IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN MEDAN MARELAN TESIS
Oleh MUHAMMAD HALDUN 057024014/SP
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN MEDAN MARELAN
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) dalam Program Magister Studi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh MUHAMMAD HALDUN 057024014/SP
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN MEDAN MARELAN : Muhammad Haldun : 057024064 : Studi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Drs. Zulkifli Lubis, MA) Ketua
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA)
(Drs. Agus Suriadi, M.Si) Anggota
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)
Tanggal Lulus: 12 September 2008
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Telah diuji pada : Tanggal 12 September 2008
PANITIA PENGUJI TESIS: Ketua : Drs. Zulkifli Lubis, MA Anggota : 1. Drs. Agus Suriadi, M.Si 2. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si 3. Drs. Henry Sitorus, MA 4. Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
PERNYATAAN
IMPLIKASI NORMALISASI SEI BADERA TERHADAP PEMUKIMAN MASYARAKAT DI KECAMATAN MEDAN MARELAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuna saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, atau kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka
Medan, 12 September 2008
(Muhammad Haldun)
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Tesis ini akan membahas tentang bagaimana implikasi dari normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa persoalan pemukiman penduduk memang bukanlah hal yang gampang. Pemukiman penduduk merupakan bagian terpenting yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat pemukiman adalah masalah krusial yang jika penanganannya tidak baik akan menjadi persoalan besar. Oleh karena itu penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan guna mengetahui bagaimana implikasi dari proyek normalisasi Sei Badera yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara terhadap pemukiman penduduk khususnya yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Badera, Kecamatan Medan Marelan. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada tujuan dari penelitian yakni untuk menggali atau membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna dibalik realita. Adapun strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi deskriptif kualitatif. Selain itu peneliti juga menggunakan penelitian berdasarkan studi kasus. Dari penelitian ini ketahui bahwa proyek normalisasi Sei Badera yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sangat berhasil dan memiliki implikasi yang cukup nyata. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari dua hal yakni ; Pertama. Aspek Pembangunan Sosial. Pada aspek ini didapati hasil pemukiman masyarakat bebas dari banjir karenanya harga tanah per meternya menjadi tinggi, kemudian masyarakat dapat memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk bertanam. Kedua. Aspek Pembangunan Ekonomi. Pada aspek ini didapati peningkatan pendapatan masyarakat yang tadinya tidak dapat setiap harinya ke laut sekarang hampir setiap hari dapat ke laut untuk mencari ikan dan kerang. Selain itu masyarakat yang sebahagian besar pengrajin daun nipah setiap harinya dapat menganyam daun nipah karena pasokan barang selalu datang untuk dikerjakan. Dengan demikian dapat membantu pendapatan rumahtangga masyarakat yang berada di pemukiman Sei Badera. Dari implikasi yang cukup signifikan tersebut maka dianjurkan agar pemerintah terus meningkatkan proyek pembangunan yang memang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Kata Kunci : Implikasi, Normalisasi, Pemukiman, Kebijakan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan kasih karunia-Nya yang tiada tara sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bpk. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, DSAk, selaku Rektor USU 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc., selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU 3. Bpk. Prof. DR. M. Arif Nasution, MA., selaku Ketua Program Studi Pembangunan USU 4. Bpk. Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Pembangunan USU dan Penguji 5. Bpk. Drs. Zulkifli Lubis, MA, selaku Ketua Pembimbing dan Ketua Penguji 6. Bpk. Drs. Agus Suriadi, M.Si, selaku Pembimbing dan Penguji 7. Bpk. Prof. Dr. Badaruddin, MSI, selaku Pembanding dan Penguji 8. Bpk. Drs. Henry Sitorus, M.Si selaku Pembanding dan Penguji 9. Kedua orang tuaku Alm. Ali Bahnan dan Hj. Nurhafifa yang selalu memberikan kasih sayang sehingga penulis dapat menjejakkan kaki didunia ini serta membekali ilmu yang setinggi-tinggi.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
10. Mertuaku Drs. H. Abdul Muis Dalimunthe dan Hj. Dameria Panjaitan yang selula memberi dorongan hingga selesainya tulisan ini. 11. Istiku tercinta Maya Suhera yang selalu mendapingi penulis baik suka maupun serta kedua ananda tersayang Muhammad Fayyadh Hawwari dan Maulida Filzah hendaknya nanti memotivasi kalian agar dapat belajar lebih giat. 12. Bapak dan Ibu dosen/ staf pengajar di Program Studi Pembangunan USU 13. Rekan-rekan mahasiswa khususnya Angk. VII Studi Pembangunan USU serta staf administrasi Program Studi Pembangunan USU Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap keluarga yang telah memberikan doa dan motivasi, baik selama perkuliahan hingga penyelesaian tesis ini. Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi tambahan rujukan bagi penelitian selanjutnya.
Medan, September 2008 Penulis,
Muhammad Haldun
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
RIWAYAT HIDUP Nama
: Muhammad Haldun
NIM
: 057024014
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 31 Oktober 1971 Alamat
: Jl. Flamboyan Raya No. 26 Medan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: PNS
Status Perkawinan
: Kawin
Nama Istri
: Maya Suhera
Nama Anak
: Muhammad Fayyadh Hawwari Maulida Filzah
Nama orang tua
:
Bapak
Alm. Ali Bahnan
Ibu
Hj. Nurhafifa
Pendidikan
: 1. SD Negeri No. 060954 Medan
(1985)
2. SMP Negeri No. 18 Medan
(1988)
3. SMA Negeri Labuhan Deli Medan
(1991)
4. UMSU Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1998) 5. Mahasiswa Program S-2 MSP FISIP Universitas Sumatera Utara (2008)
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK....................................................................................................
i
ABSTRACT..................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR.................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP......................................................................................
v
DAFTAR ISI.................................................................................................
vi
DARTAR TABEL.........................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..........................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................
7
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................
7
1.5. Kerangka Dasar Pemikiran .......................................................
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
15
2.1. Sejarah Pembentukan Kota .......................................................
15
2.1.1. Pemukiman .....................................................................
21
2.1.2. Implikasi .........................................................................
22
2.2. Proses Penyusunan Kebijakan Publik .......................................
27
2.2.1. Implikasi Kebijakan ........................................................
28
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.2.2. Perspektif Teoritik Implikasi Kebijakan .........................
31
2.3. Manajemen Proyek ...................................................................
32
2.4. Perencanaan dan Pembiayaan Daerah .......................................
33
2.5. Implikasi Kewenangan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pemerintah Pusat dalam Penyediaan Prasarana Wilayah ..........
34
2.5.1. Kewenangan Kabupaten/Kota ..........................................
35
2.5.2. Kewenangan Provinsi ......................................................
36
2.6. Normalisasi Sei Badera ............................................................. .
37
2.7. Pembangunan Masyarakat ........................................................ .
40
2.7.1. Pemberdayaan sebagai Program dan Proses .................... ..
48
2.7.2. Pembangunan Sosial Ekonomi ........................................ ..
51
2.7.2.1. Pengertian Pembangunan Sosial .......................... ..
51
2.7.2.2. Pengertian Pembangunan Ekonomi ..................... ..
52
2.7.3. Proses Pembangunan Sosial Ekonomi ............................. ..
55
BAB III METODE PENELITIAN ...........................................................
58
3.1. Bentuk Penelitian ......................................................................
58
3.2. Defenisi Konsep.........................................................................
59
3.3. Lokasi Penelitian .......................................................................
61
3.4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................
61
3.4.1. Wawancara (Depth Interview) ......................................
62
3.4.2. Karakteristik Informan ..................................................
63
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
3.5. Teknik Analisis Data .................................................................
63
BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................
65
4.1. Deskripsi Lokasi Kecamtan Medan Marelan ............................
65
4.1.1. Potensi Wilayah Kecamatan Medan Marelan ..................
68
4.1.1.1. Data Umum ..........................................................
68
4.1.1.2. Pelayanan Umum .................................................
69
4.1.1.3. Pendidikan ............................................................
70
4.1.1.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Gender (Jenis Kelamin) .....................................................
70
4.1.1.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku ...................
71
4.1.1.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................................................
73
4.1.1.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan ...........
74
4.2. Implikasi Normalisasi Sei Badera .............................................
75
4.2.1. Aspek Pembangunan Sosial .............................................
77
4.2.1.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Sebelum Normalisasi ..........................................................
78
4.2.1.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi ..........................................................
81
4.2.1.2.1. Pergeseran Budaya Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi ............................................
87
4.2.1.2.1.1. Arsitektur Rumah Panggung Melayu ......................................
88
4.2.2. Aspek Pembangunan Ekonomi ........................................
92
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
4.2.2.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Sebelum Normalisasi ..........................................................
93
4.2.2.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi ..........................................................
96
BAB V PENUTUP .....................................................................................
105
5.1. Kesimpulan ...............................................................................
105
5.2. Saran .........................................................................................
106
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
108
DAFTAR TABEL
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Nomor
Judul
Halaman
1.
Teknik Pengumpulan Data....................................................
62
2.
Karakteristik Informan..........................................................
63
3.
Data Umum............................................................................
68
4.
Pelayanan Umum ...............................................................
69
5.
Pendidikan.............................................................................
70
6.
Perbandingan Penduduk Kecamatan Medan Marelan...........
82
7.
Hasil Normalisasi Sei Badera................................................
101
DAFTAR GAMBAR
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Nomor
Judul
Halaman
1.
Peta Kota Medan...................................................................
67
2.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelamin...............................
71
3.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku....................................
72
4.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.............
73
5.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan.............................
74
6.
Rumah Adat Melayu.............................................................
88
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tesis ini akan membahas tentang bagaimana implikasi dari normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa persoalan pemukiman penduduk memang bukanlah hal yang gampang. Pemukiman penduduk merupakan bagian terpenting yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat pemukiman adalah masalah krusial yang jika penanganannya tidak baik akan menjadi persoalan besar. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Republik Indonesia telah melakukan suatu kajian mengenai model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu. Kajian yang pernah dilakukan tersebut bermaksud untuk menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan sektor yang ada di dalam DAS (Tim Direktorat Kehutanan : 2000). Paling tidak terdapat tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor yang ada terhadap kinerja DAS. Pada studi tersebut juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti permukiman untuk mewakili sektorsektor lain yang ada di dalam DAS. Selain itu terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jaratunseluna di Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut lah yang menjadi objek kajian dan ketiga sistem DAS tadi dianggap mewakili 3 kondisi pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja mereka hampir sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup (Tim Direktorat Kehutanan : 2000). Berdasarkan analisis oleh tim dan menjadi hasil kajian tersebut diantaranya adalah dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Disisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan-kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut, kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor tergantung pada kinerja DAS (Tim Direktorat Kehutanan : 2000)
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Kajian yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh Sigit Setiyo Pramono salah seorang peneliti di Universitas Gunadarma, Semarang. Sigit mengkaji tentang normalisasi sungai sebagai salah satu upaya penanggulangan banjir di Kota Semarang. Untuk upaya normalisasi tersebut Sigit memperkenalkan suatu sistem yang diberi nama Sistem Peringkat Komunitas (SPK) (Sigit S. Pramono : 2002). Pendekatan pencegahan
banjir
Sistem peringkat dengan
cara
komunitas (SPK)
memberikan
adalah
penilaian
metode
dari masyarakat
terhadap suatu perencanaan yang telah disiapkan untuk diterapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria pada metode ini terdiri dari menentukan proses perencanaan,
melibatkan peran masyarakat,
kelompok masyarakat dan banjir, mengevaluasi strategi
dan
pemerintah,
permasalahan
ukuran
yang
mengkoordinasikan antara
memperkirakan
banjir,
diterapkan,
menyusun
bahaya tujuan,
memberikan
dan
resiko
mengevaluasi
konsep
untuk
pelaksanaan, menyetujui perencanaan dan mengaplikasikan, mengevaluasi dan memperbaiki perencanaan (Sigit S. Pramono : 2002). Kajian yang dilakukan oleh Tim Direktorat Kehutanan dan Sigit S. Pramono di atas keduanya berawal dari upaya untuk memperbaiki sungai atau yang lazim kita sebut sebagai Normalisasi Sungai (NS). Dimana keduanya menghasilkan suatu rekomendasi yang sama dalam hal penanggulangan banjir melalui perbaikan DAS. Tim Direktorat Kehutanan menganjurkan agar pelaksanaan NS-DAS dengan menerapkan sistem yang mereka beri nama “Normalisasi Sungai Terpadu”. Tidak
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
jauh berbeda dari apa yang dipaparkan oleh Tim Direktorat Kehutanan di atas, Sigit S. Pramono juga menganjurkan penerapan Sistem Peringkat
Komunitas (SPK).
Perbedaan keduanya lebih pada menempatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan NS-DAS yang dilaksanakan. Kembali pada topik yang menjadi fokus penelitian penulis di atas yakni menyinggung mengenai pemukiman penduduk. Ketika kita akan berbicara mengenai pemukiman penduduk sebagai salah satu varibel berarti sangat erat kaitannya dengan proses pembangunan yang tengah berlangsung. Proses pembangunan dalam hal ini khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur suatu wilayah. Kegiatan pembangunan infrastruktur perkotaan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pemanfaatan ruang wilayah (Bappenas : 1997) Konsep dasar pembangunan sarana dan prasarana dasar perkotaan berorientasi pada pemenuhan pelayanan infrastruktur perkotaan yang mendukung bagi terwujudnya pola perkembangan kota menuju kota metropolitan, yang aman, tertib, lancar, asri dan sehat serta dapat menumbuh kembangkan perekonomian dan sosial budaya kehidupan masyarakat. Implikasi konsep tersebut di atas memiliki banyak tantangan, hal ini disebabkan kondisi infrastruktur perkotaan yang terbangun telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi yang cukup tajam, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengembalikan kondisi terbut pada titik yang dapat dikategorikan baik atau layak guna (Bappenas : 1997)
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Di sisi lain kelengkapan infrastruktur yang tersedia masih kurang dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perkotaan terlebih lagi bagi masyarakat kota metropolitan. Sebagai gambaran beberapa permasalahan dalam penataan ruang dan infrastruktur seperti kurangnya penataan ruang, belum meratanya penyebaran fasilitas perumahan dan lingkungan, belum optimalnya penanganan banjir, kurang optimalnya penanganan kebersihan kota belum optimalnya pengelolaan irigasi, DAS dan lain sebagainya yang memerlukan perencanaan dan perhatian yang lebih dari pemerintah, baik perintah propinsi maupun pemerintah kota/kabupaten (Bappenas : 1997). Dalam rangka pembangunan Medan Metropolitan dan MeBiDang (MedanBinjai-Deli Serdang), pihak Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan telah banyak melakukan kebijakan pembangunan untuk mendukung Kota Medan menjadi kota metropolitan seperti penataan pembangunan pemukiman, gedung-gedung pertokoan dan
pusat perbelanjaan yang megah,
perbaikan dan
pembangunan sarana transportasi di seluruh Kota Medan. Namun sampai saat ini yang menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan oleh Pemerintah Kota Medan secara khusus dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara secara umum adalah masalah banjir yang selalu membanjiri dan mengenangi hampir seluruh daerah Kota Medan, terutama daerah-daerah pinggiran Kota Medan yang sering mengakibatkan implikasi langsung kepada seluruh anggota masyarakat yang terkena langsung dari akibat bahaya banjir yang melanda daerah pemukiman mereka. Sering kita lihat bahwa apabila suatu daerah tersebut digenangi
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
oleh air banjir dalam beberapa jam atau beberapa hari tentunya berimplikasi langsung terhadap kondisi tanah, pemukiman penduduk, sanitasi kesehatan masyarakat, dan berpengaruh pada aktivitas dari setiap anggota masyarakat yang tinggal dan bermukim di daerah yang dilanda banjir tersebut. Dalam rangka menuju Medan sebagai kota metropolitan yang terkait dengan penanganan banjir, maka Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara berkoordinasi dengan Pemerintahan Kota Medan salah satunya adalah melakukan Normalisasi Sungai (NS). Normalisasi serta penanggulangan Sungai Sei Badera. Sungai Sei Badera adalah salah satu dari tiga sungai kecil yang alirannya melewati Kota Medan. Selain sungai-sungai kecil, tercatat ada beberapa sungai besar yang membelah kota yang berpenduduk sekitar dua juta jiwa ini, yaitu Sungai Belawan, Sungai Deli, Sungai Percut, dan Sungai Serdang. Sedangkan tiga sungai kecil yang melewati Kota Medan selain Sungai Badera adalah Sungai Batuan dan Sungai Kera. Penanganan sungai Sei Badera yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara terdiri dari : normalisasi sungai, penanggulangan sepanjang lebih kurang 20 kilometer dan perbaikan jembatan yang melintas di atas sungai. Pelaksanaan konstruksi sungai tersebut sudah dimulai sejak tahun 2003, dan pekerjaannya telah rampung pada tahun 2005. Adapun yang menjadi sasaran proyek normalisasi sungai Sei Badera adalah pengendalian banjir dan pengamanan pantai di Kota Medan. Kedua hal ini telah masuk pada tahapan yang teramat penting. Karena kedua hal tersebut merupakan upaya jangka panjang untuk menyelamatkan Kota
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Medan dan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Medan dari musibah banjir yang sudah dapat dipastikan akan mengancam daerah ini secara massif.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diajukan adalah bagaimana implikasi dari normalisasi Sungai Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan; “untuk mengetahui implikasi normalisasi Sungai Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan.”
1.4. Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah : 1.
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai model atau konsep pembangunan sarana dan prasarana fisik perkotaan terutama mengenai upaya normalisasi sungai.
2.
Secara pragmatis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai upaya normalisasi sungai guna meminimalisir banjir
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
sehingga memberikan dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
1.5. Kerangka Dasar Pemikiran Seperti telah dijelaskan bahwa ketika berbicara pemukiman maka akan sangat terkait erat dengan pola pembangunan yang sedang berlangsung. Pelaksanaan pembangunan sangat tergantung pada peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat serta pemerintah daerah itu sendiri, sehingga hal yang banyak mendapat perhatian masyarakat seperti bagaimana peran pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakannya melalui kegiatan pembangunan disegala bidang serta dapat dilihat dan dinikmati masyarakat. Tujuan pembangunan di tingkat daerah baik Provinsi maupun daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu, baik antar sektor maupun antara pembangunan sektoral dengan perencanaan pembangunan oleh daerah yang efisien dan efektif menuju tercapainya masyarakat mandiri, dan kemandirian daerah itu sendiri yang merata di seluruh tanah air. (Kartasasmita,1996:336). Dalam pelaksanaan pembangunan tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah, apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan, selalu diiringi dengan tindakan-tindakan pelaksanaan yang kemudian memiliki implikasi (hasil), karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa dapat dirasakan implikasinya
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
maka tidak akan banyak berarti bagi masyarakat sebagai yang merasakan langsung dari setiap tindakan-tindakan maupun kebijakan-kebijakan yang diambil dan dijalankan oleh pemerintah. Van Meter Van Horn merumuskan bahwa .” Implikasi sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan individu atau pejabat-pejabat maupun kelompokkelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu kebijakan.” (Peter F.Drucker:1995) Dalam
melaksanakan
kebijakan-kebijakan
pembangunan
terhadap
kesejahteraan rakyat, Pemerintah Kota Medan dengan berkoordinasi dan memohon kepada Pemerintah Propinsi Sumatera Utara untuk melakukan pembangunan untuk mengatasi bahaya banjir di Kota Medan, baik yang ada di pusat Kota Medan maupun daerah-daerah pinggiran Kota Medan, yaitu dengan melakukan dan mengupayakan pengamanan areal potensial dari bahaya banjir yang sering melanda Kota Medan dan sekitarnya, akibat dari penampang sungai yang tidak dapat menampung debit air, pendangkalan sungai serta penyempitan aliran sungai. Hal ini diakibatkan oleh tingginya tingkat urbanisasi, kerusakan daerah tangkapan air dan volume air yang tidak tertampung pada penampang sungai. Melihat rencana pembangunan daerah Provinsi Sumatera Utara khususnya daerah Kota Medan yang akan dikembangkan menjadi kota metropolitan. Dengan pengembangan daerah sekitarnya baik yang ada dipusat kota maupun daerah pinggiran kota maka untuk mengatasi banjir, beberapa sungai yang mengalir melalui
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
daerah yang sering mengalami banjir oleh pemerintah Kota Medan telah diprogramkan dan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk diusulkan supaya dinormalisasikan dalam rangka meningkatkan pengamanan banjir dari periode 5 tahunan,15 tahunan dan menjadi 25 tahunan. Sungai Sei Badera merupakan anak ranting sungai dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan yang merupakan induk sungai yang mengalirkan air sungai dari anak ranting sungai dari hilir sungai menuju kelautan. Di dalam Undang-undang Republik Indonesia No.7 tahun 2004 pasal 11 disebutkan bahwa, Daerah Aliran Sungai adalah suatu daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau kelaut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah tofografis dan batas di laut sampai daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.. Sungai Sei Badera dengan panjang lebih kurang 11,80 Km adalah salah satu sungai yang melintasi daerah pinggiran Kota Medan yang mengalir melalui Kecamatan Medan
Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli dan Kecamatan Medan
Marelan. Setiap tahunnya daerah sepanjang aliran sungai ini terjadi luapan air yang mengakibatkan banjir hal ini disebabkan kapasitas penampang Sei Badera yang relatif kecil dibandingkan dengan tingginya aliran air permukaan yang mengalir pada daerah sepanjang sungai, kemudian ditambah lagi dengan kondisi kerusakan pada daerah
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
tanggapan air yang ada disepanjang sungai, kemudian bertambah banyaknya aliran permukaan dan semakin tingginya tingkat urbanisasi di Kecamatan Medan Marelan. Genangan banjir ini sangat mempengaruhi sarana transportasi perekonomian dan sosial yang tentunya berimplikasi negatif terhadap daerah sekitar aliran Sei Badera. Sesuai dengan pengamatan banjir pada tanggal 23 Desember 1992 dimana seluas 1.513 Ha areal tergenang air dengan ke-dalaman
1.5 m meliputi daerah
pemukiman, jalan, perkebunan, dan transportasi umum disepanjang aliran Sungai Sei Badera. Kecamatan Medan Marelan adalah merupakan daerah yang paling banyak terkena dampak dari sering meluapnya air sungai Sei Badera yang mengakibatkan banjir setiap tahunnya. Akibat dari banjir tersebut ialah lumpuhnya kegiatan perekonomian masyarakat dan menghancurkan lahan areal pertanian dan perkebunan penduduk serta sarana transportasi berupa jalan dan jembatan. Disepanjang aliran sungai Sei Badera, hidup dan bertempat tinggal masyarakat yang mempunyai mata pencaharian dari bertani, nelayan, wiraswasta, dan pegawai negeri. Dalam kegiatan kehidupan sehari-harinya masyarakat yang ada disekitar atau disepanjang aliran Sei Bedera tentunya sangat tergantung terhadap sungai Sei Badera. Karena itu lah ketika sungai Sei Badera tidak “bersahabat” dengan penduduk dengan seringnya banjir tentunya masyarakat sangat merasakan dampak dari itu. Seperti terhalang untuk menjalankan aktifitas sehari-hari untuk mencari nafkah, timbulnya masalah kesehatan yang dialami oleh warga seperti muntaber, gatal-gatal pada kulit,
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
masalah air bersih yang terganggu kejernihannya dan kehidupan sosial masyarakat yang terganggu akibat tergenang air banjir. Melihat permasalahan sungai yang ada pada sekitar aliran Sei Badera, Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dalam hal ini dinas teknisnya yang membidangi masalah sungai, irigasi dan rawa yaitu Dinas Pengairan Propinsi Sumatera Utara telah mengusulkan dan mengupayakan penormalisasian sungai Sei Badera yang bertujuan sebagai upaya penanganan banjir sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup perekonomian, dan sosial masyarakat serta perkembangan masyarakat di Kecamatan Medan Marelan menuju daerah kecamatan yang berkembang dan maju, sehingga mampu berkembang dan maju bersama sama dengan kecamatan-kecamatan yang telah maju dan berkembang dalam wilayah administratif Pemerintahan Kota Medan. Apalagi lahan yang cukup luas dan potensial dijadikan daerah pertanian dan pemukiman perumahan penduduk baik untuk perumahan real estate maupun Perumahan Nasional (Perumnas). Dengan demikian masalah pemukiman penduduk yang cukup padat di tengah Kota Medan bisa direlokasikan pada daerah kecamatan salah satunya adalah Kecamatan Medan Marelan. Pada tahun 2003 melalui dana LOAN (pinjaman) ADB (Asean Development Bank) 1587-INO dibantu dengan Sumber dana dari APBD Propinsi Sumatera Utara, teralokasi dana untuk pekerjaan normalisasi sungai Sei Badera kemudian diteruskan pada tahun 2004 hingga 2005 lalu yang pada akhirnya penormalisasian Sei Badera tersebut selesai dikerjakan.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Setelah pekerjaan normalisasi selesai maka peneliti mencoba untuk melihat secara objektif dan menggambarkan bagaimana implikasi normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan. Melalui penelitian ini yang ingin dilihat adalah bagaimana manfaat dan implikasi yang dirasakan oleh masyarakat di Kecamatan Medan Marelan dari hasil penormalisasian Sei Badera terhadap pembangunan perekonomian, pemukiman penduduk dan sosial masyarakat di Kecamatan Medan Marelan. Dimana
pada
tahun-tahun
sebelum
dilaksanakan
pembangunan
penormalisasian Sei Badera tersebut terutama masalah perekonomian masyarakat yang tinggal disepanjang aliran Sei Badera terganggu aktivitasnya karena seringnya banjir yang melanda mereka setiap tahunnya, jika terjadi banjir yang menggenangi pekarangan rumah-rumah dan akses jalan yang berada di sepanjang aliran Sei Badera. Dengan banjir tersebut secara otomatis mereka tidak bisa menjalankan kegiatan perekonomian mereka karena rata-rata penduduk yang tinggal disekitar aliran sungai Sei Badera tersebut harus tinggal di rumah dalam beberapa hari sambil menunggu air surut, tentunya berakibat pada terganggunya kegiatan pereknomian di daerah itu. Belum lagi masalah kesehatan lingkungan yang diakibatkan genangan air selama beberapa hari dimana air yang ada diselokan, parit-parit, maupun lubanglubang sampah yang berbaur jadi satu dibawak oleh aliran air sungai yang banjir menuju rumah rumah penduduk, hal demikian tentunya kita dapat memperkirakan bahwa
kotoran-kotoran dan kuman-kuman pembawa penyakit akan dapat
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
menimbulkan serangan kepada setiap anggota masyarakat yang dilanda banjir. Apalagi areal persawahan yang tergenang banjir sudah barang tentu tidak dapat dimanfaatkan kembali untuk diteruskan menunggu panen, artinya padi yang ditanam gagal panen untuk tahun yang berjalan sehingga para petani penanam padi tentunya mengalami kesulitan dan kerugian finansial yang cukup besar. Lain lagi untuk aktivitas-aktivitas masyarakat dalam melakukan fungsinya sebagai mahluk sosial yang hidup bermasyarakat dan saling tolong-monolong, kunjung-mengunjungi antara satu dengan yang lainnya jika ada kegiatan-kegiatan sosial tentunya terganggu akibat dari bahaya banjir yang melanda pada daerah aliran sungai Sei Badera tersebut. Belum lagi lahan-lahan kosong yang cukup luas yang bisa dijadikan pembangunan perumahan pemukiman penduduk menjadi tergenang dan menjadi pemandangan sebagai daerah genangan air dan terendam air, padahal apabila sungai yang ada disepanjang daerah tersebut normal dan sistem pengaliran airnya ke sungai baik maka hal yang demikian tidak mungkin dapat terjadi. Namun implikasi pembangunan normalisasi Sei Badera tersebut telah banyak memberikan manfaat yang cukup besar terhadap perekonomian, sosial dan budaya masyarakat
dan
pemukiman penduduk di Kecamatan Medan Marelan.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Pembentukan Kota Seiring dengan persiapan Kota Medan menuju kota metropolitan maka dilakukanlah beberapa persiapan sebagai upaya pembentukan identitas kota metropolitan. Berbicara tentang kota maka pada dasarnya kota merupakan sebentuk kehadiran realitas sosial merupakan hal yang tak mungkin lagi terseleksi dalam neraca perkembangan zaman. Membaca fenomena kota sebagai sebentuk manifestasi modernitas yang dibayangkan dan dimungkinkan. Kota adalah sebuah teritori yang pengertiannya terus berubah sejalan dengan dinamika kota itu sendiri. Dalam konsep Jawa, contohnya, tak dikenal istilah kota. Yang ada hanya nagara, di mana wilayah itu adalah ke mana pun “orang pergi ke luar tanpa melintasi sawah”. Sementara, orang Melayu menyebutnya bandar: tempat persinggahan kapal-kapal, bongkar muat barang, transaksi jual-beli dan dari sini pula umumnya peradaban tumbuh, sebuah kota berkembang (Bainfokom Sumut : 2007). Pemahaman ini tentunya datang dari mereka yang akrab dengan laut, dengan wilayah kepulauan, yang mengandaikan bandar/kota sekadar lokasi transit: tempat masuk dan keluar, datang untuk kemudian pergi lagi. Bandar/kota dalam hal ini adalah gerbang. Beberapa definisi (secara etimologis) “kota” dalam bahasa lain yang agak pas dengan pengertian ini, seperti dalam Bahasa Cina, kota adalah dinding, dan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
dalam Bahasa Belanda Kuno, kota, tuin, bisa berarti pagar. Dengan demikian, kota adalah suatu batas (Bainfokom Sumut : 2007). Definisi kota yang acapkali diajukan menjadi semacam teori-teori yang tidak baku. Setiap kota memiliki hak keanekaragamannya sendiri. Menelusuri sejarah pembentukannya dengan mitos kelahiran dan perkembangannya sekaligus, misalnya, dekolonisasi menyeruak menyebarkan aroma kisah-kisah perubahan sosial, ekonomi dan juga kultural. Berbagai proses tersebut menjadi monumen perkotaan yang kelak menjadi sejarah perkotaan (Bainfokom Sumut : 2007). Kota tidak hanya mengemukakan fenomena wilayah geografis tertentu (place), tapi juga seperangkat kegiatan (work) dan dinamika penduduk (folk) yang terus bergerak. Hal tersebut mengantarkan pada benang merah untuk terus dipetakan dalam tiga kontinum pembahasan. Setidaknya pembicaraan akan diurai dengan kajian perkotaan yang bermaksud mengenali kondisi perkotaan secara demografis yang pelik. Selain itu disertai kompleksnya perspektif sosiologis yang kaya dan dinamik. Kemudian muasal kota dirunut dari turunan studi perencanaan kota (urban planning), suatu kajian yang mengarah pada penataan ruang yang dekat hubungannya dengan kewilayahan lalu bermuara pada tata guna lahan dengan mengadaptasi setiap lekuk tata ruang perkotaan. Sedangkan yang terakhir ialah pembahasan perkotaan dalam telaah perancangan kota (urban design). Di sini, kota lebih berdimensi fisik dan lebih dekat dengan dinamika arsitektural dengan menekankan pada keindahan dan kenyamanan ruang-ruang perkotaan (Bainfokom Sumut : 2007).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Benang merah kehadiran perkotaan tidak terlepas dari gesekan-gesekan spasial. Dalam sejarahnya, selalu saja ada yang ditelikung dan didominasi, digusur dan dikonversi demi terbentuknya sistem perkotaan yang seragam. Termasuk bagaimana lahan-lahan pertanian dikonversikan fungsinya menjadi kemegahan kota yang lebih strategis secara ekonomis. Industrialisasi tampak mewah bagi pertanian yang lengang dan terpojok. Desa-desa mengungsikan penduduknya secara tak sadar ke kota. Menggadaikan sawah untuk menjadi tenaga kerja di kota. Menjadi bagian kecil dari seluruh sistem perkotaan, sistem industri. Akan tetapi, seperti pernah dituturkan James C. Scott, selalu ada perlawanan sederhana, walaupun pada kenyataannya pembangunan kota terus berjalan. Artikulasi globalisasi, integrasi nasional sekaligus lahirnya euforia lokalisasi yang meriah, menciptakan kontradiksi-kontradiksi kultural (Dieter Evers: 2002). Ketegangan-ketegangan sosial. Penyebaran komposisi etnis yang tidak melulu konsentris dan merata. Konsekuensi sosial, kultural, ekonomi, dan politik perkotaan merupakan peristiwa penting yang mewarnai konsensus zamannya. Panggung kehadiran kota sebagai wilayah, memiliki impak yang besar terhadap masyarakat (Dieter Evers: 2002). Lanskap perkotaan saat ini mencitrakan kekuatan generasi universalisme. Menampakkan konsepsi ruang-ruang yang seragam dalam gelagat taktik ekonomi transnasional. Gedung-gedung kotak menjulang menengadah pada langit, menengarai kesibukan kinetis dan kerja-kerja mekanik. Gerai-gerai pertokoan, etalase-etalase
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
dalam mal-mal yang sejuk dan lapang, juga sajian kuliner yang beraneka ragam. Kota menjadi manifestasi dunia yang dimampatkan. Menjadi garis-garis labirin spasial dunia. Koneksi inter subyektif sosial politik dalam-kota-kota peradaban (Dieter Evers: 2002). Akan tetapi, tampak pula kontradiksi kultural dalam perkembangannya. Semangat lokal dalam nuansa global terjadi pula di kota. Kolong-kolong sosial yang diciptakan terbatas dan parsial, setidaknya, secara simbolik, dapat terbaca bahwa terdapat ruang-ruang yang dibatasi kelas sosial, kultural maupun politik. Ambil contoh permukiman sebagai ukuran simbolik kelas sosial tertentu. Cermin yang tepancar adalah ruang-ruang yang gaduh sekaligus sepi. Gaduh dalam keberagaman lokal, sepi dalam simponi kebersamaan kelas sosial. Kondisi ini dipicu oleh perkembangan kota itu sendiri, baik dari paradigma struktural mengenai masalah tata ruang serta konsep sebuah kota modern dan pascamodern yang melampaui nilai etis humanisme. Selain itu perlu juga mencermati sebentuk kehadiran dinamika kultural, politik identitas, dan struktur sosial ekonomi yang terjadi (Prinsen : 1999) Kondisi yang centang-perenang seperti itu tak ketinggalan ditingkahi oleh padatnya laju migrasi dan pergerakan penduduk. Sehingga kota lalu berubah menjadi magnet bagi wilayah-wilayah sekitarnya. Kota bergerak ke masa depan menjadi moda ekonomi yang krusial bagi kehadiran negara-bangsa. Kota menjadi pusat laju perekonomian suatu negara lewat ‘modus operandi’, menunjukkan representasi dari kehadiran dunia global, menawarkan keragaman dan gairah kosmopolitan yang serba
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
mungkin. Dorongan fenomena global yang menggurita mengakomodasi hal-hal tersebut terwujud (Prinsen : 1999). Pergolakan perkotaan ala Indonesia sebagai representasi negara dunia ketiga membangun kotanya dengan kearifan yang khas. Walaupun tetap ada tarik ulur atas serbuan mondial dari peradaban sekarang. Sejarah pembentukan kota tampaknya menjadi komponen penting pembicaraan mengenai kota. Secara konseptual, kota memiliki penjelasan atas setiap konteksnya. Dengan analisis Marxian, Manuel Castells, gemas memaparkan kota yang terbentuk atas landasan sistem ekonomi. Menurutnya, awal mula kota terbentuk akibat dari adanya teknologi dan jaringan rel kereta api. Transformasi perkembangan kota terpola atas dorongan industri. Hal tersebut bisa menjelaskan konsentrasi teritorial maupun kultural karena dua hal penting dari sistem industri: tenaga kerja dan produksi (Prinsen : 1999). Pertentangan antara kota dan desa, awal mulanya bukan sesuatu hal yang harus dibesar-besarkan. Sifatnya komplemen (saling melengkapi). Kota acapkali merupakan tempat raja bersemayam, teritori dimana tidak lagi dijumpai sawahsawah, tempat peribadatan, pusat perdagangan. Dua hal, desa dan kota, merupakan sebentuk kehidupan yang utuh dan saling melanjutkan. Namun ketika muncul gairah produksi ala modern, cara pandang dan gaya hidup berubah. Di era industri (produksi) manusia hanya unsur dari gegap sistem produksi:tenaga kerja. Hanya salah satu dari alat produksi yang lain seperti modal, SDA, teknologi dll (Prinsen : 1999).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Lain halnya dengan kehidupan sebelumnya yang menyebut manusia adalah sesama, keluarga, tetangga dan saudara. Dari sinilah dikotomi kota dan desa mulai muncul. Klasifikasi termasyhur Ferdinand Tonnies, membentangkan kota dan desa menjadi pengertian gamaenschaft dan gesselschaft. Penjelasan klasik yang popular untuk memaparkan definisi desa, kota di dunia ketiga (Ferdinand : 1992) Kota dalam pengertian fisik maupun segala kulturnya terutama dalam masyarakat bercorak agraris, cikal bakal kota-kota besar di Pulau Jawa, kemudian berkembang pesat, kendati sering kali tertatih-tatih dan pada satu waktu melompatlompat. Tertatih-tatih karena ia mengalami kolonialisasi dan feodalisasi dalam suatu kurun waktu (dan berulang-ulang dalam berbagai modus dan wujud), dan mengalami lompatan ketika modernitas telah mengalir deras ke sana. Modernitas, yang diawali dari bergesernya pemahaman yang kosmosentris ke antroposentris, kemudian secara sekaligus telah mengangkut pelbagai fasetnya: rasional, fungsional, efektif, dan seterusnya. Ia kemudian menciptakan suatu wilayah yang tertata, terprediksi, terkontrol. Ia mengatur yang privat dan yang publik, mewujudkan suatu lingkup administratif, merapikan segala sesuatu yang tadinya karut marut. Dan, tentu saja, memperkenalkan dan menempatkan moda-moda ekonomi sebagai faktor yang begitu determinan (Ferdinand : 1992).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.1.1. Pemukiman Globalisasi, yang mencita-citakan kesadaran manusia seluas dunia menjadi tumpul. Perubahan dan kemajuan yang dibawa rupanya telah memancing kerinduan akan sebuah keintiman. Keintiman akan kenyamanan nilai lokalitas yang coba dimunculkan kembali. Sebentuk lokalitas baru yang memunculkan sebuah konsep integritas: terkhusus masyarakat berpagar. Kondisi ini dipicu oleh perkembangan kota itu sendiri, baik dari paradigma struktural mengenai masalah tataruang serta konsep sebuah kota modern dan postmodern hingga kultural mengenai masalah identitas, interaksi, dan tindakan sosial (Mubyarto : 1994). Pemukiman merupakan masalah yang tak kunjung memperoleh penyelesaian. Bagaimana mewujudkan standar pemukiman yang manusiawi tetap tak lebih menjadi sebuah keinginan tak terwujudkan. Di perkotaan, pemukiman ini menjadi persoalan vital dan terus menuai ganjalan. Laju modernisasi dan urbanisasi telah menuntut kota, untuk terus dapat menaungi para penghuninya. Seperti yang sudah dijelaskan di muka, perkembangan kota-kota modern telah memunculkan konsep integrasi baru dan diantaranya melahirkan masyarakat barpagar: komunitas sosial terbatas yang dibatasi oleh pagar atau tanda/batas fisik yang lain. Keterbatasan lahan, kemacetan transportasi, kesibukan, dan yang muncul kemudian adalah gedung-gedung menjulang ke langit, apartemen-apartemen mewah, rumah-rumah yang ditumpuk ke atas lengkap dengan fasilitas-fasilitas yang berlokasi di jantung kota.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Seiring dengan kamajuan kota maka persoalan pemukiman semakin kompleks dengan segala permasalahannya. Banjir merupakan salah satu contoh kasus yang sering terjadi di Kota-Kota Besar di Indonesia. Dengan demikian, persoalan banjir sebenarnya terkait dengan persoalan fungsi sungai. Banyak sekali dijumpai bahwa sungai tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Melainkan sungai telah menjadi tempat sampah yang panjang dan praktis bagi masyarakat perkotaan. Sehingga harus ada upaya untuk melakukan normalisasi terhadap fungsi sungai. Untuk melakukan normalisasi tersebut sangat erat kaitannya dengan implikasi yang ditimbulkan dari normalisasi sungai tersebut. Sehingga, selanjutnya kita akan mendefinisikan terlebih dahulu tentang implikasi dari sebuah kebijakan.
2.1.2. Implikasi Dalam setiap setiap perumusan kebijakan apakah itu menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan dan kemudian dapat dirasakan implikasinya. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa menghasilkan implikasi yang jelas, maka tidak akan banyak berarti bagi masyarakat. Merujuk secara etimologis terminologi implikasi adalah suatu hasil atau keadaan yang dapat dilihat dan dirasakan (Kamisa, 1997:241). Burhani juga mengatakan bahwa implikasi merupakan hasil akhir dari suatu kebijakan atau program yang telah dilaksanakan (Burhani, 2005:207).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Selanjutnya pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn (Peter F.Drucker,1075) yang mengemukakan bahwa: “Implikasi sebagai hasil dari tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat maupun kelompok-kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu kebijakan.” Standar dan sasaran kebijakan didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang krusial dalam analisis Implikasi kebijakan. Indikator-Indikator pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran Dasar dari tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Sumber daya layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implikasi kebijakan yang tepat guna. Sumber daya yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang (insentive). (Winarno,2002:110). Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan akan mendukung implikasi yang efektif. Dengan demikian, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar kepada kejelasan ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan, ketepatan komunikasinya dengan para pelaksana, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi (Winarno,2002:111). Karakteristik badan-badan pelaksana juga mempengaruhi pencapaian kebijakan. Menurut Van Meter Van Horn. Pembahasan ini tidak bisa lepas dari
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karateristik, norma-norma dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dan badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial mapun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dan model ini terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari para personil (Winarno,2002:116). Sedangkan menurut Edward III dalam Winarno, implikasi adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Menurut Winarno ada empat faktor atau variable krusial dalam implikasi kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabelvariabel tersebut adalah komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan, dan struktur birokrasi (Winarno,2002:126). Menurut Edward persyaratan pertama bagi tercapainya implikasi yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Secara umum Edward membahas tiga hal penting dalam proses
komunikasi
kebijakan,
yaitu,
transmisi,
konsistensi,
dan
kejelasan
(Winarno,2002:126). Faktor pertama yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah transmisi. Sebelum pejabat dapat meng-implikasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan (Winarno,2002:126).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Faktor kedua yang dikemukakan Edward III adalah kejelasan. Jika kebijakankebijakan diimplikasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksana tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan, tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Sering kali instruksi-instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak menetapkan kapan dan bagaimana suatu program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan komunikasi
yang
disampaikan berkenaan dengan implikasi kebijakan, akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna peran awal (Winarno,2002:128). Faktor ketiga yang berpengaruh terhadap komunikasi kebijakan adalah konsistensi. Jika implikasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintahperintah pelaksanaan harus konsistensi dan jelas.Walaupun perintah-perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi yang lain, perintahperintah implikasi kebijakan yang tidak konsisten akan mendorong para pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam menafsirkan dan meng-implikasikan kebijakan (Winarno,2002:129). Implikasi yang efektif dapat terjadi menurut Grindle ditentukan oleh pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan yang telah diputuskan atau ditetapkan oleh para pengambil keputusan. Langkah ini tidak berhenti sampai disini, karena
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
konsistensi antara pembuat keputusan dan para pekerja atau pelaksana keputusan dilapangan juga memiliki peran yang teramat penting dalam hal melahirkan implikasi yang tepat guna dan berdaya guna (Wibawa dkk,1994 :32). Ide Dasar Grendel adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan menjadi program aksi maupun proyek individual dan biaya telah disediakan, maka kebijakan dilaksanakan. Tetapi ini tidak berjalan mulus, tergantung pada implementability dari program itu yang dapat dilihat daripada isi dan konteks kebijakannya (Wibawa dkk,1994 :32). Isi kebijakan mencakup : pertama, kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan. Kedua, jenis manfaat yang akan dihasilkan. Ketiga, derajat perubahan yang diinginkan. Keempat, kedudukan pembuat kebijakan. Kelima, siapa pelaksana program. Keenam, sumber daya yang dikerahkan (Wibawa dkk.1994:22). Yang dimaksudkan oleh Grindle dengan konteks kebijakan adalah pertama, kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat. Kedua, karakteristik lembaga dan penguasa. Ketiga, kepatuhan serta daya tanggap pelaksana (Wibawa dkk,1994:24). Sementara Winarno mengatakan bahwa dalam rangka melaksanakan suatu program atau kebijakan yang harus dijalankan sehingga akan memiliki implikasi yang memuaskan
dimasyarakat,
terdapatnya
konsistensi
antara
keputusan
dan
implementasi di lapangan. Suatu kebijakan harus terencana dengan baik sehingga mempunyai implikasi atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2002:101).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Kemudian dalam merumuskan suatu kebijakan perlu dilakukan proses penyusunan kebijakan publik agar dalam menerapkan kebijakan tersebut benar-benar bermanfaat dan berguna bagi pembangunan dan masyarakat khususnya sebagai implikasi dari kebijakan tersebut.
2.2. Proses Penyusunan Kebijakan Publik Proses sebuah kebijakan publik itu terlahir dari beberapa tahapan-tahapan atau langkah-langkah mekanisme pembuatan sebuah kebijakan. 1. hal yang pertama sekali ada adalah gejala atau isu yang menjadi masalah publik, disebut isu apabila masalahnya bersifat strategis, yakni bersifat mendasar, menyangkut banyak orang atau bahkan keselamatan bersama, biasanya berjangka panjang, tidak bisa diselesaikan oleh orang seorang dan memang harus diselesaikan. Isu ini diangkat sebagai agenda politik untuk diselesaikan 2. Isu ini kemudian menggerakkan pemerintah untuk merumuskan kebijakan publik dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut. Rumusan kebijakan ini akan menjadi hukum bagi seluruh negara dan warganya termasuk pimpinan negara. 3. Setelah dirumuskan kemudian kebijakan publik ini dilaksanakan baik oleh pemerintah, masyarakat, atau pemerintah bersama-sama dengan masyarakat.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
4. Namun dalam proses perumusan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan, diperlukan tindakan evaluasi sebagai sebuah siklus baru sebagai penilaian apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan dengan baik dan benar dan implikasinya apakah telah seperti yang diharapkan, terlaksana dengan baik dan benar. 5.
Implikasi kebijakan bermuara kepada out put (hasil) yang dapat berupa kebijakan itu sendiri maupun manfaat langsung yang akan dapat dirasakan oleh pemanfaat.
6. Di dalam jangka panjang kebijakan tersebut menghasilkan out come dalam bentuk implikasi kebijakan yang diharapkan semakin meningkatkan tujuan yang hendak dicapai dengan kebijakan tersebut. Dalam melihat hal di atas ada 3 hal yang pokok berkenaan dengan kebijakan publik yaitu : perumusan kebijakan, implikasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Namun yang menjadi perhatian dalam pembahasan penelitian ini adalah bagaimana implikasi suatu kebijakan terhadap objek yang terkena kebijakan tersebut.
2.2.1. Implikasi Kebijakan Implikasi kebijakan merupakan tahapan dimana kita dapat melihat hasil dari sebuah kebijakan yang telah dijalankan. Dengan demikian program tersebut untuk kemudian dapat dievaluasi untuk mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dari program yang telah dikerjakan. William N.Dunn (1988;24-25)
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
menganjurkan bahwa disetiap tahap proses kebijakan publik, termasuk tahapan implikasi kebijakan penting dilakukan analisa. Analisa disini tidak identik dengan evaluasi, karena tahapan penyusunan agenda (Policy Agenda) hingga Policy Evaluation sudah harus dilakukan analisa. Ungkapan Dunn yang terkenal adalah; ”lebih baik perumusan masalah publik benar tetapi pelaksanaan salah, daripada perumusan masalah keliru tapi pelaksanaannya benar”. Hal ini memberi arti penting kesinambungan tahapan kebijakan, termasuk implikasi yang tepat bagi proyek pembangunan untuk kepentingan publik yang memang telah ter-agresi berdasarkan kebutuhan faktual masyarakat (need for assessment), sehingga persoalan-persoalan publik (public problems) mendapatkan solusi yang tepat. Seperti dimaklumi bahwa kebijakan publik pada dasarnya merupakan suatu proses yang kompleks yang berangkat dari tahap pendefenisian masalah hingga eveluasi implikasi kebijakan. Oleh karena itu, implikasi kebijakan merupakan salah satu tahap sejak dari sekian tahap kebijakan publik. Hal ini berarti bahwa Implikasi kebijakan hanya merupakan salah satu variable penting yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kebijakan di dalam memecahkan persoalan-persoalan publik. Van Meter dan Van Horn (Winarno :2002) membatasi impelementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan individu-individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan
yang
telah
ditetapkan
dalam
keputusan-keputusan
kebijakan
sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahanperubahan besar dan kecil yang telah ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan. Perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap implikasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusankeputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap implikasi terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai pelaksanaan kebijakan tersebut, dan program telah selesai dilaksanakan. Model
proses implikasi
yang diperkenalkan Van Meter van Horn tidak
dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan apa yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai implikasi substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin memiliki implikasi yang efektif, tetapi gagal memperoleh implikasi substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.2.2. Perspektif Teoritik Implikasi Kebijakan Biasanya pembicaraan awal mengenai kerangka kerja teoritik berangkat dari kebijakan itu sendiri, dimana tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan. Disinilah proses implikasi bermula. Proses implikasi akan berbeda-beda tergantung pada sifat kebijakan yang dilaksanakan. Macam-macam keputusan yang berbeda akan menunjukkan karakteristik, struktur-struktur dan hubungan-hubungan antara faktorfaktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan publik sehingga proses implikasi juga akan mengalami perbedaan. Suatu implikasi akan sangat berhasil bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus tujuan adalah tinggi. Sebaliknya, bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus tujuan rendah maka prospek implikasi yang efektif akan sangat diragukan. Disamping itu, kebijakan-kebijakan perubahan besar/konsensus tinggi diharapkan akan memperoleh implikasi lebih efektif daripada kebijakan-kebijakan yang mempunyai perubahan kecil dan konsensus rendah. Dengan demikian, konsensus tujuan akan diharapkan pula mempunyai implikasi yang besar pada proses implikasi kebijakan daripada unsur perubahan. Dengan saran-saran atau hipotesis-hipotesis seperti ini akan mengalihkan kepada penyelidikan terhadap faktor-faktor atau variable-variabel yang tercakup dalam proses implikasi menjadi suatu hal yang penting untuk dikaji.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.3. Manajemen Proyek Pengelolaan yang dikenal sebagai , “Managemen Proyek“ adalah salah satu cara yang ditawarkan untuk maksud tersebut, yaitu suatu metode pengelolaan yang dikembangkan secara intensif sejak pertengahan abad 20 untuk menghadapi kegiatan khusus yang berbentuk proyek. Penjabaran manajemen proyek bisa digambarkan dari kegiatan-kegiatan, identifikasi objek yang akan dikelola, yaitu kegiatan proyek, membahas konsep pengelolaan yang akan dipakai ialah manajemen proyek, menjabarkan konsep di atas menjadi metode, teknik dan tata laksana, mengkaji kelayakan sebelum memutuskan untuk mewujudkan suatu gagasan menjadi bentuk fisik, menyiapkan dan menyediakan perangkat dan peserta, dan implikasi fisik di lapangan (Hessel, 2003:100). Manajemen proyek dalam artian ini dibedakan dari manajemen sistem administratif, dan hal ini berhubungan dengan perlakuan (exercise) dari tanggungjawab langsung bagi produk akhir organisasi yakni pembangunan dan pemberlakuan perundang-undangan publik. Dalam hal ini adalah normalisasi sungai Sei Badera yang masuk dalam fasilitas atau sarana dan prasarana umum.(Hessel, 2003:101). Manajemen proyek memiliki peran yang cukup penting. Apalagi proyek yang dikerjakan memiliki nilai penting terhadap publik, tentunya mendapatkan perhatian yang cukup luas dari publik atau seluruh stakeholder yang terlibat baik secara langsung atau tidak. Peran manajemen proyek akan hampir selalu mendesak dalam
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
pengawasan dikarenakan interpretasi dan defenisi kebutuhan publik. Hal ini merupakan titik awal dasar bagi disain program publik dan untuk defenisi sasaran (goals) dan tujuan (objectives) jangka panjang dan bahkan tujuan jangka pendek (Hessel, 2003:102).
2.4. Perencanaan dan Pembiayaan Daerah Perencanaan pembangunan meliputi juga lingkup regional atau daerah. Daerah dapat diartikan dari sudut politik maupun ekonomi. Dari sudut politik, daerah merupakan wilayah dalam suatu negara yang dibagi secara administratif. Dari sudut ekonomi, daerah merupakan wilayah dengan masalah-masalah sosial dan ekonomi yang diakibatkan oleh kondisi alam, kesuburan tanah, iklim dan lain sebagainya. Perencanaan daerah sebagai bagian dari suatu negara dapat diartikan sebagai (1) Perencanaan kota, daerah metropolitan atau wilayah yang mempunyai otoritas tersendiri, misalnya otorita Batam (2) Perencanaan yang meliputi beberapa daerah yang mempunyai kondisi hampir bersamaan (3) Perencanaan pembangunan proyekproyek yang berlokasi di daerah dengan tujuan mengurangi ketimpangan pada masing-masing daerah tersebut. Pembangunan daerah merupakan semua kegiatan pembangunan termasuk maupun yang tidak termasuk urusan rumah tangga daerah yang meliputi berbagai sumber pembiayaan, baik yang berasal dari pemerintahan (APBD, APBN, LOAN
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
atau dana bantuan luar negeri) atau mungkin dana yang bersumber dari partisipasi masyarakat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dibiayai oleh : (a) Pemerintah pusat sebagai pelaksana asas dekonsentrasi (b) Pemerintah Propinsi, pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana asas desentralisasi atas tugas bantuan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat termasuk: (a) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), (b) Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau kegiatan masyarakat lainnya. Pembangunan yang merupakan kewajiban pemerintah daerah dibiayai dari sumber Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menggambarkan kemampuan daerah dalam memobilisasi potensi keuangannya. Apabila penerimaan dari sumber daerah cukup besar maka berarti pula mengurangi ketergantungan daerah yang bersangkutan terhadap pusat. Disamping besarnya APBD suatu daerah juga akan berarti besar pula tingkat pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat.
2.5.
Implikasi Kewenangan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pemerintah Pusat dalam Penyediaan Prasarana Wilayah
Pada dasarnya, setelah diundangkan melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999, semua
kewenangan pemerintah diserahkan kepada daerah otonom
kabupaten/kota, kecuali 5 bidang yaitu, bidang pertahanan, bidang agama, moneter,
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
peradilan, dan politik luar negeri. Oleh karena itu, tugas-tugas yang sebelumnya ditangani oleh berbagai departemen sekarang diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, terutama tugas-tugas teknis atau pelaksanaan. Disamping itu, ada kewenangan bidang lain yang meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi yang strategis, konservasi dan dan standardisasi nasional. Kewenangan-kewenangan yang diatur dalam pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 itu, kemudian dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom. Kewenangan itu tidak didasarkan pada tugas-tugas departemen, tetapi dikelompokkan dalam bentuk bidang kegiatan. Oleh karena itu, bila terjadi penghapusan atau penggabungan suatu departemen, fungsi itu tetap ada mesti pengelolaannya berbeda.
2.5.1. Kewenangan Kabupaten/Kota Wewenang daerah otonom ini tidak dijabarkan dalam UU maupun PP, karena selain hal-hal yang dikecualikan sebagaimana tersebut di atas adalah menjadi wewenang kabupaten. Karena tidak ada ketentuan yang bisa dipedomani untuk menentukan jumlah urusan di kabupaten/kota, maka masing-masing daerah otonom berwenang merancang sendiri tugas-tugas yang dilaksanakan dalam bidang sarana
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
dan prasarana. Hal ini tergantung pada kebutuhan,kemampuan dan sumberdaya yang terserdia di masing-masing daerah .
2.5.2. Kewenangan Provinsi Tugas-tugas di bidang penyediaan sarana dan prasarana wilayah oleh propinsi pada umumnya bersifat lintas kabupaten, sehingga banyak tugas-tugas dinas propinsi yang harus dikoordinasikan agar terjalin keserasian hubungan dan keseimbangan dalam pertumbuhan pembangunan. Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 tahun 2000 merinci tugas-tugas propinsi menyangkut bidang pekerjaan umum sebagai berikut: 1. Penetapan standart pengelolaan sumberdaya air permukaan lintas kabupaten. 2. Pemberian izin pembangunan jalan bebas hambatan lintas kabupaten/kota. 3. Penyediaan dukungan/bantuan untuk kerjasama antar kabupaten/kota dalam pengembangan
prasarana
dan
sarana
wilayah
yang
terdiri
atar,pengairan,bendungan,jalan dan jembatan beserta simpul-simpulnya serta jalan bebas hambatan. 4. Penyediaan dukungan/bantuan untuk pengelolaan sumberdaya air permukaan, pelaksanaan eksploitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi dan drainase lintas kabupaten/kota beserta bangunan-bangunan pelengkapnya. Mulai dari bangunan pengambilan sampai pada saluran percontohan sepanjang 50 meter, dan bangunan sadap.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
5. Perijinan untuk mengadakan perubahan/pembongkaran bangunan-bangunan dan saluran jaringan, serta sarana dan prasarana pekerjaaan umum yang lintas kabupaten/kota. 6. Perijinan untuk mendirikan, mengubah maupun membongkar bangunan, bangunan lain, selain yang dimaksud pada angka 5, termasuk yang berada di dalam,di atas maupun yang melintasi saluran irigasi. 7. Pelaksanaan pembangunan dan perbaikan jaringan utama irigasi lintas kabupaten/kota beserta bangunan pelengkapnya. 8. Penyusunan rencana penyediaan air irigasi. Di luar tugas-tugas tersebut tentu saja propinsi dapat menangani tugas-tugas pada bidang yang sama yang tidak/belum mampu ditangai oleh kabupaten/kota tertentu seperti ketidakmampuan penyediaan dana yang cukup besar jumlahnya. Tetapi dengan syarat adanya penyerahan wewenang dari kabupaten/kota dan dengan persetujuan DPRD, Gubernur atau Presiden.
2.6. Normalisasi Sei Badera Normalisai sungai adalah menormalisasi kondisi sungai ke kondisi semula dengan bentuk yang berbeda maksudnya bahwa apabila kondisi sungai sekarang baik dilihat dari kedalaman sungai, penampang sungai sudah tidak dapat lagi menampung atau menahan arus air sungai sehingga terjadi peluapan air atau bahkan mungkin mengakibatkan
banjir
di
sepanjang
daerah
aliran
sungai,
untuk
itulah
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
dinormalisasikan dengan membuat atau mengkondisikan kedaaan kedalaman sungai atau perbaikan penampang sungai seperti kedaan sungai semula atau sebelumnya walaupun dalam bentuk yang berbeda. Sei Badera adalah salah satu anak ranting sungai yang berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan yang mengalir melalui daerah Helvetia ke Kecamatan Medan Marelan menuju Sungai Belawan. Sei Badera yang mempunyai panjang 11.80 Km.selama ini kondisinya tidak sesuai dengan sungai-sungai yang dapat menampung banyak debit air ataupun menahan arus sungai yang datangnya dari hulu sungai yang diakibatkan curah hujan yang lebat atau bahkan banjir kiriman dari sungai-sungai yang ada dihulu sungai Sei Badera. Di sepanjang aliran sungai Sei Badera terdapat daerah-daerah pertanian yang produktif
dan juga jumlah penduduk yang cukup
banyak. Menurut E.Walter Coward Jr.(Michael M.Chernea 1988:31) Proyek – proyek yang merehabilitasi atau memperbaiki suatu sistem yang harus bertolak dari suatu pengertian yang komprehensif mengenai aparat fisik dan organisasi sosial yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan irigasi. Dari pengertian ini harus muncul suatu analisis yang lebih tajam mengenai masalah-masalah irigasi yang memerlukan perhatian dan suatu strategi untuk Implikasi yang mengandalkan sumberdaya lokal yang ada (termasuk pengetahuan dan pengalaman dan kapasitas bersama) dan perubahan yang diinginkan mengenai keadaan tersebut.
Kemudian beliau juga
menyebutkan suatu proyek harus memperhatikan bagaimana pengaturan sosial yang
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
akan datang tersirat atau tersurat didalam rencana atau dokumen proyek, dan juga dalam bentuk formal dan informal, dikuasai oleh staf dinas atau tidak, memerlukan tindakan perorangan atau bersama dan sebagainya, yang terpenting pengaturan yang akan datang, mungkin atau tidak mungkin bertentangan dengan pola sosial pra proyek. Michael M.Cernea (1988:3) menyatakan,”Mengutamakan manusia,” dalam proyek-proyek pembangunan dapat dipandang sebagai keinginan yang manusiawi dari para perencanaan, dimana dalam suatu proyek pembangunan prioritas faktor Dasar harus sangat diperhatikan dalam kegiatan tersebut. Dan dalam setiap kegiatan dalam proyek-proyek pembangunan berarti memberikan manusia lebih banyak peluang dan berperan secara efektif dalam kegiatan pembangunan,”. Proyek-proyek pembangunan
merupakan
usaha
berencana
pembangunan ekonomi. Akan tetapi seringkali
dengan
tujuan
mempercepat
kehidupan masyarakat dilupakan
dalam sebuah perencanaan untuk pengambilan suatu keputusan pelaksanaan pembangunan, apalagi para tehnokrat dalam melakukan perencanaan pembangunan tidak mau melibatkan para ilmuan sosiologi, karena mereka menganggap yang lebih diutamakan adalah implikasi pembangunan ekonominya bagi masyarakat bukan masalah yang akan timbul setelah beberapa waktu setelah pembangunan suatu proyek dilakukan. Maka sering kita lihat cenderung suatu proyek pembangunan menciptakan kantung-kantung (enclaves), mengalihkan sumberdaya dari kegiatan kegiatan non proyek yang paralel, dan mungkin tidak menghasilkan pembangunan yang langgeng
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
diluar jangka waktu yang terbatas. Mengutamakan manusia dalam pembangunan adalah memberikan manusia lebih banyak peluang untuk berperan aktif dalam kegiatan pembangunan seperti; dengan mengawasi kegiatan yang mempengaruhi setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan,kemudian bagaimana mewujudkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pelaksanaan pembangunan serta bagaimana sosial planner mengidentifikasi variable-variabel sosial dan merumuskannya dalam kegiatan operasional proyek. Menurut sejarah, pintu masuk pertama bagi ilmu sosial adalah evaluasi hasilhasil pembangunan oleh sosiologi dikonsultasi untuk menilai apakah program atau proyek tertentu telah benar-benar mencapai seluruh tujuannya dan cepat mengamati akibat-akibat baik dan buruknya. Kecamatan Medan Marelan adalah daerah yang paling panjang dilalui oleh aliran Sei Badera dan merupakan daerah yang paling banyak terkena implikasi dari banjirnya sungai tersebut. Apalagi kalau kita melihat tingginya tingkat urbanisasi penduduk ke Kecamatan tersebut yang tentunya pasti terkena implikasi langsung dari akibat banjir yang sering melanda di daerah tersebut terutama masalah sosial dan perekonomian masyarakatnya.
2.7. Pembangunan Masyarakat Berbagai
interpretasi
dan
defenisi
yang
berkenaan
dengan
istilah
pembangunan masyarakat dalam pengertian adanya usaha mengembangkan atau
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
menaikkan kualitas hidup masyarakat (community). Pembangunan masyarakat yang melibatkan berbagai jenis kegiatan, pada dasarnya ditujukan guna menaikkan standar hidup serta mengembangkan taraf hidup (sosial ekonomi) pada suatu masyarakat. Bebarapa program dalam rangka pelaksanaan pembangunan cenderung untuk memusatkan perhatian pada komunitas yang memiliki potensi sangat terbatas untuk perkembangan ekonominya atau komunitas-komunitas dengan berbagai masalahmasalah pembangunan yang dimilikinya. Pendekatan pembangunan masyarakat adalah penekanan pada penyatuan masyarakat sebagai suatu kesatuan (Brokensha, 1982:122). Aspek khusus dalam perubahan sosial yang menjadi pemikiran pokok pada berbagai program pembangunan masyarakat adalah adanya ketimpangan baik di dalam maupun diantara komunitas-komunitas tersebut. Hal ini terlihat jelas pada kenyataan bahwa pembangunan masyarakat cenderung untuk lebih aktif pada komunitas-komunitas yang belum atau perlu mendapat perhatian pembangunan, seperti wilayah pedesaan yang amat kecil
kemungkinan untuk
mencapai
pertumbuhan ekonomi yang sehat, serta daerah pemukiman daerah yang berpenghasilan rendah. Secara teoritis, masukan dalam program pembangunan masyarakat memang dibuat guna mendorong dan merancang inisiatif dan usaha lokal dan juga membentuk perolehan bantuan-bantuan teknis, keuangan serta bentukbentuk bantuan lainnya yang sekiranya dibutuhkan oleh komunitas yang bersangkutan (Brokensha, 1982:124).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Telah banyak dilakukan usaha untuk mengklasifikasikan program-program pembangunan masyarakat ke berbagai tipe yang berbeda berdasarkan beberapa kriteria, seperti misalnya luasnya cakupan program, organisasinya serta ruang lingkup program. Klasifikasi semacam ini cenderung untuk menjadi rumit karena terdapat sedemikian banyaknya kegiatan dalam kegiatan pembangunan masyarakat. Sehingga nilai program tersebut sangatlah terbatas. Namun kiranya perlu kita bedakan tipe-tipe pokok program pembangunan masyarakat yang dikoordinasikan oleh suatu departemen
pemerintah
yang
khusus
bertanggungjawab
atas
pembangunan
masyarakat (Brokensha,1982:125). Defenisi pembangunan masyarakat dari beberapa versi setelah melalui studi dari berbagai kajian tentang pembangunan diberbagai negara. Pembangunan masyarakat dalam arti yang sangat terbatas pada usaha pembangunan komunikasi dan perbaikan cara berproduksi. Pembangunan masyarakat dapat dipahami dalam arti luas dan dapat dari arti sempit (lebih khusus). Dalam arti luas pembangunan masyarakat berarti perubahan sosial berencana, dalam arti ini sasaran pembangunan masyarakat adalah perbaikan dan peningkatan bidang ekomomi, teknologi bahkan politik dan sosial. Dalam arti sempit, pembangunan masyarakat berarti perubahan sosial berencana lokalitas tertentu seperti kampung, desa, kota kecil atau kota besar. Pembangunan masyarakat dalam arti sempit ini dikaitkan dengan berbagai aspek atau program yang langsung berhubungan dengan upaya pemenuhan kebutuhan dan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
pengurusan kepentingan lokalitas atau masyarakat setempat sepanjang mampu dikelola oleh masyarakat setempat itu sendiri (Brokensha, 1982:127). Defenisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah defenisi yang ditetapkan oleh PBB tahun 1956. Pembangunan masyarakat atau pembangunan komunitas adalah suatu proses, baik ikhtiar masyarakat yang bersangkutan yang diambil berdasarkan prakarsa sendiri, maupun kegiatan pemerintah, dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan kebudayaan berbagai komunitas, mengintegrasikan berbagai komunitas itu kedalam kehidupan bangsa, dan memampukan mereka untuk memberikan sumbangan sepenuhnya demi bangsa dan negara yang berjalan secara terpadu di dalam proses tersebut. Proses tersebut meliputi dua elemen besar, yaitu : Pertama, partisipasi masyarakat itu sendiri dalam rangka usaha mereka untuk memperbaiki taraf hidup mereka sedapat-dapatnya berdasarkan kekuatan dan prakarsa sendiri, dan Kedua, bantuan dan pelayanan teknis yang bermaksud membangkitkan prakarsa, tekad untuk menolong diri sendiri dan kesediaan membantu orang lain dari pemerintah. Proses tersebut dinyatakan di dalam berbagai program yang dirancang untuk melancarkan perbaikan terhadap berbagai proyek-proyek khusus. Program tersebut biasanya menyangkut kepentingan umum komunitas setempat, karena mereka mempunyai kepentingan yang sama.Adapun urusan yang lain yang bersifat khusus atau kepentingan kelompok,ditangani oleh kelompok fungsional yang melakukan halhal yang tidak merupakan kepentingan umum komunitas.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Berhasil tidaknya pembangunan pada umumnya bergantung pada beberapa faktor seperti tenaga ahli, pendanaan, informasi, peralatan, partisipasi
dan
kewenangan yang sah (Katz,1969:213). Kendatipun ada beberapa faktor namun dinegara-negara sedang berkembang faktor pemerintahlah yang terpenting, karena pemerintah yang berperan menggali, menggerakkan dan mengkombinasikan faktorfaktor tersebut, dengan kata lain pemerintah yang memegang peranan sentral dalam pembangunan nasionalnya yaitu dalam menetapkan kebijakan umum (policy) dan melaksanakannya. Telah banyak dilakukan usaha untuk mengklasifikasikan program-program pembangunan masyarakat ke berbagai tipe yang berbeda-beda berdasarkan beberapa kriteria-kriteria, seperti misalnya luas cakupan program, organisasi serta lingkup program. Klasifikasi semacam ini cenderung untuk menjadi rumit karena terdapat sedemikian banyaknya kegiatan dalam pembangunan masyarakat, sehingga nilai program tersebut sangat terbatas. Namun kiranya perlu kita bedakan tipe-tipe pokok program pembangunan masyarakat yang dikoordinasikan oleh suatu departemen pemerintah yang khusus bertanggungjawab atas pembangunan masyarakat. Pembangunan masyarakat (community development) merupakan salah satu diantara gerakan sosial yang paling berperan dalam perubahan sosial. Para ahli pembangunan masyarakat mengidentifikasikannya sebagai proses, metode, program dan gerakan sosial artinya bahwa perubahan sosial yang baik adalah perubahan sosial yang berencana. Perubahan sosial yang berencana memberikan kesempatan yang luas
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
kepada setiap kelompok dan lapisan masyarakat untuk berperan di dalamnya. Sebagai suatu metode, pembangunan masyarakat tidak saja bermaksud membina hubungan kehidupan setiap orang untuk hidup dan bermasyarakat, melainkan juga membangun masyarakat karena setiap satuan masyarakat mempunyai kekuatan sendiri seperti kerukunan, keakraban, solidaritas dan kebersamaan (Brokensha, 1982:131). Suatu masyarakat bisa kehilangan kekuatannya jika masyarakat itu mengalami community disorganization. Untuk mangatasi hal tersebut community development atau pembangunan masyarakat dilancarkan (Brokensha, 1982:132). Masyarakat dalam konteks pembangunan masyarakat adalah masyarakat dalam arti community (komunitas) yang mempunyai dua arti yaitu pertama, sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal dilokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama. Kedua, sebagai satuan pemukiman yang terkecil. Sebagai realitas sosial, komunitas diidentifikasikan sebagai pemukiman kecil penduduk, bersifat mandiri (self contained) yang satu berbeda dengan yang lain (Robert Redfield, Taliziduhu Ndraha,1990:49) . Berbagai Karakteristik Komunitas yang ideal, kemandirian merupakan indikator terpenting sebagai suatu prasyarat utama bagi suatu masyarakat untuk berkembang lepas landas. Dilihat dari sudut ini, masyarakat yang dianggap dapat berfungsi sebagai subyek pembangunan ialah masyarakat yang mampu berkembang secara mandiri atau masyarakat mandiri (Dunham, 1962:94).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Secara konseptual masyarakat mandiri ialah masyarakat yang mampu mengendalikan atau mempengaruhi masa depannya sendiri. Konsep ini dapat dioperasionalkan menjadi beberapa indikator, yaitu: Pertama. Kemampuan masyarakat untuk mengusahakan, memelihara atas segenap sumber, asset dan sarana yang ada, baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Kedua. Kemampuan masyarakat untuk bangkit kembali dari keadaan jatuh atau mundur sebagai akibat kekeliruan yang pernah ditempuh. Ketiga. Kemampuan masyarakat untuk mengembangkan atau meningkatkan sumber, asset atau peralatan yang ada. Keempat. Kemampuan masyarakat untuk memberi respon positif terhadap setiap perubahan sosial yang berlangsung (Dunham, 1962:104) Pada umumnya masyarakat pembangunan komunitas bersifat komprehensif dan dijadikan bagian internal pembangunan nasional. Dalam hubungan ini pembangunan komunitas diperlakukkan sebagai metode dalam rangka mencapai tujuan nasional (Brokensha, 1982:152). Sebagai metode, pembangunan komunitas diharapkan menghasilkan tiga hal, Pertama. Kesatuan pemikiran dan tindakan antar instansi dan badan yang menyelenggarakan atau mengambil bagian dalam pembangunan komunitas, baik pemerintah maupun masyarakat swasta. Kedua. Perubahan cara berpikir dan cara hidup sosial dan ekonomi masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan. Ketiga. Pengembangan wilayah berdasarkan pendekatan tujuan (Brokensha,1982:155).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Walaupun demikian bahwa pembangunan komunitas dijadikan bagian pembangunan nasional. Peranan Pemerintah dalam kontek pembanguan msyarakat dimaksudkan sebagai aspek dinamis suatu lembaga atau peranan mewakili tata institusional (institusional order) suatu lembaga (dalam hal ini pemerintah). Semua peranan mewakili suatu lembaga secara menyeluruh tetapi ada beberapa diantaranya secara simbolis dapat dianggap mewakili lembaga yang bersangkutan secara total. Peranan seperti ini mempunyai makna strategis dalam masyarakat, sebab peranan tersebut tidak saja mewakili lembaganya sendiri melainkan juga merupakan faktor integratif antara seluruh lembaga. Peranan strategis disebut oleh Collin sebagai peranan dasar (basic roles). Perincian dan pelaksanaan peranan dasar inilah yang kemudian disebut sebagai peranan administratif (administrative roles) yaitu pola perilaku yang diharapkan dari atau yang telah ditetapkan oleh pemerintah selaku administrator disetiap jenjang pemerintah. Kendatipun kebijaksanaan umum pembangunan telah ditetapkan dan berbagai masukan telah tersedia, hal ini tidak berarti apa-apa jika administrasi tidak digerakkan atau jika administrasi yang digerakkan itu tidak berkemampuan (Ross, 1967:76). Pemberdayaan ekonomi harus memperhatikan lingkungan sehingga tidak terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dapat mengancam kerusakan lingkungan, demikian juga dengan bidang-bidang lainnya. Upaya mensinergikan dalam
kaitan
dengan
masalah-masalah
seperti
inilah
kadangkala
menjadi
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
pernasalahan
tersendiri.belum
lagi
dengan
upaya
mengkoordinasikan
dan
mengsinkronkan gerak internal lembaga-lembaga pemerintah dan sinergi eksternal dengan lembaga-lembaga non pemerintah merupakan hal yang sulit untuk dilaksanakan, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada,upaya-upaya tersebut sudah dicoba untuk dilaksanakan (Ross, 1967:98).
2.7.1. Pemberdayaan sebagai Program dan Proses Pembangunan
yang
bertumpu
pada
pertumbuhan
ekonomi
hanya
dimanfaatkan oleh wilayah, Sektor atau golongan ekonomi yang lebih siap dan lebih maju. Perbedaan dalam hal pemanfaatan ini akan mendorong munculnya perbedaan tingkat produktivitas dan kemajuan. Dalam lingkup yang lebih luas, ketidaksamaan dalam pendapatan kesempatan akan menyebabkan timbulnya masalah kesenjangan. Dalam menghadapi masalah seperti inilah, pemerintah perlu memberi perhatian khusus kepada wilayah, sektor dan golongan ekonomi yang kurang siap tadi. Penanggulangan masalah kesenjangan dan pemerataan pembangunan yang telah dilakukan melalui berbagai arah kebijakan pembangunan yang pada dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat (Brokensha, 1982:125). Berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keiginan mereka. Namun dalam kaitan pemberdayaan tersebut agent of change (agen
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
perubahan) yang menjalankan dan mempercepat perubahan atau fasilitator. Sebaga fasilitator, keberadaan agen perubah tidak mutlak harus hadir terus menerus pada suatu kelompok sasaran. Fasilitator lebih berfungsi untuk membuat agar kelompok sasaran menjadi lebih pandai agar dapat nantinya mengembangkan kelompoknya sendiri (Brokensha, 1982:143). Pembahaasan pemberdayaan masyarakat sebagai program dan sebagai proses yang berkelanjutan sebenarnya merupakan pemikiran yang juga terkait dengan proses agen pemberdayaan masyarakat. Bila agen pemberdayaan masyarakat merupakan pihak eksternal (dari luar komunitas) maka program pemberdayaan masyarakat akan diikuti dengan adanya terminasi atau disengagement. Sedangkan jika agent berasal dari internal komunitas, maka pemberdayaan masyarakat akan lebih diarahkan ke proses pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan (on going process) (Brokensha, 1982:155). Pemerintah yang sentralis di dalam pembangunan biasanya dibuat di tingkat atas
dan
kemudian
dilaksanakan
oleh
instansi
propinsi
dan
kabupaten/kota.masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberikan masukan. Hal ini bisanya disebabkan oleh adanya anggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhannya (Ross, 1967:106).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan kehidupan meraka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka, lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional
dan bahkan
nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinkan dalam masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus-menerus dimana anggota masyarakat bekerjasama dalam kelompok formal dan informal untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan serta berusaha mencapai tujuan bersama. Mengembangkan
pendekatan
pemberdayaan masyarakat
akan
meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pembengunan sumber daya pembangunan yang secara langsung akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungan, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggungjawab masyarakat. hal terpenting yang dilakukan sebelum memulai penerapan pendekatan ini adalah menciptakan kesadaran dan keyakinan semua pihak terkait yang terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Penyadaran ini khususnya dilakukan kepada mereka yang terkait dalam proses kegiatan tersebut (Ross, 1967:105).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.7.2. Pembangunan Sosial Ekonomi Pembangunan sosial ekonomi masyarakat telah banyak dilakukan pemerintah melaui program-program, pemerintah seperti; program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan dimantapkan dengan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) dan program-program lainnya yang bertujuan untuk pembangunan peningkatan ekonomi dan sosial masyarakat. Program pembangunan sosial ekonomi yang menekankan pendekatan wilayah dikembangkan berdasarkan pengalaman progam pemerintah seperti program IDT
atau program sejenis. Dalam
Pembangunan prasarana wilayah terutama yang melaksanakan pembangunan fisik meletakkan atau menginginkan
pembangunan sebagai upaya peningkatan
pembangunan sosial ekonomi masyarakat pedesaaan atau kelurahan. Peran serta aktif masyarakat lokal dalam kegiatan pembangunan ditingkat lokal, dan pelestarian hasil pembangunan melalui pemanfaatan sistem pelaporan, pemantauan dan evaluasi program pembangunan yang dilaksanakan (Berartha, 1982:55).
2.7.2.1. Pengertian Pembangunan Sosial Pembangunan Sosial menurut Midgley (1995) adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan tersebut dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi. Sedangkan bila dilihat
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
dari strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, Midgley mengemukakan ada 3 (tiga) strategi besar, yaitu: 1. Pembangunan sosial melalui individu yakni dimana individu-individu dalam masyarakat secara swasembada membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat. 2. Pembangunan sosial melalui pemerintah yakni dimana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah. 3.
Pembangunan sosial melalui komunitas yakni dimana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya.
Terkait dengan upaya pembangunan sosial dan pemberdayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, haruslah disadari bahwa pembangunan sosial tidaklah harus dikembangkan tanpa melibatkan aspek pembangunan fisik. Misalnya saja mengembangkan pola hidup sehat dan lingkungan yang sehat pada masyarakat, maka sekurang-kurangnya harus tersedia sarana dan prasarana air bersih, saluran pembuangan, tempat-tempat sampah yang memadai, serta lancarnya arus sungai dan tidak seringnya banjir suatu daerah tersebut serta pembangunan rumah yang layak huni dan bebas dari bahaya banjir (Adelman, 1973:246).
2.7.2.2. Pengertian Pembangunan Ekonomi Pengertian pembangunan ekonomi selama tiga Dasawarsa yang lalu adalah kemampuan ekonomi suatu negara, dimana keadaan ekonomi mula-mula relatif statis
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
dalam jangka waktu yang lama, untuk meningkatkan dan mempertahankan suatu pertumbuhan produk domestic bruto (PDB)-nya antara 5 sampai 7 persen atau lebih per tahun. Pengertian ini sangat bersifat ekonomis. Dalam dinamikanya, pengertian pembangunan ekonomi mengalami perubahan karena pengalaman pada tahun 1950an dan tahun 1960-an, yaitu, menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kenaikan PDB saja tidak mampu memecahkan permasalahan pembangunan secara mendasar. Hal ini tampak pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat yang tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan PDB per tahun telah tercapai.
Dengan kata lain tanda-tanda kesalahan besar dalam
mengartikan isilah pembangunan ekonomi secara sempait (Adelman, 1973:244). Oleh karena itu, Todaro (1999) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok yaitu; 1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. 2. Meningkatnya rasa harga diri masyarakat sebagai manusia. 3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih yang merupakan salah satu dari hak azasi manusia. Akhirnya didasari pengertian pembangunan itu sangat luas, bukan hanya sekedar menaikkan PDB per tahun saja. Pembangunan ekonomi itu bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara atau daerah untuk mengembangkan kegiatan ekonominya dan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
demikian, maka pembangunan ekonomi pada umumnya didefenisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil, per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Adelman, 1973:245). Dari defenisi di atas jelas bahwa pembangunan ekonomi mempunyai pengertian; Pertama. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara terus menerus. Kedua. Usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita. Ketiga. Kenaikan pendapatan per kapita itu harus terus menerus dalam jangka panjang. Keempat. Perbaikan sistem kelembagaan disegala bidang (misalnya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya) sistem kelembagaan ini bisa ditinjau dari dua aspek yaitu aspek perbaikan dibidang organisasi institusi dan perbaikan dibidang regulasi (baik formal maupun non formal) (Lincoln Arsyad,1999:135). Jadi, pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana saling keterkaitan dan saling mempengaruhi antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pembangunan ekonomi tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama. Dengan cara tersebut bisa diketahui rentetan peristiwa yang timbul yang akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan mesyarakat dari suatu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Lincoln Arsyad, 1999:136).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
2.7.3. Proses Pembangunan Sosial Ekonomi Dalam proses pembangunan pada dasarnya dipengaruhi sekurang-kurangnya dua dimensi. Dimensi pertama adalah dimensi makro yang menggambarkan bagaimana institusi negara melalui kebijakan dan peraturan yang dibuatnya mempengaruhi proses perubahan disuatu masyarakat. Dimensi kedua adalah dimensi mikro, dimana individu dan kelompok dalam masyarakat mempengaruhi proses pembangunan terjadi pada suatu masyarakat. Karena pembangunan yang direncanakan secara makro pun perlu didukung dalam penerapannya di-level mezzo dan mikro. Sedangkan individu dan kelompok itu sendiri ketika mereka itu sudah masuk menjadi kelompok elite dalam pembuatan keputusan, baik mereka dipihak pemerintah, lembaga swadaya masyarakat maupun dunia usaha, pada akhirnya akan mempengaruhi bentuk kebijakan yang diluncurkan. Untuk menggambarkan ke dua dimensi tersebut Era awal dari pembahasan mengenai teori pembangunan adalah dikemukakannya, ”Pemikiran mengenai teori pertumbuhan ini berasal dari pendapat kaum ekonom ortodoks yang melihat pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya diasumsikan akan meningkatnya standar kehidupan (Clark,1991). Pada umumnya menggunakan GNP (Gross National Product) atau PDB (Pendapatan
Domestik
Bruto)
sebagai
salah
satu
indikator
keberhasilan
pembangunan. Sebagai hasilnya ada beberapa pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan utama dalam teori pembangunan. Hadad (1980) mensarikan dari apa yang dijabarkan Troeller mengungkapkan kembali ke lima pendekatan yaitu
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
pendekatan pertumbuhan, pendekatan pemerataan, paradigma ketergantungan, pendekatan kebutuhan pokok dan pendekatan kemandirian (M.P.Todaro,1989:900). Dengan demikian Todaro menyimpulkan bahwa pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahanperubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan nasional, seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidak merataan dan pemberantasan kemiskinan absolute (M.P.Todaro,1989:900). Pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial tidak dapat dinilai sebagai dua entitas dikotomis yang sering terpisah satu sama lain, melainkan dua hal yang berjalan bersama-sama, yakni pemaknaan dimensi sosial terhadap pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, pembangunan pada Dasrnya harus menampilkan perubahan yang menyeluruh, meliputi usaha penyelarasan keseluruhan sitem sosial terhadap kebutuhan Dasar dan keinginan-keinginan yang berbeda bagi setiap individu dan kelompok sosial, berpindah dari suatu kondisi yang dianggap sebagai tidak menyenangkan kepada suatu kondisi kehidupan yang dianggap lebih baik. Kecamatan Medan adalah salah satu kecamatan yang berada pada daerah pinggiran Utara kota Medan yang terdiri dari 4 (empat) Kelurahan; yaitu, Kelurahan Paya Pasir, Kelurahan Terjun, Kelurahan Rengas Pulau dan Kelurahan Tanah Enam Ratus. Kehidupan penduduknya berpendapatan dari beberapa status, mulai dari Pegawai Negeri Sipil, swasta,buruh pabrik,petani sampai pada nelayan. Penduduk yang bermukim pada sekitar aliran Sei Badera rata-rata bermata pencaharian dari
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
bidang pertanian baik petani tadah hujan maupun dengan memakai irigasi pertanian serta nelayan penangkap ikan di laut. Mereka ini yang terkena implikasi langsung terhadap kegiatan normalisasi Sei Badera.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Bentuk Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan kualitatif ini didasarkan pada tujuan dari penelitian yakni untuk menggali atau membangun suatu proposisi atau menjelaskan makna dibalik realita. Adapun strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah strategi deskriptif kualitatif. Dimana strategi ini dimulai dari analisis data yang terhimpun dari suatu penelitian, kemudian bergerak kearah kesimpulan kategori atau ciri-ciri umum tertentu. Selain itu peneliti juga menggunakan penelitian berdasarkan studi kasus dengan alasan Pertama, mengacu pada Robert K Yin (1961:1) dalam MT Felix Sitorus (1998:25) yang menjelaskan bahwa pilihan kasus sebagai strategi penelitian jika a) pertanyaan penelitian berkenaan dengan “bagaimana” dan “mengapa”, b) peluang peneliti sangat kecil untuk mengontrol peristiwa/gejala sosial yang hendak diteliti dan c) penelitian berdasarkan peristiwa/gejala sosial kontemporer (masa kini) dalam kehidupan nyata. Kedua, tujuan penelitian bersifat menjelaskan atau memaparkan tentang implikasi normalisasi sungai. Ketiga, hasil penelitian diharapkan dapat menyusun suatu strategi yang bersifat umum.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
MT Felix Sitorus (1998) menjelaskan bahwa kata “umum” dimaksudkan sebagai generalisasi ke proposisi teoritis bukan generalisasi populasi. Berkaitan dengan hal tersebut maka peneliti menetapkan bahwa kasus yang akan dipelajari adalah implikasi normalisasi sungai terhadap pemukiman penduduk. Guna mencapai jawaban-jawaban dari hipotesa yang telah disebutkan maka penelitian ini merupakan tipe penelitian kualitatif deskriptif analitis.
3.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Kecamatan Medan Marelan khususnya di Daerah Aliaran Sei Badera. Hal itu dilakukan mengingat implikasi normalisasi sungai terhadap pemukiman sangat besar kaitannya sehingga sangat menarik untuk dilakukan penelitian.
3.3. Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan peneliti berupa data sekunder seperti dokumen tertulis maupun informasi penting lainnya. Data primer yang dikumpulkan berupa hasil pengamatan (deskripsi rinci mengenai situasi, kejadian/peristiwa, orang-orang, interaksi, perilaku yang diamati), pembicaraan atau wawancara (kutipan langsung dari pembicara informan mengenai keyakinan, pendapat atau pemikirannya). Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengakses instansi pemerintah di
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
berbagai tingkatan. Sementara pengumpulan data primer dilakukan dengan cara yaitu penelitian kepustakaan. Metode kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumendokumen penting baik dalam bentuk risalah sidang, surat pernyataan, kronologi perisitiwa, berita-berita surat kabar dan sejenisnya. Penelitian kepustakaan yakni melakukan penelaahan terhadap literatur-literatur maupun dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
3.4.1. Wawancara (Depth Interview) Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa dalam penelitian ini. Salah satu cara/teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah wawancara atau depth interview. Teknik wawancara tatap muka mendalam (face to face in-depth interview) akan digunakan sebagai teknik utama dalam pengumpulan data. Wawancara mendalam akan memungkinkan pertukaran informasi yang intensif dalam suasana yang mengalir dan fleksibel. Secara teknis, teknik ini akan diaplikasikan dalam pengumpulan data terhadap dua kategori partisipan level masyarakat dan level pengampu kepentingan. Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data
Jenis data
Sumber data
Wawancara mendalam
Data primer
Informan masyarakat Informan pengampu kepentingan Informan Pedagang Elektronik
Pengamatan
Data primer
Kondisi fisik dan material Perilaku dan bahasa tubuh
Analisis isi
Data sekunder
Dokumen
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
3.4.2. Karakteristik Informan Karakteristik informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 2. Karakteristik Informan Teknik pengumpulan data
Wawancara mendalam
Jumlah Informan
Karakteristik
Masyarakat
8 orang
Tokoh Masyarakat
2 orang
Pedagang Elektronik
2 orang
1. Minimal telah tinggal menetap selama 10 tahun di bantaran Sei Badera Kecamatana Medan Marelan 1. Ketua adat, Ketua pengajian/perwiritan atau lainnya, dan Kepala Lingkungan 2. Telah tinggal menetap lebih dari 10 tahun di Kecamatan Medan Marelan 1. Telah berdagang di Kecamatan Medan Marelan minimal 10 tahun lamanya
3.5. Teknik Analisis Data Untuk menganalisa data-data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan, digunakan analisis kualitatif yang disusun secara sistematis sehingga dapat mendeskripsikan hasil sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Selanjutnya dibuat analisa dengan menginterpretasikan hasil penelitian melalui kerangka pemikiran yang sistematis. Berkaitan dengan wujud data penelitian kualitatif baik berupa catatan harian. Hasil-hasil pengamatan, hasil wawancara dan kutipan dari berbagai dokumen. MT Felix Siturus (1998:29-61) menjelaskan 3 cara pengolahan dan analisis data kualitatif, yaitu Pertama, reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data dapat berupa: meringkas data, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi dan menulis memo. Kedua, penyajian data, yaitu suatu proses menyusun sekumpulan informasi yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dapat berupa teks naratif, matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Ketiga, penarikan kesimpulan, yaitu dengan cara mencatat keteraturan pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Kesimpulan tersebut terus menerus diverifikasi dengan cara memikir ulang selama proses penulisan, tinjau ulang catatan lapangan, tukar fikiran dengan dosen maupun teman. sejawat. Selanjutnya, Unit analisis penelitian ini ditekankan pada masyarakat yang berada disekitar aliran Sei Badera yang merasakan secara langsung dan tidak langsung implikasi dari normalisasi sungai.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Kecamatan Medan Marelan Pada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Putih, Sei Badera, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular. Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah diantara kedua sungai tersebut (Situs pemkomedan.go.id, 2008). Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa disamping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
yang berkualitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei (Situs pemkomedan.go.id, 2008). Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam. Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan disana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara (Situs pemkomedan.go.id, 2008).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Gambar 1. Peta Kota Medan Luas Kota Medan terbagi ke dalam 22 kecamatan dan dibagi lagi ke dalam 151 kelurahan. Kecamatan Medan Marelan merupakan salah satu kecamatan yang berada dalam kawasan administrasi Pemerintahan Kota Medan. Medan Marelan terletak di wilayah Utara Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut : Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Labuhan, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Helvetia dan Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Belawan (Situs pemkomedan.go.id, 2008).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Berikut tabel potensi wilayah Kecamatan Medan Marelan :
4.1.1. Potensi Wilayah Kecamatan Medan Marelan 4.1.1.1. Data Umum Tabel 3. Data Umum No
Data Umum
Keterangan
1
Luas
23,82 km²
2
Jumlah Kelurahan
5 kelurahan
3
Jumlah Penduduk
112.463 jiwa
4
Panjang Jalan Aspal
75,7 km
Sumber : Situs Resmi Pemerintah Kota Medan, 2008.
Kecamatan Medan Marelan memiliki luas wilayah 23,82 KM² (dua puluh tiga koma delapan puluh dua kilometer persegi), dengan jumlah penduduk 112.463 jiwa (seratus dua belas empat ratus enam puluh tiga) berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Sumatera Utara 2004. Di wilayah Kecamatan Medan Marelan walaupun bukan sebagai daerah pusat banyak dijumpai gudang-gudang besar seperti Banda Graha Reksa dan juga terdapat peternakan ayam sebagai pasokan telur ayam untuk Kota Medan dan kota-kota sekitarnya (Situs pemkomedan.go.id, 2008).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
4.1.1.2. Pelayanan Umum Tabel 4. Pelayanan Umum No
Jenis Pelayanan
Keterangan
1
Air Bersih
39%
2
Listrik
94%
3
Telepon
31%
4
Gas
5
Lapangan Olahraga
3 persil
6
Rumah Ibadah
71 unit
7
Rumah Sakit
2 unit
8
Puskesmas
4 unit
8%
Sumber : Situs Resmi Pemerintah Kota Medan, 2008
Dari data yang terdapat pada tabel 4.2. Pelayanan Umum ketersedian air bersih menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat Kecamatan Medan Marelan. Masyarakat masih banyak memanfaatkan air sumur untuk keperluan hidup sehari-hari seperti mencuci, masak dan mandi. Padahal jika diamati, air sumur yang mereka gunakan dapat dikatakan tidak layak untuk dikonsumsi. Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan terhadap kondisi air sumur penduduk, air sumur tersebut berbau, dan berwarna kuning. Selain itu, penduduk Medan Marelan hampir 80 % masih menggunakan lampu kompor sebagai alat untuk memasak, bahkan masih terdapat yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Dengan demikian dapat dimaklumi jika
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
hanya 8 % masyarakat yang memanfaatkan gas dan itu pun sebahagian besar oleh penduduk yang tinggal di perumahan-perumahan.
4.1.1.3. Pendidikan Tabel 5. Pendidikan No
Jenis Pendidikan
Keterangan
1
SD / Sederajat
36 unit
2
SLTP / Sederajat
8 unit
3
SMU / Sederajat
5 unit
4
Akademi
-
5
Universitas
-
Sumber : Situs Resmi Pemerintah Kota Medan, 2008
Kecamatan Medan Marelan memiliki 36 unit sekolah Dasar, hal ini jika dilihat secara umum masih dalam kategori kurang, mengingat dari total jumlah penduduk di Kecamatan Medan Marelan 30 % nya adalah anak-anak usia sekolah Dasar. Demikian juga pada jenjang berikutnya, kecuali pada tingkat akademi dan universitas. Pada jenjang sekolah wajib belajar 9 tahun sekolah yang ada tidak memadai.
4.1.1.4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Gender (Jenis Kelamin) Kecamatan Medan Marelan dengan jumlah penduduk 112.463 jiwa ternyata secara kuantitatif lebih banyak jumlah laki-laki 57,350 % dibandingkan dengan perempuan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
55,113 %. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan di kecamatan ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Karena itu, perempuan di wilayah kecamatan ini memiliki peran yang sentral dalam hal ikut mencari nafkah bagi keluarga.. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Medan Marelan
55,113 57,350
Laki-laki Sumber : Diolah dari Data BPS 2007
Perempuan
Gambar 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelamin
4.1.1.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Pada tabel 4.5. terlihat bahwa di Kecamatan Medan Marelan suku mayoritas adalah suku Jawa yang mencapai angka 57,041% diperingkat pertama, kemudian suku Melayu dengan 24,955% diperingkat kedua dan Tapsel (Tapanuli Selatan) atau Madina (Mandailing Natal) diurutan ketiga dengan 6,422% dari total jumlah penduduk Medan Marelan. Domisili suku-suku ini secara umum juga dapat terlihat di Medan Marelan. Umumnya di Sebelah Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, banyak dihuni oleh suku Jawa dan mereka menjadi sangat mayoritas. Kemudian di Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Medan Labuhan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
banyak didiami oleh suku Melayu dan bercampur dengan Jawa dan Mandailing, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Medan Helvetia pada wilayah ini dapat dikatakan semua suku ada, namun meskipun demikian masih diungguli oleh suku Jawa. dan Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Belawan di daerah ini lah suku melayu menjadi mayoritas dan jawa diurutan kedua (Situs pemkomedan.go.id, 2008) Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku di Kecamatan Medan Marelan 57,041
60,000
J u m la h P e n d u d u k
50,000
40,000
30,000
24,955
20,000
6,208
10,000
1,440 -
M elayu
Karo
6,422
911 Simalungun
5,724 236
Tapanuli / Toba Tapsel / M adina Pakpak / Dairi
360 Nias
Pesisir / Tapteng
5,602
3,115
157 Jawa
M inang
270 Cina
Tamil / India
22 Arab
Lainnya
Suku M elayu Karo
Simalungun Tapanuli / Toba
Tapsel / M adina Pakpak / Dairi
Nias
Pesisir / Tapteng
Jawa M inang Cina
Tamil / India
Arab Lainnya
Sumber : Diolah dari Data BPS 2007 Gambar 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
4.1.1.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Medan Marelan
36,303
40,000 35,000 28,284
J u m la h P e n d u d u k
30,000 23,235
22,448
25,000 20,000 15,000 10,000
461
5,000 -
Tidak / Belum Tamat SD
SD
SM P
SM A
Diploma III
585
Akademi / D-III
1,147
Perguruan Tinggi / D IV
Pendidikan Tidak / Belum Tamat SD
SD
SM P
SM A
Diploma III
Akademi / D-III
Perguruan Tinggi / D IV
Sumber : Diolah dari Data BPS 2007 Gambar 4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Seperti yang telah peneliti sampaikan di atas, pada bagian sarana pendidikan, Kecamatan Medan Marelan sebagai wilayah yang terletak dipinggir/perbatasan kota medan dengan daerah lain yang berada di sekitar Kota Medan masih terkesan “kampung” secara jujur memang dapat terlihat, tidak ada pembangunan fisik yang mencolok diwilayah ini. Kesan “kampung” semakin merekat di wilayah ini karena masyarakatnya sebahagian besar hanya dapat menyelesaikan pendidikannya pada jenjang sekolah Dasar (SD). Seperti yang terlihat pada tabel 4.6. bahwa 28,284% penduduk belum tamat SD, 36,303% hanya sampai pada jenjang SD, 23,235% berhenti sampai pada SMP dan 22,48% sampai pada tingkat SMU, hanya 1,147% yang bisa mencapai perguruan tinggi. Inilah salah satu faktor terbesar yang membuat
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
daerah ini semakin tertinggal khususnya dan umumnya Kota Medan semakin jauh dapat diharapkan sebagai Kota Metropolitan yang prasyarat di dalamnya harus terdapat masyarakat dengan pendidikan yang baik, baik dalam hal ini sampai pada jenjang SMU.
4.1.1.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan di Kecamatan Medan Marelan 73,495
80,000 70,000
Jum lah Penduduk
60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 -
14,643
10,661 1,530
PNS
349
TNI / POLRI
3,902
900
BUM N/D
Karyawan Swasta
Buruh
Wiraswasta
Penarik Beca
5,792
910
281
Supir
Pengangguran
Lainnya
Pekerjaan PNS
TNI / POLRI
BUM N/D
Karyawan Swasta
Buruh
Wiraswasta
Penarik Beca
Supir
Pengangguran
Lainnya
Sumber : Diolah dari Data BPS 2007 Gambar 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan
Pada gambar di atas informasi yang bisa kita dapatkan adalah 14,643% penduduk Kecamatan Medan Marelan memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta seperti berdagang. 10,661% bekerja sebagai karyawan swasta dan 3,902% sebagai buruh. Angka pengangguran di wilayah ini mencapai angka 5,972%. Ini merupakan angka yang cukup tinggi untuk jumlah penduduk yang hanya berkisar 112.463 jiwa. Pengangguran merupakan problem besar tidak hanya bagi kota besar seperti Medan tetapi merupakan permasalahan bangsa secara umum.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
4.2. Implikasi Normalisasi Sei Badera Sei Badera merupakan salah satu anak ranting sungai yang berada dalam Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan yang mengalir melalui daerah Helvetia ke Kecamatan Medan Marelan menuju Sungai Belawan. Sei Badera yang mempunyai panjang 11.80 Km. Selama ini kondisinya tidak sesuai dengan sungai-sungai yang dapat menampung banyak debit air atau pun menahan arus sungai yang datangnya dari hulu sungai yang diakibatkan curah hujan yang lebat atau bahkan banjir kiriman dari sungai-sungai yang ada dihulu sungai Sei Badera. Banjir merupakan permasalahan yang menghampiri setiap kota-kota besar di Indonesia tanpa terkecuali Kota Medan. Dalam rangka pembangunan Medan Metropolitan dan MeBiDang (Medan – Binjai – Deli Serdang), pihak Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan telah banyak melakukan kebijakan pembangunan untuk mendukung Medan menjadi Kota Metropolitan seperti penataan
pembangunan
pemukiman,
gedung-gedung
pertokoan
dan
pusat
perbelanjaan yang megah, perbaikan dan pembangunan sarana transportasi di seluruh kota Medan. Namun sampai saat ini yang menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan oleh Pemerintah Kota Medan secara khusus dan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara secara umum adalah masalah banjir yang selalu menggenangi hampir seluruh daerah di Kota Medan, terutama daerah-daerah pinggiran kota Medan yang sering berdampak langsung kepada seluruh anggota
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
masyarakat yang terkena banjir yang melanda daerah pemukiman dan perumahan mereka. Sering kita lihat bahwa apabila suatu daerah tersebut digenangi oleh air banjir dalam beberapa jam atau beberapa hari tentunya berdampak langsung baik kondisi tanah, pemukiman penduduk, sanitasi kesehatan masyarakat, dan berpengaruh pada aktivitas dari setiap anggota masyarakat yang tinggal dan bermukim di daerah yang dilanda banjir tersebut. Dalam rangka menuju Medan sebagai kota Metropolitan yang terkait dengan penanganan banjir, maka Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara berkoordinasi dengan Pemerintahan Kota Medan salah satunya adalah melakukan normalisasi sungai. Normalisasi serta penanggulangan Sungai Badera, salah satu dari tiga sungai kecil yang alirannya melewati Kota Medan. Kegiatan normalisasi sungai secara yuridis formal di Indonesia tertuang dalam sub kegiatan mengenai keberadaan dan pengelolaan DAS (Daerah Aliran Sungai) yakni pada; Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 1970. inilah yang menjadi salah satu lansdasan normatif pengelolaan DAS yang sub bagiannya adalah melakukan normalisasi sungai. Normalisasi Sungai Badera yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera Utara berkoordinasi dengan pemerintah Kota Medan termasuk juga penanggulangan sepanjang lebih kurang 20 kilometer. Pelaksanaan konstruksi sungai tersebut sudah dimulai sejak tahun 2003, dan telah rampung pada tahun 2005. Adapun yang menjadi
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
sasaran proyek
normalisasi Sungai Badera ini adalah pengendalian banjir dan
pengamanan pantai di Kota Medan. Pada penelitian ini, Peneliti melihat implikasi normalisasi Sei Badera terhadap pemukiman penduduk ke dalam dua aspek yakni : aspek pembangunan sosial dan aspek pembangunan ekonomi.
4.2.1. Aspek Pembangunan Sosial Midgley (1995:25) mendefenisikan pembangunan sosial sebagai : “A process of planned social change designed to promote the well-being of the population a whole in conjuction with a dynamic process of economic development” (Suatu proses perubahan sosial yang terencana yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan). Bila dilihat dari strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, Midgley (1995:103-138) mengemukakan tiga (3) strategi besar, yaitu: a. Pembangunan Sosial melalui Individu (Social Development by Individuals) Dimana individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebih mengarah pada pendekatan individualis atau perusahaan (individualist or enterprise aporoach) b. Pembangunan Sosial melalui Komunitas (Social Development by Communities). Kelompok masyarakat secara bersama-sama mengembangkan komunitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komunitarian (communitarian approach) c. Pembangunan Sosial melalui Pemerintahan (Social Development by Governments).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Pembangunan sosial yang dilakukan oleh pemerintah itu sendiri atau atau lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (government agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis. Terkait dengan upaya pembangunan sosial, baik secara langsung maupun tidak langsung, haruslah disadari bahwa pembangunan sosial tidaklah mungkin dikembangkan tanpa melibatkan aspek pembangunan fisik. Dalam hal ini aspek pembangunan fisik yang menjadi unit penelitian penulis yakni upaya normalisasi sungai Sei Badera di Kecamatan Medan Marelan, Kota Medan. Seperti yang dikemukakan oleh Midgley di atas bahwa terdapat tiga strategi besar pembangunan sosial yang dapat dilaksanakan salah satu diantaranya adalah Pembangunan Sosial melalui Pemerintahan (Social Development by Governments). Maka, strategi ini-lah yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Pemerintah Kota Medan yakni melakukan pembangunan fisik normalisasi sungai Sei Badera.
4.2.1.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera sebelum Normalisasi Normalisasi sungai Sei Badera yang dimulai sejak tahun 2003 dan berakhir hingga tahun 2005 yang lalu merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang diperlukan oleh warga masyarakat yang bermukim di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai) Sei Badera hingga wilayah 3 sampai 5 kilometer dari wilayah DAS. Ketika pemerintah melaksanakan proyek normalisasi sungai menjadi sebuah hal yang sudah terlalu lama mereka dambakan. Mengapa demikian ? itu lah yang menjadi pertanyaan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
mendasar bagi penduduk DAS Sei Badera. Lebih dari 20 tahun warga yang tinggal di DAS Sei Badera tidak pernah menyaksikan tanah yang berada di halaman rumahnya kering tanpa ada genangan air. Tidak perduli meskipun berada dalam musim kemarau atau panas. Halaman rumah mereka tetap saja tergenang oleh air seperti yang dikemukakan oleh Yung Baharuddin, berusia 75 tahun. Yung Baharuddin merupakan penduduk asli DAS Sei Badera, sejak Ia lahir hingga sekarang ini tetap mendiamin rumah panggung yang terbuat dari kayu. Yung Baharuddin mengatakan, “Sejak saya lahir, sampai terakhir dua-tiga tahun yang lalu tanah kami ini tak pernah kering, tegenang air terus. Apalagi kalau sudah ada hujan sedikit saja, sudahlah siap-siap lah kami untuk ngungsi. Gitulah kondisi rumah ni.”
Hal yang sama juga dikatakan oleh Mahmuddin, Mahmuddin yang sekarang berusia 46 tahun, mengaku telah tinggal di DAS Sei Badera ini sejak ia lahir. Ketika ditanyakan bagaimana kondisi lingkungan disekitar rumah nya sebelum dilaksanakan program normalisasi Sei Badera, Mahmuddin mengatakan, “Awak dulu tak pernah terbayang mau melihat, bisa melihat tanah di halaman rumah kami ni, kering. Air semua isinya. Tanah rawa-rawa lah kalau kita bilang. Tegenang air terus tanah kami ini, kalau hujan janganlah tanyak, pastilah banjir, sedang kan kamarau panas terik saja air di halaman ini tinggi apalagi musim hujan. Tinggal masuk saja lah air, tuh’.” Permukaan sungai yang rata atau sejajar dengan daratan atau tanah penduduk tentulah menjadi sebab utama mengapa tanah yang terdapat di halaman penduduk tidak pernah kering, dan kondisi seperti ini tidak hanya dirasakan oleh penduduk yang rumahnya berada persis di bantaran sungai, tetapi juga bagi penduduk yang berada hingga 1 kilometer dari sungai masih merasakan hal yang sama. (Lihat Gambar A)
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dengan kondisi yang seperti itu, banjir merupakan masalah terbesar dan utama yang selalu menghantui penduduk DAS Sei Badera hingga 3 kilometer dari sungai. Ketika banjir datang sudah dapat dipastikan sebahagian penduduk mengungsi ke rumah-rumah saudara mereka yang tinggal lebih jauh dari sungai dan tidak terkena banjir. Dan kondisi seperti inilah yang dialami oleh seluruh penduduk yang tinggal di DAS Sei Badera hingga radius 3 kilometer dari sungai. Bagi Ramlah (44 tahun) salah seorang ibu rumah tangga yang memiliki rumah di DAS Sei Badera mengatakan, bahwa selama musim hujan, ia dan suaminya tidak bisa tidur nyenyak dan tenang, karena takut kalau tiba-tiba air sungai sudah tinggi dan menghanyutkan rumahnya. “Awak sama bapaknya anak-anak ini tidak bisa tidur kalau udah musim hujan, mulai dari agustus sampe desember biasanya. Macem mana kami mau enak tidur, tau-tau nanti rumah awak dah penuh ama air, dah tebawak air pulak. Takutlah kami, kalau dah musim hujan.” Banjir yang telah mengganggu ketenangan hidup penduduk DAS Sei Badera juga memiliki dampak terhadap kesehatan penduduk. Dengan kondisi tanah yang selalu tergenang sudah barang tentu, ketersediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari juga tidak memadai. Kondisi yang seperti itu membuat sebahagian besar penduduk DAS Sei Badera rentan terserang penyakit kulit seperti : panu, kurap, kadas (kutu air), dan penyakit kulit lainnya, yang mengakibatkan gatal-gatal. Pemanfaatan air sungai Sei Badera sebelum dan setelah normalisasi memang tidak pernah dipergunakan untuk minum dan memasak. Pemanfaatan Sei Badera oleh masyarakat hanya sebatas untuk mandi dan mencuci. Hal ini dikarenakan Kecamatan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Medan Marelan merupakan bagian hilir sungai. Sekitar 5 hingga 7 kilometer lagi bertemu ke laut Belawan. Dengan demikian kualitas air sungai menurut pemaparan penduduk dan telah peneliti buktikan sendiri rasanya payau atau keasin-asinan. Selain itu, kebersihan air sungai juga tidak terjaga dengan baik. Terlihat banyak sekali sampah yang hanyut atau pun berada di pinggiran sungai. Berbicara mengenai kebersihan sungai merupakan persoalan lain, karean hal ini memiliki banyak faktor penyebab mengapa hampir seluruh sungai yang berada di wilayah kota besar di seluruh Indonesia tidak bisa terbebas dari sampah.
4.2.1.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera setelah Normalisasi “Sekarang Alhamdulillah nak, tak lah pernah banjir lagi. Tanah yang dihalaman tu, lihat lah sendiri, kering, bagus, cantik. Tak kayak kemarin, tegenang air terus, kadang-kadang jadi bau. Tidur pun enak sekarang, enggak lah kakek ni takut banjir lagi.”
Petikan wawancara di atas diungkapkan oleh Yung Baharuddin yang sudah bertempat tinggal selama 75 tahun di daerah itu. Apa yang dikatakan oleh Yung Baharuddin tadi, merupakan cerminan keseluruhan perasaan penduduk DAS Sei Badera. Seperti juga yang diungkapkan oleh Ramlah, 44 tahun. “Kalau sekarang ini ya udah jauh lebih enaklah dek, enggak banjir lagi, kita pun kalau hujan enggak ketakutan lagi. enggak perlu ngungsi, numpangnumpang ke rumah saudara. Pokoknya dah enak lah, dah tenang. Walaupun enggak makan, kalau dah di rumah aja kan enggak tau orang.” Manfaat yang paling dirasakan sekali oleh penduduk DAS Sei Badera adalah terhindar dari bencana banjir. Banjir seperti momok yang paling menakutkan bagi
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
mereka, sehingga berdampak pada aspek psikologi; adanya rasa cemas, ketakutan dan sebagainya (Lihat Gambar B) Manfaat sosial lainnya adalah semakin banyak dan bertambahnya penduduk baru atau pendatang yang berasal dari wilayah sekitar seperti penduduk dari daerah Belawan, Martubung, Helvetia, Brayan dan wilayah sekitar. Ini memaksa penduduk setempat atau asli yang telah bermukim puluhan tahun lamanya seperti Yung Baharuddin, Mahmuddin dan Ramlah untuk lebih terbuka dan menerima kehadiran orang ‘asing’ yang berbeda dengan mereka, baik suku dan agamanya. Tabel 6. Perbandingan Penduduk Kecamatan Medan Marelan Jumlah Penduduk (Jiwa) 2002
2003
2004
2005
2006
2007
96.742
96.992
97.482
103.202
109.631
112.463
Data Diolah dari Kelurahan dan Kepala Lingkungan
Tingginya pertambahan penduduk yang dirasakan 2 hingga 3 tahun belakangan ini (Lihat tabel 4.8 di atas), memberikan mereka pengalaman baru yang selama puluhan tahun belum pernah mereka temukan. Pengalaman baru yang dimaksud adalah mereka mengetahui sedikit banyaknya adat istiadat yang berbeda dari mereka secara langsung. Selama ini mereka hanya dapat melihat dan mendengar dari media saja. Tetapi kini ada diantara mereka. Contoh yang paling sering mereka saksikan adalah pada saat pesta perkawinan yang dilaksanakan oleh suku lain di luar Melayu (suku mayoritas) di daerah DAS Sei Badera. Seperti pesta perkawinan suku
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Mandailing yang menghadirkan gondang sembilan seperangkat dengan pakaian dan acara adatnya. Seperti yang dikatakan di atas, masyarakat “dipaksa” untuk lebih terbuka dikarenakan banyaknya warga baru yang hadir. Terlihat pada semakin tingginya toleransi diantara mereka. Dengan tetap menjunjung tinggi rasa saling menghormati dan menghargai. Seperti halnya diterimanya penduduk yang ber-agama Keristen di luar dari penduduk yang beragama mayoritas Islam. Dan saling mengunjungi pada saat musibah kematian. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh masyarakat Sayuti (48 tahun), ”Paling tidak 3 tahun belakang ini, sudah semakin banyak warga sekitar sini yang beragama kristen, kemudian peliharan anjing, sebelumnya sejak kecil saya disini, yang kayak gitu enggak ada. Tapi ya namanya sudah jadi tetangga kita, jadinya kita ya harus mengghormatilah, kayak ada kematian kita ya datang jugalah sebagai tetangga.”
Ini merupakan dampak sosial yang dirasakan masyarakat. Pasca normalisasi Sei Badera. Yang telah pasti terlihat secara fisik perubahan yang terjadi pada Sungai Sei Badera adalah bantaran atau dinding sungai, baik sisi kanan dan kiri telah di tata rapi dengan batu- batu besar yang kemudian diikat dengan kawat. tepi sungai telah ditinggikan hingga 5 sampai 7 meter di atas permukaan air. Dan sungai telah dikeruk atau di dalam-kan sekitar 7 sampai 8 meter kedalamannya. Kemudian setiap jembatan penghubung yang berada di atas sungai ditinggikan 1 hingga 1,5 meter dan di beton dengan baik. Sehingga jembatan tersebut kelihatan cantik dan kokoh. (Lihat Gambar C).
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Semakin bertambahnya penduduk baru pasca normalisasi Sei Badera terpola ke dalam dua model yakni : Pertama, penduduk baru yang membeli tanah atau rumah warga asli yang terdapat di perkampungan sekitar bantaran sungai. Kedua, penduduk baru yang membeli tanah dan rumah dari developer atau pengembang perumahan. Penduduk dengan model pertama yang langsung masuk ke dalam pemukiman penduduk di perkampungan banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat sekitar dalam proses transfer knowledge baik dalam bentuk bersosialisasi dengan masyarakat dan memiliki kedekatan dengan masyarakat karena terdapatnya proses adaptasi antara kedua belah pihak baik pendatang dan juga masyarakat sekitar. Sedangan kan penduduk yang masuk dengan model kedua yakni; membeli tanah dan perumahan dari pengembang atau developer tidak mengalamai penetrasi langsung terhadap masyarakat sekitar, tidak memberikan kontribusi dan manfaat yang besar bagi masyarakat dalam rangka transfer knowledge. Tetapi malah sebaliknya, dari hasil wawancara dan pengamatan penulis terhadap kompleks perumahan yang terdapat di sekitar DAS Sei Badera dan wawancara yang peneliti lakukan dengan tokoh masyarakat. Penduduk baru dengan model kedua ini dinilai menciptakan kesenjangan tersendiri bagi masyarakat. (Lihat Gambar F dan G. Salah satu perumahan mewah yang dibangun tepat disebelah sungai Sei Badera) Dengan suasana hidup perumahan mewah menciptakan sebuah image tersendiri yakni : image orang kaya, mewah, glamor dan sebagainya seperti yang di kemukakan oleh Sayuti 48 tahun. “Orang-orang yang tinggal di perumahan itu dibilang oleh masyarakat sini, orang-orang kaya, orang ’punya’. Enggak mungkinlah mereka mau berbaur,
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
bergaul dengan masyarakat kampung sekitar sini. Namanya juga orangorang kaya.” Dengan semakin terbukanya penduduk untuk menerima orang “asing” di lingkungan tempat tinggalnya, maka, sebagai dampak dari proses sosialisasi dan adaptasi tadi. Semakin banyak masyarakat asli penduduk tersebut yang menikah dengan penduduk pendatang. Dan hal ini semakin banyak atau sering terjadi 3 tahun belakang ini. Demikian Sayuti mengatakan.
“Kalau perkawinan masyarakat asli sini dengan penduduk pendatang 3 tahun belakang ini semakin sering, saya tahu itu karena saya yang sering dimintakan untuk menjadi wali saksinya, kalau sebelumnya, jarang sekali itu, kebanyakan orang sini sama orang sini aja yang menikah, karena bergaulnya juga tidak jauh-jauh. Jadi orang-orang sini ajalah yang dapat”
Syaiful 36 tahun, Kepala lingkungan, juga mengatakan hal yang sama mengenai pernikahan yang terjadi antara warga asli dengan orang-orang pendatang selama 3 tahun belakangan ini semakin banyak.
“Kalau untuk masalah itu, iya benar, selama semakin banyak nya penduduk baru atau pendatang yang menyewa dan membeli rumah di daerah saya ini. Memang semakin banyak orang-orang sini, entah itu, pemudanya atau anak gadisnya yang menikah dengan masyarakat sini atau pendatang. Heran pulak saya lihatnya. Padahal dulu, muda-mudi sini, payah kali tuh, dapat jodoh orang luar”
Dari segi pemanfaatan sungai Sei Badera untuk keperluan sehari-hari. Sebagaimana yang telah penulis katakan di atas sebelum dan sesudah normalisasi pemanfaatan sungai tetap saja sama hanya digunakan untuk mandi dan mencuci.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Namun, pemanfaatan penduduk untuk mandi dan mencuci setelah dilaksanakan normalisasi sungai lebih baik. Karena menurut mereka kualitas airnya menjadi lebih bersih jika dibandingkan sebelum dilaksanakannya normalisasi. Seperti yang diungkapkan oleh Maimunnah 51 tahun.
“Sekarang ini kalau mau nyuci ama mandi di sungai lebih enak, air tu, jadi lebih bening, lebih cantik dia, dah tu, enggaklah pala bau kayak kemarin sewaktu sungai tu belum dirapikan,” Dari pemaparan di atas dapat terlihat secara jelas bahwa, hal yang sangat paling dirasakan manfaatnya oleh penduduk Das Sei Badera dan sekitarnya yang merupakan implikasi Sei Badera adalah mereka terbebas dari bencana banjir yang selama puluhan tahun telah ‘menghantui’ mereka, membuat hidup mereka tidak tenang. Karena harus selalu waspada terhadap banjir, yang sewaktu-waktu bisa menghanyutkan rumah mereka. Kualitas air sungai yang lebih baik membuat masyarakat semakin memiliki sedikit kenyamanan untuk menggunakannya untuk mencuci dan mandi seperti yang diungkapkan oleh Maimunnah di atas (Lihat Gambar H). Semakin banyak dan bertambahnya penduduk membuat masyarakat lebih terbuka dan toleransi dalam bermasyarakat. Penetrasi di dalam masyarakat dalam proses sosialisasi dan adaptasinya, menimbulkan fenomena yang baru bagi masyarakat yakni : sering terjadinya pernikahan antara penduduk asli dengan para pendatang. Beberapa hal ini lah yang dapat terlihat sebagai temuan dalam penelitian
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
ini untuk aspek pembangunan sosial kemasyarakatan yang terdapat pada kawasan di sekitar Das Sei Badera.
4.2.1.2.1. Pergeseran Budaya Masyarakat Disekitar Sei Badera setelah Normalisasi Aspek ini tidak lah menjadi fokus utama dalam penelitian yang penulis lakukan, meskipun demikian aspek ini juga menjadi temuan yang tidak dapat peneliti abaikan dan biarkan begitu saja. Penulis menganggap aspek pergeseran budaya dari sisi arsitektur rumah penduduk menjadi temuan yang cukup menarik untuk penulis sampaikan. Pergeseran budaya yang penulis maksud dan paparkan disini hanyalah dari satu poin atau item saja yakni arsitektur bangunan masyarakat. Masyarakat yang tinggal di Das Sei Badera Kecamatan Medan Marelan mayoritas adalah masyarakat suku Melayu. Kita ketahui bersama bahwa selain budaya lisan berbalas pantun yang menjadi ciri dari masyarakat suku Melayu terdapat juga bangunan atau rumah dengan arsitektur khas, kita mengenal dengan istilah rumah panggung. Karena berdiri dan tegaknya rumah tersebut ditopang oleh tiang-tiang yang terbuat dari kayu atau pun beton yang menopang setiap sudut dan tumpuan yang dapat menguatkan berdirinya rumah tersebut. Tiang-tiang itu setinggi 1,5 hingga 2 meter.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Sumber : Dokumentasi Taman Mini Indonesia Indah
Gambar 6. Rumah Adat Melayu
4.2.1.2.1.1. Arsitektur Rumah Panggung Melayu Secara historis desain atau arsitektur rumah seperti itu memiliki arti dan fungsinya. Arsitek bangunan ini berasal dari penduduk asli. Tangga terletak di depan rumah biasanya jumlah anak tangganya selalu ganjil, hal ini didasari makna atau pengertian dan hitungan tangga, takik, tunggu, tinggal. Bilangan yang jatuh pada hitungan bilangan takik kat takik dan tinggal menurut kepercayaan mereka akan membinasakan rumah itu sendiri. Misalnya takik berarti hancur dan tinggal berarti tidak ada yang bersedia menunggu rumah itu, dan rumah itu ditinggal tanpa penghuni. Rumah terbuat dari bahan yang lembut tetapi tahan lama, misalnya kayu medang kemuning, surian balam dan sebagainya. Lantainya dari papan dengan atap dan ijuk enau atau sirap. Pada dasarnya struktur rumah terbagai atas tiga bagian besar, yaitu penig atau serambi, penduhuak bagian tengah, dan penyeyep bagian ruangan dalam, selain itu perluasan rumah terdapat dapur dan gang atau garang.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Dalam bahasa Melayu, rumah tempat tinggal dinamakan juga “Rumah”. Rumah tradisional Melayu termasuk tipe rumah panggung. Rumah panggung ini dirancang untuk melindungi penghuninya dari banjir. Disamping itu kolong rumah panggung juga dapat dipergunakan untuk menyimpan gerobak, hasil panen, alat-alat pertanian, kayu api, dan juga berfungsi sebagai kandang hewan ternak. Bentuk rumah panggung melayu ini terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain : Bagian atas rumah adat melayu Bengkulu ini terdiri dari : Atap; terbuat dari ijuk, bambu, atau seng. Terdapat bagian tengah dan bagian bawah. Susunan ruang rumah tempat tinggal memilki fungsi dalam kehidupan. Adapun susunan dan fungsi ruang pada rumah adat melayu ini adalah: Pertama, Berendo. Tempat menerima tamu yang belum dikenal, atau tamu yang hanya menyampaikan suatu pesan (sebentar). Selain itu juga dipergunakan untuk relax pada pagi atau sore hari. Bagi anak-anak, berendo juga sering dipergunakan untuk bermain congkak, karet, dll. Kedua, Hall. Ruang untuk menerima tamu yang sudah dikenal baik, keluarga dekat, atau orang yang disegani. Ruangan ini juga digunakan untuk tempat cengkrama keluarga pada malam hari, ruangan belajar bagi anak-anak, dan sewaktu-waktu ruang ini digunakan untuk selamatan atau mufakat sanak family. Ketiga, Bilik gedang. Bilik gedang atau bilik induk merupakan kamar tidur bagi kepala keluarga (suami istri) serta anak-anak yang masih kecil. Keempat, Bilik gadis. Biasanya terdapat pada keluarga yang memiliki anak gadis, merupakan kamar bagi si
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
anak gadis. Selain untuk tidur juga digunakan untuk bersolak. Bilik gadis biasanya berdampingan dengan bilik gedang, demi keamanan dan kemudahan pengawasan terhadap anak gadis mereka. Kelima, Ruang tengah. Biasanya dikosongkan dari perabot rumah, dan di sudutnya disediakan beberapa helai tikar bergulung karena fungsi utamanya adalah untuk menerima tamu bagi ibu rumah tangga atau keluarga dekat bagi si gadis. Di samping itu juga sering dipakai sebagai tempat belajar mengaji. Bagi keluarga yang tidak memilki kamar bujang tersendiri, kadang-kadang dipakai untuk tempat tidur anak bujang. Keenam, Ruang makan. Tempat makan keluarga. Pada rumah kecil biasanya tidak terdapat ruang makan, mereka makan di ruang tengah. Bila ada tamu bukan keluarga dekat, maka untuk mengajak tamu makan bersama digunakan hal, bukan di ruang makan. Ketujuh, Garang. Tempat penyimpanan tempayan air atau gerigik atau tempat air lainnya, juga dipakai untuk tempat mencuci piring dan mencuci kaki sebelum masuk rumah atau dapur. Kedelapan, Dapur. Ruangan untuk memasak. Kesembilan, Berendo belakang. Serambi belakang, tempat relax bagi kaum wanita pada siang atau sore hari, melepas lelah setelah mengerjakan tugas, tempat mengobrol sambil mencari kutu ((Sumber : Achmad, Ramli dkk. 1992). Pasca normalisasi Sei Badera, pada tahun 2005 lalu. Secara jelas dapat terlihat penduduk yang tinggal di Das Sei Badera dan sekitarnya, mengganti arsitektur rumah mereka dengan arsitektur rumah “modern” pada umumnya. Dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini, keberadaan rumah-rumah panggung sudah mulai berkurang.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Penduduk sudah berani membangun rumah mereka langsung menyentuh dengan tanah tanpa ada, tiang-tiang penyangga lain. Hal ini dibenarkan oleh Sayuti sebagai salah seorang tokoh masyarakat, yang juga telah bermukim lebih dari 30 tahun di daerah itu. “Mungkin bisa dikatakan demikian... sejak wilayah kami ini tidak banjir, penduduk sini sudah membangun rumah nya langsung ke tanah. Padahal ia orang melayu, asli melayu. Bahkan, bapak itu adalah salah seorang tokoh adat melayu di daerah ini. Rumah-rumah panggung yang sudah rusak, banyak yang telah dirobohkan dan dibangun kembali tetapi bukan dengan rumah panggung yang baru tetapi rumah-rumah seperti di kota-kota. Rumahrumah jaman sekarang inilah.” “Tetapi saya tidak tahu apakah ini merupakan pergeseran budaya, atau hanya karena ingin suasan yang baru saja...” Hal yang hampir sama juga dikatakan oleh Syaiful sebagai kepala lingkungan. ”Memang semenjak sungai sudah tidak banjir lagi, penduduk sini sudah tidak lagi membangun rumah panggung tapi sudah langsung saja ke tanah. Dah itu, rumah-rumah panggung yang sudah mau rubuh di gantikan ama keluarganya, ama anak-anaknya dengan rumah biasa, bukan lagi rumah panggung.” ”Kalau dibilang ini pergeseran budaya, orang sini tak lagi memelihara budaya, bangunan rumah melayu... mungkin jugalah...” Banyak faktor untuk sampai pada satu kesimpulan apakah suatu budaya mulai bergeser atau sudah tergeser. Dan diperlukan sebuah penelitian tersendiri untuk itu. Namun, di dalam penelitian ini, berubahnya rumah-rumah panggung menjadi rumahrumah biasa yang langsung menempel ke tanah, pada masyarakat melayu yang memiliki ciri rumah panggung tersendiri. Merupakan suatu temuan lapangan yang
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
tidak tebantahkan sebagai salah satu aspek implikasi pasca normalisasi Sei Badera yang terdapat pada pemukiman penduduk Das Sei Badera. Apakah ini diartikan sebagai sebuah implikasi yang bernuansa positif atau negatif, tentunya peneliti tidak ingin masuk pada domain itu. Karena bukanlah menjadi fokus dari penelitian yang penulis lakukan. Penulis hanya melihat hal ini sebagai sebuah temuan yang merupakan implikasi dari normalisasi Sei Badera (Lihat Gambar I).
4.2.2. Aspek Pembangunan Ekonomi Pembangunan di Indonesia secara umum merupakan amanat sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, dimana tujuan negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Pembangunan nasional sebagaimana yang digariskan dalam GBHN, merupakan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pembangunan nasional mencakup semua upaya peningkatan semua segi kehidupan bangsa, salah satunya adalah pembangunan aspek ekonomi. Normalisasi Sei Badera yang telah selesai dilaksanakan pada tahun 2005 lalu. Pastilah telah memiliki implikasi bagi masyarakat sekitarnya. Sebagai salah satu aspek yang menjadi perhatian penulis dalam penelitian ini adalah aspek pembangunan ekonomi masyarakat. seperti halnya pada pemaparan aspek
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
pembangunan sosial pada bagian terdahulu. Maka, pada bagian ini penulis juga akan mengamati kondisi masyarakat sebelum normalisasi dan kondisi masyarakat setelah normalisasi Sei Badera.
4.2.2.1. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Sebelum Normalisasi Penduduk yang tinggal di DAS Sei Badera dan sekitarnya sebahagian besar memiliki mata pencarian sebagai nelayan. Seperti 4 orang informan dalam penelitian ini Yung Baharuddin, Mahmuddin, Syawal dan Iyus mereka adalah nelayan. Kehidupan mereka sangat bergantung sekali dengan sungai Sei Badera. Karena dari sungai inilah ia berangkat ke laut dan kembali lagi. Sehingga orang-orang ini sangat merasakan sekali ”denyut nadi” Sei Badera sebagai ”denyut nadi” kehidupan mereka juga. Sebelum Sei Badera dilakukan Normalisasi, kegiatan mereka untuk mencari nafkah sangat terbatas sekali. Hal ini dikarenakan, sungai yang dangkal dan mudah banjir membuat mereka harus sangat berhati-hati ketika harus melewati sungai dalam kondisi banjir. Ditambah lagi, jika sungai dalam kondisi banjir, sampan bot mereka tidak dapat keluar menuju laut karena kondisi jembatan dan permukaan air sungai yang terlalu rapat. Dengan demikin, terpaksa mereka harus mengurungkan niat untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Seperti yang diutarakan oleh Syawal 43 tahun.
”Kami susah lah kalau sudah banjir sungai, sampan tidak bisa keluar karena lumpur semakin tebal, sungai dangkal ditambah lagi permukaan air dengan jembatan terlalu rapat, jadi sampan tidak mungkin bisa lewat.”
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
hal yang juga serupa dikemukakan oleh Iyus, 31 tahun. ”Kalau saya mau ke laut dek, enggak bisalah hampir setiap hari kayak sekarang ini. Karena sungai tak bisa dilewati bot, dangkal kali sungai ini, apalagi kalau musim banjir. Ditambah lagi sampan tak bisa melewati jembatan, nyangkut sampan tu, karena pendek kali jembatan tu pulak. Ditambah lagi, sungai ni, tepinya rata pulak dengan tanah.”
Mobilitas warga sangat terbatas sekali dengan kondisi sungai yang dangkal tersebut. Selain sebagai alat penghubung atau transportasi warga khususnya para nelayan untuk menuju laut. Sungai juga digunakan warga sebagai alat transportasi untuk mengangkat bahan-bahan baku pembuat atap nipah atau tepas. Bahan baku atap tepas tersebut diambil dari perkebunan-perkebunan penduduk yang berada di sepanjang sungai hingga menuju pantai-pantai di daerah Belawan. Kemudian bahan baku tersebut di bawak ke desa-desa warga khususnya yang berada di Kecamatan Medan Marelan, yang tinggal di Das Sei Badera untuk di kerjakan, dirajut menjadi atap nipah atau tepas. Pekerjaan ini menjadi home industry bagi ibu-ibu rumah tangga di kawasan ini. Salamah 42 tahun dan Ramlah mengeluhkan jika sungai dalam keadaan banjir maka mereka tidak mendapatkan pasokan daun nipah yang akan mereka kerjakan menjadi atap. Itu artinya mereka akan kekurangan uang penghasilan untuk membiayai hidup mereka sebagai tambahan dari apa yang telah dicari oleh suami mereka.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
”Kami tu susah kalau musim banjir, kami enggak bisa dapat jatah nipah, karena sampan enggak bisa masuk, nyangkut. Terpaksa kalau kami sanggup kami ambil sendiri. Antar sendiri pake sepeda. Ya repot jadinya. Pokoknya payahlah kalau udah musim banjir.”
Selain itu, kondisi tanah halaman mereka yang hampir tidak pernah kering membuat mereka tidak dapat memanfaatkan lahan pekarangan mereka yang terbilang luas untuk bercocok tanam atau berladang. Atau hanya untuk sekedar menjadikan pekarangan rumah mereka hipotek hidup. Sehingga tanah mereka hanya ditumbuhi oleh tanaman-tanaman yang memang hidup pada jenis tanah rawa. Dapat dikatakan sama sekali tanah mereka tidak dapat dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Seperti yang dikemukakan oleh Syaiful, kepala lingkungan. ”Tanah yang ada di halaman rumah kami ini, sama sekali tidak bisa dimanfaatkan untuk ditanami tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan dan berguna. Apalah yang mau kami tanam di tanah rawa seperti ini. Mana ada kami bisa nanam apa-apa, semuanya ya mati.”
Kondisi tanah seperti yang dikemukakan oleh Syaiful tadi, tentu berimbas pada harga jual tanah yang murah bahkan sama sekali tidak ada yang berminat. Untuk membelinya. “Tanah disini macem mana kami mau jual, orang nanyak pun tak ada, tak ada lah yang minat sama sekali kalau melihat kondisi tanah rawa seperti ini. Jadi macem mana kami mau menghargai yang enggak ada hargalah, boleh di bilang seperti itu...” “karena tidak ada yang minat itu walaupun harganya 1 meter tu, cuma Rp 30.000 – Rp 45.000. pun tidak ada yang mau, mau cemana lagi kami, mau diapain lagi.”
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Kondisi tanah yang selalu tergenang air luapan dari Sei Badera, ternyata cukup sangat berdampak dan memiliki multiplayer effect atau efek domino bagi penduduk yang berada pada Das Sei Badera dan sekitarnya. Tidak hanya kesulitan untuk ke laut menangkap ikan dan lainnya tetapi juga berimbas pada harga jual tanah yang sangat rendah. Kondisi seperti inilah yang selalu dikeluhkan oleh penduduk. Sebelum terlaksananya program normalisasi Sei Badera.
4.2.2.2. Kondisi Masyarakat di Sekitar Sei Badera Setelah Normalisasi Upaya pembangunan fisik melalui program normalisasi Sei Badera yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berkoordinasi dengan Pemerintah Kota Medan. Pada dasarnya merupakan suatu upaya pemberdayaan masyarakat. Bagi seseorang atau sekelompok orang pelaku perubahan, hal yang dilakukan terhadap klien mereka (baik pada tingkat individu, keluarga,
kelompok
atau
pun
komunitas)
adalah
upaya
memberdayakan
(mengembangkan klien dari keadaan tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya) guna mencapai kehidupan yang lebih baik (Isbandi Rukminto, 2003:53-54). Dengan demikian out put atau hasil yang diharapkan adalah meningkatnya taraf kesejahteraan hidup masyarakat. Salah satu indikator untuk mengukur taraf kehidupan yang lebih baik adalah dari sisi ekonomi dan pembangunan fisik. Program normalisasi Sei Badera sebagai suatu kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial,
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
sejalan dengan defenisi yang dikemukakan oleh Friedlander (1980). Menurut Friedlander : “Social welfare is the organized sistem of social services and institutions, designed to aid individuals and group to attain satisfying standards of life and health” (Kesejahteraan sosial merupakan sistem yang terorganisir dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu atau pun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan) Pengertian yang dikemukakan oleh Friedlander di atas sekurang-kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem kegiatan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Pasca program normalisasi Sei Badera pada tahun 2005 lalu. Penduduk Sei Badera Kecamatan Medan Marelan merasakan manfaar atau implikasi secara langsung dari normalisasi Sei Badera tersebut. Seperti yang kemukakan oleh Mahmuddin sebagai seorang nelayan, ia mengatakan : “Sekarang ini udah enak, bapak bisa setiap hari ke laut, tidak terhalang banjir, sampan bot bapak pun, dah bisa bapak tambatkan masuk sampai ke kampung sini, karena sebelumnya, hanya bapak tambat kan saja di seberang sebelum jembatan. Mesin bot pun tidak bolak-balik nyangkut. Pokoknya jadi lebih gampang lah semuanya.” Yung Baharuddin pun, mengatakan hal yang sama, meskipun usianya sudah 75 tahun, ia masih tetap kuat untuk pergi ke laut menjalankan pekerjaannya sebagai seorang nelayan. Yung Baharuddin mengatakan : “Sejak sungai dikeruk dan dan baguskan macem sekarang ni, kakek pergi ke laut ama anak kakek jadi enak, tak perlu kami harus menarik sampan kami sampai ke muara, baru kami naik, karena sungai dangkal dulu, sekarang ini
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
jadi lebih cepatlah, karena dari kampung ni, kami bisa langsung naik dan sampe ke laut. Baliknya pun gitu juga…” “Sekarang ni, kakek bisa ke laut tiap hari. Kecuali kalau cuaca di laut tak bagus lah kakek balik pulang lagi. Tapi kalau dulu, cuaca di laut cantik, tapi karena air banjir belum surut, tak bisa lewat sampan, cemana mau ke laut.” Iyus selain sebagai seorang nelayan, ia juga bekerja sebagai pencari daun nipah yang akan dibuat menjadi atap tepas. Setelah ia mendapatkan bahan-bahannya, maka ia antarkan ke kampung-kampung yang penduduknya menjadi pengrajin atap nipah. Iyus mengatakan :
“Sekarang ni, dah lumayan karena kami bisa tiap hari jemput daun nipah, dah tu langsung bisa antar ke rumah-rumah pekerjanya. Kalau dulu, sewaktu sungai masih rendah, paling seminggu bisa 2 kali untuk cari ama jemput nipah. Kadang sampe daun tu, dah rusak, sebahagian baru bisa antar ke pekerja, payahlah dek.”
Maimunnah dan Salamah sebagai ibu rumah tangga yang menjadi pekerja atau pengrajin daun nipah mengatakan bahwa, sejak Sei Badera telah di lakukan normalisasi, mereka jadi memiliki pendapatan tambahan setiap bulannya dengan teratur. Jika Sei Badera dalam kondisi sebelum normalisasi, mereka sangat tergantung sekali pada pasokan bahan yang diantar melalui sampan bot. sehingga jika sampan tidak bisa masuk (datang) ke perkampungan untuk mengantarkan daun nipah dikarenakan banjir, maka mereka tidak dapat mengeyam atap nipah. Dengan kondisi seperti itu, pastinya mereka juga tidak mendapat upah. Implikasi positif lainnya adalah; seperti yang juga dapat peneliti amati selama ”terjun” ke lapangan adalah penduduk mulai memanfaatkan tanah yang berada di
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
sekitar rumah mereka untuk menanami tanaman seperti ; ubi kayu, daun sereh, jahe, kunyit, cabe dan bunga-bungaan. Padahal sebelumnya hal itu tidak mungkin dapat mereka lakukan karena kondisi tanah yang selalu tergenang air. Seperti yang dikatakan oleh Ramlah ibu rumah tangga yang menjadi informan dalam penelitian ini ”Lumayanlah, sekarang kami sedikit bisa nanami halaman kami ni, paling tidak kalau mau makan cabe rawit, tak lah perlu beli lagi, tinggal putik saja dari halaman. Jadi agak mendai, sedikit halaman rumah kami ni, bisa kami tanami bunga, biar mendai lah kalo dilihat dari depan.” Pemanfaatan tanah pekarangan oleh warga, pasca normalisasi Sei Badera. Dapat kita lihat sebagai implikasi positif dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang ada di sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Penduduk dapat menghemat belanja sehar-harinya hingga Rp 5000.- seperti yang dikatakan oleh Ramlah : ”... dari pada semuanya beli di kedei, kalau bisanya awak tanam kan lumayan bisa menghemat Rp 5000.- kita setiap belanja. Tau sendirilah, sekarang ni apa-apa mahal harganya...” Manfaat lainnya yang menjadi implikasi secara langsung yang dirasakan oleh masyarakat pasca normalisasi Sei Badera adalah seperti yang diungkapkan oleh Syaiful, kepala lingkungan 17 (tujuh belas), pada kutipan yang telah penulis sampaikan di atas bahwa, dulu sewaktu kondisi tanah selalu tergenang air dan banjir, tidak ada seorang pun yang berminat untuk membeli tanah di daerah itu, meskipun harganya hanya berkisar Rp 30.000 hingga Rp 45.000.- per meter. Namun, sekarang berdasarkan pengamatan penulis sedikitnya telah terdapat dua pengembang (developer) yang telah mendirikan perumahan di kawasan Das Sei Badera. Dalam
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
penelitian ini, peneliti menanyakan harga tanah setiap 1 meternya berkisar antara Rp 250.000.- hingga Rp 350.000.- ini merupakan suatu lonjakan harga yang cukup tinggi. Awalnya lokasi tersebut sama sekali tidak berharga. Deni, 32 tahun salah seorang manager proyek pengembang Perumahan Griya Pesona Minimalist. Secara gamblang mengatakan salah satu pertimbangan mereka memutuskan untuk membeli tanah dan membangun perumahan di daerah ini, selain dari harga tanah yang dapat dikatakan murah untuk kawasan pinggir kota. Pertimbangan lainnya adalah kawasan ini sudah bebas dari banjir karena Sei Badera sudah dilakukan normalisasi. Demikian yang dikatakan oleh Deni. ”Kami sebagai pengembang memutuskan untuk membeli dan membangun perumahan di wilayah ini selain harga tanah yang terbilang murah, yakni kawasan ini sudah tidak banjir. Karena sungai sudah bagus kondisinya. Dan sebenarnya lokasi ini sudah lama kami pantu untuk kami beli. Tetapi dulu, kami belum berani beli karena Anda tahu sendirilah bagaimana kondisi tanah disini yang selalu tegenang air dan sedikit hujan saja sudah benjir.”
Harga jual tanah yang semakin tinggi, dengan sendirinya menyadarkan penduduk bahwa tanah mereka yang meraka anggap tidak berharga lagi atau tidak ada nilai kini, menjadi begitu berharga. Sehingga semakin banyak penduduk yang mengurus kepemilikan tanah mereka dengan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sebelumnya penduduk hanya memegang sertifikat atau surat tanah yang hanya di kelurkan oleh kepala desa atau lurah setempat. Dari pemaparan di atas dan dari bahan primer yang peneliti dapatkan di lapangan. Paling tidak peneliti dapat merinci beberapa keuntungan secara ekonomi
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
yang dapat dirasakan secara langsung dan nyata oleh masyarakat sekita Sei Badera seperti yang terdapat pada tabel berikut ini. Tabel 7. Hasil Normalisasi Sei Badera No
1
Item Perubahan
Kepastian
Sebelum Normalisasi
Setelah Normalisasi
Masyarakat tidak
Masyarakat bisa
mendapat kepastian
memastikan dirinya
untuk mencari nafkah
untuk dapat pergi ke
setiap harinya ke laut
laut melalui sungai
bagi nelayan dan
dan memafaatkan
aktifitas lainnya seperti
jasa sungai untuk
pencari dan pengantar
mencari dan
atap nipah yang
mengantar atap
menggunakan jasa
nipah. Karena kondisi
sungai karena kondisi
sungai yang sudah
sungai yang dangkal
baik (dalam dan
dan banjir
jarak permukaan air ke jembatan jauh)
Tidak dapat dipastikan karena sering terjadi mereka tidak
2
mendapatkan uang
Dari hasil nelayan Rp
Rata-rata jumlah
sedikitpun selama
30.000 – 70.000
penghasilan perharinya
seminggu lamanya.
Dari hasil membuat
Karena mereka tidak
atap nipah Rp 15.000
bisa ke laut dan mencari, mendapatkan nipah
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Tidak ada karena
3
Tambahan dari hasil ladang/halaman rumah
ladang atau halaman
Bisa menghemat Rp
rumah tidak dapat
3000 – Rp 5000 dari
dimanfaatkan karena
belanja sehari-hari
tergenang air
4
Hampir dikatakan tidak
Banyak peminat
ada peminat.
untuk dijadikan
Harga jual tanah dan
Penawaran Rp 30.000 –
perumahan.
bangunan/rumah
Rp 40.000/meter
Penawaran Rp 250.000 – Rp 350.000/meter
Sumber : Diolah dari data lapangan yang didapatkan (wawancara dengan kepala lingkungan dan tokoh masyarakat)
Selain dari apa yang telah peneliti paparkan pada tabel 4.9 di atas maka, peneliti melihat peningkatan aspek pembangunan ekonomi ini dari peningkatan daya beli masyarakat terhadap kebutuhan sekunder seperti alat-alat elektronik. Berdasarkan penuturan dari Sayuti (48 tahun) dan pengamatan peneliti di lapangan, di daerah sepanjang DAS Sei Badera seluruh masyarakatnya memiliki televisi, vcd/dvd compact disc dan radio/mini compo. ”Sekarang masyarakat di sekitar sini sudah lumayan lah tingkat penghasilannya karena sekarang ni, semua rumah dah ada tv ama vcd-nya kalau dulu, sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu jangan kan vcd, tv aja belum tentu ada masyarakat sini. Cemana mau ada, orang bolak-balik banjir lah pulak.”
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
untuk mengkonfirmasikan hal ini, maka peneliti berusaha menghimpun data kepada pemilik toko elektronik yang berada di pasar Marelan, kawasan Medan Marelan yang jaraknya berada kurang lebih 7 kilometer dari DAS Sei Badera. Peneliti mendatangi dan mewawancarai dua orang pemilik toko elektronik di kawasana itu. Pertama. Toko Elektronik MARELAN, Kedua. Toko Elektronik BANGGA JAYA. Suyanto alias Lim Huan (51 tahun) pemilik Toko BANGGA JAYA yang telah membuka tokonya di kawasan itu selama 17 tahun mengatakan,
”Iya bener 3 tahun belakangan ini, barang saya memang grafik penjualannya semakin bagus, tapi beberapan bulan ini setelah naik BBM, sepi pembeli” ”Kalau 3 tahun belakangan ini paling enggak tv ama vcd adalah 5 sampai 7 unit keluar tiap bulan dari tempat kami. Kipas angin juga banyak beli”
Sama seperti yang dikatakan oleh Suyanto, Linda alias Imey (46 tahun) pemilik toko MARELAN juga mengatakan kalau dari angka penjualan barang seperti tv, vcd/dvd, kipas angin dan mini compo, di tokonya mengalami peningkatan 2 tahun belakang ini.
”Baguslah penjualan kita, adalah 2 tahun belakangan ini, biasa orang banyak ambil ama kita tv, vcd, mini compo juga.” “Kalau kita rata-ratakan adalah seminggu sekali lakulah kayak tv 29 inchi tapi kalau kayak setrikaan, kipas angin seminggu tu bisa sampe 3 unit-4 unit kita lepas”
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
“Pembelinya rata-rata orang Marelan sini aja, jalan besar Marelan, Hamparan Perak, jaranglah, kalau orang luar Marelan, paling pun ada yang dari Martubung, atau Titi Papan.”
Apa yang dikatakan oleh Suyanto dan Linda tadi para pemilik toko elektronik di kawasan Pasar Marelan, semakin menguatkan dan menunjukkan bahwa kemampuan daya beli masyarakat di sekitar kawasan Medan Marelan, termasuk juga yang berada DAS Sei Badera semakin lebih baik. Manfaat pelaksanaan program normalisasi Sei Badera sangat dirasakan sekali oleh penduduk sekitar. Apalagi implikasi yang langsung menyentuh pada sektor peningkatan ekonomi seperti yang telah penulis jabarkan di atas. Keberadaan Sei Badera yang memiliki peran penting bagi penduduk sekitar, dengan kondisi yang semakin baik memperlancar roda perekonomian masyarakat seperti : sebagai sarana transportasi menuju laut sudah tidak terkendala lagi, kemudian sebagai sarana transportasi untuk mengangkat bahan pembuatan atap nipah, tanah yang berada di pekarangan rumah yang dapat dimanfaatkan untuk ditanami dan terakhir adalah semakin tingginya harga jual tanah di daerah itu.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Dari latar belakang masalah yang terjadi dari suatu proses implikasi kebijakan yang dilakukan oleh institusi pemerintah terhadap kebijakan pelaksanaan proyek Normalisasi Sei Badera terhadap pembangunan masyarakat di Kecamatan Medan Marelan merupakan hal yang memang seharusnya dilakukan, apalagi mengingat Kecamatan Medan Marelan merupakan daerah urbanisasi penduduk dari beberapa kecamatan yang ada di kota Medan, karena merupakan tempat yang memiliki lokasi yang cukup luas untuk tempat tinggal dan daerah yang dekat dengan sentra industri terutama pabrik- pabrik yang sudah tentu memberikan tempat dan lowongan kerja bagi penduduk kota Medan pada umumnya dan penduduk kecamatan yang ada berdekatan dengan Kecamatan Medan Marelan Khususnya. Dengan
melakukan
penormalisasian
Sei
Badera
bukan
saja
untuk
menanggulangi banjir yang sering terjadi di Kecamatan Medan Marelan akan tetapi memberikan dampak dan manfaat yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat di Kecamatan Medan Marelan apalagi dengan pekerjaan proyek tersebut harga tanah menjadi lebih mahal dari harga sebelumnya karena daerah yang selama ini sering terkena banjir tidak lagi mengalami banjir dan sekarang telah direncanakan untuk pembangunan daerah-daerah pemukiman untuk perumahan baik real estate maupun perumahan penduduk pendatang dari dari daerah lain.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
5.2. Saran Pemerintah Kota Medan sebagai pemerintah daerah yang ingin berkembang menuju menjadi Kota Medan Metropolitan perlu melakukan pembangunanpembangunan infrastruktur dan perbaikan-perbaikan sarana dan prasarana kebutuhan masyarakat di segala bidang yang dapat membantu perbaikan perekonomian masyarakat dan perbaikan lingkungan masyarakat. Dalam pelaksanaan kegiatan proyek Normalisasi Sei Badera yang terjadi di Kecamatan Medan Marelan sudah merupakan tindakan yang tepat bagi pembangunan masyarakat dan perbaikan lingkungan masyarakat dan pengembangan wilayah bagi kebutuhan tempat pemukiman penduduk, akan tetapi dalam kegiatan tersebut semestinyalah harus melibatkan partisipasi masyarakat sehingga masyarakat bertanggungjawab dan merasa memiliki akan pelaksanaan dan kegunaaan proyek tersebut baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kemudian disarankan agar proyek-proyek sejenis bukan hanya dilaksanakan di Kecamatan Medan Marelan, tetapi di setiap daerah yang ada di Kota Medan yang memerlukan penanganan terhadap bahaya banjir dan peningkatan pembangunan masyarakat. Bagi Dinas Pengairan Propinsi Sumatera Utara sebagai Pelaksana Teknis Kegiatan normalisasi Sei Badera dan irigasi di seluruh wilayah propinsi Sumatera Utara dapat lebih meningkatkan kinerja untuk melaksanakan pekerjaan dan tanggungjawabnya sebagai Dinas Pelaksana Teknis yang mengemban tugas dan tanggungjawab dalam bidangnya seperti yang dituangkan dalam tugas pokok dan
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
fungsinya sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No.061454.K/Tahun 2002 tanggal 24 Juni 2002 tentang Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Dinas Pengairan serta Organisasi Tata
Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengairan
Propinsi Sumatera Utara Tahun 2002. Sehingga segala permasalahan tentang sungai dan irigasi dapat teratasi dan tertangani sebagaimana mestinya.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
DAFTAR PUSTAKA Lembaran Negara Undang-undang Republik Indonesia No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No.28 Thn 2000 Tentang Dinas daerah Propinsi Sumatera Utara. Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Sumatera Utara 2001-2005. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara No.28 Thn 2000 Tentang Dinas Dinas daerah Propinsi Sumatera Utara.
Buku Achmad, Ramli dkk. 1992, Koleksi Miniatur Rumah Tradisional Suku Bangsa Rejang Dan Melayu Bengkulu Museum Negeri Provinsi Bengkulu. Depdikbud Propinsi Bengkulu) Adelman, Irma, 1973, Economic Growth and Social Equity in Developing Countries, Stanford California : University Press. Adi, Isbandi Rukminto. 1994, Psikologi, Pekerjaan Sosial dan Ilmu Kesejahteraan Sosial : Dasar-dasar Pemikiran, Jakarta : Rajawali Pers Astrid,S.Susanto,Phil. 1985, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Jakarta : Bina Cipta. Budiman, Arief, 1995, Teori Pembanguan Dunia Ketiga, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Burhani, MS, 2005, Referensi Ilmiah Politik, Jombang : Lintas Media Bratakusumah,Supriady Deddy, Riyadi, 2005, Perencanaan Pembangunan Daerah, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama. Brokensha, David, 1982, Community Development, an Interpretation, Chicago : ChandlerPublishing Company.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Berartha, I Nyoman, 1982, Desa, Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Jakarta :Ghalia Indonesia. Conyers, Diana , 1994, Perencanaan Sosial Di Dunia Ketiga (Suatu Pegantar), Yogyakarta : Gajahmada University Press. Dalail, Ngadisah, 2002, Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Fisik Di Daerah, Jakarta :UI Press. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Republik Indonesia, 2000 Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu, Jakarta. Dieter Evers, 2002, Asia and the pacific into the twenty-first century : Globalization and Development, New York : United Nations.
Drucker, Peter F. 1995, Individual Organizational, and Societal Empowerment : A Study of the Processes in a Nicaraguan Agricultural Cooperative, American Journal. Dye, Thomas R, 1992, Memahami Kebijakan Publik, Jakarta : Grafiti Pers. Edward III, 1980, Impelementing Publik Policy, Congeression Quarterly Inc, Washington DC 1980. Gunawan Sumodiningrat, 1999, Pemberdayaan Masyarakat dan JPS, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999 IB.Wirawan, Sudikin, Basrowi. 2001, Perencanaan dan Strategi Pembangunan, Surabaya : Jember University Press. Jones, Charles, O.1996, Pengantar Kebijakan Publik (Publik Policy), Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Kamisa, 1997, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya : Kartika. Kartasasmita, Ginanjar.1996, Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat, Jakarta: Bappenas. Kodoatie,Robert, J,.Suharyanto,.Sri sangkawati,.Edhisono,Sutarto. 2001, Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Otonomi Daerah, Yokyakarta : Andi Press.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Kunarjo. 1996, Perencanaan Dan Pembiayaan Pembangunan, Jakarta : UI-Press. Lexy, Moleong, J. 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya. Mubyarto, 1994, Prospek Perkembangan Ekonomi Rakyat :Prospek Ekonomi Rakyat dan Konglomerasi di Indonesia dan Era Globalisasi, Yogyakarta : Univ. Tamansiswa Press. Michael.Cernea, M. 1998, Mengutamakan Manusia Di Dalam Pembanguan, Jakarta : UIPress. Midgley, James. 1995, Social Development : The Developmental Perspective in Social Welfare, London : Sage Publication, ltd. M. J. Kasianto, 1991, Masalah dan Strategi Pembangunan Indonesia, Jakarta : PT.Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. M. Muhtadi, 2000, Sistem dan Departemen PU.
Mekanisme Pengawasan, Jakarta : Puslitbang
Nur Rifah Masykur Olek. 2001, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Jakarta : PT. Permata Artistika Kreasi. Nogi S. Hessel, 2003, Kebijakan Publik untuk Pemimpin Berwawasan Internasional: Perubahan Kecil Membuat Perbedaan Besar, Peta Sukses dari United Nation, Yogyakarta : Balairung. Prinsen, G. 1999, Communities and Empowerment : An Introduction to Participatory Rural Appraisal, International Social Work. Ross, Muray G, 1967, Community Organization: theory, principles, and practice, New York : Harper & Row Publisher. Sigit S. Pramono, 2002, Analisis Peny elesaian Masalah Banjir di Kota Semarang dengan Pendekatan Sistem Peringkat Komunitas (SPK), Semarang : Gunadarma Press. Suharto Iman, 1986, Manajemen Proyek: Dari Konsep Hingga Evaluasi, Bandung : Ganesha. Taliziduhu Ndaraha, 1990, Pembangunan Masyarakat, Bandung : Rineka Cipta.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Todaro,M. P. 1989, Pembangunan Sosial , Teori dan Implikasi Kebijakan, Jakarta : Sekretariat Jenderal DPR, R.I. Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Bekerjasama dengan Konrad Adenaner Stifury. Tonies, Ferdinand. 1992, Empowerment : Alternatif Development, Massachusetts : MIT Press Van Meter, Donald dan Carl E.Van Horn, 1986, Proses Implikasi Kebijakan Sebuah Kerangka Konsep, Jakarta : Gramedia Wibawa, 1994, Reinventing Indonesia : Menata Ulang Paradigma Pembangunan untuk Membangun Indonesia Baru dengan Keunggulan Global, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Ware, Alan dan Robert E. Goodin, 1990, Needs and Welfare. London : Sage Publication. Winarno.Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo. William L.Collier dkk. 1996, Pendekatan Baru Dalam Pembangunan Pedesaan di Jawa,Yokyakarta : Obor Indonesia. Williams, Antony. 1995, Visual and Active Supervision : Roles, Focus, Technique. New York : W.W. Norton and Company William N.Dunn, 1988, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta : PT. Bina Aksara
Website/Situs di Internet http//www.bainfokomsumut.go.id, Tim Badan Informasi dan Komunikasi Sumatera Utara. Diakses pada 12 Maret 2008. http//www.bappenas.go.id, Tim Badan Perencanaan Nasional. Diakses pada 12 Maret 2008. http//www.bps.go.id, Tim Badan Pusat Statistik. Diakses pada 12 Maret 2008. http//www.depdagri.go.id. Tim Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia. Diakses pada 12 Maret 2008.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
http//www.pemprovsu.go.id. Tim Pemerintahan Propinsi Sumatera Utara. Diakses pada 12 Maret 2008. http//www.pemkomedan.go.id. Tim Pemerintah Kota Medan. Diakses pada 12 Maret 2008.
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
LAMPIRAN Gambar A
Gambar B
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Gambar C
Gambar D
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Gambar E
Gambar F
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
116 Gamber G
Gambar H
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008
Gambar I
Muhammad Haldun: Implikasi Normalisasi Sei Badera Terhadap Pemukiman Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan, 2008. USU e-Repository © 2008