Dewan Redaksi Pelindung: Rektor Universitas Syiah Kuala Pengarah: Ketua Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) - Unsyiah Wakil Pengarah: Wakil Ketua Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) – Unsyiah Ketua Pelaksana: Intan Dewi Kumala Penyunting Ahli (Penelaah Mitra Bestari): Khairul Munadi Ella Meilianda Sekretariat: Ikramullah Zein Razali Amna Desain Cover: Mahruza Fachrurrazy Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) – Unsyiah Jl. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Gampong Pie, Kec. Meuraxa, Banda Aceh, 23233 Telp: 0651 – 8052009 Email:
[email protected]
I
Kata Pengantar Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kita sampaikan ke hadirat Allah Swt, dengan berharap berkah dan rahmat-Nya Prosiding Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami Tahun 2015 dapat diterbitkan. Prosiding ini merupakan dokumentasi karya ilmiah para Peneliti Nasional dari berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan mitigasi bencana tsunami. Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015 diselenggarakan dalam rangka memperingati 11 tahun peristiwa Tsunami Aceh, dan merupakan simposium yang pertama kali dilakukan untuk mitigasi bencana tsunami yang bertujuan untuk meneruskan dan melestarikan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan mitigasi bencana tsunami sehingga dapat menjadi sumber pengetahuan maupun pembelajaran bagi masyarakat secara luas serta bagi para pemangku kepentingan terkait dengan mitigasi bencana, khususnya mitigasi bencana Tsunami. Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015 melalui tema Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai dilaksanakan di Banda Aceh pada tanggal 21 – 22 Desember 2015, dengan dukungan TDMRC- Unsyiah dan USAID PEER Cycle-3. Prosiding ini memuat karya ilmiah yang telah dipresentasikan oleh para peneliti nasional dengan tema terkait mitigasi bencana tsunami berjumlah 30 karya ilmiah. Semoga penerbitan Prosiding ini dapat bermanfaat sebagai bahan acuan maupun sebagai sumber data sekunder bagi pengembangan penelitian di masa yang akan datang. Akhir kata kepada semua pihak yang terlibat dan telah membantu dalam penyelenggaraan simposium serta penerbitan prosiding ini, kami ucapkan terima kasih. Banda Aceh, 22 Desember 2015 Tsunami and Disaster Mitigation Research CenterUniveritas Syiah Kuala,
Intan Dewi Kumala Ketua
II
Daftar Isi Dewan Redaksi …………………………………………. I Kata Pengantar ………………………………………….. II Daftar isi …………………………………………………. III Susunan Acara …………………………………………… V TS. 1 Kesiapsiagaan Tsunami TS. 1-1 TS. 1-2 TS. 1.3
Analisis Rute Evakuasi Tsunami di Pelabuhan Perikanan Teluk Bungus ………………………………………………………………
1
Rencana Aksi Mitigasi Bencana Tsunami melalui Pendekatan Tipologi Pesisir dan Pemukiman, Kasus: Pesisir Jayapura …….
14
Kajian Peningkatan Risiko Bencana Tsunami dan Banjir Pantai Selatan Kulon Progo. Studi Kasus pada Rencana Tapak Pembangunan Bandara Kulon Progo ……………………………..
24
PS. 1 Kajian Penataan Ruang Kawasan Pesisir dan Permodelan Tsunami PS. 1-1
Interaksi Hukum Negara dan Hukum Adat dalam Penglolaan Wilayah Pesisir Terkait Mitigasi Bencana di Kabupaten Aceh Besar ……………………………………………............................... 30
PS. 1-2
Penentuan Tempat Evakuasi Sementara (TES), Berdasarkan Kapasitasnya di Kota Pariaman dengan Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) ………………………………………………………
40
Simulasi Numerik Dampak Tsunami 2004 Terhadap Morfologi Pantai di Kawasan Peukan Bada, Aceh Besar ……………………….
54
Studi Ketahanan Sektor Sarana, Prasarana dan Utilitas Kota Banda Aceh dalam Rencana Tata Ruang Guna Menghadapi Bencana Tsunami …………………………………………………..................
66
PS. 1-3
PS. 1-4
TS. 2 Kajian Permodelan Tsunami TS. 2-1
TS. 2-2
TS. 2-3
Simulation of an Evacuation into an Escape Building During a Tsunami Event ………………………………………………………
78
Jejak Rekam Spasial Proses Pemulihan Kawasan Pantai Setelah Tsunami 2004 di Kawasan Lhoong, Aceh Besar …………………...
86
Tsunami Simulation at Seismic Gap Region along Aceh Faults (Great Sumatra Faults) by using COMCOT Model ………………………….
94 III
PS.2 Kajian Kesiapsiagaan Tsunami PS. 2-1
Perencanaan Jalur Evakuasi Tsunami pada Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh …………………………………………………….
104
Kajian Pemetaan Risiko dan Evakuasi Tsunami di Desa Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon …………………………
114
PS. 2-3
Upaya Pencegahan Penyakit Menular pada Bencana Tsunami …….
126
PS. 2-4
Persepsi Masyarakat terhadap Pemberdayaan dan Kepercayaan pada Kredibilitas Lembaga dalam Rangka Kesiapsiagaan Tsunami …….
134
The 11 Years Assessment on School Safety and Disaster Education at the Public Elementary Schools in Banda Aceh after the 2004 Aceh Tsunami: reliminary Findings ……………………………………….
146
Penguatan Kapasitas Kelembagaan ekolah dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana ………….
155
Holistic Evacuation Planning for the Improvement of Spatial Plan – A Case Study of Meuraksa Sub-District ……………………………..
165
PS. 2-2
PS. 2-5
PS. 2-6
SP. 1 SP. 1-1
TS. 3 Kajian Dampak dan Kesiapsiagaan Tsunami TS. 3-1
TS. 3-2
A Comparative Study of Tsunami Catalog from NGDC NOAA and Novosibirsk Tsunami Laboratory (NTL) and Its Implication for Tsunami Research and Information in Indonesia Region …………..
179
Kajian Dampak Tsunami terhadap Perkembangan Tataruang di Aceh sebelum dan sesudah Tsunami tahun 2004 ………………………….
192
Mitigasi dalam Perspektif Islam ……………………………………..
203
SP. 2 SP. 2-1
IV
Susunan Acara Waktu 07:30 - 08:30
Senin, 21 Desember 2015 Jadwal Pendaftaran Peserta
09:04 - 09:09 09:09-09:13
ACARA PEMBUKAAN SEMINAR NASIONAL Pembukaan Acara Pembacaan Ayat Suci Al-Qur'an Laporan Ketua TDMRC Universitas Syiah Kuala - Dr. Khairul Munadi Sambutan Perwakilan USAID - Dr. Clara Davis Pembukaan oleh Rektor Universitas Syiah Kuala - Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal M.Eng Pembacaan Do'a Penutup
09:40 - 10:10 10:10 - 10:40 10:40 - 10:45 10:45 - 11:00
KEYNOTE SPEECH Moderator: Dr. Syamsidik Keynote Speaker 1: Prof. Philip F. Liu Keynote Speaker 2: Dr. Hamzah Latief Penyerahan Plakat Rehat
08:30 - 08:35 08:35 - 08:40 08:40 - 08:48 08:48 - 08:56 08:56 - 09:04
11:00 - 11:15 11:15 - 11:30 11:30 - 11:45 11:45 - 12:00
12:00 - 12:03
12:03 - 12:06
12:06 - 12:09 12:09 - 12:12
Technical Session I "Kesiapsiagaan Tsunami" Moderator: Dr. Ella Meilianda Analisis Rute Evakuasi Tsunami Di Pelabuhan Perikanan Teluk Bungus Semeidi Husrin Rencana Aksi Mitigasi Bencana Tsunami Melalui Pendekatan Tipologi Pesisir dan Pemukiman, Kasus: Pesisir Jayapura - M.N. Malawani Kajian Peningkatan Risiko Bencana Tsunami dan Banjir Pantai Selatan Kulon Progo - Eko Teguh Paripurno Studi Parameter Mekanisme Gempa Bumi & Tsunami - Widjo Kongko Sesi Penyampaian Resume Poster "Kajian Penataan Ruang Kawasan Pesisir dan Permodelan Tsunami" Penataan Ruang Pesisir Berbasis Kearifan Lokal (Studi Interaksi Hukum Negara dan Hukum Adat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir terkait Mitigasi Bencana di Kabupaten Aceh Besar) - Sulaiman Penentuan Tempat Evakuasi Sementara (TES), Berdasarkan Kapasitasnya Di Kota Pariaman Dengan Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) - Dini Purbani Tsunami Modelling of The Halmahera November 15, 2014 Tsunami Using WinITDB and Modified Earthquake Source Parameter - Dimas Salomo J. Sianipar Simulasi Numerik Dampak Tsunami 2004 terhadap Morfologi Pantai di Kawasan Peukan Bada, Aceh Besar - Tursina V
12:12 - 12:15 12:15 - 14:00
14:00 - 14:15 14:15 - 14:30 14:30 - 14:45
14:45 - 14:48 14:48- 14:51 14:51 - 14:54 14:54 - 14:57 14:57 - 15:00 15:00 - 15:03 15:03 - 15:06
15:06 - 15:46
15:46 - 16:15 16:15 - 16:30 16:30 - 17:00
Waktu
09:00 - 09:15 09:15 - 09:30
Studi Ketahanan Sektor Sarana, Prasarana dan Utilitas Kota Banda Aceh Dalam Rencana Tata Ruang Guna menghadapi Bencana Tsunami – Dr. Ir. Isya, MT Rehat, Shalat dan Makan Siang Technical Session II "Kajian Permodelan Tsunami" Moderator: Dr. Syamsidik Simulation of an Evacuation into an Escape Buildings during a Tsunami Event Radianta Triatmadja Jejak Rekam Spasial Proses Pemulihan Kawasan Pantai setelah Tsunami 2004 di Kawasan Lhoong, Aceh Besar - Musa Al'ala Tsunami Simulation at Seismic Gap Region along Aceh Faults (Great Sumatra Fault) by Using COMCOT Model - Ilham Fajri Sesi Penyampaian Resume Poster "Kajian Kesiapsiagaan Tsunami" Perencanaan Jalur Evakuasi Tsunami Pada Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh - Cut Mutiawati Kajian Pemetaan Risiko Dan Evakuasi Tsunami Di Desa Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon - Ferad Putuhuru Upaya Pencegahan Penyakit Menular pada Bencana Tsunami - Mudatsir Persepsi Masyarakat Terhadap Pemberdayaan Dan Kepercayaan Pada Kredibilitas Lembada Dalam Rangka Kesiapsiagaan Tsunami - Any Nurhayati Assessing Sustainable School Preparedness in Banda Aceh City - Aiko Sakurai Duka Cita Pasca 10 Tahun Bencana Tsunami; Sebuah Studi Deskriptif Pada Penziarah Kuburan Massal - Arum Sulistyani Penguatan Kapasitas Kelembagaan Sekolah dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Masyarakat Terhadap Bencana - Rina Suryani Oktari Sesi Panel I Moderator: Dr. Ella Meilianda Pengetahuan yang Menyelamatkan - Dr. Khairul Munadi Holistic Evacuation Planning for The Improvement of Spatial Plan; A Case Study of Meuraxa Sub-distric - Dr. Ir. Harkunti P. Rahayu Sesi Poster Rehat dan Shalat Sosialisasi Hibah Penelitian Dari USAID - Dr. Clara Davis dan Jalu Cahyanto
Selasa, 22 Desember 2015 Jadwal Technical Session III "Kajian Dampak dan Kesiapsiagaan Tsunami" Moderator: Dr. Nazli Ismail A Comparative Study of Tsunami Catalog from NGDC NOAA and Novosibirsk Tsunami Laboratory (NTL) and Its Implication for Tsunami Research and Information in Indonesian Region - Dimas Salomo J. Sianipar Perkembangan Morfologi Pantai di Aceh, Indonesia, sejak Bencana Tsunami tahun 2004 - Ella Meilianda
VI
09:30 - 09:45 09:45 - 10:00 10:00 - 10:30
10:00 - 12:00
12:00 - 14:00 14:00 - 15:00 15:00 - 16:00
Kajian Dampak Tsunami terhadap Perkembangan Tataruang di Aceh sebelum dan sesudah Tsunami tahun 2004 – Syamsidik Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Mata Rantai Peringatan Dini Tsunami di Indonesia – Bustamam Rehat Sesi Panel II Moderator: Dr. Syamsidik Pengelolaan Khazanah Tsunami Aceh Untuk Pengembangan Pengetahuan Kebencanaan dan Pariwisata - Dinas Pariwisata Aceh: Rahmadhani, M.Bus Pelestarian Tsunami Heritage Aceh Untuk Pengembangan Laboratorium Alam dan Pariwisata – Dr. Nazli Ismail Mitigasi Bencana Tsunami dalam Perspektif Islam - Ustadz. Mizaj Iskandar. Lc Rehat, Shalat dan Makan Siang Pembahasan Draft Policy Brief Penutupan
VII
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Analisis Rute Evakuasi Tsunami Di Pelabuhan Perikanan Teluk Bungus Analysis of Tsunami Evacuation Routes For The Port of Teluk Bungus Semeidi Husrin1 Aprizon Putra1, Gunardi Kusumah1, Wisnu A. Gemilang1, Muhammad Ramdhan2 dan Dino Gunawan2 1
Loka Penelitian Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Balitbang KP, KKP Jl. Raya Padang-Painan Km.16, Teluk Bungus Email:
[email protected] 2 Puslitbang Sumber Daya Laut dan Pesisir, Balitbang KP, KKP Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara Email:
[email protected]
Abstrak Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Teluk Bungus merupakan pelabuhan perikanan terbesar di Sumatera Barat yang sangat rentan terhadap bencana tsunami di masa yang akan datang. Lokasinya yang terletak di Selatan Kota Padang, Kompleks PPS Teluk Bungus belum mempunyai sistem mitigasi bencana tsunami yang baku. Dengan mempertimbangkan letaknya yang terisolasi dan keterbatasan akses pada fasilitas evakuasi tsunami, penentuan rute-rute evakuasi tsunami merupakan salah satu kunci upaya mitigasi di kawasan ini untuk mengurangi korban jiwa. Paper ini mendiskusikan penentuan lokasi dan rute evakuasi tsunami di Kawasan PPS Bungus berdasarkan aspek – aspek kemudahan akses, keamanan, waktu tempuh dan ketersediaan penunjang kehidupan. Di antara lima rute evakuasi tsunami yang tersedia, satu diantaranya telah teridentifikasi sebagai rute evakuasi yang paling dapat diandalkan. Selain itu, beberapa alternatif lain juga dapat digunakan sebagai rute evakuasi tsunami di PPS Bungus dengan mempertimbangkan kemudahan akses dan perkembangan pelabuhan ke depan.
Kata Kunci: tsunami, pelabuhan perikanan, teluk bungus, rute evakuasi, mitigasi Abstract The Port of Teluk Bungus, the largest fisheries port in Western Sumatera is highly vulnerable against the impact of future tsunami. Located in the South of Padang, the port of Teluk Bungus still has no conclusive measures against tsunami. Considering its remote location and limited access to tsunami evacuation facilities, determination of tsunami evacuation routes is one of key measures for the port of Teluk Bungus to minimize human casualties. This paper discusses the determination of the locations and the routes for tsunami evacuation in the area PPS Bungus based on the aspects of access easiness, time 1 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
travel, security from landslide, and livelihood supports. Among the five available evacuation routes/locations, one route has been identified as the most reliable one. However, other route alternatives are also proposed considering better access and future development of the fisheries port Keywords: tsunami, fisheries port, Teluk Bungus, evacuation routes, mitigation
1. Pendahuluan Dilihat dari sejarah, wilayah Sumatera Barat telah beberapa kali dilanda gempa besar yang menyebabkan tsunami seperti yang terjadi pada tahun 1797 dan 1883 di mana gelombang tsunami setinggi 6 m tercatat dalam sejarah Kota Padang (McCloskey et al., 2008). Pasca Gempabumi dan Tsunami Aceh 2004, Padang dan Sumatera Barat pada umumnya, setidaknya sudah dilanda gempa bumi besar sebanyak empat kali yaitu pada tahun 2007, 2009, 2010 dan 2012 di mana ribuan orang telah menjadi korban. Bahkan pada tahun 2010, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 2010 gempa bumi yang terjadi di lepas pantai Kepulauan Mentawai menyebabkan tsunami yang menghantam Kepulauan Mentawai bagian Selatan dengan ratusan jiwa menjadi korban. Tingginya kejadian gempa bumi di wilayah ini karena posisinya yang berada tepat di hadapan celah seismik dari “Sumatera Megathrust” yang berpotensi mengeluarkan energi besar yang menyebabkan gempa bumi atau tsunami di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penelitian untuk melihat kerentanan wilayah Padang dan sekitarnya sangat dibutuhkan untuk mengurangi resiko bencana gempa dan tsunami. Daerah Teluk Bungus dan sekitarnya secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Bungus - Teluk Kabung di bagian Selatan Kota Padang – Sumatera Barat (Gambar 1). Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Teluk Bungus merupakan salah satu pelabuhan perikanan terbesar di Pesisir Barat Pulau Sumatera dengan ikan tuna, tongkol dan cakalang (TTC) dan produk turunannya sebagai komoditas utama. Kompleks PPS Teluk Bungus (1o01’45,45”S, 100o23’48,42”E) terdiri dari berbagai infrastruktur strategis penunjang aktifitas pelabuhan seperti kantor pelabuhan serta industri perikanan dan pendukunganya seperti: perumahan pegawai, Kantor Navigasi, Pengawas perikanan, Polairut, Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal), lembaga penelitian/laboratorium ilmiah (Balitbang KP) dan industri galangan kapal. Selain sebagai kawasan pelabuhan dan perkantoran, wilayah pesisir Teluk Bungus dan sekitarnya juga merupakan salah satu area pariwisata laut dan pantai yang banyak dikunjungi wisatawan domestik maupun mancanegara. Dengan konsentrasi penduduk lebih dari 1000 jiwa pada siang hari, kawasan PPS Teluk Bungus memiliki kerentanan yang cukup tinggi terhadap bencana tsunami sebagaimana tercantum dalam dokumen Konsensus Padang 2010 (Gambar 1). Oleh karena itu, penentuan zona aman untuk evakuasi tsunami di daerah sekitar kompleks pelabuhan menjadi sangat penting untuk mengurangi korban jiwa akibat gempa dan tsunami.
2 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
A
Teluk Bungus Gambar 1. Letak Teluk Bungus di Kota Padang dan estimasi rendaman tsunami di PPS Bungus A (Kotak A) berdasarkan dokumen Padang Konsensus ke-2 (2010) (Husrin et al., 2013)
2. Metodologi Analisis rute evakuasi di kawasan PPS Bungus dimulai dengan penentuan estimasi zona rendaman tsunami berdasarkan versi yang disepakati bersama pada Padang Konsensus ke-2 (Husrin et al., 2013). Peta rendaman tsunami ini sangat penting untuk penentuan awal zona atau titik-titik evakuasi yang aman yang sebagian besar berlokasi di bukit di sebelah Utara Kompleks PPS Bungus (Gambar 2). Selanjutnya, beberapa alternatif lokasi evakuasi dan rutenya ditentukan berdasarkan data sekunder yang ada dan pengetahuan penduduk lokal di mana daerah yang lebih tinggi menjadi A pertimbangan inti. Dalam penentuan rute evakuasi ini, angket disebar untuk menganalisis pengetahuan penduduk lokal akan tsunami / gempa bumi dan mitigasinya. Untuk setiap rute / lokasi evakuasi, observasi langsung dikumpulkan untuk menentukan aspek-aspek penunjang kehidupan, kemudahan, waktu tempuh, dan keamanan. Titik awal dari pergerakan menuju lokasi evakuasi tsunami ditentukan pada lokasi kantor Loka Penelitian Sumber daya dan Kerentanan Pesisir (LPSDKP) (1°1'40.25"S, 100°23'52.99"E) (Gambar 2).
A Gd. LPSDKP
Masjid
Kantor Pelabuhan
Gedung LPSDKP
Gambar 2. Denah Kompleks PPS Bungus serta lokasi Kantor LPSDKP sebagai titik awal penghitungan waktu tempuh ke titik evakuasi (Lihat juga Kotak A pada Gambar 1) 3 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Obsevasi langsung pada aspek penunjang kehidupan ditekankan pada keberadaan sumber air bersih dan sumber pangan jika ada. Aspek kemudahan akses dititikberatkan pada ada atau tidaknya rintangan/hambatan di sepanjang rute. Sementara itu, untuk aspek waktu tempuh dihitung berdasarkan waktu tempuh oleh seseorang menuju lokasi titik evakuasi dengan berjalan kaki, naik sepeda motor atau kendaraan roda empat. Aspek terakhir dan paling penting dari keempat aspek adalah aspek keamanan mengingat perbukitan yang dijadikan sebagai titik-titik evakuasi sangat rentan dari bencana longsor. Perbukitan di Teluk Bungus merupakan salah satu kawasan yang masuk dalam zona potensi terjadi gerakan tanah tinggi hingga menengah (Bappeda, 2007 dan Rosidi, 1996). Merujuk pada kejadian tebing longsor di Pantai Sadranan, Gunungkidul, Yogyakarta pada 17 Juni 2015 yang menewaskan empat orang wisatawan dan dua orang luka-luka (Metrotvnews.com, 18 Juni 2015), maka diperlukan pengetahuan mendetail mengenai tingkat kerentanan wilayah pesisir Teluk Bungus terhadap bencana longsor. Tingkat kerentanan perbukitan di Teluk Bungus dianalisis menggunakan Metode Storie (O’Green & Southard, 2005) berdasarkan karakteristik fisik berupa tataguna lahan, kelerengan, geologi dan curah hujan setempat. Berdasarkan analisis dari keempat aspek tersebut, titik dan rute evakuasi paling optimum ditentukan dengan cara pembobotan. Diagram alir dari metoda penelitian ini secara umum dapat dilihat pada Gambar 3. 3. Hasil dan Diskusi Lokasi dan Rute Evakuasi Area PPS Bungus dibatasi oleh pagar tembok dan tebing di sebelah Utara, pemukiman dan tebing di sebelah Barat, jalan raya di Timur dan lautan lepas di sebelah Selatan. Zona rendaman tsunami berdasarkan Padang Konsensus memperlihatkan bahwa sebagian besar area PPS Bungus akan terendam oleh tsunami dengan tingkat resiko tinggi hingga rendah (Gambar 1). Hal ini terjadi karena letak dari kawasan PPS Bungus yang tepat berada di garis pantai dan elevasinya yang rendah. Hal ini juga mengindikasikan bahwa di area PPS Bungus tidak ada lokasi yang bisa dijadikan titik evakuasi karena ketiadaan bangunan tinggi atau bukit yang bisa dijadikan sebagai “vertical evacuation facilities”. Berdasarkan kondisi tersebut, lima alternatif lokasi dan rute evakuasi ditentukan di mana empat diantaranya harus menembus jalur perbukitan di sebelah Barat dan Utara dari area PPS Bungus dan satu rute melalui gerbang utama pelabuhan ke arah Timur. Karakteristik dari kelima lokasi tersebut adalah sebagai berikut (Gambar 4). -
Lokasi/jalur 1 (satu) terletak di perbukitan sebelah Barat area PPS Bungus. Rute dari lokasi ini ditempuh melalui akses jalan pelabuhan ke sebelah Barat, menuju dermaga Polairut dan Dinas Navigasi kemudian berbelok ke arah Utara memasuki jalan/gang pemukiman dengan melalui beberapa rumah warga. Akses selanjutnya adalah jalur terjal yang dimanfaatkan warga sebagai ladang hingga akhirnya sampai di titik lokasi satu yaitu Jalan Raya Padang-Painan Km.15. Sebuah tali rapia tersedia sebagai penunjuk jalan yang dianggap aman untuk ditempuh dari batas area pelabuhan hingga ke jalan raya dimana terdapat rumah penduduk. 4
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Estimasi jangkauan dan rendaman tsunami Penentuan alternatif jalur dan lokasi evakuasi tsunami Pengumpulan data Keamanan
Penunjang kehidupan
Kemudahan akses
Waktu tempuh
Analisis: Paling aman, paling lengkap penunjang kehidupan, paling mudah diakses, paling cepat waktu tempuh
Hasil: Rute dan lokasi evakuasi tsunami dalam bentuk peta
Gambar 3. Diagram alir metodologi penelitian Rute 1
Rute 4
Rute 2
Rute 3
Rute 5
Gambar 4. Gambaran dan peta dari lima lokasi dan jalur evakuasi 5 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
-
Lokasi/jalur 2 (dua) masih terletak di perbukitan sebelah Barat sedikit ke Utara dari area PPS Bungus. Akses ke lokasi ini harus menembus sebuah lubang yang tersedia pada tembok beton sebagai pembatas dari area PPS Bungus dengan tanah milik warga di belakangnya. Jalur terjal harus ditempuh untuk sampai di lokasi yang aman, yaitu Jalan Raya Padang-Painan km.15,5 di mana sebuah bengkel mobil berada.
-
Lokasi/jalur 3 (tiga) terletak di perbukitan sebelah Utara kawasan PPS Bungus. Rute dari jalur evakuasi ini adalah melalui kompleks perumahan PPS Bungus, menembus tembok pembatas dan mengambil jalur terjal ke bukit/Jalan Raya Padang-Painan Km. 16 di atasnya.
-
Lokasi/jalur 4 (empat) terletak di perbukitan sebelah Utara kawasan PPS Bungus dan masih pada Jalan Raya Padang-Painan km.16. Akses alternatif di rute ini dapat ditempuh melalui pemukiman warga yang tepat berada di Sebelah Utara Kompleks PPS Bungus. Jalur ini cukup terjal dan menembus jalan raya di mana terdapat rumah penduduk yang berdampingan dengan sebuah mesjid.
-
Lokasi/jalur 5 (lima) dapat ditempuh dengan cara keluar melalui pintu gerbang Kompleks PPS Bungus yang terletak di sebelah Timur dari Gedung LPSDKP. Rute ini berlanjut dengan mengambil Jalan Raya Padang-Painan ke arah Utara hingga mencapai titik aman dimana sebuah sungai/jembatan berada.
Persepsi Masyarakat/Warga Kompleks PPS Bungus Pengetahuan masyarakat di lingkungan PPS Bungus dan sekitarnya terhadap ancaman gempa dan tsunami di kawasan pelabuhan serta upaya-upaya mitigasinya diuji dengan cara menyebarkan 50 angket dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah Anda mengetahui bahwa Teluk Bungus beresiko tinggi terkena dampak tsunami? 2. Apakah Anda pernah melihat peta bencana tsunami untuk kawasan Teluk Bungus? 3. Apakah Anda pernah melihat peta evakuasi bencana gempa /tsunami untuk Teluk Bungus? 4. Kemana Anda harus pergi jika tsunami terjadi? 5. Bagaimana Anda pergi ke lokasi evakuasi bila tsunami terjadi? 6. Apabila bencana gempa terjadi, berapa lama tsunami akan tiba di Teluk Bungus? Dari angket yang terkumpul, diketahui bahwa sebagian besar (65%) penduduk sadar akan bencana yang mengancam kawasan pelabuhan yaitu gempa dan tsunami. Namun, hanya sebagian kecil saja (~30%) yang mengetahui atau pernah melihat peta rawan tsunami dan peta evakuasi bencana gempa/tsunami di kawasan mereka. Lebih jauh lagi, sebagian besar dari responden (~49%) tidak mengetahui berapa lama tsunami akan tiba di kawasan mereka pasca gempa melanda. Namun demikian, sebagian besar warga (78%) menyadari untuk pergi ke tempat yang lebih tinggi (bukit) jika gempa dan tsunami betul-betul terjadi dan berjalan kali/berlari menjadi pilihan utama untuk pergi ke lokasi evakuasi (66%). Tampilan grafis dari hasil uji angket tersebut ditampilkan pada Gambar 5. 6 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Apakah Anda mengetahui bahwa Teluk Bungus beresiko tinggi terkena dampak tsunami ?
Apakah Anda pernah melihat peta evakuasi bencana gempa /tsunami untuk Teluk Bungus ?
Apakah Anda pernah melihat peta bencana tsunami untuk kawasan Teluk Bungus ?
Kemana Anda harus pergi jika tsunami terjadi ?
Bagaimana Anda pergi ke lokasi evakuasi bila tsunami terjadi ?
Apabila bencana gempa terjadi, berapa lama tsunami akan tiba di teluk Bungus ?
Gambar 5. Tampilan grafis hasil angket warga PPS Bungus
Masalah Rute Evakuasi Bukit yang mengelilingi PPS Bungus merupakan alternatif terbaik sebagai lokasi evakuasi bencana tsunami. Namun demikian, rute menuju bukit masih menyisakan beberapa permasalahan yang dapat mengganggu proses evakuasi yang diantaranya adalah sebagai berikut: Rute melalui jalan raya yang rawan kecelakaan lalu lintas karena kualitas jalan yang buruk dan prilaku berkendara yang ugal-ugalan, Prilaku warga yang terbiasa melakukan aktifitas menutup sebagaian badan jalan seperti penumpukan material bangunan dan konstruksi tenda pesta (barale) yang memakan badan jalan dapat mengganggu kelancaran lalulintas, Perbukitan di sekitar PPS Bungus memiliki tingkat kerawanan yang cukup tinggi terhadap bencana longsor. Wilayah Teluk Bungus dan sekitarnya mempunyai morfologi yang berbukitbukit. Hampir seluruh jaringan jalan yang menghubungkan kecamatan (Lubuk Begalung dan Bungus teluk Kabung) dibangun dengan memotong lereng ataupun berada di tepi lereng. Jalur jalan yang berpotensi terkena gerakan tanah tersebut pada umumnya adalah jalan yang berada pada atau memotong lereng tanpa memperhitungkan kondisi sudut lereng, tanah/ batuan dan pengairan/ drainase. Adanya getaran yang ditimbulkan oleh kendaraan bermotor, terutama truk-truk dengan tonase yang besar, pemanfaatan lahan permukiman yang tersebar sampai merambah ke lahan-lahan kritis, menambah keadaan wilayah menjadi lebih labil dan bencana akibat gerakan tanah dapat setiap saat terjadi.
7 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 6. Beberapa permasalahan di lokasi dan jalur evakulasi tsunami: Longsor, kecelakaan, penempaan material bangunan dan kendaraan yang kerap berhenti di badan jalan.
Tingkat kerentanan bukit sekitar PPS Bungus Kerentanan daerah rawan gerakan tanah di perbukitan sekitar PPS Bungus diidentifikasi dan diklasifikasikan menggunakan metode Storie (Sugianti, et.al., 2014) berdasarkan karakteristik fisik berupa tataguna lahan, kelerengan, geologi dan curah hujan setempat. Berdasarkan analisis hasil penelitian didapatkan daerah-daerah dengan tingkat kerentanan rendah hingga sangat tinggi (Gambar 7) sebagai berikut : a. Daerah dengan tingkat kerentanan gerakan tanah sangat tinggi luasanya mencapai 13,28% terdapat pada sebagian Kecamatan Lubuk Begalung dan Teluk Bungus. Tataguna lahan berupa kawasan hutan, perkebunan dan sedikit kawasan pemukiman warga yang berada di sekitar perbukitan. Kemiringan lereng yang mendominasi tingkat kerentanan ini masuk dalam klasifikasi kemiringan lereng sangat curam – curam. Jenis tanah penyusun didominasi oleh Andosol dan komplek podsolik merah kuning latosol dan litosol, tanah penyusun kawasan ini merupakan hasil pelapukan batuan gunungapi yaitu breksi vulkanik yang telah mengalami pelapukan dan antara fragmen dan matrik sudah tidak kompak, sehingga banyak bongkah-bongkah fragmen batuan yang tertanam di 8 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
lapisan tanah yang membentuk perbukitan. Sehingga dengan kemiringan lereng yang curam – sangat curam diiringi dengan curah hujan yang basah sangat memicu terjadinya pergerakan tanah di kawasan ini. b. Kawasan dengan tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi mencakup luasan sekitar 14,35% dari keseluruhan wilayah penelitian. Daerah ini masih masuk dalam wilayah Teluk Bungus dan sebagian kecil berada di Kecamatan Lubuk Begalung yang berbatasan langsung dengan wilayah Teluk Bungus. Tataguna lahan yang mendominasi kawasan yaitu perkebunan yang dibuka oleh warga di bagian-bagian perbukitan dan tataguna lahan hutan, selain itu juga didirikan kawasan pemukiman di area berbukitan yang masuk zonasi tingkat kerentanan tinggi. Kemiringan lereng pada zona kerentanan tinggi didominasi oleh kemiringan lereng curam hingga agak curam. Jenis tanah penyusun kawasan ini yaitu komplek podsolik merah kuning latosol dan litosol, namun sebagian wilayah juga tersusun atas jenis tanah andosol. c. Zonasi tingkat kerentanan sedang hampir mendominasi daerah penelitian yaitu wilayah Teluk Bungus dan sekitarnya hingga mencapai seluas 37,43%. Tataguna lahan yang masuk dalam zonasi ini merupakan kawasan perkebunan, hutan dan sebagian kawasan pemukiman penduduk yang berada di sekitar wilayah perbukitan, tataguna lahan yang mendominasi zonasi ini yaitu perkebunan. Jenis tanah penyusun kawasan kerentanan sedang yaitu komplek podsolik merah kuning latosol dan litosol, dan sebagain kecil tersusun atas jenis tanah andosol. Kemiringan lereng pada kawasan ini masuk dalam kategori kemiringan lereng curam hingga landai namun secara umum didominasi oleh kemiringan lereng agak curam. Kawasan ini berbeda dengan zonasi kerentanan sangat tinggi dan tinggi, karena litologi penyusunnya tidak didominasi oleh material pelapukan batuan breksi vulkanik, namun masih memperlihatkan bongkah batuan dan litologi batuan vulkanik yang masih massif pada bagian bawah perbukitan.
Gambar 7. Peta kerentanan gerakan tanah di Tlk. Bungus dan sekitarnya 9 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
d. Kawasan kerentanan gerakan tanah rendah dan sangat rendah merupakan bagian terbesar kedua luasan setelah zonasi kerentanan sedang yaitu mencapai 35,03%. Tataguna lahan pada daerah ini terdiri dari perkebunan, pemukiman, namun secara dominan tataguna lahan kawasan ini merupakan daerah irigasi atau aliran sungai yang merupakan bagian dari dataran yang tersusun atas material endapan alluvial yang berasal dari endapan pantai maupun endapan sungai yang berasal dari daerah perbukitan. Kemiringan lereng pada daerah ini didominasi oleh kemiringan lereng landai – datar. Jenis tanah penyusun kawasan ini merupakan alluvial. Bagian daerah ini juga banyak didominasi oleh kawasan wisata pantai dan wilayah – wilayah perniagaan yang berada disekitar jalan utama lintas Padang – Painan. Kawasan Teluk Bungus dan sekitarnya merupakan kawasan yang sangat penting di wilayah Sumatera Barat berdasarkan hasil penentuan tingkat kerentanan gerakan tanah dengan Metode Storie sehingga dapat mengidentifikasikan zonasi tingkat kerentanan gerakan tanah. Kondisi curah hujan di wilayah Bungus dan Sekitarnya masuk dalam kategori curah hujan basah, selain itu curah hujan di wilayah Padang juga cukup ekstrim dimana perubahan siklus hujan dengan cuaca kering atau panas sangat terlihat jelas sehingga dengan perubahan itu menyebabkan proses pelapukan batuan semakin meningkat. Perubahan ini juga menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah dan menyebabkan longsoran rayapan (creeping) atau bersifat lambat. Selain tipe longsoran rayapan wilayah Bungus dan Sekitarnya juga didominasi oleh tipe gerakan tanah runtuhan, karena litologi penyusun berupa material vulkanik yang didominasi oleh breksi vulkanik yang telah mengalami pelapukan sehingga fragmen batuan yang menggantung pada bagian perbukitan dengan kemiringan lereng curam hingga sangat curam dapat memicu perpindahan masa batuan dari ketinggian tertentu ke bagian bawah perbukitan. Beberapa lokasi evakuasi tsunami untuk kawasan PPS Bungus berada pada tingkat kerentanan rendah (lokasi 4 dan 5) dan sedang (lokasi 1-3). Oleh karena itu, hasil dari kajian ini sangat bermanfaat dalam penentuan lokasi evakuasi tsunami yang lebih aman. Waktu tempuh menuju lokasi evakuasi tsunami Terdapat delapan orang relawan yang berpartisipasi dalam menentukan waktu tempuh dari Gedung LPSDKP ke lima lokasi evakuasi tsunami yang dilakukan pada tahun 2012. Kedelapan orang tersebut berusia antara 26 – 61 tahun yang berstatus sebagai pegawai di LPSDKP. Jalur 1 – 4 hanya bisa ditempuh oleh relawan di bawah usia 45 tahun. Sementara itu, jalur 5 bisa ditempuh oleh semua relawan baik itu dengan berjalan kaki maupun berlari. Penggunaan kendaraan bermotor hanya memungkinkan pada jalur 5 di mana perjalanan ke titik terjauh (hingga melewati titik 1) dapat ditempuh kurang dari 10 menit dengan kondisi jalanan normal tanpa ada hambatan. Waktu tempuh dengan berjalan dan berlari untuk semua rute terlihat pada tabel 1. Penilaian lokasi evakuasi paling memungkinkan Berdasarkan analisis di atas, penilaian untuk memilih lokasi danjalur evakuasi tsunami di kawasan PPS Bungus yang paling optimal dapat dilakukan dengan cara memberikan pembobotan pada setiap aspek yang diperhitungkan. Pembobotan 10 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1. Waktu tempuh menuju lokasi evakuasi dengan berjalan kaki/berlari Relawan
Waktu tempuh ke Lokasi Evakuasi (menit) 1
2
3
4
5
Di bawah 45 tahun
15
12
10
7
12
Di atas 60 tahun
Tidak memungkinkan
Tidak memungkinkan
Tidak Tidak memungkinkan memungkinkan
20
Gambar 8. Peta jalur evakuasi kawasan PPS Bungus
dilakukan dengan menggunakan tiga kategori yaitu 1, 2 dan 3 di mana secara berturutturut mengacu pada kategori kurang, sedang dan baik. Oleh karena itu, semakin besar skor penilaian maka semakin dianggap baik lokasi yang dimaksud untuk dijadikan lokasi dan rute evakuasi tsunami di Kawasan PPS Bungus. Hasil dari penilaian terlihat pada tabel 2. Penilaian pada tabel 2 menentukan lokasi dan rute No. 5 sebagai yang terbaik dengan skor tertinggi 12. Lokasi 5 hampir memiliki semua yang dibutuhkan sebagai titik evakuasi, mulai dari elevasinya yang cukup tinggi (+60 m), keberadaan sungai dengan airnya yang bersih, waktu tempuh yang masih di bawah prediksi kedatangan tsunami (~30 menit), kemudahan akses (jalan raya), serta berada zona aman terhadap ancaman longsor. Namun demikian, seluruh penilaian di atas diukur pada kondisi normal (tidak ada hambatan, tidak dalam kondisi panik) dan berdasarkan kondisi saat dilakukan penelitian (tahun 2012). Pada kondisi tertentu, misalnya jalanan tertutup oleh 11 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2. Penilaian pada lokasi/rute evakuasi Aspek
Penunjang kehidupan Waktu tempuh Kemudahan akses Keamanan/ancaman longsor Total Skor
Penilaian untuk lokasi/rute evakuasi ke... 1
2
3
4
5
3 2 2 2 9
1 2 1 2 6
3 2 1 2 7
3 2 1 3 8
3 3 3 3 12
antrean kendaraan roda empat, maka penilaian di atas untuk lokasi 5 menjadi tidak berlaku. Sebaliknya, lokasi dan rute pertama bisa saja menjadi alternatif terbaik, mengingat sejak tahun 2014 pada lokasi ini sedang dibangun akses tambahan menuju kawasan PPS Bungus. Dengan kata lain, di masa depan skor untuk lokasi pertama akan menjadi senilai dengan lokasi 5. Dari ke-5 lokasi, lokasi 2 menjadi lokasi paling buruk untuk dijadikan sebagai lokasi/rute evakuasi terutama dilihat dari aspek akses yang sulit serta penunjang kehidupan yang juga sulit ditemui. 4. Kesimpulan dan Saran Alternatif – alternatif lokasi dan rute/jalur evakuasi tsunami untuk kawasan PPS Bungus dan sekitarnya berhasil dianalisis dan Lokasi/rute ke-lima menjadi pilihan terbaik berdasarkan empat aspek yang diperhitungkan yaitu aspek kemudahan akses, ketersediaan penunjang kehidupan, waktu tempuh dan keamanan terhadap ancaman tanah longsor. Lokasi//rute kelima merupakan rute yang melalui pintu gerbang utama Kompleks PPS Bungus untuk selanjutnya menuju ke arah Utara melalui Jalan Raya Padang-Painan hingga melewati Jembatan pertama. Sementara itu, Lokasi/rute kedua sangat sulit untuk dapat dijadikan sebagai alternatif mengingat lokasi dan rutenya kurang memungkinkan untuk dikembangkan. Lokasi dan rute pertama adalah yang paling mungkin untuk dijadikan alternatif kedua. Selain karena lokasinya yang berada di ujung bagian Barat Kompleks PPS Bungus, saat ini kondisi akses sedang diperlebar dan diperbaiki sebagai alternatif akses menuju kawasan PPS Bungus. Perlu diingat bahwa seluruh analisis yang dibuat dalam tulisan ini berdasarkan kondisi ideal atau dibuat saat tidak terjadi kepanikan atau hambatan lainnya dari luar. Selain jalur evakuasi menuju bukit, alternatif lain untuk evakuasi vertikal tetap diperlukan. Oleh karena itu, pembangunan banguan evakuasi vertikal di dalam kawasan PPS Bungus akan sangat membantu dalam menyediakan upaya mitgasi alternatif selain rute/tempat evakuasi menju perbukitan.
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih kami haturkan kepada LPSDKP, masyarakat dan Otoritas PPS Bungus yang telah mendukung dan berpartisipasi dalam penelitian ini. Secara khusus kami juga mengucapkan terimakasih kepada para relawan dan pihak yang – pihak yang terlibat baik secara langsung dan tidak langsung (Semeidi Husrin, Gunardi Kusumah, Ilham, Muhamad Bukhori, Tri Anggono, Nasir Sudirman, Ilham AMd, Try Al Tanto, Muhammad Ramdhan, Dino Gunawan, dan Almarhum Bpk. Haji Syamsul Bahri)
12 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Padang ,2007, Peta Jenis Tanah Kota Padang, Padang, Bapeda Kota Padang Husrin, S., Kongko, W., Putra, A., 2013, Tsunami Vulnerability of Critical Infrastructures in the City of Padang, West Sumatera, The Proceeding of the 2nd International Conference on Sustainable Infrastructure and Built Environment (SIBE-2013) Bandung, Indonesia – November 19th – 20th 2013 McCloskey, J., Antonioli, A., Piatanesi, A., Sieh, K., Steacy, S., Nalbant, S., Cocco, M., Giunchi, C., Huang, J. D. and P. Dunlop., 2008, Tsunami threat in the Indian Ocean from a future megathrust earthquake west of Sumatra, Earth and Planetary Science Letters, 265(1-2), 61-81. O’Green, A. T., and S.B. Southard, 2005, A Revised Storie Index Model in NASIS. Soil Survey Horizons 46 (3), 98-109 Rosidi, H.M.D.,1996, Peta Geologi Lembar Painan dan Bagian Timurlaut Lembar Muara Siberut, Sumatera, Bandung, PUSTILBANG Geologi –ESDM. Sugianti, K., Mulyadi, D., & Sarah, D., 2014, Pengklasan Tingkat Kerentanan Gerakan Tanah Daerah Sumedang Selatan Menggunakan Metode Storie, Bandung, Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan, Vol. 24, No.2, Desember 2014 (93-104), ISSN 0125-9849, e-ISSN 23546638
13 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Rencana Aksi Mitigasi Bencana Tsunami Melalui Pendekatan Tipologi Pesisir dan Permukiman Kasus : Pesisir Jayapura Tsunami Disaster Mitigation Action Plan with Coastal and Settlement Typology Approach Case : Coastal Area of Jayapura M. Ngainul Malawani1 dan Djati Mardiatno2 1
Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai F. Geografi UGM, Sekip Utara, Bulaksumur, Yogyakarta 55281. email ;
[email protected] 2 Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada, Jl. Mahoni, Bulaksumur C-16. email : 2
[email protected] .
Abstrak Tipologi pesisir dan permukiman memberikan respon yang spesifik terhadap kejadian bencana tsunami serta proses evakuasi yang berjalan. Daerah rawan bencana tsunami di Indonesia memiliki berbagai tipologi pesisir dan permukiman yang berbeda sehingga akan berimplikasi pada risiko yang ditimbulkan. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menyusun mapping unit untuk penyusun rencana aksi mitigasi tsunami dan 2) menyusun konsep komponen rencana aksi mitigasi bencana tsunami. Terdapat 103 kabupaten/kota yang tergolong kedalam daerah risiko tinggi tsunami di Indonesia. Seluruh wilayah tersebut memiliki karakteristik dan ciri khusus dalam merespon kejadian tsunami. Respon tersebut akan berpengaruh terhadap rencana mitigasi yang perlu dilakukan. Oleh sebab itu untuk menyusun mapping unit dan komponen rencana aksi, Kota Jayapura dipilih sebagai contoh kasus karena memiliki keberagaman tipologi pesisir dan permukiman. Berdasarkan hasil analisis, mapping unit penentuan rencana aksi dapat disusun atas empat parameter, yaitu bentuk pantai, topografi pesisir, kepadatan bangunan, dan jenis permukiman. Hasil dari mapping unit unit tersebut akan menghasilkan level prioritas pengelolaan wilayah pesisir. Rencana aksi untuk mitigasi bencana berbagai level prioritas tersebut terdiri atas lima komponen, yaitu peningkatan sistem mata rantai sistem peringatan dini, pembangunan tempat evakuasi tsunami, peningkatan kesiapsiagaan dan kapasitas mengahadapi bencana, pengembangan iptek, serta pengurangan faktor risiko bencana. Melalui konsep tersebut, diharapkan rencana aksi mitigasi bencana tsunami dapat diterapkan di berbagai wilayah di Indoensia sesuai dengan karakteristik wilayahnya sehingga proses pengurangan risiko dapat berjalan optimal. Kata Kunci: mitigasi, rencana aksi, tsunami, tipologi pesisir, tipologi permukiman. Abstract Coastal and settlement typology provide a specific response to the evidence of the tsunami disaster and its evacuation process. Tsunami disaster-prone area in Indonesia have various typologies of coastal and settlements. That will have implications on the 14 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
risks level. The aims of this study are 1) developing mapping unit for tsunami mitigation action plan and 2) construct the action plan component for tsunami disaster mitigation. There are 103 districts/cities were classified into high risk areas of tsunami in Indonesia. Those areas has special characteristic to response tsunami hazard. The response will affect the mitigation plan that needs to be done. Therefore, to develop a mapping units and components of the action plan, the Jayapura City chosen as an example for case study because it has various typology of coastal and settlements. Based on the analysis, mapping unit can be drawn up on four parameter, there were shape of the coast, coastal topography, building density, and type of settlement. Result of analysis of the mapping unit will generate the priority level of management. The action plan for disaster mitigation in various priority levels consists of five components, there were improving chain system of early warning systems, the developing tsunami evacuation sites, improving disaster preparedness and capacity, developing science and technology, also reducing disaster risk factors. Through this concept, tsunami mitigation action plan hopefully can be implemented in various regions in Indonesia according to it characteristics, so the risk reduction process can run optimally. Keywords: mitigation, action plan, tsunami,coastal typology, settlement typology.
1. Pendahuluan Tsunami adalah serangkaian gelombang panjang yang disebabkan oleh pergeseran lempeng bawah laut, atau pada umumnya adalah gempa dasar laut. Kecepatan gelombang tsunami mampu mencapai 170 km/jam, namun ketika mencapai wilayah yang dangkal kecepatannya menurun akan tetapi tinggi gelombangnya meningkat. Kejadian tsunami dapat memakan korban jiwa, merusak kegiatan ekonomi, serta merusak ekosistem di wilayah pesisir (UNESCO, 2011). Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam kejadian gempa bumi dan tsunami. Letak indonesia yang berada di antara dua lempeng samudera dan satu lempeng benua menyebabkan secara geologis rawan terhadap pergerakan lempeng. Lempeng tersebut adalah Lempeng Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia. Kejadian tsunami di Indonesia yang tercatat adalah sebanyak 172 kejadian tsunami dari tahun 1600-2012. Dari total kejadian tersebut, kejadian tsunami yang masih baru antara lain di Banggai, Aceh, Nias, Jawa Barat, Bengkulu, dan Mentawai. (BNPB, 2012). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah menetapkan wilayah risiko sangat tinggi tsunami di Indonesia. Wilayah tersebut meliputi daerah yang memiliki garis pantai yang berhadapan dengan zona tumbukan lempeng. Secara umum wilayah tersebut dibagi kedalam empat zona, yaitu zona Megathrust Mentawai, Selat Jawa dan Jawa Bagian Selatan, Bali dan Nusa Tenggara, Serta kawasan Papua. Setidaknya terdapat 5.031.17 jiwa yang terpapar pada wilayah risiko tinggi tersebut (BNPB, 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa menajemen bencana tsunami pada wilayah risiko sangat tinggi sangat diperlukan. Manajemen bencana tsunami hendaknya disusun secara detail/lokal karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik khusus. Manajemen bencana dalam satu 15 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
wilayah belum tentu dapat diaplikasikan kedalam wilayah lain walaupun dengan kondisi risiko yang sama. Hal ini diperlukan agar proses pengurangan risiko bencana dapat berjalan efektif dan tepat guna. Terdapat dua hal yang penting dalam rencana mitigasi tsunami di unit area yang lebih detail/lokal, yaitu perencaan ruang untuk memperkuat kesiapsiagaan elemen berisiko serta kesiapan darurat dalam membentuk organisasi struktural seperti peringatan dini, jalur evakuasi, dan sebagainya (UNESCO, 2008). Dalam menyusun rencana mitigasi bencana yang detail/lokal salah satunya dapat dilakukan melalui pendekatan tipologi pesisir dan permukimannya. Salah satu wilayah risiko tsunami sangat tinggi di Indonesia adalah Kota Jayapura dengan jumlah jiwa terpapar sebanyak 7.155 jiwa (BNPB, 2012). Kota Jayapura dapat dijadikan sebagai salah satu contoh wilayah untuk penentuan manajemen bencana tsunami melalui pendekatan tipologi pesisir dan permukiman karena memiliki variasi tipologi pesisir dan permukiman yang beragam dalam satu area dengan karakteristik risiko bencana tsunami sangat tinggi. Melalui pendekatan ini diharapkan mampu menghasilkan mapping unit risiko tsunami dan profil wilayah pesisir untuk mendukung penyusunan rencana aksi mitigasi tsunami. Gagasan ini diharapkan dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia untuk mendukung kegiatan pengurangan risiko bencana. 2. Metode Manajemen bencana dapat disusun melalaui berbagai tahapan. Dalam tahap prabencana, rencana aksi mitigasi adalah salah satu management plant yang dapat digunakan. Indonesia memiliki Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) dengan kerangka waktu tiga tahunan. Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa RAN-PRB adalah penjabaran Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) yang disusun untuk mendukung perumusan kebijakan dan pengawasan dalam pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko bencana (BAPPENAS dan BNPB, 2012). Dalam skala yang lebih detail, rencana aksi tersebut dapat disusun dengan tema bencana tertentu. Untuk menjawab tantangan pengelolaan bencana terutama tsunami, pendekatan tipologi permukiman dan pesisir digunakan untuk menyusun rencana aksi bencana tsunami dalam skala yang lebih detail. Pendekatan tersebut dapat digunakan untuk penyusunan rencana aksi sesuai dengan kerangka pikir pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian 16 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa parameter tipologi pesisir dan permukiman memiliki beberapa parameter didalamnya. Parameter tersebut dapat menjadi informasi penting mengenai profil wilayah pesisir dalam skala yang lebih detail. Dalam pelaksaan manajemen bencana berbasis rencana aksi, informasi profil wilayah pesisir menjadi hal yang sangat penting karena dapat menentukan aksi yang akan dilakukan. Digram alir penelitian ditunjukkan oleh Gambar 2. Penetuan level bahaya, level kerentanan, dan level prioritas disusun menggunakan matriks. Matriks tersebut menghubungkan dua parameter dan perbedaan warna menunjukkan tingkatannya pada setiap level. Matriks yang serupa dapat juga digunakan untuk menentukan tingkat ancaman, tingkat kapasitas, tingkat kerugian, dan tingkat risiko (BNPB, 2011). Data dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini cukup mudah didapatkan. Data yang menjadi dasar adalah informasi tipologi pesisir dan permukiman yang dapat diperoleh dari citra satelit. Data dan bahan yang dibutuhkan dalam peneitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Data dan Bahan Penelitian No
Data dan Bahan Tiplogi Pesisir
1.
-
Topografi/kelerengan Bentuk pantai
Tipologi Permukiman 2. 3. 4. 5.
-
Kepadatan Bangunan Jenis Bangunan
Mitigasi Bencana Eksisting Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami Indonsia
Sumber Citra Satelit dari Google Geoeye, Landsat, SRTM
Earth,
Citra Satelit dari Google Geoeye, survei lapangan
Earth,
Suvei lapangan, studi literatur BNPB, 2012
Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan BNPB, 2015 Risiko Bencana 2015-2030 (Terjemahan)
17 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 3. Matriks Penilaian Profil Wilayah Pesisir 3. Hasil dan Diskusi Indonesia tergolong memiliki tingkat risiko-multi bencana yang tinggi. Terdapat 322 kabupaten/kota yang tergolong memiliki risko tinggi (BNPB, 2013). Khusus bencana tsunami, terdapat 103 kabupaten/kota yang memiliki risiko tinggi terhadap ancaman bencana tsunami (BNPB, 2012). Kabupaten/kota yang memiliki risiko tinggi tersebut memiliki karakteristik wilayah pesisir yang berbeda-beda, sehingga untuk menata wilayah yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana diperlukan informasi profil wilayah pesisirnya. Profil wilayah pesisir tersebut dapat dicirikan dari kondisi tipologi pesisir dan permukiman yang ada didalamnya. Salah satu wilayah di Indonesia yang masuk kedalam risko tinggi tsunami adalah Kota Jayapura (BNPB, 2012). Jayapura memiliki tipologi pesisir dan permukiman yang cukup kompleks dalam satu area risiko tinggi tsunami sehingga Jayapura dapat dijadikan sebagai contoh kasus untuk menyusun prioritas komponen rencana aksi mitigasi tsunami berdasarkan informasi profil wilayah pesisirnya. Informasi profil wilayah pesisir disusun dari bentuk pantai, topografi pesisir, kepadatan bangunan, dan jenis permukiman. Untuk menentukan level prioritas mitigasi bencana pada masing-masing profil, maka dilakukan penilaian berdasarkan matriks seperti Gambar 3. Level bahaya disusun atas kondisi tipologi pesisirnya, yaitu memuat informasi topografi dan bentuk pantai. Bentuk pantai cekung/teluk adalah bentuk pantai yang memiliki kerawanan paling tinggi terhadap tsunami. Hal ini dikarenakan gelombang akan terkonsentrasi kedalam teluk sehingga akan memiliki kekuatan yang lebih merusak. Berbeda halnya pada kondisi cembung/tanjung yang dapat memecah gelombang tsunami sehingga memiliki daya rusak yang lebih kecil. Dalam level bahaya, tipologi pesisir yang memiliki level paling tinggi adalah pesisir dengan topografi datar yang berbentuk teluk. Level kerentanan menggambarkan kondisi permukiman yang ada di wilayah pesisir yang memuat informasi jenis permukiman dan kepadatan bangunan. Jenis permukiman dibagi menjadi tiga, yaitu permukiman kota, desa, dan nelayan. 18 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2. Identifikasi Profil Wilayah Pesisir Jayapura No
Citra Satelit
Profil Wilayah Pesisir
A Bentuk pantai : Cekung/teluk Topografi : Datar Kepadatan bangunan : Padat Jenis Permukiman : Kota
1
Level Bahaya : Tinggi Level Kerentanan : Sedang Level Prioritas : 1 B
Bentuk pantai : Lurus Topografi : Datar Kepadatan bangunan : Padat Jenis Permukiman : Desa
2 Level Bahaya : Tinggi Level Kerentanan : Tinggi Level Prioritas : 1
C
Bentuk pantai : Cembung Topografi : Bergelombang Kepadatan bangunan : Padat Jenis Permukiman : Kota
3 Level Bahaya : Rendah Level Kerentanan : Sedang Level Prioritas : 3
D Bentuk pantai : Cekung/teluk Topografi : Bergelombang Kepadatan bangunan : Padat Jenis Permukiman : Nelayan 4 Level Bahaya : Sedang Level Kerentanan : Tinggi Level Prioritas : 1
19 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
No
Citra Satelit
Profil Wilayah Pesisir
E Bentuk pantai : Lurus Topografi : Bergelombang Kepadatan bangunan : Sedang Jenis Permukiman : Desa 5
Level Bahaya : Sedang Level Kerentanan : Sedang Level Prioritas : 2
Permukiman nelayan adalah jenis permukiman yang paling rentan karena belum memiliki struktur bangunan yang kuat. Letaknya pun cenderung dekat laut atau bahkan berada diatas laut. Kepadatan bangunan juga sangat berpengaruh terhadap tingkat kerentanan wilayah pesisir. Semakin padat bangunan maka pesisir tersebut akan semakin rentan karena akan mempersulit proses evakuasi. Kepadatan bangunan juga mengindikasikan jumlah penduduk yang ada. Semakin padat permukiman maka akan semakin banyak penduduk yang terpapar oleh ancaman tsunami. Informasi profil wilayah yang terdiri dari bentuk pantai, topografi pesisir, kepadatan bangunan, dan jenis permukiman tersebut kemudian dijadikan sebagai unit pemetaan (maping unit) untuk menentukan level prioritas penanganan. Oleh sebab itu, maka rencana aksi mitigasi bencana tsunami dapat disusun berdasarkan informasi level prioritas yang dihasilkan. Semakin tinggi levelnya, maka tindakan mitigasi yang diperlukan semakin kompleks. Gagasan mapping unit tersebut diterapkan di pesisir Kota Jayapura sebagai contoh kasus. Hasil identifikasi kondisi profil wilayah pesisir Kota Jayapura disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan hasil identifikasi profil pesisir berbagai lokasi di Kota Jayapura, dapat diketahui bahwa terdapat berbagai jenis tipologi pesisir dan permukiman yang ada. Dari lima sampel lokasi yang dipilih, terdapat tiga lokasi yang masuk kedalam level prioritas 1. Sisanya masuk kedalam level prioritas 2 dan 3. Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut, dapat diketahui bahwa profil wilayah berupa informasi bentuk pantai, topografi pesisir, kepadatan bangunan, dan jenis permukiman sangat membantu menemukan lokasi prioritas penanganan. Persebaran lokasi identifikasi profil wilayah pesisir Kota Jayapura dapat dilihat pada Gambar 4. Identifikasi mitigasi bencana eksisting sangat diperlukan untuk menyusun rencana aksi mitigasi tsunami. Berdasarkan hasil survei tahun 2014, mitigasi struktural maupun non struktural yang ada di Kota Jayapura masih belum tersebar secara merata. Triatmadja (2010) menyebutkan bahwa mitigasi bencana tsunami dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan fisik dan pendekatan non fisik. Pendekatan fisik adalah pendekatan yang sama dengan mitigasi struktural, sedangkan pendekatan non fisik adalah mitigasi non struktural. Contoh mitigasi yang ada dilokasi kajian antara lain adalah early warning system (EWS) berupa sirine, bangunan pemeceah dan penahan arus, serta papan informasi kejadian tsunami. Keterdapatan infrastruktur mitigasi tersebut masih belum tersebar merata sesuai kebutuhan wilayahnya. 20 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4. Peta Lokasi Identifikasi Profil Wilayah Pesisir Jayapura Tabel 3. Matriks Komponen Rencana Aksi Mitigasi Bencana Tsunami No 1 2 3 4 5
Komponen Rencana Aksi Peningkatan Sistem Mata Rantai Sistem Peringatan Dini Bahaya Tsunami Pembangunan Jalur dan Tempat Evakuasi Bencana Tsunami Peningkatan Kesiapsiagaan dan Kapasitas Menghadapi Bencana Tsunami Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pengurangan Faktor Risiko Bencana
Profil Wilayah Pesisir Prioritas 1 Prioritas 2 Prioritas 3 √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
Informasi profil wilayah dan level prioritas dapat membantu menentukan rencana aksi mitigasi yang akan ditambah maupun dibangun. Dalam menentukan komponen rencana aksi mitigasi tsunami, perlu mengacu kedalam Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Nasional dan Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030. Beberapa komponen rencana aksi yang dapat disusun pada level lokal disajikan pada Tabel 3.
21 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Berdasarkan matriks komponen rencana aksi, dapat diketahui bahwa masingmasing profil wilayah pesisir memiliki kebutuhan komponen rencana aksi yang berbeda-beda. Pada level prioritas pertama, seluruh komponen rencana aksi menjadi hal wajib dan perlu dilakukan dalam jangka pendek. Pada prioritas kedua, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak menjadi hal mendasar yang perlu dilakukan dalam jangka pendek. Hal yang serupa juga dimiliki oleh wilayah prioritas ketiga. Pada wilayah prioritas ketiga, komponen rencana aksi lain yang tidak menjadi hal mendasar untuk dilakukan dalam jangka pendek adalah pembangunan tempat evakuasi bencana tsunami. Hal ini disebabkan karena pada prioritas ketiga ancaman bahaya dan kerentanan masih tergolong rendah. Komponen rencana aksi yang ada pada Tabel 3 adalah komponen utama yang dapat dijabarkan menjadi aksi mitigasi pada setiap komponennya. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi gagasan baru dalam penentuan rencana aksi mitigasi bencana tsunami pada level lokal di wilayah risiko tinggi tsunami Indonesia. 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan diskusi mengenai pendekatan tipologi pesisir dan permukiman untuk mendukung penyusunan rencana aksi mitigasi bencana tsunami, dapat disimpulkan bahwa: 1. Mapping unit berupa bentuk pantai, topografi pesisir, kepadatan bangunan, dan jenis permukiman dapat digunakan untuk menentukan level prioritas penanganan bencana tsunami pada wilayah risiko tinggi tsunami. 2. Masing-masing profil wilayah pesisir memiliki kebutuhan komponen rencana aksi yang berbeda-beda. Komponen rencana aksi tersebut terdiri dari lima poin yang dapat dilakukan untuk pengurangan risiko bencana, yaitu peningkatan sistem mata rantai sistem peringatan dini, pembangunan tempat evakuasi tsunami, peningkatan kesiapsiagaan dan kapasitas mengahadapi bencana, pengembangan iptek, serta pengurangan faktor risiko bencana.
Ucapan Terimakasih Penelitian ini adalah pengembangan dari survei kawasan rawan tsunami yang dilakukan oleh Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada pada tahun 2014. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penelitian dan penulisan. Ucapan terimakasih diucapkan kepada Dandhun Wacano, S,Si, M.Sc, Evita Pramudianti, S.Si, M.Sc, Harfiadi, S,Si serta peneliti di Pusat Studi Bencana UGM. Ucapan terimakasih juga kepada Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah.
Daftar Pustaka BNPB, 2011, Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana untuk Rencana Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta. _____. 2012, Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional, Jakarta. _____, 2013, Indeks Risiko Bencana Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional, Jakarta.
22 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
_____, 2015, Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030, (Terjemahan), Platform Nasional PRB, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta BAPPENAS dan BNPB, 2010, Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Tahun 2010-2012. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta. Triatmadja, R., 2010. Tsunami, Kejadian, Penjalaran, Daya Rusak, dan Mitigasinya. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta UNESCO, 2008, Tsunami Preparedness-Information Guide for Disaster Palnners, IOC Manuals and Guides No. 49, Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO, Paris. _______, 2011, Reducing and managing the risk of tsunamis, IOC Manuals and Guides No. 57, Intergovernmental Oceanographic Commission of UNESCO, Paris.
23 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kajian Peningkatan Risiko Bencana Tsunami di Pantai Selatan Kulon Progo – Yogyakarta Study on Increasing Risk of Tsunami Disaster as Southern Coastal of Kulon Progo Area – Yogyakarta Eko Teguh Paripurno12, Arif Rianto Budi Nugroho12, Aditya Pandu Wicaksono13 , Girindra Pradhana1, Nandra Eko Nugroho1 Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,email;
[email protected] 2 Program Studi Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta 3 Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta 1
Abstrak Gumuk pasir pantai Selatan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini berfungsi sebagai lahan pertanian. Pola intensifikasi lahan pasir telah berasil dilakuan masyarakat , antara lain dengan teknologi tepat guna sumur renteng. Lahan tersebut dikelola oleh masyarakat petani yang tinggal di utara gumuk pasir, baik yang berada di daerah perbukitan dan daerah limpah banjir S. Progo dan S. Bogowonto. Kajian risiko bencana saat ini menunjukkan kawasan tapak mempunyai risiko bencanatsunami tinggi sampai rendah.Kajian risiko bencana terhadap rencana pembangunan bandara, berdasarkan dokumen rencana tata ruang yang ada, menunjukkan peningkatan risiko bencana. Peningkatan risiko terjadi pada nilai fisik dan manusia, dari sedang - rendah ke sedang-tinggi.Pertimbangan mitigasi bencana serius perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya pengurangan risiko. Kata Kunci: mitigasi risiko bencana tsunami Abstract Sand dunes in southern coast of Kulon Progo regency, Yogyakarta Special Region recently has been used as farming land. Sand land intensification pattern has been succesfully done by the villagers through an efficient technology; connected well. The land is managed by farmer community who lives in the north of sand dunes, both in hills area or in affluent flood area of Progo River and Bogowonto River. Study on disaster risk reveals that area of the site has low until high range of tsunami risk. Study on disaster risk on construction plan of Kulonprogo Airport, 24 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
based on existing document, shows that there is increasing sign of disaster risk. Its increasing can be occurred both on physical or human values, from low medium level up to medium-high level.Serious disaster mitigation must be applied to ensure risk can be reduced. Keywords: tsunami disaster risk mitigation
1. Pendahuluan Kawasan pesisir selatan Jawa lebih sepi dari simpul ekonomi dibanding utara jawa. Penyeimbangan sedang dan akan dilakukan dengan dibangunnya sejumlah infrastruktur penting. Saat ini sedang diselesaikan Jalur Lintas Selatan sepanjang 1.556 kilometer, membentang dari ujung timur sampai barat Pulau Jawa, menghubungkan provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat dan Banten. Salah satu moda yang rencana dikembangkan adalah bandara internasional baru untuk menggantikan Bandara Internasional Adisucipto. Sesuai dengan perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon (RTRW) Progo 2012 - 2032 (Revisi RTRW 2008 - 2028), Pasal 18 disebutkan bahwa jaringan transportasi udara berupa bandar udara direncanakan di Kecamatan Temon, Kecamatan Wates, Kecamatan Panjatan, dan Kecamatan Galurdirencanakan dibangun di Pantai Selatan Kulonprogo. Salah satu dilema rencana pembangunan tersebut adalah ancaman tsunami. Pengalaman dari tsunami Aceh-Sumut dan Sendai menunjukkan bahwa risiko kehadiran tsunami perlu diperhitungkan pada rencana pembangunan infrastruktur.Tsunami AcehSumut pada 26 Desember 2004 telah merusak jalan lintas pesisir barat Sumatra. Tsunami Sendai 11 Maret 2011, telah melumpuhkan bandara kota itu. Dalam Masterplan Pengurangan Risiko Bencana Tsunami yang disusun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Juni 2012, kawasan pesisir Jawa bagian selatan merupakan kawasan prioritas dengan risiko tsunami tinggi. Zona penunjaman Selatan Jawa pasa segmen Jawa - Bali merupakan pemicu gempabumi besar pada tahun 1840, 1867, dan 1875. Gempabumi di zona penunjaman di Jawa bagian selatan dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa pantai selatan Provinsi DIY. Jumlah warga potensi terpapar di wilayah Kulon Progo ada 60.607 jiwa yang terancam. Sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 40 ayat (3) disebutkan bahwa setiap kegiatan pembangunan yang mempunyai risiko tinggi yang menimbulkan bencana dilengkapi analisis risiko bencana sebagai bagian dari usaha penanggulangan bencana sesuai dengan kewenangannya.Penelitian ini dimaksudkan untuk membandingkan tingkat risiko bencana, sebelum dan sesudah bandara internasional.
25 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
2. Metode Penelitian dilakukan dengan menghitung aset berisiko saat ini, serta prakiraan aset berisiko setelah bandara tersebut berdiri. Penelitian dilakukan secara dokumentatif dan eksploratif. Pengkajian dokumentatif dilakukan terhadap berbagai dokumen publik yang diterbikan oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah, di tingkat nasional maupun daerah. Pengkajian eksploratif dilakukan di lapangan, dengan melakukan pengamatan dan pengukuran dengan pendekatan riset partisipatif di kawasan tapak rencana bandara internasional. 3. Hasil Dan Pembahasan Karakter Bahaya. Dalam RTRW Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 – 2028, daerah rawan Tsunami di Kabupaten Kulonprogo meliputi 6 kecamatan yaitu Kecamatan Wates, Kecamatn Lendah, Kecamatan Galur, Kecamatan Temon, Kecamatan Panjatan dan Kecamatan Pengasih denganluas sebesar 146,83 km2Daerah ini dibagi menjadi 3 zona kerawanan, yaitu zona dengan tingkat kerawanan tinggi atau zona 1 dengan jarak 0 – 500 meter dari garis pantai, zona dengan tingkat kerawanan sedang atau zona 2 dengan jarak 500 – 1.000 meter dari garis pantai dan zona dengan tingkat kerawanan rendah atau zona 3 dengan jarak lebih dari 1.000 meter Berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulon Progo yang diterbitkan InaTEWS bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal (2012) menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan rawan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencamai 6 meter, dan terjangan mencapai 2 kilometer. Tsunami dapat hadir 33-40 menit setelah gempa. Dari paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang (2).
Gambar 1: Sebaran kawasan rawan tsunami pantai selatan Kulon Progo. 26 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2: Sebaran tata guna lahan pantai selatan Kulon Progo. Aset Berisiko. Gumuk pasir pantai Selatan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini berfungsi sebagai lahan pertanian. Pola intensifikasi lahan pasir telah berasil dilakuan masyarakat, antara lain dengan teknologi tepat guna sumur renteng. Lahan tersebut dikelola oleh masyarakat petani yang tinggal di utara gumuk pasir, baik yang berada di daerah perbukitan dan daerah limpah banjir S. Progo dan S. Bogowonto. Aset berisiko di tapak bandara seluas 616 hektar, saat ini terdiri dari pemukiman 57,74 hektar dengan 479 rumah (1.916 jiwa) berada di dalamnya, persawahan 85,02 hektar, perkebunan 20,58 hektar, gumuk terbuka 70,08 hektar dan tegalan 382,71 hektar. Diluar rencana tapak terdapat rencana airport city seluas 50.000 hektar. Aset berisiko saat bandara beroperasi senilai 5 - 7 trilyun rupiah, terdiri dari 3.250 meter landasan, 106.500 m2 terminal, 125.412 m2 apron, 28 pesawat, 32.000 tenaga kerja, dan 10 juta penumpang per tahun. Selanjutnya akan berkembang 50.000 hektar airport city, rel kereta api dan jalan tol. Indeks penduduk terpapar dihitung dari kepadatan penduduk dan kelompok rentan. Dari paparan tentang aset berisiko di atas maka pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini rendah (16 jiwa/km2, kurang dari 500 jiwa/km2), dan akan berubah menjadi tinggi (16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.
27 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 3: Model New Yogyakarta International Airport Indeks kerugian dihitung atas nilai rumah, fasilitas umum, fasilitas kritis / strategis, luas lahan produktif dan kontribusi PDRB per sektor. Dari paparan tentang aset berisiko indeks kerugian dari sisi ekonomi saat ini pada lahan rendah (kurang dari 50 juta/ha), pada kontribusi PDRB rendah (kurang dari 100 juta/ha). Indeks kerugian dari sisi fisik, pada rumah rendah (250 juta/ha, kurang dari 400 juta/ha), pada fasilitas umum dan fasilitas strategis rendah (masing-masing kurang dari 500 juta/ha). Indeks kerugian pada saat bandara beroperasi akan meningkat tajam, menjadi fasilitas umum dan stategis sebesar 11.363 juta/ha. Indeks Kerentanan terdiri 1dari kerentanan ekonomi, fisik dan lingkungan. Kerentanan ekonomi dengan indikator luas lahan produktif rendah (kurang dari 50 juta/hektar), demikian juga pada PDRB (kurang dari 100 juta/hektar). Kerentanan fisik dengan indikator rumah rendah (kurang dari 400 juta/hektar), fasilitas umum rendah (kurang dari 500 juta/hektar) dan fasilitas kritis rendah (kurang dari 500 juta/hektar). Indeks kapasitas baik komponen kapasitas daerah maupun komponen kapasitas desa cenderung sedang. Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen kelembagan dan kebijakan sistematis. Warga desa mempunyai kesiapsiagaan yang memadai tentang pengetahuan kesiapsiagaan. Berdasarkan kejadian bencana yang lain, masyarakat mempunyai kemampuan mengelola tanggap darurat. Mayarakat mempunyai ketangguhan ekonomi dan tidak tergantung pada dukungan pemerintah. Partisipasi masyarakat tinggi, dalam kerja-kerja perlindungan aset.
28 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tingkat Risiko meningkat seiring dengan meningkatnya nilai aset berisiko secara luar biasa, lebih dari 1000 kali pada jiwa manusia terpapar, serta lebih dari 225 kali pada tingkat kerugian. Tingkat risiko ini belum diantisipasi oleh desain rencana bandara yang cenderung bersifat generik. 4. Kesimpulan dan Saran 1. Peningkatan risiko pada kawasan tapak dan sekitarnya terjadi karena perubahan nilai aset yang luar biasa. Peningkatan ini hendaknya digunakan dalam pengambilan keputusan pembangunan bandara. 2. Pengurangan risiko hanya dapat dilakukan secara menyeluruh, baik pada lokasi tapak dan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005, Rencana Detil tata Ruang Kawasan Pantai Selatan Kabupaten Kulon Progo 2005 – 20015 Anonim, 2007, Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Anonim, 2008, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo Tahun 2008 – 2028 Anonim, 2012, Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kulon Progo 2012 – 2032 Anonim, 2012, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa Bali Anonim, 2012, Peta Bahaya Tsunami, InaTEWS Anonim, 2015, Keputusan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 68/KEP/2015. Tanggal 31 Maret 2015 Tentang Lokasi Pengembangan Bandara Baru di Daerah Istimewa Yogyakarta Anonim, 2015, Paparan Angkasa Pura Tanggal 12 Mei 2015 Tentang New Yogyakarta International Airport
29 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Interaksi Hukum Negara dan Hukum Adat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir terkait Mitigasi Bencana di Kabupaten Aceh Besar Interaction between State Law and Adat Law in Managing Coastal Area related to Disaster Mitigation in Aceh Besar Sulaiman1,2, Teuku Muttaqin Mansur2 1
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Jl. Imam Bardjo No. 1, Semarang, email;
[email protected] 2 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh.
Abstrak Ruang pesisir memiliki potensi besar, termasuk sumber daya alam hayati dan non hayati. Faktanya kondisi pesisir tidak baik, akibat adanya berbagai kepentingan di ruang pesisir. Berbagai kepentingan juga memungkinkan terjadinya peminggiran wilayah adat, yang secara konkret tergambar dalam hubungan hukum negara dan hukum adat. Makalah ini ditulis dengan pendekatan socio legal. Pendekatan ini diharapkan bisa mengungkapkan interaksi hukum negara dan hukum adat dalam pengelolaan pesisir. Di Kabupaten Aceh Besar, keberadaan hukum negara tidak sepenuhnya mengatur secara operatif dan fungsional. Sebaliknya, keberadaan hukum adat dalam penataan ruang pesisir tidak bisa sepenuhnya berlangsung karena hukum negara tidak operatif. Ada cara pandang berbeda hukum negara dan hukum adat. Hukum negara bertumpu pada cara pandang yang antroposentris, sedangkan konsep hukum adat cenderung holistis. Keberadaan hukum negara dan hukum adat dengan mengusung konsep demikian, penting untuk dipertemukan. Dengan adanya interaksi tersebut, memungkinkan dan strategis bagi pendayagunaannya untuk penataan ruang pesisir di Aceh, khususnya dalam rangka penataan kawasan pantai menuju mitigasi bencana. Kata Kunci: Penataan ruang, pesisir, kearifan lokal Abstract The coastal area has abundant natural resources, particularly biological and nonbiological aspects. So, it has always been a subject of various interests. These interests have not only brought benefits for the State, but also gave significant impact on the existence of adat territory. The marginalization of adat territory has concretely pictured within the argument between State Law and Adat Law. Therefore, this paper would use the socio-legal approach to explore the interaction between State Law and Adat Law in managing disaster mitigation at coastal area, particularly in the District of Aceh Besar, Aceh, Indonesia. In Aceh Besar, the State Law does not have fully regulative and 30 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
operative mechanisms in managing the coastal area. On the contrary, the existence of Adat Law could not be accommodated since State Law does not specifically define its relationship with Adat Law, particularly in the matter of operational aspects. There is a difference between State Law and Adat Law in terms of philosophical thinking. The State Law relying on the concept of anthropocentrism, while the Adat Law on Holistic approach. The existences of both Laws are important to be understood, reconciled and fused. This fusion would give contribution to a better model for coastal-spatial planning, particularly towards managing disaster mitigation for coastal area in Aceh. Keywords: Spatial Planning, Coastal, Local Wisdom
1. Pendahuluan Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut (Pasal 1 angka 2 UU 1/2014). Dengan 119 pulau, panjang pantai di Aceh mencapai 1.660 km. Sebanyak 18 dari 23 kabupaten/kota di Aceh adalah wilayah pesisir. Dengan jumlah penduduk Aceh yang mencapai 4,9 juta (DKP, 2012; BPS, 2014), pesisir sangat penting bagi Aceh (Mukhlisin, 2012). Makna pesisir terkait dengan keragaman ekosistem (Kusumastanto dan Satria, 2011). Terdapat sejumlah ekosistem yang saling berinteraksi dan mempengaruhi, dengan sifat dan karakterisitik yang berbeda, yakni daerah pasang surut dan muaranya, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang (Asriyana dan Yuliana, 2012). Secara sosial-budaya, Aceh memiliki wilayah ruang dan hukum adat laut (Abdullah, 2012). Keberadaan ruang adat dapat ditelusuri dengan kenyataan adanya leuen pukat (Syarif, 2003), yang pemahamannya tidak terbatas pada alat tangkap saja (pukat), melainkan sebagai area untuk mengukur wilayat adat laut. Pemanfaatan sumber daya dalam kawasan itu hanya dilakukan oleh pihak dan cara-cara yang tertentu, sebagaimana ditentukan hukum adat laut. Ironisnya, potensi dan keragaman ekosistem hancur. Penurunan penutupan terumbu karang mencapai 7% dalam tiga tahun terakhir. Kerusakan lebih dari 75 % mangrove (Marzuki, 2013), akibat pembalakan, alih fungsi lahan, dan pembukaan sawit (Setiabudi, 2012). Padahal terumbu karang dan mangrove adalah penyangga bagi ekosistem lainnya dan rusaknya mangrove berimplikasi kepada rantai makanan, juga mencegah erosi, penahan ombak, perangkap sendimen dan penahan intrusi air asin dari laut. Peranan vegetasi mangrove di dalam lingkungan biologi adalah sebagai tempat pemijahan dan tempat asuhan bagi ikan dan biota laut lainnya (Suryawan, 2007). Dalam konteks keberadaan ruang adat, pengakuan hukum negara terhadap hukum adat hingga sekarang belum operatif dan fungsional (Sulaiman, 2015). Dengan penjelasan di atas, tampak bahwa pesisir Aceh bersaing dan berkontestasi dengan berbagai kepentingan lainnya, antara alih fungsi lahan mangrove, pemanfaatan untuk kepentingan perumahan dan permukiman, wisata bahari, dan pusat kuliner, serta izin dalam bentuk tambang (Halim, 2014). Berbagai fakta di atas, merupakan potensi bagi terjadinya bencana di Aceh, baik bencana alam maupun bencana sosial. Masalahnya adalah dalam proses mitigasi, hukum negara membatasi hukum adat untuk terlibat terlalu jauh. Padahal seyogianya hukum negara membuka diri terhadap keterlibatan hukum adat dan/atau kearifan lokal dalam proses mitigasi bencana tersebut. 31 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Atas dasar tersebut, makalah ini ingin menawarkan kenyataan kearifan lokal dalam konteks penataan ruang bagi upaya mitigasi bencana di Aceh. Dengan setting social Aceh Besar, disebabkan potensi sumber daya mineral di Aceh Besar yang besar. Di samping itu, terdapat Peraturan yang mendukung, yakni Qanun Mukim (Qanun 8/2009) dan Qanun Penataan Ruang (Qanun 4/2013). Di samping itu, terdapat Peraturan Bupati 11/2011. Namun demikian, daerah ini juga memberi ruang tambang pasir besi dan pasir hitam di wilayah pesisir dengan tanpa memberi catatan terhadap wilayah hukum adat laut. Hal ini dapat dilihat dalam SK Bupati Nomor 545/5449 (17/10/2011) dan Surat Nomor 545/4264, Surat Kepala BP2T Nomor 545/BP2T/1002/2011, Surat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Nomor 545/430/KDPE/2011, Rekomendasi Gubernur Nomor 545/BP2T/REK/2011, Keputusan Bupati Aceh Besar 1/2012, dan Surat Bupati Aceh Besar Nomor 523/12859. Proses tambang terhenti karena ada kebijakan Instruksi Gubernur 11/Instr/2014 (30/10/2014) tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral Logam dan Batubara. 2. Pendekatan Penulisan dilakukan dengan berangkat dari berbagai temuan lapangan, bukan dimulai dari teori. Corak penelitian ini adalah kualitatif, yang termasuk dalam aliran non-doktrinal (Samekto, 2012). Pendekatan yang digunakan adalah socio-legal, terkait dengan keinginan pemahaman hukum secara lebih menyeluruh (Rahardjo, 2009; Tamanaha, 2006). Data dianalisis dengan analisis kualitatif. 3. Hasil dan Diskusi Kearifan lokal hakikatnya berpangkal pada sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya (Nurjaya, 2008). Ia dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib (Keraf, 2005). Fungsi kearifan lokal, antara lain untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam, bermakna sosial, etika dan moral (Mariane, 2014). Dalam kenyataan, kearifan lokal sering dianalog dengan hukum adat. Padahal kearifan lokal lebih luas maknanya dari sekedar hukum adat. Hukum adat sebagai tatanan hukum (Salman, 2002). Pengertian hukum adat banyak menerima hukum agama (Slaats, 1993). Ia juga dipengaruhi konsep barat (Koesnoe, 1992). Makanya dalam konteks politik hukum negara cenderung memfokuskan diri pada hukum tertulis (Davidson, 2010). Dalam konteks Aceh, penting cakupan kearifan lokal, selain hukum adat, juga terdapat hadih maja, haba peuingat, bahkan bentuk-bentuk hukum lokal baru. Kondisi yang meluas ini, memungkinkan, setidaknya melihat hadih maja, yang menggambarkan karakter orang Aceh yang dominan (Rasyid, 2009). Hadih maja umum yang terkenal adalah sebagaimana disebut dalam penjelasan UU 44/1999 dan UU 18/2001, “adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana” yang artinya “hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama”. Dengan hadih maja, dapat dipahami adanya kaitan hukum dan adat, “Hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut”, dan adat bersendikan agama, “Hukum ngon adat han jeut cre lagee mata itam ngon mata puteh”. Melalui hadih maja, orang Aceh 32 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
diingatkan, “Adat meukoh reubong, Hukom meukoh purieh, Adat jeut barangkaho takong, Hukom han jeut beurangkaho ta kieh (adat boleh dibuat bagaimana yang baik, namun hukum harus dijalankan lurus, adat boleh bagaimana yang enak dijalankan, hukum tidak boleh sembarangan didebatkan). Dengan demikian membicarakan kearifan lokal tidak berhenti pada hukum adat semata. Masalah adat terkait dengan sistem, yang dalam pemaknaannya tidak bisa berhenti pada adat, melainkan hukum adat. Dengan hukum adat mekanisme pelaksanaan dan penegakan hukum bisa dilaksanakan (Wawancara Pakar Adat, 22/03/2015). Berbicara hukum adat dalam wilayah pesisir, tidak bisa dilepaskan dari empat hal yang menjadi penentu keberadaan sekaligus efektivitasnya (Pakar Adat, 22/03/2015). Semuanya dilihat saling terkait, meliputi hukum adat laot, pantang laut, sanksi, dan khanduri laot (Wawancara Panglima Laot Aceh Besar, 29/12/2014). Konsep hukum adat laot sendiri dilihat menurut konteks (Imran dan Yamao, 2014). Ada penataan kawasan pantai untuk ruang pantai, yang berimplikasi kepada rantai ekosistem di laut. Di dalam laut, pemanfaatan sumber daya juga tidak boleh semena, karena terkait dengan bencana sosial. Berbagai hukum adat laut, secara periodik disosialisasikan baik ke dalam maupun ke luar. Secara internal, menuju internalisasi nilai. Secara eksternal, memperkenalkan hukum adat laut baik dalam bentuk sosialisasi secara horizontal dan kepada pemerintah. Di samping itu, hukum adat laut juga mengatur pemanfaatan pesisir sesuai dengan tata ruang adat (Panglima Laot, 29/12/2014). Hal terakhir belum mendapat pengakuan sepenuhnya dari hukum negara. Berbagai fakta di atas, merupakan potensi bagi terjadinya bencana di Aceh, baik bencana alam maupun bencana sosial yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau maupun faktor manusia (Pasal 1 angka (1) UU 24/2007). Dalam proses mitigasi, hukum negara membatasi hukum adat. Konsep UU 24/2007, mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan insfrastruktur, tata bangunan, dll (Pasal 47). Dalam konteks pesisir, mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir (Pasal 1 angka 25 UU 1/2014 tentang Perubahan UU 27/2007). Dalam UU Pesisir, mitigasi bencana dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melalui penyusunan rencana pengelolaan (Pasal 56). Mitigasi dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat (Pasal 57). Penyelenggaraan mitigasi bencana wilayah pesisir memperhatikan aspek: (a) sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat; (b) kelestarian lingkungan hidup; (c) kemanfaatan dan efektivitas; serta (d) lingkup luas wilayah (Pasal 58). Instansi berwenang yang menentukan mitigasi bencana yang dilakukan setiap orang yang melaksanakan kegiatan yang berpotensi mengakibatkan wilayah pesisir (Pasal 59). Setelah lahirnya UU 11/2006, posisi terakomodir tidaknya hukum adat dalam ruang adat, dapat ditelusuri dengan keberadaan mukim sebagai masyarakat hukum adat. Sesuai dengan Qanun Mukim (Qanun Aceh Besar 8/2009), menjelaskan tiga hal penting: Pertama, dikenal adanya harta kekayaan mukim sebagai harta kekayaan yang dikuasai oleh mukim. Kedua, tanah ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah
33 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1. Segi Hukum Adat mukim yang dikuasai dan diatur oleh hukum adat. Ketiga, adanya tugas dan kewajiban Imum Mukim dalam memelihara kelestarian fungsi ekologi dan sumberdaya alam. Terdapat dua hal krusial yang menarik terkait dengan pengaturan di atas, yakni: Pertama, dalam qanun-qanun tersebut ditentukan bahwa ulayat yang dikuasai mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, jenis dan jumlah kekayaan Mukim harus diinventarisaikan dan didaftarkan serta pemanfaatannya diatur oleh Bupati berdasarkan atas kesepakatan Musyawarah Mukim. Pada dasarnya, dua hal tersebut adalah gambaran bahwa belum semua yang terkait mukim sudah jelas dan konkret untuk bisa dijalankan. Masih ada klausul yang membatasi mukim. Padahal dalam penjelasan Qanun Mukim Aceh Besar, harta kekayaan Mukim darat dan laut, antara lain wilayah laut, sampai batas pukat darat (sekitar 300-500 meter dari bibir pantai), antara lain dalam pengaturan jermal, keramba, rumput laut, kerang, dsb. Di samping itu, teluk yang menjorok ke darat tidak terlalu jauh. Termasuk di dalamnya delta (pante), pantai laut (pasi), laut (laoet), kuala, dan lain-lain. Pasal 162 ayat (2) huruf (e) UU 11/2006 mengatur kewenangan pemeliharaan “hukum adat laut”. Menurut hukum administrasi, kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal” yang berasal dari legislatif (diberi undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif. Kewenangan adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki pejabat atau institusi menurut ketentuan yang berlaku (Firmansyah, 2014). Kewenangan diperoleh melalui sumber atributif, delegasi, dan mandat (Hadjon, 1994). Dengan posisi mukim, Qanun RTRWA Tahun 2013-2033, disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh tanggal 27 Desember 2013 (Qanun 19/20013) tidak mengakomodir ruang adat mukim. Pengakuan tersebut juga tidak ditemui secara tegas dalam Qanun RPJMA 12/2013 dan Qanun PPLH 2/2011. Hal yang sama ditemui dalam Qanun Aceh Besar 4/2013. Posisi ruang mukim tidak mendapat tempat yang jelas. Padahal pengakuan keberadaan ruang adat Mukim 34 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
dalam RTRWK sangat penting, karena dalam Qanun Pemerintahan Mukim, sudah menyebut wilayah kelola Mukim di darat dan di perairan saja. Terkait dengan penanggulangan bencana, terdapat UU No. 24/2007, yang mengatur tujuan penanggulangan bencana adalah untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. UU ini menegaskan Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab menyelenggaraan dengan memadukan penjaminan pemenuhan hak korban bencana, perlindungan dari dampak, pengurangan risiko yang diselaraskan dengan program pembangunan, dan alokasi APBD yang pro mitigasi bencana. Untuk melaksanakan hal tersebut, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan, antara lain dengan penetapan kebijakan penanggulangan bencana. Dengan gambaran di atas, tampak bahwa mitigasi bencana dan kearifan lokal, dalam hukum negara sangat kompleks, sehingga hubungan dan kepentingan memungkinkan terjadinya kontestasi. Dengan melihat konteks sektoral, maka secara nasional, terkait sumber daya alam, terbagi dalam enam sektor: (1) energi dan sumber daya mineral; (2) kehutanan; (3) sumber daya air; (4) kelautan dan perikanan; (5) pertanian dan perkebunan; (6) pertanahan (Arizona, 2014). Dengan demikian, ruang pesisir sendiri, termasuk dalam hubungannya dengan kearifan lokal, tidak mungkin dilepaskan dari berbagai sektor tersebut. Sesungguhnya hukum menyediakan asas untuk penyelesaian ini, yang menggambarkan bahwa peluang kontestasi tersebut, tidak memiliki keberpihakan besar terhadap hukum adat dan kearifan lokal. Asas hukum yang jamak adalah: hukum khusus vs hukum umum; hukum awal vs hukum akhir; dan hukum tinggi vs hukum rendah. Menghadapi kondisi demikian, makalah ini menawarkan pentingnya ada interaksi hukum negara dan hukum adat secara lebih adil. Interaksi yang ditawarkan adalah konsep pluralisme hukum menurut Griffith (Griffith, 1986). Griffith membagi pluralisme hukum tersebut ke dalam dua situasi, yakni pluralisme hukum yang kuat dan yang lemah. Pluralisme hukum yang kuat berlaku pada situasi dimana suatu masyarakat tidak hanya tunduk pada hukum negara. Sementara pluralisme hukum yang lemah mengacu pada ideologi sentralisme hukum, di mana semua hukum harus diatur terlebih dahulu melalui hukum negara. Aceh sepertinya berada pada jenis pluralisme hukum lemah. Dalam konteks ini, ada bagian hukum adat yang “diakui” melalui hukum negara. Posisi ini dapat dijadikan ruang bagi interaksi hukum negara dan hukum adat yang ideal. Relasi yang harus terbangun adalah adanya peranan moral manusia sebagai bagian dari alam semesta. Adanya tiga fungsi dari sumber daya alam dalam kehidupan manusia, meliputi produksi, ekologi, dan budaya, menggambarkan adanya keniscayaan pemaknaan kesalinghubungan tersebut (Warassih, 2013, 2014). Relasi ini berada dalam suasana komunal magis (Supriyadi, 2008). Pemaknaan lingkungan dalam konteks ini sebagai kepunyaan bersama yang harus diperlakuan secara sangat hati-hati (Rosalina, 2010). Namun eksistensinya belum mendapat pengakuan seutuhnya (Hatta, 2010). Momentum desentralisasi, peraturan dapat menjadi penyimpul penting dalam menggapai semua harapan (Suharto, 2011).
35 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Hadih maja
Asas Hukum
UU Pesisir
Hukum Adat Laot
UU Penanggulangan Bencana
Kearifan Lokal
Hukum Lokal Baru
UU Sektoral
Gambar 2. Hukum Negara dan Mitigasi Bencana Dengan kondisi sekarang, ada titik temu yang bisa dicapai, sebagai ruang negosiasi yang operatif. Hukum negara dalam hal ini menempatkan lembaga adat pada posisi yang otonom untuk mengatur aturan dan wilayah adatnya, dengan pembagian peran yang diatur sedemikian rupa oleh hukum negara.
Gunung
Uteuen/Hutan Seuneubok Blang /Sawah Hunian
Hunian
Tambak
Peruntukan khusus Pesisir
Hunian
Seuneubok Blang /Sawah Peruntukan khusus Pesisir Laut Luas
Gambar 3. Ruang-ruang adat 36 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Berdasarkan gambar tersebut, ruang adat wilayah pesisir, tidak semata berdasarkan pada pengaturan hukum negara. Pengakuan hukum negara terhadap hukum adat dan hak ulayat berimplikasi adanya pengakuan terhadap ruang adat, yang secara konkret berdasar pada pengaturan lembaga-lembaga adat. Kepentingan penataan ruang adat pada dasarnya adalah untuk mewujudkan kondisi alam yang semakin kecil dan selalu berorientasi pada pengurangan risiko bencana. Dengan ruang yang terbagi sesuai dengan fungsi masing-masing, maka fungsi masing-masing akan berlangsung sebagaimana yang diharapkan. 4. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan bahasan di atas, kesimpulan yang dapat diambil bahwa keberadaan hukum negara tidak sepenuhnya mengatur secara operatif dan fungsional mengenai keberadaan hukum adat, termasuk dalam hal penataan ruang adat. Dengan kondisi hukum negara yang tidak sepenuhnya operatif, maka keberadaan hukum adat dalam penataan ruang pesisir tidak bisa sepenuhnya berlangsung. Kondisi ini antara lain disebabkan cara pandang yang berbeda hukum negara dan hukum adat. Hukum negara bertumpu pada cara pandang yang antroposentris, sedangkan konsep hukum adat cenderung holistis. Keberadaan hukum negara dan hukum adat dengan masing-masing cara pandang demikian, memungkinkan untuk dipertemukan, mengingat berdasarkan kebangunan kedua konsep, masih ada ruang-ruang negosiasi. Dengan ruang negosiasi tersebut diharapkan akan muncul interaksi hukum, yang memberi ruang bagi penataan ruang pesisir di Aceh berbasis kearifan lokal, khususnya dalam rangka penataan kawasan pantai menuju mitigasi bencana. Disarankan agar Pemerintah lebih membuka diri untuk melihat hukum adat sebagai bagian dari hukum negara, dengan tidak membatasi dalam pengakuan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat.
Daftar Pustaka Abdullah, M. A., 2012, Pembagian Kewenangan Kelola Laut Aceh, Belajar dari Program Pengelolaan Bersama Perikanan di Aceh, Pushal Unsyiah, Banda Aceh. Asriyana & Yuliana, 2012, Produktivitas Perairan, Bumi Aksara, Jakarta. BPS, 2014, Aceh dalam Angka 2014, BPS Aceh, Banda Aceh. Davidson, J. S., 2010, Adat dalam Politik di Indonesia, Obor dan KITLV, Jakarta. DKP, 2013, Statistik Perikanan Aceh 2012, DKP Aceh, Banda Aceh. Firmansyah, AA., 2014, “Kajian Normatif Kewenangan Pemerintah Aceh di Bidang Perikanan: Suatu Dasar Pijak Bestuurhandelingen di Bidang Perikanan”, dalam Sulaiman (Ed.), Aceh, Kebudayaan Tepi Laut, dan Pembangunan, Pushal Unsyiah, Banda Aceh. Griffith, J., 1986, “What Is Legal Pluralism?” Journal of Legal Pluralism & Unofficial Law, Vol. 24 (1), p. 1-52. 37 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Hadjon, P.M., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, UGM Press, Yogyakarta. Halim, A., Bukan Bangsa Kuli, KIARA, Jakarta. Hatta, M., 2010, Konsep Masyarakat Adat dan Problematika Pengakuan dan Perlindungannya, Jurnal Risalah Hukum, Vol. 6 No. 2, hlm. 71-92. Imran, Z., Yamao, M., 2014, “Konstruksi Peran Panglima Laot Lhok Menuju Tata Kelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berbasis Sosial-Ekologi Sistem”, dalam Sulaiman (Ed.), Aceh, Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan, Pushal Unsyiah, Banda Aceh. Keraf, A. S., 2005, Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta. Koesnoe, M., Hukum Adat sebagai Suatu Model Hukum, Mandar Maju, Bandung. Kusumastanto, T., Satria, A., 2011, “Strategi Pembangunan Desa Pesisir Mandiri”, dalam Aida VH dkk (Ed.), Menuju Desa 2030, PSPKL IPB, Bogor. Mariane, I., 2014, Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan Adat, RajaGrafindo, Jakarta. Marzuki, 2013, “Pesisir Aceh Menjanjikan, Tapi Kesejahteraan Menyedihkan”, Makalah, Jaringan KuALA. Mukhlisin, 2012, Pemetaan Potensi Daerah untuk Pengembangan Kawasan Minapolitan di Provinsi Aceh: Suatu Kajian Awal, Jurnal Depik, 1(1): 68-77. Nurjaya, I. N., 2008, Pengelolaan Sumber Daya Alam Perspektif Antropologi Hukum, Pustaka Publisher, Jakarta. Rahardjo, S., 2009, Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum, Bayumedia, Malang. Rasyid, H. M., 2009. Memahami Orang Aceh, Cita Pustaka Media, Jakarta. Rosalina, 2010, Eksistensi Hak Ulayat di Indonesia, Jurnal Sasi, Vol. 16 (3): 44-55. Salman, HR. O., 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni, Bandung. Samekto, FX. A., 2012, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 (1): 75-85. Setiabudi, P., 2012, “Laju Kerusakan Mangrove di Aceh 1.000 Hektare Pertahun”, Waspada, 10/01/2012. Slaats, H. (Ed.), 1993, Tiga Model Pendekatan Studi Hukum Adat, Pusat Studi Hukum Adat FH Unsyiah, Banda Aceh. Suharto, R.B., 2011, Disertasi: Rekonstruksi Birokrasi Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Menuju Keberlanjutan Ekologis, PDIH Undip, Semarang. Sulaiman, 2015, Arrangement Of Mukim Boundaries In Aceh Indonesia, Ijbel, (7) 4, 132-139.
38 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Supriyady, 2010, Kedudukan Hukum Adat dalam Lintasan Sejarah, Jurnal Addin Vol 2 (1): 221-231. Suryawan, F., 2008, Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Pasca Tsunami di Pesisir Pantai Timur Nanggroe Aceh Darussalam, Jurnal Biodiversitas, Vol. 8 (4): 262-265. Tamanaha, B.Z., 2006, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, New York. Warassih, E., 2013, ”Kebijakan Lingkungan Hidup dalam Perspektif Hukum Progresif” dalam Mahfud, M., Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Satjipto Rahardjo Institute, Semarang. Warassih, E., 2014, “Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan dalam Perspektif SosialBudaya”, dalam Shidarta (Ed.), Pendulum Antinomi Hukum, Antologi 70 Tahun Valerine JL. Kriekhoff, Genta Publishing, Yogyakarta.
39 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Penentuan Tempat Evakuasi Sementara (Tes), Berdasarkan Kapasitasnya Di Kota Pariaman Dengan Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG) Determining Evacuation Route, The Temporary Evacuation (TES) with Its Capacity In Pariaman City by Using Geographic Information System (GIS) Dini Purbani1, Ardiansyah2, Harris, M.P3, Hadiwijaya Lesmana Salim1, Muhammad Ramdhan1,Yulius1, Joko Prihantono1, Lestari Cendikia Dewi1 1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang Kelautan dan Perikanan-KKP 2 Asisten Dosen Jurusan Geografi FMIPA, Universitas Indonesia 3 Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Abstrak Kota Pariaman tahun 2009 mengalami gempabumi dua kali dengan kekuatan gempa 7,9 SR dan 6,2 SR (USGS, 2009). Dampak yang ditimbulkan terjadi korban jiwa meninggal 46 jiwa, luka berat 64 jiwa dan luka ringan 363 jiwa (BNPB 2009).Upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi korban jiwa, pemerintah daerah membuat rute evakuasi menuju TES di lokasi yang aman. Lokasi penelitian berada di Desa Naras Satu, Desa Ampalu, Desa Kampung Baru, Desa Karan Aur, Desa Taluak, Desa Marabau dan Desa Pasir Sunur. Upaya yang dilakukan agar meminimalisasi korban bencana dengan mengevakuasi warga menuju TES dengan jarak tempuh 270 m yang dapat dicapai dalam waktu 6 menit. Proses analisis SIG menggunakan jaringan jalan (network analysis). Parameter yang digunakan adalah jaringan jalan dan sebaran rumah penduduk.Dari Hasil analisis SIG dapat diketahui usulan TES berjumlah 39 unit yang berada di Desa Naras Satu sejumlah 8 unit, Desa Ampalu 5 unit, Desa Kampung Baru 11 unit, Desa Karan Aur 7 unit, Desa Taluak 1 unit, Desa Marabau 4 unit dan Desa Pasir Sunur 3 unit. Kelayakan TES yang dapat menampung warga antara lain Kantor lama Walikota Pariaman Karan Aur, Mesjid Pasir Sunur, SDN 5 Marabau, SMPN2 Kampung Baru dan SDN 15 Ampalu. Kata Kunci: analisis SIG, mitigasi bencana, TES, Kota Pariaman. Abstract Pariaman City experienced two earthquakes in 2009 with magnitudes of 7.9 SR and 6.2SR respectively (USGS, 2014). The impacts to people included 46 died, 64 seriously injured and 36 of slightly injured (BNPB 2009). There for, to minimize the death casualties, the local goverment maps evacuation routes to the safeshelters/TES, which
40 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
located in 7 villages - namelyVillages of Naras Satu, Ampalu, Kampung Baru, Karan Aur, Taluak, Marabau and Pasir Sunur. It is designed that the evacuation to the TES of 270 m distance can be reached within 6 minutes. Hence, a GIS analysis bynetwork analysis is applied. The parameters used are the road network and distribution of houses. So, from the results of GIS analysis it can be seen the number of proposed TES is 39 units, there are : Naras Satu village (8 units), Ampalu village (5 units), Kampung Baru village (11 units), Karan Aur village (7 units), Taluak Village (1 unit), Marabau Village (4 units) and Pasir Sunurvillage (3 units). The TES can accommodate residents arelike, the Office of provost Pariaman at Karan Aur Village, Pasir Sunur Mosque, Public Elementary School (SDN 5) Marabau, Junior High School (SMPN2) Kampung Baru and Public Elementary School (SDN 15)Ampalu. Keywords: GIS analysis,disaster mitigation, TES, PariamanCit
1. Pendahuluan Kota Pariaman dilanda gempabumi tahun 2009 dengan Magnitudo (Mw) 7,9 dan 6,2 (USGS, 2009). Dampak yang terjadi mengakibatkan korban jiwa meninggal 46 jiwa, lukaberat 64 jiwadanlukaringan 363 jiwa (Satkorlak 2009). Beberapagempa yang dirasakansampaike Kota Pariamanantara lain gempabumi di Aceh tahun 2004kekuatan 9,2 SR, di Sumatera 2005 kekuatan 8,7 SR, di Bengkulu tahun 2007 kekuatan 7,9 SR dangempabumi di Sumatera 2012 dengankekuatan 8,9 SR (Natawidjaja, 2007). Potensi bahaya (hazard) gempa bumi di Kota Pariaman cukup tinggi karena letaknya yang dekat dengan jalur patahan Semangko (Semangko Fault) atau patahan Barat Sumatera dan juga zona penujaman lempeng Palung Sunda yang dapat memicu terjadi gempabumi. Daerah penunjaman lempeng yang berada di dasar laut dapat berperan sebagai megathrust atau sesar anjak naik yang berpotensi untuk membangkitkan tsunami ketika terjadi gempa besar yang diikuti oleh deformasi vertikal di lokasi tersebut. Wilayah Padang dan sekitar pantai Barat Sumatera merupakan dataran rendah yang memiliki resiko yang besar di dunia dari ancaman tsunami, yang dapat disebabkan oleh gempabumi yang berasal dari Palung Sunda, karena di wilayah tersebut terdapat seismic gapyang dapat menjadi sumber gempa di masa yang akan datang (Sieh, 2009). Gempabumi yang terjadi di Kota Pariaman dapat berasal dari zona penujaman dan patahan besar Sumatera. Gempa yang berasal dari zona penujaman/subduksiakibat dari tumbukan dua lempeng yaitu lempeng (Samudra) Hindia atau lempeng IndiaAustralia bergerak menunjam ke bawah lempeng (benua) Sumatra dan busur kepulauan di bagian baratnya adalah bagian dari lempeng Eurasia (Natawidjaja,2007). Usaha mitigasi bencana di Kota Pariaman sangat diperlukan mengingat Kota Pariaman merupakan daerah pesisir di Sumatera Barat yang dekat dengan lokasi sumber gempa dan tsunami. Mitigasi tersebut dapat diwujudkan dengan membuat Tempat Evakuasi Sementara (TES) di daerah pesisir yang dapat dijangkau dengan cepat oleh masyarakat saat akan terjadi tsunami (UU 24/2007, UU 27/2007, Perda Kota Pariaman No. 3/2010). Lokasi TES secara umum dapat berupa daerah alami dataran tinggi, daerah 41 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
tanah tinggi buatan dan struktur baru yang di rancang tahan gempa dan tsunami (FEMA, 2008). Aplikasi penentuan TES menggunakan teknologi Informasi Geografis. Teknologi informasi Geografis dapat mengelola tentang populasi, infrastruktur dan data distribusi spasial Misalnya, kemampuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaanpertanyaan penting, seperti di mana daerah yang paling terkena dampak dan bagaimana mencapainya dalam situasi darurat, dapat diatasi dengan menggunakan teknologi SIG (Goodchild, 2006). Pengetahuan Ilmu Geografi digunakan dalam pengelolaan bencana untuk memandu dan memantau penggunaan lahan, menggambarkan rute transportasi untuk evakuasi yang efektif, dan menggambarkan kembali zona bahaya berdasarkan pengetahuan baru atau perubahan dalam sistem yang alami atau buatan manusia (Greene, 2002). Purbani et. al. (2014) mengusulkan 23 unit TES dari 12 unit TES yang sudah ada dan jalur horisontal menuju TEA sebanyak 15 jalur di Kota Pariaman.Wilayah desa pesisir kota ini telah memiliki TES yang bersifat multiguna seperti, Desa Kampung Baru menggunakan lantai 3 SMPN 2 Kampung Baru untuk TES, sementara lantai 1 dan 2 untuk aktivitas belajar. Desa Karan Aur terdapat kantor lama Walikota Pariaman yang dapat dimanfaatkan untuk TES berada di lantai 3. Desa Pasir Sunur memanfaatkan Mesjid Pasir Sunur sebagai TES. Desa-desa di wilayah pesisir hanya sebagian kecil yang mempunyai TES sehingga perlu dilakukan penelitian penentuan lokasi TES. Perencanaan pembangunan TES perlu memperhatikan nilai percepatan tanahpuncak (Peak Ground Acceleration) (Prihantono et al, 2013)dan spektrum respon gempa di lokasi TES Kota Pariaman (Dewi et al, 2014). Berdasarkan hasil penelitian Prihantonoet al (2013) nilai percepatan tanah puncak Kota Pariaman berkisar antara 0,35g- 4g yang berarti berada di daerah yang cukup rawan. 2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Pariaman dilaksanakan pada 31 Maret sampai 16 Juli 2014. Lokasi penelitian berada di Desa Naras Satu, Desa Ampalu, Desa Kampung Baru, Desa Karan Aur, Desa Taluak, Desa Marabau dan Desa Pasir Sunur (Gambar 1). Secara geografi lokasi penelitian berada pada posisi 0o 33’ 00”-0o40’43” LS hingga 100o04’46”-100o10’55” BT. wilayah administrasi Kota Pariaman bagian utara berbatasan dengan Kecamatan V Koto Kampung Dalam (Kab. Padang Pariaman), bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Nan Sabaris (Kab. Padang Pariaman), bagian Timur berbatasan dengan Kecamatan VII KotoSungai Sariak(Kab. Padang Pariaman) dan bagian barat berbatasan dengan Selat Mentawai. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan di lokasi yang terkena gempabumi dan tsunami. Data Sekunder terdiri atas beberapa peta dan citra. Peta Topografi Kota Pariaman lembar 0715-33 Pariaman skala 1:25.000 yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal 1976 digunakan untuk mengetahui lokasi di Kota Pariaman yang rentan, Citra Ikonos
42 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1. Lokasi Penelitian tahun rekaman bervariasi dari tahun 2006 dan 2009 diperoleh dari Google Earth digunakan untuk mengetahui kondisi Kota Pariaman secara keseluruhan. Data kependudukan diperoleh dari Dinas Kependudukan Kota Pariaman 2014 untuk mengetahui jumlah penduduk di wilayah yang rentan, sehingga dapat diketahui kapasitas TES yang dibutuhkan. Peta zonasi rawan tsunami yang dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-Badan Geologi Kementerian Energi Sumberdaya Mineral Tahun 2009 diperlukan untuk mengetahui sebaran luasan genangan tsunami. Peta Penggunaan Lahan dan Peta Jaringan Jalan Kota Pariaman yang dikeluarkan oleh BAPPEDA Kota Pariaman tahun 2012, digunakan untuk mengetahui kondisi tutupan lahan saat ini. Langkah awal penentuan lokasi TES adalah mengidentifikasi sebaran permukiman Kota Pariaman dari citra Ikonos sebelum ke lapangan. Unsur sebaran permukiman digunakan untuk mengetahui permukiman yang rentan terhadap tsunami. Langkah selanjutnya adalah verifikasi hasil interpretasi dengan melaksanakan uji lapangan (ground truth).Hasil verifikasi digunakan untuk pembaharuan data permukiman. Pembaharuan data jalan dilakukan berdasarkan Peta Jaringan Jalan dan pemetaan TES yang eksisting. Tabel 1. Jenis Data Fisik yang Digunakan Dalam Penelitian Komponen fisik
Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Alat/bahanyang digunakan
Penggunaan Lahan
Observasi
Insitu
Meteran, GPS hand held oregon 520, Daftar Isian, Kamera Digital
Sosial Masyarakat
Wawancara
Insitu
Daftar Isian 43
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Atribut yang diperlukan dalam pengelolaan SIG adalah unsur titik, garis dan polygon (Laurini, & Thompson, 1996). Unsur titik sebagai kota, unsur garis sebagai jalan dan unsur polygon sebagai wilayah permukiman dan zona rawan gempa dan tsunami. Pengolahan atribut SIG menggunakan perangkat lunak Arc View yang memiliki ekstensi network analysis dapat berfungsi untuk menentukan wilayah jangkauan (service area) suatu titik dari jarak yang ditentukan menurut ketersediaan jaringan jalan/aksesibiltas. Dalam penelitian ini, fungsi network analysis digunakan untuk menentukan permukiman yang terjangkau atau tidak terjangkau oleh TES yang telah ada (existing). Setelah itu, fungsi ekstensi ini juga digunakan untuk menentukan lokasi TES usulan yang strategis untuk permukiman yang tidak terjangkau oleh TES yang eksisting. Data jaringan jalan sangat diperlukan dalam proses analisis SIG dengan bantuan jaringan jalan (network analysis) untuk mengetahui arah evakuasi menuju ke tempat yang lebih aman. Adapun alur kerja tertera pada Gambar 2. Waktu tiba tsunami lokal yang sangat singkat, antara 10 – 60 menit, membuat penyebaraninformasi peringatan dini tsunami menjadi sulit. Hal ini akan berdampak langsung padaprosedur evakuasi dan waktu evakuasi yang sangat singkat. Ketika gempabumi terjadi seluruh sensor pencatat gempabumi yang beradadi stasiun seismik di sekitar sumber gempabumi akan mencatat data gempabumi danmengirimkannya ke pusat pengolahan di BMKG Pusat untuk diproses. Untuk gempabumi diwilayah Indonesia diperlukan waktu kurang dari 5 menit (T0-T1).(BMKG, 2012). Sistem peringatan dini tsunami di Indonesia lebih dari sekedar teknologi, tetapi juga memerlukan keterlibatan masyarakat di daerah berisiko bencana dan otoritas yang bertugas di semua tingkat dalam mengembangkan kemampuan mereka untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Usaha yang dilakukan dalam mengurangi bencana adalah secepat mungkin mengevakuasi warga menuju tempat yang lebih aman. Oleh karena itu dilakukan usulan TES berupa bangunan vertikal yang mempunyai ketinggian minimum lantai TES adalah elevasi gelombang datang (runup) tsunami maksimum di lokasi TES, ditambah 30%, ditambah 3 meter, dan dikurangi ketinggian tanah di lokasi TES (FEMA, 2008).Metode untuk penentuan jarak aman untuk mencapaiTES mengacu pada Institute of Fire Safety and DisasterPrepardnes Japan dalam Budiarjo (2006) diterangkan bahwa Kecepatan evakuasi = 0,751 m/detik (kecepatanberjalan Manusia Lanjut Usia). Waktu yang digunakan < 10 menit. Dalam penelitian ini menggunakan waktu 6 menit karena diasumsikan waktu tersebut warga dapat menuju TES yang terdekat. Waktu proses evakuasi = 6 menit = 6 x 60 detik = 360 detik, Jarak dari TES = 360 detik x 0,751 m/detik = 270,36 m = 270 m (Gambar 3). Setelah ditentukan jarak tempuh sejauh 270 m dalam waktu 6 menit maka dilakukan proses network analysis menggunakan jaringan jalan. Dari proses tersebut dapat diketahui TES yang diperlukan di setiap wilayah penelitian. Proses penentuan TES ini menggunakan analisis jaringan (network analysis) dimana variabel acuannya adalah jaringan jalan. Selain sebagai prasarana untuk mendukung mobilitas masyarakat, dalam konteks tanggap darurat, jaringan jalan juga digunakan sebagai jalur/akses evakuasi. Jaringan jalan digunakan untuk menentukan apakah suatu kelompok masyarakat dapat terjangkau oleh TES yang berjarak maksimum 270 m. Bila terdapat kluster pemukiman masyarakat yang belum terjangkau TES, maka perlu dilakukan penentuan usulan TES. 44 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Diagram alir proses penentuan vertical building (TES)
33 menit
Terjadinya Gempa
Determinasi dan deteksi gempa ( 13 menit )
Koordinasi pemberian tanda bahaya ( 8 menit )
Sistem peringatan Dini
Tsunami sampai ke pantai
Proses evakuasi menuju shelter ( 8 menit )
Pergerakan vertikal (4 menit )
Proses Evakuasi
Gambar 3. Waktu Terjadinya Gempa Sampai Tsunami Tiba Di Pantai (Budiarjo, 2006).
45 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Proses penentuan jangkauan dari TES yang telah ada (eksisting) yakni dengan menggunakan analisis Service Area yang terdapat pada tools didalam software Arc Gis. Data yang digunakan adalah lokasi TES eksisting dengan jaringan jalan dengan penentuan jarak jangkauan sejauh 270 m dari TES. Hasilnya berupa poligon jangkauan 270 m dari pusat lokasi TES berada. Kemudian hasil dari analisis jangkauan sejauh 270 m tersebut dioverlay dengan data sebaran rumah penduduk. Data sebaran rumah penduduk dihasilkan dari interpretasi citra resolusi tinggi. Hasil overlay tersebut dapat menentukan cluster rumah yang terjangkau TES dan tidak terjangkau TES. Bagi kluster rumah yang tidak terjangkau TES, maka proses selanjutnya adalah penentuan titik usulan TES. Penentuan titik usulan TES ini ditentukan dengan pendekatan: lokasi berada di percabangan jalan, lokasi sebaran usulan TES harus memiliki jangkauan usulan TES yang tidak saling beroverlap dengan jangkauan TES lainnya dan seluruh titik usulan TES menjangkau seluruh rumah. Setelah seluruh rumah terjangkau baik TES eksisting maupun TES usulan, selanjutnya adalah proses spatial join antara data sebaran rumah dengan poligon jangkauan TES. Spatial join ini bertujuan agar setiap rumah memiliki ID terhadap tujuan TES-nya masing-masing. Setelah itu, maka akan didapat jumlah rumah yang terjangkau di setiap TES. Dari jumlah rumah yang terjangkau di masing-masing TES tersebu kemudian diestimasi jumlah penduduk yang ditampung dengan pendekatan 1 rumah dihuni oleh 6 orang. Output dari penelitian ini adalah peta jangkauan TES eksisting dan TES usulan sejauh 270 m, jumlah kapasitas TES, serta peta rute jalan menuju TES terdekat. 3. Hasil dan Pembahasan Resiko dijelaskan sebagai kondisi yang dapat memiliki kemungkinan penyimpangan yang merugikan dari hasil yang diharapkan atau diperkirakan (Vaughan, 1997). Definisi risiko secara matematis merupakan bencana x kerentanan, di mana ''bencana''. Sementara bencana didefinisikan sebagai proses atau fenomena yang mungkin, dengan probabilitas tertentu, merupakan peristiwa yang merusak, dan ''kerentanan'' adalah suatu kondisi atau proses yang dihasilkan dari faktor-faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang menentukan kemungkinan skala kerusakan dari dampak bahaya yang terjadi (Cochard et al, 2008). Manajemen risiko harus fokus pada perlindungan penduduk dari gelombang tsunami dengan pemetaan yang cermat terhadap potensi wilayah yang terpapar dan objek penting dalam usaha mitigasi risiko yang tepat (Salap et. al, 2008). Rencana mitigasi untuk pengelolaan bencana meliputi rekonstruksi dan langkahlangkah persiapan untuk kejadian bencana. Karena kita ketahui dari sumber bencana disebabkan oleh gempabumi, zona-zona yang terkena dampak bencana ditentukan menggunakan SIG. Peta inundasi dibangun dengan SIG digunakan untuk berbagai keperluan. Perpotongan-perpotongan dari gedung dan lembaran-lembaran jalan dan peta lembaran inundasi digunakan untuk mendeteksi gedung yang terkena gelombang tsunami (Salap et all., 2011) Lokasi penelitian berada di zona rawan gempabumi, tsunami dan berjarak dekat dengan garis pantai. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di wilayah penelitian 46 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
diketahui; Desa Naras Satu yang berjarak 497 m dari garis pantai, belum memiliki TES, menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKC), Kota Pariaman, 2014 jumlah penduduknya mencapai 2.435 jiwa. Masyarakat setempat mengusulkan dibuatkan TES diatas lahan bekas rawa seluas 3.000 m2. Desa Ampalu berjarak 515 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 1.921 (DKC, 2014). TES yang diusulkan berada di SDN 15 terdiri dari 2 lantai, yaitu lantai 1 dan 2 untuk aktifitas mengajar, dan rencana TES berada diatas lantai 2. Desa Kampung Baru berjarak 822 m dari garis pantai, dengan jumlah penduduk 3.576 (DKC, 2014). Desa tersebut sudah memiliki TES di SMPN 2, yaitu lantai 1 dan 2 untuk aktifitas mengajar sedangkan TES berada di lantai 3 berupa area terbuka (dak). Desa Karan Aur berjarak 524 m dari garis pantai dengan jumlah penduduk 2.303 jiwa (DKC, 2014). Lokasi tersebut sudah memiliki TES di Kantor Walikota lama Pariaman yang berada di lantai 3 area terbuka (dak). Desa Taluak berjarak 869 m dari garis pantai. Jumlah penduduknya 3.302 jiwa (DKC, 2014). Desa ini belum memiliki TES, masyarakat setempat mengusulkan luas lahan seluas 1 ha untuk TES. DesaMarabau berjarak 2.651 m dari garis pantai.Wilayah ini paling jauh dari garis pantai, berpenduduk 980 jiwa (DKC, 2014). TES yang diusulkan berada di SDN 05 terdiri dari 3 lantai. Lantai 1 dan 2 untuk aktifitas mengajar sedangkan lantai 3 sebagai TES. DesaPasirSunuryang berjarak hanya 172 m dari garis pantai, merupakan wilayah yang paling rentan karena sangat dekat Samudera Hindia dan dibatasi oleh Sungai Batangmangor. Jumlah penduduknya 326 jiwa (DKC,2014). TES yang diusulkan adalah Mesjid Al Mukmin yang berlantai 3, yaitulantai 1 dan 2 digunakan untuk aktifitas ibadah sedangkan lantai 3 berupa ruang terbuka sebagai TES. TES yang tersedia di wilayah pesisir hanya berjumlah 3 unit yaitu di Desa Kampung Baru, Desa Karan Aur dan Desa Pasir Sunur. Sebagian besar pesisir belum memiliki TES sehingga dilakukan penentuan TES dengan network analysis. Dari hasil analysis dengan menggunakan parameter permukiman dan jaringan jalan diperoleh sejumlah TESusulan. TES tersebut berada di area yang mudah dijangkau oleh penduduk sejauh 270 m,dari TESusulan. Berikut adalah hasil olahan SIG dengan menggunakan network analysis: Hasil olahan SIG dapat diketahui jumlah TES yang diperlukan di setiap lokasi penelitian. Adapun TES usulan tertera pada tabel 2: 4. Kapasitas Tes Setelah TES usulan diketahui di setiap lokasi penelitian selanjutnya perlu diketahui masing-masing kapasitas TES, agar semua warga terakomodasi mendapatkan tempat evakuasi. Penentuan kapasitas TES mengacu pada FEMA 2008. Kapasitas TES adalah besaran luas bangunan TES, yang luasnya tergantung pada rencana jumlah orang yang akan ditampung untuk evakuasi di dalam TES. Secara fungsional TES menyediakan tempat evakuasi sementara selama terjadi tsunami atau digunakan juga untuk bencana lainseperti banjir besar.Kapasitas yang sesuai untuk para korban selama beberapa hari di TES adalah 1 m2 untuk 2 orangdengan evakuasi sementara (kurang dari 24 jam) dalam kondisi berdiri atau duduk (ITB, 2013).esimpulan disajikan berkaitan dengan makalah yang dipaparkan di atas. Disarankan ditulis dalam bentuk butir-butir dan bebas dari spekulasi.
47 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4. Lokasi TES Usulan dan TES Eksisting Desa Naras Satu
Gambar 5. Lokasi TES Usulan dan TES Eksisting Desa Ampalu
48 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 6. Lokasi TES Usulan dan TES Eksisting Desa Kampung Baru
Gambar 7. Lokasi TES Usulan dan TES Eksisting Desa Karan Aur
49 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 8. Lokasi TES Usulan dan TES Eksisting Desa Marabau
Gambar 9. Lokasi TES Usulan dan TES Eksisting Desa Pasir Sunur
50 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2. TES Usulan di Setiap Wilayah Penelitian No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Desa Naras Satu Ampalu Kampung Baru Karan Aur Taluak Marabau Pasir Sunur
Eksisting 1 1 1 1
Usulan 9 8 17 6 3 4 3
Tabel Daya Tampung Kapasitas TES Kota Pariaman No
Nama Calon TES
2
Luas Kapasitas (m )
Daya Tampung (jiwa)
Keterangan*
1000
2000
Dak Lantai 3
232
464
Dak Lantai 3 Balkon dan ruang kelas lantai 2
2
Kantor Lama Walikota Pariaman Karan Aur Mesjid Pasir Sunur
3
SDN 5 Marabau
208
416
4
SMPN 2 Pariaman (Kampung Baru)
176
352
5
SDN 15 Ampalu
304
608
6
SDN 15 Ampalu (baru)
162
324
1
Dak Lantai 3 Balkon dan ruang kelas lantai 2 Balkon dan ruang kelas lantai 2
*Lantai terbawah disebut Lantai 1
5. Kesimpulan dan Saran Penerapan nertwork analysis yang diolah dengan analisis SIG menghasilkan jarak yang diperlukan menuju TES sejauh 270 m dalam waktu 6 menit. TES usulan di setiap lokasi penelitiaan adalah ; 9 unit di Desa Naras Satu, 8 unit di Desa Ampalu, 17 unit di Desa Kampung Baru, 6 unit di Desa Karan Aur, 3 unit di Desa Taluak, 4 unit di Desa Marabau dan 3 unit di Desa Pasir Sunur. Desa Kampung Baru memiliki jumlah penduduk terpadat di Kota Pariamanyaitu 3.576 jiwa. Jarak dari garis pantai 822 m dan luas daya tampung TES 176 m2. Diperlukan penambahan TES agar dapat menampung seluruh warga. Desa Pasir Sunur memiliki lokasi dekat dengan garis pantai dan dibatasi oleh Sungai Batangmangor. Desa ini berjarak dari garis pantai 172 m, memiliki jumlah penduduk 326 jiwa dan luas daya tampung TES sebesar 232 m2. Desa Pasir Sunur diprioritaskan untuk penambahan TES.
51 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Ucapan Terimakasih 1. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir yang memberikanfasilitas dalam penelitian di KotaPariaman. 2. Kepala Badan Penanggulan Bencana DaerahKota Pariaman yang memberikan datadan informasi kondisi Kota Pariaman.
Daftar Pustaka Badan Meteorologi Klimatologi & Geofisika, 2012, Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami Budiarjo, A., 2006, Evacuation Shelter Building Planning for Tsunami- prone Area; a Case Study of Meulaboh City, Indonesia, Master Thesis, International Institute for Geoinformation Science and Earth Observation, Enschede 112pp Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Pariaman, 2014 Cochard et al., 2008, The 2004 Tsunami in Aceh and Southern Thailand: A review on Coastal Ecosystems, Wave Hazards and Vulnerability. Perspectives in Plant Ecology, Evolution and Systematics, vol. 10, pp. 3–40 Goodchild, M, 2006. GIS and disasters: Planning for catastrophe. Computers, Environment and Urban Systems Vol. 30, pp. 227–229 Greene, R. W., 2002. Confronting Catastrophe: A GIS Handbook. Redlands, CA, ESRI Press International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRCRCS) 2002 WorldDisasters Report: Focus on Reducing Risk. Bloomfield, CT, Kumarian Press. Federal Emergency Management Agency, 2008, Guidelines for Design of Structures forVertical Evacuation from Tsunamis, pp. 646. Institut Teknologi Bandung, 2013, Pedoman Teknik Perencanaan Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami. Laurini, R. & Thompson, D., 1996, Fundamentals of spatial information systems. Academic Press, pp 61-108 Natawijadja, D.H., 2007, Gempabumi dan Tsunami di Sumatra dan Upaya untuk Mengembangkan Lingkungan Hidup yang Aman dari Bencana Alam. United Geological Survey Earthquake, 2009, Magnitude 7,6 Southern Sumatera Indonesia, akses online 10 Maret 2013, URL:http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/recenteqsww/Quakes/us2009mebz.php/ Indonesia, Republik 2007. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
52 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Indonesia, Republik 2007. Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Peraturan Daerah Kota Pariaman, Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Bencana. Prihantono, J., Guntur, P., Dini, P., Lestari, C, D & Rikha, B., 2013, Studi Bahaya Guncangan Tanagh Menggunakan Metode Probabilistik Sebagai Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi di Pesisir Propinsi Sumatera Barat. Jurnal Segara, Vol. 9. Purbani, D., Ardiansyah, Lestari C,D & Joko, P., 2014, Penentuan Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan Tempat Evakuasi Akhir (TEA) untuk Gempabumi dan Tsunami dengan Pendekatan Sistem Informasi Geografis, Kota Pariaman Propinsi Sumatera Barat. Jurnal Segara, Vol. 10. Sieh, Kerry, 2009, Padang Earth quake Struck at Edge of Zone Where Much Bigger Quake is Expected. URL:http://www.earthobservatory.sg/news/2009/ Satkorlak, 2009, Recapitulation of West Sumatra EQ Impacts Friday, October 23,” circulatedby UN OCHA, Sumatra. Salap,S., Ayça,A., Akyürek, Z & Yalçiner, A, C., 2011, Tsunami Risk Analysis and Disaster Management by Using GIS: A Case Study in Southwest Turkey, Göcek Bay Area. AGILE pp. 18-22 Vaughan, E.J., 1997, Risk Management. Wiley, New York.
53 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Simulasi Numerik Dampak Tsunami 2004 Terhadap Morfologi Pantai Di Kawasan Peukan Bada, Aceh Besar Numerical Simulation of the Morphological Change Impact of the 2004 Indian Ocean Tsunami in Peukan Bada, Aceh Besar Tursina1,2, Asrita Meutia1,2, Syamsidik2,3 dan Ella Meilianda2,3 1
Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abd. Rauff, Banda Aceh, 23111. 2 Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah Kuala, Jl. Prof Ibrahim Hasan, Gampong Pie. Banda Aceh, 23233 3 Jurusan Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abd. Rauff, Banda Aceh , 23111.
[email protected],
[email protected], dan
[email protected]
Abstrak Aceh adalah salah satu daerah yang mengalami dampak kerusakan terparah akibat tsunami 2004 yang dipicu oleh gempa dengan kekuatan 9,2 Mw. Salah satu dampak yang terjadi adalah perubahan morfologi di kawasan pantai Peukan Bada, Aceh Besar. Berdasarkan foto satelit dan hasil survei setelah tsunami, hampir seluruh kawasan Peukan Bada tererosi dan tersedimentasi akibat gelombang tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana proses transpor sedimen yang terjadi saat tsunami sehingga menyebabkan erosi dan sedimentasi, baik di laut sampai dengan run up terjauh di kawasan Peukan Bada. Penelitian ini menggunakan simulasi numerik dengan model COMCOT (Cornell Multi-grid Coupled Tsunami Model) sebagai pembangkit tsunami dari pusat gempa dan Delft3D-FLOW sebagai pembangkit tsunami dari open boundary serta transpor sedimen. Model COMCOT menggunakan persamaan shallow water equations dan Delft3D-FLOW menggunakan non linear shallow water equations serta persamaan Van Rijn untuk transpor sedimen. Hasil simulasi menginformasikan perubahan morfologi akibat tsunami yang ditunjukkan dengan perubahan profil pantai, erosi dan sedimentasi di area tutupan lahan serta kemunduran garis pantai.
Kata Kunci: Simulasi numerik, ketinggian tsunami, transpor sedimen, erosi, Delft3D, COMCOT Abstract Aceh Province is one of the worst affecte tsunami regions due to the 2004 Indian Ocean Tsunami after a series of earquakes with maximum magnitude of Mw 9,2, with its epicenter is located offshore of the Sumatra Island. One of the impacts was the 54 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
morphological changes around coastal area of Peukan Bada sub-district, Aceh Besar District. Based on sattelite images and a field survey after the tsunami event, most of the Peukan Bada sub-district was eroded dan large amount of sediment deposit was found. This research is aim at investigating the coastal sediment transport process during the tsunami waves runup and rundown process. We limit our study area only at Ujong Pancu coast of Peukan Bada sub-district. To simulate the tsunami waves propagation, we used Cornell Multi-grid Coupled Tsunami Model (COMCOT) developed by Cornell University. The sediment transport simulation was performed using Delft3D-Flow module developed by Deltares of Netherland. The 2004 tsunami was generated using multi-fault scheme as validated by Romano in 2008. The sediment transport simulation was only done at inner layer of the simulation domain where Non Linear Shallow water Equation was employed. Van Rijn’s sediment transport formulae were coupled in the Delft3D-Flow morphological model. Results of this study were validated in term of tsunami run-up area at inland part of the Ujong Pancu coast. Based on our numerical model, the 200 tssunami sediment deposit was largely located at estern part of Pulo Tuan island, which is located just few kilometers from Ujong Pancu coast. Beach profile changes due to the tsunami waves were succesfully simulated in this research. Keywords: numerical simulation, tsunami wave height, sediment transport, erosion, Delft3D, COMCOT.
1. Pendahuluan Aceh adalah salah satu daerah yang mengalami dampak kerusakan terparah akibat tsunami 2004 yang dipicu oleh gempa dengan kekuatan 9,2 Mw. Salah satu dampak yang terjadi adalah perubahan morfologi di kawasan pantai Peukan Bada, Aceh Besar. Berdasarkan foto satelit dan hasil survei setelah tsunami, hampir seluruh kawasan Peukan Bada rusak dan tererosi akibat gelombang tsunami. Menurut Goto et al. (2007) dalam Li dan Huang (2013), gelombang tsunami merupakan gelombang panjang (10500km), periode panjang (102.000s), dan tinggi gelombang ( bisa mencapai 30 m). Kecepatan gelombang tsunami sangat tinggi dan semakin tinggi saat mencapai garis pantai yaitu 10 m/s. Interaksi gaya hidrodinamik tersebut terhadap slope bathimerti mempengaruhi proses transpor sedimen di lautan. Pengaruh transpor sedimen ini dapat diketahui dari perubahan profil pantai di area tersebut. Proses transpor sedimen tidak berhenti di lautan saja, melainkan sampai ke daratan sejauh gelombang tsunami menjalar (run up). Gelombang tsunami run up akan melalui beberapa rintangan. Selain slope topografi, rintangan lainya berupa tutupan lahan. Leschka et al., (2009) dan Gayer et al., (2010) yang mengembangkan peta kekasaran lahan menyebutkan bahwa kekasaran tutupan lahan mempengaruhi genangan tsunami. Linlin et al., (2012) juga menyebutkan bahwa nilai kekasaran yang besar dapat memperlambat kecepatan gelombang tsunami, memperkecil area genangan dan mengurangi sedimentasi. Interaksi gaya hidrodinamik gelombang tsunami, slope bathimetri , slope topografi dan pengaruh kekasaran tutupan lahan menyebabkan proses transpor sedimen tsunami di kawasan Peukan Bada menjadi sangat kompleks. Gelombang tsunami dapat menggerus sedimen (erosi) dan mengendapkannya (deposit) pada daerah lain yang 55 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
dilaluinya. Beberapa tahun terakhir simulasi numerik menjadi pilihan untuk menkaji bagaimana proses transpor sedimen tsunami berlangsung. Li et al., (2012) melakukan simulasi numerik perubahan morfologi pantai akibat tsunami 2004 di Lhoknga, Banda Aceh. Li et al., (2014) juga melakukan simulasi numerik terkait erosi dan deposit sedimen akibat tsunami 2004 di pantai Khao Lak, Thailand. Kihara dan Matsuyama (2010) melakukan simulasi numerik transpor sedimen akibat tsunami 2004 di Pelabuhan Kirinda, Srilanka. Li dan Huang (2013) melakukan pemodelan perubahan profil pantai akibat gelombang tsunami menggunakan delft3D dan Xbeach. Dari penelitianpenelitian tersebut diperoleh hasil yang cukup baik sebagai pendekatan proses kejadian tsunami sebenarnya. Oleh karena itu, pada penelitian perubahan morfologi akibat gelombang tsunami 2004 di Peukan Bada digunakan pemodelan numerik. Model numerik tersebut adalah gabungan COMCOT dan Delft3D-FLOW. COMCOT digunakan sebagai pembangkit gelombang tsunami dari pusat gempa (fault model) dan Delft3D-FLOW sebagai penjalaran tsunami dari open boundary sampai run up terjauh termasuk proses transpor sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses transpor sedimen terjadi (erosi dan deposit) sehingga mengakibatkan perubahan morfologi. Perubahan morfologi tersebut dianalisa berdasarkan hasil penjalaran serta transpor sedimen berupa perubahan profil pantai, kemunduran garis pantai, serta erosi dan deposit sedimen baik di lautan maupun di daratan. Analisa mengenai perubahan morfologi pantai sangat bermanfaat sebagai informasi dalam upaya mitigasi bencana tsunami, seperti perencanaan bangunan pelindung pantai, pembuatan peta risiko bencana serta perencanaan area dan rute evakuasi. Selain itu, deposit sedimen hasil transpor sedimen tsunami juga dapat bermanfaat untuk ahli geologi dalam mengestimasi interval waktu kejadian tsunami di masa lalu (paleotsunami deposits). Sehingga informasi tersebut dapat dijadikan permulaan (preliminary) dalam menentukan kemungkinan terjadinya gempa skala besar yang memicu tsunami di masa akan datang. 2. Metodologi Penelitian ini diawali dengan persiapan data sekunder yang dilanjutkan dengan setup data pada komputer. Data-data tersebut antara lain parameter gempa, data bathimeri, data topografi, parameter sedimen dan peta sebaran koefisen Manning. Selanjutnya dilakukan simulasi dengan COMCOT (Cornell Multi-grid Coupled tsunami Model). COMCOT telah divalidasi dengan data eksperimen dalam kajiannya pada tsunami 2004 (Liu dan Wang, 2006). COMCOT yang berfungsi membangkitkan dan penjalaran tsunami dari pusat gempa, menggunakan Shallow water quations (SWE).
∂η ∂hu ∂hv + + =0 ∂t ∂x ∂y
(1)
∂u ∂u ∂u gn2 ∂η + u + v + 4 u u2 + v 2 = −g ∂t ∂x ∂y h 3 ∂x
(2)
56 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
∂v ∂v ∂v gn2 ∂η + u + v + 4 v u2 + v 2 = −g ∂t ∂x ∂y h 3 ∂y
(3)
Dimana = elevasi permukaan (m); h = total kedalaman air (m); u dan v = kecepatan rata-rata (m/s); = berat jenis air (kg/m3); g = percepatan gravitasi (m/s2); n = koefisien Manning tutupan lahan. Setelah diperoleh ketinggian tsunami pada titik observasi (Obs 1 dan Obs 2) hasil simulasi COMCOT, simulasi dilanjutkan dengan Delft3D. Ketinggian tsunami tersebut dijadikan input water level Delft3D-FLOW untuk mensimulasikan tsunami beserta transpor sedimen. Simulasi numerik dengan gabungan model (couple model) COMCOT dan Delft3D-FLOW pernah dilakukan untuk mengkaji proses pemisahan daratan Ujong Seudeun Aceh dari Pulau Sumatera akibat tsunami 2004 (Al‘ala et al., 2015). Simulasi dengan delft3D-FLOW dilakukan selama 1 jam dengan morfology factor (morfac) adalah 1, dengan definisi 1 jam simulasi sama dengan 1 jam kejadian tsunami sebenarnya. Persamaan transpor sedimen yang digunakan adalah persamaan transpor sedimen Van Rijn.
(u − ucr )2.4 d50 D−0.6 ∗ qs = 0.012 u 1.2 ( s − 1 gd50 ) u − ucr qb = 0.005 u h ( s − 1 g d50 )0.5
2.4
(4) d50 h
1.2
(5)
2.1 Lokasi Penelitian Peukan Bada terletak di sebelah barat kota Banda Aceh. Peukan Bada merupakan sebuah kecamatan yang berbentuk teluk dengan topografi bagian barat daerahnya adalah gunung dan bagian timur topografinya rendah sampai Kota Banda Aceh (Gambar 1). Sebelum tsunami, tutupan lahan kawasan Peukan Bada terdiri atas perumahan penduduk, tambak, area sawah dan hutan. Namun setelah tsunami semua kawasan ini rusak dan tererosi. Berdasarkan hasil survei lapangan, ketinggian tsunami yang tercatat di tugu tsunami (tsunami pole) Peukan Bada yang berada 0,4 m dari pantai adalah 9 m dengan tinggi genangan air 7 m. 2.2 Data Bathimetri dan Topografi Data bathimetri yang digunakan adalah data bathimetri sebelum tsunami dan data topografi bersumber dari GEBCO dengan digitasi ulang garis pantai sesuai data bathimetri.
57 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
N
Gambar 1. Peta lokasi Peukan Bada Aceh Besar, hasil foto satelit IKONOS setelah tsunami 29 Desember 2004.
2.3 Parameter Gempa (Fault Model) Parameter gempa digunakan sebagai input parameter gempa pada COMCOT. Parameter gempa yang digunakan adalah parameter gempa 2004 dengan multi fault. Menurut Romano (2009) dalam Syamsidik et al. (2015), multi fault ini terdiri dari 18 segmen. 2.4 Data Manning Berdasarkan foto satelit IKONOS sebelum tsunami, tutupan lahan di kawasan Peukan Bada terdiri atas : hutan, area perumahan, tambak, sawah, dan area pantai. Angka kekasaran dasar digunakan koefisien Manning yang diklasifikasikan berdasarkan jenis tutupan lahan (Li et al., 2012). 2.4 Data Sedimen Data sedimen digunakan sebagai input transpor sedimen pada Delft3D-FLOW. Data sedimen laut diperoleh dari pengukuran yang dilakukan setelah tsunami dengan 20 titik sampel pengambilan. Dari hasil analisa sedimen, sedimen laut D50 terdiri dari pasir
58 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Peta tutupan lahan dengan koefisien Manning sangat halus (0,09 mm), pasir halus (0,18 mm), dan pasir medium halus (0,25 mm). Selain itu juga terdapat karang di sekitar Pulau Tuan. Sedimen laut di kawasan Peukan Bada didominasi dengan pasir halus. Untuk sedimen darat dianggap sama dengan sedimen laut dominan yaitu pasir halus dengan D50 = 0,18 mm. 2.5 Simulasi Numerik Simulasi dengan COMCOT menghasilkan ketinggian tsunami. Tinggi maksimum tsunami pada titik observasi adalah 10 m. Gelombang ini terjadi 520 detik setelah gempa atau 9 menit setelah gempa terjadi. Selanjutnya simulasi dilanjutkan dengan Delft3D-FLOW.
.. Obs 1
Obs 2
Gambar 3. Tinggi tsunami (water level) hasil simulasi COMCOT
59 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
.D1 Daratan
(a)
(b)
Gambar 4. Input ketinggian tsunami (water level) pada Delft3D-FLOW (4a) dan area simulasi pada Delft3D-FLOW (4b)
3. Hasil dan Diskusi 3.1 Tinggi dan Genangan Tsunami di Peukan Bada Gambar 5 menunjukkan proses penjalaran tsunami. Pada 15 menit pertama simulasi, air laut surut. Gelombang tsunami pertama datang pada menit ke-23 simulasi. Tinggi tsunami pada menit ke-27 pada titik observasi D1 adalah 14 m. Gelombang mencapai run up terjauh pada 60 menit simulasi. Gelombang tsunami menjalar dan menggenangi hampir seluruh dataran dengan topografi rendah di Peukan Bada. Tinggi genangan di kawasan pantai Peukan Bada adalah 6 m. 3.1 Transpor Sedimen Simulasi yang dilakukan selama 1 jam ini cukup mewakili seluruh proses tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004, termasuk transpor sedimen. Penurunan elevasi (erosi) akibat gelombang tsunami terjadi hampir di seluruh area pantai. Area pantai bagian timur mengalami penurunan elevasi dan kerusakan yang sangat parah. Dataran rendah di bagian timur pantai menyebabkan gelombang tsunami menjalar lebih jauh. Pantai bagian barat penurunan elevasinya tidak begitu tinggi dibandingkan pantai bagian timur karena pantainya berbatasan dengan dataran tinggi. 3.2 Perubahan Profil Pantai Berdasarkan perubahan morfologi yang dihasilkan dari simulasi Delft3D-FLOW, diperoleh data profil pantai. Data profil pada cross section yang telah ditentukan yaitu cross 1. Cross 1 ditampilkan dengan membandingkan profil pantai pada kondisi sebelum tsunami, simulasi 30 menit dan simulasi 60 menit.
60 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5. Snapshots penjalaran tsunami pada : (a) t = 15 menit, (b) t = 30 menit, (c) t = 45 menit, dan (d) t = 60 menit
Gambar 6. Ketinggian tsunami pada titik observasi D1
61 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 7. Perubahan profil pantai pada Cross 1
Cross 1 berada di bagian timur Pulau Tuan. Panjang cross 1 adalah 2100 m, 1500 ke arah laut dan 600 m pada bagian darat. Titik 0 (nol) merupakan posisi garis pantai sebelum tsunami. Profil pantai pada 30 menit simulasi relatif sama dengan profil pantai sebelum tsunami, hal ini menandakan transpor sedimen yang terjadi belum signifikan. Satu jam simulasi, profil pantai menjadi bergelombang dibandingkan profil pantai sebelum tsunami. Garis pantai mengalami kemunduran setelah tsunami. Hampir semua profil tererosi. 3.4 Erosi dan Deposit Sedimen pada Area Tutupan Lahan Erosi dan deposit sedimen tsunami di daratan adalah hasil 1 jam simulasi. Pada area pantai erosi oleh gelombang pertama mencapai 0,8 meter. Gelombang kedua datang pada menit ke 42 menyebabkan erosi yang lebih besar pada area. Melihat hasil dari observasi diatas, diketahui bahwa pada area yang memiliki nilai kekasaran kecil lebih rentan mengalami erosi. Nilai kekasaran ini sangat berpengaruh terhadap kecepatan aliran tsunami. Nilai kekasaran yang kecil menyebabkan aliran semakin cepat dan nilai kekasaran yang besar menyebabkan kecepatan melambat (Li et al, 2012). 3.5 Validasi Hasil Simulasi Validasi bertujuan untuk mengetahui keakuratan pemodelan. Validasi dilakukan antara batas genangan (inundation area) hasil simulasi dengan batas genangan yang ditunjukkan oleh foto IKONOS. Adapun peta IKONOS diperoleh saat pencitraan 29 62 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 8. Hubungan time series ketinggian tsunami, kecepatan, shear stress dan cum erosion/sed Desember 2005. Dari validasi ini terlihat keakuratan hasil simulasi. Batas genangan hasil simulasi mirip dan mendekati batas genangan dari IKONOS. Hasil ini menunjukkan bahwa gabungan model COMCOT dan Delft3D-FLOW dapat digunakan untuk simulasi tsunami.
Garis pantai sebelum tsunami
Batas genangan dari IKONOS
Batas genangan hasil simulasi
Gambar 9. Perbandingan batas genangan hasil simulasi dengan foto IKONOS
63 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
4. Kesimpulan dan Saran Penelitian ini telah dilaksanakan di sekitar Pantai Ujong Pancu, yang berada di Teluk Ulee Lheue, bagian dari Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar. Simulasi numerik dan perbandingan data lapangan menunjukkan beberapa hasil yang cukup baik. Kesimpulan yang dapat disajikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Simulasi numerik yang dijalankan dalam penelitian ini berhasil memvalidasi luasan genangan tsunami berdasarkan luasan data IKONOS. 2. Karena energi gelombang tsunami yang besar, maka berdasarkan Cross 1 pada bidang simulasi numerik, garis Pantai Ujong Pancu di Peukan Bada ini mengalami kemunduran akibat tsunami sejauh 144 m dari posisi awalnya sebelum tsunami terjadi. 3. Sebagian besar erosi terjadi pada daerah yang memiliki nilai kekasaran kecil yaitu area pantai dengan ketinggian erosi 2 m. Ini disebabkan karena tahanan geser yang kecil yang menyebabkan angkutan sedimen lebih mudah terjadi karena arus yang tegangan geser kritis sedimen dengan mudah terlampaui. 5. Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada USAID (Partnership for Enhanced Engagement in Research/PEER Cycle 3) sponsor Grant Award Number: AID-OAAAA-11-00012 dan Sub Grant Number PGA-2000004893 atas dukungan finansialnya dalam penelitian ini. Penulis juga berterimakasih kepada TDMRC Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami TDMRC yang telah memfasilitasi penulis sehingga penelitian ini terlaksana dengan baik. Penulis juga mengucapkan terimakasih atas bantuan dari masyarakat Ujong Pancu di Kecamatan Peukan Bada demi suksesnya penelitian ini. Daftar Pustaka Al’ala, M., Syamsidik., Rasyif,T.M., dan Fahmi, M., 2015. Numerical Simulation of Ujong Seudeun Land Separation Caused by 2004 Indian Ocean Tsunami, Aceh-Indonesia. Journal of Tsunami Society, Vol 34 No.3 : 159-172. Gayer, G., Leschka, S., Nohren, I., Larsen, O., dan Gunther, H., 2010. Tsunami Inundation Modelling Based on Detailed Roughness Maps of Densely Populated Areas, Nat Hazards 10 : 1679-2010. Gusman, A.R., Tanioka, Y., dan Takahashi,T., 2012. Numerical Experiment and a Case Study of Sediment Transport Simulation of the 2004 Indian Ocean Tsunami in Lhok Nga, Banda Aceh, Indonesia, Earth Planets Space 64 : 817-827. Kihara, N dan Matsuyama,M., 2010. Numerical Simulations of Sediment Transport Induced by the 2004 Indian Ocean Tsunami Near Kirinda Port in Sri Lanka. Proceedings of 32th International Conference on Coastal Engineering, Shanghai, China No 32, currents. 12
64 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Leschka, S., Pedersen, C., dan Larsen, O., 2009. On the Requirements for Data and Methods in Tsunami Inundation Modelling – Roughness Map and Uncertainties, Proc. of the South China Sea Tsunami Workshop, Penang, Malaysia. Li, L., Huang, Z., dan Qiu, Q., 2014. Numerical Simulation of Erosion and Deposition at the Thailand Khao Lak Coast During the 2004 Indian Ocean Tsunami, Nat Hazard 74 : 22512277. Li, L., Qiu, Q., dan Huang, Z., 2012. Numerical Modeling of the Morphological Change in LhokNga, west Banda Aceh, during the 2004 Indian Ocean Tsunami : Understanding Tsunami Deposits Using a Forward Modeling Method, Nat Hazard 64 : 1549-1574. Li,L dan Huang, Z., 2013. Modeling the Change of Beach Profile Under Tsunami Wave: A Comparison of Selected Sediment Transport Models, Journal of Earthquake and Tsunami, Vol.7, No.1. Syamsidik, Rasyif, TM, dan Kato, S., 2015. Development of Accurate Tsunami Estimated Times of Arrival for tsunami-prone cities in Aceh, Indonesia. Int. Journal of Disaster Risk Reduction, 14(4):403-410. Wang, X dan Liu PLF., 2004. An Analysis of 2004 Sumatra Earthquake Fault Plane Mechanisms and Indian Ocean Tsunami. Journal of Hydraulic Research Vol. 00, No. 0 (2006), pp. 1–8
65 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Studi Ketahanan Sektor Sarana, Prasarana dan Utilitas Kota Banda Aceh dalam Rencana Tata Ruang Guna Menghadapi Bencana Tsunami
Resilience Studies on Infrastructure and Utilities Sector in Banda Aceh Spatial Plan in order to face Tsunami Disaster Muhammad Ridha Galis, ST.1, Dr. Ir. M. Isya, MT.2, 1
Alumni Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganeca No. 10, Bandung, email;
[email protected], 2 Jurusan Teknik Sipil , Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk Syech Abdurrauf No. 7, Banda Aceh, Aceh 23111, emai:
[email protected],
Abstrak Tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 silam merupakan suatu bencana besar bagi Indonesia. Kerusakan yang terjadi sangat besar dan dibutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang besar untuk memperbaikinya. Proses Rekonstrusi sudah dilakukan dalam satu dekade ini sudah mengembalikan kondisi Provinsi Aceh kembali ke kondisi semula, namun selain pengembalian menjadi kondisi semula diperlukan juga peningkatan ketahanan agar suatu kota tidak mengalami kerusakan yang sama ketika terjadi bencana yang serupa, penelitian ini bermaksud untuk melihat ketahanan dari salah satu bagian dari Provinsi Aceh, yaitu Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi dalam menghadapi bencana tsunami. Objek dari tingkat ketahanan (Resiliensi) terhadap bencana yang akan diteliti dalam studi ini terkait pada sarana-prasarana serta utilitas yang mendukung dalam pergerakan roda-roda kegiatan di Kota Banda Aceh. Studi ini dilakukan dengan metode analisis mendalam (in-depth analysis) dengan menggunakan data historis mengenai bencana Tsunami sebagai acuan dalam menentukan besaran dari bahaya gelombang tsunami yang pernah melanda Kota Banda Aceh serta dokumen-dokumen tata ruang. Data historis digunakan .untuk melihat luasan wilayah yang terkena gelombang tsunami oleh karena itu data historis dijadikan basis sebagai bahan untuk dibandingkan dengan dokumen rencana tata ruang khususnya pada struktur ruang untuk mendapatkan objek-objek vital yang berisiko terkena bahaya tsunami dan identifikasi pada program-program yang dirumuskan guna mengurangi dampak dari tsunami dan kemudian akan dirumuskan mengenai rekomendasi dalam membantu sektor sarana, prasarana dan utilitas di Kota Banda Aceh agar memiliki ketahanan yang lebih baik dalam menghadapi bencana Tsunami sehingga gangguan dari adanya Tsunami dapat diminimalisir dan tidak menganggu fungsi dari Kota Banda Aceh sebagai ibukota provinsi. Tsunami telah menjadi suatu pembelajaran, bagaimana suatu kota mengintegrasikan sektor bencana kedalam salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan rencana tata ruang. Kondisi Kota Banda Aceh sudah kembali menjadi 66 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
kondisi semula pasca tsunami 2004 belum menunjukkan adanya bentuk-bentuk peningkatan terhadap menciptakan kota yang memiliki ketahanan terhadap bencana. Kata Kunci: Bencana Tsunami, Tata Ruang, Ketahanan (Resilience), Prasarana, Sarana.
Abstrack Tsunami in 2004 attack Aceh Province was a major disaster for Indonesia, where the damage was extremely large and needed a quite long time and spent a lot of cost to repair all the damage. Reconstruction process has been done over the past decade and has been restore the condition of Aceh province back to its original state, but beside to returns into its original state Banda Acer is also required to increase resistance so that a city would not experience the same damage in the event of similar disasters, this study intends to see the resilience of Banda Aceh as the capital of the Aceh province in order to face the tsunami disaster. The object of this studi is resilience level of infrastructure and utilities to tsunami disaster to support activities in Banda Aceh. This study was conducted using in-depth analysis on historical data and spatial map to of Tsunami disaster as a reference in determining the magnitude tsunami hazard which has been struck Banda Aceh. Historical data is used to see the extent of the area affected by tsunami waves and used as a basis for comparison with the spatial planning documents, especially on the structure and the vital objects at the risk of tsunami hazard and the identification of programs formulated to reduce the impact of the tsunami in order to develop a better resistance to facing the tsunami wave so that destruction of the tsunami can be minimized and not interfere the function of Banda Aceh as capital of province. Tsunami has become a lesson in how a city must integrate disaster assessment into the development of spatial plans. Conditions of Banda Aceh has returned to its original state after tsunami in 2004, but have not shown the existence of o enhancement to create a city that has resistance to the tsunami disaster. Keywords: Tsunami, Spatial Plan, Resilience, Infrastructure, Utilities. 1. Pendahuluan Bencana merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu, ancaman, dan kerentanan berkerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas (BNPB, 2005 :10). Tsunami yang melanda pada 24 Desember 2004 silam, merupakan salah satu bencana terbesar yang melanda Provinsi Aceh. Keberadaan Pulau Sumatera yang berada di jalur tumbukan dua lempeng bumi yaitu Lempeng Hindia dan lempeng Eurasia sering kali menyebabkan terjadinya gempa bumi di bagian barat Pulau Sumatera. Kekuatan gempa yang mencapai 9.1 sampai 9.3 skala Richter dan juga pergerakan salah satu lempeng yang bergeser naik hingga 15 meter mengakibatkan air terdorong dan membentuk gelombang dengan ketinggian mencapai 30 meter (http://www.dw.com/id). 67 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1 Siklus Terjadinya Bencana (Perka BNPB 4-2008) Ketidaksiapan dalam menghadapi tsunami menjadi penyebab besarnya korban jiwa yang muncul dari tragedi bencana tsunami Aceh 2004 tersebut sepertinya juga sebagai akibat tidak adanya rencana darurat atau peringatan dini (early warning system). Sekitar 170.000 korban tewas di Sumatera dan semua bangunan di daerah pantai hancur serta di beberapa tempat hingga jarak lima kilometer dari pesisir pantai. Teori-teori mengenai bencana mulai berkembang sejak saat itu, seperti konsep mengenai mitigasi yang berguna untuk mengurangi tingkat kerusakan dari bencana. Salah satu konsep yang terkenal adalah konsep siklus bencana, seperti Gambar 1. Bencana juga menjadi salah satu poin yang diintegrasikan kedalam rencana tata ruang seperti yang tertera dalam Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. khususnya dalam penilaian mengenai risiko terjadinya bencana (baik bencana geologi maupun hidrologi). Perhitungan mengenai sektor kebencanaan diwujudkan dalam setiap aspek dokumen tata ruang seperti penetapan struktur ruang, pola ruang, pemanfaatan ruang, dan juga program-program perencanaan kedepannya. Salah satu bentuk dari mitigasi yang dapat diwujudkan dalam tata ruang adalah dalam penentuan struktur dan pola ruang. Resiliensi adalah konsep yang muncul dari adanya keinginan untuk meningkatkan sistem perkotaan baik dari sektor teknologi dan juga infrastruktur untuk lebih baik demi mempersiapkan menanggapi, pulih dalam menghadapi bahaya yang salah satunya adalah bahaya akibat bencana alam. Dalam Philip (2015), dinyatakan bahwa poin penting dalam konsep resiliensi yang dapat membantu dalam menanggapi bencana seperti pada Gambar 2 adalah:
68 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Secondary Event
Natural Disaster
Other System Affected
Other Event
Mitigation Controls
Main Event
Natural Disaster
Event
System Performance Affected
Recovery Controls
Efects
-
System Damaged - Earthquake characteristics - Ground conditions - System characteristics
Recovery Controls
Community Outcome Affect
Health and safety Environmental Customers Reputation Legal & compliance Financial
Service Disrupted - Operational Stage - Service aspect - Spatial influence
- Economics - Measure or Impact
Gambar 2. Konsep Resiliensi terhadap Bencana (Mc. Farlane, 2015) 1. Melakukan mitigasi untuk mengurangi jumlah/besaran dari kerusakan. 2. Recovery control utuk mengurangi dampak dari kerusakan melalui langkahlangkah seperti memberikan alternatif persediaan, mempercepat respon atau melalui penyediaan dukungan pada masyarakat. 3. Perencanaan yang memperhitungkan bahwa beberapa bencanan dapat terjadi dalam satu waktu. Studi ini mengambil lokasi spesifik yaitu Kota Banda Aceh yang merupakan ibukota Provinsi Aceh. Pemilihan lokasi didasari oleh beberapa hal seperti: 1. Secara historis, Kota Banda Aceh memiliki tingkat kerusakan yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya saat terkena bencana tsunami tahun 2004. 2. Diperlukan peningkatan resiliensi Kota Banda Aceh dalam menghadapi bencana tsunami agar fungsi-fungsinya sebagai ibukota provinsi tidak terganggu. Penilaian resiliensi yang akan dilakukan pada studi ini difokuskan kepada prasarana, sarana dan utilitas untuk mendukung berjalannya kegiatan perkotaan di Kota Banda Aceh. Studi ini memiliki tujuan untuk melihat tingkat resiliensi dari Kota Banda Aceh dalam menghadapi bencana tsunami ditinjau dari prasarana, sarana dan utilitas yang masih berada dalam wilayah yang berisiko terkena bencana. Untuk menjawab tujuan tersebut langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Penentuan prasarana, sarana dan utilitas yang dijadikan objek studi. 2. Penilaian prasarana, sarana dan utilitas yang berada di zona berisiko terhadap bencana tsunami 69 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3. Bentuk upaya mitigasi untuk mengurangi risiko terhadap prasarana, sarana dan utilitas pada zona yang berisiko. 2. Metodologi Secara umum, Metologi yang digunakan ialah pendekatan kualitatif dan menghasilkan data deskriptif berdasarkan hasil yang didapatkan dari analisis tumpang tindih peta menggunakan Arc GIS dan juga analisis isi (content analisis) dan disajikan melalui analisis deskripsi kualitatif.Data yang digunakan serta dianalisis adalah beberapa peta eksisting mengenai prasarana, sarana dan utilitas Kota Banda Aceh dan juga dokumen-dokumen perencanaan Kota Banda Aceh yang kemudian akan dilakukan analisis mendalam (in-depth analysis) dan dijelaskan secara deskriptif. Dalam studi ini prasarana, sarana dan utilitas ditentukan berdasarkan jenis bangunan dan juga jaringan yang penting dalam mendukung berjalannya kegiatan perkotaan serta secara fungsi Kota Banda Aceh yang tertera pada Rencana Tata Ruang bahwa Kota Banda Aceh memiliki fungsi pelayanan pemerintahan, perkantoran, perdagangan dan jasa, pendidikan, kesehatan, dan kebudayaan. Berdasarkan deskripsi tersebut maka jenis prasarana, sarana dan utilitas yang dijadikan objek studi adalah: 1. Sarana Kesehatan 2. Sarana Pendidikan 3. Kantor Pemerintahan 4. Fasilitas Umum 5. Jaringan Jalan 6. Jaringan Drainase 7. Jaringan Air Bersih Untuk penilaian akan dibagi berdasarkan jenis-jenis dari prasarana, sarana dan utilitas. Selanjutnya, dilihat dari indikator-indikator seperti luas, jumlah pengguna, area pelayanan, dan juga lokasi (Puspita, 2010). Data mengenai jumlah dan persebaran prasarana, sarana dan utilitas serta tingkat risiko Kota Banda Aceh terhadap tsunami didapat dari http://bappeda.bandaacehkota.go.id/aplikasi/webgis/. Selain itu data yang digunakan juga berasar dari dokumen Rencana Tata Ruang Kota Banda Aceh 2009 2029. Penggunaan indikator yang berebeda untuk setiap jenis prasarana, sarana dan dan utilitas berfungsi untuk menghitung tingkat kerentanan prasarana, sarana dan utilitas terhadap risiko bencana tsunami. Indikator yang digunakan ditunjukan pada Tabel 1: Menggunakan peta risiko yang sudah tersedia, maka dilakukan analisis tumpang tindih peta antara peta risiko dengan persebaran prasarana, sarana dan utilitas berdasarkan jenis dan lokasinya masing-masing yang akan dibagi kedalam 3 (tiga) tingkat risiko yaitu Tinggi, Sedang, dan juga Rendah. 3. Hasil Analisis Analisa dilakukan dengan menggunakan metoda tumpang tindih peta dan didapatkan hasil seperti Tabel 2:
70 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1 Indikator Kerentanan Infrastruktur No 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis prasarana, sarana dan Utilitas Sarana Kesehatan Sarana Pendidikan Kantor/Instansi Fasilitas Umum Jaringan Jalan Jaringan Drainase Nodal Kawasan Perdagangan dan Jasa
Indikator Lokasi, Jenis Lokasi, Jenis Lokasi, Jenis Lokasi, Jenis Lokasi, Kelas Pelayanan Lokasi, Jenis Lokasi, Jenis Lokasi.
Sumber: Hasil Analisis, 2015
Tabel 2 Sarana Kesehatan pada Daerah Beresiko Bencana di Kota Banda Aceh SARANA KESEHATAN No 1 2 3 4 5 6
Sarana Kesehatan Rumah Sakit Puskesmas Puskesmas Pembantu Polindes Posyandu Klinik/Praktek bersama Total
Resiko Tsunami Tinggi Sedang Rendah 2 6 3 6 1 0 8 3 2 7 2 3 6 0 1 2 7 6 31 19 15
Total 11 7 13 12 7 15 65
Sumber: Hasil Analisis Tumpang Tindih Peta, 2015
Sarana kesehatan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi Rumah Sakit, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Polindes, Posyandu, dan Klinik/Praktek Bersama. Total jumlah sarana kesehatan yang berada dalam zona berisiko terkena Tsunami adalah sebanyak 65 buah dan 31 diantaranya berada di zona berisiko tinggi. Sarana pendidikan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi TK, SD, SMP, SMA, Universitas. Total jumlah sarana pendidikan yang berada dalam zona berisiko terkena Tsunami adalah sebanyak 156 buah dan 52 diantaranya berada di zona berisiko tinggi, seperti pada Tabel 4. Tabel 3 Sarana Perkantoran pada Daerah Beresiko Bencana di Kota Banda Aceh
No 1 2 3
SARANA PERKANTORAN/PEMERINTAHAN Resiko Tsunami Kantor Tinggi Sedang Rendah Dinas/Instansi 2 16 4 Kantor Kecamatan 2 1 3 Kantor Keucik/Desa 38 13 6 Total 42 30 13
Total 22 6 57 85
Sumber: Hasil Analisis Tumpang Tindih Peta, 2015
71 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 4 Sarana Pendidikan pada Daerah Beresiko Bencana di Kota Banda Aceh
No 1 2 3 4 5
SARANA PENDIDIKAN Resiko Tsunami Sarana Pendidikan Tinggi Sedang Rendah TK 8 23 6 SD 24 24 3 SMP 8 10 6 SMA 7 15 5 UNIVERSITAS 5 8 4 Total 52 80 24
Total 37 51 24 27 17 156
Sumber: Hasil Analisis Tumpang Tindih Peta, 2015
Tabel 5 Fasilitas Umum pada Daerah Beresiko Bencana di Kota Banda Aceh FASILITAS UMUM No
Fasilitas Umum
Tinggi 6 0 2 8
1 Pasar Tradisional 2 Supermarket 3 SPBU Total
Resiko Tsunami Sedang Rendah 3 0 4 0 4 2 11 2
Total 9 4 8 21
Sumber: Hasil Analisis Tumpang Tindih Peta, 2015
Sarana kantor pemerintahan berdasarkan jenisnya dibagi menjadi Dinas/Instansi, Kantor Kecamatan. Dan Kantor Keucik/Desa. Total jumlah sarana kesehatan yang berada dalam zona berisiko terkena Tsunami adalah sebanyak 85 buah dan 42 diantaranya berada di zona berisiko tinggi. Fasilitas Umum berdasarkan jenisnya dibagi menjadi Pasar Tradisional, Supermarket, dan SPBU. Total jumlah fasilitas umum yang berada dalam zona berisiko terkena Tsunami adalah sebanyak 21 buah dan 8 diantaranya berada di zona berisiko tinggi. Tabel 6 Panjang Jaringan Jalan pada Daerah Beresiko Bencana di Kota Banda Aceh No 1 2 3 4
Kelas Jalan Jalan Arteri Primer Jalan Arteri Sekunder Jalan Kolektor Sekunder Rencana Jalan Arteri Primer Jumlah
Tinggi 8.64 13.66 18.08 3.97 44.34
Risiko Tsunami Sedang Rendah 3.00 0.84 11.88 8.59 9.57 7.32 0.00 0.00 24.45 16.76
Total 12.48 34.13 34.97 3.97 85.55
Sumber: Hasil Analisis Tumpang Tindih Peta, 2015
72 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2 Sistem Jaringan Drainase (Web GIS Kota Banda Aceh) Sedangkan infrastruktur yang bersifat jaringan seperti jaringan yaitu jaringan jalan, jaringan drainase dan jaringan air bersih ditunjukkan pada Tabel 6. Jaringan jalan berdasarkan kelas jalan dibagi menjadi Jalan Arteri Primer, Jalan Arteri Sekunder, Jalan Kolektor Sekunder, dan Rencana Jalan Arteri Primer. Total panjang jalan yang berada dalam zona berisiko terkena Tsunami adalah sepanjang 85.55 KM dan 44,34 KM berada di zona berisiko tinggi. Gambar 2 menunjukkan sistem jaringan drainase di Kota Banda Aceh yang berada pada zona yang berisiko terkena gelombang tsunami. Jika terjadi tsunami, jaringan drainase yang ada akan terganggu fungsinya dalam mengalirkan air ke laut.
Gambar 3 Kawasan Peruntukan Pelabuhan dalam Pola Ruang (Web GIS Kota Banda Aceh) 73 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4 Kawasan Pusat Kota Lama (Pasar Aceh, Peunayong dan sekitarnya) (Web GIS Kota Banda Aceh)
Dalam Rencana Pola Ruang Kota Banda Aceh, ditetapkan kawasan pelabuhan dengan jenis pelabuhan umum untuk penumpang di Ulee Lheue yang melayani pelayaran penumpang regional, nasional, dan internasional. Selain itu ada pengembangan pelabuhan dan tempat pelelangan ikan (TPI) nelayan tradisional yang diarahkan pada kawasan Ulee Lheue, Lampulo dan Alue Naga. Seperti yang terlihat pada Gambar 3, Pelabuhan yang direncanakan berada dalam zona yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana tsunami. Dalam Dokumen Tata Ruang mengenai penetapan kawasan strategis, ditetapkan Pasar Aceh, Peunayong dan sekitarnya sebagai Kawasan Pusat Kota Lama dimana memiliki fungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa serta beberapa bangunan memiliki ciri tersendiri sehingga mempunyai nilai sejarah atau berfungsi sebagai kawasan heritage Kota Banda Aceh. Pada Gambar 4 Dapat terlihat bahwa mayoritas dari kawasan strategis pusat kota lama memiliki risiko tinggi dan sedang terhdap bencana Tsunami. 4. Analisis Berdasarkan penjabaran data diatas maka diketahui bahwa prasarana, sarana dan utilitas Kota Banda Aceh masih berisiko terkena bencana tsunami dan mengalami kerusakan. Banyak dari gedung yang berfungsi untuk mendukung keberjalan fungsi dari Kota Banda Aceh sebagai ibukota akan ikut terganggu akibat kerusakan yang ditimbulkan dari bencana tsunami. Untuk itu diperlukan penanganan dalam meminilaisir kerusakan akibat terjadinya bencana. Salah satu hal yang dirasa sudah dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi tingkat kerusakan adalah dengan mengatur pemanfaatan lahan.
74 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
a.
RencanaPola Ruang Tahun 2000-2010
b.
Rencana Pola Ruang Tahun 2009-2029
Gambar 5 Perbandingan Pola Ruang Kota Banda Aceh Tahun 2000 dengan 2009 Gambar 5 merupakan perbandingan antara pola ruang dari Kota Banda Aceh pada tahun 2000 - 2010 dan tahun 2009 - 2029. Perbandingan pada gambar tersebut menunjukan perubahan yang cukup signifikan dalam rencana pola pemanfaatan ruang di Kota Banda Aceh, terlihat pada kawasan pesisir, pada pola ruang tahun 2009 - 2029 hampir seluruh pesisir direncanakan untuk dijadikan kawasan hutan bakau. Hutan bakau atau mangrove merupakan ekosistem utaman dalam mendukung kehidupan di wilayah pesisir dimana memiliki fungsi ekologis sebagai penahan abrasi pantai dan juga gelombang tsunami. Penetapan kawasan bakau sebagai sabuk hijau (green belt) bagi area pesisir dapat meningkatkan kualitas fisik, ekonomi, sosial budaya, dan juga lingkungan bagi masyarakat di kawasan pesisir. Penanaman bakau di kota Penanaman bakau di hampir sepanjang pesisir Kota Banda Aceh sudah cukup baik dalam mengurangi tingkat kerentanan seluruh prasarana, sarana dan utilitas yang terpapar risiko bencana tsunami namun diperlukan perhatian khusus di beberapa kawasan seperti: 1. Kawasan Pariwisata dan Pelabuhan di pesisir utara Kota Banda Aceh dan juga rencana jaringan jalan arteri primer. Selain itu pada kawasan tersebut terdapat juga Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2. Kawasan Perikanan di pesisir utara Kota Banda Aceh dan juga fasilitas umum IPLT dan juga TPA 3. Kawasan Permukiman yang berada di belakang hutan bakau khususnya yang terbangun di samping sungai. Selain itu perlunya penegasan dalam dokumen Rencana Tata Ruang khususnya pada bagian tabel indikasi program mengenai pengembangan kawasan hutan bakau agar perwujudan pola ruang yang salah satu fungsinya sudah memasukan faktor penilaian bencana dapat terwujud.
75 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 6 Zona Berisiko terhadap Bencana Tsunami
5. Kesimpulan 1. Masih banyaknya prasarana, sarana dan utilitas di Kota Banda Aceh yang masih terancam oleh risiko tsunami. 2. Bentuk perwujudan dari upaya Pemerintah Kota Banda Aceh untuk meminimalisir kerusakan gelombang tsunami dapat terlihat pada perombakan tata ruang, salah satunya dalam bentuk rencana pemanfaatan ruang yang dapat dilihat pada Peta Rencana Pola Ruang Kota Banda Aceh. 3. Resilinensi terhadap bencana tsunami di Kota Banda Aceh dapat terbentuk dengan perwujudan kawasan hutan bakau yang memiliki fungsi proteksi terhadap gelombang tsunami sehingga prasarana sarana dan utilitas terlindungi dengan adanya guna lahan tersebut. 4. Masih terdapat beberapa lokasi yang butuh perhatian khusus yaitu kawasan pelabuhan (meuraxa), pariwisata (meuraxa), perikanan (kutaradja), dan juga bebapa lokasi perumahan (meuraxa dan syiahkuala) di pesisir Kota Banda Aceh. 5. Tabel Indikasi Program dalam Rencana Tata Ruang Kota Banda Aceh masih belum menjelaskan secara detail mengenai upaya dalam mengurangi risiko bencana tsunami khususnya dalam penjabaran mengenai pengembangan kawasan hutan bakau.
6. Saran 1. Perwujudan hutan bakau seperti yang tergambarkan pada peta pola ruang sebaiknya dipercepat dalam pelaksanaannaanya dan menjadi prioritas dalam penanganan risiko gelombag tsunami 2. Pada beberapa lokasi yang masih terpapar risiko gelombang tsunami sebaiknya diberikan perhatian khusus dalam pengembangannya, disebabkan beberapa tempat merupakan objek vital dalam mendukung fungsi Banda Aceh sebagai ibukota provinsi.
76 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Daftar Pustaka McFarlane, P., 2015, Infrastructure Resilience - What Does It Mean and How and How Can It Be Integrated Into Asset management, New Zaeland Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana Puspita N., Setiawan B., Sarino. 2010. Kajian Kerentanan Infrastruktur Kota Terhadap Dampak Perubahan Iklim (Studi Kasus Bangunan Sekolah SMPN/SMAN/SMKN Kota Palembang), Prosiding KNPTS. Bandung. ISBN 978-979-162255-5-4 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009 – 2029 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang http://bappeda.bandaacehkota.go.id/aplikasi/webgis/ http://bappeda.bandaacehkota.go.id/katalog/ http://www.dw.com/id/apa-yang-sebenarnya-terjadi-dalam-tsunami-2004/a-18141866
77 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Simulation of an Evacuation into an Escape Buildings during a Tsunami Event Radianta Triatmadja1 and Benazir2 1
Department of Civil and Environmental Engineering, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, email:
[email protected] 2 Ph.D student, Department of Civil and Environmental Engineering, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, email:
[email protected] Abstract An evacuation is very important to reduce the risk of tsunami disaster. The process of an evacuation requires the preparedness of the people and sufficient evacuation facilities including evacuation routes and escape buildings. Normally, people evacuate from different directions through evacuations routes to certain shelters such as escape buildings. However, the capacities of the entrance may be less than the routes capacity toward the buildings. Therefore, traffic jams may occur just outside of the buildings. In addition, people feel secure when they are already in the buildings and may stop at any location inside the building. This behavior may result in flocking of people near the entrance inside the buildings which subsequently hinders the flow of the evacuee and the rate of survivals. The effect of low access capacity of building entrance and the effect of flocking were simulated using numerical method based on multi agents system. A number of situations where the flow of the evacuee toward the escape building is larger than the flow of those entering the building were examined. People behaviors namely stopping near the entrance, stopping randomly inside the building and stopping near the walls away from the entrance were tested. The effects of the three situations were analyzed. The results provide an understanding of the importance of control and guidance at an escape building during a tsunami event. Based on the study, a number of facilities or procedures at an escape building or a shelter were proposed to enhance the effectiveness of the escape building. Keywords: evacuation, simulation, Multi Agents System, Escape building, tsuna
1. Introduction Evacuation of people against tsunami hazard is very important especially at the beach area where the tsunami travel time to the location is relatively short whilst the area is low and relatively flat where people need to go far away to high grounds or to escape buildings nearby. Evacuation drill is a method to make people aware of such hazards as well as to provide skills and capacity of the people to quickly respond to the hazard and save their lives through evacuation. Normally an evacuation drill requires a 78 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
lot of resources and funding. Hence an evacuation drill may not involve the majority of the people. With less number of people, the interaction among the people and between the people with the evacuation routes and escape buildings during evacuation process may not reproduce the real situation of chaos during evacuation. There are other aspects that lessen the accuracy of physical simulation such as evacuation drills to examine the preparedness of the people and the effectiveness of the evacuation facilities. Situations that may not be entirely reproduced by the evacuation drill for example are (a) time of occurrence of tsunami (may be during the night), (b) the number of people (more people during a real evacuation), (c) real chaos (possibility of chaos along the route as people may look for their family and friends), (d) possibility that a number of building or houses may be demolished by the earthquake prior to the arrival of tsunami that make the chaos even worst, (e) people may not follow the guidance as in the evacuation drill and (f) various possibilities of people preference of stopping inside the evacuation building. Such situations may be simulated using mathematical simulation since many different scenarios and observations may be carried out at low cost and risk free. The use of numerical simulation will enhance the results of the evacuation drill approach.
2. Theoretical Background Numerical simulations of evacuation of people during a disaster such as tsunami and fire have been conducted to predict the level of preparedness of the people as well as the effectiveness of the facilities that provide fast escape for the people from disasters. Hamacher and Tjandra (2001) and Gwynne et al. (1999) described a number of mathematical modeling based on Multi Agents System. Numerical simulations of an evacuation related to tsunami events in Indonesia based on Multi Agent System have been conducted for example by Noda et al. (2010), Goto et al. (2012), Imamura et al. (2012), Triatmadja (2014) and Triatmadja (2015). Raskin et al. (2009) wrote a preliminary white paper on tsunami escape building (TEB) by providing more comprehensive consideration such as related to the design of TEB, structural design, geotechnical and scour, early warning system, and simulation. The simulation accommodated the hydrodynamic, early warning system, and evacuation. However, no information whether the evacuation simulation was carried out in detail within the TEB. The time when the evacuees enter an escape building is one of a crucial moment that need to be studied. Normally the entrance of an escape building is not very wide. The ramps facility at a number of escape buildings in Banda Aceh for example are 1.25 m wide. Such width is only enough for two people walking side by side to go up to the floor intended for the shelter. If the average speed of the evacuees entering the escape building is 1 m/ s the rate of evacuees entering the building is 2 people/s. Supposed there are 1000 people to enter the escape building, the time require for all the people to enter the building is 500 seconds or nearly 9 minutes. However, at the start of the evacuation the rate of the evacuees entering the building is low as the evacuees are still on the way. At the end of the evacuation process the rate of the evacuee is also reduced since slower people may be left behind and arrive late at the escape building. Other reasons that may reduce the rate of survivals (the rate of evacuee entering the escape building)are as follows.
79 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
1. People flocking near the entrance in the building. After entering an escape building people may get tired and stop where ever they feel convenient. This can be near the door of the entrance. If the number of the people flocking near the entrance is significant, they may hinder the flow of the people entering the building and reduce the survival rate. 2. Slower runners in front of faster runners Slower runners that walk through the ramp may hinder the people behind them. Consequently they will also reduce the survival rate. 3. Accident. This situation may somehow interrupt the evacuation process and reduce the survival rate. At the entrance of the ramp and during the chaos people may compete to enter the ramp. Such situation may endanger the people as accidents may happen which subsequently worsen the situation and hinder the survival rate. In this study people’s behavior in the escape building such as flocking near the entrance, stay away from the entrance and stand near the boundary wall of the escape building, stand randomly inside the escape building were considered. The Multi Agents System is one of the most suitable approach to study the evacuation of the people during chaos of tsunami event. The system consist of model of people with properties that can interact among them and with the model of environment. The evacuees as agents have to run or to walk from their original positions to the shelters of their choices. This requires an algorithm for the evacuees to find for example the closest path to the shelter depending on the distance, road condition, and the crowd along which the evacuees have to go through. The algorithm that is used in this study to find the shortest distance, speed reduction due to surrounding evacuees and the selection of path to avoid collision between evacuees followed that of Triatmadja (2015). All other properties of evacuees such as running capacity, size of evacuee and dominance were also simulated following Triatmadja (2015). 3. Numerical Simulations So far simulations of evacuations were normally carried out to study the time required for all the evacuees to survive by assuming that at the shelter, especially the escape building the rate of the evacuees entering the escape building was at least the same as the rate of incoming evacuees. Triatmadja and Benazir (2015) showed that narrow entrance into the escape building may reduce the rate of survival. Since the escape buildings are normally located in the area of tsunami hazard, inability to enter the building due to traffic jam may increase the casualty. Other situations that hinder survival rate may be simulated based on the Multi Agent System. In this study three conditions were considered for the simulation. 1. An ideal or the best evacuation process. This is when people tried to run at their running capacity, although their real speed were determined by the surrounding such as obstacles and the speed of the evacuees in front of them. The final destinations of the people were arranged so that they will stop and stand closer to walls away from the entrance.
80 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
2. The evacuees were let to run at their running capacity and the evacuees’ final destinations were made random within the shelter. 3. In order to observe the effect of flocking, a number of evacuees’ final destinations in the shelter were designated near the entrance. In this study the number of the evacuees was 1000. The ages of the evacuees were distributed normally whilst their speed capacities followed those determined by Triatmadja (2015). The evacuees were placed along a hypothetical straight road leading to the shelter as depicted in Figure 1. The size of the shelter was 34 m by 34 m, the width of the entrance was 2.5 m and the width of the road approaching the shelter was 11 m. The initial positions of the evacuees were random with the front was 20 m in front of the entrance of the shelter whilst the last evacuee was placed 180 m away from the entrance. The size of the shelter or the floor of the escape building should be able to accommodate 4000 people when packed with almost no space between evacuees as the size of normal people (Indonesian) is 0.5 m by 0.5 m. However, in this simulation the number of evacuees was only 1000 to make it more realistic where the occupied space would only be 25% of the total. When the evacuees reached the shelter area, their final destinations were randomly determined. Each evacuee has its own destination within the shelter area. The flocking behavior was simulated by assuming that 50% of the evacuees prefer to stay not very far away from the entrance. The center area of the flock was 10 m from the entrance and 17 m from the side walls as indicated in Figure 1. The area of the flock was 20 m x 20 m. Other flocking behaviors may be simulated but in this study only one flocking possibility was simulated to show the effect of flocking. The simulation ofthe evacuees to stop near the walls was conducted by designating the final destinations of evacuees randomly but limited to a maximum of 7 m from and along the three walls away from the entrance. 4. Experimental Results and Discussion The results of the simulations indicated that the entrance of the shelter affect the rate of the evacuees entering the shelter (rate of survival) when the rate of the incoming evacuees at the shelter is more than the capacity of the entrance. This can be seen from the comparison between the rates of survival with the rate of the evacuees that passed an imaginary line 20 m in front of the entrance (unaffected by the entrance) as is indicated by Figure 2. 180 m Obstacle
34 m Narrow entrance (2.5 m) 34 m
11 m Shelter Area Obstacle
20 m
Obstacles; evacuee Center of flock Figure 1. Lay out of the simulation 81 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Figure 2. The effect of narrow entrance of a shelter on the flow of evacuees
Figure 2 indicates that the flow of evacuee that was unaffected by the entrancewas higher than that at the entrance which consequently prolong the evacuation process. The wider entrance (2.5 m) provides significantly higher survival rates when compare with the 1.5 m width of entrance. The constant rate of the 1.5 m entrance width starting from 50 seconds was due to the congestion in front of the entrance which resulted in an almost constant supply of evacuees. From Figure 1 it can be deduced that the 2.5 m and 1.5 m entrances have delayed the evacuation process by 51% and 130% respectively. An example of simulation where the rate of arrival at the shelter was higher than the entrance capacity was given by Triatmadja and Benazir (2015). They showed that the escape building at GampongPie, is capable of catering 500 evacuees as designed. However when more than 1000 people were evacuating into the shelter, a traffic jam in front of the shelter should be anticipated. This situation may happen in real evacuation condition when people arrive at the shelter almost at the same time. The flocking of the people near the entrance affects the survival rate significantly especially when the center of the flock was relatively close to the entrance. Indeed there can be various pattern of flocking and that more simulations should be carried out to find out the statistics of such effect. Other possibilities such as the random placement of evacuees within the shelter seems only slightly hinder the survival rate. This was due to the size of the simulated shelter which actually can accommodate more than twice of the total evacuees. Placing the final positions of the evacuees near the walls away from the entrance gave the quickest entrance process and should be an ideal situation. Figure 3 shows the final positions of the evacuees inside the shelter after 440 seconds.The random final positions of evacuees somehow hinder the flow of the evacuees into the shelter. The flock of the evacuees near the entrance clearly obstructs the flow through the entrance whilst the final positions away from the entrance clearly the best situation with regard to the flow of the evacuees. As indicated by Figure 4 that the flocking of evacuees near the entrance reduced the survival rate especially after most of the evacuees (700 out of 1000) have entered the shelter.
82 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
(a)
(b)
(c)
Figure 3. Final positions of the evacuees. (a) Fifty percent of the evacuees prefer to stop near the entrance, and (b) random, (c) away from the entrance.
Flocking start to hinder evacuation
Figure 4. Example of the effect of final destinations of the evacuees inside the shelter on the number of survivals. Number of evacuees 1000, size of shelter 34 x 34 m2.
The flocking of the evacuees near the entrance made the survival rate even worst if the size of the shelter was relatively smaller. When the evacuation was simulated using a smaller shelter area (24 by 24 m) the flocking behavior proved to be very damaging in term of survival rate as can be seen in Figure 5. In addition, the effect of the random final destinations on the survival rate was more significant for relatively smaller shelter area. As expected, the behavior of stopping near the wall away from the entrance was not affected by the smaller size of the shelter. As can be seen in both Figure 4 and Figure 5, all of the evacuees have survived after approximately 240 seconds.
83 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Figure 5. Example of the effect of final destinations of the evacuees inside the shelter on the number of survivals. Number of evacuees 1000, size of shelter 24 x 24 m2
5. Conclusion We have simulated the effect of shelter’s entrance on the rate of survival, the effect of evacuees’ final positions within the shelter, and the effect of flocking behavior near the entrance. Although the results of the simulation depend on a number of variables that were not taken into account or were assumed in the simulations such as the rate of incoming evacuees at the shelter, the simulations suggested that the size of the entrance and the final positions chosen by the evacuees clearly affect the survival rate.
6. Recommendations 1. The size of the shelter should be designed much larger than the size of the floor packed by the expected number of evacuees. 2. The entrance capacity should be made wide enough to reduce the possibility of traffic jams at the entrance 3. A sufficiently large area near the entrance should be freed from evacuees. This area should be marked with different alarming color such as red (no stop), yellow (may slow down) and green (recommended for stopping and rest). 4. Automatic guidance within the shelter should be provided. This guidance (loud speaker announcing that people should stay near the walls away from the entrance and not to occupy the red zone or the red floor) may be set on if a number of people stand near the entrance. 5. Education on evacuation related to entering and stopping in the shelter should be provided to the people.
84 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
References Goto, Y., Affan.M.,Agussabti. Y., Nurdin.,Diyah. K. Yuliana., and Ardiansyah. (2012). “Tsunami Evacuation Simulation for Disaster Education and City Planning.” Journal of Disaster Research 7(1), 92-101. Hamacher, H. W., and Tjandra, S. A. (2001). Mathematical Modeling of Evacuation Problems: a State Of The Art, Rep. No. 24 (2001), Fraunhofer-Institutfür Techno- und Wirtschaftsmathematik, Fraunhofer. Imamura, F., Muhari, A., Mas, E., Pradono, M. H., Post, J., Sugimoto, M. (2012). “Tsunami Disaster Mitigation by Integrating Comprehensive Countermeasures in Padang City, Indonesia.” Journal of Disaster Research., 7(1), 48-64. Noda, I., Soeda, S., Yamashita, T., Nurdin, Y., Yuliana, D.K. (2010). “Disaster Evacuation Simulation with Multi-Agent System Approach using NetMAS for Contingency Planning (Meulaboh case study).” Proc., 5th Ann. Int. Workshop & Expo on Sumatra Tsunami Disaster & Recovery., TDMRC, B. Aceh, Indonesia, 76-79. Raskin. J, Y. Wang, M. M. Boyer, T.F. J. Moncada, K. Yu, and H. Yeh (2009), Preliminary White Paper On Tsunami Evacuation Buildings (TEBs): A New Risk Management Approach to Cascadia Earthquakes and Tsunamis. Triatmadja. R., and Sidik. S (2014), Evaluation Of Tsunami Evacuation Routesat Bengkulu City Indonesia Using Numerical Simulations, ASEAN Engineering Journal Part C Vol. 3 No. 2 Triatmadja. R., (2015), Numerical Simulations of an Evacuation from A Tsunami At Parangtritis Beach In Indonesia, Science of Tsunami Hazard, Vol. 34, No. 1, page 50-66 (2015) Triatmadja. R and Benazir (2015), An Evaluation of Vertical Escape Buildings’ Performance at Banda Aceh during Tsunami Event, Paper Presented in Regional Conference on Natural Disaster, AUNSEED-NET, Manila.
85 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Jejak Rekam Spasial Proses Pemulihan Kawasan Pantai Setelah Tsunami 2004 di Kawasan Lhoong, Aceh Besar Spatial Track Record of Recovery Process in Coastal Area after the 2004 Indian Ocean Tsunami around Lhoong of Aceh Besar Musa Al’ala1,2, Syamsidik2,3, Mirza Fahmi1,2, and Teuku Mudi1,2 1
Mahasiswa Magister Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abd. Rauff, Banda Aceh, 23111. 2 Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah Kuala, Jl. Prof Ibrahim Hasan, Gampong Pie. Banda Aceh, 23233. 3 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abd. Rauff No.7, Banda Aceh , 23111.
[email protected] dan
[email protected]
Abstrak Pulau Sumatera, khususnya pada bagian utara masih menjadi daya tarik bagi banyak ilmuwan tsunami. Selain beberapa tsunami terdahulu telah terjadi di sekitar area ini, Tsunami 2004 memiliki andil dalam menghempaskan 230.000 nyawa dan menghancurkan hampir 700.00 bangunan. Proses pemulihan kawasan pantai masih menjadi tugas menarik bagi periset dan praktisi. Permintaan dari masyarakat dalam pemberdayaan kawasan pantai untuk tingkat ekonomi yang lebih baik dapat sebagian dapat disambut dengan pembangunan infrastruktur dan penguatan ketersediaan sumber daya alam untuk mendukungnya. Tulisan ini menekankan pada pembelajaran dari periode pemulihan setelah terkena dampak tsunami dalam pemulihan garis pantai dan kawasan pesisir di sekitar pantai Lhoong, Aceh Besar. pengembalian garis pantai dan hutan menuju kondisi semula mewakili proses alami. Selain itu pemulihan kawasan pantai juga dibahas untuk mengumpulkan kekuatan dari kapabilitas masyarakat terhadap bencana. Pengembangan perumahan dan bangunan, jalan dan kebun (sawah) juga ikut diperhatikan. Peta time series citra satelit dari 2003, 2005, 2011 dan 2014 digunakan dalam menganalisa dinamika dari proses pemulihan Kawasan Pantai Lhoong, Aceh Besar. Kata Kunci: Morfologi pantai, citra satelit, GIS, tsunami. Abstract The Sumatra Island, especially at northern part area, is still of interests of many tsunami scientist. A number of tsunamis had taken place around this area. The 2004 Indian Ocean tsunami had massive impacts. The tsunami caused around 230,000 people died and demolished over 700,000 buildings. Along the years after the disaster, a number of
86 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
coastal areas have been recovered from the massive destructions. The demands of coastal communities to develop coastal area for a better economy have driven a number of structures such as housing and ponds and other landuse types. This paper reports lessons from the coastal area recovery process at Lhoong of Aceh Besar, during 2005 until 2015. Coastal line and coastal vegetation restoration represent the natural process during the recovery. Lhoong was severely damaged due to the tsunami but later being recovered through a series of efforts and it was coupled with natural processes. Buildings, roads, and paddy fields development process were monitored. Time series maps from satellite images taken from 2003, 2005, 2011 and 2014 were used to monitor the dynamics of the coastal recovery process around Lhoong of Aceh Besar Keywords: coastal morphology, images, GIS, tsunami.
1. Pendahuluan Pulau Sumatera masih memberikan daya tarik kepada para peneliti tsunami alot (Dawson et al., 1996; Moore et al., 2007; Shi et al., 1995; Gelfenbaum dan Jaffe 2003; Richmond et al., 2012). Aceh sebagai bagian utara dari pulau Sumatera berada sangat dekat dengan Samudera Hindia sehingga terkena dampak yang signifikan pada tsunami 2004. Garis pantai sepanjang utara hingga ke barat mengalami kemunduran yang signifikan dan menghempaskan 200.000 nyawa lebih serta menghancurkan 700.000 bangunan. Tsunami juga tidak memberikan waktu yang banyak untuk menyelamatkan diri, sehingga masyarakat perlu peningkatan kapabilitas dalam menghadapi tsunami (Syamsidik et al., 2015). Selain itu tsunami juga mengakibatkan daerah daratan yang menjorok ke laut menyerupai lidah pasir terpisah dari dari pulau utamanya, Pulau Sumatera (Al’ala et al., 2015). Selama kurun waktu lebih dari 11 tahun setelah tsunami, proses pemulihan garis pantai di Aceh dijalankan dengan berbagai metode rekonstruksi. Beberapa di antaranya dipulihkan dengan hard structures seperti revetment dan dinding laut. Namun, di beberapa lokasi justru proses pemulihan garis pantai berlangsung melalui proses alami (Syamsidik et al., 2014). Dampak tsunami 2004 memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat, di mana mereka kehilangan sanak saudara dan harta benda. Selain itu fasilitas umum juga rusak dan aktivitas perekonomian menjadi kritis pada area terpapar dampak tsunami. Pasca tsunami 2004, Proses pemulihan kawasan pantai terus dilakukan oleh pemerintah dengan bantuan negara-negara donor guna memfasilitasi kehidupan masyarakat yang lebih baik. Proses ini masih menjadi tugas menarik bagi periset dan praktisi. Permintaan dari masyarakat dalam pemberdayaan kawasan pantai untuk tingkat ekonomi yang lebih baik dapat sebagian dapat disambut dengan pembangunan infrastruktur dan penguatan ketersediaan sumber daya alam untuk mendukungnya. Tulisan ini menekankan pada pembelajaran dari periode pemulihan setelah terkena dampak tsunami dalam pemulihan garis pantai dan kawasan pesisir di sekitar pantai Lhoong, Aceh Besar. pengembalian garis pantai dan hutan menuju kondisi semula mewakili proses alami. Selain itu pemulihan kawasan pantai juga dibahas untuk mengumpulkan kekuatan dari kapabilitas masyarakat terhadap bencana. Pengembangan perumahan dan bangunan, jalan dan kebun (sawah) juga ikut diperhatikan.
87 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
2. Metodologi Monitoring proses pemulihan memerlukan tools untuk menganalisa perubahan morfologi dan pengembangan kawasan pantai. Pada penelitian ini tools yang digunakan adalah software Quantum GIS. Analisa dimulai dengan pengumpulan Citra satelit yang memiliki resolusi cukup untuk didigitasi. Citra satelit diperoleh dari Google earth dengan Citra 2003, 2005, 2010 dan 2014. Dimulai dengan georeference dan dilanjutkan dengan proses digitasi spasial. Hasil digitasi akan ditampilkan dalam grafik yang mendeskripsikan proses perubahan morfologi dan tata guna lahan pada kawasan pantai Lhoong, Aceh Besar. 2.1 Lokasi Penelitian Lhoong merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh Besar yang berbatasan dengan Banda Aceh pada sebelah timur dan Aceh Jaya pada sebalah barat. Area ini dapat ditempuh dengan jarak 55 km dari pusat kota Banda Aceh. Kawasan Lhoong memiliki garis pantai yang relatif panjang dan menghadap ke Samudera Hindia. Garis pantai di Kecamatan Lhoong khususnya Desa Kareung terpapar dampak buruk dari tsunami 2004 dikarenakan karakter topografinya yang landai dan sebagian besar dimanfaatkan sebagai sawah sehingga tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap tahanan aliran. Bagian utara dan selatan dari Desa Kareung terdapat bukit yang dapat menghalau dan memusatkan amplifikasi aliran ke arah Lhoong.
Gambar 1. Lokasi Penelitian, Desa Kareung Kecamatan Lhoong Aceh Besar. 88 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
N
Gambar 2. Peta time series Desa Kareung Kecamatan Lhoong Aceh Besar. 2.2 Data Citra Satelit Data Citra satelit yang digunakan pada analisa spasial penelitian ini diambil dari data Google earth dengan track record 2003, 2005, 2010 dan 2014. Masing-masing mewakili kondisi sebelum tsunami, sesaat setelah tsunami, saat proses pemulihan mulai berjalan dan 10 tahun setelah tsunami menghempas Lhoong. Deskripsi perubahan morfologi pantai terekam pada Citra satelit dengan 5 klasifikasi jenis tinjauan yang akan dianalisa. Adapun kelima jenis yang ditinjau adalah bangunan, jalan, sawah, tambak dan hutan (Gambar 2). Pengembalian garis pantai dan hutan menuju kondisi semula mewakili proses alami. Pengembangan perumahan dan bangunan, jalan dan kebun (sawah) juga ikut diperhatikan untuk merepresentasikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang berlangsung.
89 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3. Hasil dan Diskusi 3.1 Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai terjadi secara signifikan pasca Tsunami 2004. Sebagai kalkulasi berdasarkan peta satelit 2003, garis pantai Desa Kareung telah mundur sejauh 112 m di daerah garis pantai dan 160 m di area sekitar muara. Hal ini menunjukkan besarnya energi yang terlibat pada tsunami 2004 sehingga menyebabkan garis pantai mundur sejauh itu. Uniknya, pasca tsunami terjadi pantai Kareung kembali pulih perlahan dengan suplai sedimen yang cukup meskipun sampai saat ini belum mencapai kondisi semula. Pada 2010, lima tahun setelah pengambilan Citra satelit 2005 garis pantai perlahan-lahan pulih dan kembali maju sejauh 28 m. Hal ini cukup melegakan melihat suplai sedimen tetap tersedia dan pantai perlahan pulih. Tanpa mengabaikan fakta pemulihan pantai hingga 2010, akan tetapi pergerakan pemulihan pantai dari 2010 kepada 2014 melambat dari sebelumnya. Kejadian ini diasumsikan sebagai kondisi ekuilibrium yang dicapai oleh pantai. 3.2 Perubahan Tata Guna Lahan Simulasi yang dilakukan selama 1 jam ini cukup mewakili seluruh proses tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004, termasuk transpor sedimen. Penurunan elevasi (erosi) akibat gelombang tsunami terjadi hampir di seluruh area pantai. Area pantai bagian timur mengalami penurunan elevasi dan kerusakan yang sangat parah.
Gambar 3. Peta perubahan garis pantai secara time series pada Desa Kareung Kecamatan Lhoong. 90 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4. Peta spasial perubahan tata guna lahan pada Desa Kareung, Kecamatan Lhoong. Dataran rendah di bagian timur pantai menyebabkan gelombang tsunami menjalar lebih jauh. Pantai bagian barat penurunan elevasinya tidak begitu tinggi dibandingkan pantai bagian timur karena pantainya berbatasan dengan dataran tinggi. Kondisi yang porak-poranda pada 2005 pada Desa Kareung perlahan dipulihkan pada proses rehabilitasi, rekonstruksi dan proses lainnya hingga 2014 (Gambar 4). Pada 2003 kondisi Desa Kareung memiliki banyak vegetasi dengan bangunan yang relatif ramai. Setelah tsunami 2004, dari peta yang terekam pada 2005 memberikan informasi bahwa hanya ada satu bangunan masjid yang selamat dari amukan tsunami, dan beberapa tambak masih berbentuk. Proses pemulihan terus dilanjutkan dan terekam pada Citra satelit 2010 yang mana daerah sawah kembali difungsikan kecuali pada daerah yang berdekatan dengan pantai. Selain itu perumahan juga kembali dibangun dan bertambah sebarannya ke arah utara dan agak menjauh dari bibir pantai. Hingga 2014, bangunan terus bertambah dan pohon-pohon kembali tumbuh. Tambak-tambak juga ikut difungsikan kembali sejak terekam pada tahun 2010 dan bertambah pemberdayaannya pada 2014.
91 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 5. Grafik perubahan tata guna lahan Desa Kareung, Lhoong. Berdasarkan grafik, proses pemulihan yang terus berjalan menunjukkan perubahan tata guna lahan terjadi setelah bencana tsunami berfokus kepada proses rekonstruksi serta rehabilitasi populasi luas area bangunan dan sektor jalan yang terus meningkat. Pada tahun 2003 jumlah areal sawah dan hutan (vegetasi) masih relatif besar dengan luas 376.960 m2 untuk sawah dan 145.933 m2 untuk hutan (vegetasi). Setelah tsunami lahan sawah kembali difungsikan meskipun hanya efektif 80,22% pada 2010 dan menurun menjadi 79.99% pada 2014. Hasil seperti di Lhoong ini juga ditemukan pada lahan tambak yang ada di sekitar Banda Aceh sebagaimana yang dilaporkan oleh Griffith et al. (2013). Sampai dengan tahun 2013, 92% tambak yang terdapat di kawasan Banda Aceh belum dapat dipulihkan kondisinya seperti keadaan sebelum peristiwa tsunami tahun 2004. 4. Kesimpulan dan Saran Monitoring proses pemulihan kawasan pesisir di sekitar pantai Lhoong ini lebih menekankan pembelajaran dari periode pemulihan setelah terkena dampak tsunami 2004. Dalam memonitor proses pemulihan kawasan pesisir menggunakan analisa spasial menghasilkan deskripsi yang cukup menarik yang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Setelah tsunami garis pantai Desa Kareung mundur sejauh 112 m, akan tetapi perlahan-lahan pulih. Akan tetapi setelah 2010 proses pemulihan garis pantai berjalan lebih lambat yang diasumsikan sebagai kondisi ekuilibrium dari pantai tersebut. 2. Perubahan yang terjadi pasca proses pemulihan menunjukkan fokus yang baik pada bangunan dan fasilitas jalan bagi masyarakat yang meningkat 86% yang mengikuti peningkatan bangunan yang mencapai 116%. 92 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3. Peran pemerintah sangat berpengaruh dalam memfasilitasi proses pemulihan kawasan pesisir Lhoong untuk menunjang aktivitas ekonomi masyarakat. Akan tetapi di lain hal, masyarakat cenderung kembali kepada areal semula yang memberikan alasan kuat bagi pemerintah untuk memberikan peningkatan kapasitas mitigasi bencana kepada masyarakat. 5. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih yang hangat ingin penulis ucapkan kepada USAID (Partnership for Enhanced Engagement in Research/PEER Cycle 3) sponsor Grant Award Number: AID-OAAA-A-11-00012 dan Sub Grant Number PGA-2000004893 atas dukungan finansial yang telah diberikan. TDMRC Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami TDMRC juga telah ikut sepenuhnya memfasilitasi penulis dalam melaksanakan penelitian ini. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada masyarakat Kecamatan Lhoong dalam perjalanan penelitian demi berhasilnya penelitian ini. Daftar Pustaka Al’ala, M., Syamsidik., Rasyif,T.M., dan Fahmi, M., 2015. Numerical Simulation of Ujong Seudeun Land Separation Caused by 2004 Indian Ocean Tsunami, Aceh-Indonesia. Journal of Tsunami Society, Vol 34 No.3 : 159-172. Griffin, C., Ellis, D., Beavis, S., dan Zoleta-Nantes, D., 2013. Coastal resources, livelihood and the 2004 Indian Ocean tsunami in Aceh, Indonesia. Ocean and Coastal Management, 71:176-186 Jaffe BE, Gelfenbuam G., 2007. A simple model for calculating tsunami flow speed from tsunami deposits. Sediment Geol 200(3–4):347–361 Moore A, Nishimura Y, Gelfenbaum G, Kamataki T, Triyono R., 2006. Sedimentary deposits of the 26 December 2004 tsunami on the northwest coast of Aceh, Indonesia. Earth Planets Space 58(2):253–258 Richmond B, Szczucin´ski W, Chague´-Goff C, Goto K, Sugawara D, Witter R, Tappin DR, Jaffe B, Fujino S, Nishimura Y, Goff J., 2012. Erosion, deposition and landscape change on the Sendai coastal plain, Japan, resulting from the March 11, 2011 Tohoku-oki tsunami. Sediment Geol 282:27–39. Shi S, Dawson AG, Smith DE, 1995. Coastal sedimentation associated with the December 12th, 1992 tsunami in Flores, Indonesia. Pure Appl Geophys 144(3–4):525–536 Syamsidik, Rasyif, TM, dan Kato, S., 2015. Development of Accurate Tsunami Estimated Times of Arrival for tsunami-prone cities in Aceh, Indonesia. Int. Journal of Disaster Risk Reduction, 14(4):403-410. Syamsidik, Iskandar A., dan Rasyif, TM., 2014. Progress of Coastal Line Rehabilitation After the Indian Ocean Tsunami around Banda Aceh Coasts. Recovery from the Indian Ocean Tsunami. Part of the series Disaster Risk Reduction (Editor Shaw), pp175-189. Springer, Japan.
93 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tsunami simulation at seismic gap region along Aceh faults (Great Sumatra Fault) by using COMCOT model Ilham Fajri1,2, Haekal A. Haridhi1,2,4,*, Syamsul Rizal1,3 1
Marine Science Department, Marine and Fisheries Faculty, Syiah Kuala University, Banda Aceh 2 Oceanographic Laboratory, Marine and Fisheries Faculty, Syiah Kuala University, Banda Aceh 3 Ocean Modeling Laboratory, Marine and Fisheries Faculty, Syiah Kuala University, Banda Aceh 4 Laboratory of Tsunami Computation and Visualisation, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, Syiah Kuala University, Banda Aceh Abstrak The Great Sumatra Fault (GSF) dikenal sebagai patahan strike-slip yang aktif di sepanjang Pulau Sumatera Indonesia. Kegiatan patahan ini secara intensif dipelajari diatas daratan hingga ke lepas pantai. Pada perpanjangan utara di Provinsi Aceh, GSF yang bercabang menjadi dua ekstensi, yaitu sesar Aceh dan Seulimeum. Dalam studi ini, kami hanya fokus pada sesar Aceh yang aktif. Sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 2015, hanya ada dua gempa bumi yang terjadi di sepanjang segmen patahan ini, yang menunjukkan bahwa patahan ini sangat jarang dan sebagai daerah celah seismik. Untuk mengurangi bencana yang mungkin terjadi, kita mensimulasikan bencana tsunami dengan menggunakan pemodelan tsunami COMCOT. Tiga skenario, yaitu Mw 7, 8, 9 dengan dua lokasi yang diperkirakan, yaitu pada barat daya Pulau Nasi dan timur laut Pulau Breueh dibuat untuk tujuan mitigasi. Hasil Simulasi seluruh skenario menunjukkan, gempa yang berlokasi di timur laut Pulau Breueh memberikan gelombang tsunami yang jauh lebih tinggi daripada di Pulau Nasi. Daerah yang paling terpengaruh terletak di sepanjang Kepulauan Aceh, pantai utara dan barat provinsi Aceh. Kata kunci : The Great Sumatra Fault (GSF), strike-slip, Sesar Sumatra, Sesar Aceh, COMCOT Abstract The Great Sumatra Fault (GSF) is known as a strike-slip fault that active along the Sumatra Island Indonesia. The activities of this fault are intensively studied along its onshore margin, meanwhile at its offshore is sparse. At its northern extension in Aceh Province, the GSF are branched into two extensions, i.e. Aceh and Seulimeum faults. In this study, we focused only on Aceh faults actives. Since 1976 until 2015, there are only two earthquakes that occurred along this fault segment, which indicate that this fault is in highly coupled and as a seismic gap region. To mitigate the disaster that might occur, we simulate the tsunami disaster by using COMCOT tsunami modeling. Three scenarios, i.e. Mw 7, 8, 9 with two predicted locations, i.e. SW off Nasi Island and NE off Breueh Island were made for the mitigation purposes. The Simulation results throughout all scenarios shows, the earthquake which located at NE off Brueh Island gives a much higher tsunami 94 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
wave rather than at Nasi Island. The most affected areas are located along the Aceh Islands, northern and western coast of Aceh province. Keyword : The Great Sumatra Fault (GSF), strike-slip, Sumatra fault, Aceh fault, COMCOT
1. Pendahuluan Pulau Sumatera ini terletak di daerah benua tektonik aktif (Barber et al, 2005). Subduksi miring dari lempeng samudera Australia di bawah lempeng Eurasia di daerah ini, membuat lempeng benua Eurasia kompensasi untuk komponen strike-slip sepanjang pulau (McCaffrey, 1992). Fitur ini dikenal sebagai The great Sumatra Fault (GSF), yang terletak di sepanjang Pulau Sumatera sepanjang 1.900 km, yang mengkategorikan ke dalam tipe strike-slip komponen yang tepat lateral (Yeats et al, 1997);. (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Di wilayah Aceh (di ujung utara Sumatera, lihat Gambar. 1), GSF yang bercabang menjadi dua ekstensi, yaitu sesar Aceh dan Seulimeum . Kelanjutan terusmenerus dari GSF jelas diidentifikasi pada provinsi Aceh dan segmen terakhir sebelum membelah dikenal sebagai segmen Batee (Sieh dan Natawidjaja, 2000). (Ghosal dkk. 2012) menunjukkan bahwa sesar Aceh dan Seulimum terus menjalar sejajar dengan lepas pantai utara Aceh. Sesar Seulimeum menunjukkan kelanjutan ke wilayah rantai vulkanik di Laut Andaman, sementara sesar Aceh menembus ke Brueh basin (Barat laut Pulau Breuh Pulau). Mega gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 menghasilkan sejumlah 1.600 km slip sepanjang zona subduksi Sumatera-Andaman (Clieh et al, 2007). Dengan sejumlah besar slip sepanjang zona subduksi, (Sibuet et al, 2007) menunjukkan bahwa sistem geser jenis pecah potensial di sepanjang wilayah ini adalah West Andaman Fault (WAF) dan GSF, yang mungkin menimbulkan destruktif kerusakan gempa di masa depan. Berikut indikasi ini, tidak ada rekaman gempa terjadi di sepanjang patahan Aceh, sementara setidaknya satu gempa tercatat di salah Seulimeum dengan Mw = 6,5 pada tahun 1964 [4]. Melalui fakta ini, sesar Aceh ditampilkan sebagai daerah celah seismik, yang bisa dengan mudah mungkin untuk terjadi kesenjangan terjadinya gempa (Newcomb dan McCann, 1987). Untuk mengurangi bencana yang mungkin terjadi, tulisan ini mengkaji model tsunami jika gempa terjadi di sepanjang sesar Aceh. The Cornel multi-grid Copled Tsunami Model (COMCOT) model tsunami (Liu et al. 1998) sedang memanfaatkan untuk menghasilkan model tsunami.
95 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
B A
Keterangan : : Sesar Aceh : Sesar Seulimum : Plot Batimetri
Gambar 1. Studi Area Penelitian 2. Studi Area Daerah penelitian (Gambar. 1) terletak di sepanjang perpanjangan GSF di provinsi Aceh di ujung utara Sumatera, dengan cabang ke selatan yang yang dikenal sebagai sesar Aceh. Seiring patahan ini, kami fokus pada ekstensi yang dekat ke wilayah pantai, di lepas pantai timur Kepulauan Aceh yang ditampilkan oleh A dan B pada Gambar 1.
(A)
(B)
Gambar 2. Tampilan 3D kedalaman lokasi A dan B (Gambar. 1),
96 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2 menunjukkan kedalaman yang ditunjukkan dengan skala bar di sisi kanan masing-masing. Data 3D diambil dari Etopo2 (http://www.ngdc.noaa.gov), A dan B menunjukkan lokasi pusat gempa dimodelkan (lihat bagian 3 dalam teks). Lereng cura di sekitar ~8 km jarak tegak lurus terhadap garis pantai, menunjukkan kedalaman air sekitar 500 m lebih besar dari kedalaman (dengan 2 – 3 km jarak yang memisahkan kedalaman 50 dan 500 m) (Gambar 2.). Sesar Aceh parallel emngikuti lereng benua di timur lepas pantai Pulau Aceh, dan selanjutnya barat lau sesar Aceh berjalan melalui pusat Basin Breuh yang diungkapkan oleh punggung bukit yang naik (Ghosal dkk. 2012).
2.1 Kegempaan sepanjang GSF dan kesalahan Aceh Wilayah Sumatera telah mengalami beberapa gempa bumi dahsyat. Peristiwa gempa dengan Mw> 8 dan 7,2-7,9 terkonsentrasi antara 2 ° – 7,5 °Lintang Utara sepanjang wilayah barat Sumatera (Briggs et al, 2006); (Hsu et al 2006); (Clieh et al, 2007). Seiring GSF, ada beberapa gempa bumi yang tercatat selama 1822 - 1994. Besarnya terbesar sepanjang GSF terletak di ssar Angkola, Sumatera Utara (Mw = 7,7) pada tahun 1892, sedangkan yang terkecil terletak di sesar Seulimuem (Mw = 6,5) pada tahun 1964. Gempa bumi terdalam yang terjadi sepanjang GSF juga diamati pada sesar Angkola dengan kedalaman sekitar 135 – 155 km, sedangkan gempa dangkal diamati pada kesalahan Semangko di selatan Pulau Sumatera dengan kedalaman 50 – 100 km (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Katalog global CMT menunjukkan bahwa setidaknya dari 1985 – 2013, ada 9 gempa bumi terjadi di daerah penelitian. Tabel 1 menunjukkan informasi rinci tentang gempa bumi. Tabel 1. Katalog global CMT dalam wilayah studi (5°– 6°N dan 95°– 96°E)
No. Tahun
Lon (°)
Lat (°) Mw
Kedalaman (km)
1.
1985
95.45
5.86
5.3
10.0
2.
1989
95.8
5.13
5.6
100.8
3.
1996
95.38
5.85
5.1
33.0
4.
1999
95.98
5.02
5.5
15.0
5.
2003
95.9
5.36
5.9
125.3
6.
2005
95.8
5.33
4.8
28.5
7.
2005
95.71
5.33
5.7
23.3
8.
2007
95.95
5.63
5.4
25.7
9.
2013
95.94
5.04
5.5
17.4
Sumber : http://www.globalcmt.org 97 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Hasil pemeriksaan tabel 1, gempa berkekuatan terkecil sepanjang sesar ini adalah 4.8, sedangkan terbesar adalah 5.9 dan dengan rata-rata 5,4 Mw. Wilayah kesenjangan seismik telah diidentifikasi di dua lokasi, yaitu lokasi satu adalah antara5.455°– 5.667°N dan 95.347°– 95.196°E, lokasi kedua pada 5.670°– 5.817°N dan 95.051°– 95.196°E.
2.2 COMCOT Gelombang tsunami bisa dimodelkan dengan menggunakan persamaan air dangkal, karena tinggi relatif kecil dibandingkan dengan kedalaman air. Persamaan adalah sebagai berikut:
Dimana, = elevasi muka air, P = h.u = flux volume (x direction), Q = h.v = flux volume (arah y), G = percepatan gravitasi, u,v = kecepatan laju air, h = kedalaman air dan H = h+ = total kedalaman air. The COMCOT (Liu et al. 1998), dieksekusi persamaan ini secara numerik dengan liner dan metode leap frog non linear.
3. Pengaturan Model Global Centroid Momen Tensor (CMT) (http://www.globalcmt.org) dan United States Geological Survey (USGS) (http://earthquake.usgs.gov/earthquakes) katalog dengan rentang waktu mulai dari tahun 1976 - 2015 dimanfaatkan untuk memeriksa lokasi pusat gempa serta kesenjangan seismik dan jumlah slip. Dengan mmegamati katalog ini kita bisa memiliki pemahaman yang lebih baik dari perilaku kegempaan sepanjang sesar Aceh. 3.1 Penentuan Slip Katalog global CMT menyediakan dua varian data mengenai strike, dip dan slip. Salah satu dari varian dapat digunakan sehubungan dengan sudut gerak patahan.
98 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2. Strike, dip dan slip tingkatan sesuai dengan besaran gempa. No.
Mw
Strike 1
Dip 1
Slip 1
Strike 2
Dip 2
Slip 2
(°)
(°)
(°)
(°)
(°)
(°)
1.
5.3
145
61
176
237
86
29
2.
5.6
169
54
28
62
68
141
3.
5.1
61
40
1
330
89
130
4.
5.5
34
67
0
304
90
157
5.
5.9
274
40
175
8
87
50
6.
4.8
3
40
-68
156
54
-107
7.
5.7
135
74
-174
44
84
-16
8.
5.4
129
47
167
227
81
43
9.
5.5
131
71
-165
36
76
-19
10.
5.2
228
33
-31
345
74
-119
Sumber : http://earthquake.usgs.gov/earthquakes)
Baris persegi putus-putus (nomor 3.) menunjukkan jumlah slip yang digunakan dalam model tsunami COMCOT, data mencerminkan historis dari katalog. 3.2 Lokasi pusat gempa yang dimodelkan Gambar. 3 ditunjukkan lokasi pusat gempa dimodelkan untuk melihat model tsunami. Penentuan lokasi ini didasarkan pada katalog gempa yang ditunjukkan pada titik biru. Hal ini jelas menunjukkan bahwa A dan B (lokasi pusat gempa yang dimodelkan) tidak ada catatan gempa, yang menunjukkan sebagai daerah celah seismik. 3.3 Numerik input data Teori patahan dari (Smylie, 1971) dan (Okada, 1985) yang digunakan untuk perhitungan numerik lebar (W), panjang (L) patahan dan dislokasi (D). Kemudian, kita buat tiga skenario besarnya gempa, yaitu 7, 8 dan 9 Mw. Hasil setiap perhitungan numerik parameter ditunjukkan pada tabel 3. Perhitungan numerik parameter ditampilkan di logaritmik, dimana kenaikan 1 besarannya bisa mengakibatkan hampir 10 kali lebih besar dari yang sebelumnya.
99 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
B A
Gambar 3. Epicenter dimodelkan
4. Hasil dan Diskusi Model tsunami yang dihasilkan oleh COMCOT menghasilkan simulasi dengan literasi 60 menit dibagi menjadi per 2 menit. Tiga skenario yang digunakan dalam simulasi (yaitu 7, 8 dan 9 Mw) akan dikategorikan sebagai rendah, sedang dan tinggi masing-masing. Ketiga skenario mensimulasikan untuk pusat gempa di lokasi A dan B (Lihat Gambar. 3).
Tabel 3. Perhitungan numerik dari W, L dan D untuk tiga skenario. Parameter
Magnitude 7 Location A
Location B
Magnitude 8 Location A
Location B
Magnitude 9 Location A
Location B
Length (m)
58884.36554
245470.8916
1023292.992
Width (m)
12882.49552
24547.08916
46773.51413
1.50
5.97
23.76
Dislocation (m)
100 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
(a)
(b)
(c)
Gambar 4. Hasil simulasi perambatan gelombang tsunami dengan sumber gempa terletak di lokasi A. 1.1 Simulasi untuk lokasi A Tiga skenario yang menunjukkan rendah (a), menengah (b) dan tinggi (c). Dalam (a) tinggi gelombang minimum yang diamati, yang sama tinggi 0,1 m, sedangkan tinggi gelombang maksimum ditunjukkan oleh (c) dengan 10 m. Daerah yang hancur oleh tsunami yang dihasilkan sepanjang pantai utara dan barat Aceh. 4.2 Simulasi untuk lokasi B Sebuah hasil simulasi yang berbeda yang diamati di lokasi B, yang merupakan gelombang minimum tinggi yang sedang diamati, adalah sebagai tinggi sebagai 0,15 m seperti yang ditunjukkan dalam (a), sedangkan tinggi gelombang maksimum ditunjukkan oleh (c) dengan 12 m . Daerah yang hancur oleh tsunami yang dihasilkan sepanjang pantai utara dan barat Aceh, namun daerah hancur yang tidak seperti di lokasi A.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5. Sama seperti gambar. 4 tapi untuk lokasi B.
101 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
5. Kesimpulan Simulasi tsunami dengan menggunakan model tsunami COMCOT berhasil diterapkan di daerah sesar Aceh. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kemungkinan patahan ini untuk menghasilkan tsunami lebih tinggi dengan meningkat besarnya magnitude. Namun, sejarah katalog terbaru menunjukkan bahwa gempa terbesar sepanjang sesar Aceh bisa menjadi sebesar 7 Mw, namun dengan melihat slip besar dari gempa mega dan tsunami pada 26 Desember 2004 memberikan kesempatan bahwa gempa besar yang merusak bisa terjadi di sepanjang sesar ini seperti yang ditunjukkan oleh [7]. Hasil simulasi tsunami menunjukkan bahwa daerah yang paling terkena dampak terletak di sepanjang Pulau Aceh, pantai utara dan barat Aceh. Ini bisa menjadi kembali Feedack untuk kepentingan bersama dalam rangka untuk mengurangi dan mengatasi bencana yang mungkin terjadi di masa depan. Daftar Pustaka Barber, A. J., and M. J. Crow (2005), Structure and structural history, in Sumatra Geology, Resources and Tectonic Evolution, edited by A. J. Barber, M. J. Crow, and J. S. Milsom, Mem. Geol. Soc., 31, 175–233. McCaffrey, R. 1992. Oblique plate convergence, slip vectors, and forearc deformation, 1.Geophys. Res., 97,8905-8915. Yeats, R., K. Sieh., C. Allen. 1997.The Geology of Earthquakes, 568 pp., Oxford Univ. Press, New York. Sieh, K., Natawidjaja, D. 2000. Neotectonic of the Sumatran fault Indonesia, J. Geophys. Res., 105, 28,295–28,326,doi:10.1029/2000JB900120. Ghosal, D., Singh, S. C., Chauhan, A. P. S., Hananto, N. D., 2012, New insights on the offshore extension of the Great Sumatran fault, NW Sumatra, from marine geophysical studies, Laboratoire de Géosciences Marines, Institut de Physique du Globe de Paris, 1 rue Jussieu, CEDEX 05, FR-75238 Paris, France. Chlieh, M., et al. 2007. Coseismic slip and aftershock of the great M-w 9.15 Sumatra Andaman earthquake of 2004, Bull.Seismol. Soc. Am., 97, S152–S173, doi:10.1785/0120050631. Sibuet, J.C., Rangin, C., Pichon, X. L., Singh, S., Cattaneo, A., Graindorge, D., Klingelhoefer, F., Lin, J. Y., Malod, J., Maury, T., Schneider, J. L., Sultan, N., Umber, M., Yamaguchi, H., and the “Sumatra aftershocks” team. 2007. 26th December 2004 great Sumatra–Andaman earthquake: Co-seismic and post-seismic motions in northern Sumatra. Ifremer Centre de Brest, B.P. 70, 29280 Plouzanécedex, France. Newcomb, K. R., W. R. McCann. 1987. Seismic history and seismotectonics of theSunda arc, J. Geophys. Res., 92, 421–439, doi:10.1029/JB092iB01p00421. Liu P. L.-F., S-B. Woo., Y-S Cho. 1998. Computer programs for tsunami propagation and inundation. Technical report, Cornell University. Briggs, R. W., et al. 2006. Deformation and slip along the Sunda Megathrust in the great 2005 Nias-Simelue earthquake,Science, 311, 1897–1901, doi:10.1126/science.1122602. 102 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Hsu, J. Y., M. Simons, J. P. Avouac., K. Sieh., J. Galetzka., M. Chlieh, Y. Bock, D. H. Natawidjaja., L. Prawirodirdjo. 2006. Frictional afterslip following the Mw 8.7, 2005 NiasSimeulue earthquake, Sumatra, Science, 312, 1921–1926,doi:10.1126/science.1126960. Okada, M. 1985, Surface deformation due to shear and tensile faults in a half-space. Bull. Seism. Soc. Am., 75(4):1135–1154. Smylie, D. E., 1971. The displacement fields of inclined faults. Bull. Seism. Soc. Am., 61:1433–1440.
103 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Perencanaan Jalur Evakuasi Tsunami Pada Kecamatan Kuta Raja Kota Banda Aceh Routes Planning of Tsunami Evacuation in Sub-District of Kuta Raja Banda Aceh City Cut Mutiawati1,, M. Isya1, Lulusi1, Renni Anggraini1 1
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Syiah Kuala Jln. Syech Abdurrauf No.7 Darussalam Banda Aceh, 23111 email:
[email protected],
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Kota Banda Aceh terletak pada wilayah tidak aman bila tsunami datang karena dikelilingi oleh pantai, salah satunya adalah Kecamatan Kuta Raja. Kecamatan Kuta Raja terletak pada zona merah dengan tingkat risiko yang tinggi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengidentifikasi lokasi-lokasi yang dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi dan mengidentifikasi ruas-ruas jalan yang layak sebagai jalur evakuasi pada saat terjadi bencana tsunami berdasarkan lebar jalan dan waktu tempuh. Selain itu juga dilakukan identifikasi proses evakuasi berupa: moda yang digunakan, tujuan titik evakuasi, keberadaan fasilitas mitigasi bencana seperti rambu dan peta jalur evakuasi. Data yang dibutuhkan adalah lebar jalan, panjang jalan dan lokasi-lokasi yang layak untuk evakuasi. Metode kuesioner digunakan untuk mendapatkan proses evakuasi dan fasilitas mitigasi bencana. Data pendukung berupa jumlah penduduk pada setiap desa, peta lokasi penelitian, nama jalan dan peta risiko bencana gempa dan tsunami yang diperoleh berdasarkan kajian literatur dan dokumentasi dari instansi terkait di Kota Banda Aceh. Titik evakuasi ditentukan berdasarkan tinggi genangan tsunamiyang terjadi pada Tahun 2004. Pilihan Jalan yang layak untuk evakuasi adalah dengan lebar minimal 4 m. Sedangkan waktu evakuasi merupakan hasil pembagian Jarak tempuh dari lokasi asal ke tujuan (tempat evakuasi) dengan kecepatan perjalanan. Kecepatan perjalanan diasumsikan 2,5 km/jam untuk pejalan kaki dan 14 km/jam untuk mobil (Kiichiro,2013). Kelayakan jalur ditentukan bila waktu tempuh kurang 35 menit (Ina-TEWS). Hasil diperoleh 7 titik evakuasi tsunami selain ruko dan Gedung Museum Tsumani yaitu Gedung Rusunawa, Mesjid Tgk. Dianjong, PLN, Gedung Pasar Aceh, Rumah Sakit Cut Meutia, Hotel Lading dan Mesjid Raya Baiturrahman. Gedung Museum Tsunami layak untuk evakuasi bila menggunakan evakuasi dilakukan menggunakan kendaraan bermotor. Hasil perencanaan terdapat 17 jalur yang dapat dijadikan sebagai jalur evakuasi untuk mencapai titik-titik evakuasi tersebut dengan waktu evakuasi < 35 menit. Kata Kunci: jalur Evakuasi Tsunami, Kecamatan Kuta Raja
104 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Abstract Banda Aceh is located in an unsafe area if the tsunami comes because it is surrounded by beaches; one of areas is sub district of Kuta Raja. Kuta Raja sub-district lies on the red zone with a high risk level. Therefore, this study aims to identify the locations that can be used as an evacuation site and identified road sections which have worthiness to be evacuation route when tsunami disaster comes on road width and travel time. Besides, it also identified evacuation process: transportation mode that are used, the destination of point evacuation, the existence of tsunami mitigation facilities such as sign and map of evacuation routes. Data needed are width and length of roads, and places that can be used as an evacuation site. Method of distributing questionnaire is used to get process of evacuation and mitigation facilities. Secondary data are the number of people in each village, a map of the site, name of roads, and risk map of earthquake and tsunami that are obtained based on literature review and documentation from the relevant government agencies in Banda Aceh. Evacuation point is determined based on high tsunami inundation in 2004. The decent road for evacuation is the minimum width of 4 m. While the evacuation time is the ratio of travel distance from origin to destination locations (the evacuation) with the travel speed. The travel speed is assumed 2.5 km/h for pedestrian and 14 km/h for cars (Kiichiro, 2013). The worthiness of evacuation is determined when travel time less than 35 minutes (Ina-TEWS). The results show that there are 7 evacuation points except shophouses and Tsunami Museum, that are Rusunawa Building, Tgk. Dianjong Mosque, State Electricity Company (PLN), Pasar Aceh Building, Cut Meutia Hospital, Lading Hotel and Mosque of Baiturrahman. From the planning result there are 17 lanes that can be used as an evacuation route with evacuation time <35 minutes. Keywords: Evacuation Route, Sub-district of Kuta Raja
1. Pendahuluan Gempa dan Tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 berkekuatan 9,1 SR di Samudera Indonesia, dengan pusat gempa berada pada 225 km di selatan Kota Banda Aceh pada kedalaman 9-10 km (Bappenas, 2005). Kecamatan Kuta Raja yang berlokasi di Banda Aceh adalah salah satu wilayah terkena dampak tsunami tersebut yang terletak pada zona merah dengan tingkat risiko dampak yang tinggi. Akibat tsunami ini menimbulkan banyak korban harta dan jiwa. Jumlah korban jiwa ini dapat dihindari dengan melakukan manajemen evakuasi yang baik dan menyiapkan sistem peringatan dini serta melakukan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar pantai dan pesisir mengenai jalur-jalur evakuasi yang harus dilalui. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan mengidentifikasi lokasi-lokasi atau tempat yang dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi bila tsunami terjadi. Selain itu juga akan diidentifikasi ruas-ruas jalan yang layak sebagai jalur evakuasi pada saat terjadi bencana tsunami berdasarkan waktu tempuh serta mengetahui proses evakuasi bencana tsunami tahun 2004, titik evakuasi dan fasilitas mitigasi bencana tsunami yang ada saat ini di Kecamatan Kuta Raja. Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
105 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
1. Bagaimana kelayakan titik-titik evakuasi yang terdapat pada Kecamatan Kuta Raja? 2. Bagaimana kelayakan jalan-jalan di Kecamatan Kuta Raja untuk dijadikan sebagai jalur evakuasi? 3. Bagaimana jalur evakuasi bencana yang baik bila diukur berdasarkan waktu tempuh? 4. Bagaimana proses evakuasi bencana tsunami, titik evakuasi yang dipilih dan fasilitas mitigasi bencana tsunami yang ada saat ini di Kecamatan Kuta Raja. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini memiliki tujuan untuk melakukan kajian tentang jalur evakuasi bencana tsunami yang meliputi: 1. Mengidentifikasi lokasi-lokasi yang dapat menjadi tempat evakuasi bila tsunami terjadi; 2. Mengidentifikasi ruas-ruas jalan yang layak evakuasi sebagai jalur evakuasi pada saat terjadi bencana tsunami berdasarkan lebar jalan. 3. Merencanakan jalur evakuasi gempa dan tsunami berdasarkan waktu tempuh. 4. Mengetahui proses evakuasi bencana tsunami dan fasilitas mitigasi bencana tsunami yang meliputi: moda yang digunakan, fasilitas rambu evakuasi tsunami, fasilitas peta jalur evakuasi, sosialisasi jalur evakuasi dan titik tujuan evakuasi. 2. Metode Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kecamatann Kuta Raja yang terletak 4 M di atas muka laut dengan luas 378.0 ha. Kecamatan Kuta Raja terdiri dari 6 desa yaitu: Gampong Jawa, Gampong Pande, Gampong Pelanggahan, Gampong Keudah, Gampong Merduati dan Gampong Lampaseh Kota. Bagan alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang dibutuhkan adalah lebar jalan, panjang jalan dan lokasilokasi/bangunan publik yang layak untuk evakuasi yang diperoleh melalui survei dan tinggi genangan berdasarkan peta ancaman tsunamai Kota Banda Aceh. Kelas ancaman tsunami dibagi dalam tiga kelas, yaitu rendah (< 1 m ), sedang (1-3 m), dan tinggi (>3 m). Metode kuesioner digunakan untuk mendapatkan proses evakuasi dan fasilitas mitigasi bencana. Data pendukung yang dibutuhkan berupa jumlah penduduk pada setiap desa, peta lokasi penelitian, nama jalan dan peta risiko bencana gempa dan tsunami yang diperoleh berdasarkan kajian literatur dan dokumentasi dari instansi terkait di Kota Banda Aceh. Selain itu penelitian ini membutuhkan data proses evakuasi saat bencana tsunami terjadi yang diperoleh dengan survei menggunakan kuisioner dengan responden yaitu masyarakat pada masing-masing gampong yang berada di Kecamatan Kuta Raja. Responden sebanyak 275 orang yang didistribusi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk pada masing-masing gampong. Jumlah responden/sampel per desa dapat dilihat pada Tabel 1.
106 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1 Bagan Alir Penelitian
Tabel 1 Jumlah Sampel penelitian di Kecamatan Kuta Raja Nama Desa 1. Gampong Keudah 3. Gampong Peulanggahan 5. Gampong Merduati Total Sampel
Jumlah Nama Desa Sampel 37 2. Gampong Lampaseh Kota 54 4. Gampong Pande 56 6. Gampong Jawa 275 sampel
Jumlah Sampel 40 23 65
107 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Pengolahan data untuk mendapatkan ruas jalan, titik evakuasi dan jalur evakuasi tsunami yang layak yaitu: 1. Menentukan Jalan yang layak digunakan sebagai jalur evakuasi saat tsunami terjadi dengan lebar minimal 4 m (SDC, 2007). 2. Menentukan titik evakuasi tsunami yang layak dengan ketinggian tsunami lebih rendah dari bangunan yang akan digunakan sebagai tempat evakuasi. Ketinggian tsunami didasarkan pada peta ketinggian air (Fauziah, 2015) dan survei langsung pada lokasi penelitian 3. Menghitung waktu perjalanan/waktu tempuh berdasarkan jalur-jalur yang layak (lebar minimal 4 m). Kelayakan jalur ditentukan bila waktu tempuh kurang 35 menit. (Ina-TEWS yang dikutip oleh Muhajir, 2013). Waktu tempuh untuk kendaraan bermotor dihitung dengan asumsi kecepatan 14 km/jam dan pejalan kaki dengan asumsi kecepatan 2,5 km/jam (Kiichiro,2013). 4. Setelah diperoleh ruas jalan, titik evakuasi dan jalur yang layak untuk jalur evakuasi, selanjutnya digambarkan dalam bentuk peta jalur evakuasi bencana tsunami. 4. Hasil dan Pembahasan Titik-titik untuk Evakuasi Bencana Tsunami Titik evakuasi evakuasi di Kecamatan Kuta Raja ditampilkan per desa yaitu sebagai berikut: 1.
Gampong Jawa, Gampong Pande Gampong Jawa dan Gampong Pande tidak memiliki bangunan publik yang dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi karena tinggi gelombang tsunami yang tercatat pada tugu tsunami di SMP Negeri 12 adalah 7 meter, ketinggian tersebut melebihi ketinggian bangunan publik yang ada di dua gampong tersebut. Tempat Evakuasi baik bagi pejalan kaki maupun kendaraan bermotor dengan waktu tempuh < 35 menit hanya pada Mesjid Tgk. Dianjong di Desa Pelanggahan. Titik evakuasi lain hanya dapat dijangkau dengan waktu < 35 menit bila menggunakan kendaraan bermotor seperti Rumah Sakit Cut Meutia dan Hotel Lading.
2.
Gampong Merduati Gampong Merduati memiliki bangunan publik sebagai tempat evakuasi yaitu PLN Kota Banda Aceh yang terletak di Jl. Tentara Pelajar. Bangunan tersebut dapat dijangkau oleh pejalan kaki dengan waktu < 35 menit. Selain itu, Gedung Rusunawa di Desa Pelanggahan, Ruko di Jl. Rama Setia dan Pasar Aceh di Jl. Diponegoro juga dapat dijadikan sebagai tempat evakuasi warga dari Gampong Merduati. Warga yang tinggal di Jl. Flamboyan dapat evakuasi ke Rusunawa Desa Pelanggahaan. Sedangkan warga yang tinggal di Jl. Taman Siswa dapat menuju ke PLN Kota Banda Aceh, Pasar Aceh, dan Ruko di Jl. Rama Setia.
108 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3.
Gampong Lampaseh Kota Gampong Lampaseh Kota tidak memiliki bangunan publik yang dapat digunakan sebagai tempat evakuasi. Namun pada Jl. Rama Setia terdapat ruko-ruko lantai 3 yang dapat digunakan sebagai tempat evakuasi bagi pejalan kaki dan kendaraan bermotor. Selain itu bangunan yang dapat digunakan oleh pejalan kaki dan kendaraan bermotor sebagai tempat evakuasi yaitu Pasar Aceh dan Mesjid Raya Baiturrahman dengan waktu tempuh < 35 menit. Sedangkan Gampong Peuniti dan Museum Tsunami hanya dapat digunakan sebagai tempat evakuasi bila menggunakan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh < 35 menit. Pejalan kaki tidak direkomendasikan pada kedua lokasi tersebut karena waktu tempuhnya >35 menit.
4.
Gampong Keudah Gampong Keudah memiliki bangunan publik sebagai tempat evakuasi. Bangunan publik yang dapat digunakan oleh pejalan kaki dan kendaraan bermotor dengan waktu tempuh < 35 menit yaitu PLN Kota Banda Aceh di Desa Merduati, Pasar Aceh di Jl. Diponegoro, Mesjid Raya Baiturrahaman, Rumah Sakit Cut Meutia, Hotel Lading dan Gampong Peuniti.
5.
Gampong Peulanggahan Bangunan publik di Gampong Pelanggahan yang dapat digunakan sebagai tempat evakuasi adalah Mesjid Tgk. Dianjong. Bangunan ini dapat dijangkau oleh pejalan kaki maupun kendaraan bermotor dengan waktu tempuh < 35 menit. Selain itu, bangunan publik yang terletak di sekitar gampong yang bisa dijangkau oleh pejalan kaki yaitu PLN Kota Banda Aceh di Desa Merduati dan Rumah Sakit Cut Meutia di Jalan Cut Meutia.
Jalur evakuasi yang layak pada Kecamatan Kuta Raja beserta perhitungan waktu perjalan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan peta dapat dilihat pada Gambar 2. Moda Untuk Evakuasi, Titik Evakuasi, Fasilitas Mitigasi Bencana Tsunami dan Tinggi Genangan Tsunami Tahun 2004 Hasil penyebaran kuisioner diperoleh informasi bahwa pada saat tsunami pada tahun 2004 jenis moda dominan yang digunakan untuk evakuasi adalah kendaraan bermotor yaitu sebesar 68,4% (mobil 18,5%; bentor 11,6%; sepeda motor 38,%). Sedangkan yang berjalan kaki sebesar 31,6%. Warga di Kecamatan Kuta Raja ini lebih memilih melakukan evakuasi ke bangunan yang terdapat sekitar tempat tinggal (wilayah tsunami) dari pada ke luar wilayah tsunami dengan rincian 61% dan 39%. Mayoritas masyarakat mengatakan bahwa rambu arah evakuasi “tidak ada” dan tidak terdapat peta evakuasi pada saat bencana tsunami serta sosialisasi tidak pernah dilakukan pemerintah. Tinggi Genangan dominan > 3 m yaitu 60,4%. Rincian jenis moda untuk evakuasi, titik evakuasi dan fasilitas mitigasi bencana tsunami serta tinggi genangan tsunami tahun 2004. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3 109 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2. Jalur Evakuasi di Kecamatan Kuta Raja
No
1 2
3 4 5 6 7 8 9
10
11 12 13 14 15 16 17
Jalur Evakuasi
(Gampong Jawa) Jl. Tgk. Dianjong (Mesjid Tgk. Dianjong) (Pelanggahan) Jln. Tuan Dikandang – Jl. T. Muda – Jln. Malem Dagang – Jln. Tentara Pelajar (Kantor PLN) (Gampong Pande) Jln. Tuan Dikandang – Jl. Said Abdul – jln. Tgk. Dianjong (Mesjid Tgk. Dianjong) (Pelanggahan) Jl. Tgk. Dianjong (Mesjid Tgk. Dianjong) (Keudah) Jl. T. Muda - Jln. Malem Dagang – Jln. Tentara Pelajar (Kantor PLN) (Merduati) Jl. Flamboyan – (Rusunawa/Pelanggahan) (Merduati) - Jl. Malem Dagang - Jl. Tentara Pelajar ( Kantor PLN) (Merduati) - Jl. Pocut Merah - Jl. Taman Siswa - Jl. Panglateh - Jl. Rama Setia (Ruko Lantai 3) (Lampaseh Kota) Jl. Rama Setia (Ruko Lantai 3) (Lampaseh Kota) Jl. Perdamaian - Jl. Prof. A. Majid Ibrahim - Jl. K.H. Ahmad Dahlan Jl.Dipenogoro - Tgk. Chik Pante Kulu (Mesjid Raya Baiturrahman) (Keudah) - Jl. Tentara pelajar - Jl. Cut Mutia Jl. Diponegoro (Mesjid Raya Baiturrahman) (Lampaseh Kota) Jl. Rama Setia-Jl. Diponegoro (Pasar Aceh) (Keudah) Jl. Tentara pelajar-Jl. DiponegoroJl. Chik Ditiro (Jln. Jembatan Peniti) (Keudah) Jl. Tentara pelajar-Jl. Diponegoro (Pasar Aceh) (Pelanggahan) Jl. Bangka-Jl. T. Muda-Jl. Tgk Di Anjong-Jl. Cut Meutia (RS Cut Meutia) (Keudah) Jl. Malem Dagang-Jl. Tentara Pelajar-Jl. Cut Meutia (RS Cut Meutia) (Keudah) Jl. Malem Dagang-Jl. Tentara Pelajar-Jl. Cut Meutia (Hotel Lading)
Waktu Tempuh (menit) Jarak Asumsi (km) Asumsi 2,5 14 km/jam m/jam 0,976
23,42
4,18
1,163
27,91
4,98
1,271
30,50
5,45
0,156
3,74
0,67
0,597
14,33
2,56
0,249
5,98
1,07
0,341
8,18
1,46
0,488
11,71
2,09
0,470
11,28
2,01
1,237
29,69
5,30
0,899
21,58
3,85
1,246
29,90
5,34
1,359
32,62
5,82
0,899
21,58
3,85
1,405
33,72
6,62
0,749
17,98
3,21
0,960
23,04
4,11
110 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2 Peta Jalur Evakuasi Tsunami Kecamatan Kuta Raja
111 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 3 Jenis Moda, Titik Evakuasi, Fasilitas Mitigasi Bencana Tsunami dan tinggi genangan
4. Kesimpulan dan Saran Beberapa kesimpulan berdasarkan hasil dan temuan yaitu sebagai berikut: 1. Hasil diperoleh 7 titik evakuasi tsunami selain ruko dan Gedung Museum Tsumani yaitu Gedung Rusunawa, Mesjid Tgk. Dianjong, PLN, Gedung Pasar Aceh, Rumah Sakit Cut Meutia, Hotel Lading dan Mesjid Raya Baiturrahman. Gedung Museum Tsunami layak untuk evakuasi bila menggunakan evakuasi dilakukan menggunakan kendaraan bermotor. 2. Hasil perencanaan terdapat 17 jalur yang layak sebagai jalur evakuasi dengan waktu evakuasi < 35 menit baik dengan menggunakan sepeda motor maupun dengan kendaraan bermotor.
112 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3. Penelitian ini juga menghasilkan jalur evakuasi dari Gampong Lampaseh Kota menuju titik evakuasi gedung tsunami, namun jalur ini hanya layak bila menggunakan kendaraan bermotor dan tidak direkomendasikan untuk pejalan kaki karena waktu tempuh > 35 menit. 4. Hasil penyebaran kuisioner diperoleh informasi bahwa jenis moda dominan yang digunakan untuk evakuasi adalah kendaraan bermotor dan warga cenderung melakukan evakuasi ke bangunan yang terdapat sekitar tempat tinggal (wilayah tsunami) dari pada ke luar wilayah tsunami. Mayoritas masyarakat mengatakan bahwa rambu arah evakuasi “tidak ada” dan tidak terdapat peta evakuasi pada saat bencana tsunami serta sosialisasi tidak pernah dilakukan. Tinggi Genangan dominan pada saat tsunami pada tahun 2004 > 3 m yaitu 60,4%.
Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih saya ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga selesainya penelitian tentang jalur evakausi pada Kecamatan Kuta Raja yang merupakan bagian dari penelitan “Perencanaan Jalur Evakuasi Tsunami Pada 5 Kecamatan di Kota Banda Aceh” dengan skim Penelitian Unggulan Peguruan Tinggi untuk tahun pertama diantaranya: 1. Dikti sebagai penyandang dana penelitian 2. Para surveyor yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan Semoga Allah, SWT membalasnya dengan pahala yang berlimpah. Amin Ya Rabbal Alamin.
Daftar Pustaka Anonim. 2012b, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, Jakarta. Bappenas, 2005, Rencana Induk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Aceh Dan Nias, Sumatera Utara, Buku I: Rencana Bidang Tata Ruang dan Pertanahan, Jakarta. Fauziah, Fatimah, E., Syamsidik, 2014, Penilaian Tingkat Risiko Bencana Tsunami Untuk Kawasan Kota Banda Aceh, Jurnal Teknik Sipil Unsyiah, ISSN 2088-9321. Vol. 3 No. 2, 2014 pp.1-14 Kiichiro H., 2013, Formulation of Tsunami Evacuation Strategy to Designate Routes For The Car Mode – Lesson from The Three Cities in Tohoku Area, Japan, Proceeding of The Eastern Asia Society For Transportation Studies, Vol. 9. Muhajir A., 2013, Pemanfaatan Sistem Inforamsi Geografis Untuk Penentuan Rute dan Bangunan Evakuasi, Institut Sepuluh Nopember Surabaya, Surabaya. SDC, 2007, Pedoman Perencanaan Pengungsian Tsunami (Tsunami Refugee Planning Guideline). Aceh Nias: Sea Defence Consultants.
113 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kajian Pemetaan Risiko Dan Evakuasi Tsunami Di Desa Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon Mapping Risk Assessment and Tsunami Evacuation In the village of Hutumuri District of South Leitimur Ambon City Ferad Puturuhu1, R.M. Osok2 1
Pusat Studi Penelitian Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim (PSPB-API) Unpatti E-mail:
[email protected] Dan 2 Pusat Studi Penelitian Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim (PSPB-API) Unpatti E-mail :
[email protected]
Abstrak Wilayah yang dianggap beresiko terhadap tsunami di Kota Ambon adalah Desa Hutumuri, disamping Desa Latuhalat dan Galala-Hative kecil.Desa Hutumuri pernah mengalami tsunami pada tanggal 8 Oktober 1950 yang menyapuh bersih dan meluluhlantahkan sebagian besar permukiman pada desa tersebut.Itu berarti bahwa kejadian ini harus menjadi catatan berharga bagi masayarkat untuk selalu siaga, dan bagi pemerintah untuk selalu membuat kajian dan mambangun sistem mitigasi bencana yang terintegrasi. Adanya hasil pemetaan risiko multibencana sangat membantu masyarakat untuk memahami wilayahnya yang rentan atau berisiko terhadap bencana, khusus bagi bencana tsunami dalam rangka upaya meningkatkan kesiap siagaan masyarakat dan mitigasinya maka oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ambon telah ditempatkan tanda jalur evakuasi, namun demikian perlu dievaluasi penempatannya sesuai kondisi fisik dan infrastruktur wilayah yang ada. Terutama bagi wilayah yang diaanggap berisiko sesuai hasil pemetaan sebelumnya.Tujuan kegiatan ini adalah mendetilkan pemetaan risiko tsunami pada tingkat desa, yang berlangsung di Desa Hutumuri Pulau Ambon.dan melakukan evaluasi dan pembuatan peta jalur evakuasi tsunami yang baru di Desa Hutumuri sebagai upaya mitigasi bencana. Metode pemetaan yang digunakan untuk menghasilkan peta risiko tsunami adalah “Metode Skoring” atau “Waighted Overlay”. Dalam pemetaan risiko tsunami ada beberapa tahapan yang dilakukan, yaitu: pembuatan peta parameter ancaman tsunami, kerentanan dan kapasitas; overlay peta-peta tersebut untuk menghasilkan peta ancaman, peta kerentanan, dan peta kapasitas; dan Pembuatan Peta Jalur Evakuasi Sementara berdasarkan kriteria yang ada. Wilayah Desa Hutumuri yang mempunyai risiko tinggi adalah pada Dusun I, II, dan III dengan luas 1.8 Km2. Dusun IV termasuk berisiko sedang dengan luas 0.2 Km2 dan Dusun V termasuk berisiko rendah dengan luas 2.0 Km2. Wilayah dengan risiko tinggi ini merupakan wilayah yang pernah dihantam tsunami pada tahun 1950. Desa Hutumuri harus ditempatkan 10 rambu evakuasi, dan 4 titik kumpul sementara dengan dilengkapi jalur evakuasi dan pembagian blok pergerakan massa. Kata Kunci: Risiko, Evakuasi, Tsunami
114 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Abstract Areas considered at risk of a tsunami in the city of Ambon is Hutumuri village, beside Latuhalatand Galala-Hative smallvillage. Hutumuri village has experienced tsunami on 8 October 1950 which swept over most of the net and slammed into the settlements in the village. That means that this incident should be a valuable record for peopleto always be alert, and for the government to always make studies and builds an integrated disaster mitigation systems. The results of risk mapping multidisaster help people to understand the region is vulnerable or at risk of disaster, especially for the tsunami disaster in the framework of efforts to improve the preparedness of society and its mitigation then by the Regional Disaster Management Agency (BPBD) Ambon City has placed signs evacuation routes, but nevertheless placement should be evaluated according to the conditions and the physical infrastructure of existing areas. Particularly for areas at risk opinion corresponding previous mapping results. The purpose of this activity is Deriving tsunami risk mapping at the village level, which took place in the Hutumuri villageAmbon Island. and evaluate and map making new tsunami evacuation route in the village Hutumuri as disaster mitigation efforts. Mapping method is used to generate a tsunami risk map is "Scoring method" or "Waighted Overlay". In mapping the tsunami risk there are several steps being taken, namely: mapmaking parameter tsunami threat, vulnerability and capacity; overlay these maps to produce a map of threats, vulnerability and capacity maps; Evacuation and Mapping Paths While based on existing criteria. Hutumuri Village area at high risk is in orchard I, II, and III with an area of 1.8 km2. orchard IV including medium risk with an area of 0.2 km2 and orchard V including low risk with an area of 2.0 km2. High-risk areas it is an area that once hit by the tsunami in 1950. The Hutumuri villagemust be placed 10 evacuation signs, and 4 equipped meeting points while the evacuation route and block the distribution of the mass movement. Keywords: Risk, evacuation, tsunami
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang tidak terhindar dari kejadian bencana alam, hal ini sangat dipengaruhi oleh letaknya diantara tiga lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Pasifik, yang memicu terjadinya gempabumi yang intensitasnya tinggi dan sangat rawan terhadap kejadian tsunami. Tsunami yang dibangkitkan oleh gempa bumi mencapai 90.5% (95 kejadian) dari 105 kejadian tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, kemudian oleh erupsi volkanik 8.6% (9 kejadian) dan oleh tanah longsor 1% (Latief, dkk., 2000), sekitar 85% dari kejadian tsunami tersebut terjadi di wilayah Indonesia Timur(Diposaptono dan Budiman, 2006), termasuk di Maluku, yang dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Rumphius merupakan wilayah yang mengalami tsunami tertua di Nusantara (Indonesia). Bencana tsunami yang diklasifikasi sebagai bencana yang disebabkan oleh alam (Westen, 200), merupakan gelombang laut gravitasi periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan seperti gerakan patahan, gempa, longsor, jatuhnya benda-benda langit (meteor), letusan gunung berapi di bawah laut dan letusan (exploison) di dekat muka air laut (US Army Corps of Engineers,(1990). Sebagai daerah kepulauan yang berhadapan langsung dengan lautan lepas yang luas dengan pusat-pusat gempa dalam kedalaman tertentu Maluku dan secara khusus Pulau Ambon rentan terhadap kejadian tsunami.Bahkan bukan hanya rentan dan rawan terhadap kejadian tsunami, tapi dalam perjalanan sejarah geologis Pulau Ambon dan Maluku sudah banyak kejadian Tsunami yang terjadi, seperti disajikan pada Gambar 1. Penyebaran Tsunami di Pulau Ambon. 115 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1. Penyebaran Kejadian Tsunami di Pulau Ambon (berdasarkan catatan sejarah) (berbagai informasi) Kajian risiko multibencana yang dilakukan oleh pemerintah Kota Ambon walaupun masih dalam skala yang kasar, tapi telah dapat menunjukkan lokasi yang rentan dan beresiko terhadap kejadian multibencana di Kota Ambon, termasuk bencana tsunami.Wilayah yang dianggap beresiko terhadap tsunami adalah Desa Hutumuri, disamping Desa Latuhalat dan Galala-Hative kecil.Desa Hutumuri dan Galala-Hative Kecil merupakan desa di Pulau Ambon yang berada pada kecamatan berbeda dan posisi berbeda secara letak geografis di Jazirah Leitimur: Galala-Hative Kecil berada pada posisi Barat Laut, sementara Desa Hutumuri berada pada posisi Tenggara. Namun demikian keduanya memiliki sejarah waktu kejadian tsunami yang sama, mungkin berbeda detik saja. Kedua desa ini pernah mengalami tsunami pada tanggal 8 Oktober 1950 yang menyapuh bersih dan meluluhlantahkan sebagian besar permukiman pada kedua desa tersebut.Itu berarti bahwa kejadian ini harus menjadi catatan berharga bagi masayarkat pada kedua desa tersebut untuk selalu siaga, dan bagi pemerintah untuk selalu membuat kajian dan mambangun sistem mitigasi bencana yang terintegrasi. Adanya hasil pemetaan risiko multibencana sangat membantu masyarakat untuk memahami wilayahnya yang rentan atau berisiko terhadap bencana, khusus bagi bencana tsunami dalam rangka upaya meningkatkan kesiap siagaan masyarakat dan mitigasinya maka oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Ambon telah ditempatkan tanda jalur evakuasi, namun demikian perlu dievaluasi penempatannya sesuai kondisi fisik dan infrastruktur wilayah yang ada. Terutama bagi wilayah yang diaanggap berisiko sesuai hasil pemetaan sebelumnya.
116 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Atas dasar itulah maka terasa semakin penting untuk melakukan tindak lanjut dalam mengkaji risiko tsunami secara detil dan mengevaluasi penempatan jalur evakuasi tsunami yang ada di masing-masing wilayah berisiko. Salah satu wilayah yang diambil sebagai sampel untuk dikaji dan dibuat pemetaan risiko tsunami secara detil adalah Desa Hutumuri yang terletak di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon. Tujuan penelitian ini adalah: 1). Mendetilkan pemetaan risiko tsunami pada tingkat desa, yang berlangsung di Desa Hutumuri Pulau Ambon, 2).Evaluasi dan Pembuatan Peta jalur evakuasi Tsunami yang baru di Desa Hutumuri untuk perencanaan tata ruang desa dan kecamatan, dan upaya mitigasi terhadap kejadian bencana tsunami. 2. Metode Penelitian Pemilihan daerahkajian dan lokasi sampel tsunami dipilih berdasarkan hasil tinjauan lapangan terhadap hasil pemetaan risiko tsunami Kota Ambon tahun 2012. Dari beberapa lokasi yang dianggap berisiko terhadap tsunami dipililah Desa Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon sebagai lokasi kajian. Pertimbangan dipilihnya Desa Hutumuri didasarkan pada letak desa yang berhadapan langsung dengan lautan lepas, kondisi fisik wilayah, dan sosial kependudukan yangmerupakan faktor berpengaruh terhadap kejadian tsunami. Kajian terhadap ancaman, kerentanan wilayah dan kapasitas masyarakat terhadap tsunami dilakukan berbasis dusun, dimana di Desa Hutumuri ada terdapat 5 (lima dusun) yang di dalamnya ada 5 RW dan 20 RT. Risiko bencana merupakan fungsi dari tiga aspek yang saling berhubungan.Aspek yang dimaksud adalah ancaman (hazard), kerentanan (vurnerability) dankapasitas (capacity). Berdasarkan pengertian tersebutt maka variabel kajian tsunamiyang digunakan adalah yang berhubungan dengan ketiga aspek tersebut. Tabel 1.menyajikan variable penelitian tsunami dan sumber perolehan datanya. Bahan yang diperlukan dalam kegiatan ini, meliputi: Peta Administrasi wilayah kajian, Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Digital Pulau Ambon skala 1 : 25.000, Peta Geologi skala 1 : 100.000 Verbeek dan Van den Bosch tahun 1899, Peta Kota Ambon hasil Interpretasi Citra Ikonos, Peta Episenter Gempa Maluku tahun 2008 dan 2012, Peta Batimetri Pulau-Pulau Maluku, Pulau Seram Bagian Barat sekala 1:200.000, oleh Hidrografi Belanda tahun 1923 diperbaharui oleh Dinbas HidroOceanografi tahun 2002, Peta Desa Hutumuri (dibuat oleh perangkat desa), Citra penginderaan Landsat 8 Pulau Ambon dan Ikonos Kota Ambon, Data iklim BMKG 10 tahun 2004-2013, data pemduduk Desa Hutumuri tahun 2010. Peralatan yang diperlukan dalam kegiatan ini meliputi: peralatan untuk observasi lapangan, GPS, abney level, dan kamera, komputer beserta perangkat lunak untuk penyusunan data dasar, pengolah data spasial (SIG), visualisasi dan penyusunan laporan, Software ArcGis 10.0. Pengumpulan data dalam kajian tsunami mencakup pengumpulan data sekunder, pembuatan peta lapangan dan pelaksanaan survey.Tahap pengumpulan data sekunder, dilakukan dengan mencari informasi dan mengumpulkan data yang terkait dengan kejadian tsunami.Data yang dikumpulkan seperti peta, data kejadian gempa, data iklim dan data kependudukan.Pengmpulan data primer dilakukan saat survey lapangan.
117 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1. Variabel Data Penelitian Tsunami No.
Variabel
Sumber Data
Keterangan
A. Aspek Ancaman 1. Elevasi
Peta Rupa Bumi Indonesia Sekunder (RBI) Digital Pulau Ambon Skala 1:25.000 2. Arah hadap pantai terhadap Peta Geologi Verbeek Van Sekunder patahan den Bosch, 1899 3. Arah hadap pantai terhadap Pengamatan lapangan Primer lautan lepas 4. Arah hadap pantai terhadap Data Episenter Gempa Sekunder titik pusat gempa BMKG tahun 2008 dan 2012 B. Aspek Kerentanan a. Sosial 1. Kepadatan Penduduk Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri 2. Penduduk Usia Balita Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri 3. Penduduk Usia Lanjut (> 65 Data Penduduk Desa Sekunder thn) Hutumuri 4. Presentase Penduduk Wanita Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri b. Ekonomi 1. Kerja Bertani Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri 2. Belum/Tidak bekerja Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri 3. Kerja sebagai Pegawai Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri c.
d.
Fisik 1. Kepadatan Bangunan/Permukiman Lingkungan 1. Morfologi Pantai 2. Penggunaan Lahan
C. Aspek Kapasitas 1. Jalan
2. Jalur Evakuasi 3. Penahan Gelombang
Data Penduduk Desa Sekunder Hutumuri, hasil interpretasi IKONOS Kota Ambon Pengamatan lapangan Primer Interpretasi Citra Landsat 8 Sekunder dan pengamatan lapangan hasil interpretasi IKONOS Sekunder Kota Ambon, dan pengamatan lapangan Pengamatan lapangan Primer Pengamatan lapangan Primer
118 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Dalam rangka melaksanakan peninjauan atau survey maka dibuatlah peta lapangan sebagai pegangan untuk pengenalan lokasi kajian secara detil.Tahap survey lapangan dilaksanakan untuk meninjau langsung lokasi kajian untuk mengetahui berbagai variabel yang terkait dengan aspek ancaman, kerentanan dan kapasitas masyarakat terhadap risiko tsunami, wawancara, dokumentasi, pengambilan titik koordinat yang terkait dengan batas dusun, desa dan titik jalur evakuasi. Pemetaan risiko tsunami terdiri dari pemetaan ancaman bencana (hazard mapping), pemetaan kerentanan (vurnerability mapping) dan pemetaan kapasitas (capacity mapping). Pemetaan risiko tsunami dilakukan dengan langkah sebagai berikut:Penentuan Parameter Risiko Tsunami, Penentuan Skor dan pembobotan, pemetaan Risiko Tsunami. Pemetaan risiko bencana didasarkan pada hasil pemetaan ancaman, pemetaankerentanan dan pemetaan kapasitas. Peta risiko bencana merupakan fungsi dari peta ancaman dan peta kerentanan dibagi dengan peta kapasitas. Peta kerentanan dan peta kapasitas dianalisis dengan metode overlay (tumpangsusun) dan matching. Analisis matching dilakukan dengan membuat tabulasi silang antara kerentanan dan kapasitas seperti ditunjukkan pada Tabel 2. Dari tabulasi silang terlihat jelas bahwa semakin rendah nilai kerentanan dengan semakin tinggi kapasitas maka akan bernilai tinggi untuk nilaikerentanan/kapasitas. Perbandingan terbalik kerentanan dan kapasitas diaplikasikan dalam tabel tabulasi silang untuk penentuan nilai kerentanan/kapasitas (V/C). Metode yang digunakan untuk pemetaan risiko bencana sama dengan dalampenentuan kerentanan/kapasitas (V/C) yaitu dengan tumpangsusun (overlay) peta dan tabulasi silang (cross tabulation). Tumpangsusun peta ancaman dan peta kerentanan/kapasitas akan menghasilkan unit pemetaan baru yang merupakan gabungan antara unit peta ancaman dan peta kerentanan/kapasitas. Analisis tabulasi silang dilakukan pada unit pemetaan baru tersebut. Tabel silang (cross tab) untuk analisis risiko bencana ditunjukkan pada Tabel 3.Berdasarkan analisis tabulasi silang, risiko bencana dibedakan menjadi tigatingkat yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tabel 2. Tabulasi Silang Untuk Analisis Risiko
Keterangan table: R = rendah, S = sedang, T = tinggi
119 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 3. Tabulasi Silang Untuk Analisis Risiko
Keterangan table: R = rendah, S = sedang, T = tinggi
Sebagai tindak lanjut pemetaan resiko tsunami di Desa Hutumuri dan sebagai salah satu indikator sikap siaga mengantisipasi bencana tsunami pada masa depan adalah tersedianya peta jalur evakuasi ke tempat aman dari kawasan rawan tsunami baik itu berupa baliho, billboard, poster, maupun leaflet. Di wilayah kajian Desa Hutumuri, telah ditempat titik jalur evakuasi, namun demikian dirasa perlu untuk dilakukan evaluasi penempatannya dengan tujuan lebih memenimalisir korban jika terjadi bencana. Langkah yang dilakukan dalam evaluasi pemetaan jalur evakuasi adalah sebagai berikut: Pembuatan Peta Jalur Evakuasi Sementara, penentuan Kriteria Jalur Evakuasi Tsunami, Pengamatan Lapangan, dan Pembuatan Peta Jalur Evakuasi (Akhir). 3. Hasil Kajian Pemetaan Risiko Tsunam dan Jalur Evakuasi Seperti dikemukakan di atas bahwa Risiko bencana dilihat sebagai fungsi interaksi antaraancaman (H) dengan kerentanan (V) serta kapasitas (C). Pemetaan risiko bencana didasarkan pada hasil pemetaan ancaman, pemetaankerentanan dan pemetaan kapasitas. Peta risiko bencana merupakan fungsi dari peta ancaman dan peta kerentanan dibagi dengan peta kapasitas. Peta kerentanan dan peta kapasitas dianalisis dengan metode overlay (tumpangsusun) dan matching. Analisis matching dilakukan dengan membuat tabulasi silang antara kerentanan dan kapasitas.Dan selanjutnya antara kerentanan/kapasitas dengan ancaman untuk menghasilkan peta risiko tsunami. Dari hasil analisis dengan metodeweighted overlay diperoleh peta tingkat resiko tsunami Desa Hutumuri seperti disajikan pada Gambar 2, dan data hasil analisis disajikan pada Tabel 4.
120 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Peta Risiko Tsunami Desa Hutumuri (Hasil analisis) Berdasarkan tabel hasil analisis, maka risiko tsunami rendah ada pada wilayah Dusun V sebelah Timur Desa Hutumuri, tingkat sedang pada Dusun IVsebelah Utara Desa Hutumuri, dan risiko tsunami tertinggi adalah pada sebelah selatan Desa Hutumuri sepanjang pesisir Dusun I, II, III yang merupakan pusat desa dan pemerintahan. Dusun IV merupakan dusun yang selayaknya memiliki risiko terhadap tsunami rendah dilihat dari kondisi fisik wilayah dengan ketinggiannya, namun ada beberapa faktor lain dalam penilaian kerentanan dan kapasitas seperti kepadatan penduduk dan bangunan yang padat dan rapat,dan jenis jalan yang menyebabkan dalam proses skoring dan overlay Dusun IV ini dimasukan ke dalam tingkat risiko sedang. Untuk meminimalisir risiko tsunami wilayah Dusun IV masih dapat dimasukan sebagai wilayah dengan tingkat risiko rendah. Tabel 4. Luas Tingkatan Rsiko Tsunami di Desa Hutumuri No.
Tingkat Risiko
Luas (Km2)
Dusun
1
Rendah
2.0
V
2.
Sedang
0.2
IV
3.
Tinggi
1.8
I,II,III
121 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Wilayah yang risiko tsunaminya tinggi di Desa Hutumuri memiliki karakteristik elevasi lahannya rendah sekitar 0-15 m dpl, menghadap lautan lepas, berhadapan dengan pusat gempa, padat penduduk dan permukimannya, penduduknya rentan. Kondisi wilayah seperti ini perlu mendapat perhatian khusus untuk upaya mitigasi, sehingga ancaman dan kerentanan yang dimiliki dapat diminimalisir agar masyarakat dapat terhindar dari risiko bencana tsunami. 4. Evakuasi Tsunami 4.1. Rambu Evakuasi dan Evaluasi Penempatannya Rambu evakuasi berperan penting dalam memberikan ke masyarakat di daerah rawan tsunami karena rambu-rambu tersebut menunjukkan rute penyelamatan diri dan tempat-tempat yang aman.Rambu evakuasi biasa menjadi semacam “monument” tsunami yang dapat menumbuhkan kesadaran serta kesiapsiagaan. Rambu evakuasi yang mengindikasikan rute evakuasi harus mampu dikenali secepat mungkin dan dipahami semudah mungkin baik oleh penduduk setempat maupun pendatang yang belum terbiasa dengan daerah tersebut. Itu sebebanya srandar nasional dibutuhkan. Kota Ambon dan khusus wilayah kajian risiko tsunami Desa Hutumuri, di tahun 2015 telah memiliki rambu-rambu evakuasi tsunami yang dipasang di setiap daerah yang berisiko sedang dan tinggi terhadap tsunami. Di Desa Hutumuri pada seluruh wilayah yang berdekatan dengan pantai dan berhadapan dengan lautan lepas telah dipasang rambu evakuasi. Salah satu contoh rambu evakuasi yang dipasang disajikan pada Gambar 3. Dari hasil kajian lapangan ada terdapat beberapa hal yang perlu dievaluasi terkait dengan penempatan rambu, jalur evakuasi dan kelengkapannya, sebagai berikut: - Di wilayah kajian titik kumpul yang ada hanyalah titik kumpul sementara hanya satu.
a.
b.
Gambar 3.Rambu Evakuasi Tsunami yang Terpasang di Desa HutumuriKota Ambon. a) Rambu jalur evakuasi di Dusun 1, b) Rambu titik kumpul sementara di Dusun IV
122 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
-
Arah untuk melaksanakan evakuasi/jalur evakuasi juga belum terarah dengan baik menuju titik tinggi atau aman,
-
Arah rambu evakuasi belum banyak sinkron dengan arah jalur evakuasi sesuai kondisi wilayah dan infrastruktur bangunan yang dapat dijadikan kawasan aman sementara.
-
Belum ada sistem blok yang memudahkan pergerakan massa dengan mudah saat evakuasi
-
Harus ada papan informasi atau peta jalur evakuasi yang dipasang dalam bentuk billboard di lokasi startegis Desa Hutumuri, yang akan diuraikan pada bagian berikut.
Atas dasar itulah maka untuk Desa Hutumuri penempatan ramb dan jalur evakuasi akan dilakukan dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan di atas yang standar. Beberapa rambu evakuasi yang mengarahkan masayarakat untuk melewati sungai akan dirubah seperti yang ada di Dusun I, harus dibuat blok untuk pergerakan massa dengan jalur evakuasinya masing-masing dan ini bisa dilakukan pada Dusun I dan II yang permukiman dan penduduknya padat, menambahkan beberapa titik kumpul akhir di daerah yang tinggi sebelah utara Dusun I dan II selain yang sudah ada pada Dusun IV. Penempatan peta jalur evakuasi tsunami menjadi penting untuk dilakukan, dan disarankan supaya posisinya yang paling tepat adalah di lahan kosong depan gedung Gereja Jemaat GPM Hutumuri. 4.2. Peta Jalur Evakuasi Salah satu indikator sikap siaga mengantisipasi bencana tsunami pada masa depan adalah tersedianyapeta jalur evakuasi ke tempat aman dari kawasan rawan tsunami baik itu berupa baliho, billboard, poster, maupun leaflet. Peta jalur evakuasi bersifat dinamis disesuaikan dengan informasi yang tersedia yang kemudian dapat disempurnakan lagi sesuai dengan informasi kerentanan terhadap bencana, perkembangan tata ruang kota dan tingkat kepadatan populasi. Di lapangan, peta jalur evakuasi harus dilengkapi dengan rambu-rambu petunjuk menuju tempataman atau tempat evakuasi yang mudah dikenal dan jelas terlihat (sesuai Pedoman Pembuatan Rambu Evakuasi Tsunami), seperti yang diharapkan sebelumnya untuk Desa Hutumuri. Dari pengamatan kondisi wilayah pada citra satelit, ketinggian pada peta RBI dengan interpolasi DEM, peta administrasi, dan hasil pengamatan lapangan, maka dibuatlah Peta Evakuasi Tsunami Desa Hutumuri dengan skala 1:8.000 seperti disajikan pada Gambar 4. Pada peta di bawah ini, rambu evakuasi yang harus dibuat atau dipasang 10 rambu evakuasi, dimana sebelumnya hanya 9.Di setiap jalur yang menuju daerah yang paling tinggi dan aman ditempatkan rambu evakuasi. Titik kumpul sementara yang sebelumnya hanya ada 1 di Dusun IV, pada peta ini sudah ditempatkan 4 titik kumpul yang dapat menampung masyarakat yang bergerak dari blok yang dipetakan, dan tidak akan terjadi penumpukan saat bergerak mengikuti jalur evakuasi menuju titik kumpul sementara. Dengan jalur yang sudah diatur dalam peta evakuasi, diharapkan saat terjadi 123 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4.
Peta Evakuasi Tsunami Desa Hutumuri (Hasil analisis)
bencana tsunami tidak ada massa yang bergerak memotong sungai atau jembatan, karena sungan dan jembatan merupakan wilayah yang berpotensi untuk bergeraknya gelombang tsunami dengan cepat. Jika terjadi kondisi yang mendesak, lantai dua gedung Gereja sebagai bangunan bertingkat bisa dijadikan tempat untuk mempertahankan dan penyelamatan diri sementara akibat bencana tsunami. 5. KESIMPULAN 1.
Dari hasil pemetaan risiko tsunami, wilayah Desa Hutumuri yang mempunyai risiko tinggi adalah pada Dusun I, II, dan III dengan luas 1.8 Km2. Dusun IV termasuk berisiko sedang dengan luas 0.2 Km2dan Dusun V termasuk berisiko rendah dengan luas 2.0 Km2. Wilayah dengan risiko tinggi ini merupakan wilayah yang pernah dihantam tsunami pada tahun 1950.
2.
Hasil evaluiasi evakuasi tsunami, di Desa Hutumuri terdapat10 rambu evakuasi, dan 4 titik kumpul sementara dengan dilengkapi jalur evakuasi dan pembagian blok pergerakan massa. Peta yang dihasilkan memberikan informasi yang tepat bagi masyarakat tentang jalur evakuasi dan sebagai bahan sosialisasi untuk mengurangi resiko tsunami dan kerugian yang terjadi.
124 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Diposaptono, S dan Budiman. 2006. Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor. Hendratno, A. 2005. Peta Resiko Limpasan Tsunami Dalam Perbaikan Tata Ruang Pantai in Penerapan Hasil Riset Untuk Penanggulangan Bencana Tsunami di Indonesia (Sadikin et al. eds). Prosiding Seminar Tsunami dalam Kerangka Research on Tsunami Hazard and Its Effect onIndonesian Coastal Region(2002-2003-2004).BPPT Press. Jakarta. Westen C.V., 2000. Remote Sensing For Natural Disaster Management.International Archives of Photogrammetry and Remote Sensing.Vol. XXXIII, Part B7. Amsterdam.
125 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Upaya Pencegahan Penyakit Menular pada Bencana Tsunami Communicable Disease Prevention Efforts in Tsunami Mudatsir1 1
Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh Indonesia 23111, Email:
[email protected]
Abstrak Bencana tsunami adalah adalah peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Akibat dari tsunami tersebut adalah banyaknya korban yang luka yang berisiko infeksi dan berubahan bentang alam sehingga berpotensi hidupnya vektor pembawa penyakit menular. Penyakit menular adalah penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain virus, bakteri, jamur, dan parasit. Upaya mitigasi kesehatan pada bencana tsunami bertujuan untuk mengurangi timbulnya penyakit menular yang dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan sumber daya kesehatan maupun penyadaran korban bencana. Langkah-langkah prioritas yang sangat penting untuk mengurangi dampak penyakit menular adalah adanya data penyakit menular pada tahap pra bencana. Setelah bencana tsunami upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit menular adalah penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, surveilans dan deteksi cepat kasus penyakit berpotensi wabah, imunisasi, pencegahan malaria dan demam berdarah serta rencana kesiapsiagaan-siagaan pengendalian penyakit menular lainnya. Kata Kunci: Tsunami, mitigasi, penyakit menular Abstract The tsunami disaster is an event that is threatening and disrupting the lives and livelihoods caused by natural factors, resulting in the emergence of human fatalities, environmental damage, loss of property, and psychological impact. As a result of the tsunami is the number of the injured victim is at risk of infection and landscape changes so that potentially life communicable disease vector. Infectious disease is a disease that can be transmitted to humans caused by biological agents, such as viruses, bacteria, fungi, and parasites. Health mitigation efforts in the tsunami disaster aims to reduce the incidence of infectious diseases that can be done through awareness and capacity building of health resources as well as awareness of disaster victims. Priority measures that are critical to reducing the impact of infectious diseases is the presence of infectious disease data at pre-disaster phase. After the tsunami disaster efforts should be made for the prevention of infectious diseases is the provision of clean water, sanitation, surveillance and rapid detection of cases of potentially disease outbreaks, immunization, 126 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
malaria and dengue fever prevention and preparedness plans other infectious disease control. Keywords: Tsunami, Mitigation, Communicable Diseases
1. Pendahuluan Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No 24 Tahun 2007). Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam salah satunya adalah tsunami. Salah satu efek dari tsunami adalah risiko timbulnya penyakit menular. Penanggulangan penyakit menular pada bencana tsunami adalah upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan dan menghilangkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian, membatasi penularan, serta penyebaran penyakit agar tidak meluas antardaerah maupun antarnegara serta berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa/wabah. Dampak penyakit menular akan berisiko tinggi, bila terjadi bencana tsunami. Peningkatan penyakit endemik dan risiko timbulnya wabah harus dievaluasi sistematis dengan penilaian risiko secara komprehensif (Moszynski, 2005). Hal ini menjadi prioritas intervensi untuk mengurangi dampak dari penyakit menular pasca bencana. Upaya mitigasi kesehatan pada bencana tsunami bertujuan untuk mengurangi timbulnya penyakit menular yang dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan sumber daya kesehatan maupun penyadaran korban bencana. Langkah prioritas sangat penting untuk mengurangi dampak penyakit menular adalah adanya data penyakit menular pada tahap pra bencana (WHO, 2006). Setelah bencana tsunami upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit menular adalah penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, surveilans dan deteksi cepat kasus penyakit berpotensi wabah, imunisasi, pencegahan malaria dan demam berdarah serta rencana kesiapsiagaan-siagaan pengendalian penyakit menular lainnya. Diharapkan dengan dengan merinci prioritas dengan langkah-langkah yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi dampak dari penyakit menular berikut bencana tsunami, akan membantu untuk melindungi kesehatan masyarakat yang terkena bencana (Iwata et al., 2013). 2. Penyakit Menular pada Tsunami 2.1 Penyakit menular yang terkait kematian korban Adanya korban yang meninggal di daerah yang terkena tsunami merupakan risiko terjadinya wabah (de ville de Goyet C, 2004). Meskipun demikian beberapa fakta lain juga menyebutkan bahwa mayat tidak menimbulkan risiko wabah setelah bencana alam (Morgan O, 2004). Sebaliknya risiko wabah lainnya adalah terkait dengan parahnya daerah cakupan bencana, status kesehatan dan kondisi kehidupan penduduk mengungsi akibat bencana. Banyaknya pengungsi yang menempati daerah 127 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
penampungan, air yang tidak memadai dan sanitasi, dan akses yang buruk terhadap kesehatan layanan akan meningkatkan risiko penularan penyakit menular (WHO, 2006 ) Meskipun risiko keseluruhan wabah penyakit menular lebih rendah namun risiko yang lebih tinggi adalah bila terjadi penularan penyakit endemik dan epidemik yang terdapat di daerah bencana. Di Thailand penelitian Somboonna et al., (2014) dilaporkan adanya perubahan ekologi dari mikroba di daerah yang terkena tsunami dibandingkan dengan mikroba sebelum tsunami. 2.2. Penyakit Melalui Air (Water-borne Disease) Wabah penyakit diare dapat terjadi setelah terjadinya tsunami. Ketersediaan air dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan berpotensi terjadinya diare. Kontaminasi air minum dengan agen penyakit, telah dilaporkan pasca terjadinya tsunami. Wabah diare pasca bencana di Bangladesh pada tahun 2004 lebih dari 17 000 kasus. Hasil isolasi penyebab diare ditemukan bakteri Vibrio cholerae (O1 Ogawa dan O1 Inaba) dan enterotoksigenik Escherichia coli (Qadri et al., 2004). Lebih dari 16 000 kasus wabah kolera (O1 Ogawa) di West Bengal pada tahun 1998 ini terjadi setelah bencana (Sur, 2000). Risiko wabah penyakit diare akibat bencana alam lebih tinggi di Negara berkembang dibandingkan dengan di negara maju (Ahern et al., 2005). Di Kota Calang Propinsi Aceh ketika terjadi tsunami dua minggu setelah tsunami Desember 2004 seluruh penduduk (100%) dari korban tsunami minum dari sumur yang tidak dimasak, sekitar 85% dari penduduk tersebut dilaporkan menderita diare (Brennan et al., 2005). 2.3. Penyakit yang Berhubungan Dengan Tempat Pengungsian Kondisi di tempat pengungsian pasca tsunami juga faktor yang mempengaruhi transmisi penyaki. Sebaran penyakit di tempat pengungsian dipengaruhi oleh cakupan imunisasi korban sebelum terjadinya bencana. Beberapa penyakit juga dapat dicegah ditempat pengungsian dengan peberian imunisasi, seperti penyakit campak. Pemberian imunisasi ini untuk mencegah terjadinya wabah pada pengungsi akibat bencana alam (Marin et al., 2006). Di Aceh setelah tsunami ditemukan 35 kasus campak yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara. Kasus tersebut terjadi sporadis yang meskipun kampanye vaksinasi massal telah dilakukan dan kasus kematian akibat meningitis di tempat pengungsi tsunami di Aceh pernah juga dilaporkan ((Ministry of Health, Indonesia et al., 2005). Respon cepat dengan penggunaan antibiotik profilaksis, seperti yang dilakukan di Aceh dan Pakistan dapat menghambat transmisi penyakit khususnya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). ISPA merupakan penyebab utama penyebab morbiditas dan mortalitas di tempat pengungsi, terutama pada anak usia kurang 5 tahun. Daito et al., (2013) menyebutkan bahwa kurangnya akses ke layanan kesehatan dan antibiotik yang tidak adekuat untuk perawatan lebih lanjut meningkatkan risiko kematian akibat ISPA. Jumlah pengungsi yang terlalu banyak pada tempat penampungan merupakan penyumbang tertinggi kasus kematian di tempatt tsunami di Aceh pada tahun 2004 ((Ministry of Health, Indonesia et al., 2005).
128 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
2.4. Penyakit dengan Perantaran Vektor (Vector-borne Disease) Bencana tsunami akan merubah bentang alam sehingga mempengaruhi lingkungan. Perubahan tersebut akan berpengaruh perkembangbiakan vektor penularan penyakit. Adanya genangan air pasca tsunami a berpotensi sebagai tempat sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk. Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan populasi vektor yang berpotensi untuk transmisi penyakit. Menurut WHO (2015) air yang tidak mengalir atau tergenang sisa pada waktu tsunami merupakan tempat vector utama penyebab malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD). Faktor kerentanan penduduk juga merupakan faktor risiko terjadinya infeksi. Kerusakan infrastuktur pelayanan kesehatan juga merupakan factor risiko di daerah terjadinya tsunami. (Lifson, 1996). Transmisi vektor secara langsung tidak langsung terkait dengan tsunami, namun akibat perubahan lingkungan menyebabkan peningkatan ketersediaan tempat perkembangbiakan vektor. Risiko wabah penyakit bawaan vektor dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perubahan perilaku manusia seperti peningkatan paparan nyamuk waktu tidur di luar, perpindahan vektor dari daerah non endemik ke daerah endemik (WHO 2006) 2.5. Penyakit Lain yang Terkait Dengan Bencana Tsunami Beberapa penyakit lainnya juga pernah dilaporkan timbul pasca tsunami. Akibat korban luka, terutama pada populasi di mana tingkat cakupan vaksinasi rutin yang rendah, akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas terhadap tetanus. Ketika terjadi tsunami di Aceh ditemukan 106 kasus tetanus, sebanyak 20 kasus mengakibatkan (Aceh Epidemiology Group, 2006). Kasus yang sama juga dilaporkan di Pakistan setelah gempa bumi 2005. Wabah yang tidak biasa dari coccidiomycosis pernah terjadi tahun 1994 waktu gempa di Selatan California. Infeksi ini tidak ditularkan dari orang ke orang, tetapi disebabkan jamur, yang ditemukan dari dalam tanah.. Wabah ini dikaitkan dengan peningkatan kadar debu di udara setelah tanah longsor sebagai akibat dari bencana (WHO, 2006). 3. Pencegahan Penyakit Menular pada Tsunami Menurut WHO (2006) langkah-langkah prioritas berikut sangat penting untuk mengurangi dampak menular penyakit setelah bencana tsunami. 3.1. Tersedianya air Besih dan Sanitasi, Pencegahan penyakit menular sangat penting dilakukan pasca tsunami. Penyediaan air minum yang aman paling penting untuk pencegahan setelah bencana alam. Desinfektan seperti klorin harus tersedia dalam jumlah yang cukup karena desinfektan ini mudah digunakan dan efektif terhadap hampir semua patogen yang ditularkan melalui air (Moszynski, 2005). Perencanaan permukiman harus menyediakan akses yang memadai untuk kebutuhan air dan sanitasi serta memenuhi kebutuhan ruang minimum per orang, sesuai dengan standar internasional (WHO, 2006).
129 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3.2. Layanan Kesehatan Primer Akses kesehatan bagi semua warga pasca tsunami sangat diperlukan sangat penting untuk pencegahan, diagnosis dini dan pengobatan korban (Iwata et al., 2013). Menurut Depkes (2011) layanan kesehatan primer pasca bencana harus dikoordinasi mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat kecamatan/puskesmas. Pusat layanan kesehatan primer (Puskesmas) utama yang harus dilakukan adalah menyelenggaran kesehatan dasar di penampungan, memeriksa kualitas air dan sanitasi serta surveilans penyakit menular. Menurut WHO (2006) dampak langsung dari penyakit menular dapat dikurangi dengan intervensi oleh layanan kesehatan. 3.3. Surveillance dan sistem peringatan dini Deteksi cepat kasus wabah penyakit rawan sangat penting untuk memastikan kontrol yang cepat. Pengawasan dan peringatan dini harus cepat dilakukan untuk mendeteksi wabah dan memantau penyakit endemik prioritas.(WHO, 2006) Penyakit endemis di daerah bencana harus dimasukkan menjadi prioritas dalam sistem surveilans dalam penilaian risiko penyakit menular. Mukherjee (2010) menyebutkan bahwa pada beberapa situasi, ancaman mungkin juga ditemukan penyakit langka seperti virus demam berdarah, wabah atau tularaemia. Penilaian risiko penyakit menular yang komprehensif untuk dapat mengidentifikasi dan memprioritaskan ancaman penyakit ini secara dini, dengan cara: a. Petugas kesehatan harus dilatih untuk mendeteksi penyakit prioritas dengan cepat untuk dilaporkan ke jenjang yang lebih tinggi;. b. Sampel dan transportasi bahan pemeriksaan harus dilakukan secepatnya untuk merespon bila terjadinya wabah, seperti kolera. Diperlukan kit yang dapat mendeteksi dengan cepat penyakit endemik di daerah kolera dianggap berisiko. 3.4. Imunisasi Beberapa imunisasi diperlukan untuk beberapa penyakit yang berisiko di daerah terjadinya tsunami. Menurut WHO (2006) beberpa imunisasi yang dianjurkan adalah: a. Imunisasi missal campak deperlukan bersama pemberian vitamin A menjadi prioritas kesehatan segera setelah bencana alam di daerah dengan tidak memadai tingkat cakupan imunisasi sebelumnya rendah. Kelompok umur prioritas adalah anak-anak yang berumur 6 bulan sampai 5 tahun serta anak sampai usia 15 tahun jika sumber dana memungkinkan. b. Vaksin tifoid sekarang tidak direkomendasikan untuk imunisasi massal untuk mencegah penyakit tifus. Vaksinasi tipus dalam hubungannya dengan tindakan pencegahan lainnya mungkin berguna untuk mengendalikan wabah tipus, tergantung pada keadaan setempat (Sutiono et al., 2010). c. Vaksin Hepatitis A umumnya tidak dianjurkan untuk mencegah wabah di bencana.
130 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3.5. Pencegahan malaria dan demam berdarah Pencegahan penyakit malaria harus didasarkan pada informasi lokal, termasuk pada spesies parasit dan vektor utama yang terdapat di daerah tsunami. Menurut Muriuki et al., ( 2012) data penyakit malaria di tempat terjadinya tsunami sangat penting sebagai data awal untuk menyusun program pencegahan terjadinya malaria pasca tsunami. Peningkatan jumlah nyamuk biasanya tidak terjadi saat setelah tsunami. Pada saat setelah tsunami ada waktu untuk untuk pelaksanaan langkah-langkah pencegahan penyakit malaria, seperti penyemprotan daerah tersebut dengan insektisida, pengobatan bagi yang sudah terinfeksi sebelum tsunami. Penggunaan kelambu berinsektisida juga salah satu cara pencegahan terhadap infeksi malaria. Menurut WHO (2006) deteksi dini wabah malaria dapat ditingkatkan dengan monitoring terhadap kasus mingguan dan harus menjadi bagian dari pengawasan serta menjadi sistem peringatan din terhadap malaria. Konfirmasi hasil laboratorium secara berkala secara cepat dan tepat sangat direkomendasikan untuk melacak hasil slide positif. Pengobatan dengan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) harus disediakan gratis bagi korban tsunami yang positif malaria di daerah tsunami. Pencarian secara aktif untuk kasus demam (suspek) sangat diperlukan untuk mengurangi angka kejangkitan dan untuk mengurangi kematian (Muriuki et al., 2012). Untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) upaya pencegahan utama yang dilakukan adalah dengan cara pengendalian vektor. Perubahan bentang alam akibat tsunami juga diperkirakan akan meningkatkan potensi hidupnya vektor. Oleh karena itu peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pendidikan kesehatan kepada masyarakat harus terus ditingkatkan. Peningkatan pengetahuan akan menekankan tempat vektor penyakit DBD (WHO, 2006) 4. Rencana kesiapsiagaan dalam pengendalian penyakit menular pada tsunami Meskipun kematian terkait bencana disebabkan oleh trauma, namun kesiap-siagaan dampak dari bencana harus dipersiapkan secara dini. Dampak kesehatan yang berhubungan dengan bencana sering menjadi masalah dalam penanganan bencana. Oleh karena itu perencanaan mulai dari fasilitas air bersih dan sanitasi harus dipersiapkan pada saat mitigasi bencana. Tim tanggap bencana bidang kesehatan harus menyadari dan memiliki akses ke update terbaru untuk pengendalian dan pencegahan penyakit menular (Menkes RI, 2014). Risiko penularan endemik penyakit menular, seperti ISPA dan penyakit diare pada pengungsi yang meningkat harus mendapat perhatian yang serius. Oleh karena itu bila penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan di daerah bencana maka dapat menimbulkan kesakitan, kematian, dan kecacatan yang tinggi. Dengan demikian perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan yang efektif dan efisien serta terpadu. 5. Kesimpulan Upaya mitigasi untuk mengurangi timbulnya penyakit menular pada bencana tsunami dapat dilakukan melalui penyadaran dan peningkatan kemampuan sumber daya kesehatan maupun penyadaran korban bencana. Langkah-langkah prioritas yang sangat penting untuk mengurangi dampak penyakit menular adalah adanya data penyakit menular pada tahap pra bencana. Setelah bencana tsunami upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit menular adalah penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, surveilans dan deteksi cepat kasus penyakit 131 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
berpotensi wabah, imunisasi, pencegahan malaria dan demam berdarah serta rencana kesiapsiagaan-siagaan pengendalian penyakit menular lainnya.
Daftar Pustaka Aceh Epidemiology Group. 2006. Outbreak of tetanus cases following the tsunami in Aceh province Indonesia. Global Public Health.1:173-177. Ahern M, Kovats RS, Wilkinson P, Few R and Matthies F.2005 Global health impacts of floods: epidemiologic evidence. .Epidemiologic Reviews. 27:36–46. Brennan RJ, Rimba K. 2005. Rapid health assessment in Aceh Jaya District, Indonesia,following the December 26 tsunami. Emergency Medicine Australasia, 17:341–350. Daito H, Suzuki M, Shiihara J, Kilgore PE, Ohtomo H, Morimoto K, Ishida M, Kamigaki T, Oshitani H, Hashizume H, Endo W, Hagiwara K, Ariyoshi K and Okinaga S. 2013. Impact of the Tohoku earthquake and tsunami on pneumonia hospitalisations and mortality among adults in northern Miyagi, Japan: a multicentre observational study. Thorax . 68:544–550. Depkes RI. 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana. Depkes RI. Jakarta de ville de Goyet C. 2004. Epidemics caused by dead bodies: a disaster myth that does notwant to die. Pan American Journal of Public Health. 15:297–299. Iwata I, Oki T, Ishiki A, Shimanuki M, Fuchimukai T, Chosa T, Chida S, Nakamura Y, Shima H, Kanno M, Matsuishi T, Ishikib M and Urabe D. 2013. Infection surveillance after a natural disaster: lessons learnt from the Great East Japan Earthquake of 2011. Bulletin World Health Organization . 91:784–789 Lifson AR. 1996. Mosquitoes, models, and dengue. Lancet. 347:1201–1012. Marin M, Nguyen HQ, Langidrik JR, Edwards R Briand K, Papania MJ, Seward JF and LeBaron CW. 2006; 2 Measles transmission and vaccine effectiveness during a large outbreak on a densely populated island: implications for vaccination policy. Clinical Infectious Diseases. 42:315–319. Ministry of Health, Indonesia; World Health Organization; Global Outbreak Alert and Response Network (GOARN) partners; Centers for Disease Control and PreventionUSA; Epicentre-France; European Programme for Intervention Epidemiology Training (EPIET)-Sweden; Health Protection Agency-UK; Institut de Veille Sanitaire-France; Australian Biosecurity CRC at Curtin UniversityAustralia; Macfarlane Burnet Institute-Australia; Mailman School of Public Health, 132 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Columbia University-USA; Universiti of Malaysia-Sarawak; UNICEF, Khalakdina A. 2005. Epidemic-prone disease surveillance and response after the tsunami in Aceh Province, Indonesia. Weekly Epidemiological Record. 80:160–164. Morgan O. 2004. Infectious disease risks from dead bodies following natural disasters. .Pan American Journal of Public Health. 15:307–311. Moszynski P. 2005. Disease threatens millions in wake of tsunami. British Medical Journal. 330: 59-60. Mukherjee N, Dahdouh-Guebas F, Kapoor V, Arthur R, Koedam N, Sridhar A and Shanker S. 2010. From Bathymetry to Bioshields: A Review of Post-Tsunami Ecological Research in India and its Implications for Policy. Environmental Management. 46:329–339. Muriuki D, Hahn S, Hexom B and Allan R.. 2012. Cross-sectional survey of malaria prevalence in tsunami-affected districts of Aceh Province, Indonesia. International Journal of Emergency Medicine. 5: 2-5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 Tentang Penaggulangan Penyakit Menular. Depkes RI. Jakarta. Qadri F, Khan AI, Faruque AS, Begum YA, Chowdhury F, Nair GB, Salam MA, Sack DA, Svennerholm AM. 2005, Enterotoxigenic Escherichia coli and Vibrio cholerae diarrhea, Bangladesh, 2004. Emerging Infectious Diseases. 11:1104–1107. Sur D. 2000. Severe cholera outbreak following floods in a northern district of WestBengal. Indian Journal of Medical Research. 112:178–182. Sutiono AB, Qiantori A, Suwa H and Ohta H. 2010.SCharacteristics and risk factors for typhoid fever after the tsunami, earthquake and under normal conditions in Indonesia. BMC Research Notes. 3:5-9. Somboonna N; Wilantho A; Jankaew K; Assawamakin A; Sangsrakru D; Tangphatsornruang S and Tongsima S. 2014. Microbial Ecology of Thailand Tsunami and Non-Tsunami Affected Terrestrials. Plos One.. 9 (4): 1-13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana World Health Organization. 2006. Communicable diseases following natural Disasters: Risk assessment and priority interventions. Geneva. World Health Organization. 2015. Questions and answers: South Asia earthquake and tsunami. Akses online 6 November 2015. URL http://www.who.int/water_sanitation_health/tsunami_qa/en/index1.html
133 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Persepsi Masyarakat Terhadap Pemberdayaan dan Kepercayaan Pada Kredibilitas Lembaga Dalam Rangka Kesiapsiagaan Tsunami Public Perception toward the empowerment and trust against the institution credibility in the context of tsunami preparedness Any Nurhayaty1, Thomas D Hastjarjo2, Supra Wimbarti2, RadiantaTriatmadja3 Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, E-mail:
1
[email protected] Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
2
Abstrak Indonesia merupakan negara yang rawan tsunami.karena terletak pada tiga lempeng aktif dunia. Tsunami dapat terjadi kapan saja tanpa diduga terlebih dahulu. Oleh karenanya, kesiapsiagaan masyarakat menjadi salah satu point penting untuk mengurangi risiko bahaya. Tindakan kesiapsiagaan dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap lembaga dalam memberdayakan anggota masyarakatnya dan persepsi individu pada kredibilitas suatu lembaga.. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap pemberdayaan dan kepercayaan terhadap kredibilitas lembaga dalam rangka kesiapsiagaan tsunami. variabel tersebut saling berinteraksi terhadap keputusan seseorang untuk bersiap-siap terhadap tsunami yang dimediasi oleh niat bersiap-siap menghadapi tsunami Data dikumpulkan dengan menggunakan skala terhadap masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami di Aceh dan Parangtritis. Mereka tinggal atau melakukan kegiatan di daerah rawan tsunami, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan Untuk melihat keterkaitan antar variabel, maka analisis data menggunakan perangkat lunak Analysis of Moment Structures (AMOS) versi 18.0. Keterkaitan antar variabel menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap pemberdayaan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kesiapsiagaan tsunami dibandingkan dengan kepercayaan. Oleh sebab itu, peran intitusi untuk memberdayakan masyarakat menjadi hal perlu diperhatikan dalam meningkatkan kesiapsiagaan. Kata kunci : persepsi, pemberdayaan, kredibilitas lembaga, kepercayaan, kesiapsiagaan.
134 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Abstract Indonesia’s location is at the juntion of 3 tectonic folds, the probability to experience tsunami is high. Tsunamis can occur at any time without prior warning. Therefore, community preparedness is one important point to reduce the risk of its hazard. This preparedness is influenced by the public perception toward the institution to empower the members of the community and the individual's perception of institution’s credibility. This research aims to determine the public perception toward the empowerment and trust in the institution’s credibility in the context of tsunami preparedness. These variables interact on a person's decision to prepare for the tsunami which is mediated by the intention of preparing for tsunami. Data were collected using the scale toward the community who live in areas prone to tsunami in Aceh and Parangtritis. They, either males or females, live or have activities in tsunami-prone areas. To see the relationship between variables, the data analysis used the software Analysis of Moment Structures (AMOS) version 18.0. The linkage between variables showed that the public perception of empowerment had a greater influence on tsunami preparedness compared to people’s belief. Therefore, the role of institutions to empower the people must be considered to improve people’s preparedness. Keywords: perception, empowerment, institution’s credibility, trust, preparedness
1. Pendahuluan Secara geografis wilayah Indonesia merupakan wilayah rawan gempa bumi dan tsunami karena letaknya yang berada pada tiga lempeng tektonik bumi. Perubahan posisi ketiga lempeng tersebut dapat menimbulkan bencana tsunami seperti bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang telah menghancurkan Aceh dan Nias dengan jumlah korban mencapai ratusan ribu jiwa serta bencana tsunami yang terjadi pada tanggal 17 Juli 2006 di Pantai Selatan Jawa dengan korban mencapai 500 jiwa. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana (United Nations International Stategy for Disaster Reduction/UNISDR) menghitung risiko berdasarkan jumlah manusia yang ada di daerah rawan bencana yang mungkin kehilangan nyawa karena bencana. Indonesia menduduki peringkat tinggi dengan risiko tsunami yang bisa membunuh penduduk Indonesia paling tidak sebanyak 5.402.239 jiwa. Triatmadja (2010) menguraikan tentang korban tsunami berdasarkan olahan data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Indonesia merupakan negara yang berada pada urutan pertama korban meninggal dengan 50 kali kejadian tsunami mengakibatkan korban meninggal melebihi 275.000 orang walaupun jumlah dan frekuensi kejadian tsunami di Indonesia lebih sedikit jika dibandingkan Jepang. Tidak ada yang tahu kapan dan dimana tsunami terjadi dan akibat yang ditimbulkannya meningkat bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan timbulnya bencana tersebut. Tsunami mengakibatkan kerugian yang sangat besar, baik kerugian yang dapat diperhitungkan seperti kerusakan lingkungan dan infrastruktur (bangunan, jembatan, jalan raya, tanah/tebing longsor)
135 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
maupun kerugian yang tidak dapat diperhitungkan seperti kehilangan nyawa manusia dan trauma psikologis bagi mereka yang masih hidup (Triatmadja, 2010). Dampak psikologis yang muncul beraneka ragam setelah terjadinya tsunami. Para korban yang masih hidup mengalami hantaman psikologis yang berat karena menyaksikan dan mengalami langsung bencana. Reaksi psikologis yang buruk tadi tidak hanya dialami oleh para korban selamat yang mengalami kejadian langsung. Para pekerja kemanusiaan, sukarelawan, tenaga medis juga akan merasakan gejalanya walaupun tidak mengalami kejadian secara langsung (Kharismawan, 2014). Selain dampak psikologis, banyak kekerasan (violence) terjadi pada anak dan perempuan pasca bencana. Murtakhamah (2011) menguraikan bahwa perempuan dapat mengalami kekerasan fisik (pemukulan, penganiayaan), psikologis (ancaman, pembatasan kegiatan), seksual (pelecehan seksual, perkosaan), maupun ekonomi (menjadi korban perdagangan perempuan dan anak, dijadikan pelacur), karena keadaan sangat tidak stabil, tingkat stress tinggi, dan keadaan terbatas. Kekerasan dapat dilakukan oleh suami, ayah, relawan kemanusiaan, sesama pengungsi, maupun aparat pemerintahan. Penelitian yang dilakukan di Selandia Baru menunjukkan bahwa pelaporan terjadinya kekerasan meningkat secara signifikan setelah bencana (Houghton, 2009a, 2009b; Houghton, et al., 2010). Bencana akan berdampak pada individu dan masyarakat serta mengganggu mekanisme masyarakat dan sosial. Kejadian tsunami di Indonesia yang menimbulkan kerugian besar, membuat pemerintah dan masyarakat mulai memperhatikan pentingnya kesiapsiagaan terhadap tsunami. LIPI-UNESCO/ISDR (2006) mengacu pada undangundang nomor 24 tahun 2007 menyebutkan bahwa kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting dari kegiatan pengurangan risiko bencana yang bersifat pro-aktif, sebelum terjadinya suatu bencana. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Kesiapsiagaan bertujuan untuk mengantisipasi masalah yang ditemui dalam bencana sehingga dapat disusun suatu cara atau metode untuk mengatasi masalah secara efektif dan menyiapkan sumber daya yang dibutuhkan sebagai suatu respon yang efektif yang sudah ada sebelumnya (Mileti, 1999). Berdasarkan pada penelitian sebelumnya disimpulkan bahwa kesiapsiagaan individu dipengaruhi oleh keyakinan terhadap ahli dan sumber-sumber informasi yang dipercaya berdasarkan interpretasinya terhadap bahaya yang jarang terjadi dan kompleks (Paton, et. al 2008a; Paton et al. 2008b; Paton, et al, 2008c). Sejalan dengan hal ini, Tobin (1999) mengemukakan bahwa perilaku kesiapsiagaan lebih mungkin untuk dipertahankan jika individu memiliki keyakinan terhadap lembaga yang ada. Dengan demikian, persepsi individu terhadap institusi atau lembaga merupakan salah satu hal yang penting dalam kesiapsiagaan. Kesediaan bertanggung jawab atas keselamatan mereka sendiri meningkat, dan keputusan untuk mempersiapkan diri menjadi lebih mungkin, jika mereka percaya bahwa hubungan mereka dengan lembaga formal baik dan memberdayakan (misalnya lembaga dianggap dapat dipercaya) (Lion et al., 2002;. Paton & Bishop, 1996; Poortinga & Pidgeon, 2004). Jika mereka menganggap bahwa lembaga tidak benar, konsekuensinya adalah hilangnya kepercayaan (yaitu, sumber informasi) dan mengurangi kemungkinan orang akan bertindak berdasarkan informasi tersebut dan mempersiapkan diri.
136 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kepercayaan adalah kemauan seseorang untuk peka terhadap tindakan orang lain berdasarkan pada harapan bahwa orang lain akan melakukan tindakan tertentu pada orang yang mempercayainya, tanpa tergantung pada kemampuannya untuk mengawasi dan mengendalikannya (Mayer et. al., 1995). Menurut Kee dan Knox (1970) perilaku mempercayai atau mencurigai individu dihasilkan dari evaluasi subyektif dari sifat bisa dipercaya orang lain. Paton (2008) menguraikan bahwa tingkat kepercayaan akan tergantung pada pengalaman sebelumnya (yang memiliki atau tidak memiliki apapun untuk masalah bahaya), kemampuan masyarakat untuk merumuskan kebutuhan mereka dan merasakan ketertarikan terhadap hasil, dan kemungkinan merasakan hasil yang dicapai. Berkenaan dengan bencana, hubungan kepercayaan ada di antara anggota masyarakat dan perencana darurat serta sistem sosial/kelembagaan di mana mereka berada. Signifikansi dari hubungan antara masyarakat dengan lembaga berasal dari peran penting kepercayaan ketika orang harus membuat keputusan dalam kondisi ketidakpastian (Earle & Cvetkovich, 1995; Siegrist & Cvetkovich, 2000). Sifat jarang dan kompleksitas dari tsunami membuat masyarakat harus berurusan dengan ketidakpastian. Keyakinan terhadap kebenaran informasi yang disampaikan dan pengalaman masa lalu terhadap sumber-sumber informasi yang dipercaya menjadi atribut individu yang penting seiring dengan meningkatnya ketidakpastian (Siegrist & Cvetkovich, 2000; Sjoberg, 1999). Kepercayaan terhadap kredibilitas lembaga akan mengurangi ketidakpastian dan kompleksitas yang dihadapi ketika dihadapkan dengan situasi yang bahaya dan jarang terjadi seperti tsunami. Tingkat dimana lembaga memberdayakan anggota masyarakat akan mempengaruhi kepercayaan dan mendorong individu untuk bertindak berdasarkan informasi. Pemberdayaan menggambarkan evaluasi masyarakat tentang sejauh mana mereka merasa bahwa pengalaman dengan sumber informasi telah memfasilitasi kemampuan mereka untuk mencapai kebutuhan dan tujuan di masa lalu (Earle, 2004; Paton & Bishop, 1996). Pemberdayaan terjadi melalui hubungan kerja sama antara individu lain dan masyarakat. Pemberdayaan mencerminkan kualitas hubungan timbal balik (keadilan sosial) antara anggota masyarakat serta antara anggota masyarakat dan lembaga kemasyarakatan (Eng & Parker, 1994; Paton & Bishop, 1996). Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disampaikan akan semakin tinggi apabila masyarakat merasa telah dipeuhi kebutuhannya oleh lembaga-lembaga sipil. Hal ini juga membuat masyarakat menggunakan informasi tersebut untuk merumuskan dan bertindak untuk mengurangi risiko. Berdasarkan uraian di atas, hal yang menarik untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap pemberdayaan dan kepercayaan terhadap kredibilitas lembaga berpengaruh terhadap tingkat kesiapsiagaan tsunami dimediasi oleh niat. Dalam interaksi antar variabel, pemberdayaan berpengaruh terhadap kepercayaan dan kepercayaan berpengaruh terhadap niat (Bajek, Matsuda, dan Okada, 2008; Paton et. al., 2008b; Paton et. al., 2008c; Paton et al., 2010c; dan Sagala, et al., 2009). Kemudian niat berpengaruh terhadap kesiapsiagaan terhadap tsunami (Tatsuki, et al., 2004; Paton et. al. 2008b; Wimbarti & Nurhayaty 2011).
137 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
2. Metode Penelitian 2.1 Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua wilayah rawan tsunami yaitu Parangtritis dan Banda Aceh. Parangtritis merupakan daerah rawan tsunami yang terkena dampak tsunami Pangandaran pada tahun 2006. Wilayah pesisir Parangtritis yang langsung menghadap laut lepas dan tidak terdapat pulau yang dapat meredam gelombang tsunami sehingga gelombang tsunami yang menerpa akan menyebabkan daya rusak yang besar. Aceh merupakan daerah rawan tsunami yang mengalami kejadian tsunami besar secara langsung pada tahun 2004. Sampel diambil dari wilayah yang rawan tsunami di Parangtritis yaitu Grogol, Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, dan Pantai Depok. Pantai Parangkusumo dan Pantai Depok berada di sebelah barat Pantai Parangtritis. Wilayah tersebut merupakan wilayah pesisir Pantai Selatan yang rawan tsuami. Pantai Parangtritis, Pantai Parangkusumo, dan Pantai Depok langsung menghadap laut lepas dan tidak terdapat pulau yang dapat meredam tsunami sehingga akan menyebabkan daya rusak yang besar. Sampel untuk Banda Aceh diambil berdasarkan wilayah yang terkena dampak tsunami tahun 2004 yaitu Merduati, ULee Lheue, dan Lampulo. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah accidental sampling. Penelitian ini melibatkan 959 orang yang terdiri dari 476 orang dari Parangtritis dan 483 orang dari Banda Aceh. Mereka tinggal atau melakukan kegiatan di daerah tersebut, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan 2.2 Pengumpulan Data Untuk memperoleh data tentang variabel dalam penelitian ini digunakan empat instrumen berupa skala penelitian. Adapun skala tersebut adalah : a. Skala kesiapsiagaan Skala kesiapsiagaan ini mengacu pada komponen kesiapsiagaan dari LIPI – UNESCO/ISDR (2006) yang terdiri dari 4 aspek pengetahuan tentang resiko bencana, rencana untuk keadaan darurat bencana, sistim peringatan bencana, dan kemampuan untuk memobilisasi sumber daya. Skala kesiapsiagaan ini menggunakan skala Guttman (1993) dengan dua alternatif jawaban “Ya” dan “Tidak”. Jawaban “ya” akan diberikan nilai 2, untuk jawaban “tidak” diberikan nilai 1. Skala ini terdiri dari 18 pertanyaan. b. Skala pemberdayaan Skala pemberdayaan dalam penelitian ini mengacu pada dimensi pemberdayaan dari Speer dan Paterson (2000). Skala ini terdiri dari 5 pernyataan yang disusun berdasarkan lima kategori jawaban dengan rentang 5 - 1 untuk jawaban selalu, berarti banyak, kadang-kadang, tidak begitu banyak, tidak sama sekali.
138 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
c. Skala kepercayaan Skala yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model yang Kee dan Knox (1970). Skala ini terdiri 11 pernyataan dari tiga faktor yaitu disposisional, situasional dan struktural, dan pengalaman. Penyusunan skala ini berdasarkan skala likert (1932) dengan lima kategori dengan rentang 1 – 5 yaitu sangat setuju, setuju, antara setuju dan tidak setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju rentang nilai antara 5-1 untuk pertanyaan favorabel dan 1-5 untuk pertanyaan yang unfavorabel.
d. Skala niat Skala intensi dalam penelitian ini mengacu pada komponen niat Paton et.al., (2008b). Skala ini terdiri dari 7 pernyataan yang terdiri dari tiga kategori jawaban yaitu tidak, mungkin, dan pasti dengan rentang 1 – 3. Nilai satu untuk jawaban tidak, nilai dua untuk menjawab mungkin, dan nilai tiga untuk menjawab pasti.
2.3 Analisis Data Beberapa tahapan yang dilakukan untuk menganalisis data yaitu Pertama. Data yang terkumpul diperiksa baik oleh asisten penelitian maupun oleh peneliti. Skala yang tidak lengkap atau maksimal tidak mengisi lima butir tidak diproses lebih lanjut. Kedua. Pengujian konstruk dengan menggunakan confirmatory factor analysis (CFA). Mengacu pada pendapat Garver dan Mentzer (1999)), validitas konstruk pada penelitian ini dinilai dari beberapa cara (a). validitas konvergen (convergent validity) dengan batas nilai > 0,50 diterima ≥ 0,70 ideal, (b) reliabilitas konstruk (construct reliability) dengan batas nilai > 0,70, (c) validitas diskriminan (discriminant validity) dengan batas nilai > 0,70 baik 0,60 – 0,70 dapat diterima, dan (d) variance extracted (AVE) dengan batas nilai ≥ 0,50. Ketiga. Pengujian evaluasi asumsi model struktural dilakukan sebelum menguji model struktural adalah normalitas data dan evaluasi outlier. Critical ratio skewness value adalah 2,47 yang berarti masih di bawah harga mutlak 2,58 yang berarti data terdistribusi normal. Dengan demikian, pemeriksaan outlier tidak diperlukan apabila asumsi normalitas multivariate telah terpenuhi (Dachlan, 2014). Keempat. Untuk melihat keterkaitan antar variabel eksogenus terhadap endogenus, digunakan Model Persamaan Struktural atau Structural Equation Model (SEM) dengan menggunakan perangkat lunak Analysis of Moment Structures (AMOS) versi 18.0. Adapun cut-off value SEM adalah AGFI (adjusted goodness of fit) > 0.90, GFI (goodness of fit index) > 0.90, CMIN/DF < 5, CFI (comparative fit index) > 0.90, dan RMSEA (root mean square error of approximation) 0.05 - 0.08.
139 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3. Hasil dan Diskusi Hasil menunjukkan bahwa ada kesesuaian antara model teoritis dengan data faktual kesiapsiagaan terhadap tsunami yaitu AGFI = 0,916, GFI = 0,935, CMIN/DF = 3,626, CFI = 0,861, RMSEA = 0,062. Hasil dapat dilihat pada gambar 1 Gambar 1 menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap pemberdayaan dan kepercayaan terhadap kredibilitas lembaga menunjukkan hubungan yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan dukungan dari lembaga untuk memberikan pengetahuan tentang risiko bencana. Situasi bencana seperti tsunami merupakan suatu keadaan yang tidak pasti. Oleh sebab itu Johnson-George dan Swap (1982) serta Sjoberg (2000) mengungkapkan bahwa masyarakat akan mengandalkan sumber informasi yang dapat dipercaya. Lebih jauh, Earle (2004) menjelaskan bahwa kepercayaan berpengaruh pada persepsi individu terhadap kemampuan dan kredibelitas informasi yang diberikan karena orang yang percaya dengan informasi yang diberikan oleh suatu organisasi atau lembaga akan melakukan tindakan kesiapsiagaan. Bukti bahwa hubungan antara masyarakat dan variabel institusi mendukung pandangan bahwa orang akan cenderung merasa diberdayakan oleh lembaga. Anggota masyarakat yang merasa diberdayakan akan meningkatkan kepercayaannya terhadap lembaga. Hal ini tampak dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemberdayaan memiliki pengaruh terhadap kepercayaan di model kesiapsiagaan terhadap bencana, yaitu β = 0,45 dengan p = 0,01. Hasil ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya tentang model bencana yang menyebutkan bahwa pemberdayaan memiliki hubungan yang positif dan signifikan (Paton, 2008; Paton et. al., 2008a; Paton et. al., 2008b; Paton et. al., 2010; Sagala et. al., 2009). Besarnya nilai pemberdayaan dibandingkan dengan variabel yang lain menunjukkan bahwa pemberdayaan menjadi penting untuk meningkatkan kepercayaan. Masyarakat membutuhkan tindakan nyata dari lembaga untuk meningkatkan kepercayaan. Semakin tinggi kepercayaan mereka terhadap lembaga-lembaga tersebut sebagai sumber informasi maka semakin besar kemungkinan masyarakat untuk mencari informasi dari sumber-sumber dipercaya dan berkeinginan untuk menggunakannya untuk merumuskan rencana kesiapsiagaan bencana mereka yang dalam hal ini disebut sebagai niat bersiap-siap terhadap tsunami. Sejalan dengan pendapat Earle (2004) serta
Gambar 1. Hasil perhitungan interaksi antar variabel 140 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kee dan Knox (1970) yang menyatakan bahwa kepercayaan berpengaruh pada persepsi individu terhadap kemampuan dan kredibilitas informasi yang diberikan. Orang yang percaya dengan informasi yang diberikan oleh instansi akan melakukan tindakan kesiapsiagaan. McGee dan Russell (2003), Vogt et. al. (2005), dan Winter, et al. (2004) mengungkapkan bahwa kepercayaan berada di antara anggota masyarakat dan perencana darurat, serta institusi dimana mereka berada. Pada saat dihadapkan dengan keadaan yang tidak pasti seperti bencana, orang akan mengandalkan sumber informasi yang dapat dipercaya (Johnson-George & Swap, 1982; Sjoberg, 1999). Penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa kepercayaan merupakan prediktor yang signifikan terhadap niat untuk bersiap-siap terhadap bencana (Paton, 2008). Demikian pula penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Paton, et al. (2008a), Paton et. al. (2008b), Paton et. al. (2010), dan Sagala et. al. (2009) menyimpulkan bahwa kepercayaan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap niat untuk bersiap-siap terhadap bencana. Adanya variabel kepercayaan dalam model ini menggambarkan tingkat kepercayaan yang tinggi oleh masyarakat setempat untuk tanggap bencana saat ini. Berdasarkan teori perilaku terencana, norma subjektif diasumsikan sebagai suatu fungsi dari beliefs yang secara spesifik menunjukkan persetujuan seseorang untuk menampilkan suatu perilaku (Ajzen, 1991). Keyakinan-keyakinan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga keyakinan normatif (normative beliefs). Dalam kontek bencana, keyakinan normatif adalah (1) faktor yang mencerminkan pengalaman yang sebenarnya; dan (2) persepsi dan keyakinan yang dibentuk dari interaksinya dengan orang lain, berita media, dan sebagainya (Paton, 2000). Kedua hal tersebut mengambarkan peran potensial dari faktor normatif. Oleh sebab itu, pemberdayaan, dan kepercayaan merupakan faktor normatif yang berpengaruh terhadap niat secara langsung maupun tidak langsung (Paton, 2003). Selanjutnya Niat untuk bersiap-siap menghadapi tsunami secara langsung memiliki kontribusi pada kesiapsiagaan terhadap tsunami, yaitu β = 0,18 dengan p = 0,01. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian terdahulu tentang niat bersiap-siap menghadapi bencana yang dilakukan oleh Paton et.al (2008b, 2009, 2010), Sagala et. al. (2009), Tatsuki et al., (2004), dan Wimbarti & Nurhayaty (2011). Menurut Ajzen (2002), niat merupakan faktor motivasional yang mempengaruhi suatu perilaku dan merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Dalam konteks bencana, Tatsuki et al., (2004) menyatakan bahwa niat untuk berperilaku merupakan variabel yang berpengaruh terhadap derajat individu untuk melakukan mitigasi terhadap bencana dan tindakan kesiapsiagaan individu dalam menghadapi bencana. Individu lebih mungkin mencapai tujuan atau melakukan tindakan jika mengimplementasikan niat (Gollwitzer, 1999). Menurut Gollwitzer (1999), implementasi niat meningkatkan pencapaian tujuan karena mendorong individu untuk mengingatkan niat mereka dalam mencapai tujuan.
141 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
4. Kesimpulan dan Saran a. Persepsi masyarakat terhadap pemberdayaan dan kepercayaan pada kredibilitas lembaga menunjukkan bahwa masyarakat membutuhkan dukungan dari lembaga untuk memberikan pengetahuan tentang risiko bencana. b. Hasil penelitian ini juga menyoroti pentingnya pemberdayaan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, peran institusi atau lembaga untuk memberdayakan masyarakat menjadi hal yang perlu diperhatikan. Koordinasi yang tepat antara lembaga dan komunitas lokal akan meningkatkan kepercayaan dan selanjutnya memotivasi individu untuk mencari informasi dan melakukan kesiapsiagaan. Selain itu setiap kegiatan-kegiatan untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi bencana harus ditindak lanjuti dengan pemberdayaan. Misalnya kegiatan simulasi evakuasi bencana harus ditindak lanjuti dengan pembangunan infrastruktur seperti pembuatan jalur evakuasi dan pemberian tanda-tanda arah evakuasi.
Ucapan Terimakasih Penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Prof. Ir. Radianta Triatmadja, PhD yang selalu mendorong untuk selalu meluangkan waktu untuk menulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh responden penelitian yang telah meluangkan waktu untuk mengisi skala penelitian.
Daftar Pustaka Ajzen, I., 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50. 179 - 211. Ajzen, I., 2002. Perceived Behavioral Control, Self-Efficacy, Locus of Control, and The Theory of Planned Behavior. Journal of Applied Social Psychology, 32, 665-683. Bajek, R, Okada, N., & Takeuchi, Y., 2007. Modeling Social Resilience to Earthquakes and Role of Community Participation in it. Jepang Dachlan, U. (2014). Panduan Lengkap Struktural Equation Modeling. Semarang: Lentera Ilmu. Earle, T., (2004). Thinking Aloud About Trust: A Protocol Analysis Of Trust In Risk Management. Risk Analysis, 24: 169-183. Earle, T.C. & Cvetkovich, G.T., 1995. Social Trust:Towards A Cosmopolitan Society. Wesport: Praeger. Garver, M.S. & Mentzer, J.T., 1999, Logistics Research Methods: Employing Structural Equation Modeling To Test For Construct Validity. Journal of Business Logistics, 20(1), 3357.
142 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gollwitzer, P. M., 1999. Implementation intentions: Strong effects of simple plans. American Psychologist, 54, 493-503 Guttman, L., 1993. Louis Guttman on Theory and Methodology: Selected Writings. Dartmouth Pub Co Houghton., R. 2009a. Everything Became A Struggle, An Absolute Struggle: Flood-Related Domestic Violence Increases in New Zealand. Dalam Enarson, E., dan Chakrabarti, D. Women, Gender and Disaster: Globalissues and initiatives (pp 99 – 111). India: Sage Publications Houghton R. 2009b. Domestic Violence Reporting And Disasters In New Zealand. Regional Development Dialogue 30:79-90. Houghton R., Wilson T., Smith W., & Johnston D., 2010. If There Was a Dire Emergency, We Never Would Have Been Able to Get in There: Domestic Violence Reporting and Disasters. International Journal of Mass Emergencies and Disasters, 28. 270–293 Johnson-George, C., & Swap, W. C., 1982. Measurement Of Specific Interpersonal Trust: Construction And Validation Of A Scale To Assess Trust In A Specific Other. Journal of Personality and Social Psychology, 43. 1306 – 1317 Kee, H. W., & Knox, R. E., 1970. Conceptual And Methodological Considerations In The Study Of Trust And Suspicion. Journal of Conflict Resolution, 14, 357–366. Kharismawan, K., 2014. Panduan Program Psikososial Paska Bencana. Semarang: Center For Trauma Recovery Unika Soegijapranata, akses on line2 Desember 2014: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd= 1&ved=0CB8QFjAA&url=http%3A%2F%2Fsintak.unika.ac.id%2Fstaff%2Fblog%2Fuploa ded%2F5812003257%2Ffiles%2Fbuku_panduan_psikososial_2.doc&ei=LrC0VNn4Ho7luQ TzhoKIDg&usg=AFQjCNE3wZc7VMUtt7M43qCbhKT0HB7XQ&bvm=bv.83339334,d.c2E&cad=rja, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia - United Nations Educational and Scientific Cooperation/International Strategy for Disaster Reduction, 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami. Jakarta: LIPI. Likert, R., 1932. A technique for the measurement of attitudes. Archives of Psychology, 22 (140). 5 - 55. Lion, R., Meertens, R. M., & Bot, I. 2002. Priorities In Information Desire About Unknown Risks. Risk Analysis, 22, 765-776. Mayer, R., Davis, J. & Schoorman, F. 1995. An Integrative Model Of Organizational Trust. Academy of Management Review, 20, 709 - 734. McGee, T.K. & Russell, S., 2003. Its Just A Natural Way Of Life…” An Investigation Of Wildfire Preparedness In Rural Australia, Environmental Hazards. 5.1–12. Mileti, D.S., 1999. Disasters by Design: A Reassessment of Natural Hazards in the United States. New York : Joseph Henry Press.
143 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Murtakhamah, T. (Desember, 2011). Pengalaman Perempuan dan Inisiasi Pusat Krisis Berbasis Komunitas untuk Pengurangan Resiko Bencana. Makalah disajikan dalam Konferensi Nasional Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas VII. Yogyakarta 5 – 8 Desember 2011 Paton, D., 2008. Risk Communication And Natural Hazard Mitigation: How Trust Influences Its Effectiveness. International Journal Global Environmental Issues, 8, 2 – 15. Paton, D. & Bishop B., 1996. Disasters and communities: Promoting Psychosocial Well-Being. Dalam. Paton and N. Long (eds) Psychological Aspects of Disaster: Impact, Coping, and Intervention (pp. 255 – 268). Palmerston North, Dunmore Press. Paton, D., Bürgelt, P. T. & Prior, T., 2008a. Living with Bushfire Risk: Social and Environmental Influences On Preparedness. Australian Journal of Emergency Management, 23(3), 41-48. Paton, D., Houghton, B., F., Gregg, C.E., et. al., 2008b. Managing Tsunami Risk in Coastal Communities: Identifying Predictors of Preparedness. The Australian Journal of Emergency Management, 23, 4 – 9. Paton, D., Smith, L., Daly, D. and Johnston, D., 2008c. Risk Perception and Volcanic Hazard Mitigation: Individual and Social Perspectives. Journal of Volcanology and Geothermal Research, 172: 179-188. Paton, D., Frandsen, M., & Johnston, D., 2010. Confronting an unfamiliar hazard: Tsunami Preparedness in Tazmania. Australian Journal of Emergency Management. 25 (4). 31 – 37. Poortinga, W. & Pidgeon, N.F., 2004. Trust, The Asymmetry Principle, And The Role Of Prior Beliefs. Risk Analysis, 24, 1475- 1486. Sagala, S., Okada, N., & Paton, D., 2009. Predictors of Intention to Prepare for Volcanic Risks, A case study of Mt. Merapi. Journal of Pacific Rim Psychology. 3(2), 47-54. Siegrist, M. & Cvetkovich, G., 2000. Perception Of Hazards: The Role Of Social Trust And Knowledge. Risk Analysis. 20. 713-719. Sjöberg, L., 1999. Consequences Of Perceived Risk: Demand For Mitigation. Journal of Risk Research. 2, 129 -149 Sjöberg, L., 2000. Factors in risk perception. Risk Analysis, 20, 1 – 11 Speer, P. W. & Peterson, N. A., 2000. Psychometric Properties of an Empowerment Scale: Testing Cognitive, Emotional, and Behavioral Domains. Social Work Research. 24(2), 109 118. Tatsuki, S., Hayashi, H., Zoleta-Nates, D. B., Banba, M., Hasegawa, K., & Tamura,. K. 2004. The Impact of Risk Perception, Disaster Schema, Resources, Intention, Attitude, and Norms upon Risk Aversive Behavior among Marikina City Residents: Structural Equation Modeling with Latent Variables. Proceeding Asia Conference On Earthquake Engineering. 22. Manila: Philipines.
144 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tobin, G. A. 1999. Sustainability and Community Resilience: The Holy Grail of Hazards Planning. Environmental Hazards. 1. 13 – 26. Triatmadja, R. (2010). Tsunami: Kejadian, Penjalaran, Daya Rusak, dan Mitigasinya. Yogyakarta: Gadjad Mada University Press. Vogt, C.A., Winter, G., & Fried, J.S. 2005. Predicting home owners’ approval of fuel management at the wildland-urban interface using the theory of reasoned action. Society and Natural Resources, 18, 337 - 354. Wimbarti, S. & Nurhayaty, A. 2011. Kesiapsiagaan Terhadap Tsunami Pada Masyarakat di Daerah Rawan Tsunami. Laporan akhir penelitian Hibah Bersaing, UGM. Tidak dipublikasikan Winter, G., Vogt, C.A., & McCaffrey, S. 2004. Examining Social Trust In Fuels Management Strategies. Journal of Forestry, 102 (6), 8 - 15.
145 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
The 11th Years Assessment on School Safety and Disaster Education at the Public Elementary Schools in Banda Aceh after the 2004 Aceh Tsunami: Preliminary Findings Aiko Sakurai1, Mizan Bustanul Fuady Bisri2, Rina Suryani Oktari3, Takashi Oda4 1
Associate Professor, International Institute of Disaster Science (IRIDeS), Tohoku University 468-1-S304 Aramaki Aoba, Aoba-ku, Sendai, 980-0845 Japan/
[email protected] 2 Ph.D. candidate, Graduate School of International Cooperation Studies, Kobe University, 2-1 Rokkodai-cho, Nada-ku, Kobe, 657-8501 Japan /
[email protected] 3 Lecturer and researcher, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) and Faculty of Medicine, Syiah Kuala University, 4 Assistant Professor, Miyagi University of Education 149 Aramaki Aoba, Aoba-ku, Sendai, 980-0845 Japan/
[email protected]
Abstrak Studi ini bertujuan untuk melakukan evaluasi pendidikan bencana dan sekolah aman bencana di Sekolah Dasar (SD) negeri yang ada di Banda Aceh, serta mengidentifikasi strategi keberlanjutan yang dapat dilakukan sekolah. Studi ini dilakukan dalam rangka menelusuri sejauh mana pengalaman Tsunami Aceh 2004 diintegrasikan ke dalam implementasi sekolah aman bencana. Metodologi yang digunakan dalam studi ini diantaranya 1) pemetaan SD negeri yang ada di Kota Banda Aceh, 2) survey kepada siswa (kelas 4, 5, dan 6), 3) wawancara mendalam dengan kepala sekolah, guru dan dinas pendidikan, dan 4) observasi sekolah. Berdasarkan hasil studi terlihat perbedaan yang jelas antara Sekolah Siaga Bencana (SSB) dan yang bukan SSB dalam hal fasilitas keselamatan bencana (misalnya peta dan rute evakuasi) dan juga pengalaman memperoleh pendidikan kebencanaan. Namun, banyak dari sekolah SSB tersebut tidak melanjutkan kegiatan pengurangan risiko bencana (PRB), meskipun beberapa gurunya telah memahami bagaimana harus melakukannya (know how) . Hal ini dikarenakan anggapan butuh dana yang besar (costly) serta rasa ketergantungan kepada bantuan pihak lain (sense of dependency). Secara umum, sekolah dan kepala sekolah tidak menyadari bahwa menjamin keberlangsungan pendidikan kebencanaan merupakan tanggung jawab mereka. Namun, terdapat peluang untuk memastikan pelaksanaannya setiap tahun dengan memasukkannya ke dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS) yang bersifat tahunan, bekerjasama dengan Komite Sekolah, dan dorongan/ instruksi secara legal dari dinas pendidikan. Siswa-siswa SD merupakan generasi pasca bencana. Mereka tidak mengalami tsunami, untuk itu pendidikan bencana maupun kegiatan memperingati tsunami merupakan hal yang sangat penting. Kata kunci: sekolah aman, keberlanjutan, tsunami Aceh 2004, dan sekolah dasar 146 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Abstract The purpose of the study is to assess the depth of disaster education and school safety at public elementary schools in Banda Aceh City, and to examine ways for a sustainable approach for the schools to continue by themselves. The study aims at finding out the situation as to what extent the experience of the 2004 Tsunami is being integrated into school safety against tsunami disaster at all public schools. Methodologies taken for the study are 1) city-wide public elementary school mapping, 2) student survey (Grade 4, 5, and 6), 3) in-depth interviews with headmasters, teachers, and education agencies, and 4) school observation. A major finding from the study is the clear differences between SSB (Sekolah Siaga Bencana) and Non-SSB schools in terms of availability of disaster safety facilities (e.g. existence of evacuation map and route) and experience of receiving disaster education activities. However, many SSB schools did not continue the DRR activities by themselves although some of the teachers have the “know-how,” due to the image of “costly” activities and “sense of dependency” on external actors. In general, schools and headmasters were not aware that ensuring the continuation of disaster education is their responsibility; but perceive an opportunity to ensure its implementation on an annual basis through inclusion in the School Annual Plan, communication with School Committee, and legal endorsement/instruction from educational authority. Children at elementary schools are the post-disaster generation. They do not have disaster experience, thus both disaster education and local disaster memorialization are important. Keywords: school safety, sustainability, the 2004 Aceh Tsunami, and primary schools 1. Introduction The education sector in Aceh has heavily damaged by the 2004 Aceh Tsunami. 45,000 students and 1,870 teachers were lost, 100,000 children were in need of temporary schooling, 4,800 teachers were among the IDPs (internally displaced persons), and 2,065 education facilities were damaged including preschools, primary and secondary schools and higher education in Aceh (BAPPENAS 2006). During the post-tsunami disaster recovery, massive assistance has been poured into enhancing disaster risk reduction capacity in Aceh. Over 30 organizations supported enhancing capacity on disaster risk reduction, including institutional strengthening of disaster management agencies, community-based DRR activities, infrastructure and structural mitigation, research and education, and DRR integration in other programs, which led Aceh to become a pioneer in Indonesia on school disaster preparedness. In 2009, a pilot project of the integration of disaster education into school‟s curricula called School-based Disaster Preparedness (SDP) was introduced to five schools located in the tsunami-prone areas. The SDP focused on developing the structure, infrastructure and school systems for dealing with disaster preparation. Since 2011, the Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) of Syiah Kuala University started to replicate the SDP model in Aceh. Instead of applying curriculum147 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
based disaster education, disaster knowledge was directly introduced to the school community through extracurricular activities. The provincial educational agency then started to introduce the SDP program to schools outside Banda Aceh in 2013. Although still limited, there are currently more than 88 schools in disaster-prone areas that have been exposed to the SDP program (Figure 1). In addition to a formal school-based approach, there were also attempts to educate society through religious and cultural approaches by introducing DRR perspectives to their religious/community leaders (Rizal, et al 2015). Having received such intensive external support, school disaster preparedness has been mainstreamed in the education sector of Aceh. In 2012, Governor Order No.2/INSTR/2012 established a legal framework on mainstreaming disaster risk reduction activities in the education sector of Aceh, which made school disaster preparedness institutionalized into the education sector. The 10th Year Recovery Assessment conducted by TDMRC in 2014 evaluated that the current school-aged population in Aceh has better access to quality education services than in the pre-tsunami period. The overall educational facilities in disasterprone area have been improved. The educational curriculum relevant to the local needs became available. Human resource capacities were raised through scholarship programs at home and abroad. Disaster risk reduction contents have been integrated into school curriculum, and school-based disaster preparedness programs have been implemented (TDMRC, 2014). On the other hand, an evaluation report of the Disaster Risk Reduction Project for Aceh (DRR-A) pointed out that firstly, development and dissemination of disaster education curriculum should not be driven by external agencies, but be led by the government. Secondly, disaster education should be taught not only by textbooks but also through practical and experiential learning activities, and knowledge acquired should be applied to the actual environment of daily life. Lastly, in Aceh, scientific information should be carefully designed to be delivered in the religious Islam of the Aceheneese based on the value of Islam (UNDP, 2011). Sakurai also pointed out that disaster risk reduction efforts at the schools in Aceh had not yet reached a the sustainable level in which they are led by the Aceh people and for the Aceh people (Sakurai, 2015). 7 Schools
15 Schools 20 Schools
21 Schools
Pilot Project: 5 Schools
2009
2010
2011
2012
20 Schools
2013
2014 TDMRC, ACT
TDMRC Unsyiah, LIPI, Unesco
TDMRC, UNDP TDMRC, LIPI
TDMRC, ACT, PMI
Dinas Pendidikan Aceh
TDMRC, Bank Indonesia TDMRC, ACT
Figure 1: Expansion of School Disaster Preparedness Program in Aceh (Source: TDMRC Unsyiah., 2014a) 148 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
The purpose of the study is to do an in-depth assessment of school disaster preparedness at public elementary schools in Banda Aceh City, and examine ways for a sustainable approach for the schools to continue by themselves. The study also aims to finding out the situation as to what extent experience of the 2004 Tsunami is being integrated into school safety against tsunami disaster at all public schools. 2. Method The study was conducted over two years from 2014 to 2015 while the first and second authors visited Aceh in October 2014 and September 2015. It took three steps to assess the depth of school disaster preparedness. The first step was to conduct a citywide public elementary school mapping with the 2004 tsunami inundation data in order to grasp the whole picture of school location and to identify which schools are still located at tsunami risk area using the 2004 tsunami inundation data. This process was supported by Dr. Muzaillin Affan, GIS-Laboratory of Syiah Kuala University, and Dr. Yoshiyuki Murayama, Geographer and Professor of Yamagata University. The second step was to conduct interviews with school headmasters and teachers. Structured interviews were arranged with headmasters of the selected schools. The selection was among the schools located in the 2004 tsunami inundation areas and based on a matrix of: a) whether the school is Disaster-Prepared School (SSB – Sekolah Siaga Bencana) or not, and b) whether the school is a core or peripheral school, in addition to having geographical distribution from all the four districts of Jaya Baru, Kuta Alam, Kuta Raja, Meuraxa, and Syiah Kuala in Banda Aceh City. Those four districts are located inside the 2004 Aceh Tsunami inundation area, in particular inside the first 2 km from the shoreline. In addition, a focused group interview with elementary school teachers was conducted. During the school survey, school observations were conducted by the researchers, who took photos of school buildings, drew the layout of schools, and actually walked to the schools‟ designated evacuation places to examine the safety of school buildings and the location of schools including the school‟s neighboring environment. The third step was to conduct students‟ surveys with a questionnaire sheet at four schools (SDN 7, SDN 15, SDN 21, and SDN 48) with students from the fourth to sixth grades. 3. Results Preliminary survey results are shown in this paper according to each step shown in the method section. 1) School Mapping Prior to the tsunami in 2004, there were 119 Elementary School (ES) in Banda Aceh City. The statistical bureau noted in 2007 that the number decreased to 99 in 2007 and later only 27 schools in 2008; i.e. due to the regrouping of the schools in the city to ensure the balance between number of schools, students, and teachers. For the study, a list of all the elementary schools was obtained from the City Education Boards and thus updated by the first-hand recorded GPS data location of 98 elementary schools; i.e. 149 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
including 70 general public schools, 12 public religious schools, and 16 private and other schools in Banda Aceh City. By combining the school location data with the 2004 tsunami inundation data from the Asian Development Bank, 36 schools were found to be located in the tsunami inundation areas of the city. Based on JICA‟s inundation data, 55 schools were located in the inundation area. More than one-third of elementary schools were located in the 2004 tsunami inundation areas in Banda Aceh City. 2) School Survey The school survey was conducted in September and October 2015 by the authors and research assistants from Syiah Kuala University through interviewing mainly school headmasters or vice-masters at each school. The questions were about the headmasters‟ backgrounds and tsunami experiences, and about the school‟s tsunami damages and disaster preparedness including disaster education and disaster management. Table 1 shows the summary of schools. From the school survey, it was found that all of the studied schools had been destroyed by the 2004 Aceh Tsunami and reconstructed by external organizations including foreign governments, international organizations, international NGOs and domestic and foreign private companies between 2005 and 2008. School records including student records and school photos have all been lost and records of school describing damage of the tsunami and recovery process were kept only at two schools. However, they were not kept as school records, but by the personal records of teachers who taught at the schools before and after the 2004 tsunami. Table 1. List of Targeted Schools No
School Name
1 2
SDN2 SDN6
Located District Meuraxa Kuta Raja
Core/ Periphery Core Core
SSB Yes Yes
Public/ Islamic Public Public
3
SDN7
Meuraxa
Periphery
Yes
Public
4 5
SDN8 SDN15
Kuta Raja Syiah Kuala
Periphery Periphery
Yes Yes
Public Public
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
SDN17 SDN20 SDN21 SDN37 SDN39 SDN48 SDN54 SDN65 Min Ule Lheue Min Merduati
Kuta Raja Kuta Alam Meuraxa Jaya Baru Jaya Baru Meuraxa Syiah Kuala Kuta Alam Meuraxa Kuta Alam
Core Core Periphery Periphery Core Periphery Core Periphery Periphery Periphery
Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes Yes
Public Public Public Public Public Public Public Public Islamic Islamic
School reconstructed by
Built in
Suara Merdeka (Media) TPI / Televisi Pendidikan Indonesia (Media) Education International and Oxfam Education International Allianz (Insurance Company) UNICEF World Vision RCTI (Media) German Government FBA Education International Tahija and JAPFA Coca-Cola AusAid Education International and AusAid
2005 2006 2008 2005 2007 2005 2005 2008 2007 2007 2006 2005 2008 2006 2005
(Source: Created by Sakurai)
150 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Table 2. Situation of School Disaster Preparedness Activities at the Schools #
School Name
SSB
1
SDN2
Yes
Evacuation Map Yes
Drill
2 3
SDN6 SDN7
Yes Yes
Yes Yes
Yes Yes
4 5 6 7
SDN8 SDN15 SDN17 SDN20
No No Yes No
No Yes Yes No
Yes Yes Yes Yes
8 9 10 11 12 13 14 15
SDN21 SDN37 SDN39 SDN48 SDN54 SDN65 Min Ule Lheue Min Merduati
Yes No No Yes No No Yes No
No No No No No Yes Yes No
No No No Yes No Yes Yes Yes
Yes
Last year the drill conducted/ supported by 2014/ Unsyiah, Red Cross, NGO, parents, health center, BPBD, education agency 2013/ Red Cross 2012/ Red Cross, World Vision, RAPI, and Indonesian military 2012 N.A./ Red Cross 2013/ TDMRC 2008/ Red Cross, World Vision, education agency, parents and community ---2011/ Unsyiah, PMI (Indonesian Red Cross), NGO -2012/ PMI (Indonesian Red Cross) 2013/ Unsyiah and PMI (Indonesian Red Cross) 2009/ N.A.
(Source: Created by Sakurai)
Regarding school disaster preparedness, the SSB program helped schools in preparing tsunami evacuation maps to show a route to their designated evacuation place. Five SBB schools displayed the evacuation map at the school, however, the other two SBB schools did not have or display it anymore. Two non-SSB schools had the route and map with support of Indonesian Red Cross, while six non-SSB schools did not display the map. Out of the seven schools that have the evacuation map, four schools answered that they utilize the evacuation map for planning evacuation drill. One out of seven responded that the school updates the evacuation map information. Evacuation drills have been conducted at 11 of the 15 surveyed schools according to the interviews. Seven schools answered that they plan to conduct the drill once a year. However, only four schools conducted an evacuation drill after 2013. Even though seven schools responded that the school planned to conduct the drill once or more in a one year of school calendar, few schools are actually doing this. 3) Student Survey Student questionnaire surveys were conducted at four of the fifteen schools; i.e. SDN 7, 15, 48, and 65. These also include both SSB schools and non-SSB schools in the 2004 Aceh Tsunami inundated areas. Respondents are from the fourth, fifth and sixth grades. The total number of respondents is 114, including 65 male and 49 female students. Out of all the respondents, 44 respondents (38.5 percent) have lived in the current place since they were born. The questionnaire was composed of 19 questions including their backgrounds, perception toward natural disasters, the 2004 Aceh Tsunami, knowledge about disaster and preparedness. Figure 2 shows the pupils‟ perception and knowledge about disaster and preparedness. More than 80 per cent of pupils answered that they learned about the 2004 tsunami. But when they were asked “what do you know about the impact of the 2004 tsunami in their community and nearby the school,” beyond answering yes or no, 151 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Figure 2. Students‟ Responses on Disaster and Preparanders (Created by Sakurai) less than 40 percent of pupils (n=44) could describe what actually occurred. Figure 2 also indicates that almost three fourths of pupils (n=68, 73%) believe that a tsunami as large as in 2004 will not occur again in their lifetime, and almost half of pupils (n=54, 48%) do not know what to do to be prepared against earthquake and tsunami. 4. Discussion School disaster preparedness in Aceh has been promoted based on the Hyogo Framework for Action (HFA), which was adopted in January 2005, just after the 2004 Indian Ocean Tsunami. In the HFA, the third priority was set to “use knowledge, innovation and education to build a culture of safety and resilience at all levels.” Under Priority 3, promoting the inclusion of disaster risk reduction knowledge in relevant sections of school curricula at all levels and promoting the implementation of local risk assessment and disaster preparedness programmes in schools were emphasized (UNISDR, 2005). Indeed it can be said that in Aceh, the curriculum on DRR has been developed and school disaster preparedness has been promoted by different external organizations as the whole education sector. However, the results of the study indicated that at the level of each school and individual pupil that further efforts are clearly required for creating a self-sustainable school disaster preparedness approach for building a culture of safety. From the Japanese experience of enhancing school safety against disaster, disaster preparedness should be a part of daily life. The goal of disaster education should be defined as capacity building of each individual (Sakurai, 2016). This because more than half of the public elementary schools are located at the 2004 Tsunami inundation areas and there are continuous risks of another earthquake and tsunami. From the interviews, it was found that the schools and headmasters were not aware that ensuring the continuation of disaster education was their responsibility. Rather they perceived that tsunami evacuation drills were „costly‟. A “sense of dependency” on external actors to conduct evacuation drills and any disaster risk reduction activities were found among the schools. Some teachers felt scared to teach at the school since they knew about or directly experienced the 2004 Aceh Tsunami and could not felt secure and safe at the school. Due to personnel management, most of the time school headmasters and teachers who have been previously trained by the SSB program and have the “know-how” on school disaster preparedness have been 152 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
reassigned to other schools. Current institutional mechanism has no power to ensure trained teachers or headmasters to instantaneously disseminate the knowledge and skills they received from the training, at their own school. In some of the interviews where teachers or headmasters disseminate as such and bring their DRR knowledge to the subsequent school, mostly due to their own initiative. At the same time, the headmasters perceived the opportunity to ensure evacuation drill implementation on an annual basis through inclusion in the School Annual Plan, communication with School Committee, and endorsement and/or instruction from educational authority. Current students at elementary schools are the post-disaster generation. They do not have the experiences of the actual 2004 Aceh Tsunami and cannot remember what happened in their community where they currently live, though many of them have heard about it from their families if they have been living there long. The results of the student survey indicate almost one-third of pupils could not take the possibility of the next tsunami as their own responsibility. Although 80 percent of pupils answered that they learned about the 2004 tsunami at school, half of them do not know what to be prepared for against earthquake and tsunami. It revealed that children‟s learning about the 2004 Tsunami should be more linked to preparedness for the next disaster. School and community collaboration should be promoted toward localizing the community‟s experiences and knowledge of the 2004 tsunami, as a previous study also emphasized (Oktari, et.al., 2015). 5. Conclusion As further detailed analyses required, it is too early to make any conclusion in this paper. However, the preliminary analysis implies that school disaster preparedness among public elementary schools located in the 2004 Aceh Tsunami inundated areas in Banda Aceh City should be revitalized by internalizing preparedness activities in the School Annual Plan and to train headmasters and teachers to conduct preparedness efforts by themselves. It is crucial to identify minimum essentials of school preparedness for the school to continue by their own staff and budget. It is also important to get institutional support from Banda Aceh City Board of Education to put school headmasters in a position of primal responsible for school disaster preparedness. The study also found that pupils should be more motivated to prepare for the next disaster when they learn about the 2004 Aceh Tsunami. Although the records of the 2004 Tsunami were not kept at the schools, there are the Aceh Tsunami Museum and many other tsunami remains existing in Banda Aceh City. It is important to utilize these potential learning facilities for the children‟s education in their local context. In the Sendai Framework on Disaster Risk Reduction 2015-2030 (UNISDR, 2015), “increasing public education and awareness of disaster risk” in the post-disaster recovery, rehabilitation and reconstruction phase is newly emphasized. Since school disaster preparedness in Aceh has been a precedent case in a post-disaster recovery process, continuous follow-up efforts should be made to make schools a center for creating a culture of safety against the next potential disaster. It is also recommended to promote collaboration with other tsunami affected areas, such as the 2011 Great East Japan Earthquake and Tsunami to exchange experience, which could help avoiding the erosion of memories and experiences of the tsunami disaster. 153 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Acknowledgement The authors would like to extend our appreciation to Dr. Khairul Munadi, Dr. Syamsidik, Dr. Muzaillin Affan, Dr. Nizamuddin, M. Dr. Yoshiyuki Murayama, and Dr. Takeshi Sato to provide advises and support for the study. This study is funded by Grant from International Research Institute of Disaster Science, Tohoku University and MEXT KAKENHI Grant (No. 26510008, Aiko Sakurai).
Bibliography Bappenas and International Community, 2006, Indonesia: Preliminary Damage and Loss Assessment; The December 26, 2004 Natural Disaster, Bappenas, Indonesia. Oktari, R. S., Shiwaku, K., Munadi, K., Syamsidik, and Shaw, R., 2015. A conceptual model of a school–community collaborative network in enhancing coastal community resilience in Banda Aceh, Indonesia, International Journal of Disaster Risk Reduction, Vol.12, pp. 300310. Rizal, S., Dirhamsyah, M. and Munadi, K. , 2015. Disaster Education After the 2004 Indian Ocean Tsunami in Banda Aceh, Indonesia, Proceedings of International Forum for Promoting Education on Disaster Resilience, held as Public Forum Event of the third UN World Conference on Disaster Risk Reduction in Sendai Japan on March 14, 2015, pp. XXXX. Sakurai, A., 2015, Reconstruction from a Mega-Earthquake and Disaster Education: A Case of Banda Aceh in Indonesia, Journal of Safety Education (Japanese) Vol. 15, No.2, pp. XX-XX. Sakurai, A. and Sato, T., 2016. Promoting Education for Disaster Resilience and the Sendai Framework for Disaster Risk Reduction, Journal of Disaster Research Vol.11 No.3, 2016 (forthcoming). TDMRC Unsyiah, 2014a, Increasing Disaster Awareness for Junior High School Students through In-door and Outdoor Activities. Final Report. Banda Aceh (in press). TDMRC Unsyiah, 2014b, Recovery Assessment after 10th Years Earthquake and Tsunami Aceh 2004. Final Report. Banda Aceh (in press). United Nations Development Programme (UNDP) and Government of Indonesia, 2012, Making Aceh Safer through Disaster Risk Reduction in Development (DRR-A) Project 2009-2012 Project Evaluation Final Report. UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction), 2005, Hyogo Framework for Action 2005-2015:Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters. UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction), 2015, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030.
154 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Penguatan Kapasitas Kelembagaan Sekolah dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana Strengthening Institutional Capacity of School to Enhance Community Resilience Against Disaster Rina Suryani Oktari1, Intan Dewi Kumala2, Rachmalia3 dan Nurul Husna4 1
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda Aceh, 23111, email;
[email protected] , 2 Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda Aceh, 23111, email;
[email protected] , 3 Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda Aceh, 23111, email;
[email protected] , 4 Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) dan Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Jl. Tgk. Syech Abdul Rauf, Darussalam, Banda Aceh, 23111, email;
[email protected] ,
Abstrak Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kapasitas pengetahuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survey di 19 sekolah di Banda Aceh untuk mengkaji tingkat kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara dan focus group discussion, untuk merumuskan strategi penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam upaya meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada kepala sekolah yang terdiri dari 4 parameter, yaitu: kebijakan dan arahan, rencana tanggap darurat, peringatan dini dan kapasitas memobilisasi sumber daya. Hasil survey menunjukkan hanya 3 sekolah (15,79%) yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi untuk parameter kebijakan dan arahan. Sedangkan untuk tiga parameter lainnya, tidak lebih dari 9 sekolah (47,37%) yang memiliki tingkat kesiapsiagaan tinggi. Hasil evaluasi ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu dikuatkan kapasitas kelembagaannya baik dalam meningkatkan kesiapsiagaan sekolah itu sendiri, maupun dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Penelitian ini merekomendasikan strategi penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana baik di lingkungan sekolah serta masyarakat. Sehingga diharapkan sekolah memiliki kemandirian dalam program maupun pendanaan secara terus menerus serta menjamin keberlanjutan (sustainability) program. Kata Kunci: kapasitas kelembagaan, sekolah, bencana, manajemen berbasis sekolah. 155 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Abstract As educational institution, schools play a very important role in building the capacity of knowledge to increase community resilience against disasters. This study used both quantitative and qualitative approaches. Quantitative approach carried out through a survey in 19 schools in Banda Aceh, to assess the level of school preparedness. The qualitative approach is conducted by a literature review, interviews and focus group discussions, in order to formulate strategies to strengthen the institutional capacity of the school in an effort to increase community resilience to disasters. The survey was done by distributing questionnaire to the school principals that consists of four (4) parameters: 1) policies and guidelines, 2) emergency plans, 3) early warning, and 4) resource mobilization capacity. The survey results show only three schools (15,79%) that have a high level of disaster preparedness for the parameters of the policy and guidelines. As for another three parameters, no more than 9 schools (47.37%) which have a high level of preparedness. The survey results indicate that schools need to be strengthened its institutional capacity both in improving community the disaster preparedness of the school itself, and in improving community resilience to disasters. The study suggested a strategy of strengthening the institutional capacity of schools through School Based Management (SBM) to enhance community resilience against disaster. It is expected that this strategy will allow school to have an independency in implementing as ensure well as funding the program to its sustainability. Keywords: institutional capacity, school, disaster, school based management
1. Pendahuluan Dari beberapa peristiwa bencana menunjukkan bahwa sekolah dalam kondisi yang sangat rentan, dimana bencana menyebabkan kerusakan yang sangat masif di sekolah dan menyebabkan hilangnya ribuan nyawa guru dan siswa. Di tahun 2008, Gempabumi yang terjadi di Cina menghancurkan lebih dari 12,000 sekolah di Kota Sichuan dan 6,500 di Kota Gansu, serta sedikitnya 5,335 siswa kehilangan nyawa (UNICEF, 2009a). Masih di tahun yang sama, bencana Cyclone Nargis yang melanda kawasan Myanmar menyebabkan hancurnya lebih dari 4000 sekolah dan sekitar 600,000 siswa yang menjadi korban (UNICEF, 2009b). Di Indonesia sendiri, gempabumi 7,6 SR yang terjadi di Padang tahun 2009, menyebabkan meninggalnya 1,117 jiwa, dimana sepertiganya adalah anak-anak, serta kerusakan di hampir 5000 sekolah (UNICEF, 2010). Oleh karena itu, membangun kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana merupakan agenda yang penting dan menjadi tanggung jawab komunitas sekolah serta para pemangku kepentingan. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kapasitas pengetahuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Sekolah merupakan lembaga yang efektif dalam melakukan transfer informasi, pengetahuan dan keterampilan untuk masyarakat sekitar. Komunitas sekolah mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber pengetahuan, penyebarluasan pengetahuan tentang bencana dan petunjuk praktis apa yang harus disiapkan sebelum terjadinya bencana dan apa yang harus dilakukan pada saat dan setelah terjadinya 156 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
bencana. Karenanya, kegiatan pendidikan bencana di sekolah merupakan strategi diseminasi pengetahuan kebencanaan yang efektif, dinamis dan berkelanjutan. Upayaupaya sistematis yang dilakukan dalam meningkatkan kapasitas komunitas sekolah, dapat mengurangi risiko bencana yang ada di sekolah secara efektif (CDE, 2011, UNESCO/ LIPI, 2006). Berdasarkan Hyogo Framework for Action /HFA (2005-2015), pendidikan kesiapsiagaan bencana merupakan prioritas dalam mengurangi risiko bencana, baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Hal ini tertuang dalam Priority for Action 3 yaitu Use knowledge, innovation and education to build a culture of safety and resilience at all level. Setelah sepuluh tahun berlakunya HFA, dokumen penggantinya Sendai Framework for Disaster Risk Reduction/ SFDRR (2015-2030) juga tetap menekankan pentingnya pendidikan kesiapsiagaan, sebagaimana yang tertuang dalam Priority for Action 4: enhancing disaster preparedness for effective response, and to ‘‘Build Back Better’’ in recovery, rehabilitation, and reconstruction. Mengingat pentingnya upaya pengurangan risiko bencana, pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah. Melalui surat edaran ini, pemerintah menghimbau kepada seluruh kepala daerah, termasuk gubernur, bupati dan walikota, untuk menyelenggarakan penanggulangan bencana di sekolah melalui tiga hal, yaitu: 1) Pemberdayaan peran kelembagaan dan kapasitas komunitas sekolah; 2) Pengintegrasian pengurangan resiko bencana (PRB) ke dalam kurikulum satuan pendidikan formal, baik intra maupun ekstrakurikuler, serta 3) Membangun kemitraan dan jejaring dengan berbagai pihak untuk mendukung pelaksanaan PRB di sekolah. Sampai saat ini, berbagai inisiatif maupun kegiatan dalam rangka pelaksanaan surat edaran ini telah dilakukan oleh berbagai pemangku kepentingan maupun sekolah itu sendiri. Termasuk salah satunya inisiatif Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang telah dimulai sejak 2009 di Banda Aceh, sebelum dikeluarkannya surat edaran tersebut. Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk mengembangkan budaya kesiapsiagaan dan keselamatan di sekolah serta ketangguhan komunitas sekolah. Dalam mengkaji kesiapsiagaan LIPI-UNESCO/ISDR (2006) mengembangkan 5 (lima) parameter diantaranya: 1) Pengetahuan dan sikap tentang risiko bencana, 2) kebijakan dan panduan, 3) Rencana tanggap darurat, 4) Sistem peringatan bencana, dan 5) Mobilisasi sumber daya. Unsur kesiapsiagaan komunitas sekolah mencakup: sekolah sebagai institusi, guru dan siswa. Untuk itu, pengkajian kesiapsiagaan sekolah dilakukan dengan mengkaji kesiapsiagaan institusi dekolah, guru maupun siswanya. Makalah ini bertujuan menguraikan secara singkat hasil kajian kesiapsiagaan institusi sekolah terhadap bencana, khususnya gempabumi dan tsunami. Hasil kajian kesiapsiagaan guru dan siswa tidak disajikan pada makalah ini, melainkan akan menjadi bahan pada makalah terpisah nantinya. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, makalah ini juga bertujuan untuk mengembangkan framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam upaya meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana.
157 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
2. Metode Peneli1an Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui survey di 19 sekolah di Banda Aceh dengan menggunakan kuesioner yang telah dikembangkan oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) dalam menilai kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi gempabumi dan tsunami. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara dan focus group discussion (FGD), untuk memperoleh informasi yang lebih mendalam dalam rangka merumuskan strategi penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam upaya meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. FGD dilakukan di 6 (enam) sekolah, dimana setiap kali FGD dihadiri sepuluh (10) peserta yang terdiri dari kepala sekolah, guru, orang tua murid, komite sekolah, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan dan perwakilan LSM. Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada kepala sekolah yang terdiri dari 4 parameter, yaitu: kebijakan dan panduan (policy and guidelines/ PS), rencana tanggap darurat (emergency planning/EP), peringatan dini (warning system/WS) dan kapasitas memobilisasi sumber daya (resource mobilization capacity/RMC). Indeks persamaan:
kesiapsiagaan
institusi
sekolah
dihitung
dengan
menggunakan
Jumlah Skor Riil Parameter Indeks =
x 100 Skor Maksimum Parameter
Skor maksimum parameter diperoleh dari jumlah pertanyaan dalam parameter yang diindeks (masing–masing pertanyaan memiliki nilai satu). Nilai indeks berada pada kisaran antara 0-100, semakin tinggi nilai indeks semakin tinggi pula tingkat kesiapsiagaannya. Tingkat kesiapsiagaan sekolah kemudian dinilai dengan kategori sebagai berikut: 1) Siap (nilai indeks 80-100), 2) Hampir siap (nilai indeks 60-79) dan 3) Tidak siap (nilai indeks < 60). 3. Hasil dan Pembahasan Evaluasi Kesiapsiagaan Sekolah dalam Menghadapi Bencana Kesiapsiagaan institusi sekolah digambarkan dari parameter kebijakan dan panduan, rencana tanggap darurat, peringatan dini dan kapasitas memobilisasi sumber daya. Parameter kebijakan dan panduan menyangkut evaluasi apakah sekolah telah memiliki kebijakan pendidikan dan panduan serta peraturan-peraturan pendidikan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana dan juga evaluasi terhadap fakta/data pelaksanaan kebijakan dan peraturan tersebut. Parameter rencana tanggap darurat dievaluasi dengan memastikan tersedianya rencana sekolah, prosedur tetap (protap), rencana pertolongan pertama dan penyelamatan serta tersedianya 158 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Parameter 1: Kebijakan dan Panduan (PS)
Parameter 3: Peringatan dini (WS)
Parameter 2: Rencana tanggap darurat (EP)
Parameter 4: Kapasitas memobilisasi sumber daya (RMC)
Gambar 1. Kesiapsiagaan Masing-masing Sekolah berdasarkan Parameter dokumen, peralatan, fasilitas penting sekolah dan tempat penyimpanan untuk keadaan darurat. Parameter sistem peringatan dini mengevaluasi apakah ada akses dan prosedur diseminasi terhadap sumber informasi peringatan bencana. Sedangkan parameter mobilisasi sumber daya mengkaji ketersediaan tim dan prosedur untuk keadaan darurat serta keterlibatan sekolah dalam jaringan kesiapsiagaan bencana (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). Hasil evaluasi kesiapsiagaan di 19 sekolah di Banda Aceh disajikan dalam gambar 1 di bawah ini. Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa masih banyak sekolah yang “tidak siap” dalam menghadapi bencana, khususnya dalam aspek kesiapsiagaan kebijakan dan arahan dari sekolah. Berdasarkan gambar 1 di atas, di parameter 1 (kebijakan dan panduan/ PS) ada delapan (8) sekolah yang memiliki nilai indeks dibawah 60 atau berada dalam kategori “tidak siap”. Padahal kebijakan dan arahan sekolah merupakan keputusan resmi yang mengikat warga sekolah untuk mendukung pelaksanaan upaya 159 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2. Presentase Indeks Kesiapsiagaan berdasarkan Parameter Parameter
Tidak Siap Jumlah Sekolah %
Hampir Siap Jumlah Sekolah %
Siap Jumlah Sekolah
%
PS
8
42.11
8
42.11
3
15.79
EP
1
5.26
9
47.37
9
47.37
WS
3
15.79
9
47.37
7
36.84
RMC
2
10.53
8
42.11
9
47.37
PRB di sekolah, secara khusus dan terpadu. Dengan adanya kebijakan sekolah, akan menjadi dasar, pedoman maupun arah dalam pelaksanaan kegiatan yang relevan dengan upaya PRB di sekolah (Tong, 2012; CDE, 2011; LIPI-UNESCO/ISDR, 2006). Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa hanya 3 sekolah (15,79%) yang memiliki indeks kesiapsiagaan dalam kategori “siap” untuk parameter kebijakan dan arahan (PS). Sedangkan untuk parameter rencana tanggap darurat (EP), peringatan dini (WS) dan kapasitas memobilisasi sumber daya (RMC) tidak lebih dari 9 sekolah (47,37%) yang memiliki indeks kesiapsiagaan dalam kategori “siap”. Hasil survey ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu dikuatkan kapasitas kelembagaannya baik dalam meningkatkan kesiapsiagaan sekolah itu sendiri, maupun dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Keberlanjutan program Kesiapsiagaan di Sekolah Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di enam (6) sekolah terungkap bahwa salah satu faktor yang menentukan keberlanjutan program SSB adalah kepemimpinan (leadership) dari kepala sekolah. Beberapa sekolah sudah tidak lagi melaksanakan program SSB karena kepala sekolahnya dimutasi ke sekolah lain. Dan yang menjadi permasalahan adalah ketika kepala sekolahnya dimutasi, maka program SSBnya pun ikut bersama kepala sekolah tanpa proses serah terima kepada kepala sekolah yang baru. Hal ini juga diperkuat oleh hasil wawancara yang dilakukan dengan salah satu guru yang menyatakan bahwa tantangan terbesar adalah bergantinya kepala sekolah. Perubahan ini menyebabkan program SSB yang selama ini dilakukan menjadi terhenti. Dari hasil FGD juga terungkap bahwa selama ini, kegiatan kesiapsiagaan yang dilakukan di sekolah lebih bersifat top-down, artinya kegiatan tersebut dibawa oleh lembaga pemerintah maupun non-pemerintah untuk dilaksanakan di sekolah. Sehingga ketika tidak ada lagi dukungan dari lembaga tersebut, maka kegiatan SSB tersebut juga tidak berlanjut. Namun, dari hasil FGD tersebut juga teridentifikasi sebuah praktik baik, dimana keberlanjutan program SSB dapat terus dilaksanakan meskipun kepala sekolahnya dimutasi. Hal ini dikarenakan adanya proses serah terima yang baik antara kepala sekolah yang lama dengan yang baru, dan juga adanya semangat dari kepala sekolah yang baru untuk melanjutkan program SSB yang sudah dilaksanakan. Tidak hanya itu, 160 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
kepala sekolah yang lama yang telah dimutasi tersebut juga memiliki semangat yang tinggi untuk melaksanakan program SSB di sekolahnya yang baru sebagaimana ia telah sukses melaksanakannya di sekolah yang lama. Biasanya pihak sekolah mengalami hambatan untuk melaksanakan program SSB, karena terbentur masalah pendanaan. Namun, apa yang telah dilakukan oleh kepala sekolah yang baru dimutasi tersebut, membuktikan bahwa sekolah secara mandiri dapat melakukan inisiatif program SSB di sekolahnya dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki, serta menjalin kemitraam dengan berbagai pihak di luar sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah untuk Ketahanan Bencana Di dalam paradigma baru dunia pendidikan, dikenal istilah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau “school-based management”. MBS ini bertujuan untuk memberdayakan sekolah, terutama SDMnya (termasuk kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, orang tua, dan masyarakat sekitar) dalam memecahkan persoalan yang dihadapi oleh sekolah, termasuk juga dalam menghadapi bencana yang mungkin timbul (Sunarto & Warsono, 2014; Gamage & Sooksomchitra, 2006). MBS memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar mereka lebih memahami, membantu dan mengontrol pengelolaan pendidikan yang berlangsung di sekolah. Peran masyarakat sangatlah penting dalam membangun sekolah. Masyarakat bertanggungjawab dalam kemajuan sekolah, sehingga sekolah dapat berkolaborasi dengan masyarakat dalam membangun sekolah kedepannya. Esensi MBS adalah peningkatan otonomi sekolah, peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan peningkatan fleksibilitas pengelolaan sumberdaya sekolah. Dengan MBS, sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau mitra di luar sekolah lainnya (Budimansyah, 2008; Caldwell, 2005; De Grauwe, 2005a). Untuk mewujudkan MBS, maka diperlukan empat (4) hal pokok, diantaranya: 1) Penyempurnaan peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan, dan kebijakan-kebijakan yang ada yang memposisikan sekolah sebagai unit utama dan menjadikan sekolah yang bersifat otonom; 2) Penyesuaian perilaku warga (unsur-unsur) sekolah yang mandiri, kreatif, proaktif, sinergis, koordinatif/kooperatif, integratif, sinkron, luwes, dan professional; 3) Penyesuaian peran sekolah menjadi sekolah yang bermotivasi-diri tinggi (self-motivator); 4) Perbaikan hubungan antar warga (unsur-unsur) dalam sekolah, antara sekolah dengan para pemangku kepentingan (mitra) lainnya (De Grauwe, 2005b; Sunarto & Warsono, 2014; Gamage & Sooksomchitra, 2006). Berdasarkan hasil wawancara, FGD dan tinjauan pustaka, penelitian ini merekomendasikan framework dalam rangka penguatan kapasitas kelembagaan sekolah dalam meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management. Framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui MBS, memuat pendekatan sistem yaitu input-process-output- outcome. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah adalah sebuah sistem. 161 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
A
B
C
D
E
F
INPUT
PROCESS
OUTPUT
Intermediate Outcome
OUTCOME
IMPACT
TIME FRAME bulan Input Komitmen, tujuan dan sasaran yang jelas Sumberdaya tersedia SDM yang kompeten dan berdedikasi tinggi Input manajemen
Feedback/ masukan untuk input dan proses
0 – 60 bulan
Proses Sosialisasi MBS Memperbanyak mitra sekolah Merumuskan strategi peningkatan ketahanan bencana Merumuskan peran unsur sekolah dan mitra Menerapkan good governance Meningkatkan kapasitas Mendistribusikan kewenangan dan tanggung jawab Pengintegrasian upaya peningkatan ketahanan bencana di sekolah Rencana Pengembangan Sekolah
6 - 24 bulan
24 – 36 bulan
Output Kebijakan Strategi Action Plan SDM terlatih Dukungan dana dan sumber daya
Penerapan/ Aplikasi Apakah kebijakan, strategi, action plan dilaksanakan? Apakah bermanfaat?
36 – 60 bulan
Kemandirian
dan keberlanjuta n upaya peningkatan ketahanan bencana di sekolah
> 60
Ketahanan Sekolah dan Masyarakat terhadap Bencana Meningkat
Enabling Factors Efektivitas Kepemimpinan Pengelolaan SDM yang efektif Teamwork Partisipasi Keterbukaan (transparansi) Komunikasi Efektif Akuntabilitas Evaluasi dan perbaikan
MONITORING DAN EVALUASI BERKALA
Gambar 2. Framework Penguatan Kapasitas Kelembagaan Sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana Framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui MBS yang ada pada gambar 2 di atas, dimulai dari tahapan input yang terdiri dari: a) Komitmen, tujuan dan sasaran yang jelas, b) Sumberdaya tersedia, c) SDM yang kompeten dan berdedikasi tinggi dan d) Input manajemen. Pada tahapan proses dilakukan implementasi kegiatan yang mencakup: sosialisasi MBS, membangun kemitraan 162 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
sekolah, merumuskan strategi peningkatan ketahanan bencana, merumuskan peran unsur sekolah dan mitra, menerapkan good governance (tata kelola sekolah yang baik), meningkatkan kapasitas sekolah maupun SDM sekolah, mendistribusikan kewenangan dan tanggung jawab, pengintegrasian upaya peningkatan ketahanan bencana di sekolah dan penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah. Setelah tahapan proses yang dilalui selama periode minimal 6 sampai 24 bulan, diharapkan dapat menghasilkan output yang berupa kebijakan, strategi, rencana kerja serta adanya SDM yang terlatih dan dukungan dana dan sumber daya lainnya untuk pelaksanaan kegiatan peningkatan ketahanan bencana di sekolah. Selama penerapan MBS ini, diperlukan monitoring dan evaluasi yang berkala untuk mendapatkan feedback/ masukan terhadap input dan proses yang dilakukan. Selain itu, perlu dipertimbangkan juga enabling factors dalam pengimplementasian framework ini yang berupa: efektivitas, kepemimpinan, pengelolaan SDM yang efektif, teamwork, partisipasi, keterbukaan, komunikasi efektif, akuntabilitas serta evaluasi dan perbaikan. Pada akhirnya framework ini diharapkan dapat menghasilkan outcome berupa kemandirian dan keberlanjutan upaya peningkatan ketahanan bencana di sekolah, sehingga memberi dampak bagi peningkatan ketahanan sekolah dan masyarakat terhadap bencana. 4. Kesimpulan Framework penguatan kapasitas kelembagaan sekolah melalui MBS, memuat pendekatan sistem yaitu input-process-output- outcome. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa sekolah adalah sebuah sistem. MBS merupakan model pengelolaan yang memberikan otonomi yang lebih besar kepada sekolah untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah maupun masyarakat serta stakeholder lainnya. Melalui framework ini diharapkan sekolah memiliki kemandirian dalam program maupun pendanaan yang berlangsung terus menerus sehingga dapat menjamin keberlangsungan (sustainability) dari upaya meningkatkan ketahanan terhadap bencana yang dilakukan. Dengan adanya otonomi yang lebih besar, sekolah menjadi lebih mandiri dan berdaya dalam mengembangkan program-program yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang dimiliki, termasuk mengembangkan program kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana. Tentu saja kemandirian sekolah ini, harus didukung dengan kemampuan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah dalam mengambil keputusan, memobilisasi sumber daya, menentukan strategi yang efektif, berkomunikasi efektif dan memecahkan permasalahan yang dihadapi sekolah. Selain itu, kepala sekolah juga harus memiliki kemampuan adaptif dan antisipatif, serta kemampuan bersinergi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak di dalam maupun di luar sekolah. Apabila otonomi atau kemandirian sekolah serta kemampuan leadeship kepala sekolah ini dapat berlangsung secara terus menerus, maka hal ini dapat menjamin keberlanjutan (sustainability) program kesiapsiagaan yang berlangsung di sekolah.
163 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Daftar Pustaka UNICEF (2009a) Sichuan Earthquake Oneyear Report . UNICEF China, China, akses online 30 November 2015, URL: http://www.unicef.org/eapro/UNICEFChina_Sichuan_Earthquake_One_Year_Report.pdf UNICEF (2009b) Best practices and lessons learnt: UNICEF Myanmar’s response following cyclone Nargis. UNICEF Myanmar, Myanmar, akses online 30 November 2015, URL:http://www.unicef.org/infobycountry/files/Myanmar_Nargis_ Evaluation.pdf UNICEF (2010) West Sumatra Earthquake: One Year Later. UNICEF Indonesia, Indonesia, akses online 30 November 2015, URL:
http://www.unicef.org/indonesia/West_Sumatra_earthquake_one_year_on_Fact_She et(2).pdf CDE (2011) A Framework of School-Based Disaster Preparedness. Jakarta: Consortium for Disaster education. LIPI-UNESCO/ISDR (2006) Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi & Tsunami. Jakarta: LIPI-UNESCO. UNISDR (2015) Sendai framework for disaster risk reduction 2015– 2030. United Nations International Strategy for Disaster Reduction Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional No. 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah. Tong, T. M. T., Shaw, R., & Takeuchi, Y. (2012) Climate disaster resilience of the education sector in Thua Thien Hue Province, Central Vietnam. Natural hazards, 63(2), 685-709. Sutarto, M., Darmansyah, D., & Warsono, S. (2014) Manajemen berbasis sekolah. The Manager Review Jurnal Ilmiah Manajemen, 13(3), 343-355. Gamage, D., & Sooksomchitra, P. (2006) Decentralisation and school-based management in Thailand. In Decentralisation and Privatisation in Education (pp. 151-167). Springer Netherlands. Budimansyah, D. (2008) Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penguatan Partisipasi Masyarakat. Educationist, 2(1), pp-56. Caldwell, B. J. (2005) School-based management (Vol. 3). Paris: International Institute for Educational Planning. De Grauwe, A. (2005a) School-based management (SBM): Does it improve quality. EFA Global Monitoring Report. De Grauwe, A. (2005b) Improving the quality of education through school-based management: learning from international experiences. International review of education, 51(4), 269-287.
164 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Holistic Evacuation Planning for the Improvement of Spatial Plan – A Case Study of Meuraksa Sub-District Harkunti P. Rahayu12, dan Soraya Rizka Keumala 3 1
Regional and City Planning Department - School of Architecture, Planning, and Policy Development Institute Technology of Bandung, Labtek IXA Building – 4th Floor, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia, emai:
[email protected] and
[email protected] 2 Research Center for Disaster Mitigation, Institute Technology of Bandung, PAU Building – 8th Floor, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132, Indonesia 3 Former Student of Regional and City Planning, School of Architecture, Planning, and Policy Development, Institute Technology of Bandung
Abstract The aftermath of 2004 tsunami, intensive tsunami disaster risk reduction initiatives have been implemented in many tsunami prone cities in Indonesia, i.e. green belt for vegetation mitigation, building tsunami vertical evacuation shelter (TVES), improvement of existing road for evacuation, tsunami signage, development of downstream warning chain, and exercises/drill. However during the 2009 event in Padang and 2012 event in Banda Aceh, people have shown chaotic response in evacuation, as if there were no tsunami disaster risk reduction intervention in placed. Many evacuation routes were overcapacity, several cross road were stuck, tsunami sirens did not properly function, and only few people went to the TVES. Other than that, learning from several tsunami events, the high numbers of death toll in high-populated cities were often due to the lack of several critical factors, i.e. reliable tsunami warning, sufficient supporting infrastructure for emergency response and evacuation, and responsiveness of the people at risk with the same right and opportunity to evacuate safely. Thus, this paper will describe a holistic approach in tsunami evacuation planning, i.e. planning and design for evacuation route, signage and shelter, from the perspective of engineering and social management system needs, and its integration into spatial planning. Research for this paper was conducted in 2013 at Meuraksa sub-district in the City of Banda Aceh, by direct observation on the infrastructures, questionnaire-based interview on 98 respondents and secondary data. Using three-tier analysis, i.e. problem recognition, structuring the people mind and social behavior using semi logic model, and evacuation capacity analysis, several critical planning parameters were acquired to improve spatial plan. This paper assumes that estimated time needed to evacuate the whole people at risk (ETE) should be less than the lead-time, i.e. the estimated tsunami arrival time (ETA) minus time needed for warning dissemination (TEW). While estimated time for evacuation depends on several critical parameters, i.e. population density, building density, social economic, social demography, capacity of supporting infrastructure and social behavior of the people. If the ETE is much longer than the lead-time, thus increasing the capacity of horizontal evacuation routes should be in place. Otherwise the existence of vertical evacuation infrastructure/shelter (TVES) in that area is necessary. This paper also recommends the criteria of evacuation planning and structural design for the development of TVES. Other critical findings were that the existence of TVES built 165 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
and/or planned as well as the improvement of designated evacuation route have eventually affect the increase and decrease of land price, change of CBDs, change of demography profile which lead to the land use change followed by all related problem which will prolong ETE and hinder the evacuation process. Therefore, these critical parameters found are necessary to be considered in the improvement and/or review of the spatial plan. Keywords: tsunami evacuation planning, tsunami vertical shelter, social behavior model, logic model, spatial planning based on disaster risk reduction.
1. Pendahuluan Banda Aceh merupakan salah satu kota di Indonesia yang hancur oleh bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Dilihat dari kekuatan dan dampak nya, fenomena tsunami tersebut merupakan wake up call bagi Kota Banda Aceh, Indonesia dan Kawasan Samudera Hindia. Tidak hanya berdirinya Ina TEWS – Sistim Pringtana Dini Tsunami Indonesia, tetapi juga dengan lahirnya UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana pada tahun 2008. Melihat kerugian yang ditimbulkan dan letak Kota Banda Aceh yang sangat rawan terhadap tsunami, telah dilakukan upaya mitigasi baik bernetuk mitigasi struktural (fisik) maupun non-struktural (non-fisik) untuk mengurangi risiko atau kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tsunami di masa mendatang. Mitigasi struktural yang telah dilakukan di Kota Banda Aceh antara lain: Penanaman green belt berupa pohon bakau sebagai peredam gelombang tsunami, Pembangunan Tempat Evakuasi Sementara vertikal (TES), Pelebaran jalan dan pembangunan jalan lingkar luar untuk evakuasi, Pemasangan rambu-rambu evakuasi, dan Pemasangan sirene peringatan dini tsunami. Sedangkan mitigasi non-struktural yang telah dilakukan antara lain: Penambahan ruang terbuka hijau di pesisir, Pembatasan pembangunan di kawasan rawan tsunami untuk mengurangi jumlah penduduk terpapar, dan Pelaksanaan tsunami drill nasional tahun 2008 dan 2009. Secara prinsip, perencanaan evakuasi tsunami adalah mengoptimalkan waktu yang ada/tersisa (golden time) untuk mengevakuasi semua manusia terpapar sebelum tsunami datang. Mitigasi mendukung rencana evakuasi tsunami dengan mengurangi jumlah penduduk terpapar, atau mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk evakuasi. Study kasus untuk paper ini adalah Kecamatan Meuraksa yang merupakan salah satu kecamatan di Banda Aceh yang seluruh wilayahnya tergolong kawasan rawan tsunami. Belajar dari tsunami 2004 seluruh penduduknya tergolong penduduk terpapar risiko tsumi, yaitu penduduk yang berisiko terkena tsunami dimasa mendatang. Semua komponen mitigasi struktural dan non-struktural yang disebutkan di atas telah
166 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
diterapkan di kecamatan tersebut, terutama pembangunan TES dan jalur evakuasi yang sangat berguna bagi masyarakat dalam menyelamatkan diri mereka ketika tsunami. Pada tanggal 11 April 2012, Kota Banda Aceh dan sekitarnya kembali diguncang dua kali gempa tsunamigenik. Kepanikan melanda kota, jalanan macet, dan tidak sedikit kecelakaan yang terjadi di jalur evakuasi. Ironisnya, sebagian besar masyarakat Kecamatan Meuraksa tidak menggunakan TES yang telah disediakan. Padahal apabila mereka melakukan evakuasi ke TES, mereka bisa sampai ke tempat yang aman dalam waktu yang lebih cepat dan tidak perlu lari ke bagian kota yang jauh dari pantai. Banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan TES dan lari ke bagian kota yang lebih jauh dari pantai ini juga menambah bangkitan evakuasi sehingga jalanan menjadi macet. Terlebih lagi, sebagian besar masyarakat melakukan evakuasi menggunakan mobil atau motor, sehingga memperparah kemacetan di jalur evakuasi. Bisa dilihat pada beberapa perempatan evakuasi seperti Simpang Surabaya, dimana perempatan tersebit menjadi bottle neck evakuasi dari jalur evakuasi sekunder ke jalur evakuasi primer. Proses evakuasi terhambat dengan kemacetan yang luar biasa. Tampak dari gambaran ini bahwa upaya mitigasi yang telah dilakukan paska tsunami 2004, ternyata kurang terlihat dampaknya pada proses evakuasi 11 April 2012. Untuk itu dalam studi ini dilakukan kajian untuk memperbaiki rencana evakuasi tsunami melalui kajian dari berbagai aspek mitigasi, terutama ketersediaan infrastruktur pendukung evakuasi dan perilaku evakuasi masyarakat saat evakuasi di Kota Banda Aceh, khusus Kecamatan Meuraksa. Dengan empat fokus sasaran sebagai berikut: Kajian kebutuhan TES untuk Kecamatan Meuraksa dengan memperhatikan kondisi guna lahan dan sebaran TES eksisting. Identifikasi masalah-masalah terkait kondisi infrastruktur pendukung evakuasi tsunami dan perilaku evakuasi masyarakat yang dapat mempengaruhi rencana evakuasi tsunami di Kecamatan Meuraksa. Menemukan titik temu dari permasalahan-permasalahan terkait kebutuhan TES, infrastruktur pendukung evakuasi tsunami, dan perilaku evakuasi masyarakat. Merumuskan solusi penyelesaian permasalahan untuk menyempurnakan rencana evakuasi. 1. Metodologi Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: 1. Kajian Kebutuhan TES: untuk menghitung jumlah TES yang dibutuhkan untuk menyelamatkan seluruh penduduk Kecamatan Meuraksa dalam golden time; 2. Identifikasi Permasalahan pada Infrastruktur Pendukung Evakuasi Tsunami (TES, jalur evakuasi, dan rambu evakuasi): untuk melihat kondisi infrastruktur tersebut; 3. Identifikasi Permasalahan pada Perilaku Evakuasi Masyarakat: untuk melihat persepsi mengenai bahaya tsunami, pengalaman evakuasi 2012, tingkat kesiapsiagaan, prediksi perilaku evakuasi di masa depan, dan tanggapan
167 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
mengenai infrastruktur pendukung evakuasi. Data untuk analisis ini dihimpun melalui kuesioner semi wawancara kepada 94 responden yang tersebar merata di 16 kelurahan di Kecamatan Meuraksa. 4. Analisis Kesenjangan (Gap Analysis): untuk menemukan titik temu permasalahan dari tiga analisis sebelumnya, serta menemukan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Data primer didapatkan dari observasi, kuesioner, dan wawancara kepada lembaga-lembaga terkait. Sedangkan data sekunder didapatkan dari peraturan perundang-undangan, dokumen rencana, data statistik, dan peta 3. Analisis Kebutuhan TES Kemampuan jalur evakuasi untuk mengevakuasi penduduk terpapar di suatu kawasan agar selamat dari tsunami disebut Evacuation Capacity (Rahayu dan Anita, 2013), yang merupakan fungsi dari lebar jalan, ruang yang dibutuhkan untuk orang bergerak cepat (1 m2/orang), dan kecepatan orang berjalan cepat (3,3 km/jam) yang dapt dirumuskan sebagai berikut:
Ev : Kapasitas Evakuasi W : Lebar jalan (meter)
Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mengevakuasi seluruh penduduk terpapar tsunami dalam suatu unit kawasan disebut Estimated Time for Evacuation (ETE), yang didapat dengan membagi jumlah penduduk terpapar dengan Kapasitas Evakuasi jalur yang digunakan. ETE
= Jumlah penduduk terpapar / Ev
ETE unit kawasan akan ditotalkan dengan ETE kawasan lain yang menggunakan jalur evakuasi sama. Dari kajian sebelumnya (Hamzah Latief et al 2008) telah disebutkan bahwa waktu kedatangan tsunami (Estimated Tsunami Arival - ETA) adalah 33 menit. Dalam kajian ini diasumsikan bahwa waktu penerbitan peringatan dini tsunami (Time for Early Warning - TEW) adalah 10 menit, yang terdiri dari 5 menit waktu yang dibutuhkan BMKG Ina TEWS untuk menerbitkan tsunami paska gempa plus 5 menit lainnya diasumsikan sebagai waktu yang dibutuhkan pemerintah daerah dalam hal ini pusdalop BPBD untuk menerbitkan perintah evakuasi setelah mereka menerima perinatan tsunami dari BMKG. Sehingga waktu yang ada yang dimiliki oleh masyarakat sejak mendengar peringatan tsunami sampai gelombang tsunami datang (golden time) adalah 23 menit, didapatkan dari ETA - TEW. Apabila ETE total < 23 menit, maka seluruh penduduk terpapar kawasan tersebut dapat terselamatkan dan kawasan tersebut aman. Sehingga tidak perlu dibangun TES dikawasan tersebut.
168 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1 Waktu Evakuasi Menggunakan TES Kelurahan
Jlh Pendu -duk
Leba r Jala n
Pendu -duk di TES
Pendu -duk tidak aman
ETE
293
5
15 TES TDMRC
293
0
0
0 Aman
Gampong Pie
472
5
15 Lair Kecamatan
0
472
31
100 Tidak aman
Gampong Blang
463
5
15 Luar Kecamatan
0
463
31
68 Tidak aman
Asoe Nanggroe
558
5
15 Luar Kecamatan
0
558
37
37 Tidak aman
1.035
4
12 Luar kecamatan
0
1.035
86
123 Tidak aman
Lamjabat
679
4
12 Luar kecamatan
0
679
57
125 Tidak aman
Ulee (N)
293
12
36 TES TDMRC
293
0
0
0 Tidak aman
Deah Glumpang
788
6
18 TES Deah Glumpang
750
88
5
215 Tidak aman
Lambung
763
12
36 TES Lambung
750
13
2
213 Tidak aman
Blang Oi
1.838
12
36 Luar kecamatan
0
1.838
51
191 Tidak aman
782
12
36 Luar Kecamatan
0
782
22
162 Tidak aman
Gampong Baro
1.214
12
36 Luar Kecamatan
0
1.214
34
191 Tidak aman
Punge Ujong
1.322
12
36 Luar kecamatan
0
1.322
37
106 Tidak aman
Punge Jurong
3.496
12
36 Museum Tsunami
1.000
2.496
69
69 Tidak aman
605
6
18 TES Alue Deah Teungoh
375
255
14
159 Tidak aman
Alue Deah Teungoh
1.149
6
18 TES Alue Deah Teungoh
375
799
44
147 Tidak aman
Lampaseh Aceh
1.865
6
18 Luar Kecamatan
0
1.865
104
104 Tidak aman
Chater A
Ulee (s)
Lheue
Chater B
Surien
Lheue
Cot Lamkuweueh
Chater C
Deah Baro
Ev Cap acity
Tujuan Evakuasi
ETE total
Status
169 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Apabila ETE total ≥ 23 menit, maka tidak seluruh penduduk dapat terselamatkan dan kawasan tersebut tidak aman. Sehingga perlu dibangunkan TES dikawasan tersebut. Dimana jumlah TES yang diperlukan sesuai dengan kapasitas TES yang kan dibangun dan jumlah penduduk terpapar.
Dalam kajian ini, kelurahan-kelurahan di Kecamatan Meuraksa dibagi dalam 3 cluster kawasan menurut jalan utama yang digunakan dalam evakuasi. Untuk menentukan apakah perlu dibangun TES dan berapa julah yang dibutuhkan, terlebih dahulu akan dikaji ETE yang dibutuhkan untuk mengevakuai pendudk terpapar dalam satu kawasan dengan memperhitungkan keberadaan TES eksisting. Berikut adalah ETE yang dibutuhkan apabila evakuasi penduduk juga mengoptimalkan keberadaan 4 TES eksisting dan Museum Tsunami. Karena TES eksisting dan Museum Tsunami belum cukup untuk menyelamatkan seluruh penduduk di Kecamatan Meuraksa, maka diperlukan pembangunan tambahan TES baru agar jumlah tercapai ETE total kawasan < 23 menit. Dengan demikian, seluruh penduduk di Kecamatan Meuraksa dapat selamat sebelum gelombang tsunami datang. Berikut asumsi yang digunakan dalam menghitung jumlah TES baru yang dibutuhkan:
Luas bangunan TES tambahan seperti TES eksisting (1 lantai luasnya 375 m2). Diasumsikan satu orang membutuhkan tempat 1 m2 (Hakunti P. Rahayu dan Juani Anita, 2014), maka satu lantainya dapat menampung 375 orang. Karena sebagain besar Kecamatan Meuraksa memiliki tinggi rendaman tsunami di atas 2,5 meter, TES tambahan hanya dapat dipakai lantai 3 dan 4 saja, sehingga kapasitasnya 750 orang. Untuk kelurahan Lamjabat, Surien, Gampong Baro, dan Punge Ujong, TES tambahan dapat dipakai lantai 2, 3, dan 4 nya sehingga kapasitasnya sampai 1.125 orang. Penduduk kelurahan yang paling dekat dengan TES mencapai TES terlebih dahulu.
Jadi jumlah TES baru yang harus dibangun untuk menyelamatkan seluruh penduduk Kecamatan Meuraksa dalam golden time 23 menit adalah 16 buah. Dasar pemilihan lokasi TES yang digunakan adalah kriteria-kriteria yang tercantum pada Pedoman Perencanaan Bangunan TES Tsunami, antara lain:
Berlokasi di mana masyarakat mempunyai waktu yang singkat untuk evakuasi. Artinya jarak TES harus dekat dengan permukiman. Aksesibilitas yang mudah dan bebas macet. Jauh dari pompa bensin, kawasan industri, sumber bahan berbahaya dan beracun, tangki gas, pabrik kimia. Jauh dari pelabuhan dan pemecah ombak agar tidak terkena debris/puing-puing yang hancur. Berlokasi di tanah yang cukup tinggi dan genangan yang rendah.
Berikut adalah peta persebaran TES tambahan yang disusun dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria tersebut: 170 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 2 Evakuasi dengan TES Tambahan Kelurahan
Jlh. Penduduk
Lebar jalan
Ev Capa city
Ulee Lheue (S)
293
5
15
Gampong Pie
472
Gampong Blang
463
Asoe Nanggroe
5
15
Tujuan Evakuasi TES TDMRC TES Gampong Blang*
Jumlah Penduduk di TES
Jumlah Penduduk tak aman
ETE (meni t)
ETE total (meni t)
Status
293
0
0
0
Aman
472
0
0
0
Aman
463
0
0
0
Aman
558
0
0
0
Aman
1035
0
0
0
Aman
TES Asoe Nanggroe 1*
558
5
5
15
15
TES Gampong Blang TES Asoe Nanggroe 1* TES Asoe Nanggroe 2* TES Lamjabat*
Surien
1.035
4
12
TES Asoe Nanggroe 1* TES Asoe Nanggroe 2*
Lamjabat
679
4
12
TES baru Lamjabat*
679
0
0
0
Aman
Ulee Lheue (N)
293
12
36
TES TDMRC
207
86
2
17
Aman
Deah Glumpang
788
6
18
TES Deah Glumpang
750
38
2
15
Aman
Lambung
763
12
36
TES Lambung
750
13
0
0
Aman
1.838
0
0
0
Aman
782
0
0
0
Aman
TES Blang Oi 1* Blang Oi
1.838
12
36
TES Blang Oi 2* TES Gampong Baro 2*
Cot Lamkuweue h
782
12
36
TES Cot Lamkuweue h* TES Gampong
171 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Baro 2*
Gampong Baro
Punge Ujong
1.214
12
36
TES Gampong baro 1 TES Gampong Baro 2*
1.214
0
0
0
Aman
1.125
197
5
12
Aman
3.250
246
7
7
Aman
605
0
0
1
Aman
1.135
14
1
1
Aman
1.865
0
0
0
Aman
TES Punge Ujong* 1.322
12
36
TES Gampong Baro 2* Museum Tsunami
Punge Jurong
3.496
12
36
TES Punge Jurong 1* TES Punge Jurong 2*
Deah Baro
Alue Deah Teungoh
605
1.149
6
6
18
18
TES Deah Broe* TES Alue Deah Teungoh* TES Lampaseh Aceh 1* TES Lampaseh Aceh 1*
Lampaseh Aceh
1.865
6
18
TESLampas eh Aceh 2* TES Lampaseh Aceh 3*
*= TES tambahan Kondisi Bangunan Khusus TES dan Bangunan Eksisting yang dapat Dijadikan TES Keempat bangunan khusus TES di Banda Aceh selesai dibangun pada tahun 2008 dan seluruhnya berada di Kecamatan Meuraksa, tepatnya di kelurahan Ulee Lheue yang dikenal sebagai gorund zero Tsunami 2004, Lambung, Deah Glumpang, dan Alue Deah Teungoh. Dari hasil kajian perencanaan TES yang didasarkan pada kajian tinggi rendaman tsunami di masing-masing titik TES yang didapat dari tsunami model (Hamzal Latief et al 2008), maka lantai yang dapat dipakai untuk mengungsi hanya
172 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1 Usulan Lokasi TES Tambahan lantai 3 dan 4 saja. Satu lantai TES memiliki luas 375 m2. Apabila satu orang membutuhkan spasi 1 m2, maka diasumsikan satu lantai TES dapat menampung 375 orang dan total pengungsi yang dapat ditampung dalam 2 lantai TES adalah 750 orang. Khusus untuk TES Ulee Lheue yang ukurannya lebih kecil, estimasi jumlah pengungsi yang dapat ditampung di lantai 3 dan 4 adalah 500 orang. Dari hasil observasi yang dilakukan, TES yang ada di Banda Aceh seluruhnya merupakan bangunan khusus TES, dan pada saat sitauai normal bangunan tersebut tidak digunakan untuk kegiatan lain, kecuali TES Ulee Lheue yang sehari-harinya digunakan sebagai kantor Tsunami Disaster Mitigation and Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala. Hal ini menyebabkan ketiga TES tersebut kotor, terbengkalai, dan banyak fasilitasnya yang rusak ataupun dicuri warga. Meski demikian, secara fungsional ketiga TES tersebut masih dapat dipakai untuk evakuasi tsunami selama tinggi rendaman tsunami tidak melebihi tinggi minimum TES. Sebenarnya dalam evakuasi tsunami, bangunan eksisting seperti kantor pemerintah, hotel, mesjid, sekolah, dan sebagainya juga dapat digunakan sebagai TES. Dengan syarat, bangunan tersebut telah direncanakan dan dibangun dengan memperhitungkan beban-beban gempa dan tsunami, serta memenuhi tinggi minimum TES apabila dibandingkan dengan ketinggian rendaman tsunami di titik tersebut. Bangunan eksisting tersebut juga akan lebih baik jika dilengkapi fasilitas pendukung evakuasi seperti ramp atau atap yang dapat dinaiki.
173 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Di Banda Aceh hanya ada satu bangunan eksisting yang dapat dijadikan TES, yaitu Museum Tsunami. Kota Banda Aceh sendiri belum memiliki Qanun (Peraturan Derah) khusus yang mengatur tentang bangunan mana saja yang dapat dijadikan TES vertikal. Untuk memperkuat Qanun tersebut diperlukan Qanun yang mengatur building code untuk mengatur bangunan yang dibangun di kawasan rawan tsunami, baik secara struktur yang tahan gempa dan tsunami maupun desain bangunan agar dapat dipakai evakuasi. 4. Kondisi Jalur Evakuasi Kecamatan Meuraksa memiliki 3 (tiga) jalur evakuasi utama (primer), yaitu Jalan Lhoknga yang lebarnya 5 meter, Jalan Iskandar Muda yang lebarnya 12 meter, dan Jalan Rama Setia yang lebarnya 6 meter. Secara umum, ketiga jalan tersebut tergolong baik untuk evakuasi, karena jarang sekali ditemukannya hambatan seperti PKL dan parkir on-street yang dapat mengurangi kapasitas evakuasi. Jalan-jalan tersebut juga sudah dilengkapi dengan rambu evakuasi. Kondisi perkerasannya pun baik sehingga tidak membahayakan masyarakat dalam proses evakuasi. 5. Kondisi Rambu Evakasi Ada 3 tipe rambu evakuasi yang terdapat di Kota Banda Aceh:
Rambu penunjuk arah evakuasi Rambu penunjuk arah evakuasi dengan keterangan tempat dan estimasi jarak, dan Papan peta orientasi evakuasi tsunami.
Meskipun rambu evakuasi sudah dipasang di jalur-jalur evakuasi namun rambu sering kali terhalang oleh benda lain seperti pohon atau tiang listrik. Cat rambu yang pudar juga menyebabkannya sulit terbaca. Selain itu khusus rambu tipe 1, tidak terlalu jelas karena hanya menunjukkan arah saha. Menurut SNI 7743:2011 tentang Rambu Evakuasi Tsunami, rambu penunjuk arah tempat evakuasi seharusnya juga memuat nama tempat dan estimasi jaraknya. Berikut contoh rambu yang ada di Banda Aceh yang salah (tidak mengikuti SNI) dan contoh yang benar dalam SNI.
Gambar 2. Rambu yang Salah dan Standar SNI 7743:2011
174 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 3 Hasil Analisis Perilaku Evakuasi Masyarakat Parameter Kesiapsiagaan & Perilaku Masyarakat Persepsi tsunami
Perilaku Evakuasi Masyarakat
bahaya - 85% responden yang tinggal di kelurahan yang berbatasan dengan pantai merasa tidak aman dari tsunami. - 40% responden yang tinggal di kelurahan yang tidak berbatasan dengan pantai merasa tidak aman dari tsunami.
Pengalaman Evakuasi 2012
- Hanya 39% responden yang mendengar sirene. Responden yang mendengar sebagian besar tahu bahwa itu adalah sirene tsunami. - 59% responden langsung evakuasi ketika mendapat informasi tsunami, 11% tidak langsung percaya dan pergi ke laut untuk mengecek. - Hanya 6% responden yang lari ke TES, 67% lari ke tempat yang jauh dari pantai. - Alasan tidak menggunakan TES bermacam-macam. Antara lain karena terlalu jauh, letak TES terlalu dekat dengan laut, tidak yakin dengan kemampuan bangunan, dan tidak ada orang yang menggunakannya.. - 72% responden evakuasi menggunakan kendaraan.
Tingkat Kesiapsiagaan
- 32% respoonden yang tidak mengetahui arah evakuasi yang tepat. - 100% masyarakat di kelurahan yang memiliki TES tahu bahwa TES dapat digunakan unuk evakuasi tsunami, namun di kelurahan yang tidak memiliki TES, hanya 87% yang mengetahui. - Ada kecenderungan menjadikan masjid sebagai TES. - Kurangnya sosialisasi mengenai kegunaan TES. 86% responden mengetahui letak gedung yang dapat dijadikan tempat evakuasi karena mencari tahu sendiri atau diberi tahu orang lain. - 24% menganggap sirene tsunami tidak kedengaran dan 16% tidak percaya dengan sirene tsunami karena pernah berbunyi saat tidak ada tsunami. - 70% respondentidak pernah ikut tsunami drill. - 31% responden tidak mengerti tentang tsunami drill karena tidak pernah ikut.
Prediksi evakuasi depan
Perilaku - 84% respondenmemilih evakuasi ke tempat yang lebih jauh dari laut, di masa bukan ke TES. - Apabila terpisah dengan keluarga, mayoritas (~82%) responden akan mencoba mencari keluarga terlebih dahulu. - 90% responden akan melakukan evakuasi dengan kendaraan bermotor.
6. Identifikasi Permasalahan pada Perilaku Evakuasi Masyarakat Menurut wawancara berbasis kuesioner yang dilakukan kepada 94 responden di Kecamatan Meuraksa, terdapat beberapa kesimpulan perilaku evakuasi masyarakat, yang terbagi dalam 6 hal berikut. 175 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
7. Penentuan Titik Temu Masalah melalui Analisis Kesenjangan Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) bertujuan untuk menemukan masalahmasalah utama yang dapat mempengaruhi rencana evakuasi sehingga tidak dapat menyelamatkan semua penduduk dalam waktu golden time. Berikut adalah masalahmasalah utama tersebut: a. Dibutuhkan 16 TES tambahan untuk dapat menyelamatkan seluruh penduduk Kecamatan Meuraksa dalam waktu golden time (< 23 menit). b. Perlunya memanfaatkan bangunan eksisting sebagai TES untuk meminimalkan biaya pembangunan TES baru. c. Keempat TES di Kecamatan Meuraksa masih dapat digunakan secara fungsional sebagai tempat pengungsian meskipun keadaannya kotor. d. Ketidak tersediaannya fasilitas penunjang kehidupan (toilet, air bersih, pencahayaan) akan menyulitkan pengungsi apabila harus tinggal di TES dalam waktu yang lama. e. Kurangnya kontrol dari BPBD dalam pengelolaan dan perawatan bangunan TES. f. Belum ada Qanun (Perda) yang mengatur bangunan eksisting untuk dapat dijadikan TES. g. Belum ada building code yang mengatur desain bangunan di kawasan rawan bencana tsunami agar dapat dijadikan tempat evakuasi. h. Rambu evakuasi belum sesuai SNI, hanya menunjukkan arah saja. i. Rambu hanya ditulis dalam Bahasa Indonesia, sehingga belum tentu dimengerti oleh wisatawan asing. j. Pemantauan terhadap kejelasan rambu masih kurang. k. Masyarakat cenderung tidak menggunakan TES vertikal karena: Tidak tahu apa fungsinya Tidak mempercayai kemampuan TES dalam evakuasi, baik dari segi kekuatan bangunan maupun ketinggian bangunan Tidak adanya rasa kepimilikan dari masyarakat terhadap TES menyebabkan TES tidak terawat dan terbengkalai, padahal TES merupakan aset kelurahan. 1. Kurangnya sosialisasi kepada masyarakat Kecamatan Meuraksa mengenai: Bahaya tsunami kepada di Kecamatan Meuraksa. Kegunaan TES dalam evakuasi tsunami. Kegunaan rambu-rambu evakuasi dan arah evakuasi yang benar. Cara evakuasi yang baik dan benar. 2. Kurangnya sosialisasi dan persuasi kepada masyarakat untuk mengikuti tsunami drill. 3. Sistem peringatan dini tsunami di Banda Aceh masih harus disempurnakan. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap sirene tsunami. 4. Tidak adanya sanksi pidana untuk kegiatan pengerusakan fasilitas sirene tsunami membuat masyarakat berani bertindak anarkis untuk merusak sirene. 8. Kesimpulan dan Rekomendasi Rekomendasi-rekomendasi yang didapat dari hasil studi ini terbagi kepada tiga jenis; rekomendasi teknis, rekomendasi kebijakan, dan rekomendasi program.
176 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Rekomendasi teknis merupakan rekomendasi yang terkait dengan perbaikan fisik dan operasional. Adapun rekomendasi fisik dari studi ini adalah sebagai berikut:
Penambahan TES vertikal maksimal sebanyak 16 buah. Pengecekan struktur TES apakah sudah tahan gempa atau belum, kemudian dilakukan sosialisasi mengenai TES untuk meyakinkan masyarakat bahwa sudah diuji kekuatannya dan aman digunakan untuk evakuasi tsunami. Perbaikan rambu evakuasi menjadi sesuai dengan SNI:7743:2011 yang mencantumkan nama tempat dan estimasi jaraknya serta dilengkapi dengan informasi Bahasa Inggris agar juga dapat dipahami oleh wisatawan asing. Pemantauan terhadap kejelasan rambu lebih ditingkatkan. Apabila rambu terhalang oleh dahan pohon, sebaiknya dipotong. Apabila cat rambu sudah memudar, sebaiknya rambu tersebut diganti. Rekomendasi kebijakan terkait dengan usulan Qanun (Perda) dan penyusunan peraturan ataupun dokumen rencana agar lebih mendukung proses evakuasi tsunami. Adapun rekomendasi kebijakan dari studi ini adalah sebagai berikut:
Penyusunan Qanun mengenai larangan parkir on-street dan pedagang kaki lima (PKL) di jalur evakuasi untuk tetap mempertahankan kapasitas evakuasi. Dalam RDTR dan RTBL dimasukkan aturan mengenai lahan parkir minimal untuk kawasan komersil di Kecamatan Meuraksa agar tidak mengganggu badan jalan. Penyusunan Qanun (Perda) mengenai bangunan-bangunan eksisiting, seperti mesjid, sekolah, hotel, atau bangunan umum lain, agar dapat digunakan untuk evakuasi tsunami. Penyusunan Qanun mengenai building code untuk bangunan-bangunan yang akan dibangun di sekitar Kecamatan Meuraksa agar dapat digunakan untuk evakuasi tsunami. Disinsentif pembangunan permukiman yang berada di sekitar garis pantai berupa pajak atau ketentuan dalam Peraturan Zonasi untuk mengurangi penduduk terpapar. Diberlakukannya sanksi pidana kepada pelaku pengerusakan sirene tsunami. Selanjutnya rekomendasi program yaitu rekomendasi terkait program pengurangan risiko bencana yang akan dijalankan oleh lembaga tertentu. Rekomendasi Program dari studi ini antara lain:
Pemanfaatan TES sebagai tempat untuk acara-acara peringatan tsunami pada 26 Desember. BPBD juga dapat mengadakan acara lainnya yang berlokasi TES. Meningkatkan sosialisasi mengenai kegunaan TES, jalur evakuasi, rambu evakuasi, dan cara evakuasi yang baik dan benar lebih diintensifkan. Tidak hanya melalui penyuluhan pemerintah, namun juga melalui pelajaran di sekolah, media cetak, kelompok pengajian, maupun dari tingkat kecamatan atau kelurahan. Mewajibkan pendidikan kebencanaan diselenggarakan dari mulai tingkat SD sampai SMA, meliputi pengetahuan tentang bahaya gempat dan tsunami, tata cara evakuasi, dan bangunan yang dapat dipakai untuk evakuasi. Tsunami drill diadakan lebih sering dalam lingkup yang lebih kecil, seperti sekolah atau kantor pemerintah. 177
Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Daftar Pustaka ______. 2009. Vertical Evacuation from Tsunamis: A Guide for Community Officials. US: Federal Emergency Management Agency. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012 Master Plan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami 2012. Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh. 2013. Kecamatan Meuraksa dalam Angka 2013. Bartlett, James E. et.al. 2001. Organization Research: Determining Appropriate Sample Size in Survey Research. Information Technology, Learning, and Performance Journal, Vol. 19, Spring 2001 Borrero, Jose C. 2005. Field Survey Northern Sumatra and Banda Aceh, Indonesia and after the Tsunami and Earthquake of 26 December 2004. Department of Civil Engineering, University of Southern California, Los Angeles, USA. Fraser, S; Leonard, G.S.; Matsuo, I. and Murakami, H. 2012. Tsunami Evacuation: Lessons from the Great East Japan Earthquake and Tsunami of March 11th 2011. GNS Science Report 2012.17. 89 p. Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung. 2013. Pedoman Perencanaan Tempat Evakuasi Sementara (TES) Tsunami. Rahayu, Harkunti P. and Juarni Anita. 2014. Perencanaan Tempat Evakuasi Sementara (TES). Dokumen Petunjuk Teknis BNPB. Rahayu, Harkunti P. and Juarni Anita. 2015. Pedoman Teknis Perencanaan Jalur dan Rambu Evakuasi Tsunami. Dokumen Petunjuk Teknis BNPB. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Banda Aceh 2009-2029. Scheer. S., dkk. 2011. Handbook of Tsunami Evacuation Planning. Joint Research Center European Comission.
178 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Studi Komparatif Katalog Tsunami NGDC NOAA dan NTL Rusia Serta Implikasinya Terhadap Informasi dan Penelitian Tsunami di Wilayah Indonesia A Comparative Study of Tsunami Catalog from NGDC NOAA and NTL Russia and Its Implication for Tsunami Research and Information in Indonesian Region Dimas Salomo J. Sianipar1, Sugeng Pribadi2 1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Perhubungan I No. 5, Pondok Betung, Tangerang Selatan 15221, email;
[email protected], 2 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jl. Perhubungan I No. 5, Pondok Betung, Tangerang Selatan 15221, email;
[email protected]
Abstrak Penelitian ini merupakan studi komparatif yang komperehensif yang menganalisis katalog tsunami NGDC NOAA dan NTL Rusia. Untuk wilayah Indonesia, secara kuantitatif, katalog NGDC NOAA menyediakan data 242 sumber pembangkit tsunami pada tahun 2000 S.M. sampai 2014 M. Pada rentang waktu yang tersebut, katalog NTL Rusia menyediakan 222 sumber pembangkit tsunami. Parameter yang disediakan oleh katalog NGDC NOAA lebih banyak daripada katalog NTL Rusia. Secara kualitatif, disimpulkan bahwa katalog NGDC NOAA menunjukkan kualitas katalog yang lebih baik dan lebih informatif. Katalog ini memiliki nilai tambah karena menyajikan data dan informasi tambahan berupa efek tsunami, informasi sumber yang cukup lengkap dan referensi yang lebih banyak. Katalog NTL Rusia menyediakan data lokasi sumber dan kedalaman sumber gempa yang lebih baik, tetapi memuat waktu kejadian (origin time) yang kurang lengkap. Perbedaan kedua katalog terletak pada penggunaan magnitudo gempa. Katalog NGDC NOAA menggunakan banyak jenis magnitudo gempa (Mw, Ms, Mb, Ml, Mfa) sementara katalog NTL Rusia hanya menggunakan Ms dan Mw. Magnitudo tsunami Abe lebih banyak terdapat di katalog NTL Rusia, sementara magnitudo tsunami Iida hanya terdapat di katalog NGDC NOAA. Untuk efek tsunami, katalog NTL Rusia hanya menampilkan kode tingkatan kerusakan. Kata Kunci: tsunami, katalog, NGDC NOAA, NTL Rusia Abstract We did a comparative and comprehensive study to analyze the tsunami catalog from National Geophysical Data Center (NGDC) NOAA and from Novosibirsk Tsunami Laboratory (NTL), which is part of the Institute of Computational Mathematics and 179 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Mathematical Geophysics of Siberian Division of Russian Academy of Sciences. Quantitatively, NGDC NOAA catalog recorded 242 tsunami source occured in Indonesian region in the year 2000 B.C. to 2015. In the same time period, the NTL tsunami catalog showed 222 tsunami source. NGDC NOAA provides more complete tsunami parameter than NTL Rusia catalog. Qualitatively, we considered that the NGDC NOAA catalog showed better quality of catalog because its provides more additional data such us effects of tsunami, more source informations and references. NTL Rusia catalog also useful because its provides source location (coordinate) better than NGDC NOAA but its provides lack of origin time of sources. The difference of both catalog is in using the earthquake magnitude scale. NGDC NOAA used varies earthquake magnitude i.e. Mw, Ms, Mb, Ml and Mfa while NTL Rusia just used Ms and Mw. The tsunami magnitude Abe Mt is more in the NTL Rusia catalog while Iida magnitude only in the NGDC NOAA. For tsunami effect, NTL Rusia displayed the damage codes. Keywords: tsunami, catalog, NGDC NOAA, NTL Rusia
1. Pendahuluan Tsunami merupakan gelombang laut yang memiliki periode yang panjang yang disebabkan oleh adanya gangguan impulsif yang terjadi di dasar laut. Gangguan impulsif yang dapat menyebabkan tsunami antara lain gempabumi tektonik dengan episenter yang terletak di dasar laut, meletusnya gunung api (erupsi vulkanik) di laut, adanya longsoran (landslide) atau benda langit yang cukup besar jatuh di laut. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Ketiga lempeng tersebut relatif bergerak satu sama lain. Pergerakan relatif ketiga lempeng ini menciptakan zona subduksi yaitu suatu daerah yang mana dua lempeng saling bertumbukan dan salah satu lempeng menyusup di bawah yang lain. Gempabumi tektonik terjadi pada zona subduksi ini. Zona subduksi ini terletak di bawah laut dan menjadi faktor utama pembangkit tsunami untuk wilayah Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terhadap terjadinya tsunami dikarenakan terdapatnya sumber-sumber gempabumi tektonik tersebut di dasar laut serta juga memiliki gunung api di laut. Kebanyakan kejadian tsunami di dunia ternyata dipicu oleh gempa-gempa tektonik yang besar. Wilayah Indonesia merupakan wilayah dengan tingkat seismisitas yang tinggi yang gempa-gempa besarnya juga memungkinkan memicu terjadinya kejadian tsunami. Pribadi dkk. (2013) juga berhasil mengkarakterkan gempa-gempa pembangkit tsunami. Gempabumi tektonik pembangkit tsunami dapat dibedakan menjadi dua yaitu tsunamigenic earthquake dan tsunami earthquake. Dua istilah yang berbeda dalam studi tsunami karena masing-masing memiliki kekhususan dan karakter tersendiri. Kompleksnya tatanan tektonik di wilayah Indonesia menyimpan potensi tsunami yang tentunya juga mempunya karakteristiknya masing-masing. Penelitian ini bertujuan untuk membuat analisis perbandingan (studi komparatif) secara kualitatif dan kuantitatif terhadap katalog tsunami yang merekam kejadiankejadian tsunami masa lampau hingga saat ini di wilayah Indonesia.
180 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Ketersediaan katalog atau database kejadian tsunami yang baik akan sangat bermanfaat pada informasi dan riset tsunami itu sendiri. Sistem pengambilan keputusan (decision support system) dalam sistem peringatan dini tsunami (tsunami early warning system) memerlukan masukan database tsunami di suatu wilayah (region) pada waktu sebelumnya untuk bisa mengkarakterkan tsunami di wilayah tersebut. Karakteristik tsunami masing-masing wilayah bisa berbeda-beda tergantung karakteristik sumbersumber pembangkit tsunami di wilayah tersebut. Nakamura (1979) pernah membuat analisis statistik kejadian tsunami yang disebabkan oleh gempabumi di Indonesia untuk mengevaluasi frekuensi kejadian tsunami. Hamzah dkk. (2000) juga pernah melakukan penelitian untuk membuat zonasi dan katalog tsunami di wilayah Indonesia. Berdasarkan data yang dikompilasi mereka selama periode 1600-1999, terdapat 105 tsunami terjadi di Indonesia. 95 kejadian disebabkan oleh gempa pada wilayah dangkal pada zona subduksi dan batas lempeng, 9 kejadian disebabkan oleh erupsi vulkanik dan 1 disebabkan oleh longsoran. Mereka menemukan kejadian gempa dan tsunami dengan frekuensi yang tinggi terjadi pada sekitar tahun 1800-1999. 2. Data Data yang diperoleh yaitu data katalog tsunami yang dapat diakses secara bebas (free access) yang bersumber dari dua institusi yang berbeda yaitu katalog tsunami NGDC NOAA (National Geophysical Data Center, National Oceanic and Atmospheric Administration) serta katalog tsunami NTL (Novosibirsk Tsunami Laboratory) Rusia. Katalog tsunami NGDC NOAA dapat diakses secara langsung melalui alamat situs https://www.ngdc.noaa.gov/hazard/tsu_db.shtml. Katalog tsunami ini merupakan database kejadian tsunami global yang dikumpulkan oleh NGDC/WDS (World Data Service) NOAA Amerika Serikat. Katalog tsunami global NGDC NOAA ini terdiri dari dua dokumen yang berhubungan yang berisi informasi kejadian tsunami dari tahun 2000 S.M. (Sebelum Masehi) sampai saat ini di samudera Atlantik, Hindia dan Pasifik, serta laut Karibean dan Mediteranian. Ada dua pilihan dalam mengunduh data melalui NGDC NOAA yaitu pilihan ”Tsunami Source Event” dan ”Tsunami Runup”. Pilihan pertama (”Tsunami Source Event”) yaitu pencarian yang berdasarkan informasi pada sumber (source) pembangkit tsunami. Data yang disediakan yaitu meliputi lokasi sumber, tanggal dan waktu, kekuatan gempa, ketinggian air maksimum, total korban jiwa, korban luka dan kerusakan yang disebabkan kejadian tsunami. Sementara pada pilihan kedua (”Tsunami Runup”), informasi didasarkan pada lokasi dimana efek tsunami terjadi. Data yang disediakan meliputi data waktu kedatangan gelombang, waktu tempuh (travel time, ketinggian air maksimum, jarak inundansi horisontal, korban jiwa, korban luka dan kerusakan pada lokasi yang spesifik. Pada penelitian ini, data yang diunduh dan digunakan untuk analisis perbandingan yaitu data dengan pilihan pencarian ”Tsunami Source Event” yaitu yang berdasarkan informasi pada sumber dari tsunami. Data dipilih dan diunduh untuk kejadian tsunami dengan sumber pembangkit di wilayah 12.00o L.S. sampai dengan 7.00o L.U. dan 90.00o B.T. sampai dengan 142.00o B.T. dan untuk semua parameter lainnya. Kriteria ini membatasi pencarian dengan hanya menggunakan data yang memiliki koordinat lokasi sumber tsunami. 181 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Katalog tsunami NTL Rusia merupakan database kejadian tsunami untuk seluruh samudera yang dikelola oleh Novosibirsk Tsunami Laboratory (NTL) yang merupakan bagian dari Institute of Computational Mathematics and Mathematical Geophysics of Siberian Division of Russian Academy of Sciences. Katalog tsunami ini dapat diakses melalui alamat situs http://tsun.sscc.ru/On_line_Cat.htm. Database tsunami yang disediakan berisi parameter tsunami berbasis sumber pada hampir 2270 kejadian tsunamigenik yang terjadi di seluruh samudera di dunia (dalam wilayah antara 90 L.S. sampai 90 L.U. dan 180 B.B. sampai 180 B.T.). Database ini memuat kejadian dari tahun 1628 S.M. sampai dengan saat ini, dengan mendekati hampir 9000 observasi run-up di pesisir dan tide-gauge, dari ketinggian gelombang dan data gempa yang berisi katalog gempa signifikan seluruh dunia (sekitar 6300 gempa) dari zaman pra-sejarah sampai saat ini. Situs ini katalog NTL Rusia ini juga dapat menyediakan format pencarian data yang sesuai dengan kriteria pencari, mengurutkan dan menyaring data sesuai kebutuhan juga beberapa pengolahan data (histogram kejadian tsunami, intensitas terhadap waktu atau intensitas terhadap magnitudo gempa). Data yang diunduh untuk digunakan dalam studi komparatif ini yaitu data berbasis lokasi sumber dengan lingkup koordinat yang sama dengan yang diunduh dari katalog NGDC NOAA. Gambar 1 menunjukkan sebaran sumber pembangkit tsunami menurut kedua katalog. Data sumber pembangkit tsunami versi katalog NGDC NOAA lebih banyak daripada katalog NTL Rusia. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa mayoritas pembangkit tsunami di Indonesia berada di sekitar zona pertemuan lempeng tektonik di laut (zona subduksi), walaupun dari kedua katalog terdapat zona pembangkit yang berada di darat. Hal ini akan dijelaskan pada bahasan berikutnya.
Gambar 1. Sebaran sumber pembangkit tsunami di wilayah Indonesia menurut katalog NGDC NOAA (bulatan hitam) dan NTL Rusia (bintang merah). Gambar dibuat dengan Google Earth Pro ©.
182 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
3. Hasil dan Diskusi Sangat banyaknya korban jiwa dan kerugian ekonomi yang diakibatkan bencana tsunami, misalnya kejadian tsunami pesisir barat Sumatera, pada 26 Desember 2004, merupakan bukti kurangnya pemahaman dan kesiapsiagaan negara dalam menghadapi potensi tsunami. Penelitian terhadap kejadian tsunami di masa lalu di suatu wilayah yang spesifik sangat bermanfaat dalam pengambilan keputusan terkait mitigasi bencana tsunami di tempat tersebut. Sampai saat ini, Indonesia masih berusaha meningkatkan kapasitasnya dalam menanggulangi bencana tsunami. Katalog NGDC NOAA dan NTL Rusia keduanya memberikan kontribusi yang besar terhadap riset dan informasi tsunami di Indonesia. Database tsunami yang lengkap ternyata diperlukan untuk menganalisis lebih lanjut terhadap parameter sumber tsunami dan efek yang ditimbulkan tsunami tersebut di suatu lokasi. Untuk pencarian berbasiskan lokasi sumber, dengan wilayah pencarian yang sama (wilayah Indonesia), pada koordinat yang sudah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, katalog NGDC NOAA menyediakan 242 kejadian tsunami sedangkan katalog NTL Rusia menyediakan 222 kejadian tsunami. Masing-masing katalog menyajikan parameter kejadian tsunami dalam format yang berbeda. Tabel 1 menunjukkan perbandingan kelengkapan parameter yang disediakan masing-masing oleh katalog NGDC NOAA dan NTL Rusia. Untuk lokasi sumber pembangkit tsunami, kedua katalog menampilkan data lintang dan bujur sumber dengan cukup lengkap karena pada dasarnya pencarian berbasiskan pada lokasi sumber. Data lintang dan bujur sumber dari katalog NGDC NOAA tidak lebih baik daripada katalog NTL Rusia. Katalog NTL Rusia lebih baik dalam menampilkan koordinat lintang dan bujur serta menyediakan data kedalaman (depth) dari sumber gempa pembangkit yaitu sebanyak 126 dari 222 kejadian, sementara katalog NGDC NOAA tidak. Tetapi dari sisi waktu kejadian (origin time), katalog NGDC NOAA menampilkan lebih baik, karena katalog NTL Rusia banyak menampilkan waktu bernilai nol (00:00:00). Dari tabel tersebut dapat diperhatikan bahwa katalog NGDC NOAA menyediakan parameter yang jauh lebih banyak daripada katalog NTL Rusia. Terdapat 29 parameter yang disediakan katalog NGDC NOAA sementara katalog NTL Rusia menyediakan 20 parameter. Kedua katalog sama-sama menampilkan data validitas kejadian tsunami yang merupakan parameter tingkat probabilitas apakah kejadian yang dimaksud benar-benar kejadian tsunami atau bukan. Terdapat sedikit perbedaan antara kedua katalog yang mana katalog NGDC NOAA menyediakan skor validitas dalam rentang -1 sampai dengan 4 sementara katalog NTL Rusia menyediakan skor dalam rentang 0 sampai 4. Grafik validitas tsunami kedua katalog dapat dilihat pada Gambar 2.
183 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1. Perbandingan kelengkapan parameter katalog NGDC NOAA dan NTL Rusia No
Parameter yang Disediakan Katalog NGDC NOAA
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tahun Bulan Hari Jam, Menit, Detik Validitas Kode Penyebab Kekuatan Gempabumi Penyebab Gunung Api Informasi Tambahan Negara Nama Lokasi Sumber Lintang
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Bujur Ketinggian Air Maksimum Jumlah Data Run-up Magnitudo Tsunami (Abe) Magnitudo Tsunami (Iida) Intensitas Tsunami Jumlah Korban Jiwa Skor Perkiraan Korban Jiwa Jumlah Korban Luka Skor Perkiraan Korban Jiwa Kerugian Ekonomi Skor Perkiraan Kerugian Ekonomi Jumlah Rumah Hancur Skor Perkiraan Rumah Hancur) Jumlah Rumah Rusak Skor Perkiraan Rumah Rusak Foto-Foto
13 14 15 16 17 18 19 20
Parameter yang disediakan katalog NTL Rusia Tahun Bulan-Tanggal Lintang Bujur Kedalaman Magnitudo (Ms) Magnitudo momen (Mw) Magnitudo tsunami Abe (Mt) Intensitas Tsunami Skala Soloviev Ketinggian gelombang maks (m) Magnitudo momen gempa Jumlah total observasi run-up dan tide gauge yang tersedia Kode kerusakan Penyebab Tsunami Indeks validitas kejadian Status peringatan Kode wilayah tsunamigenik Referensi dasar kejadian Wilayah sumber Ketinggian gelombang per observasi
Validitas kejadian tsunami aktual yang diindikasikan oleh sebuah skor numerik pada katalog NGDC NOAA (nilai valid -1 sampai 4) dari laporan kejadian mempunyai makna yaitu, 4 = pasti tsunami, 3 = mungkin tsunami, 2 = dipertanyakan, 1 = sangat diragukan, 0 = kejadian yang hanya disebabkan oleh seiche atau gangguan di sungai di daratan, dan -1 = masukan yang salah. Sementara skor validitas tsunami dalam katalog NTL Rusia memiliki makna yaitu 4 = pasti tsunami (probabilitas mendekati 1.0), 3 = mungkin tsunami (probabilitas sekitar 0.75), 2 = dipertanyakan (probabilitas sekitar 0.50), 1 = sangat diragukan (probabilitas sekitar 0.25), dan 0 184 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Grafik validitas kejadian tsunami: (kiri) katalog NGDC NOAA dan (kanan) katalog NTL Rusia. = masukan yang salah (probabilitas mendekati 0.00). Kedua katalog menunjukkan bahwa skor untuk kejadian yang pasti tsunami (skor 4) adalah yang paling tinggi.
Kedua katalog juga bersama-sama menampilkan data penyebab tsunami yang dapat dilihat pada Gambar 3. Pada katalog NGDC NOAA, nilai valid untuk kode penyebab tsunami (0 sampai 11) yaitu 0 = tidak diketahui, 1 = gempabumi, 2 = gempabumi yang dipertanyakan, 3 = gempabumi dan longsoran, 4 = gunung api dan gempabumi, 5 = gunung api, gempabumi dan longsoran, 6 = gunung api, 7 = gunung api dan longsoran, 8 = longsoran, 9 = aspek meteorologi, 10 = ledakan, 11 = pasang astronomis. Sementara katalog NTL Rusia menampilkan kode-kode pembangkit tsunami dalam bentuk huruf L, T, TL, U, V dan VM. Huruf-huruf tersebut mempunyai makna yaitu T = gempa tektonik, V = vulkanik (gunung api), L = longsoran, M = aspek meteorologi, S = seiche, E = ledakan, I = tumbukan, U = tidak diketahui. Dari kedua katalog terkonfirmasi bahwa penyebab paling utama dari kejadian tsunami di wilayah Indonesia yaitu gempabumi tektonik yaitu 78.9 % menurut katalog NGDC NOAA dan 84.6 % menurut katalog NTL Rusia. Menurut katalog NGDC NOAA, kejadian tsunami yang disebabkan aktivitas vulkanik yaitu hanya sebanyak 22 kejadian (9,09 %), dan menurut katalog NTL Rusia sebanyak 11 kejadian (4,95 %).
Gambar 3. Grafik sumber pembangkit kejadian tsunami: (kiri) katalog NGDC NOAA dan (kanan) katalog NTL Rusia. 185 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4. Grafik distribusi magnitudo gempa pembangkit tsunami di wilayah Indonesia dalam katalog NGDC NOAA (kiri) dan NTL Rusia (kanan). Karena mayoritas kejadian tsunami di wilayah Indonesia disebabkan oleh gempabumi tektonik seperti uraian di atas, maka pada Gambar 4 ditampilkan grafik distribusi magnitudo kejadian gempa (M) yang menyebabkan kejadian tsunami di Indonesia menurut katalog NGDC NOAA dan NTL Rusia. Katalog NGDC NOAA menyediakan 149 magnitudo gempa dari 242 kejadian tsunami yang ada. Magnitudo gempa minimum yang telah menyebabkan tsunami di wilayah Indonesia menurut katalog ini sebesar 5,4 Skala Magnitudo yaitu kejadian gempa di palung Jawa pada 24 Februari 1982. Sementara magnitudo maksimum sebesar 9,1 Skala Magnitudo yaitu gempa yang terjadi di pesisir barat Sumatera pada 26 Desember 2004. Skala magnitudo gempa yang digunakan dalam katalog NGDC NOAA ini menggunakan gabungan dari skalaskala yang berbeda yaitu magnitudo momen (Mw), magnitudo gelombang permukaan (Ms), magnitudo gelombang tubuh (Mb), magnitudo lokal (Ml), dan Mfa. Skala magnitudo Mfa dihitung dari wilayah yang merasakan gempa, yaitu khususnya untuk gempa-gempa yang terjadi sebelum instrumen observasi seismik secara umum digunakan. Selain magnitudo gempa di atas, katalog NGDC NOAA juga menunjukkan adanya magnitudo tsunami (Mt) Abe dan Iida. Tetapi pada data di wilayah Indonesia yang diunduh, tidak ada informasi Mt Abe (kosong). Beberapa data memiliki Mt Iida. Abe (1979) mendefenisikan dua amplitudo kekuatan tsunami yang berbeda. Yang pertama yaitu Mt = logH + B, yang mana H adalah amplitudo puncak atau lembah tunggal maksimum dari gelombang tsunami (dalam meter) dan B merupakan konstanta. Rumus Mt kedua dari Abe (1981) yaitu Mt = logH + alogR + D, yang mana R merupakan jarak dalam km dari episenter gempa ke stasiun pasang sepanjang jalur samudera terpendek, a dan D merupakan konstanta.
186 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 5. Sebaran hubungan magnitudo tsunami Iida dengan magnitudo gempa pembangkitnya versi katalog NGDC NOAA. Magnitudo Tsunami (Mt) Iida mempunyai nilai dalam rentang -5 sampai 10. Mt yang didefenisikan oleh Iida dkk. (1967) yaitu M = log2h, yang mana "h" adalah ketinggian run-up maksimum gelombang. Jumlah Mt Iida pada data kejadian tsunami versi katalog NGDC NOAA yaitu sebanyak 78. Mt Iida terkecil -3,3 yaitu kejadian tsunami Selatan Jawa pada 19 Juli 1930 dengan kekuatan gempa 6,5 Skala Magnitudo. Mt Iida terbesar sebesar 5.5 yaitu pada kejadian tsunami akibat aktivitas letusan Krakatau tahun 1883. Gambar 5 menampilkan sebaran hubungan magnitudo tsunami Iida dengan magnitudo gempa dari katalog NGDC NOAA. Sementara katalog NTL Rusia menggunakan dua jenis magnitudo gempa yaitu Ms – magnitudo gelombang permukaan, dan Mw – magnitudo momen. Katalog ini juga menampilkan magnitudo tsunami Abe (Mt). Sebanyak 153 kejadian (5.0 – 9.0 Ms) pada data katalog NTL Rusia untuk wilayah Indonesia menggunakan magnitudo Ms, sebanyak 85 kejadian (6.0 – 9.0 Mw) menggunakan Mw dan sebanyak 9 kejadian (7.0 – 9.0 Mt) menggunakan Mt Abe.
Penentuan nama lokasi sumber pembangkit tsunami berbeda antara katalog NGDC NOAA dan NTL Rusia. Penggunaan nama lokasi sumber pembangkit tsunami, pada katalog NGDC NOAA menggunakan nama negara atau provinsi atau region atau kepulauan dimana sumber tsunami tersebut berada. Dalam katalog NGDC NOAA yang diunduh lewat penelitian ini, teridentifikasi ada 87 nama lokasi sumber yang berbeda di wilayah Indonesia. Sebagai contoh nama lokasi sumber yang memiliki frekuensi pembangkit tsunami paling banyak dalam katalog ini yaitu Laut Banda (33 kejadian), Maluku Utara (16 kejadian), Selatan Jawa (9 kejadian), Sulawesi (9 kejadian), Sumatera (7 kejadian), Barat Daya Sumatera (15 kejadian), Laut Timor (5 kejadian). Bahkan terdapat kejadian tsunami yang hanya menyebut nama lokasi ”Indonesia” yaitu sebanyak 2 kejadian. Menurut katalog NGDC NOAA, nama ini hanya merupakan estimasi lokasi geografis. Kejadian sebelum tahun 1900, nama lokasinya tidak ditentukan secara instrumen. Nama lokasi diberikan berdasarkan lintang dan bujur dari kota dimana efek maksimum terjadi. Sementara itu, katalog NTL Rusia menggunakan kode nama wilayah yang lebih rapi dan spesifik yaitu yang disebut TR (tsunamigenic region code). Terdapat 26 pembagian TR di seluruh dunia dan wilayah Indonesia mayoritas masuk ke region dengan kode IND yang artinya Indonesia (11°L.S. - 11°L.U, 92°B.T. - 130°B.T.). 187 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Untuk data ketinggian air maksimum di atas mean sea level (MSL) dalam meter, katalog NGDC NOAA, menggunakan dua tipe pengukuran. Pertama, menggunakan Tide Gauge, ketinggian maksimum yaitu setengah dari ketinggian maksimum (minus pasang normal) dari gelombang tsunami yang terekam di pantai oleh alat tide gauge. Kedua, Deep Ocean Gauge – ketinggian maksimum yaitu setengah ketinggian maksimum (minus pasang normal) dari gelombang tsunami yang terekam di laut terbuka oleh sebuah sistem perekam tekanan dasar laut. Menurut data NGDC NOAA, untuk sumber pembangkit di wilayah Indonesia, terdapat 105 sumber tsunami yang memiliki ketinggian maksimum yaitu yang terkecil 0.06 meter sampai dengan terbesar 500 meter. Ketinggian maksimum terbesar yaitu 500 meter disebut disebabkan oleh sumber dari letusan Krakatau tahun 1930. Gambar 6 menunjukkan grafik sebaran ketinggian air maksimum terhadap magnitudo gempa versi katalog NGDC NOAA. Sementara menurut katalog NTL Rusia, ketinggian gelombang maksimum (dalam meter) yang terobservasi atau terukur di wilayah Indonesia yaitu sebanyak 66 kejadian. Kejadian dengan ketinggian maksimum terkecil yaitu 0.1 meter, sementara yang terbesar 80 meter pada kejadian tsunami tanggal 17 Februari 1674. Data lain yang ditampilkan di kedua katalog yaitu jumlah data run-up. Ketinggian run-up merupakan elevasi maksimum gelombang mencapai inundasi maksimum. Data ini yaitu jumlah total run-up yang menampilkan lokasi run-up tersebut yang berasosiasi dengan sebuah kejadian tsunami. Menurut katalog NTL Rusia, N atau jumlah run-up merupakan jumlah total run-up yang tersedia termasuk dari observasi tide gauge. Rata-rata jumlah run-up pada katalog NGDC NOAA untuk wilayah Indonesia yaitu sebanyak 12 data. Ada beberapa kejadian yang tidak mempunyai data run-up. Jumlah data run-up terbanyak yaitu 1508 merupakan data run-up untuk kejadian tsunami Aceh tanggal 26 Desember 2004.
Gambar 6. Sebaran hubungan ketinggian air maksimum (meter) tsunami dengan magnitudo gempa pembangkitnya versi katalog NGDC NOAA.
188 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 7. Grafik sebaran nilai intensitas tsunami Soloviev terhadap magnitudo gempabumi versi katalog NGDC NOAA untuk data wilayah Indonesia Nilai intensitas tsunami yang ditampilkan oleh kedua katalog yaitu intensitas tsunami yang didefenisikan oleh Soloviev dan Go (1974) yaitu bernilai -5 sampai 10. Intensitas tsunami ini yaitu I = log2(21/2 * h), yang mana "h" adalah ketinggian run-up maksimum gelombang. Pada katalong NGDC NOAA, terdapat 116 data intensitas tsunami dari 242 kejadian tsunami. Nilai terkecil yaitu -2 yaitu pada kejadian tsunami Jawa 11 September 1921 dengan kekuatan gempa 7.5 Skala Magnitudo. Nilai terbesar yaitu 4 yaitu pada kejadian tsunami akibat aktivitas Gunung Krakatau 1883. Gambar 6 menunjukkan grafik sebaran intensitas tsunami terhadap magnitudo gempabumi versi katalog NGDC NOAA. Sementara pada katalog NTL Rusia, terdapat 134 dari 222 kejadian yang memiliki nilai intensitas tsunami. Nilai yang terkecil yaitu -5 dan nilai yang terbesar yaitu 4,2 yaitu pada kejadian tsunami Aceh 26 Desember 2004. Gambar 7 menunjukkan grafik sebaran nilai intensitas tsunami Soloviev terhadap magnitudo gempa. Satu sisi keunggulan utama yang dimiliki katalog NGDC NOAA yaitu tersedianya informasi tambahan yang lengkap dan informatif. Informasi tambahan ini meliputi penjelasan mendetail tentang penyebab tsunami, informasi yang berkaitan dengan pembangkit tsunami tersebut, serta sumber referensi dan/atau kutipan yang jelas. Katalog ini juga menyediakan data efek atau kerusakan yang lebih lengkap. Misalnya jumlah kejadian tsunami yang menyebabkan korban jiwa di Indonesia yaitu sebanyak 43 kejadian tsunami. Di sisi lain, katalog NTL Rusia menyediakan alternatif untuk menunjukkan seberapa besar efek yang ditimbulkan oleh suatu tsunami di Indonesia yaitu dengan kode kerusakan (damage code). Kode kerusakan yang digunakan beserta frekuensinya untuk kejadian di wilayah Indonesia yaitu N = kejadian tidak merusak (11 kejadian), S = kerusakan ringan (15 kejadian), M = kerusakan tingkat sedang (22 kejadian), L = kerusakan parah (21 kejadian). Selain itu katalog NTL Rusia juga menyediakan (walau tidak banyak) status peringatan yang dikeluarkan oleh Pasific Tsunami Warning Center (PTWC) untuk kejadian tsunami setelah tahun 1948 dengan lokasi sumber yang bersinggungan dengan Samudera Pasifik.
189 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
4. Kesimpulan Katalog tsunami NGDC NOAA dan NTL Rusia sangat bermanfaat untuk informasi dan riset tsunami di Indonesia. Kedua katalog tsunami ini saling mengisi dan melengkapi satu sama lain. Penelitian ini merupakan studi komparatif yang komperehensif yang menganalisis kedua katalog tersebut. Untuk wilayah Indonesia, secara kuantitatif, katalog NGDC NOAA menyediakan data 242 sumber pembangkit tsunami di wilayah Indonesia pada tahun 2000 S.M. sampai 2014 M. Pada rentang waktu yang tersebut, katalog NTL Rusia menyediakan 222 sumber pembangkit tsunami. Parameter yang disediakan oleh katalog NGDC NOAA lebih banyak daripada katalog NTL Rusia. S Secara kualitatif, disimpulkan bahwa katalog NGDC NOAA menunjukkan kualitas katalog yang lebih baik dan lebih informatif. Katalog ini memiliki nilai tambah karena menyajikan data dan informasi tambahan berupa efek tsunami, informasi sumber yang cukup lengkap dan referensi yang lebih banyak. Katalog NTL Rusia menyediakan data lokasi sumber dan kedalaman sumber gempa yang lebih baik, tetapi memuat waktu kejadian (origin time) yang kurang lengkap. Perbedaan terletak pada penggunaan magnitudo gempa. Katalog NGDC NOAA menggunakan banyak jenis magnitudo gempa (Mw, Ms, Mb, Ml, Mfa) sementara katalog NTL Rusia hanya menggunakan Ms dan Mw. Magnitudo tsunami Abe lebih banyak terdapat di katalog NTL Rusia, sementara magnitudo tsunami Iida hanya terdapat di katalog NGDC NOAA. Untuk efek tsunami, katalog NTL Rusia hanya menampilkan kode tingkatan kerusakan.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada TDMRC Unsyiah atas kesempatan yang diberikan mempresentasikan penelitian ini pada Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015 TDMRC Unsyiah di Banda Aceh.
Daftar Pustaka Abe, K., 1979, Size of great earthquakes of 1837–1974 inferred from tsunami data. Journal of Geophysical Research, 84: 1561-1568. Abe, K., 1981, Physical size of tsunamigenic earthquake of the northwestern Pasific. Phys. Earth Planet. Inter., 27: 194-205. Hamzah,L, N.T. Puspito, and F. Imamura, 2000, Tsunami catalog and zones in Indonesia, J. Natural Science, Vol.22,No.1, pp.25-43Soloviev, S.L., and Ch.N. Go. 1974. A catalogue of tsunamis on the western shore of the Pacific Ocean [dates include 173-1968. Academy of Sciences of the USSR, Nauka Publishing House, Moscow, 439 p. [Canadian Translation of Fisheries and Aquatic Sciences no. 5077, 1984, translation available from Canada Institute for Scientific and Technical Information, National Research Council, Ottawa, Ontario, Canada K1A OS2, 447 p.] Iida, Kumizi, Doak C. Cox, and George Pararas-Carayannis, 1967, Preliminary Catalog of Tsunamis Occurring in the Pacific Ocean, HIG-67-10, Hawaii Institute of Geophysics, University of Hawaii, Honolulu, Hawaii, 275 p. Bibliography to the Preliminary Catalog of Tsunamis Occurring in the Pacific Ocean, December 1967, 27 p. 190 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Pribadi, S., Afnimar, Puspito, N.T., dan Ibrahim, G., 2013, The Characteristics of Earthquakes Generated Tsunami in Indonesia Based on Source Parameter Analysis, J. Math. Fund. Sci., Vol. 45, No. 2., 189-207. Nakamura, S., 1979, A Note on the Indonesian Earthquake and Tsunami of 19 August 1977. Southeast Asian Studies. Vol.17, No. 1, pp.157-162. National Geophysical Data Center / World Data Service (NGDC/WDS), 2015, Global Historical Tsunami Database. National Geophysical Data Center, NOAA. doi:10.7289/V5PN93H7, last access: November 2015 Novosibirsk Tsunami Laboratory (n/d, NTL database), 2015, Historical Tsunami Databases for the World Ocean from 1628 B.C. to present, available at: http://tsun.sscc.ru/OnlineCat.htm, last access: November 2015
191 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kajian Dampak Tsunami terhadap Perkembangan Tataruang di Aceh sebelum dan sesudah Tsunami tahun 2004 Impacts of tsunami on Spatial Planning in Aceh, before and after the 2004 Indian Ocean Tsunami Syamsidik1,2 dan Suhada Arief1 1
Laboratorium Komputasi dan Visualisasi Tsunami, Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Jl. Prof. Dr. Ibrahim Hasan, Gampong Pie, Banda Aceh, 23233, email:
[email protected] 2 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Syiah Kuala, Jl. Syeh Abdurrauf No.7, Banda Aceh, 23111 Abstrak
Tsunami Aceh yang terjadi pada tahun 2004 tidak saja memberikan pengaruh secara kerusakan fisik dan besarnya jumlah korban, namun juga mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di Aceh. Salah satu bentuk perencanaan pembangunan tersebut dapat dilihat dari aspek Perencanaaan Tataruang. Kajian ini bertujuan untuk mendokumentasikan aspek perubahan pada tataruang di dua kota penting di Aceh, yaitu Banda Aceh dan Meulaboh setelah tsunami tahun 2004. Kajian dilakukan dengan membandingkan dokumen tataruang kedua kota tersebut. Beberapa aspek dalam tataruang ditinjau seperti perubahan dan penambahan Pusat Pertumbuhan Kota (Central Bussines District/CBD) dari aspek struktur ruang dan penetapan kawasan lindung yang diarahkan sebagai bagian dari mitigasi tsunami dari aspek pola ruang. Kedua kota menunjukkan bahwa tsunami tidak pernah menjadi pertimbangan penyusunan tataruang kota sebelum peristiwa tahun 2004. Berdasarkan pola ruang, terdapat upaya untuk merubah daerah peruntukan pemukiman di kawasan pantai di Kota Banda Aceh berdasarkan Rencana Tataruang dan Rencana Wilayah (RTRW) tahun 2009-2029. Terdapat penambahan CBD baru yang berada di luar kawasan landaan tsunami pada RTRW Kota Banda Aceh yang baru ini. Namun, tidak terdapat notasi definitif yang menetapkan upaya mitigasi struktural dalam tataruang yang baru tersebut. RTRW Kota Meulaboh memperlihatkan perubahan yang minim dari pola ruang dan struktur ruang. Meskipun pada penggunaan lahan dapat dilihat perubahan luasan kawasan pemukiman di kawasan pantai, namun belum ada arahan penggunaan lahan yang definit sebagai bagian dari mitigasi tsunami pada RTRW Kabupaten Aceh Barat yang terbaru. Kata kunci: tataruang, perumahan, mitigasi, tsunami.
Abstract Aceh tsunami in 2004 had not only caused large number of human casualties and physical destructions, but also has influenced development planning process in Aceh. One of the development plans is the spatial planning. This study is aimed at documenting the 192 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
changing processes at two important cities in Aceh, namely Banda Aceh and Meulaboh. The two cities were severely affected by the 2004 tsunami. The study was done by comparing spatial planning documents composed before and after the tsunami. One of the aspects investigated in this study is the spatial structure, in terms of increased number of Central Bussiness District (CBD) or changes of the location of the CBD. Second aspect studied in this research was spatial pattern of the land use planning before and after the tsunami. It was found that Banda Aceh has adopted the tsunami mitigation by changing large area of coastal settlements around two sub-districts, i.e. Meuraxa and Kutaradja sub-districts. Evacuation routes have been assigned to a number of roads to accomodate sudden increase of traffics during emergency periods. Similar things were seen in Meulaboh. However, there is no clear land use dedicated for tsunami structural mitigation, such as green belt or city protection.
Keywords: landuse, housing, mitigation, tsunami.
1. Pendahuluan Penataan ruang memiliki peranan penting pada saat proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana besar seperti yang pernah terjadi di Aceh pada tahun 2004 lalu. Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2015 dilanjutkan dengan proses rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan keadaan yang hancur khususnya di kawasan pantai. Arahan hukum yang lebih tegas terkait mitigasi bencana dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) selanjutnya ditetapkan dalam UndangUndang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Wilayah dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Kawasan Pantai dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian direvisi dengan UU No. 1 Tahun 2014. Dari segi penataan ruang, ada dua tantangan berat yang dihadapi oleh Aceh pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami tersebut yaitu (1) menata ulang kawasan pantai dengan berfokus pada mitigasi bencana tsunami di masa yang akan datang, (2) menemukan formula relokasi peduduk pantai yang tepat yang mampu menjawab aspirasi masyarakat, ketersediaan lahan, dan mengurangi risiko bencana tsunami di masa yang akan datang. Upaya menata ulang kawasan pantai tersebut telah diinisiasi oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi AcehNias (BRR Aceh-Nias) dengan memperkenalkan konsep sabuk hijau (Green Belt) dimana pada awalnya ditetapkan zona yang berjarak 500 meter dari garis pantai tidak akan diperkenankan dibangun kembali pemukiman penduduk. Proses Top-Down yang diadopsi pada tahap awal tersebut tertera dari cetak biru (blue print) Rehab-Rekon Aceh Nias yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Indonesia (Bappenas 2005; Matsumaru et al. 2012). Proses top-down ini mendapat masalah ketika komunikasi dengan para korban yang selamat dari tsunami diadakan melalui beberapa pertemuan. Pada akhirnya, konsep partisipatif yang diadopsi pada proses lanjutan penetapan lokasi relokasi penduduk ternyata di banyak tempat berakhir dengan gagalnya konsep sabuk hijau yang diperkenalkan pada tahap awal rehab-rekon oleh BRR Aceh-Nias. Kondisi relokasi warga setelah tsunami Tahun 2004 yang tidak dapat direlokasi ke kawasan yang jauh dari pantai tidak saja terjadi di Aceh, namun juga terjadi di Thailand dan Srilanka (Sridhar 2006; Phapasit et al. 2006; Ratanyake et al., 2012). Sebelas tahun proses 193 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh pada akhirnya memperlihatkan bahwa sejumlah pemukiman kembali tumbuh di kawasan yang sama di sekitar pantai yang terdampak oleh tsunami seperti ditemukan di Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Namun demikian beberapa contoh baik (best-practices) juga ditemukan di beberapa lokasi seperti di Neuheun Aceh Besar, Gampong Padang Seuraheet Aceh Barat, dan relokasi penduduk Pulo Raya di Aceh Jaya. Ketiga lokasi tersebut berhasil direlokasi ke kawasan yang relatif jauh dari garis pantai. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh yang telah memasuki tahun ke-11 meninggalkan beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan upaya mitigasi bencana tsunami melalui penataan ruang dan kawasan pantai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat progress pemulihan Aceh pasca 11 tahun rehabilitasi dan rekonstruksi tsunami dari aspek penataan ruang dan perkembangan populasi penduduk di kawasan pantai.
2. Lokasi Studi Penelitian ini dilaksanakan di dua kota utama yang terdampak berat akibat tsunami di tahun 2004, yaitu Kota Banda Aceh dan Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat. Lokasi studi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi Studi ditandai dengan tanda kotak (Sumber:modifikasi dari dmaps.com, 2015).
194 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Kota Banda Aceh merupakan kota dengan populasi terbanyak dimana sebelum tsunami terdapat sekitar 239.000 jiwa yang tersebar di sembilan kecamatan (BPS Banda Aceh, 2005). Empat dari sembilan kecamatan di Kota Banda Aceh merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Laut Andaman. Menurut survey Badan Pertanahan Nasional Aceh di tahun 2005, ada dua kecamatan yang diklasifikasikan ‘musnah’ akibat tsunami, yaitu Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Kutaradja (BPN NAD, 2005). Kedua kecamatan ini juga merupakan kecamatan yang memiliki populasi penduduk di kawasan pantai cukup tinggi sebelum tsunami tahun 2004. Kota Meulaboh merupakan salah satu kota utama di Pantai Barat-Selatan Aceh. Kota ini merupakan kota yang memiliki populasi terbesar pada Tahun 2004, yaitu sekitar 52.000 jiwa (BPS Aceh Barat, 2005). Kabupaten Aceh Barat memiliki 12 kecamatan dimana 4 kecamatannya merupakan kecamatan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, yaitu Kecamatan Johan Pahlawan, Meurebo, Arongan Lambalek, dan Samatiga. Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kecamatan dimana Kota Meulaboh berada. Dalam penelitian ini hanya Kota Meulaboh yang menjadi fokus pembanding tataruang sebelum dan sesudah tsunami tahun 2004. 3. Metodologi Penelitian ini dilakukan dengan dua tahapan, yaitu (1) dengan melakukan analisis spasial perencanaan tataruang sebelum dan sesudah tsunami, (2) dengan analisis terhadap peraturan terkait penataan ruang di dua kota tersebut. Kedua tahap dalam penelitian ini dimaksudkan untuk melihat perubah tataruang di kedua kota baik dari aspek spasial maupun kebijakan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan ArcGIS pada dokumen RTRW kedua kota tersebut. Sumber analisis spasial berasal dari Bappeda Kota Banda Aceh dan Bappeda Kabupaten Aceh Barat. Analisis spasial ditekankan pada letak dan jumlah Central Bussiness District (CBD) dan sub-CBD dari aspek struktur ruang, serta penempatan kawasan lindung pada pola ruang RTRW kedua kota tersebut. Analisis peraturan ditekankan untuk menjawab bagaimana konsep mitigasi bencana diadopsi pada RTRW atau dokumen pendukung lainnya, pada dua periode penetapan RTRW. Qanun-qanun (Peraturan Daerah) yang berhubungan terhadap perencanaan tataruang tersebut menjadi objek telaah dalam penelitian ini. 4. Hasil Perbandingan Hasil kajian dari penelitian ini disajikan dalam dua bagian, yaitu Penataan Ruang di Kota Banda Aceh dan Penataan Ruang di Kota Meulaboh. Melalui hasil yang dirangkum dari kedua kota tersebut diharapkan akan memberikan gambaran bagaimana perubahan sebelum dan sesudah tsunami di Aceh secara lebih umum. 4.1. Penataan Ruang di Kota Banda Aceh Ada dua dokumen yang ditelaah untuk melihat tataruang Kota Banda Aceh, yaitu Qanun Kota Banda Aceh No. 3 Tahun 2003 tentang RTRW Kota Banda Aceh tahun 2002 hingga tahun 2010 dan Qanun No. 4 Tahun 2009 tentang RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029. Kedua Qanun tersebut mewakili konsep penataan ruang yang diladopsi oleh Pemerintah Kota Banda Aceh sebelum dan sesudah tsunami tahun 195 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1.Perbandingan RTRW Kota Banda Aceh berdasarkan Qanun yang diterbitkan sebelum dan sesudah tsunami Tahun 2004. Aspek Tinjauan Jumlah Pusat Kota (CBD) Jumlah sub-PK (Sub-CBD) dan Pusat Lingkungan Konsep bencana tsunami Jalur evakuasi Penetapan sabuk hijau Jenis Bencana disebutkan Estimasi Penduduk Kepadatan di akhir berlaku RTRW
yang dan masa
Qanun No. 3 Tahun 2003 (Sebelum Tsunami) 1(BWK Pusat Kota) 3 Sub-BWK Tidak ada Tidak ada Tidak ada Abrasi dan Banjir 307.695 jiwa dengan kepadatan penduduk 31-100 jiwa/km2 di akhir tahun 2010.
Qanun No. 4 Tahun 2009 (Setelah Tsunami) 2 (PK) 2 Sub-CBD (Sub PK) dan 9 Pusat Lingkungan Ada Ada, masuk dalam struktur ruang Ada Gelombang pasang, banjir dan tsunami 482.131 jiwa dengan kepadatan 78 jiwa/km2 untuk akhir tahun 2029
2004. Perbandingan kedua jenis Qanun tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 yang menguraikan perbandingan kedua qanun dari tujuh aspek tinjauan. Dalam Qanun No. 4 tahun 2009 disebutkan bahwa rencana pola ruang Kota Banda Aceh ditetapkan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan terhadap keadaan pola pemanfaatan ruang sebelum tsunami, kecenderungan perkembangan setelah tsunami, optimasi dan efisiensi pemanfaatan ruang, kelestarian lingkungan, dan mitigasi bencana. Konsep mitigasi bencana yang dimaksud lebih mengarah pada tiga jenis bencana, yaitu akibat gelombang pasang, banjir, dan tsunami. Namun tidak ditemukan arahan khusus yang didasarkan pada bencana gempabumi. Untuk tujuan mitigasi bencana tsunami dan gelombang pasang, memang disebutkan adanya pengembangan hutan bakau di sepanjang pantai. Lokasi pengembangan hutan bakau ini direncanakan ditetapkan dengan kriteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar sedikitnya 130 kali rata-rata rentang pasang surut. Mengingat pasang surut di pantai Kota Banda Aceh berkisar 1,5 m, maka jika merujuk pada qanun ini, maka sedianya terdapat sekitar 195 m lebar hutan bakau di sepanjang pantai. Sampai dengan kajian ini dilakukan belum ditemukan ada tebal pohon bakau yang signifikan di sepanjang kawasan pantai tersebut. Bahkan, di beberapa tempat justru mengalami penebangan karena pengembangan kawasan pantai untuk infrastruktur pelabuhan perikanan. Struktur ruang Kota Banda Aceh menurut dua RTRW tersebut cukup berbeda dari jumlah Pusat Kota (CBD) dan jumlah Sub-Pusat Kota (Sub-CBD). Perbedaan struktur ruang dari dua RTRW tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Tahun 2000, Banda Aceh mengadopsi pembagian struktur ruang kota atas 1 CBD dan 3 Sub-CBD. Setelah tsunami di tahun 2004, Banda Aceh mengadopsi RTRW yang ditetapkan di Tahun 2009 dengan dua CBD, 2 Sub-CBD, dan 9 Pusat Lingkungan.
196 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 2. Struktur Ruang Kota Banda Aceh sebelum tsunami (kiri) dan setelah tsunami (kanan) (didigitasi ulang dari RTRW Banda Aceh Tahun 2009-2009 dan RTRW Banda Aceh sebelum tsunami).
Pengawasan terhadap kependudukan dikaitkan dengan mitigasi bencana tsunami disebutkan pada Pasal 18 Ayat 2 dalam Qanun No. 4 tahun 2009 tersebut. Disebutkan bahwa kawasan yang memiliki risiko bencana tsunami perlu dibatasi penyebaran dan kepadatan penduduknya. Ayat ini cukup dilematis mengingat definisi risiko bencana tsunami dimiliki oleh seluruh wilayah administratif Banda Aceh. Pada tahap ini terlihat bahwa konsep risiko bencana tsunami tidak cukup dielaborasi dengan cermat dan memberikan makna yang bias. Pembatasan penyebaran dan kepadatan penduduk juga tidak ditemukan dinyatakan dengan definitif. Pada bagian lain dari qanun ini disebutkan bahwa kawasan perumahan kepadatan tinggi justru diarahkan ke wilayah pantai yang berada di sebelah utara dari Kota Banda Aceh, seperti di Gampong Ulee Pata, Lamkuwueh, Asoe Nanggroe, Lamjabat, Ulee Lheue, Blang Oi, dan Alue Naga. Oleh karena itu, hal yang terkait kontrol terhadap kepadatan penduduk dalam RTRW ini belum begitu jelas. Petunjuk teknis yang lebih rinci yang mengatur mekanisme kontrol kepadatan penduduk belum tersedia. Di sisi lain, populasi penduduk di kawasan pantai Banda Aceh menunjukkan kecenderungan naik dari waktu ke waktu. Data BPS Banda Aceh seperti diilustrasikan pada Gambar 3 menunjukkan kecenderungan menaik sejak data populasi penduduk tahun 2005 hingga ke akhir tahun 2014.
Gambar 3. Perkembangan Populasi di Kecamatan Meuraxa dan Kecamatan Kutaraja di Kota Banda Aceh dari Tahun 2003 hingga Tahun 2013 (berdasarkan data BPS Banda Aceh, 2014). 197 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 4. Perbandingan Tata Ruang Kota Meulaboh di tahun 2000 (kiri) dan di Tahun 2012 (kanan) (digambar ulang berdasarkan data dari Bappeda Aceh Barat, 2015).
4.2. Penataan Ruang Kota Meulaboh RTRW Kabupaten Aceh Barat mengacu pada RTRW Kabupaten Aceh Barat yang sebelum tsunami dituangkan dalam Peraturan Daerah dan setelah tsunami direvisi dan dikeluarkan Qanun terbaru No. 1 Tahun 2013. Qanun terakhir ini direncanakan menjadi acuan penataan ruang Kabupaten Aceh Barat dari tahun 2012 hingga 2032. Mengingat Kota Meulaboh merupakan kota kecil, maka CBD Kota ini hanya ditetapkan pada satu lokasi yang berpusat di Kecamatan Johan Pahlawan. Perluasan kota belum menjadi prioritas hingga akhir pelaksanaan RTRW ini. Perbedaan yang cukup signifikan antara RTRW sebelum dan sesudah tsunami adalah penetapan jalur evakuasi yang dituangkan dalam RTRW dan Peraturan Bupati Kabupaten Aceh Barat. Penataan Ruang sebelum tsunami mengacu pada perencanaan yang ditetapkan untuk Tahun 2000. Perbandingan antara RTRW Kabupaten Aceh Barat yang difokuskan pada Kota Meulaboh dapat dilihat pada Gambar 4 berikut. Berdasarkan RTRW terbaru ini Pemerintah Kabupaten Aceh Barat menetapkan 10 jalan sebagai jalan evakuasi dan 8 lokasi sebagai tempat evakuasi untuk bencana tsunami. Namun demikian, fasilitas evakuasi yang ditetapkan tersebut belum memperkirakan waktu tersingkat tibanya gelombang tsunami berdasarkan berbagai skenario tsunami yang pernah ada di sekitar 35 menit (Syamsidik et al., 2015). Kota Meulaboh yang memerlukan waktu sekitar Di samping untuk bahaya tsunami, RTRW Aceh Barat ini juga mengelola bencana lainnya yaitu banjir dan kebakaran pemukiman. Meskipun demikian, sama halnya dengan Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Barat tidak menerangkan secara khusus kontrol terhadap pemukiman di kawasan pantai dan tidak ada arahan yang definitif terkait mitigasi bencana tsunami dengan menggunakan konsep sabuk hijau. Ketiadaan arahan pengawasan pertambahan penduduk dan pemukiman di kawasan pantai berpengaruh pada pertambahan penduduk di kawasan pantai. Berdasarkan data populasi penduduk di Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Lautan Hindia, ditemukan kecenderungan peningkatan jumlah penduduk dari waktu ke waktu khususnya di Kecamatan Johan Pahlawan dimana Kota Meulaboh berada. Gambar 5 menunjukkan perubahan penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan yang berada di kawasan pantai dari tahun 2003 hingga tahun 2014 (BPS Aceh Barat, 2015). 198 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 5. Perkembangan Populasi Penduduk di Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat dari Tahun 2003 hingga Tahun 2014 (BPS Aceh Barat, 2015).
5. Diskusi Proses rekonstruksi Aceh setelah 11 tahun peristiwa tsunami di tahun 2004 memperlihatkan beberapa perubahan mendasar dari aspek tata ruang. Hal-hal penting yang ditemukan adalah dimasukkannya unsur evakuasi kota dalam jaringan transportasi serta penetapan titik-titik aman. Namun, jika dibandingkan dengan proses rekonstruksi Jepang pasca tsunami tahun 2011, maka Aceh tidak memiliki konsep mitigasi tsunami yang jelas di kawasan pantainya. Kawasan Tohoku yang dibangun kembali pasca tsunami Tahun 2011 menetapkan sejumlah konstruksi fisik yang dibangun untuk mengantisipasi tsunami dengan perulangan setiap 150 tahun (Koshimura et al., 2014). Di beberapa tempat di kawasan Tohoku dapat ditemukan pembangunan dinding laut untuk memenuhi skenario pencegahan dampak kerusakan tsunami dengan perulangan 150 tahun tersebut. Hal serupa tidak ditemukan di Aceh. Namun demikian, pendekatan hard structures yang diadopsi di Jepang bukanlah satu-satunya cara untuk mitigasi tsunami. Penataan kawasan pantai dengan soft structures, seperti pembangunan sabuk hijau dapat menjadi alternatif mitigasi bencana tsunami. Jika merujuk pada RTRW Banda Aceh Tahun 2009-2029, konsep sabuk hijau tersebut telah disebutkan. Penanaman pohon bakau jenis Rhizopora sp. dengan kepadatan 0.2 pohon/m2 dan diameter pohon di atas 15 cm dan ketebalan garis hutan sekitar 400 m sejajar garis pantai akan mampu mereduksi energi gelombang tsunami hingga 30% (Yanagisawa et al., 2009). Meskipun kinerja hutan bakau masih terdapat beberapa hal yang belum begitu jelas (Marois dan Mitsch, 2015), seperti tingkat efektifitas kinerja bakau dikaitkan dengan besaran gelombang tsunami, namun hutan bakau memberikan alternatif bagi kota-kota pantai yang sulit membangun konstruksi mitigasi tsunami karena alasan estetika dan dukungan finansial. Namun demikian, seperti diuraikan di bagian terdahulu, faktanya kedua kota belum secara konsisten menerapkan upaya tersebut sekalipun disebutkan dalam RTRW yang saat ini berlaku. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami jika dibandingkan dengan proses yang terjadi di Jepang pasca tsunami tahun 2011, berlangsung relatif cepat. Beberapa hal turut mendorong percepatan proses pemulihan Aceh. Namun, seringkali proses yang cepat tersebut tidak mempertimbangkan kebutuhan upaya pengurangan 199 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
risiko dalam jangka panjang (Khazai et al., 2006). Hal ini dapat dilihat dari aspek kontrol pemukiman dan kepadatan penduduk sebagaimana yang terjadi di Banda Aceh dan Meulaboh. Di sisi lain, skenario keberlanjutan pemulihan Aceh setelah BRR AcehNias tidaklah begitu jelas arah pemulihannya. Hal ini berbeda dengan rekonstruksi Jepang yang memiliki target 5 dan 10 tahunan proses pemulihan yang lebih rinci dan terarah (Leelawat et al., 2015). BRR Aceh-Nias yang mengakhiri masa kerjanya pada April 2009 menyerahkan proses pemulihan Aceh kepada Pemerintah Provinsi Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh selanjutnya membentuk Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA). Lembaga ini merumuskan proses lanjutan pemulihan Aceh untuk hanya kurun waktu 3 tahun, yaitu dari Tahun 2010 hingga Tahun 2012. Dalam empat sasaran kerja BKRA ini juga lebih menitikberatkan proses lanjutan BRR Aceh Nias dan relatif sedikit alokasi kegiatan yang berfokus pada upaya pengurangan risiko bencana tsunami dalam jangka panjang (lihat Pemerintah Aceh, 2009). Skenario pemulihan fase kedua (tahun ke-5 hingga tahun ke-10) tidak memiliki rujukan kongkrit selain melanjutkan apa yang telah dilaksanakan oleh BRR. Hal serupa juga dapat dilihat pada proses penyusunan tata ruang kota-kota di Aceh yang belum secara optimal mempertimbangkan keberlanjutan proses pemulihan tersebut. Sebagaimana diuraikan di atas, Kota Meulaboh dan Banda Aceh menetapkan Qanun RTRW nya pada fase kedua proses pemulihan tersebut. 6. Kesimpulan Kajian ini mengetengahkan perbandingan RTRW pada dua kota yang terdampak tsunami di tahun 2004, yaitu Kota Banda Aceh dan Kota Meulaboh. Proses pembandingan antara dokumen RTRW sebelum dan sesudah tsunami dilaksanakan pada kajian ini. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Sebelum tahun 2004, kedua kota belum pernah mempertimbangkan secara optimal bencana tsunami sebagai salah satu bencana yang relevan diantisipasi di wilayah pantai kota-kota ini. Hal ini terbukti dengan nihilnya upaya penataan kota sebelum tsunami yang mengacu pada upaya mitigasi bencana tsunami; b. RTRW yang ditetapkan oleh kedua kota ini telah berupaya mengadopsi mitigasi bencana tsunami dengan menetapkan jalur evakuasi dan tempat evakuasi bagi penduduk. Namun tidak terdapat arahan yang jelas pada kontrol terhadap pemukiman dan pertambahan penduduk di kawasan pantai. c. Terdapat beberapa aturan yang belum secara tegas menjelaskan langkah-langkah mitigasi bencana tsunami sebagaimana termaktub dalam kedua Qanun yang mengatur RTRW kedua kota tersebut. Ucapan Terimakasih Ucapan terimakasih para penulis sampaikan kepada USAID dan National Academy of Sciences (NAS) melalui Program Partnership for Enhanced Engagement in Researches (PEER) Siklus 3 dengan Grant Award Number: AID-OAAA-A-11-00012 dan Sub Grant Number PGA-2000004893. Pada saat yang sama para penulis mengucapkan terimakasih kepada Bappeda Kota Banda Aceh atas data yang tersedia secara publik serta kepada Bappeda Kabupaten Aceh Barat atas kontribusi data dan komunikasi yang bermanfaat bagi penelitian ini. 200 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Daftar Pustaka BAPPENAS, 2005, Master Plan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias: Buku Utama. Jakarta, Indonesia. BPN NAD, 2005, Peta Tingkat Kerusakan karena Gelombang Tsunami di Banda Aceh. Banda Aceh-Indonesia. BPS Aceh Barat, 2015, Aceh Barat Dalam Angka 2015. Meulaboh, Aceh. BPS Aceh Barat, 2005, Aceh Barat Dalam Angka 2005. Meulaboh, Aceh. BPS Banda Aceh, 2005, Kota Banda Aceh Dalam Angka 2005. Banda Aceh, Aceh. BPS Banda Aceh, 2014, Kota Banda Aceh Dalam Angka 2014. Banda Aceh, Aceh. D-maps.com, 2015, Blank maps maps.com/carte.php?num_car=134274&lang=en
of
Aceh.
http://www.d-
Khazai, B., Franco, G., Ingram, J.C., del Rio, C.R., Dias, P., Dissanayake, R., Chandratilake, R., dan Kanna, S.J., 2006, Post-December 2004 tsunami reconstruction in Sri Lanka and its potential impacts on future vulnerability. Earthquake Spectra 22 (S3):S829-S844. Koshimura, S., Hayashi, S., dan Gokon, H., 2014, The impact of the 2011 Tohoku earthquake tsunami disaster and implications to the reconstruction. Soils and Foundations 54(4):560-572. Leelawat, N., Suppasri, A., dan Imamura, F., 2015. Disaster recovery and reconstruction following the 2011 Great East Japan Earthquake and Tsunami: A Bussiness Process Management Perspective. Intl. J. Disaster Risk Sci. 6:310-314. Marois, D.E. dan Mitsch, W.J., 2015, Coastal protection from tsunamis and cyclones provided by mangrove wetlands – a review. International Journal of Biodiversity Science, Ecosystem Services & Management 11:71-83. Matsumaru, R., Nagami, K., dan Takeya, K., 2012, Reconstruction of the Aceh Region following the 2004 Indian Ocean tsunami disaster: A transportation perspective. IATSS Research 36:11-19. PEMERINTAH ACEH, 2009, Rencana Aksi Kesinambungan Rekonstruksi Aceh 2010-2012. http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/112703-%5B_Konten_%5DKonten%20C7524.pdf (diakses tanggal 11 Desember 2015). PEMKAB Aceh Barat, 2013, Qanun No. 1 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Aceh Barat 2012-2032. Meulaboh, Indonesia. PEMKOT Banda Aceh, 2009, Peta Struktur Ruang Banda Aceh 2029. RTRW Banda Aceh 2009-2029. Banda Aceh, Indonesia. Phapasit N., Chotiyaputta, C., dan Siriboon, S., 2006, Pre- and Post-tsunami coastal planning and land use policies and issue in Thailand. Proceeding of workshop on coastal area planning and management in Asian tsunami affected countries, 27-29 September 2006, Bangkok-Thailand, FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok, pp199-227. 201 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Ratanyake, R., Butt, A., dan de Cotta, T., 2012, Settlement, Access and Regional Land Use Outcomes for Post Tsunami Reconstruction: A Case Study of the Trincomalee Region, Sri Lanka. Proceeding of International Conference and Workshop on the Built Environment in Developing Countries, 4-5 December 2012. Adelaide, Australia, pp34-46. Sridhar, A., 2006, Pre- and post-tsunami coastal planning and land use policies and issues in India. Proceeding of workshop on coastal area planning and management in Asian tsunami affected countries, 27-29 September 2006, Bangkok-Thailand, FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok, pp81-110. Syamsidik, Rasyif, TM, dan Kato, S., 2015, Development of Accurate Tsunami Estimated Times of Arrival for tsunami-prone cities in Aceh, Indonesia. Intl. Journal of Disaster Risk Reduction, 14(4):403-410. Yanagisawa, H., Koshimura, S., Goto, K., Miyagi, T., Imamura, F., Ruangsassamee, A., dan Tanavud, C., 2009, The reduction effects of mangrove forest on a tsunami based on field surveys at Pakarang Cape, Thailand and numerical analysis. Estuarine, Coastal and Shelf Science 81:27-37.
202 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
MITIGASI DALAM PRESPEKTIF ISLAM Mizaj Iskandar Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Jl. Syeikh Abdur Rauf Kopelma Darussalam, 23111, emai:
[email protected]
Abstrak Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Namun demikian kesadaran masyarakat terhadap penanggulangan bencana ini masih begitu lemah, terutama kesadaran masyarakat dalam mengahadapi bencana. Kesadaran yang rendah ini terlihat dari sikap masyarakat yang cenderung fatalisme ketika menghadpi bencana. Ini disebabkan pola berpikir yang cenderung teosentris dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan. Kesadaran ini pada akhirnya menimbulkan anomali-anomali dalam pola pikir keagamaan masyarakat. Di satu sisi mereka terus mempertahankan eksistensi pola pikir teosentris, dan di sisi yang lain paradigma berpikir teosentris itu tidak mampu lagi menjawab gejala-gejala alam yang makin serius dihadapi oleh manusia. Anomali-anomali ini akhirnya menimbulkan krisis yang berkepanjangan dalam pola pikir keagamaan masyarakat Aceh. Untuk menyelesaikan problem delimatis ini penulis akan mengkajinya dengan menggunakan prespektif paradigm sift sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Thomas S. Khun dalam The Structure of Scientific Revolutions untuk mengisyaratkan adanya pola atau pangkal berpikir yang berbeda, akan tetapi juga adanya potensi dan proses konflik antara berbagai pola berpikir. Oleh karena itu, setelah memahami lingkungan alami hidupnya, manusia dituntut untuk memahami lingkungan manusiawinya sendiri yang menjelma dalam sejarah. Sebagaimana lingkungan alaminya dikuasai oleh ketentuan-ketentuan Ilahi yang tetap, yang dalam konteks ketentuan-ketentuan itu manusia harus melaksanakan kebebasan pilihannya, demikian pula sejarah berjalan menurut aturan-aturan yang predictable, karena kepastiannya sebagaimana dibuat oleh Sang Maha Pencipta. Tetapi jika ketentuan-ketentuan yang menguasai lingkungan alam dapat disebut bersifat netral dari sudut pandangan kepentingan manusia, maka ketentuan-ketentuan yang menguasai sejarah, karena menyangkut diri manusia sendiri, tidaklah demikian. Ketentuan-ketentuan itu sarat dengan nilai, yakni sangat langsung terkait dengan moralitas: kebaikan membawa kesentosaan dan kejahatan membawa kesengsaraan. Kata kunci: Mitigasi, paradigm sift, nilai.
203 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Abstract Disaster mitigation is a series of efforts to reduce disaster risk, either through physical development as well as awareness and capacity to face the threat. However, public awareness of disaster prevention is still so weak, particularly public awareness in facing disasters. Low awareness is evident from the attitude of the people who tend to fatalism when faced disaster. This is due to a pattern of thinking that tends theocentric interacting with nature and the environment. This realization eventually led to anomalies in the mindset of the religious community. On the one hand, they continue to maintain the existence theocentric mindset, and on the other hand think Theo centric paradigm that no longer able to answer the symptoms are more serious nature faced by humans. These anomalies ultimately lead to a prolonged crisis in the religious mindset of the people of Aceh. To resolve this problem delimited authors will review the use of perspective paradigm shift as ever conducted by Thomas S. Khun in The Structure of Scientific Revolutions to indicate the existence of the base pattern or different thinking, but also the potential and the conflicts between the various patterns of thinking, Therefore, after understanding the natural environment of his life, people are required to understand the human environment itself incarnate in history. As their natural environment ruled by divine provisions that remain, which in the context of the provisions of the man must exercise their freedom of choice, as well as the history goes according to the rules are predictable, because certainty as created by the Creator. But if the provisions which controls the natural environment can be called neutral from the point of view of human interests, the provisions of the master of history, because it involves the man himself, it is not so. The provisions were loaded with value, which is very directly related to morality: kindness brings tranquility and crime brings misery. Key word: mitigation, paradigm shift, values
1. Pendahuluan Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (Pasal 1 ayat 6 PP No. 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana). Mitigasi didefinisikan sebagai upaya yang ditunjukkan untuk mengurangi dampak bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancanam bencana (UU No. 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9 dan PP No. 21 Tahun 2008, Bab I ketentuan Umum, Pasal I angka 6). Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c dilakukan untuk mengurangi resiko dan dampak yang diakibatkan oleh bencana terhadap masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Baik bencana itu bersifat alam, bencana ulah manusia maupun gabungan dari keduanya dalam suatu negara atau masyarakat. Dalam konteks bencana, dikenal dua macam (1) bencana alam yang merupakan serangkaian peristiwa bencana yang disebabkan oleh faktor alam, seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, tanah longsor dan lain sebagainya. (2) bencana sosial merupakan suatu bencana yang diakibatkan oleh 204 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
manusia, seperti konflik sosial, peperangan, penyakit masyarakat, teror dan lain sebagainya. Mitigasi bencana merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Berdasarkan keterangan di atas mitigasi meliputi kesadaran masyarakat dalam menanggulangi dampak bencana, namun demikan masih terdapat kesenjangan yang sangat masif antara fakta dengan harapan di mana tingkat kesadaran masyarakat yang begitu rendah untuk dapat menekan dampak dari suatu bencana sangat berbanding t lurus dengan tujuan dari mitigasi itu sendiri. Kesadaran yang kurang dari masyarakat Aceh ini dalam asumsi penulis disebabkan karena pemahaman keagamaan yang cenderung rendah, dengan mengedepankan pendekatan fatalisme (jabariyyah) dalam memahami kegajala alam semesta serta mengabaikan pemahaman yang lebih antroposentris merupakan salah satu indikasi dari kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penanggulangan bencana tersebut. Untuk menjawab permasalah itu, penulis mencoba menggeser paradigma berpikir keagamaan masyarakat Aceh dari yang sebelumnya cenderung teosentris menjadi antrophosentris. Pergesaran paradigma ini penulis dasarkan kepada teori paradigm shift (Thomas S. Kuhn: 1970). Thomas S. Kuhn menjelaskan bahwa sepanjang sejarah peradabannya yang panjang, komunitas-komunitas manusia itu hanya akan dapat mempertahankan eksistensinya atas dasar kemampuannya mengembangkan pola atau model berpikir yang sama untuk mendefinisikan pengetahuan-pengetahuannya, dan menstrukturkannya sebagai ilmu pengetahuan yang diterima dan diyakini sebagai yang normal dan yang paling ideal, untuk kemudian didayagunakan sebagai penunjang kehidupan yang dipandangnya paling normal dan paling ideal pula. Tetapi bersikukuh pada satu gugus pengetahuan dengan keyakinan paradigmatik tidak selamanya dapat bertahan dalam jangka waktu panjang. Dari sejarah ilmu pengetahuan diketahui bahwa selalu terjadi pergeseran atau beringsutnya suatu komunitas dengan segala pengetahuan dan ilmunya itu dari satu paradigma ke paradigma lain. Inilah yang disebut sebagai paradigm shift oleh Thomas S. Kuhn (Thomas S. Kuhn: 1970). Demikianlah pola berpikir alias paradigma yang mendifiniskan pengetahuan suatu komunitas sebagai pengetahuan yang “normal dan ideal” ini hanya bertahan dalam jangka waktu tertentu, sampai suatu ketika tatkala datang krisis (anomali) dimana seluruh gugus teori pengetahuan yang selama ini dianggap “normal dan ideal” ternyata tidak dapat lagi didayagunakan secara memuaskan untuk menjawab persoalan hidup yang bermunculan, sehingga menimbulkan kegelisahan yang mendorong orang untuk mencari teori-teori pengetahuan baru untuk menjawab banyak persoalan yang tidak bisa dipecahkan berdasarkan pengetahuan dengan sudut pandang paradigma lama, dengan beringsut untuk beralih ke pengetahuan-pengetahuan baru yang dibangun atas dasar paradigma baru. Dalam hal ini, para pemikir Islam modern menyatakan bahwa revolusi sains (ilmu pengetahuan) yang kelak melahirkan revolusi industri di Barat sebagai pangkalan terjadinya apa yang disebut dengan paradigm shift dalam kajian-kajian ilmu sosial begitu juga halnya dengan ilmu-ilmu keislaman (islamologi). Namun demikian, dalam tulisan ini yang menjadi pokok pembahasan hanya dibatasi kepada mitigasi dalam upaya meningkatan penyadaran sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial.
205 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Gambar 1: Paragdim Sift dalam Islam Disebabkan oleh mayoritas masyarakat Aceh beragama Islam, maka dalam pembahasan ini penulis mencoba memberikan “cita rasa” Islam dalam mengemas konsep mitigasi bencana tersebut. 2. Pembahasan 2.1 Konsep Kosmologis dalam Islam Salah satu ajaran dalam al-Qur‟an yang tampaknya tidak mendapatkan cukup banyak perhatian ialah yang berkenaan dengan konsep-konsep antropologis. Tiadanya cukup perhatian itu agaknya bukan karena pandangan dasar tentang eksistensi, hakikat dan makna tingkah laku manusia itu tidak penting, tetapi lebih karena dalam dunia pemikiran Islam klasik masalah itu dibahas dalam berbagai tempat secara terpencar, seperti dalam ilmu tasawuf, tanpa mendudukkannya sebagai bahan kajian yang terpisah dengan suatu kajian sistematis dan metodologis. Dalam eskatologis Islam terdapat ramalan, atau lebih tepatnya janji Tuhan, bahwa Dia akan memperlihatkan kepada manusia tanda-tanda atau ayat-ayat-Nya yang terdapat pada seluruh horizon dan dalam diri manusia itu sendiri, sehingga akan jelas bagi manusia bahwa Dia adalah benar (haqq) (Q. S: 42/53.). Pengertian interpretatif eskatologi itu dapat membawa kepada pandangan tentang potensialitas manusia, yang dengan potensinya itu melalui pendekatan empiris ia akan mampu “menemukan” kebenaran, mungkin dalam bentuk metafisika ilmiah (bukan metafisika failusuf-spekulatif). Tetapi kecenderungan sejarah manusia modern sekarang ini justru menunjukkan hal-hal yang dapat menukar harapan itu.
206 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Melalui ilmu pengetahuan, tak terbilangnya jumlah gejala alam telah diletakkan di bawah “pengawasan” dan “kekuasaan” manusia, dan kenyataan ini, tanpa dapat di bantah, sampai batas-batas tertentu yang sangat jauh, telah membantu mempermudah hidup manusia melalui teknologi terapan. Namun, justru dengan kemampuan itu manusia modern menjadi makhluk dengan keunikan yang ironis; musuh utamanya bukan lagi bencana alam atau binatang buas di hutan-hutan (seperti musuh nenek moyang mereka dalam zaman “pra-peradaban”). Tetapi hasil kemampuannya sendiri dan rekan sesama manusia yang menggunakan kemampuan itu. Dengan kata lain, manusia menjadi musuh bagi manusia yang lain (homo homini lupus) (Thomas Hobbes: 1969). Pengalaman manusia di zaman modern ini seolah-olah merupakan pemenuhan paling nyata ramalan para malaikat ketika manusia diangkat sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, yaitu ramalan tentang sifat destruktif manusia dan seling bermusuhan (Q. S: 2/30), membuat manusia lebih jauh lagi didorong untuk bertanya dan mempertanyakan kembali kepada siapa sebenarnya dia?. Apa hakikat kediriannya, dan mengapa ia berada di sini?. Jawaban apa pun atas pertanyaan-pertanyaan itu, yang secara otomatis merupakan gambaran manusia tentang dirinya sendiri, akan banyak sekali menentukan bagaimana ia menampilkan diri melalui perbuatan-perbuatannya dalam hidup ini. Sebab gambaran tentang diri sendiri itu menjadi bagian yang sangat penting dari keseluruhan pandangan hidupnya. 2.2. Bencana Alam: Hubungan Manusia dan Alam Implikasi dari kekhalifahan manusia ialah keperluannya untuk mengerti alam (lingkungan), tempat ia hidup dan menjalankan tugasnya. Manusia memiliki kemungkinan memahami alam ini karena potensi akal yang dikaruniakan Tuhan kepadanya (Q. S: 45/13). Kemungkinan manusia memahami alam juga karena alam ini diciptakan Tuhan dengan “ukuran-ukuran” dan “ketentuan-ketentuan” yang pasti dan tak berubah-rubah, sehingga sampai batas-batas tertentu yang sangat jauh yang bersifat predictable (dapat diramalkan) (Q. S: 25/2). Berdasarkan pengertiannya tentang alam itu, dan berpendoman kepada “ukuranukuran” dan “ketentuan-ketentuan” yang membuatnya predictable, manusia dapat memanfaatkan alam ini untuk keperluannya. Guna menunjang hal ini, Tuhan telah menjadikan alam ini “lebih rendah” kedudukan dan martabatnya dari pada kedudukan dan martabat manusia sendiri. Maka manusia diharapkan mampu mempertahankan martabatnya sebagai khalifah Tuhan yang tunduk hanya kepada-Nya, tidak kepada alam atau gejala alam (Q. S: 4/48). Orientasi hidup kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa (tawhid), dalam penghadapannya terhadap masyarakat pagan atau musyrik, dengan sendirinya menghasilkan sikap hidup yang “mendevaluasi” alam, mungkin secara radikal, yakni sesuai dengan tingkat paganisme atau kemusyrikan yang menjadi latar belakang kulturnya. “Pendevaluasian” itu berupa sikap pandang bahwa alam dan gejalanya adalah kenyataan dan fenomena yang lebih rendah martabatnya dari pada martabat manusia sendiri, sehingga pantanglah bagi manusia untuk menundukkan diri kepada alam atau gejalanya itu. Oleh karena itu, dan agar dapat menampilkan diri sebagai makhluk moral dan bertanggung jawab, manusia harus berjuang melawan segala bentuk pembelengguan 207 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
dirinya. Sebab belenggu itu menjadi penghalang baginya dari kemungkinan memilih dengan bebas jalan dan kegiatan hidup yang diyakininya terbaik, yakni paling bermoral dan beratanggung jawab (Q. S: 39/17-18). Ini didapakan manusia dengan memperhatikan peraturan tetap (sunnah) dan ketentuan pasti (taqdir) dalam makna generiknya, dan diberlakukan oleh Tuhan untuk seluruh alam ciptaan-Nya. Dan dengan pembebasan diri manusia dari bentuk-bentuk pembelengguan sewenang-wenang (ketuhanan palsu) itu, dan berbarengan dengan itu, pengarahan hidup hanya kepada Dzat Mutlak yang tak terjangkau dan tak terhingga, maka alam tersingkap dari kualitas mitologisnya, dan menjadi terbuka bagi manusia untuk dipahami sedekat mungkin kepada kebenaran. Kemudian dalam konteks hukum-hukum alam yang dipahaminya itu ia memilih jalan hidupnya yang penuh tanggung jawab.
2.3. Bencana Sosial: Belajar dari Sejarah Kejatuhan Baghdad yang terjadi pada tahun 1245 M. Baghdad sebagai kota metropolis terbesar di muka bumi saat itu, sebanding dengan New York, Paris atau London sekarang, hancur lebur dengan cara yang sangat mengerikan. Seluruh bangunan diratakan dengan tanah. Karena itu, tidak mengherankan kalau Dinasti „Abbasiyyah yang begitu fenomenal tidak memiliki satu pun monumen peninggalanya. Sebaliknya di Damaskus, Bani Umayyah yang tidak begitu habat dan hanya berdiri selama delapan puluh sembilan tahun masih meninggalkan cukup banyak monumen, seperti Mesjid Agung Damaskus sebagai salah satu contohnya. Di Baghdad, tidak hanya bangunan yang dibinasakan tetapi juga kekayaan ilmiah berupa perpustakaan dan berbagai macam literatur yang tersimpan di dalamnya. Beruntunglah masih ada Kairo, kemudian Khurasan, dan sebagainya, sehingga masih banyak buku-buku Islam yang selamat. Tapi kalau kita membaca indeksnya Ibn Nadim, maka banyak sekali kitab yang sudah tidak ada. Ibn Nadim adalah seorang seorang yang waktu itu gemar sekali membaca dan mengoleksi buku dan membuat indeks dari pengarang dan bukunya (Nurchalis Madjid: 2012). Oleh karena itu, setidaknya kita berhak bertanya kepada Tuhan “Bagaimana mungkin Tuhan membinasakan orang-orang yang beriman kepadanya?. Ini berarti ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang salah tercermin misalnya di dalam gerakan-gerakan kesufian seperti gerakan Rabi„ah al-„Adawiyah sebagai gerakan protes sosial yang ditunjukkan kepada kemewahan. Jadi umat Islam waktu itu mewah sekali, dan tentu mewahnya adalah mewah abad pertengahan, yang pada waktu sekarang barangkali merupakan skandal. Jadi, di sini kita menemukan hal yang sangat prinsipil, yaitu bahwa hukum Tuhan itu, bukan hukum Tuhan dalam arti fikih, tapi hukum Tuhan dalam arti hukum yang mengatur seluruh jagat raya dan umat manusia atau sunnatullah itu bersifat objective immutable. “objective” artinya tidak tergantung kepada kita dan tidak bisa dipengaruhi. Sedangkan “immutable” artinya tidak bisa kita ubah. Contoh yag paling gampang adalah api membakar tidak tergantung pada kita; siapa pun yang memasukkan tanganya ke dalam api, apakah dia orang shaleh atau orang jahat, pasti akan terbakar. Tetapi siapa pun yang mengerti karakter dan watak api dan mampu memanfaatkannya, maka api itu berguna untuk kehidupan, tidak tergantung kepada apakah orang itu shaleh atau tidak. Itu lah yang dinamakan dengan objective immutable. 208 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Muhammad Imanuddin Abdurrahim suka memberi contoh dengan penangkal petir. Ada tempat maksiat dan ada mesjid; kalau tempat maksiat dipasangi penangkal petir, sedangkan mesjid tidak, maka yang akan disambar petir adalah masjid bukan tempat maksiat. Jadi petir itu tidak memilih, bukan karena masjid tempatnya orang shalat sehingga tidak boleh disambar petir. Oleh karena itu jangan mengukur bencanan alam dengan ukuran-ukuran seperti itu. Sebab Ka„bah saja pernah beberapa kali mengalami kehancuran dan roboh akibat kebakaran, banjir, peperangan dan seterusnya (Muhammad Imanuddin Abdulrahim: 1993). 3. Kesimpulan dan Saran Interaksi antara manusia dan alam lingkungannya yang terbebas dari mitologi, seperti dibuktikan oleh zaman modern, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi, justru ilmu pengetahuan dan teknologi itu menjadi sumber ancaman baru bagi manusia. Di zaman modern manusia menjadi musuh bagi manusia bagi dirinya sendiri. Dari cara bagaimana manusia mewujudkan permusuhannya sekarang, dapat dilihat bahwa sumber bencana manusia yang terbesar ialah ilmu pengetahuan dan teknologinya sendiri, yang memungkinkan manusia untuk menggunakan alam bagi tujuan-tujuan merusak. Kenyataan tersebut menunjukkan adanya sesuatu yang kurang pada ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Kekurangan itu terletak terutama pada bagaimana manusia melihat keguanaan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu untuk apa, dan berguna dalam kaitannya dengan bentuk kebahagiaan hidup yang mana?. Dalam telaah yang lebih mendalam, tidak sulit mendapati bahwa ilmu pengetahuan ditentukan oleh kecenderungan pribadi dan faktor luar diri manusia, yaitu sistem budayanya. Maka, pengertian-pengertian semata yang membentuk jasad ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai pengubahan kenyataan di luar diri manusia serta penyederhanaannya, yang pengubahan dan penyederhanaan itu sangat besar dipengaruhi oleh bentukan lingkungan budaya. Jika demikian halnya dengan pengubahan dan penyederhanaan kenyataan lahir yang menghasilkan IPTEK itu, maka lebih-lebih lagi dengan penentuan tujuan dan kegunaannya. Di sinilah manusia mendapati dirinya dalam situasi yang penuh kontradiktif. Di satu sisi ia adalah makhluk yang tertinggi dan paling “berkuasa” (sebagai khalifah Tuhan di bumi), namun sekaligus ia pula dari kalangan sesama makhluk yang harus terus menerus berjuang menyempurnakan hidupnya. Dan setiap kegagalan dalam perjuangan itu akan menjadi sumber kesengsaraan dalam bencananya. Oleh karena itu, setelah memahami lingkungan alami hidupnya, manusia dituntut untuk memahami lingkungan manusiawinya sendiri yang menjelma dalam sejarah. Sebagaimana lingkungan alaminya dikuasai oleh ketentuan-ketentua Ilahi yang tetap, yang dalam konteks ketentuan-ketentuan itu manusia harus melaksanakan kebebasan pilihannya, demikian pula sejarah berjalan menurut aturan-aturan yang predictable, karena kepastiannya sebagaimana dibuat oleh Sang Maha Pencipta (Q. S: 35/43). Tetapi jika ketentuan-ketentuan yang menguasai lingkungan alam dapat disebut bersifat netral dari sudut pandangan kepentingan manusia, maka ketentuan-ketentuan yang menguasai sejarah, karena menyangkut diri manusia sendiri, tidaklah demikian. 209 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
Tabel 1: Konstelasi Hubungan Manusia dan Alam Sepanjang Sejarah Corak Masyarakat Kurun Waktu
Struktur Ekonomi
Modal Utama
Masyarakat Nomaden Zaman purbakala sampai ± 10.000 tahun yang lalu (1) Tidak berproduksi. (2) Masyarakat berpindahpindah tempat (3) Berburu
Masyarakat Agraris II ± 4.000 tahun yang lalu
I ± abad ke-17 M
II Permulaan abad ke-20
(1) Berladang (2) Masyarakat mulai menetap (3) Ketergantungan penuh pada iklim dan curah hujan.
(1) Sistem irigasi (bersawah & berkebun) (2) Penggunaan angin dan air sebagai sumber energi Tanah bibit dan hewan
(1) Penemuan besi dan batu bara (2) Batu bara sebagai sumber energi (3)Penggunaan mesin sebagai pengganti tenaga manusia & hewan (1) Sumber alam/besi dan batu bara (2) Modal
(1) Produksi masal (2) Pengunaan tenaga listrik sebagai energi
Hukum agama
Code Napoleon
Tenaga (alat) manusia dan alat-alat sederhana
Tanah
Hukum rimba
Hukum adat
Hukum Yang berlaku
Agama
Masyarakat Industri
I ± 10.000 tahun yang lalu
(1) Modal dan teknologi batu bara berjalan
III Pertengahan abad ke-20 (setelah perang dunia ke II) 1. Teknik manajemen sebagai faktor yang memperbesar industri. 2. Ilmu pengetahuan (industri jasa) 1. keahlian managerial 2. ilmu pengetahuan. 3. teknologi. 4. modal. 5. informasi
Hukum baru (setelah perang dunia ke-II) dan melahirhan nation state
MitologisPaganisme
Teosentris
Masyarakat Informasi Akhir abad ke-20 – abad ke-21
(1) Penemuan chips (2) Penggunaan tenaga komputer (3) penggunaan tekno canggih (1) Penggunaan jaring informasi (2) Ilmu pengetahuan (3) Teknologi Hukum yang lebih lagi termasuk comput law, environment law, economic law, dln.
Antrophoteosentris
Ketentuan-ketentuan itu sarat dengan nilai, yakni sangat langsung terkait dengan moralitas: kebaikan membawa kesentosaan dan kejahatan membawa kesengsaraan (Q. S: 3/137). Jadi manusia dapat mengetahui hakikat dirinya sendiri sejarah, khususnya yang menyangkut hukum-hukum moralnya. pula ia harus berjuang membebaskan dirinya dan meningkatkan hidupnya, dengan usaha mewujudkan kualitas hidupnya menuju mungkin dengan ukuran-ukuran tertinggi moralitas dan akhlak.
dari telaah terhadap Dan melalui sejarah hartkat dan martabat tingkat yang sedekat
Semoga tulisan singkat ini ada manfaatnya, kepada Allah penulis berserah diri, kepada-Nya dipersembahkan bakti dan kepada-Nya pula penulis memohon ampunan, tawfiq, hidayah dan perlindungan. Wallahu a„lam bi al-haqiqah wa al-shawab.
210 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai
Prosiding SIMPOSIUM NASIONAL MITIGASI BENCANA TSUNAMI 2015 TDMRC Universitas Syiah Kuala didukung oleh USAID (PEER Cycle 3) No.ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21 – 22 Desember 2015
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an Muhammad Imanuddin Abdulrahim, Tauhid, (Jakarta: Perpustakaan Salman ITB, 1993). Nurchalis Madjid, 2012, Ensiklopedi Nurchalis Madjid, jilid. II, Mizan, Jakarta. Pasal 1 ayat 6 PP No. 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Thomas Hobbes, 1969, Elements of Law, Natural and Politic, ed. Ferdinand Tonnies, Routledge is an Imprint of Taylor & Francis, an Informa Company, USA. Thomas S. Kuhn, 1970, The Structure of Scientific Revolutions, Second Edition, Enlarged, The University of Chicago Press, Chicago. UU No. 24 Tahun 2007, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 9 dan PP No. 21 Tahun 2008, Bab I ketentuan Umum, Pasal I angka 6.
211 Tema: Mitigasi Bencana Tsunami melalui Penataan Ruang dan Morfologi Kawasan Pantai