biaya rutin operasional organisasi yang telah dilikuidasi, pengurangan jumlah tunjangan jabatan yang harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Disamping itu juga efisiensi yang dilakukan dalam bentuk tidak menerima melakukan pengangkatan pegawai baru di lingkungan pemerintah daerah, tetapi hanya mengangkat pegawai kontrak yang memiliki kemampuan teknis tertentu. Ketiga, efisiensi aset/alat. Antara lain dengan pemanfaatan aset berupa gedung, tanah dan lain-lain secara maksimal. Dalam hal ini ada yang disewakan, juga ada yang diberikan kepada masyarakat bila memang tidak digunakan lagi oleh pemerintah daerah supaya tidak lagi mengeluarkan biaya untuk perawatan. Faktor-faktor pendukung yang mempengaruhi keberhasilan efisiensi yang dilakukan adalah faktor eksternal seperti reformasi dan arus otonomi daerah (yang mempengaruhi sisi wewenang yang luas, keuangan daerah dan dukungan perangkat peraturan pemerintah yang reformatif), kepemimpinan Walikota Lhokseumawe yang
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
kuat dan juga berbagai teknologi yang mendukung. Faktor-faktor penghambat yang dihadapi adalah aspek perilaku "gaya lama orde baru" aparatur pelaksana yang memang membutuhkan waktu dan pembiasaan untuk perubahan menyeluruh. Hambatan lainnya yang ditemui dalam pelaksanaan tugas aparatur adalah terlalu beratnya beban kerja pada unit kerja tertentu sebagai akibat efisiensi struktur organisasi birokrasi dan kurangnya fasilitas seperti ruangan bagi unit kerja tertentu yang intensitas pekerjaannya tinggi dan jumlah personilnya banyak. Peran kebijakan efisiensi di segala bidang adalah tersedia dana dan sumber daya lainnya secara relatif besar untuk alokasi pembiayaan program yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat seperti program peningkatan pemerataan dan kualitas pendidikan, peningkatan kesehatan dan daya beli masyarakat. Lebih lanjut dapat diketahui dampak program dari penerimaan atau masyarakat yang tinggi terhadap program-program tersebut berdasarkan wawancara langsung dengan berbagai unsur masyarakat. Dampak program juga dapat dilihat dari adanya peningkatan pada masing-masing indikator kesejateraan tadi seperti menurunnya angka kematian bayi (pada sektor kesehatan) dan menurunnya angka Drop Out (DO) pada anak sekolah.
5.2. Saran Rekomendasi atas hasil penelitian ini ditujukan Pemerintah Lhokseumawe selaku aktor pelaksana program kebijakan efisiensi demi kesempurnaan pelaksanaan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
program masa akan datang. Rekomendasi berikut ini juga ditujukan kepada pemerintah daerah lainnya serta pemerintah pusat. Dalam hal ini Departemen Dalam Negeri selaku institusi yang bertanggung jawab terhadap pembinaan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia. 1. Pemko Lhokseumawe Berdasarkan temuan di lapangan, masih banyak problem yang dihadapi dalam pelaksanaan efisiensi yaitu keseimbangan beban kerja baik lingkup organisasi unit kerja maupun secara personal dan ketersediaan fasilitas terutama ruangan yang memadai. Idealnya segera dilakukan kajian ulang secara menyeluruh oleh bagian Hukum, Organisasi dan Tatalaksana. Aspek keseimbangan beban kerja struktur organisasi dan personal perlu sebagian dimekarkan kembali, misalnya Keluarga Berencana yang merupakan program Nasional, yang seharusnya minimal dapat dibentuk Struktur Organisasi setingkat Pejabat Eselon III atau Kepala Kantor, malah hanya mendapat porsi setingkat Eselon IV atau subbagian dibawah Bagian Pemberdayaan Perempuan pada Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe, Badan Lingkungan Hidup dan Kebersihan, disamping mengelola Lingkungan Hidup, kebersihan juga membawahi pertamanan serta pemadam kebakaran, yang seharusnya Dinas Pasar dan pemadam kebakaran dapat dibentuk satu unit kerja tersendiri. 2. Pemerintah daerah lainnya Berbagai program inovasi dan efisiensi birokrasi yang digagas oleh Pemerintah
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
Lhokseumawe terbukti efektif dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan pemerintahan daerah yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Prinsipnya apa yang dilakukan di Lhokseumawe tidak seluruhnya merupakan hal yang baru sama sekali. Sebagian merupakan wujud aplikasi/penerapan dari aturan dari pemerintah pusat. Sehingga terdapat peluang besar untuk replikasi bagi daerah
lain
dengan
memperhatikan
kekhususan-kekhususan
Pemko
Lhokseumawe. 3. Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat perlu meningkatkan sosialisasi terhadap berbagai inovasi dan efisiensi yang dilakukan oleh Pemko Lhokseumawe dan juga Pemko lainnya yang memiliki keunggulan tersendiri berupa pendokumentasian program inovasi secara rinci (bekerjasama dengan pihak-pihak yang telah melakukan penelitian tentang Lhokseumawe) kemudian diperbanyak dan didistribusikan ke seluruh pemerintah daerah serta meningkatkan penghargaan (reward) bagi daerah-daerah berprestasi untuk semakin memacu motivasi pemerintah daerah untuk berkompetisi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA
Aston, Margareth, dan Wendy Bowles. 1998. Sampling in Research for Social Workers an Introducing to Methods. Australia: Allen Unwim. Drucker, Peter F. 1991. Inovasi dan Kewiraswastaan. Praktek dan Dasar-Dasar. Jakarta: Erlangga. Jones, Rowan dan Maurice Pendelenbury. 1986. Public Sector Accounting. London: Pitman Publishing. Kasim, Azhar. 1993. Pengukuran Efektifitas dalam Organisasi. Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia. Osborne, David dan Peter Plastrik. 2001. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM. Prasodjo, Eko, Teguh Kurniawan, Azwar Hasan. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Pemko Lhokseumawe. Depok: PKPADK FISIP UI. Sarundajang, SH. 2001. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Cet. III. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Shapiro, Stephen M. 2001. 24/7 Innovation. New York: McGraw-Hill Companies. Siagian, Sondang, P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan Terapinya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Sobari, Wawan. dkk (eds.) 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun Otonomi Daerah dan Otonomi Award, Surabaya: Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi. Stoner, James A.F. dan Freeman R. Edward. 1992. Management. New Jersey: Prentice-Hall. Winardi, J. 2003. Entrepreneur dan Entrepreneurship. Jakarta: Prenada Media. Pemerintah Kota Lhokseumawe. 2007. Lpboran Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kota Lhokseumawe. Pemerintah Kota Lhokseumawe. 2007. Rencana Pembangunan Jangka menengah Daerah (RPJMD) Kota Lhokseumawe.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
132
Pemerintah Kota Lhokseumawe, 2007. Lhokseumawe dalam angka Tahun 2007, BPS dan Bappeda Kota Lhokseumawe Pemerintah Kota Lhokseumawe, 2007. Produk Domestik Regional Bruto Kota Lhokseumawe Tahun 2000-2006. BPS dan Bappeda Kota Lhokseumawe Razali Yusuf, 2007. Penyelenggaran Sistem Pelayanan Satu Pintu di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN WALI KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana proses awal dan inspirasi munculnya berbagai inovasi di Lhokseumawe? Pada saat awal mula saya tempati posisi Walikota, sebelumnya saya sudah pelajari bahwa Pemerintahan secara umum baik Kabupaten, Kota maupun Provinsi dan Pusat, ini selalu tidak menyentuh harapan dari pada masyarakat, beranjak dari itu yang perlu diperbaiki dulu paradigma, paradigma instansi pemerintahan selama ini, Walikota ada tapi yang berfungsi didaerah ini dinas-dinas, dinas-dinas selalu melakukan suatu kegiatan yang ber top down, kalau sistem ini dilakukan tidak menyentuh masyarakat, maka selama ini juga belum dirasakan oleh masyarakat, belum mendapat perhatian penuh juga dari dinas-dinas, fungsi mereka itu yang tidak berjalan artinya dia yang harus melakukan semua aspirasi dari masyarakat artinya dia harus merubah jangan berprinsip top down, dia harus berprinsip buttom up. Kalau buttom up dilaksanakan insya Allah program yang selama ini dijalankan oleh pemerintahan khususnya walikota dan bupati akan berjalan dengan baik karena harus menjemput dan menampung kehendak masyarakat, daerah, desa yang harus diprioritaskan bukan kehendak dari program walikota. Program walikota masih berprinsip top down, tetapi apabila kita melakukan kehendak masyarakat kita harus merubah paradigma dahulu dari fungsi-fungsi jabatan masing-masing yang berdasarkan SKPD, sehingga kadang kala salah mengartikan fungsi dari jabatan yang diembannya, sehingga disitu terjadi salah pengertian, jikalau salah pengertiannya maka akan salah pula cara pelaksaannya, jadi yang harus dirubah seperti juga yang telah saya (walikota) utarakan pada forum RRI dan TVRI bahwa dengan perubahan paradigma disitulah akan terakomodirnya segala kebutuhan dan keinginan masyarakat.
134 Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Bagaimana grand strategy berbagai inovasi dan strategi efesiensi yang dilaksanakan? Efisiensi dan fokus pembangunan kita harus mengambilnya dari harapan masyarakat, desa dll. Mungkin harus digaris bawahi strategi pembangunan itu ada 3 yaitu: 1. fisik 2. Politik, sosial dan budaya 3. Pemberdayaan ekonomi rakyat Kalau ini diadopsi dari kebutuhan masyarakat, ini yang harus diangkat untuk menjadi strategi pembangunan 3. Bagaimana proses perencanaannya dan langkah-langkah praktis yang dilakukan? Berdayakan semuanya, elemen pemerintahan termasuk elemen perangkat desa yang kita berikan suatu bimbingan sehingga mereka mengerti apa yang harus dilakukan sehingga menyentuh masyarakat dan desa-desa, jikalau desa sudah bagus maka yang diatasnya atau kota akan bagus pula, dan yang harus diketahui kita tidak hanya memikirkan pembangunan fisik, yang kita pikirkan adalah untuk ketahanan nasional adalah harus kita bangun ketahanan individual masyarakat dan masyarakat desa serta kecamatan secara otomatis akan terjadi kekuatan ketahanan dari pada suatu daerah dan seterusnya. Saat ketahanan ini telah mencapai puncaknya maka ketahanan nasional secara otomatis akan tercipta, kemudian kita harus memberi bimbingan atau mengharapkan kepada masyarakat juga berwawasan. Wawasan nusantara lahir dari pada wawasan individu, keluarga, masyarakat atau wawasan tingkat kota, inilah yang tidak disadari sebelumnya sehingga dimana - mana terjadi ketidak puasan masyarakat, tidak mempelajari kebutuhan dari masyarakat sehingga tidak terfokusnya strategi pembangunan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4. Siapa
saja
yang
terlibat
dan
paling
berperan
dalam
proses
pelaksanaannya? Elemen masyarakat yang paling utama dan yang terpenting, kemudian harus di adop oleh perangkat desa, perangkat desa harus naik lagi ke perangkat kecamatan baru kemudian di ambil oleh perangkat pemerintahan kota atau kabupaten. Perangkat dari strategi pembangunan yang dari bawah harus mempunyai inovasi yang tinggi untuk melakukan keinginan dari pada masyarakat. 5. Adakah langkah efesiensi yang spesifik pada masing-masing unit kerja maupun bidang (misalnya bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain)? Ada, karena kita atur kebutuhan sudah itu fokus, selama ini tidak dari atas ngocor habis itu ngecer ke masyarakat netes sehingga terjadi pemborosanpemborosan yang tidak fokus Bidang pendidikan Sama, sekarang yang sudah tidak disadari oleh seluruh unsur pimpinan baik ditingkat pusat, daerah maupun desa masalah mental, mental masyarakat tidak ada, pertama wawasan nusantara tentang pancasila,tentang tata negara apalagi tentang mental masalah agama ini sudah hiruk pikuk tidak ada lagi backgrounnya tidak adalagi arahannya sehingga dikhawatirkan lama kelamaan kalau ini tidak mendapat perhatian penuh dari seluruh aparatur pemerintahan, ini lama kelamaan akan terjadi perpecahan dimana-mana 6. Bagaimana langkah spesifik tersebut dilaksanakan? Kita harus mampu memprediksi, dan harus mampu mempelajari kebutuhan daripada individu masyarakat, misalnya masalah mental, itu harus kita support masalah tata negara, harus kita fokus P4 dan PMP itu sudah hilang disekolah PMP sudah hilang, pendidikan moral pancasila sudah tidakada lagi bagaimana kita bicara kesatuan negara Indonesia ini, masalah dengan agama akidah sudah tidak fokus lagi sehingga bagaimana kita mau katakan melakukan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
syariat islam ini yang barangkali ulama sudah terkontaminasi oleh hal-hal yang tidak mengarah porsinya masing-masing. 7. Bagaimana proses penentuan prioritas program dan apa yang menjadi landasan pemikirannya? Ambil segala permasalahan identifikasi masalah, baru dibuat skala prioritas kalau ini dilakukan akan selesai 8. Apakah program-program yang dilakukan berorientasi jangka panjang? buktinya? Jangka panjang diadops dari rencana jangka pendek, rencana jangka menengah dan otomatis akan lahir jangka panjang, karena dasarnya kita harus melakukan pembetulan-pembetulan perbaikan-perbaikan dari segala aspek yang skala prioritasnya jangka pendek, apa skala prioritasnya jangka menengah, apa skala prioritasnya? Kemudian jangka panjang otomatis itu sudah pasti teratur dengan sendirinya. 9. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk mengeliminasi kebocoran anggaran dan penyimpangan? Disiplin,dari disiplin anggaran, disiplin pelaksaan yang harus dilakukan sehingga monitoring dengan evaluasi nomor dua, tapi disiplin sejak awal tertib anggaran fokus pembangunan, fokus pembelanjaan kalau ini dilakukan saya kira tidak akan timbul kebocoran-kebocoran. 10. Pada aspek/dibidang mana yang tingkat efesiensinya paling tinggi? Pembangunan fisik, itu harus lebih mendapat prioritas yang lebih tinggi, kemudian dibidang selama ini yang agak sulit dibidang pendidikan juga, ini masalah pendidikan juga perlu mendapat perhatian penuh karena disitu ada hal-hal uncotrorable akibat disiplin dibuatkan, contohnya dana bos, dana bos tau-tau ada muncul tapi tidak mendapat laporan apa strategi dan apa fokus pembangunannya tidak jelas sehingga terkatung, dari anggaran lain juga ada peranan dana bos juga ada, ini overlap dan pertanggung jawaban juga tidak
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
jelas, maka untuk lebih efisien harus jelas harus fokus setiap perencanaan harus kita prediksi konsekwensinya. 11. Bagaimana cara menyamakan visi-misi organisasi dan pembagian tugas dan wewenang (supaya tidak terjadi tumpang tindih) dalam organisasi pemerintah kota? Saya kira pembagian tugas dari dulu sudah terbagi tugas sudah punya bagian pembangunan misalnya seperti pekerjaan umum (PU) sudah ada tugasnya, bagian kesehatan sudah ada tugasnya, bagian pendidikan sudah ada tugasnya, bagian
pemberdayaan
ekonomi
pemberdayaan
desa,
pemberdayaan
masyarakat desa sudah ada, tapi apa yang terjadi karena overlap, tidak fokus dan srateginya kalau saya katakan bahwa paradigma masih dengan paradigma lama, hanya berlarut-larut dengan kondisi yang lama pada perubahanperubahan perbaikan-perbaikan ini. Ini yang menjadi sehingga tidak keteraturan dalam hal pelaksanaan. 12. Bagaimana proses pengawasan seluruh program dan kebijakan efisiensi? Pertama waskat, pengawasan melekat yang paling utama dilakukan oleh setiap divisi yang ada dalam pemerintahan, sedangkan inspektorat sekarang ini terbalik-balik, selama ini inspektorat menjadi paling diharapkan berperan aktif. Seharusnya tidak, waskat pengawasan melekat dari masing-masing unit kerja sehingga setiap hal-hal yang dilakukan pembangunan macam-macam itu ada istilahnya dan definisinya sehingga tidak melewati atau melanggar suatu ketentuan yang ditetapkan diterapkan, sebenarnya pengawasan yang dilakukan oleh internal control inspektorat, ini sebenarnya tidak perlu terfokus, ambil sampel-sampelnya, yang paling penting adalah pengawasan melekat dari masing-masing unit kerja. 13. Bagaimana membentuk kultur organisasi/personil yang mendukung pelaksanaan program efisiensi? Saya selama ini sudah melakukan perubahan-perubahan paradigma disadari atau tidak disadari oleh unit-unit kerja, ini sedang saya lakukan dan perlu anda
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
tau bahwa yang saya lakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat kedesa itulah yang saya coba perubahan paradigma, dengan saya mintakan program dari desa-desa itulah saya lakukan paradigma, sehingga dinas ataupun unit kerja lain selama ini melakukan/melaksanakan tugas dengan mengurus project-project sebenarnya tidak, harus melaksanakan program yang diambil daripada bawah dinaikkan keatas, itulah dipenuhi program dan harapan masyarakat, harapan desa. Ini tugas pokok mereka, tapi selama ini tidak, mereka selalu berkutat dengan pengurusan-pengurusan proyek macam-macam sehingga lupa dengan tugas pokoknya yang diharapkan oleh masyarakat tidak kesampaian. 14. Apa kendala yang dihadapi dalam proses efisiensi? Maindset daripada petugas di masing-masing bagian yang sangat sulit karena terkontaminasi oleh kebiasaan-kebiasaan yang katakanlah kalau saya anggap salah selama ini. Ini harus saya lakukan perbaikan maindset sehingga mengarah kepada perubahan paradigma nanti, ini yang perlu disadari oleh setiap individu yang bertugas dan bertanggung jawab pada masing-masing dinas. 15. Bagaimana mengahadapi kendala-kendala tersebut? Harus bekerja keras, bekerja keras dan harus berupaya dan berusaha semaksimal mungkin sehingga masing-masing tau tugas dan tanggung jawabnya, saya kira itu yang harus dilaksanakan oleh setiap petugas apalagi yang mendapat wewenang sebagai penanggung jawab masing-masing unit kerja.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN ASISTEN TATA PRAJA SETDAKO LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana proses awal dan inspirasi munculnya berbagai inovasi di Lhokseumawe? Proses awal munculnya berbagai inovasi di wilayah Pemerintah Kota Lhokseumawe adalah Beranjak dari Visi dan Misi Walikota dan Wakil Walikota terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Tahun 2006 2. Bagaimana grand strategy berbagai inovasi dan strategi efesiensi yang dilaksanakan? Grand strategi yang dilakukan adalah dengan mempelajari kenyataan bahwa selama ini berbagai perizinan yang dikelola oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe tersebar diberbagai unit kerja oleh karena itu untuk efesiensi biaya dari pemerintah maupun efesiensi biaya dan waktu bagi masyarakat, maka timbullah ide untuk membentuk Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu 3. Bagaimana proses perencanaannya dan langkah-langkah praktis yang dilakukan? Proses Perencanaannya sebagaimana yang telah kami kemukakan tadi adalah beranjak dari fakta kewenangan pengelolaan selama ini kemudian dilakukan langkah-langkah praktis yaitu berupa menginventarisir semua perizinan disemua unit kerja atau perangkat pemerintah kota lhokseumawe yang selanjutnya disusunlah langkah-langkah untuk membentuk/mempersiapkan terbentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu mempersiapkan personalianya dan sekaligus mempersiapkan mekanisme kerja bagi organisasi Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4. Siapa
saja
yang
terlibat
dan
paling
berperan
dalam
proses
pelaksanaannya? Berbicara siapa yang terlibat disini adalah semua pejabat organisasi perangkat daerah kota Lhokseumawe, sementara yang sangat berperan dalam ini adalah pimpinan yaitu Walikota, Wakil Walikota dan Sekda 5. Adakah langkah efesiensi yang spesifik pada masing-masing unit kerja maupun bidang (misalnya dalam hal perizinan) Kalau ditanyakan langkah efesiensi yang spesifik, mungkin dapat dikatakan sebagai contoh adalah dalam hal pengelolaan perizinan yang sudah saya sebutkan diatas yang sebelumnya tersebar diberbagai organisasi perangkat daerah maka dengan dibentuknya kantor pelayanan perizinan satu pintu otomatis akan terjadi efesiensi dalam hal pengelolaan pembiayan proses pengeluaran perizinan tersebut 6. Bagaimana langkah spesifik tersebut dilaksanakan? Langkah spesifik sebagaimana yang kami katakan tadi dengan terbentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu maka anggota masyarakat baik pribadi maupun perusahaan yang membutuhkan surat izin masing-masing tidak harus lagi menghubungi banyak instansi, tetapi sudah cukup hanya dengan datang dan melengkapi persyaratan kepada satu organisasi yaitu Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu. 7. Bagaimana proses penentuan prioritas program dan apa yang menjadi landasan pemikirannya? Sebagaimana dimaklumi bahwa Pemerintah Kota Lhokseumawe sebelum menyusun Rencana APBD setiap tahun melakukan Musrenbang Tingkat Desa, hasilnya kemudian dilakukan Musrenbang tingkat Kecamatan selanjutnya Musrenbang Tingkat Kota
hasil Musrenbang tersebut telah
banyak program atau kegiatan yang diusulkan namun sesuai dengan kemampuan APBD yang diperhitungkan pada anggaran tahun yang akan datang maka pada proses penyusunan KUA (Kebijakan Umum Anggaran) dan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
PPAS ditentukanlah skala prioritas program yang akan dilaksanakan pada tahun yang akan datang 8. Apakah program-program yang dilakukan berorientasi jangka panjang? buktinya? Hampir semua program yang diprogramkan setiap tahun anggaran itu adalah berorientasi jangka panjang, terutama pembangunan sarana dan prasarana jalan, pasar, dan untuk tahun 2007 yang lalu kita juga telah merencanakan program pembangunan reservoa dan drainase kota Lhokseumawe sehingga nantinya akan terbebas dari banjir genangan, demikian juga pembangunan jalan tidak lagi dengan pola aspal goreng yang dikenal didaerah tetapi juga semua jalan yang dibangun sudah dengan jalan aspal hotmix, itu sudah pasti berorientasi
jangka
panjang
kemudian
juga
dalam
program
untuk
menyediakan dana bergulir yang akan dipinjamkan kepada anggota masyarakat yang membutuhkan modal untuk bisa berusaha, saya kira ini juga termasuk program yang berorientasi jangka panjang yang nantinya akan terbebas dari belenggu kemiskinan 9. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk mengeliminasi kebocoran anggaran dan penyimpangan? Sebagaimana kita maklumi bahwa penyusunan anggaran sebelum pelaksanaan itu adan Tim Anggaran Pemerintah Dearah (TAPD) sejak awal setiap rencana anggaran yang diajukan oleh setiap SKPD diteliti secara seksama dengan berpedoman kepada standar anggaran biaya dan juga standar harga barang diharapkan dengan adanya ketelitian dari TPAD anggaran yang direncanakan itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku oleh karena itu diperhitungkan apabila anggaran diberikan sesuai dengan ketentuan SAB dan SHB akan terhindar dari penyimpangan 10. Pada aspek/dibidang mana yang tingkat efesiensinya paling tinggi? Efesiensi yang paling tinggi dalam pembiayaan pemerintah daerah bahwa kalau selama ini semua SKPD yang mengelola izin yaitu harus juga tersedia
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
dananya maka dengan pengelolaan yang hanya pada satu organisasi yaitu Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu maka anggaran yang disediakan terjadi efesiensi karena hanya disediakan untuk satu organisasi. 11. Bagaimana cara menyamakan visi-misi organisasi dan pembagian tugas dan wewenang (supaya tidak terjadi tumpang tindih) dalam organisasi pemerintah kota? Berbicara penyamaan visi dan misi organisasi ini tidak lepas dari visi dan misi kepala daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota terpilih yang dalam hal ini telah dijabarkan dalam RPJM berdasarkan RPJM tersebutlah maka setiap organisasi menguraikan visi dan misi kepala daerah tersebut sesuai dengan kewenangan urusan yang ada pada organisasi tersebut sementara berbicara pembagian tugas dan wewenang dalam organisasi ini setelah ditetapkan Qanun pembentukan Organisasi itu akan dikeluarkan Peraturan Kepala Daerah dalam hal ini Peraturan Walikota yang menetapkan Tupoksi (Tugas pokok dan fungsi) dari masing-masing organisasi sehingga setiap organisasi hanya melaksanakan tugas dan fungsi sesuai urusannya dengan kata lain dengan adanya peraturan Walikota tentang Tupoksi tidak akan terjadi lagi tumpang tindih tugas antar organisasi diperangkat Pemerintah Kota Lhokseumawe 12. Bagaimana proses pengawasan seluruh program dan kebijakan efisiensi? Proses pengawasan seluruh program disini adalah minimal setiap triwulan atau tiga bulan setiap SKPD menyampaikan laporan kepada Walikota tentang pelaksanaan program dan kegiatan dari organisasi tersebut melalui atau cq Bagian Ekonomi dan Pembangunan, demikianlah pengawasan pelaksanaan program yang sudah berlangsung selama ini sekaligus juga akan terawasi kebijakan efesiensi dalam pelaksanaan pengeluaran anggaran dari programprogram tersebut
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
13. Bagaimana membentuk kultur organisasi/personil yang mendukung pelaksanaan program efisiensi? Untuk membentuk kultur tersebut sebagimana yang kami katakan tadi bahwa setiap organisasi itu telah punya pedoman dalam merencanakan dan mengusulkan anggaran untuk kegiatannya yaitu adanya standar anggaran biaya dan juga adanya standar harga barang untuk setiap tahun anggaran dengan adanya dua ketentuan tersebut diharapkan setiap organisasi itu dalam mengusulkan kebutuhan anggaran tidak keluar dari ketentuan tersebut 14. Apa kendala yang dihadapi dalam proses efisiensi? Setiap kebijakan pasti ada kendala, dalam hal efesiensi kendala nya adalah sesuatu yang telah direncanakan program dan kegiatan beserta besaran biayanya itu pada prinsipnya boleh dikeluarkan
sesuai dengan plafon
anggaran yang tersedia namun pimpinan selalu memberikan arahan pada para pejabat, pimpinan organisasi dan yang terkait dalam pengelolaan anggaran untuk melakukan efesiensi
yang memungkinkan dari kegiatan-kegiatan
tersebut sejauh tidak menghambat pelaksanaan program dan kegiatan 15. Bagaimana mengahadapi kendala-kendala tersebut? Menghadapi kendala tersebut semua pejabat atau para pegawai yang terlibat dalam pelaksanaan program dan kegiatan sampai saat ini nampaknya tidak menjadi persoalan karena tidak ada kendala yang berarti dalam hal pelaksanaan efesiensi yang sudah diwacanakan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA SOSIAL DAN KETENAGA KERJAAN KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi dibidang kesejahteraan dan ketenaga kerjaan? Adapun kebijakan yang ditempuh sehubungan dengan keterbatasan anggaran 2008 pada bidang ketenagakerjaan ? 1. Peningkatan pembinaan dan pengawasan di lapangan (pada perusahaan) 2. Peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan ketrampilan tenaga kerja dengan kejuruan/jurusan yang ada. 3. Pembinaan sektor formal dan non formal terutama pada lembaga latihan kerja swasta. 4. Pelaksanaan kegiatan swadaya masyarakat melalui usaha padat karya produktif. 5. maksimalisasi rutinitas 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? Adapun faktor pendukung dan hambatan yang ditemui : 1. Job specification yang masih rendah 2. The right man in the righ place 3. Situasional dan conditional 4. Sedangkan faktor pendukung terciptanya industrial peace serta kedamaian Nanggroe Aceh Darussalam acara menyeluruh.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN CAMAT MUARA DUA
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi yang berhubungan dengan kegiatan kemasyarakatan di lingkungan kecamatan muara dua? Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) kecamatan merupakan SKPD yang mempunyai tugas dan fungsi dalam memberikan pelayanan kemasyarakat, dimana secara organisasi kebijakan yang diambil oleh camat akan ditindaklanjuti oleh para geuchik di gampong yang selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kebijakan yang diambil dalam rangka pencapaian arah pembangunan diwujudkan dengan musyawarah rencana pembangunan di tingkat desa (musrenbangdes) yang selanjutnya dilanjutkan musrenbang di tingkat kecamatan. Sedangkan dalam upaya memberikan pelayanan masyarakat secara optimal dan efisien, pihak kecamatan memberikan pelayanan yang cepat dan tidak berbelit-belit sehingga dengan demikian masyarakat dapat merasakan pelayanan yang diberikan sejauh administrasi lengkap dan tidak dipungut biaya apapun. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? 1. Faktor pendukung a. Tersedianya sarana, administrasi yang memadai b. Masyarakat sudah terlebih dahulu mendapat pelayanan di tingkat gampong oleh keuchik. c. Terisinya personil ditiap-tiap unit/seksi d. SDM keuchik sudah mengarah profesional 2. Faktor hambatan a. Keterbatasan SDM pegawai di kantor camat b. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam mendapatkan pelayanan (terburu-buru) c. Keterbatasan jumlah pegawai di kantor camat d. Banyaknya calo yang memberi jasa dalam mendapatkan pelayanan
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA BAGIAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN SETDAKO LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana efisiensi yang dilakukan berkaitan dengan pembangunan fisik? b. Dalam kaitannya dengan pembangunan fisik agar tercapainya efisiensi maka dilakukan perencanaan pembangunan yang terukur dan disesuaikan dengan kebutuhan dilapangan/masyarakat (bottom up). Selain itu juga perencanaan pembangunan fisik disesuaikan dengan anggaran yang tersedia dalam APBD. c. Melakukan monitoring terhadap pelaksanaan pembangunan fisik di lapangan untuk melihat sejauh mana perkembangan pelaksanaannya. d. Mengevaluasi setiap pembangunan fisik yang telah dikerjakan dan membuat laporan sebagai bahan pertimbangan selanjutnya. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? a. Faktor Pendukung 1. SDM yang berkualitas 2. Sarana dan prasarana 3. Dana yang bersumber dari APBD/APBN maupun hibah daripada donatur. b. Hambatan yang ditemui 1. Kondisi dilapangan yang kadang-kadang berbenturan dengan budaya lokal masyarakat 2. Keterbatasan anggaran dalam proses pelaksanaan pembangunan 3. Faktor alam (selama ini sering terjadi keterlambatan pengesahan anggaran sehingga dalam waktu pelaksanaan sudah memasuki musim hujan) 4. Kurangnya koordinasi antara instansi terkait
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN LURAH KUTABLANG KEC. BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efesiensi yang berhubungan dengan kelurahan? Kelurahan merupakan struktur organisasi pemerintah terendah yang mempunyai tugas
pokok
sebagai
administrator
pemerintahan
kemasyarakatan
dan
pembangunan. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut diatas, dan dengan sumber dana yang sangat terbatas, sehingga membutuhkan efisiensi dan partisipasi aktif dari masyarakat serta masukan dari berbagai pihak, sehingga tugas pelayanan dan implementasi kepada masyarakat dapat terlaksana dengan cepat tepat dan akurat. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? Dalam pelaksanaan tugas sebagai pelayan dan berhubungan langsung dengan masyarakat tentunya kami mempunyai beberapa faktor pendukung dan penghambat yang diantaranya sebagai berikut : a. Faktor pendukung 1. Adanya fasilitas kantor dan sarana pendukung yang memadai, walaupun masih ada kekurangannya. 2. Mempunyai aparatur yang tetap dan selalu siap memberikan pelayanan yang baik kepada setiap warga masyarakat yang membutuhkannya dengan cepat dan tepat. b. Faktor hambatan 1. Masih adanya sebagian kecil warga masyarakat yang tidak mau peduli/tidak menerima kebijakan dari pemerintahan kelurahan.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASSET DAERAH KOTA LHOKSEUMAWE
1. Langkah-langkah apa yang dilakukan untuk mengeliminasi kebocoran anggaran dan penyimpangan? a. Melakukan pengadaan hardware dan software komputer termasuk sistem informasi b. Melakukan pelatihan pada pengelola keuangan di SKPD. c. Mengeluarkan edaran dan keputusan Walikota sebagai pedoman pengelola keuangan daerah d. Pengaturan rekening kas daerah dari 19 rekening menjadi 4 rekening. Pada tahap pertama dan selanjutnya bila memungkinkan hanya satu rekening kas umum kota Lhokseumawe. e. Melakukan pembinaan terhadap pengelola keuangan di SKPD 2. Bagaimana prinsip dan pelaksanaan manajemen pengelolaan dana diterapkan? a. Transparan dan akuntabilitas anggaran b. Disiplin anggaran c. Keadilan anggaran d. Taat azas anggaran e. Efisien dan efektivitas anggaran 3. Pada aspek/bidang mana yang tingkat efesiensinya paling tinggi? Pada aspek/bidang yang mempunyai kewenangan yang dapat diukur seperti DPKAD kota Lhokseumawe, KPPTS kota Lhokseumawe, Bagian Kepegawaian Setdako Lhokseumawe. Efesiensi pada SKPD tersebut relatif tinggi karena menangani urusan yang mempunyai tolak ukur yang jelas.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
4. Apa kendala dalam efisiensi pada bidang keuangan? Bagi SKPD yang menangani urusan sosial kemasyarakatan dengan data yang cepat berubah atau berubah-ubah maka akan sangat sulit mengukur tingkat efisiensinya.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA PUSKESMAS MON GEUDONG KEC. BANDA SAKTI KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi di bidang kesehatan? a. Meningkatkan usaha kesehatan yang bersifat promotif di masyarakat b. Meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di PKM c. Meningkatkan kemampuan SDM di Puskesmas
2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? a. Faktor pendukung 1. Pembangunan sarana Puskesmas 2. Dukungan dana pelayanan kesehatan dari pemda dan pusat untuk program Puskesmas. b. Faktor penghambat 1. Sumber daya manusia di Puskesmas tidak merata 2. Kerjasama lintas sektoral yang masih dirasa kurang
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA BAGIAN UMUM DAN PERLENGKAPAN SETDAKO LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana
kebijakan
dan
pelaksanaan
efisiensi
birokrasi
yang
berhubungan dengan sarana/fasilitas/asset? Menciptakan sistem/budaya pengelolaan yang terencana, terstruktur dan terukur baik dalam hal pengadaan sarana berdasarkan skala prioritas kebutuhan dan penciptaan sistem pemeliharaan sarana, fasilitas dan asset pemerintah secara profesional dengan cara memberdayakan sumber daya manusia berdasarkan skill dan kemampuan yang dimiliki guna efisiensi dan peningkatan kinerja.
2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui 1. Faktor pendukung a. Tersedianya sarana dan prasarana yang lengkap b. Adanya peraturan tentang pengelolaan dan pengadaan sarana dan fasilitas 2. Faktor penghambat a. Kurangnya disiplin dari para pegawai b. Kurangnya SDM yang memadai c. Anggaran yang terbatas.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA BAGIAN HUKUM DAN ORGANISASI SETDAKO LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi yang berhubungan dengan organisasi dan personil? Kebijakan yang digunakan oleh Pemerintah Kota Lhokseumawe berpedoman kepada PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah dengan mempertimbangkan faktor keuangan, kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja dan kondisi geografis, jumlah dan kepadatan penduduk dan urusan yang dilayani, sarana dan prasarana penunjang tugas, sehingga ada beberapa perangkat daerah yang digabung menjadi satu SKPD. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? Faktor pendukung, yaitu adanya aturan yang jelas untuk penyusunan perangkat daerah yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 yang mengatur tentang petunjuk teknis penataan organisasi perangkat daerah. Hambatan yang ditemui, yaitu dalam menjalankan kebijakan-kebijakan dilapangan terjadi benturan dan tidak tercaver semua program dalam urusan tugas dan fungsi akibat dari penggabungan lembaga yang ditetapkan dalam Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 12 Tahun 2007 dan Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 13 Tahun 2007.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA BAGIAN KEPEGAWAIAN SETDAKO LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi yang berhubungan dengan organisasi dan personil? Sesuai dengan penegasan PP No. 41 Th.2007 tentang organisasi perangkat daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah, Kepala Daerah di bantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Mengacu kepada ketentuan diatas, penempatan personil pada masing-masing satuan kerja perangkat daerah disesuaikan dengan struktur organisasi dan tugas pokok dan fungsinya. 2. Apa saja faktor pendukung pendukung dan hambatan yang ditemui? 1. Faktor pendukung a. Data kekuatan personil (bazzeting) b. DUK 2. Faktor hambatan a. Lambatnya pencapaian data dari unit terkecil satuan kerja perangkat daerah (sekolah dan puskesmas/pustu)
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana Kebijakan Pelaksanana Efisiensi dibidang Pemberdayaan Masyarakat? a. Selama ini kebijakan yang ditempuh dalam pelaksanaan efisiensi yaitu dengan melakukan pembinaan untuk perlombaan gampong/kelurahan dan gampong mawaddah warahmah (Gammawar) serta pesantren binaan PKK dengan memberdayakan bantuan dana pembinaan kepada Gampong/Kelurahan tingkat Kecamatan sebagai juara I dibantu dana Rp. 10.000.000 dan untuk tingkat Kota juara I dibantu dana Rp.30.000.000 untuk pembinaan mengikuti lomba tingkat Provinsi NAD. b. Untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di Gampong/Kelurahan dibantu dan Alokasi Dana Gampong (ADG) tahun anggaran 2007 untuk setiap gampong/kelurahan sebagai modal usaha bagi masyarakat yang modal usahanya lemah, maka kepada yang bersangkutan dapat meminjam dana ADG sebagai dana bergulir. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? 1. Faktor pendukung a. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan lomba Gampong/Kelurahan sangat mendukung b. Tersedia dana baik dari APBK maupun swadaya dari masyarakat yang bersifat material dan spiritual c. Adanya petunjuk pelaksanaan/mekanisme dari Pemko Lhokseumawe sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan baik lomba gampong maupun dana Alokasi Dana Gampong (ADG).
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
2. Faktor hambatan a. Masih ada masyarakat yang belum berubah sikap untuk percaya kepada pemerintah b. Ada masyarakat yang belum menerima sosialisasi tentang pemerintahan yang bersih.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA DINAS KESEHATAN KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana Kebijakan dan Pelaksanaan Efisiensi di bidang Kesehatan a. Kebijakan pelaksanaan pembangunan di kota Lhokseumawe mengaju kepada visi dan misi kota Lhokseumawe yaitu masyarakat Lhokseumawe sehat secara madani dan islami tahun 2012. Dimana pelayanan jasa bidang kesehatan masyarakat aset dan infestasi, masyarakat adalah cerminan suatu bangsa. b. Dinas kesehatan sebagai penanggung jawab terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya, haruslah senantiasa inovatif dan berorientasi pasar dalam pelayanan kesehatan guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. c. Berkaitan dengan hal tersebut maka Dinas kesehatan dalam rangka pelaksanaan efisiensi di bidang kesehatan menempuh beberapa langkah antara lain : 1.
Penerapan efisiensi dalam perencanaan sehingga akan menghasilkan produk pelayanan yang efektif dan efisien dengan memanfaatkan segala sumber daya yang ada.
2.
Penerapan efisien dan penempatan sumber daya sesuai dengan bidang keahlian masing-masing serta meningkatkan pendidikan dan pelatihan.
3.
Pembangunan infrastruktur kesehatan dengan daya fungsi efektif dalam mendukung pelayanan kesehatan bagi masyarakat di kota Lhokseumawe.
2. Faktor Pendukung dan Hambatan dalam Pelaksanaan Efisien di Bidang Kesehatan a. Faktor pendukung 1. Adanya sumber daya yang memadai serta dukungan dari Pemerintah Kota Lhokseumawe dalam mengembangkan pelaksanaan pelayanan kesehatan yang mencerminkan azas kepatutan efektif.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
b. Faktor hambatan 1. Anggaran kesehatan yang belum memadai serta belum meratanya penempatan tenaga kesehatan serta faktor ekonomi masyarakat perkotaan yang masih rendah. 2. Peningkatan kasus-kasus penyakit menular masyarakat dan penyakit lainnya akibat pola kehidupan masyarakat.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA SMK NEGERI 3 LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi di bidang pendidikan? a. Penerapan manajemen mutu ISO 9001:2000 Dalam arti SMK Negeri 3 Lhokseumawe berusaha untuk memberikan pelayanan sebagik-baiknya kepada peserta didik untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas secara nasional dan internasional dengan menerapkan secara konsisten persyaratan-persyaratan ISO 9001:2000 dan peraturan perundangan yang berlaku. b. Membangun kerja sama yang baik dengan komite sekolah dan stake holder Untuk mencapai keberhasilan pendidikan SMK Negeri 3 Lhokseumawe selalu berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan dan komite sekolah selaku penentu kebijakan dan unsur masyarakat. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? 1. Faktor pendukung a. Letak SMK Negeri 3 Lhokseumawe sangat strategis di pusat kota sehingga minat masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di SMK Negeri 3 Lhokseumawe sangat tinggi. b. Tersedianya SDM yang berkualitas sesuai dengan program keahlian yang ada 2. Faktor penghambat a. Banyaknya animo masyarakat pada awal tahun pelajaran menjadi kendala utama dalam pemenuhan ruang belajar yang cukup untuk kelancaran proses pembelajaran sehingga sebagian Rombel harus belajar pada siang hari, hal ini akan mempengaruhi efektivitas belajar. b. Belum adanya Drainase sehingga setiap musim hujan sering terjadi banjir. c. Kurangnya peralatan praktek khususnya bidang keahlian Teknik Grafika
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
d. Bahan praktek yang ada di RKA tidak mencukupi kebutuhan bahan praktek yang dibutuhkan siswa dalam 1 tahun anggaran sehingga menjadi kendala dalam pencapaian kompetensi siswa. e. SMK Negeri 3 Lhokseumawe ditetapkan sebagai salah satu SMK berpotensi
bertaraf
Internasional
melalui
Surat
Keputusan
yang
dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan SMK, namun sampai saat ini belum dapat direalisasikan karena terkendala dengan kurangnya lahan sesuai dengan persyaratan SBI.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA DINAS PEKERJAAN UMUM KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana efisiensi yang dilakukan berkaitan dengan pembangunan fisik? a. Ditunjuk Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) untuk pelaksanaan kegiatan fisik tahun anggaran 2008. b. Pelaksanaan lelang terpusat, diharapkan dapat selesai sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan c. Setelah pengumuman pemenang lelang diharapkan penyedia barang/jasa dapat langsung melaksanakan pekerjaan. d. Melakukan pengawasan secara terus menerus. 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? 1. Faktor hambatan a. Faktor non teknis di lapangan b. Kualitas bahan/material yang digunakan tidak sesuai spesifikasi c. Penyedia barang kurang memahami pekerjaan yang akan dilaksanakan d. Kemampuan penyedia barang/jasa untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang ditetapkan tidak dapat dipenuhi, keterbatasan tenaga teknis, peralatan, modal dan lain-lain.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
INFORMAN KEPALA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA LHOKSEUMAWE
1. Bagaimana kebijakan dan pelaksanaan efisiensi dibidang pendidikan? a. Pemerataan dan perluasan akses pendidikan b. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing keluesan pendidikan c. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra public pendidikan 2. Apa saja faktor pendukung dan hambatan yang ditemui? 1. Faktor pendukung a. Terdapatnya ± 40% wali murid di Kota Lhokseumawe yang memiliki penghasilan kaya b. Sebagian besar wali murid Kota Lhokseumawe memiliki pendidikan SMA ke atas. c. Pemahaman wali murid terhadap perlunya pendidikan sangat positif. d. Berbagai kebutuhan pendidikan bagi siswa sangat mudah di dapat e. Jangkauan siswa antara tempat tinggal dengan sekolah tidak begitu jauh. f. Sebagian besar guru yang ada pada tiap sekolah memiliki disiplin ilmu yang sesuai dengan kebutuhan. g. Koordinasi sekolah dengan Dinas Pendidikan sangat lancar. h. Motivasi kepala sekolah untuk memajukan sekolah yang dipimpinnya cukup tinggi. i. Daya saing antar satu sekolah dengan sekolah lainnya cukup tinggi. 2. Faktor hambatan a. Masih terdapatnya penahan wali murid, ada sekolah-sekolah tertentu yang favorit dan non favorit. b. Masih terdapatnya ± 30% wali murid yang memiliki penghasilan sangat rendah. c. Masih terdapatnya sarana fasilitas dan mobiler yang belum memadai.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008
d. Anggaran pendidikan disaat ini belum memadai sebagai penunjang proses belajar mengajar maupun ekstra kurikuler. e. Masih terdapatnya tenaga honorer yang berpendidikan SMA sebagai guru. f. Distribusi tenaga pengajar yang belum merata. g. Pada umumnya komite sekolah belum berfungsi sebagai perwakilan wali murid sebagai mitra sekolah yang baik. h. Lingkungan sekolah yang tidak sehat, termasuk transaksi barang yang mengancam dunia pendidikan. i. Masih terdapatnya pemahaman sebagian kecil wali murid, bahwa tanggung jawab pendidikan hanya tertumpu pada sekolah.
Miswar: Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota Lhokseumawe), 2008. USU e-Repository © 2008