DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI I DPR RI DENGAN KETUA LSF DAN KETUA KPI Tahun Sidang Masa Persidangan Jenis Rapat Hari, Tanggal Pukul Sifat Rapat Pimpinan Rapat Sekretaris Rapat Tempat Acara
Anggota yang Hadir
: : : : : : : : :
2014-2015 I RDP Komisi I DPR RI dengan Ketua LSF dan Ketua KPI Senin, 17 November 2014 10.15 WIB – 16.40 WIB Terbuka Drs. Mahfudz Siddiq, M.SI, Suprihartini, S.IP., Kabagset. Komisi I DPR RI Ruang Rapat Komisi I DPR RI Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 : 1. Pengenalan tentang Fungsi, Tugas Pokok, Struktur Organisasi dan Anggaran LSF. 2. Pengenalan tentang Fungsi, Tugas Pokok , Struktur Organisasi dan Anggaran KPI serta Perkembangan Penyiaran : Pimpinan 1. Drs. Mahfudz Siddiq, M.SI 2. Tantowi Yahya 3. Asril Hamzah Tanjung, S.IP 4. H.A. Hanafi Rais, S.IP, MPP Anggota A. F-PDIP --B. F-PG 1. Bobby Adhityo Rizaldi, SE.AK, MBA, CFE 2. Dave Akbarsyah Fikarno, ME C. F-Gerindra 1. H. Ahmad Muzani 2. H. Biem Triani Benjamin, B.Sc, MM 3. Rachel Maryam 4. Elnino M. Husein Mohi, ST, M.Si D. F-Demokrat 1. DR. Sjarifuddin Hasan, SE, MM, MBA 2. Mayjen TNI (Purn) Salim Mengga 3. DR. Ir. Djoko Udjianto, MM E. F-PAN 1. Budi Youyastri 2. H. Muhammad Syafrudin, ST, MM
F. F-PKB --G. F-PKS 1. H. Ahmad Zainuddin, LC 2. DR. H.M. Gamari Soetrisno 3. DR. Sukamta H. F-PPP 1. Hj. Kartika Yudhisti, B.Eng, M.Sc. I. F-Partai Nasional Demokrat 1. Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries Saputra J. F-Partai Hati Nurani Rakyat 1. M. Arief Suditomo, SH, MA Anggota yang Izin
: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Undangan
:
H. Firmandez, S.AK Meutya Viada Hafid Ir. Fayakhun Andriadi, M.Kom Bambang Wiyogo, SE Drs. Agun Gunanjar Sudarsa, BcIP,M.Si Andika Pandu Puragabaya, S.Psi, M.SI, M.Sc. Dr. Nurahayati Ali Assegaf, M.Si H. Darizal Basir Ir. Alimin Abdullah H. Andi Muhammad Ghalib, SH, MH Dr. H.A. Dimiyati Natakusumah, SH, MH, M.Si H. Syaifullah Tamliha, S.Pi, MS
KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Mohon izin dan perkenan dari Bapak-Ibu sekalian. Untuk Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI dengan Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia pada hari ini Senin 17 November 2014, kami buka dan saya usulkan rapat ini terbuka ya. Setuju Bapak dan Ibu? Dengan mengucapkan bismillahirohmanirohim, rapat ini saya buka dan terbuka untuk umum. (Ketok Palu 1 X) Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Yang terhormat Bapak dan Ibu Anggota Komisi I DPR RI. Yang terhormat jajaran Lembaga Sensor Film yang hari ini alhamdulillah dipimpin oleh Ketua DR. Mukhlis Pa'eni beserta seluruh jajaran. Kelihatan full tim Pak, dan juga KPI yang juga langsung dipimpin oleh Ketua KPI dr. Yuda Riksawan. Bapak dan Ibu sekalian, alhamdulillah pada hari ini adalah dalam momen yang sangat penting dan berharga untuk kita semua, karena ini merupakan RDP pertama, Rapat Dengar Pendapat pertama Komisi I DPR RI untuk periode 2014-2019 dengan LSF dan KPI wabil khusus dengan LSF ini betul-betul pertama kali. Kami memberikan apresiasi atas kehadiran Bapak/Ibu sekalian dalam hal ini mitra Komisi I DPR RI. Perlu kami sampaikan bahwa keputusan rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan seluruh Pimpinan Fraksi-Fraksi beberapa waktu yang lalu, telah menetapkan atau memutuskan mitra-mitra kerja komisi-
komisi dan untuk periode ini Lembaga Sensor Film ditetapkan sebagai mitra Komisi I DPR RI. Yang sebelumnya mitra Komisi X DPR RI ya Pak Mukhlis ya. Memang Bapak dan Ibu sekalian, kalau kita merujuk ke Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman Kementerian yang secara khusus berkaitan dengan LSF ini adalah kementrian yang membidangi kebudayaan. Dan sekarang Komisi I DPR RI sebenarnya tidak secara khusus atau spesifik membidangi kebudayaan, tetapi dalam pelaksanaan kerjanya terutama untuk lingkup komunikasi, informasi, penyiaran ini memang ada irisan yang sangat besar. Oleh karena itu, terlepas nanti dari bagaimana kaitan dengan Undang-Undang yang ada hari ini kami secara khusus mengundang LSF bersama dengan KPI, ya untuk nanti kita bisa melihat bagaimana keterkaitan dan irisan pelaksana Tupoksi kedua lembaga ini bapak, ibu sekalian agenda kita pada hari ini karena Rapat Dengar Pendapat yangpertama kita akan lebih banyak mendengar dari mitra kita khusus LSF ya mengenai apa Tupoksi LSF dan bagaimana pandangan atau juga evaluasi LSF tentang pelaksanaan Tupoksi ya termasuk bagaimana kondisi perfilman ya dan hal-hal yang terkait dengan itu serta bagaimana situasi kondisi di dalam pelaksanaan tugas itu termasuk kalau ada catatan-catatan penting yang ini perlu menjadi perhatian bagi kami di Komisi I didalam nanti kita melakukan kemitraan ini selama 5 tahun kedepan dan nanti juga dari KPI kita juga akan untuk yang kesekian kalinya, ya mendengar hal-hal hal yang penting disampaikan dan saya pikir akan lebih spesifik hal-hal yang nanti terkait langsung dengan kebutuhan komunikasi, koordinasi dengan LSF itu bapak, ibu sekalian agenda kita dan mudah-mudahan kita bisa selesaikan acara ini pada jam ini 13.00, setuju? pak Joko setuju jam 13.00 Oke, kita setujui, nanti kalau misalnya masih ada hal yang perlu kita elaborasi, kita bisa sepakati untuk kita perpanjang Bapak Ibu sekalian, sebelumnya saya ingin menyampaikan salam dari teman-teman fraksi di Partai Golkar karena hari ini, tepatnya nanti malam itu akan ada pembukaan Rapimnas di Jogja jadi hampir seluruhnya teman-teman Fraksi Golkar ini sudah berada di Jogja dan special Special representatifnya sudah ada, pak Dave Akbar Syah ya beliau ditugaskan khusus untuk mewakili Fraksi Partai Golkar dan ini menunjukkan atensi yang besar juga dari Fraksi Partai Golkar terhadap RDP kita pada hari ini itu bapak ibu sekalian dan selanjutnya kita akan persilakan dari LSF dari Ketua LSF DR. Muchlis Faini untuk menyampaikan paparannya terlebih dahulu waktunya kami berikan secara leluasa dan nanti setelah itu akan disambung oleh KPI kami persilakan pak Muchlis Faini KETUA LEMBAGA SENSOR FILM (DR. MUCHLIS FAINI) : Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Yang kami hormati Bapak Ketua Komisi I, Yang kami hormati bapak-bapak ibu kalau ada yang saya hormati saudara Ketua KPI dan para Anggota selagi saudara-saudara para anggota Lembaga Sensor Film yang hadir pada hari ini pertamatama izinkan saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Komisi I karena tadi sudah disebutkan bahwa ini adalah yang pertama kali mengundang Lembaga Sensor Film sebagai mitra yang baru dan Lembaga Sensor Film pun tak kurang ucapan terimakasih yang setinggitingginya karena baru kali ini pun anggota Lembaga Sensor Film diundang untuk rapat kerja dengan DPR sebelumnya anggota Lembaga Sensor Film tidak pernah diundang oleh Komisi X, karena yang datang itu yang mewakili adalah Sekjen dan Sekretariat LSF dan ini suatu penghargaan yang besar kepada kami jadi Anggota Komisi I pertama kali bertemu dengan LSF dan LSF pun pertamakali bertemu dengan anggota DPR, Rapat Kerja. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih, kalau gitu perlu saya informasikan, ini adalah rapat resmi pertama Komisi I dengan mitra-mitranya pak, jadi LSF ini mendapatkan kesempatan pertama rapat resmi kita di Komisi I ini. KETUA LEMBAGA SENSOR FILM (DR. MUCHLIS FAINI) : Terima kasih pak. Sebelum saya menyampaikan paparan saya yang singkat ini, saya ingin memperkenalkan kepada Anggota Komisi I Anggota LSF yang hadir tetapi saya kira cukup banyak akan mengambil massa kalau saya perkenalkan, apakah saya perkenalkan satu per satu atau dikenalkan saja.
Yang di depan ini mewakili teman-teman. Pak Nunus ini Wakil Ketua Lembaga Sensor Film mewakili unsur budayawan di Lembaga Sensor FIlm. Kemudian Pak Jamalul Ketua Komisi B di Lembaga Sensor Film, Beliau ini mewakili praktisi penyiaran di Lembaga Sensor Film. Saudara Tedjo Baskoro Ketua Komisi A di Lembaga Sensor Film adalah praktisi hukum yang spesialisasinya itu menyangkut mengenai HAKI dan di ujung Saudara Ir. Wawan Kepala Sekretariat di Lembaga Sensor Film. Di belakang ini ada Anggota Lembaga Sensor Film yang lain mewakili berbagai institusi. Saya kira satu persatu nanti kami akan berikan nama-namanya. Ibu dan Bapak-bapak yang saya hormati. Karena ini perkenalan pertama, saya ingin memperkenalkan lebih awal bahwa Lembaga Sensor Film ini suatu institusi yang sudah cukup tua usianya di negeri ini, paling tidak hampir 1 abad usianya . Ketika untuk pertama kalinya dibentuk pada Tahun 1916 namanya Komisi Pemeriksa Film, namanya Film Komisi di bawah Departemen Dalam Negeri yang Anggota Komisi Film diangkat oleh Gubernur Jenderal. Waktu itu ada 4 Komisi Film di Jakarta, Medan, Semarang dan Surabaya. Kemudian pada Tahun 1942 Komisi Film ini juga di bawah Pemerintah Jepang di bawah Pusat Kebudayaan bentukan Jepang, sedangkan Tahun 1946 Komisi Pemeriksa Film ditetapkan di Jogja oleh Pemerintah Indonesia di bawah Kementerian Pertahanan Tahun 1946 . Tahun 1950 menjadi Badan Sensor Film di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan . Tahun 1964 bernama BSF berada di bawah Departemen Penerangan . Tahun 1999 Lembaga Sensor Film berada di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. 2003 di bawah lingkup Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2011 Lembaga Sensor Film berada di lingkungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan 2012 Lembaga Sensor Film berada di lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi dalam usia yang sudah cukup panjang Lembaga Sensor ini berganti-ganti, dinaungi oleh berbagai Kementerian. Bapak Ketua, Bapak-bapak Para Anggota Dewan yang saya hormati. Dewasa ini Undang-Undang yang menaungi Lembaga Sensor Film itu Undang-Undang 33 Tahun 2009 disitu disebutkan pada Pasal 1 ayat (12) bahwa Menteri yang mengurusi Film adalah Menteri yang membidangi urusan kebudayaan, kemudian sebagai tindak lanjut penjabaran dari Undang-Undang itu ada Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014. Ini suatu hal yang sangat penting, karena Undang-Undangnya diterbitkan 2009 dan PP-nya baru keluar 2014, cukup lama sehingga banyak persoalan-persoalan yang tumbuh, kemudian karena menyangkut keluarnya PP itu Lembaga Sensor Film adalah lembaga bersifat tetap dan independen, kata tetap dan independen ini saya kira perlu dikaji di Komisi I ini, apa yang dimaksud dengan tetap dan apa yang dimaksud dengan independen, karena ada beberapa lembaga-lembaga lain seperti sya kira juga KPI, juga mempertanyakan kata tetap dan kata independen itu seperti apa, sehingga bisa menjadi rujukan bagi semua institusi yang menggunakan kata tetap dan independen itu. Lembaga Sensor Film berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia. Lembaga Sensor Film dapat membentuk perwakilan di ibukota provinsi. Nah sekarang ini kami sedang berupaya untuk membuat penandatanganan kesepahaman dengan 10 propinsi di Indonesia untuk pembentukan Lembaga Sensor Film Daerah. Ada 10, yang sekarang sisa 2 yang belum ditandatangani MoU-nya yaitu Riau, yang dalam waktu dekat ini diganti dengan Kepulauan Riau, karena Riau, Gubernur-nya tidak bisa menanda tangan dan wakil gubernur juga ada sedikit guncangan, dan sehingga tidak bisa ada apa namanya hubungan, sementara Kepala Dinas yang menangani juga bermasalah, jadi dialihkan ke Kepulauan Riau. Dan satu lagi yaitu Bali, Bali juga ada masalah karena Kepala Dinas Kebudayaan yang menjadi kontak person untuk program ini juga masuk penjara sekarang, jadi sekarang sedang di lobby untuk penandatanganan MoU ini. Bapak Ketua, Bapak-Bapak Anggota Dewan yang saya hormati, persoalan yang sangat mendesak bahwa di berbagai daerah, 10 daerah yang menjadi prioritas ini memang suatu hal yang sangat menarik ialah bahwa industri-industri perfilman di daerah, di seluruh daerah ini mulai tumbuh dengan sangat tinggi dan juga produksi-produksi film-film pendek di daerah sudah sangat tinggi, sehingga memungkinkan 10 daerah ini tidak perlu lagi mengantar produksi-produksi lokalnya untuk ke Jakarta disensor tetapi disensor sendiri di daerah masing-masing dan juga yang menjadi dasar pemikiran ialah bahwa Anggota Lembaga Sensor Film Daerah ini adalah orang-orang yang betul-betul memahami, mengetahui, dan menghayati persoalan-persoalan yang menyangkut mengenai local wisdom karena tema-tema film-film pendek atau tayangan-tayangan yang di daerah itu menjadi sangat penting bagi daerah tersebut. Bapak Ketua, tugas Lembaga Sensor Film itu melakukan penelitian, penilaian judul, gambar, tema, adegan, suara, teks terjemahan film iklan film yang diedarkan, dipertunjukan kepada khalayak umum. Jadi menurut ketentuan ini semua film yang diedarkan di khalayak umum haruslah lebih awal diajukan ke
lembaga sensor film untuk dilakukan sensor shift disana. Ada persoalan mendasar yang selama ini dipahami oleh masyarakat atau sudah menjadi semacam alergi pada industri-industri film kata "sensor" itu . Sebenarnya kata "sensor" ini memang sudah tidak lagi sekeras dalam pengertian sensor dalam pengertian yang seperti dipahami sebelumnya, karena di dalam Undang-Undang yang baru, Undang-Undang Perfilman yang baru ada klausul yang membuka suatu kemungkinan diadakannya dialog antara pemilik film dan Anggota Lembaga Sensor Film bila film yang disensor itu dianggap bermasalah. Kalau dulu memang apa yang ditetapkan oleh Lembaga Sensor Film itu harga mati, tidak boleh ditawar-tawar lagi. Sekarang dibuka komunikasi untuk dialog jika pemilik film merasa berkeberatan terhadap film yang disensor itu. Dengan demikian, tampak bahwa fungsi Lembaga Sensor Film melindungi masyarakat dari dampak negatif dari peredaran, peredaran dan pertunjukan film dan iklan film penyusunan pedoman penerbitan, pembatalan surat tanda lulus sensor, sosialisasi pedoman kriteria sensor kepada pemilik film, sosialisasi pedoman dan kriteria sensor kepada pemilik film ini secara berkala dilakukan oleh lembaga sensor film kepada PH-PH, kepada Teman-teman yang memproduksi film, sehingga Bapak Ketua dan Bapak-bapak Para Anggota Komisi I bisa melihat bahwa dari 5 tahun terakhir dan bisa kelihatan statistik dari turunnya jumlah film yang tidak layak ditonton oleh masyarakat, film-film layar lebar. Kalau ketika kami pertama kali masuk di Lembaga Sensor Film Tahun 2009 itu masih ada 4 atau 5 produser film yang suka memproduksi film yang mencampurkan antara horor dan adegan-adegan seks, tetapi secara berangsurangsur ketika dilakukan sosialisasi dan pendekatan kepada para pemilik usaha perfilman sekarang ini sisa ada, paling ada sisa 1 produser film yang masih memproduksi hal-hal yang seperti itu dan ini pun mulai berkurang, juga Lembaga Sensor Film memberikan kemudahan masyarakat untuk memilih tontonan film yang bermutu membantu pemilik film memberi informasi kepada masyarakat untuk memilih film yang bermutu dan memantau aspirasi masyarakat terhadap pertunjukan dan peredaran film. Bapak Ketua, wewenang Lembaga Sensor Film. Penentuan penggolongan usia, Lembaga Sensor Film membuat penggolongan usia penonton juga melakukan penelitian terhadap lulusan, meluluskan film yang layak ditonton dan juga Lembaga Sensor Film mengembalikan film yang harus direvisi, ada beberapa film yang harus direvisi karena film nasional itu semacam kesepakatan yang tidak tertulis di atas kertas pada film-film nasional, tidak ada istilah ditolak tetapi dikembalikan untuk direvisi, kata lain dari ditolak, untuk diperbaiki. Kemudian setelah film itu direvisi dikembalikan kepada Lembaga Sensor Film untuk disensor kembali dan disitulah diterbitkan Surat Tanda Lulus Sensor dan Pembatalan Lulus Sensor, juga mengusulkan sanksi administratif kepada Pemerintah terhadap pelanggaran melaporkan kepada Presiden melalui Menteri secara periodik. Jadi Lembaga Sensor Film ini melakukan pelaporan kepada Presiden melalui Menteri secara periodik. Disini ada bagan mengenai materi sensor ada poster, ada penyajian audio dan teks, ada penyajian visual, ada tema, judul, dan dari apa yang disensor . Lembaga Sensor Film yang lama itu dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman dibentuk dengan Keputusan Presiden, Lembaganya Non Struktural, bersifat Independen, beranggotakan 45 orang, perwakilan dari berbagai instansi dan organisasi profesi. Ibu dan Bapak-bapak yang ada di belakang saya adalah termasuk dari Anggota 45 orang perwakilan dari instansi organisasi profesi itu. Kemudian pembentukan LSF yang baru berdasarkan Undang-Undang 33 Tahun 2009 tentang Perfilman . Pembentukan LSF yang baru ini terkendala karena PP yang menjadi dasar untuk pembentukan itu baru terbit setelah 5 tahun kemudian, baru terbit Tahun 2014 kemarin. Oleh karena itu, pembentukannya baru digarap, baru dimulai pada Tahun 2014 sesudah Bulan Mei. Berdasarkan Undang-Undang 33/2009 tentang Perfilman dibentuk LSF Pusat yang dapat juga dibentuk LSF di daerah tadi sudah saya sampaikan di dalam Undang-Undang 33 itu dibentuk dengan Keputusan Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Nah ini ada hal yang sangat penting ingin kami sampaikan kepada Bapak Ketua dan Bapak Para Anggota Dewan Anggota Komisi I yang kami hormati. Bahwa pembentukan Anggota Lembaga Sensor Film yang baru ini berdasarkan Undang-Undang 33/2009 sudah disampaikan usul konsultasi oleh Presiden, oleh Presiden SBY yang saya maksud disini kepada DPR dan saya kira di DPR Surat Permintaan Konsultasi itu sudah di tangan DPR dan setelah itu baru dikembalikan kepada Presiden untuk mengeluarkan Surat Keputusan Presiden dan ini masih di dalam proses LSF bersifat tetap dan independen, nah kata "tetap dan independen" ini perlu di garis bawahi tetap, dibidang apa tetap, karena sifatnya seperti apa, independen karena seperti apa, apakah independen karena anggarannya, independen tidak ada intervensi darii instansi lain, independen karena bisa melakukan keputusan-keputusan sendiri tanpa adanya campur tangan dari institusi yang lain,
beranggotakan 17 orang, ini anggota yang baru dan 35 tenaga sensor, ada tenaga sensor 35 orang, dan keanggotaan 34 orang dan keanggotaan berlaku selama 4 tahun, pelaksanaannya berdasarkan PP Nomor 18 tahun 2014. Bapak Ketua, Bapak Anggota Komisi I yang saya muliakan, keanggotaan Lembaga Sensor Film yang bertugas dalam periode 14-18 sedang dalam proses, jumlahnya 17 orang, unsur pemerintah dan unsur masyarakat, unsur pemerintah itu ada 5 orang, satu di bidang pendidikan, bidang kebudayaan, bidang agama, komunikasi dan informasi, dan bidang ekonomi kreatif, bidang ekonomi kreatif ini tadinya ketika masih ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, apakah ini masih relevan atau tidak, atau harus diganti, ini saya kembalikan untuk di pertimbangkan kembali, ada 12 masyarakat unsur masyarakat 12 orang, yaitu bidang pendidikan, perfilman, kebudayaan, hukum, teknologi informasi, pertahanan keamanan, bahasa, dan agama serta kepakaran lainnya. Syarat-syarat menjadi Anggota LSF, untuk dapat diangkat sebagai Anggota LSF diperlukan sebagai syarat sebagai berikut, Warga Negara Indonesia berusia paling rendah 35 tahun, dan paling tinggi 70 tahun, setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memahami asas, tujuan dan fungsi perfilman, memiliki kecakapan, wawasan, dan ruang lingkup tugas penyensoran dan dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu. Ini ada penggarisan yang sangat tegas dapat melaksanakan tugasnya secara penuh waktu. Pengajuan Calon dan Masa Jabatan, Menteri mengajukan 35 Nama Calon Anggota LSF kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Anggota LSF dan Presiden menetapkan 17 Anggota LSF setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan Anggota LSF 4 tahun, dan dapat diangkat kembali 1 kali masa jabatan. Pengangkatan dan pemberhentian Anggota LSF ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Seleksi ini ada kata seleksi menyangkut mengenai seleksi anggota, saya kira saya tidak perlu membacakan satu persatu. Dan juga mengenai pemberhentian anggota jabatan, anggota LSF dari jabatan saya tidak perlu baca dapat dilihat di caption. Penggantian antar waktu juga bisa dibaca, karena ini tidak terlalu prinsip untuk dibicarakan di sini, karena sudah ada mengenai pergantian antar waktu itu. Izinkan saya Bapak Ketua untuk lanjut pada latar belakang pembentukan LSF Daerah. LSF di daerah itu dibentuk berdasarkan beberapa pertimbangan. Yang pertama, perkembangan teknologi pembuatan film dan sinematografi sekarang memasuki era digital yang disebut dengan juga e-cinema. Sekarang ini hampir semua orang bisa membuat film, film sangat gampang diproduksi sehingga kalau tidak dilakukan semacam pembinaan yang secara terus-menerus mengenai pembuatan film ini, maka bisa dibayangkan bahwa begitu semaraknya hasil-hasil produksi film yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang isemng, digunakan untuk kepentingan yang serius, dan digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang bisa merusak moral bangsa dan juga persatuan NKRI. Ini juga dengan meningkatnya jumlah production house hingga ke daerahdaerah, Bapak-Bapak bisa mengetahui bahwa di daerah-daerah begitu film sangat mudah diproduksi dan juga meningkatkan stasiun TV dan penayangan film dan iklan. Kita ketahui bahwa televisi-televisi lokal di daerah di seluruh Indonesia ini sekarang jumlahnya sudah luar biasa banyaknya, sudah di atas dari 700 televisi lokal yang ada di luar daerah. Jumlah ini meningkat terus dan televisi-televisi lokal ini memerlukan asupan atau masukan-masukan tayangan-tayangan, materi-materi yang akan ditayangkan, dan ini sangat memerlukan apa namanya pembinaan, bimbingan yang menyangkut mengenai etika, moral, tata susila masyarakat dan perkembangan teknologi informasi. Perlunya pertumbuhan kesadaran masyarakat untuk melakukan censorship, sehingga mampu memilih dan memilah pertunjukan tayangan film dan iklan film yang bermanfaat. Ini memang suatu program khusus dari lembaga sensor film yang selalu mengupayakan ketika berkomunikasi dengan masyarakat, melakukan sosialisasi diberbagai daerah, yaitu melakukan program suasensor sehingga masyarakat sendiri, lingkungan keluarga, lingkungan kerabat dan lingkungan terdekat dari masyarakat sendiri melakukan self cencoship terhadap mana-mana film yang layak ditonton dan tidak layak ditonton oleh anggota keluarga. Berikutnya, anggota Lembaga Sensor Film tahun 20122014. Saya bacakan saja secara sepintas dan kepada yang disebutkan namanya mohon mengacungkan tangan atau memperlihatkan diri kepada Anggota Dewan yang terhormat. Yang pertama, saya Mukhlis Pa'eni saya Ketua Lembaga Sensor Film, yang kedua Pak Nunu Supardi wakil dari budayawan, yang ketiga Bapak Suyuti Narno wakil dari Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Bapak DR. Wahinuddin Adam wakil dari Departemen Hukum beliau sekarang jadi Hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. DR. Ridwan Lubis wakil dari Departemen Agama, Dra. Diah Haryanti dari Kementerian Pendidikan Nasional, Drs. Amri dari Wakil Kementerian Komunikasi Informasi, Dra. Erna Lembangun Wakil dari Departemen Pertahanan, Profesor Said Nabsuhan Wakil dari Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan, Drs. Zulkifli Akbar Wakil dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Dra. Aldina Agrit Agrani Wakil dari Kejaksaan Agung, 12. Drs. Agus Putranto wakil dari Badan Intelijen Negara, 13. Mayor Jenderal Doktor A. Yani Basuki wakil dari Pusat Penerangan Markas Besar TNI Tentara Nasional Indonesia, 14. Doktor Indro Subekti Sujiman dari Badan Intelijen dan Strategis, 15. AKBP Suyanto wakil dari Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, 16. Kombes Drs. Bambang Purnomo Sidi wakil dari Mabes Polri, 17. DR. Zainud Tohid Sa'adi wakil dari Majelis Ulama, 18. Profesor Dr. Artani Hasbi wakil Nahdlatul Ulama, Drs. Gubil Zubair wakil dari Muhammadiyah, Agus Alfonso Duka wakil dari Konferensi Wali Gereja Indonesia, 21. Febri Kalvin wakil Persekutuan Gereja di Indonesia, 12. Pendeta Sujito Kusumo Kartiko wakil dari Perwalian Umat Budha Indonesia, 23. Dra. Rita Sri Hastuti Wakil Persatuan Wartawan Indonesia, 24. Dra. Anis Wakil dari Tenaga Ahli Jurnalis 25. Sayektima Maya Lusia wakil dari Kongres Wanita Indonesia, 26. DR. Lenggang Kencana Wakil dari Praktisi Perempuan, RM. Tedjo Baskoro, SH wakil dari praktisi hukum, Amien Widyastuti wakil dari tenaga ahli hukum, DR. Sulistyo perwakilan dari PGRI, DR. Djamalul Abadin wakil dari ahli penyiaran, Surya Pati Dahlan wakil tenaga ahli perfilman, H. Muhammad Firman Bintang dari tenaga ahli perfilman, Dra. Johan Jasmadi wakil dari tenaga ahli perfilman, Ibu Raisita Supit wakil dari tenaga ahli perfilman, Drs. Narto Erawan wakil dari tenaga ahli perfilman, H. Anwar Fuadi wakil dari sinias aktor film, Drs. Nyoman Widi Wisnawa dari budayawan, Drs. Aribowo wakil dari budayawan, Drs. Kaharuddin Syah wakil dari cendekiawan, Drs. Soeprapto Rekso Sumarjono wakil dari Departemen Dalam Negeri beliau ini sakit permanen tidak dapat menjalankan tugasnya, kemudian Drs. Umar Hadi juga tugas luar negeri terakhir wakil duta besar di Belanda, Drs. Munce Harbunangin wakil dari psikolog juga tidak aktif, Drs. I Wayan saya sudah tidak sebut lagi karena sudah meninggal, Pak Sucipto juga sudah meninggal, Ibu Said juga sudah meninggal. Jadi ini 45 orang yang aktif sekarang sisa 39. Para Anggota yang kami hormati, organisasi lembaga sensor film menurut Undangn-Undang Nomor 33 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 terdiri atas Ketua, Wakil Ketua Komisi I yang membidangi sensor dan dialog, Ketua Komisi II yang membidangi Advokasi dan tindakan hukum dan Ketua Komisi III bidang evaluasi dan hubungan antara lembaga, Lembaga Sensor Film dibantu oleh Sekretariat Lembaga Sensor Film, dan tenaga sensor pusat 34 orang dan tenaga sensor daerah 15 orang. Bapak Ketua yang kami hormati, Sekretariat Lembaga Sensor Film ini adalah Pegawai Negeri Sipil Murni yang sehari-hari berada di bawah kordinasi Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Rencana pembentukan perwakilan LSF tahun 2015, tadi kami sudah sampaikan ada 10 daerah dan sekarang menyangkut mengenai anggaran Lembaga Sensor Film dalam APBN 2015 sejumlah Rp.44.909.314..000.- Ini uraian mengenai penggunaannya demikian juga mengenai uraian-uraian yang menyangkut mengenai pembelanjaan dari anggaran sebanyak Rp.44.909.341.000,- itu bisa dilihat pada caption diatas. Ada perbandingan anggaran LSF tahun 2014 sebanyak Rp.39.759.314.000,- dengan anggaran LSF dalam APBN 2015 Rp.44.909.314.000,- Ada peningkatan sebesar Rp.5.150.000.000,kenaikannya 13 persen. Bapak Ketua, jumlah film yang masuk sampai dari bulan Januari sampai dengan 7 November 2014 film nasional sebanyak 107 judul, kalau kita melihat jumlah 107 judul ini merupakan jumlah judl terbanyak dari 10 tahun terakhir ini, ini peningkatan yang luar biasa, karena sebelumnya selalu di bawah 100, sekarang November masih berjalan sudah 107 ini sangat banyak, tetapi kita juga sangat bersedih karena jumlah film impor yang masuk lebih banyak sampai dengan November itu 220 buah judul. Ini perimbangannya sepertinya tidak terlalu sehat, theater IMAX ini di theater di Taman Mini Indonesia, iklan film ada 9 judul, trailer ada 287 judul, total 626 judul sampai dengan bulan Mei. Film Nasional, film nasional ada 11 judul untuk semua umur, 17 tahun 73 judul, 17 ke atas 22 judul, 21 tahun ke atas 1 judul, ini juga tiak berimbang karena film untuk semua umur yang dimaksudkan untuk film anak-anak itu jumlahnya sangat sedikit. Sedangkan peminat atau sasaran untuk tema-tema pendidikan dan peningkatan perbaikan moral, ketangguhan nasionalime untuk anak muda itu perlu ditingkatkan, sedangkan jumlahnya itu sangat sedikit setiap tahun hanya 11 judul sampai dengan bulan November ini. Jadi ini pekerjaan rumah yang sangat besar bagi kita semua, bagaimana meningkatkan produksi film untuk semua umur ini, karena sasarannya sangat penting untuk generasi muda. Video nasional bisa dilihat semua umur sekian, sehingga total untuk iklan sebanyak 5.403, sedangkan Palwah itu penjualan dan penyewaan 4.350 judul. Yang diproduksi oleh PH itu 8.215 judul, yang diproduksi untuk stasiun televisi 8.266 judul, total keseluruhan 26.276 judul.
Semua produk ini secara administratif harus melalui pengamatan penelitian dari Lembaga Sensor Film 26.276 judul sampai dengan bulan November. Ada film yang ditolak Bapak Ketua, film nasional seperti yang saya katakan tadi itu ditolak untuk direvisi, dikembalikan untuk direvisi judulnya "Babi buta ingin terbang", ini banyak adegan porno dengan adegan homo, melorot celana, oral seks dan disaksikan oleh perempuan. Jadi terpaksa kita kembalikan untuk di revisi. Dan juga ada film Noah film Nabi Nuh kemarin itu juga menggegerkan dan di banyak negara-negara Islam ditolak, banyak negara-negara luar juga ditolak dan kita pun terpaksa harus menolak karena konsep pencitraan Nabi Nuh yang ada di dalam Al-kitab, juga dalam AL qur'an yang dipercaya umat-umat beragama itu tidak seperti di dalam adegan film yang dipertontonkan di dalam Film Noah, jadi terpaksa kita menolak karena tidak seperti dengan apa yang diyakini oleh pemeluk-pemuluk agama yang sudah ada. Begitu juga ada Film yang kita tolak seutuhnya yaitu film Bad Night For juga kita tolak karena ada adegan sanggama, adegan seks yang tidak layak untuk ditonton. Film Video yang ditolak itu ada 62 judul sudah kami tolak untuk tidak boleh diedarkan di Indonesia, permasalahan-permasalahan dan tantangan LSF ke depan adalah intervensi budaya global lewat tontonan film, tayangan televisi dan dan terbatasnya film nasional peningkatan film impor itu banding 1, banding 3. Bapak Ketua yang saya hormati, ada masalah di dalam produksi film nasional kita, sekarang ini boleh dikatakan gedung-gedung bioskop begitu banyak, layar-layar film begitu sangat haus dengan produksi-produksi film kita, tetapi kalau kita tidak dapat merespons keinginan pasar yang begitu besar, apa akibatnya? bisa dilihat bahwa di dalam 3 tahun terakhir ini begitu banyak film-flm danjuga sinetron kita terpaksa harus mengkloning adegan film uar menjadi film nasional, jadi ceritanya cerita luar tetapi bahasanya asaj ayang bahas Indonesia, sehingga banyak adegan-adegan yang terdapat di film itu membuat orang menjadi tercengang kok budaya Indonesia seperti ini, kok tradisi Indonesia seperti ini, itu memang bukan budaya dan tradisi Indonesia karena itu adalah film yang di kloning dari film luar yang diadopsi mentah-mentah dari film luar hanya mengganti judul dan bahasanya saja. Dan ini memang kita dikejar oleh industri ini ke keinginan industri. Sementara film impor begitu banyak, bisa dilihat bahwa beberapa keanehan bahwa film-film India sendiri banyak meniru atau mengkloning dalam dari Hollywood dari Amerika dan kemudian setelah menjadi Film India, Indonesia pun menirunya dari film India menjadi film Indonesia dan itu bisa kita lihat begitu banyak film-film di negeri kita. Teknologi perfilman sudah semakin canggih digitalisasi, di bioskop dan televisi juga membuat industri perfilman semakin murah membuat film. Dulu Pak Ketua, untuk memperbanyak satu copy saja satu copy film yang akan diedarkan yang masih di era fim silaloit itu satu copy dibutuhkan biaya paling tidak 20 juta untuk satu copy, sekarang satu copy paling banyak 750.000-1 juta sudah bisa satu copy, jadi semakin mudah dan semakin gampang. Dengan tantangan permasalahan global ini juga dan teknologi sekarang Lembaga Sensor Film dengan adanya film-film yang tidak masuk dalam bentuk sileloit itu, LSF harus setika mengganti seluruh peralatannya menyesuaikan dengan film-film yang diproduksi secara digital itu, sehingga alat-alat sensor pun harus diganti dengan seketika, inipun memerlukan biaya yang sangat besar. Ketiga adalah penjagaan ketahanan nasional lewat sensor, ini juga sangat penting dengan adanya produksi-produksi film di daerah, itu membuat berbagai persoalan-persoalan yang menyangkut mengenai mengkristalnya local edentity yang memungkinkan bisa mengancam kedaulatan, mengancam keutuhan NKRI. Salah satu contoh Pak Ketua, setahun yang lalu ada sebuah film produksi lokal di Kalimantan Barat yang diproduksi di daerah Singkawang, film itu menyangkut mengenai kepahlawanan atau menyangkut mengenai hero dari satu daerah di Kalimantan Barat tetapi ketika film itu ditayang beberapa orang kemudian datang mendatangi saya mengatakan pak Muchlis kalau film ini masuk ke Lembaga Sensor Film, tolong film ini jangan diloloskan karena film ini bagi daerah yang memiliki film ini adalah seorang pahlawan luar biasa tokoh yang luar biasa, tetapi di daerah kami tetangganya ini tokoh penghianat dan tokoh maling yang luar biasa yang bisa menyebabkan terjadinya satu kegoncangan kalau ini diedarkan. Film-film ini juga banyak diproduksi di daerah, karena itu diperlukan Lembaga Sensor Film di daerah untuk melihat hal-hal yang semacam ini. Walau demikian pemilihan anggota lembaga sensor film daerah itu harus pula dengan sangat hati-hati, karena ini menyangkut wibawa daerah, menyangkut pemahaman mengenai local wisdom, menyangkut pemahaman mengenai etika yang ada di daerah itu. Ami sangat berharap juga mungkin melalui Komisi I DPR RI, memberikan perhatian yang sangat sungguh-sungguh pada 10 daerah itu untuk sangat hati-hati meseleksi anggota lembaga sensor film yang akan dibuat di daerah masing-masing. Kami juga akan melakukan secara kontinyu kordinasi kemitraan dengan KPI Pusat dan KPI Daerah, ini sangat penting bukan karena Ketua KPI sekampung saya, tetapi karena memang
secara organisasi dua institusi ini bisa di lakukan secara bersama-sama, bahwa konten yang dicermati oleh LSF dan konten yang dicermati oleh KPI itu boleh dikatakan hampir sama, cuma persoalannya bahwa LSF melihat sesuatu sebelum dilihat oleh orang banyak dan KPI melihat sesuatu dan memberi penilaian setelah itu dilihat oleh orang banyak. Nah, ini adalah masing-masing punya karakteristik di dalam memberikan penilaian terhadap tayangan itu. Bapak Ketua, sekretariat lembaga sensor ini berdasarkan surat keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2012 berada di Kementerian Pendidikan Kebudayaan secara organisatoris itu mempunyai kedudukan selevel eselon IIIA, dan ini sangat mengganggu atau sangat tidak efektif di dalam melakukan kordinasi dengan daerah. Nah, karena itu melalui Rapat Kerja ini kami akan mengajukan secara dengan sangat hormat kepada Komisi I DPR RI perlunya beberapa usulan antara lain agar struktur organisasi Sekretarioat LSF ini i paling tidak dalam tingkat eselon IIA, karena ini menyangkut koordinasi dengan berbagai daerah. Saya kira itu sekedar pengantar yang saya sampaikan Pak Ketua, lebih kurangnya saya mohon maaf, ucapan terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih banyak kepada DR. Muzaini yang sudah mewakili LSF menyampaikan paparan awal yang sangat penting dan terima kasih karena kami juga mendapatkan sejumlah bahan-bahan tertulis yang itu penting menjadi acuan kami nanti dalam menjalankan tugas-tugas di Komisi I bapak, ibu sekalian, saya yakin adalah hal-hal yang penting yang bisa kita highlight dan bisa kita elaborasi nanti saya dari sejak awal itu merasa ada aura kehadiran artis besar beberapa puluh tahun yang lalu, tapi saya agak sulit mengidentifikasi sipa, tapi auranya terasa pak setelah dikenakan ada ibu Raesita saya baru ngeh, oh iya, beliau itu salah satu apa, favorit saya dulu tahun-tahun 80-an bu Rai ya semoga sehat selalu bu Raisita dan tidak pernah berhenti berperan memajukan film Indonesia ya, dan semuanya tentu saja kita di sini bapak ibu sekalian kalau kita lihat di Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman ada hal yang sangat penting ini saya liat ada di Bab V tentang kewajiban, tugas dan wewenang Pemerintah dan Pemerintah Daerah dimana di Pasal 52 itu berbunyi pemerintah bertugas menyusun, menetapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan dan rencana induk perfilman nasional dengan memperhatikan masukan dari Badan Perfilman Indonesia Undang-undang ini tahun 2009 jadi kira-kira 5 tahun yang lalu tapi kita belum mendengar tadi paparan dari pak Muchlis Faini tentang rencana induk perfilman nasional, kebijakan dan rencana induk perfilman nasional ya apakah ada, kalau ada itu seperti apa begitu ya dan pemerintah di sini siapa sebenarnya, apakah Kementerian atau Presiden mungkin nanti itu bisa salah dijelaskan, karena ini hal yang lebih mendasar ya saya kira sebelum kita nanti mengelaborasi pelaksanaan fungsi LSF yang hanya subsistem saja,ya dari sistem perfilman nasional kita harus tahu juga apa yang menjadi kebijakan dan rencana induk perfilman ya saya khawatir kalau LSF tidak pernah rapat di Komisi X jangan-jangan, jangan-jangan, mudah-mudahan nggak ya, jangan-jangan kebijakan rencana induk itu juga mungkin belum pernah diterbitkan. Dan yang kedua ini ada hal yang menarik juga bapak ibu sekalian, sebagai catatan nanti dengan memperhatikan masukan dari Badan Perfilman Nasional, ini memang didalam Undang-Undang Badan Perfilman Nasional ini bukan nomenklatur tersendiri karena ditulis dalam huruf kecil, tetapi siapa yang dimaksud dengan Badan Perfilman Nasional ini apakah LSF bagian dari yang disebut Badan Perfilman Nasional atau apa, ini nanti mohon dijelaskan lebih lanjut dan yang lain Bapak Ibu sekalian nanti perlu kita lihat dalam diskusi lebih lanjut di Bab II asas, tujuan dan fungsi dari perfilman ini bagian kedua tujuan Pasal 3 perfilman bertujuan itu dari A sampai H ya tetapi kalau kita lihat dari A sampai H ini 8 poin tujuan perfilman itu 7 adalah yang sifatnya internal oriented, domestic oriented ya untuk apa, yang sifatnya orientasinya ke dalam hanya satu poin di point f yaitu dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional ya ini yang sifatnya lebih ke luar tetapi juga ya, lebih dibatasi pada dikenalnya budaya bangsa padahal kalau kita lihat dengan kemajuan kehidupan sekarang era globalisasi, era pertarungan global, era perang informasi begitu banyak negara menjadikan film itu sebagai instrumen diplomasi instrumen perang informasi ya, nah sementara kita ini dalam Undang-Undang sebatas menyatakan tujuan perfilman itu dikenalnya budaya bangsa oleh dunia internasional ya ini juga menjadi menarik ya bagaimana cara kita memandang memposisikan dan memerankan perfilman sebagai instrumen di dalam pengelolaan kepentingan-kepentingan nasional kita ya dan kita bersyukur karena yang hadir mewakili LSF ini orangorang yang punya kompetensi sangat mumpuni sehingga mudah-mudahan RDP pertama ini menjadi RDP yang mencerahkan tetapi juga menginspirasi kita untuk kira-kira bagaimana memajukan perfilman nasional
kedepan itu Bapak Ibu sekalian catatan dari saya untuk nanti memancing kita melakukan pendalaman dan berikut kita akan mempersilakan KPI yang nanti diwakili Ketua KPI DR. Yudha Riksawan tadi dibagian permasalahan ada hal yang disebutkan pak Muchlis Faini mengenai sinkronisasi regulasi perfileman dan penyiaran melalui koordinasi kemitraan antara LSF dan KPI, nah ini kita ingin dengar seperti apa ini ya, hubungan bertetangganya antara LSF dan KPI karena data dari LSF ternyata luar biasa ya 2014 sampai November LSF ini sudah melakukan fungsi penynsoran 26.276 judul film, iklan film, trailer ya dan ada 8.266 judul yang disensor LSF untuk stasiun TV ya mungkin di dalamnya termasuk production house juga ya, yang nanti dideliver ke stasiun TV. Jadi kita lihat memang ini ada ini kalau rumah cluster ini dempet temboknya sebenarnya ya. Nah, cuma kita lihat nanti seperti apa kordinasi dan komunikasinya. Saya kira KPI akan lebih efektif kalau kita fokus di point itu, karena hal-hal yang lain kita sudah beberapa kali menyimak dari paparan. Kami persilakan kepada KPI. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Baik, terima kasih Pimpinan. Bismillahirohmanirohim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang kami hormati Ketua Komisi I DPR RI, Wakil Ketua, Pimpinan, Ibu/Bapak Anggota Komisi I DPR RI yang saya hormati, Kemudian Pimpinan LSF (Lembaga Sensor Film) dan para anggotanya, para anggota Komisi Penyiaran Indonesia yang saya banggakan. Pertama-tama kita panjatkan puji syukur kehadirat Alah SWT, karena hari ini kita bersama-sama diberi kesempatan kesehatan untuk bertemu dalam Rapat Dengar Pendapat pertama. Pak Ketua, karena sifatnya perdana mohon izin atas nama lembaga kami menyampaikan ucapan selamat secara resmi mungkin, kalau secara pribadi-pribadi mungkin sudah, tapi secara resmi atas nama Komisi Penyiaran Indonesia kami mengucapkan selamat atas keterpilihan dan amanah yang diberikan oleh negara ini pada Ibu/Bapak Anggota Komisi I DPR RI. Selanjutnya karena ini juga perdana, izinkanlah saya memperkenalkan para anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat periode 2013-2016. Saya selaku Ketua atas nama Yudha Riksawan, kemudian Wakil Ketua Bapak Idi Musayat, kemudian Ketua bidang kelembagaan Bapak Bekti Nugroho, bidang kelembagaan yang lain adalah Mas Fajar Arifianto, selanjutnya bidang infrastruktur perizinan adalah Ibu Asimah Subagyo ketua bidang, kemudian anggotanya adalah Bapak Amiruddin. Mohon izin bagian isi siaran kordinatornya sedang ada tugas Bapak Rahmat Sudjarwanto, untuk hari ini diwakili oleh Ibu Agatha Lili sebagai anggota bidang isi siaran, dan satu lagi Mas Danang Sanggabuana yang kebetulan berhalangan juga karena ada tugas melaksanakan tugas perizinan di kota lain itu tidak bisa hadir. Di KPI Pusat itu ada 9 orang Ibu/Bapak yang hadir hari ini ada 7 orang, kemudian kepala sekretariat tadi Bapak Maruli Matondang dan kami didampingi oleh berbagai staf dari Kesekretariatan. Komisi Penyiaran Indonesia terdiri dari KPI Pusat dan KPI Daerah, ini mungkin saya perlu jelaskan KPI Daerah alhamdulillah sampai sekarang ini sudah terbentuk 33 provinsi, sementara untuk Provinsi Kalimantan Utara sedang dalam proses karena pembentukan pemerintah definitif juga di sana belum selesai sehingga kami menunggu dan hubungan kelembagaan antara KPI Pusat dan KPI Daerah mungkin ini agak unik, kami sifatnya koordinatif karena anggarannya terpisah KPI Pusat dianggarkan oleh APBN dan diawasi oleh DPR RI, sementara KPI Daerah dianggarkan oleh APBD dan diawasi oleh DPRD Provinsi. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Mohon maaf Pak Yudha, sebentar saya sedikit sela, saya ingin memperkenalkan dulu ada 2 anggota kami, karena 2 anggota ini belum sempat kita kenalkan waktu acara di Wisma Kopo, yang pertama Mayjen TNI Purnawirawan Salim Mengga beliau dari Fraksi Partai Demokrat dan saya baru ngeh kalau hadir Pak Menteri kita DR. Syarifuddin saya biasanya panggil Pak Syarif Hasan beliau apa namanya lama mitra kita di komisi, tapi juga lama jadi kolega kita di komisi. Sekarang karena beliau pernah di pemerintahan dan di Menteri UMKM barangkali nanti jadi tambah menarik ketika kita menggali dimensi ekonomi dari perfilman dan penyiaran. Selamat datang Pak Syarif, saya kenalkan satu lagi Bapak Akhmad Zainuddin dari Fraksi PKS, Pak Syarif dari Fraksi Demokrat Pak masih. Ya itu yang perlu kami kenalkan tambahan, yang lain sudah ya. Kami persilakan.
KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Baik, terima kasih Pimpinan. Kalau Pak Syarif Hasan dari Sulsel, Pak Salim Mengga dari Sulbar. Pak...dari Sulsel juga Pak, sama dengan saya. Sekedar intermezzo. Baik, saya lanjutkan karena tadi Pimpinan menyampaikan bahwa lebih fokus kepada bagaimana hubungan antara KPI Pusat dan KPI Daerah mohon izin sesungguhnya di sini hubungan KPI dan LSF sesungguhnya di sini kami menyampaikan presentasi untuk memperkenalkan kelembagaan kami kepada anggota yang baru. Mohon izin 5-10 menit kami menjelaskan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia itu memiliki visi, misi, dan tujuan yang sesuai dengan Undang-Undang Penyiaran. Yang jelas bahwa kami adalah komisi yang dibentuk berasaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Untuk 2013-2016 kami memiliki visi terwujudnya sistem penyiaran nasional yang berkeadilan dan bermartabat, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dengan berbagai turunannya dalam misi yang kami teruskan. Lanjut, kewenangan KPI berdasarkan Undang-Undang, pertama adalag menetapkan standar program siaran, kemudian menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran, serta standar program siaran kami menyebutkannya dengan P3SPS untuk memudahkan. Kemudian memberikan sanksi terhadap pelanggaran terhadap P3SPS itu, serta melakukan kordinasi atau kerjasama dengan pemerintah lembaga penyiaran dan masyarakat. Di sini yang kemudian ada keterkaitan antara KPI dengan lembaga Sensor Film. Tugas dan kewajiban KPI, pertama adalah menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar, kemudian ikut membantu pengaturan infrastruktur Jadi terkait dengan infrastruktur kami hanya ikut membantu Kementerian Kominfo, kemudian ikut membangun iklim persaingan yang sehat, memelihara tatanan informasi yang adil dan merata, menampung, meneliti, menindaklanjuti aduan, sanggahan, kemudian menyusun perencanaan, pengembangan dan seterusnya. Nah next mungkin untuk bidangbidang yang ada didalam Komisi Penyiaran Indonesia, kami mempunyai 3 bidang kerja itu bidang isi siaran, bidang kelembagaan dan bidang infrastruktur perijinan untuk itu nanti mungkin masing-masing bidang saya minta untuk memberikan penyampaian laporan saya mungkin mulai dari bidang infrastruktur, penyiaran, pengelolaan sistem dan struktur penyiaran atau bidang perijinan kepada bu Azimah saya beri waktu 3 menit bu ya KPI (AZIMAH) : Terima kasih pak Ketua. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua Yang terhormat bapak, Ibu Anggota Komisi I, serta Pimpinan Komisi I saya menyampaikan bahwa pada periode ini kami dari bidang pengolahan struktur dan sistem penyiaran mempunyai paling tidak ada 4 hal yang menjadi program utama kami yaitu pertama adalah meneguhkan untuk menyelenggarakan atau memantau secara lebih intensif pelaksanaan sistem stasiun berjaringan ini pada Rakornas terakhir kami sudah meminta kepada KPID untuk melakukan penjatuhan sanksi per 24 Agustus 2014 Kemudian penguatan penyiaran perbatasan, karena tadi dalam salah satu nomenklatur yang ada di Undang-Undang Penyiaran bahwa kami harus dapat menjamin seluruh masyarakat Indonesia memperoleh informasi dari penyiaran, sehingga penguatan penyiaran perbatasan ini juga menjadi prioritas kami. Kemudian selanjutnya adalah lembaga penyiaran berlangganan berdasarkan regulasi yang ada lembaga penyiaran berlangganan sampai saat ini memang kami belum terlalu dapat intensif untuk ikut mengawasinya tapi mulai 2014 ini kami akan membuat peraturan-peraturan mulai dari proses perizinannya hingga nanti pengawasannya berkoordinasi dengan bidang pengawasan isi siaran dan terakhir adalah digitalisasi penyiaran, untuk digitalisasi penyiaran kami berkoordinasi dengan Kementrian Kominfo dan terakhir kami sudah mendorong agar Kementrian Kominfo membuat nota kesepahaman bersama kemudian yang salah satu itemnya adalah melibatkan KPI dalam tim pengawasan dan pengendalian penyiaran termasuk penyiaran digital satu hal yang ter terkait dengan digitalisasi penyiaran yang mungkin kami ingin mohonkan kepada Bapak Ibu sekalian yang terhormat di Komisi I adalah hingga saat ini pemerintah dalam hal ini Kementrian Kominfo walaupun Permen 22 tahun 2011 sudah dibatalkan yang isinya salah satunya adalah mencantumkan waktu pemutusan atau analog switch off penghentian siaran analog dari televisi namun hingga sekarang Kementerian Kominfo masih menganggap 1 Januari 2018 itu sebagai analog switch off
sementara regulasi yang ada tidak ada yang memayungi hal itu sehingga kami di lapangan terutama banyak pertanyaan dari Lembaga Penyiaran pelaku industri yang membutuhkan kejelasan tentang hal ini sampai saat ini sikap KPI adalah berharap analog switch off itu dipayungi oleh sebuah Undang-Undang dan kami sangat berharap Komisi I dapat menjembataninya dalam revisi Undang-Undang penyiaran yang akan datang catatan yang berikutnya adalah walaupun sekarang Kementrian Kominfo sudah masuk pada sistem simultes atau digitalisasi penyiaran dan juga analog itu sudah mulai berjalan dalam proses perizinannya namun pada 16 Oktober 2014 kemarin Kementrian Kominfo mengundangkan Permen 31tahun 2014 tentang rencana induk atau master plant frekuensi radio penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan TV siaran analog pada pita ultrahight frekwensi artinya dalam beberapa bulan kedepan akan dibuka kemungkinan peluang usaha untuk analog, nah ini yang mungkin kami harap Komisi I dapat juga menjembatani kami agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam proses perijinan atau pemberian ijin bagi penyelenggara penyiaran terkait keberadaan lembaga penyiaran analog televisi maupun digital. Terima kasih. Kami kembalikan kepada Ketua. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Terima kasih mbak Azima, Ketua Bidang struktur dan sistem penyiaran atau perijinan, berikutnya saya persilahkan mas Idi Musayat, Wakil Ketua untuk menyampaikan hal-hal yang terkait dengan isi siaran termasuk nanti menjelaskan secara spesifik permintaan Pimpinan terkait dengan bagaimana sesungguhnya relasi kerja antara KPI dan Lembaga Sensor Film terkait dengan isi siaran. Silahkan mas Idi KPI (IDI MUSAYAT) : Baik. Terima kasih Pimpinan Komisi I yang kami hormati, para Anggota Komisi I. Pimpinan LSF dan seluruh anggotanya. Menambahkan tadi soal aspek saya akan fokus pada aspek sinkronisasi dan koordinasi, nanti mungkin soal bagaimana hasil pemantauan kita, nanti mbak lia akan menyampaikan ada beberapa masalah saja yang perlu diselesaikan terkait dengan koordinasi dan sinkronisasi antara KPI dan LSF yang masalah ini sebenarnya sudah muncul pada beberapa kali RDP kita antara Komisi I dengan Komisi I namun karena waktu itu LSF ada dibagian lain sehingga beberapa kali koordinasi itu tidak kemudian terjadi nah, saya kira kebetulan tadi disampaikan oleh LSF bahwasannya ini adalah rapat perdana ini ya, undangan perdana untuk rapat perdana kan luar biasa ini. Jadi koordinasi ini akan menyelesaikan beberapa permasalahan yang selama ini timbul. Ada beberapa hal yang mungkin memang pada babnya belum sinkron, sungguh pun selama ini sudah ada upaya sinkronisasi. Yang pertama, misalnya adalah soal klasifikasi usia yang antara KPI dan LSF memang tidak sama, kalau tadi disebutkan ada kriteria usia yang 13 ke ata, 17 ke atas, 21 ke atas, dan 11 ke atas sama dengan semua umur, itu berbeda dengan KPI yang memiliki klasifikasi program ada P atau prasekolah 2 sampai 6, kemudian anak 7 sampai 12, remaja 13 sampai 17, dewasa 18 ke atas dan SU itu adalah di atas 2 tahun. Nah, ini menjadi kemudian persoalan yang kedua yang sangat urgent dan krusia di Undang-Undang Penyiaran kemudian memang disebut bahwasanya setiap film dan iklan itu akan mendapatkan surat tanda lulus itu dari pihak yang berwenang. Nah, dan ternyata kan pihak yang berwenang itu adalah LSF, karena memang KPI tidak memiliki kewenangan melakukan sensor. Nah, sekarang pertanyaannya apakah ....parameter layak tayang sensor layak tayang TV atau lulus sensor di TV itu antara KPI danLSF sudah sama apa belum jawabannya adalah belum itulah mengapa kemudian kita selama ini berpatokan di P3SPS kita sungguhpun sebuah film atau iklan itu telah mendapatkan STLS atau Surat Tanda Lulus Sensor tapi itu tidak menjamin tidak akan diberikan sanksi apabila terjadi pelanggaran, sehingga tetap kita berikan pelanggaran. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Pak Idi, sebentar klarifikasi dulu. Iklan ini iklan film atau iklan apa ya? KPI (IDI MUSAYAT) : Iklan produk, semua iklan.
KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Oh, iklan itu masuk proses LSF juga Pak? KPI (IDI MUSAYAT) : Tadi kan disebutkan ada ribuan iklan, iklan komersil, iklan promo dan iklan program, artinya selama ini yang kita praktekkan adalah tidak ada jaminan kalau sudah lolos STLS itu kemudian aman dari konten yang melanggar atau aman dari teguran KPI bila melanggar. Inilah yang kemudian yang seringkali menjadi alibi dari para produser film dan PH yang menyatakan kami sudah lolos sensor LSF, kami kok ditegur kembali. Nah, itu tapi kami jawabannya kami menemukan pelanggaran pasca tayang. Kemudian yang selalu menjadi juga kita pengamatan adalah ini fenomena lapangan yang perlu kita sinkronisasikan, bagaimana dengan sinetron yang dibuat secara stripping. Stripping itu yang harian terus muncul itu, yang kejar tayang. Kita pernah berdiskusi dengan PH di sinetron stripping yang menyebutkan ada sebuah sinetron yang akan misalnya tayang jam 19.00 WIB malam atau jam 18.00 WIB sore begitu, tapi itu baru selesai dibuat pada maksimal misalnya jam 10.00 WIB ada kejadian pagi. Jadi apakah kemudian untuk hal yang seperti ini apa melalui mekanisme sensor apa tidak atau ada mekanisme yang lain. Nah, terus yang menjadi pertanyaan juga selama ini adalah bagaimanakah film bioskop yang kemudian akan tayang di TV itu apa cukup dengan STLS-nya untuk biskop itu bisa langsung tayang di TV atau ada mekanisme sensor ulang, karena layak bioskop dan layak TV kan harusnya berbeda, misalnya ada film "Hantu Pundak Datang Bulan", mau muncul di TV apa cukup dengan STLS yang lama itu. Tentu kan harusnya parameternya berbeda, misalnya itu. Nah, saya kira begini mohon maaf dengan segala hormat kalau kemudian koordinasi antara KPI dengan LSF ini terjadi dulu-dulu oleh mungkin di oleh DPR RI itu beberapa hal akan selesai, minimal setengah masalahnya selesai, sehingga dengan rapat ini kami sangat berharap begitu, karena kunci daripada katakanlah penciptaan penyiaran itu ada di proses hulunya, yaitu sensor terutama oleh Lembaga Sensor Film. Saya kira demikian, nanti mungkin Mbak Lili kalau mau menambahkan. Terima kasih. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Silakan Mbak Agatha Lili yang akan menyampaikan tentang apa yang telah kami lakukan selama ini. KPI (AGATHA LILI) : Baik, terima kasih. Assalamu'alikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua. Pimpinan Komisi I DPR RI yang saya hormati, Ibu-Bapak Anggota Dewan yang saya hormati. Saya akan menyampaikan kinerja KPI sejak periode 2013 sampai dengan sekarang. Hanya highlight saja, yang pertama adalah bahwa kami telah melakukan pemantauan langsung terhadap 11 stasiun televisi selama 24 jam. Jadi kami memiliki kurang lebih 100 tenaga pemantauan langsung. Kemudian untuk radio kami juga memantau sekitar 10 jam dengan tenaga pemantauan kurang lebih 15 sampai 20 orang. Dan tahun depan kami akan menambah 3 TV yang baru-baru saja ada, yaitu RTV, kemudian Kompas TV, dan juga Net TV itu juga akan jadi obyek pemantauan kami. Bapak dan Ibu yang saya hormati, dari pemantauan yang kami lakukan KPI telah memberikan sanksi cukup banyak termasuk juga terhadap film dan sejumlah iklan, untuk tahun 2014 saya akan mencoba bacakan data terakhir saja, dari Januari sampai dengan November 2014 ada sekitar 100 maaf 163 sanksi, yaitu berupa teguran dan juga ada sekitar 10 program yang sudah dihentikan oleh KPI, ada yang penghentian sementara, dan juga yang berhenti tetap, salah satunya YKS (You Keep Smile) dan juga Mata Lelaki. Juga ada beberapa program yang telah kami batasi durasinya, yaitu program stipping yang penontonnya cukup banyak seperti Dahsyat dan Facebooker. Ibu dan Bapak yang saya hormati, berikut ini bisa kita lihat beberapa program yang telah kami berikan sanksi cukup berat yang pertama adalah TVRI ketika menayangkan video adegan berhubungan intim itu juga kami hentikan, kemudian Global TV ketika menampilkan kuis Indonesia cerdas dan juga RCTI ketika menampilkan kuis Kebangsaan.
Kemudian ini juga program yang sudah cukup lama tayang 3 tahun, yang terakhir kami hentikan tetap, yaitu program mata lelaki yang isisnya menampilkan wanita setengah telanjang setiap malam. Kemudian program Pesbuker dan Dasyat juga memuat sejumlah pelanggaran, yang sangat krusial yang akhirnya kami kurangi durasinya selama 3 hari berturut turut. Kemudian Yuk Keep Smile Trans TV yang mungkin Ibu dan Bapak juga mendengar ada beberapa muatan-muatan pelanggaran dan pelecehkan, mulai dari kami berikan teguran tapi tidak berubah juga, kemudian pengurangan durasi sampai akhirnya penghentian tetap. Kemudian ada beberapa muatan-muatan program yang kami nilai juga tidak mendidik, telah kami hentikan seperti hipnotis, kemudian adegan-adegan lempar tepung, kemudian sinetron-sinetron dengan muatan-muatan yang tidak sesuai dan juga yang terakhir adalah sinetron "Ganteng-Ganteng Srigala" juga kami hentikan selama 3 hari berturut turut dan minggu lalu kami juga menghentikan program masih dunia lain di Trans 7, karena menyebutkan alat kelamin laki-laki. Kemudian pengaduan masyarakat Kami menerima pengaduan masyarakat dan wajib menindaklanjuti begitulah bunyi di Undang-Undang Penyiaran, pengaduan masyarakat disampaikan melalui email, SMS, telepon, twitter dan juga facebook, keluhan terhadap program selama tahun 2014 mencapai 13.805 pengaduan. Dari pengaduan tersebut kami periksa berdasarkan rekaman KPI Pusat dan ada kurang lebih 162 saksi yang telah kami keluarkan. Selanjutnya stasiun TV yang paling banyak akan mendapatkan sanksi dari KPI Bapak dan Ibu bisa melihat yang pertama adalah Trans TV mencapai 26 sanksi, kemudian RCTI 25, SCTV 25, ANTV 18, dan MNC TV 15. Metro dan TV One juga ada, semua ada Pak, yang paling sedikit memang TVRI, karena mungkin penontonnya juga tidak terlalu banyak. Ini ada beberapa sinetron dan FTV yang mungkin jadi pokok bahasan hari ini, karena memang untuk sinetron, FTV, film kartun, dan sejumlah program film lainnya juga harus melalui lulus sensor melalui lembaga yang berwenang. Kami menemukan ada sejumlah sinetron yang bermasalah dan tidak layak tayang dan sudah kami berikan sanksi Ini ada beberapa contohnya, dan didalamnya juga selain sinetron juga ada programprogram FTV yang kami nilai dari judulnya sudah tidak layak, contohnya saya sebutkan ada judul sebuah FTV "aku dibuang suamiku seperti tisu bekas". Kemudian "Aku hamil suamiku selingkuh", kemudian ada "istri dari neraka", dan juga ada kemudian ada "merebut suami dari simpanan", dan sejumlah judul-judul lain yang kami nilai tidak layak tayang dan di dalamnya banyak memuat adegan percintaan atau bermesraan, adegan remaja merokok, hamil di luar nikah, menggugurkan kandungan, adegan bermesraan dan adegan lainnya yang sangat tidak pantas. Kemudian selain itu kami juga menemukan sejumlah program-program anak dan kartun yang juga sangat bernuansa kekerasan, seperti ada Bima Sakti, Little Krisna dan sebagainya. Kemudian Bapak dan Ibu sekalian, ada juga program talk show yang marak belakangan ini berkisah tentang laki-laki berondong, judulnya saja arisan berondong yang melayani ibu-ibu dan sebagainya, kemudian juga wanita yang melayani bapak-bapak itu dikupas secara berlebihan atau sangat eksplisit, sampai pada berapa honornya, bagaimana cara melayaninya, bapak dan ibu mungkin bisa melihat di slide ini bahkan transkrip kata-katanya juga sangat vulgar sekali ini juga sudah kami berikan sanksi. Dan yang terakhir juga siaran live dari artis yang cukup ternama yang habiskan waktu 24 jam, yaitu pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita, ini juga secara Undang-Undang telah melanggar frekuensi publik, sebagaimana kita ketahui bahwa frekuensi inii tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi melainkan harus lebih pada kepentingan publik. Itu demikian sekilas dari kami bidang isi siaran mudahmudahan yang disampaikan ini bisa menjadi informasi dan memudahkan kordinasi ke depan. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Terima kasih Mbak Lili.
Mudah-mudahan bukan saya dibuang seperti tisu bekas, karena ada sinetron yang berjudul "Aku dibuang seperti tisu bekas", pertanyaan kita kan apajah judul ini telah melalui lembaga sensor film, ini pertanyaan besarnya, mungkin terkait dengan koordinasi tadi Pimpinan. Saya mungkin menambahkan sedikit informasi soal tadi yang belum dijelaskan Mbak Azima ada keterangan dari Pak Muhlis soal jumlah lembaga penyiaran, bawa berdasarkan peraturan perundangundangan kita sesungguhnya kita tidak lagi mengenal istilah TV nasional, TV nasional itu hanya untuk TVRI dan RRI untuk lembaga penyiaran publik, sehingga untuk TV-TV swasta itu kita mengenal istilah stasiun lokal dan stasiun lokal berjaringan atas sistem stasiun jaringan, sehingga total yang berjaringan sekarang sekitar 13, sekitar 13 ini yang dulunya adalah TV nasional dan kemudian seluruhnya kita pandang sebagai stasiun lokal jadi sekitar 620-an. Itu mungkin sedikit tambahan. Mas Bekti Nugroho akan menyampaikan isu-isu terkait dengan kelembagaan, bagaimana struktur kelembagaan kami saat ini mungkin. Silakan Mas Bekti. KPI (BEKTI NUGROHO): Terima kasih Bapak Ketua. Yang terhormat Bapak Pimpinan Komisi I DPR RI, dan para Anggota Komisi I DPR RI semuanya. Ada 2 isu penting yang menurut saya menjadi bisa dikatakan selalu berputar-putar, yaitu hubungan antara Komisi Penyiaran Indonesia Pusat dan Daerah, karena ini semuanya terkait dengan persoalan anggaran, sehingga kita tidak bisa punya efektifitas untuk menjalankannya keputusan organisasi, sehingga sering menimbulkan persoalan. Nah, ini karena terkait dengan persoalan peraturan di kelembagaan yang memang sejak di di Undang-Undang tidak dijelaskan, karena itu diatur sama peraturan internal KPI dan kemudian sejak awal itu diatur secara koordinatif. Kemudian anggarannya juga mereka selalu menganggap karena anggarannya dari daerah bukan dari pusat. Yang kedua adalah persoalan hubungan dengan LSF yang tadi sempat disinggung sama Bapak Pimpinan, sebenarnya kami sudajh punya MoU Pak, coba di tayangkan. Ini tadi sudah disampaikan sama Pak Idi, jadi untuk mengatasi gap atau perbedaan persepsi maka sebenarnya kami sudah membuat MoU dengan LSF dan kemarin sudah sempat bertemu sekitar beberapa bulan yang lalu dan kami sepakat sebenarnya untuk lebih maju dari MoU itu kita akan membuat semacam kayak Pokja Gugus Tugas. Seringkali bahkan ada persoalan-persoalan yang menurut LSF tidak masalah, tapi kemudian ketika ditayangkan bermasalah. Bahkan pernah kejadian ternyata yang ditayangkan di televisi itu beda yang dikasihkan dengan yang di LSF, jadi CD-nya itu beda. Sehingga kemudian ketika dikroscek, loh ini yang ditayangkan ternyata bukan yang diserahkan kepada LSF. Sehingga untuk itu kemarin kami sudah sempat bertemu dan kami sebenarnya dalam waktu dekat akan membentuk semacam itu gugus tugas, yang terdiri dari LSF dan KPI. Seperti juga dengan dengan dewan pers kami juga sudah membentuk gugus tugas, jadi ada gugus tugas antara KPI dan dewan pers yang terkait dengan persoalan program jurnalistik. Sehinga kemarin ketika kita memutuskan sanksi-sanksi terkait dengan jurnalistik itu selalu berkonsultasi dengan dewan pers. Nah, kami berharap dengan LSF ini mumpung bertemu di sini dengan mitra Komisi I DPR RI juga mungkin ada baiknya gugus tugas itu bisa menjadi lebih efektif, menjadi sarana jembatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tadi Pak. Jadi banyak persoalan, misalnya tadi judul-judul yang tadi disampaikan sama Ibu Agatha itukan semestinya kalau kita sudah sepaham dengan LSF mestinya judul-judul itu sudah dah selesai di LSF, dihulunya maka untuk memperpendek mengatasi persoalan saya pikir gugus tugas ini menjadi penting, sehingga ketika ada persoalan-persoalan dihulunya itu KPI sudah terlibat. Sehingga tidak kemudian muncul tadi judul-judul yang aneh-aneh gitu, belum tayangannya dan sebagainya. Nah, yang ketiga ada persoalan penting mohon restu kami bertekad dan alhamdulillah anggarannya juga sudah di acc sama Bappenas dan Komisi I DPR RI untuk mewujudkan atau merealisasi survei kepemirsaan Untuk supaya nanti masyarakat mendapat alternatif tentang program-program televisi yang mendidik, yang edukatif seperti apa. Selama ini kan hanya ada satu-satunya survei kepemirsan yang diselenggarakan oleh swasta, kita ingin yang diselenggarakan oleh KPI nanti kita akan kerjasama dengan, dalam beberapa hal kita sudah ajak Bappenas BPS dan Kominfo. Itu saya pikir Pimpinan. Terima kasih.
KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Terima kasih Mas Bekti. Mungkin yang terakhir Pimpinan, terkait dengan anggaran KPI kami laporkan bahwa pagu anggaran KPI tahun anggaran 2014 itu sebesar total Rp.60.600.000.000,- terdiri dari Pagu Definitif sebesar Rp.28.000.600.000,- dan Dana Optimalisasi sebesar Rp.32 juta untuk maaf Rp.32 milyar untuk penguatan sarana pemantauan isi siaran. Pelu kami sampaikan bahwa Rp.32 milyar untuk dana optimalisasi ini adalah anggaran yang di berikan untuk penguatan sarana pemantauan isi siaran KPI dan KPID di 18 Provinsi menyusul 15 Provinsi yang telah memperoleh dana ini pada tahun 2013, hanya saja karena adanya pemberian tanda bintang atau blokir sehingga anggaran Rp.32 milyar ini tidak dapat dilaksanakan, sehingga kami berharap pada tahun 2015 sesungguhnya anggaran ini bisa dianggarkan, namun kami memperoleh informasi bahwa anggaran KPI tahun 2015 itu tidak termasuk yang Rp.32 milyar yang terkait dengan dana optimalisasi tersebut. Sehingga ada pertanyaan dari teman-teman dari KPI Daerah yang belum mendapatkan bantuan alat monitoring itu terkait dengan kemungkinan untuk memperoleh tambahan alat monitoring. Jadi ada 15 KPID yang telah kami bantu untuk alat monitor isi siaran, dan Insya Allah tahun depan akan kita laksanakan hibah kepada 15 provinsi tersebut, dan kemudian kita berharap atau kami berharap bahwa tahun 2015 apakah itu nanti sifatnya APBNP, anggaran yang untuk 18 propinsi itu mudah-mudahan bisa dibantu penganggarannya dan ini mungkin kita mohonkan khusus pada Komisi I DPR RI yang periode sekarang. Dengan harapan bahwa seluruh KPID nanti akan bisa mampu memberikan tambahan optimalisasi tugas dan fungsinya untuk melakukan pemantauan isi siaran. Itu mungkin informasi yang dapat kami sampaikan dari Komisi Penyiaran Indonesia, lebih kurangnya mohon dimaafkan. Billahi Taufik Walhidayah. Wassalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih kepada KPI. Bapak dan Ibu sekalian, tadi di bagian akhir disebutkan anggaran KPI total 60 sekian miliar ya, tapi 32 itu adalah optimalisasi dari DPR yang sampai sekarang statusnya dibintangi. Karena dicurigai optimalisasi itu sebagai kongkalikong ya, tapi LSF ini lebih beruntung rupanya nasibnya, karena anggarannya jauh lebih tinggi 44,9 miliar. Saya kira ini jadi catatan penting juga untuk kita bahwa ternyata kalau kita bandingkan memang KPI ini masih sangat minim dan ini salah satu implikasi dari anggaran KPI yang memang masih masuk di anggarannya Kemenkominfo ya. Baik, Bapak dan Ibu sekalian. Itu apaparan dari di KPI kita bisa melihat keterkaitan atau irisan pekerjaan dari dua institusi ini dan tadi ada hal yang menarik disampaikan Bapak Idi atau kalau saya pakai istilah Pak Mukhlis tadi kalau LSF ini melakukan pre audit, kalau kita pakai istilah audit sementara KPI ini melakukan post audit kira-kira begitu. Logikanya kalau alur audit itu sebagai satu sistem pre dan post audit ini mestinya sama, tapi ini ada perbedaan karena memang di 2 institusi yang sebelumnya punya 2 mitra yang berbeda, kami intens di Komisi I DPR RI dengan KPI, sementara rupanya LSF nasib tidak beruntung dalam hal ini, karena Komisi X DPR RI belum pernah rapat selama 3 tahun ya Pak Mukhlis. Saya jadi gatel kepala saya ini Pak, ini fakta saya kira fakta realitanya begitu dan Bapak/Ibu sekalian, ternyata memang ada parameter yang terpisah, yang ada di LSF dan juga KPI punya parameter sendiri dengan S3SPS-nya. Dan ini menjadi menarik karena dengan kita duduk bersama dalam suatu kemitraan di Komisi I DPR RI ini akan lebih mudah membangun jembatan antar dua institusi ini. Dan hal yang lebih penting Pak Mukhlis ketika kami berbicara dengan KPI salah satu tupoksi dari KPI ini selain melakukan pengawasan isi siaran adalah pembinaan, fungsi pembinaan terhadap berbagai lembaga penyiaran. Berangkat dari fungsi pembinaan itulah maka ada pertanyaan besar kalau saya pakai bahasa Undang-Undang Perfilman apa sih sesungguhnya kebijakan dan rencana induk penyiaran yang dimiliki negara ini. Ternyata pertanyaan itu tidak terjawab sampai sekarang Pak, artinya sampai hari ini negara itu tidak punya kebijakan dan rencana induk di bidang penyiaran. Saya tidak tahu ini di bidang perfilman ada enggak begitu ya, karena saya khawatir kalau ini tidak ada kita ini ibarat orang yang berjalan jauh tapi kita tidak punya map, tidak punya peta, dan sepanjang perjalanan nanti seperti yang pernah saya sampaikan KPI itu akan sibuk seperti wasit di lapangan bola yang tidak ada garis lapangannya, dan pemainnya adalah pemain yang mungkin tidak well train gitu ya, bukan profesional, yang nendang kaki itu dianggap hal yang wajar sehingga salah satu syarat calon komisioner KPI itu adalah bibirnbya harus tahan dalam nyemprit itu
Pak, karena setiap hari harus nyemprit orang dan mungkin LSF akan juga mengalami nasib yang sama, hanya akan disibukkan untuk gunting sana, gunting sini begitu ya, tetapi ada hal yang paling mendasar bagaimana kita melakukan pembinaan dan pengembangan terkait kebijakan dan rencana induk perfilman dan penyiaran itu tidak pernah ada. Ini perkara yang paling fundamental yang perlu saya perlu kita diskusikan, dan menjadi sangat mungkin nanti kita akan melakukan perluasan rapat ini dengan mengundang steakholder kementrian terkait, apakah kita Undang Kementerian Kebudayaan, kita Undang Kementerian Kominfo begitu ya, sehingga di sini akan lebih jelas dan hal-hal mendasar tadi bisa kita elaborasi lebih jauh. Itu adalah underline dari saya, sekarang saya akan persilakan Bapak/Ibu anggota untuk kita diskusikan, kita lakukan pendalaman. Di meja saya sudah beberapa anggota mendaftar. Yang pertama saya akan persilakan nanti Pak Budi dari Fraksi PAN, dilanjutkan Pak Bobby Pak Bobby-nya ada? keluar dulu. Berikut dilanjut Pak Elnino ya dari Fraksi Gerindra. Silakan. Kita kiri dulu dua, setelah itu saya lempar ke kanan. F-PAN (BUDI YOUYASTRI): Baik, terima kasih Pimpinan. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Teman-teman Komisi I DPR RI yang saya hormati, Bapak-Bapak dari Lembaga Sensor Film dan KPI. Nomor satu Pimpinan, saya coba memahami dalam konteks Komisi I DPR RI yang concern dengan kesatuan negara kita sebagai sebuah yang berbentuk satu dengan ke-Bhinekaannya saya melihat dengan satu frame work buku yang sudah saya baca itu Antonia Negeri Empire ketika dunia selesai dari perang dingin, maka orang sudah lihat bahwa ini menjadi tidak ada lagi 2 kekuatan tapi menjadi satu kekuatan besar di dunia yang dalam tanda kutib menjadi lebih Amerika, lebih global bahasanya dan alatnya itu kan ada 3, satu ekonomi di New York, yang kedua pertahanan di DC, yang ketiga Hollywood sebagai alat untuk mengubah cara berpikir dan perilaku, film maksudnya. Terakhir inikan ada di ekstensi terakhir ada di silicon valley memanfaatkan teknologi baru yang namanya internet. Bapak dan Ibu yang bergulat di sensor film dan penyiaran menyangkut content, sebenarnya pertanyaan saya cuma satu film itu apa sih, content itu apa sih, dalam bahasa yang bisa kita pahami, kita sebagai Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan apa sih yang dipertahankan dari identitas bangsa kita, sehingga kita sanggup survive di dunia untuk 20-50 tahun yang akan datang. Jadi sebenarnya atribut-atribut normatif yang tertulis di dalam Undang-Undang yang Bapak dan Ibu sebutkan kan harus direlasikan terhadap serangan yang dilakukan oleh globalisasi menggunakan alat yang namanya film, yang menggunakan alat namanya content isi siaran yang karena yang ubah kan bukan jadi film kemudian bahan yang disampaikan pakai media broadcast itu kan semuanya bentuk form, ada sesuatu di belakangnya, ada gagasan, ada idenya yang mewakili. Jadi buat saya kalau kerjaan cuma motong, ini ada adegan film, ada adegan sex-nya, ini ada adegan yang tidak senonoh, ini ada cara berpikir yang lain potong-potong, tidak menyelesaikan masalah ketika kita sebagai sebuah bangsa tidak tahu sebenarnya tujuan kita bernegara akan survive 20-50 tahun yang akan datang seperti ini. Seperti yang disampaikan oleh Pimpinan memang kita punya road map-nya terhadap film nasional, kita punya road map-nya tidak terhadap konten yang ingin kita bawakan. Sebenarnya contoh yang sederhana yang menurut saya simple di banyak negara film layar lebar itu di Thailand itu kalau mau nonton film ada dinyanyikan dulu lagu kebangsaannya 2-5 menit. Itukan bagian sebuah proses pengingatan antara tujuan kita bernegara dengan isinya, dan ini pertanyaannya untuk berdua ya. Bapak Pimpinan, saya ingin tahu sebenarnya apa sih film itu relasi terhadap wawasan nusantara kita dengan ketahanan nasional kita, sehingga kita tahu ini bahaya yang ini moderat bahayanya, ini potensi bahaya, sehingga kita bisa menciptakan imunitas dalam layer berpikir kesadaran kita sebagai sebuah bangsa, bukan technical. Itu yang pertama sebagai wacananya, maaf Pimpinan agak sedikit menaik sedikitnya agak berwacana, karena buat saya itu penting untuk menangkap sebenarnya teman-teman punya pandangan bagaimana. Yang kedua, ketika convergency ini menjadi keniscayaan sebenarnya cara berpikir kita juga pasti berubah, semua yang analog, semua yang bentuknya apa namanya dulukan seleloit dicopies harus harus melewati satu perangkat dengan biaya besarnya. Aku dengar sih 21 sekarang ketika mau nonton sudah tidak menggunakan seluloid, tapi pakai kayak decoder, jadi langsung pakai satelit dia by control, artinya kan menggunakan frekuensi dan mungkin juga kalau sudah ada pita lebarnya era convergency digital
membuat blur yang tadinya ini film, ini content TV, ini contentnya internet, kan sudah tidak bisa dibedakan lagi Pak, dalam waktu 20 tahun yang akan datang. Saya tidak tidak berpikir menyelesaikan masalah hari ini bagaimana lembaga sensor film dan KPI menyiapkan diri menghadapi perubahan ketika era digitalnya terjadi, karena semua cara berpikir dan cara bekerja teman-teman kan pasti berubah dan keniscayaan berubah. Jadi kesiapan kelembagaan dan Tupoksi yang disiapkan bagaimana, karena buat saya teman-teman, adik-adik kita, anak-anak kita sekarang ini semangat membuat film animasi, film independen luar biasa dan itu dimana dikanalkannya? Lembaga Sensor Film sanggup enggak punya kemampuan untuk mengakses dan mengevaluasi setiap film yang muncul. Yang ketiga, Bapak dan Ibu sebenarnya buat saya jadi bingung. Pimpinan, yang namanya facebook dan twitter itu penyiaran bukan, kan dia broadcast. Dari sisi yang satu dia broadcast, saya ngetik di twitter dibaca oleh siapa pun, betul kan medianya berbeda, dia menggunakan digital tidak pakai frekuensi. Itu yang meregulasi kebijakan content-nya ada di siapa, Tupoksi Komisi Penyiaran tidak memang hari ini, tapi Pimpinan buat saya siapa bisa mengamati facebook, tulisan orang, menyalahi atau tidak menyalahi, kan harus ditemukan metodenya. Daripada bikin lembaga baru, komisi baru mungkin bisa diekstensi komisi penyiaran ditambahin lagi itu melakukan self censorship di dalam internet, sehingga kasus sudah ada lebih 72 kasus orang yang menulis sembarangan bisa di auto corection langsung oleh lembaga kita, karena buat saya tidak ada yang melakukan TV diawasi, kemudian bisa dilakukan pemberhentiannya, kenapa adik-adik yang ber-facebook, ber-twitter, ber-path tidak dilakukan lembaga itu tiba-tiba masuk Undang-Undang ITE, kasian juga ya. Jadi kalau bisa diselesaikan oleh teman-teman KPI bagus juga. Usul ini usul saja karena buat saya tidak ada lembaga yang menangani soal pengawasan content dari media sosial dan media online. Media online tidak di sini ya? Pimpinan, saya hanya tanya demikian 3 saja pertanyaan yang buat saya mudah-mudahan bisa menjelaskan, menangkap kira-kira kemana lembaga sensor film nasional ini siap untuk 20-50 tahun yang akan datang. Demikian. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih Bapak Budi. Sedikit informasi tadi saya coba searching, jadi 17 Januari 2014 itu sudah terbentuk Badan Perfilman Nasional Pak Muchlis ya, Badan Perfilman Nasional sebagai wujud partisipasi masyarakat. Jadi terdiri dari 40 organisasi dan komunitas berfilman dan pengurusnya ada 9 orang, tetapi memang partisipasi ini lebih untuk mendorong kemajuan, tetapi policy itu tetap ada di Pemerintah, menarik juga nanti kapan waktu kita undang Badan Perfilman Nasional, sehingga bisa lebih lengkap ya peta kita tentang dunia perfilman ini. Baik, saya lanjut ke Pak Elnino. F-GERINDRA (ELNINO M. HUSEIN MOHI, ST., M.SI.): Baik, terima kasih Pimpinan. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Saya Elnino Ibu dan Bapak dari LSF maupun KPI. Saya dari Daerah Pemilihan Provinsi Gorontalo. Pimpinan, dan saudara-saudara Anggota Komisi I DPR RI yang terhormat, dan juga para undangan. Alhamdulillah di rumah saya hari ini tidak ada TV, sudah lama tanpa TV, karena alhamdulillah dan itu membuat anak-anak saya ini menjadi lebih asik daripada yang lain, karena mereka tidak nonton ganteng-ganteng srigala, tidak menonton pernikahan Rafi Ahmad, tidak nonton segala macam yang tidak penting itu. Memang ini alahmadulillah ada 2 lembaga yang harusnya sinkron, ada di sini pada hari ini. Saya agak bingung sebenarnya, Bapak dan Ibu dari LSF dan KPI, ganteng-ganteng srigala itu mungkin di LSF lolos karena yang dilihat gantengnya, kalai KPI melihatnya srigalanya. Jadi yang lolos di gantengnya dan srigalanya tidak lolos. Secara umum saya sepakat dengan beberapa anggota dan juga Bapak dan Ibu pembicara sebelumnya dari LSF dan KPI. Ini ini soal penyiaran dan juga contentnya termasuk film-film yang ada di situ adalah pertahanan dan ketahanan yang pertama, yang paling depan bagi negara kita. Kita tidak perlu perang kalau kita bisa propaganda dengan baik melalui media-media massa, yang sekarang dilakukan oleh Amerika itukan begitu kepada kita, sekarang kita dalam keadaan yang terjajah dalam hal ini. Kita ini Indonesia sudah betul-betul Americanize, hampir 100% bahkan Malaysia saja yang ada termasuk bagian dari Kerajaan Inggris itu tidak begini-begini amat, kita ini sudah seperti Amerika benar, filmnya di
situ, siaran-siarannya, facebooknya, twitter dan lain-lain, hampir semuanya ya itu mengikuti apa yang dilakukan oleh Amerika. Bahkan opini pun itu opini dari Amerika yang sekarang beredar di kita, apa yang dimaksud dengan demokrasi dan lain-lain. Ibu dan Bapak sekalian, kita punya tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini amanat dari pembukaan Undang-Undang Dasar yang tidak bisa diamandemen itu, yang mestinya penyiaran kita ini, TV-TV, radio dan juga film ini, itu visinya ya itulah mencerdaskan kehidupan bangsa Ke depan ini kita dalam keadaan yang sangat kritis Pak, sebentar lagi ada bonus demografi, di mana umur yang pada tahun 2030 itu, umur antara 20 sampai 60 umur-umur produktif itu jauh besar hampir 60% dari penduduk Indonesia dan mereka itu yang hidup sekarang masih remajaremaja ini, masih SMP, masih SMA. Saya tidak habis pikir bagaimana ada sinetron muncul di televisi yang menceritakan anak-anak SMP pancaran, ini sangat khawatir. Ibu/Bapak sekalian, itu yang pertama. Yang kedua, ini sudah ada era convergency ini mau digitalisasi semuanya ini, banyak hal yang akan jadi imbas dari digitalisasi ini. Yang saya tanyakan kepada LSF maupun kepada KPI kira-kira apa yang harus kita lakukan dan kalau kami DPR ini apa yang harus dilakukan oleh DPR untuk mengatasi ataupun mengantisipasi datangnya era digitalisasi. Negara-negara lain sudah mulai digital tahun 2016, kita mungkin terlambat bikin tidak apa-apa tapi itu semuanya akan kesana. Nah, apa yang harus kita lakukan di situ. Mengenai hal-hal yang lain ini Pak Ketua dan juga sudara-sudara sekalian, saya belajar-belajar sedikit, saya bukalah ini website, KPI, saya bukalah ini website LSF, saya sering belajar begitu di mobil sebelum ada hadirin seperti ini. Bapak dan Ibu sekalian, ada sangat penting ini, saya mencatat beberap hal yang penting dalam bidang penyiaran. Yang pertama adalah bahwa harus ada demokratisasi dalam kepemilikan lembaga penyiaran. Sekarang ini Bapak Ketua KPI memang bilang tidak ada TV nasional, hanya TVRI dan RRI, tapi pada akhirnya sekarang ini semuanya itu TV nasional dan hanya dimiliki oleh beberapa orang, bahkan beberapa TV hanya dimiliki 1 atau 2 orang saja. Ini berbahaya Pak, kalau msuk angin saja 1 orang memiliki beberapa TV berbahaya buat negara kita, harus ada demokratisasi. Dibikin itu TV-TV verjaringan sebenarnya semangatnya pada tahun 2005 untuk supaya TV-TV lokal menjadi hidup, kan gitu Pak, in tidak RCTI bikin sendiri TV lokalnya dimana-mana, SCTV bikin sendiri TV lokalnya di mana-mana, ya sama saja gitu. TV nasional juga jadinya dia, dan kepemilikannya jangan menumpuk pada satu orang harus ada pembatasan, termasuk pembatasan jumlah modal sejumlah saham yang dipunyai untuk satu perusahaan penyiaran. Kemudian yang kedua Ibu dan Bapak sekalian, KPI ini kan mestinya semangatnya dulu Pak, seingat saya belajar di komunikasi dan saya mempelajari di mata kuliah saya, seharusnya KPI ini seperti KPK nya untuk penyiaran Pak. Dia harus bisa memberikan sanksi yang tegas, bukan hanya memberikan rekomenasi seperti yang ditulis di buku itu, nanti Kominfo lagi yang bikin itu. KPI harus kita perkuat dan juga harus ada sinkronisasi yang betul antara KPI dan LSF yang hal-hal kecilnya itu yang mungkin kepada LSF itu bisa beri saran kalau bikin pembatasan umur jangan cuma huruf Pak, jangan cuma R, A atau dewasa gitu taruh umurnya. Sampai umur berapa yang bisa nonton di situ, supaya tidak melanggar Undang-Undang dan cocok juga dengan KPI, taruh umurnya kira-kira begitu. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih. Ini namanya Elnino Pak. Jadi kalau idenya tidak seperti angin ribut memang bukan Elnino, tapi menarik kalau KPI bisa seperti KPK, nanti KPI bisa melakukan OTT (Operasi Tankap Tangan), jadi datang ke studio yang live-live itu begitu dia melanggar langsung diborgol gitu ya. Ide yang menggelitik. Baik, terima kasih. Ini bertambah ternyata yang mau mendalami, saya Undang dulu Pak Bobby dan setelah itu saya sambung ke yang terhormat Bapak Dr. Gamari. Silakan. F-PG (BOBBY ADHITYO RIZALDI, S.E., M.B.A., C.F.E.): Terima kasih Bapak Ketua. Rekan-rekan sekalian, Bapak dan Ibu dari LSF dan KPI. Langsung saja nama saya Bobby Rizaldi, ini pertanyaannya cukup banyak ada 20, tapi tadi sudah di SMS jadi cuman sedikit saja, empat saja Pak. Jadi pertama Pak, saya ingin menambahkan saja tadi sudah disampaikan rekan-rekan saya, bahwa intinya kami atau saya pribadi kalau memang ada kritik untuk LSF atau KPI tentang kordinasi di masa sebelumnya, saya rasa itu sudah tidak perlu kita bahas, karena sekarang kan KPI dan LSF sudah jadi satu komisi Pak.
Jadi kalau dulu memang ada berkurang kordinasi ya kita aminkan saja Pak, karena sekarang sudah jadi satu. Nah, karena sekarang sudah di komisi yang sama saya juga ingin mendapatkan pendalaman sedikit mengenai kordinasi LSF dan KPI untuk contohnya penayangan censorship di lembaga penyiaran, misalkan pertama kan ada perbedaan mengenai kriteria STLS yang tadi disampaikan tadi Pak ya, ya misalkan STLS yang ada di televisi misalkan di SCTV itu kadang dituliskan STLS ada nomornya, kadang tidak ada nomornya. Nah, ini bisa juga menjadi tameng bagi di lembaga penyiaran kalau misalkan ada teguran dari KPI mereka bilang "oh kita sudah ada STLS nya", atau ada juga program yang sudah ada STLS-nya tapi klasifikasi waktu ditanyakan berbeda, misalkan kayak acara debus siang-siang. Sekarang menurut Undang-Undang itu bagaimana sebenarnya konsep kordinasi antara LSF dengan KPI, karena kalau tidak salah di Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 itu sudah mengatur juga mengenai sensor internal di lembaga penyiaran tersebut. Sekarang bagaimana mekanismenya, karena kita kalau di Jakarta kota besar lembaga penyiaran itu bukan saja yang tadi disebutkan, SCTV, Trans TV, RCTI, MNC, tetapi kan kita juga ada juga misalkan yang lembaga penyiaran berbayar. Nah, apakah itu sudah masuk juga STLS di situ karena misalkan contoh yang kartun saja, karena saya masih punya kecil Pak, itu namanya Disney saja ada 4 macam, ada Disney junior, Disney biasa, ada Tunami, ada segala macam, apakah itu masuk dalam pantauan LSFdan KPI atau tidak konten di LPB. Nah, itu konsep yang kami ingin tanyakan di pertanyaan pertama ini. Lantas yang kedua Pak, yang kedua mengenai masalah regulasinya dulu. Saya ingin mengetahui juga kurangnya kordinasi itu apakah di level legislasinya di Undang-Undang Nomor 32 yang nanti akan kita revisi dan bikin Undang-Undang penyiarannya atau diregulasinya membingungkan, contoh Pak di PP Nomor 14 Tahun 2014, LSF punya kriteria sendiri mengenai sensor, KPI tadi yang disebutkan punya P3SPI, bagaimana sinkronisasinya karena jangan sampai juga, contoh perbedaan kriteria penilaian dari umur saja sudah berbeda antara yang LSF dengan KPI. Nah, bagaimana kitamau menyensor kalau misalkan guidenya berbeda. Nah, jadi ini salah siapa ini Pak, salah regulasinya atau salah legislasinya. Kita perlu tahu ini, karena jangan sampai juga nanti kita sudah mati-matian tetapi yang paling basic itu regulasi dari pemerintahnya yang menyebabkan terjadinya miss kordinasi. Nah, lantas yang ketiga itu tadi dari regulasinya, sekarang saya ingin membahas dari infrastrukturnya. Bagaimana LSF dan KPI menyensor film yang jumlahnya ribuan banyak itu, adak tidak alatnya atau otomatisasi mengenai sensor ini. Karena kita mesti lihat seperti awal terbentuknya komisikomisi ini, karena adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah eksekutif heavy, makanya ada komisi penyiaran, ada komisi pemberantasan korupsi, dan semua ini dilengkapi alat-alat yang canggih. KPK dilengkapi alat penyadap yang luar biasa, di KPU ada alat pehitungan pencacahan suara yang termutakhir, di KPI atau LSF apakah ada alat seperti itu sehingga apa mungkin dengan jumlah orangnya segini dengan anggarannya Rp.100 milyar saja tidak sampai, bisa melihat semua program tayangan broadcast itu pada waktu bersamaan. Nah, apakah ada alat yang memang dimungkinkan itu atau memang infrastruktur itu lebih besar di SDM-nya, atau bukan SDM, bukan infrastruktur, tapi diregulasi dan legislasinya, jadi lemahnya dimana. Itu yang saya inginkan mengenai infrastruktur penyensoran ini. Karena tadi dari paparan-paparan tersebut saya juga bingung antara LSF dan KPI itu before the fact monitoring the fact atau After the fact, kalau before the fact berarti semua skenario harus lolos dulu LSF. Monitoring apakah live itu boleh, atau semua tayangan misalkan Ramadhan Live itu semua harus recording dulu atau begitu ada kasus seperti yang penghinaan Bapaknya Mas BIem di Yuk Keep Smile ini baru semua kebakaran jenggot. Nah, itu bagaimana konsep-konsepnya dan ini perlu ditunjang apa orangnya, alat infrastrukturnya, atau legislasi regulasi. Lantas yang terakhir, ini mengenai yang tadi saya sampaikan mengenai monitoring di LPB (Lembaga Penyiaran Berbayar) karena data dari asosiasi itu ada 2.000 TV berbayar yang katanya ilegal Nah, itu mohon disampaikan apa benar illegal, kalau illegal benar wah itu suatu yang serius dan saya juga apresiasi dari tadi dari KPI atau LSF yang menayangkan program anak-anak yang berbahaya yang apa itu tadi Bimasakti, Little Krisna, Tom and Jerry, saya kalau boleh usul karena saya juga punya anak kecil saya juga ingin itumungkin bisa jadikan acuan buat kita-kita yang orang tua ini, jadi jangan tayangan itu basisnya Elsie Nelson saja, ini yang paling bagus, ini yang jadi patokan, tapi kita secara himbauan, secara moralitas
konten itu kalau memang kita tidak bisa lawan secara sanksi atau apa, karena di media saya tidak tahu sekarang masih relevan atau tidak katanya KPI pun belum punya mekanisme pengangguran ke LPB. Nah, paling tidak dari kriteria ranking tersebut masyarakat publik bisa tahu mana tayangan yang sehat, mana yang harus dihindari, minimal untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah. Dari saya cukup sekian. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih Bapak Bobby. Ini semakin menukik dan mendalam. Tambahan informasi jadi istilah yang kita pakai Komisi I DPR RI bukan kebakaran jenggot lagi Pak, kebakaran kumis karena yang laku sekarang ini kumis trendnya, karena Pak Hanafi jenggotan, Pak Mukhlis jenggotan juga Pak. Kita lanjut ke Dr. Gamari Sutrisno. F-PKS (DR. H.M. GAMARI) : Terima kasih Pimpinan. Anggota yang terhormat. Bapak dan Ibu dari LSF juga dari KPI. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Izinkan saya bercerita dulu apa yang tadi Pak Ketua sampaikan terkait dengan pembinaan perfilman. Yang membina sudah meninggal Pak, dulu ketika ada Depertemen Penerangan itu ada Direktorat Jenderal Radio, televisi, Film, di dalam Direktorat Jenderal itu agak Direktorat Pembinaan Film, kebetulan mantan Direkturnya ada di sini namanya Narto Erawan. Beliau itu pada zamannya terkenal sebagai penulis scenario, terutama ketika TVRI masih berjaya ketika itu, itu jamannya sama dengan Ibu Raesita, makanya beliau berdekatan itu karena punya kenangan yang luar biasa. Pak Ketua, memang ini sesuatu yang merisaukan saya, ketika kita bicara soal film karena film hanya dilihat sebagai karya seni budaya, sementara itu film sebetulnya bukan hanya sebagai karya seni budaya, tetapi film juga sebagai salah satu media komunikasi massa yang dibuat dengan basis in untuk matografi. Nah, inilah yang kemudian banyak dilupakan, hanya dilihat dari segi budaya saja sehingga dalam Undang-Undang itu kemudian cantolannya di bawah menteri yang membidangi kebudayaan. Padahal film bukan hanya sekedar karya seni budaya, tapi film juga sebagai media komunikasi massa, ini konten yang penting yang sebenarnya harus dibina, sehingga budaya Indonesia ini betul-betul betul-betul bisa dijaga, salah satu penjaganya adalah lembaga sensor film. Jadi bukan lembaga sensor film harus membuat masterplan tentang perfilman, tetapi sebetulnya pemerintah yang harus membuat itu, ada lembaga tapi sekarang ini sudah impoten, mohon maaf namanya pusat produksi film negara atau sekarang pusat produksi film nasional, itu mitranya Komisi VI DPR RI. Dialah yang seharusnya memproduksi film nasional bermutu untuk apa, untuk secara kuantitas ataupun kualitas bisa melindungi budaya ini dan juga membendung serbuan budaya melalui film dari luar negeri. Itu sebabnya saya memahami kalau dikatakan oleh LSF bahwa film import itu 1 banding 3, itu menurut saya maih terlalu bagus satu lebih dibanding sekian banyak itu, karena produksi film nasional memang betulbetul drop. Ini harus kita cermati bersama, sehingga dengan demikian kalau LSF yang memang fungsinya hanya menyensor itu di dalam rangka menjaga budaya bangsa itu, memang betul-betul bisa dilaksanakan dengan baik, sekarang misalnya kalau menghadapi film-film import atau film-film yang mengintervensi budaya melalui siaran global itu mana mungkin LSF bisa melakukannya tidak akan mungkin. Itu sebabnya menjadi sebuah permasalah yang diisampaikan pada kita, yaitu adanya intervensi budaya global melalui tontonan film dan tayangan televisi. Kemudian ada masalah lain yang disampaikan kepada kita, bahwa teknologi perfilman semakin canggih di era globalisasi, baik itu melalui bioskop ataupun melalui televisi, dan ada juga masalah di dalam rangka menjaga ketahanan nasional lewat sensor, dan ada masalah satu lagi yang disampaikan kepada kita sinkronisasi, regulasi perfilman dan penyiaran melalui koordinasi kemitraan antar LSF dengan KPI Pusat maupun Daerah. Terkait dengan masalah ini, saya ingin bertanya kepada LSF saya belum mendengar tadi dari 3 masalah atau 4 masalah besar tadi apa yang dilakukan oleh LSF untuk menghadapi tantangan atau permasalahan ke depan itu. Saat ini pun dan kemudian ke depan pun ini nampaknya belum di gambarkan kepada kita secara rinci, bagaimana kebijakan LSF, strateginya bagaimana, langkah-langkah yang harus diambil apalagi kalau kita bicara masalah teknologi komunikasi yang semakin hari semakin pesat, apakah
LSF sudah siap untuk melakukannya di dalam kerangka membentuk intervensi budaya global itu, ini pertanyaan saya yang pertama kepada LSF. Yang kedua, ada kejadian yang menarik ketika LSF mengambil keputusan bahwa ini film sudah lulus sensor, tapi kemudian di perjalanan ditarik. Ini sesuatu yang menurut saya harus menjadi pelajaran, ketika LSF mengambil sebuah keputusan kemudian menariknya maka ini bisa menghilangkan kewibawaan LSF itu sendiri. Kalau sudah mengambil keputusan dilolos sensor ya tidak bisa lagi, apalagi anggotanya demikian banyak, bapak-bapak yang memang sudah tidak lagi memerlukan urusan dunia, jadi tidak perlu lagi berpikir soal dunia ini urusan akhirat, urusan budaya bangsa, ini seharusnya tidak boleh terjadi. Dan ini terjadi, yang lulus kemudian ditarik lagi, saya sampaikan pertanyaan kenapa itu bisa terjadi, ada tekanan atau ada apa yang kemudian bisa merubah kebijakan seperti itu. Satu lagi yang ingin saya titipkan kepada LSF adalah yang tadi juga sudah disinggung oleh kawan saya, mengenai penyensoran yang kemudian juga harus dilakukan berdasarkan logika film itu sendiri, karena banyak film yang memang tidak logis untuk ditonton dan itu tidak mendidik. Nah, kalau sudah sebagai alat media komunikasi massa tentu harus ada unsur education juga, tapi ketika itu tidak maka juga harus dijadikan pertimbangan. Nah, kalau alur cerita ini memang tidak logis dan itu tidak mendidik penonton ya lebih baik dipertimbangkan untuk tidak diloloskan. Ini pertanyaan saya Pak kepada LSF. Kemudian kepada KPI, Komisi Penyiaran Indonesia ini luar biasa sebenarnya kalau saya melihat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Sebuah tugas yang memang tidak ringan karena tugas utama bagi KPI itu adalah mengelola sistem penyiaran yang harus bebas dari kepentingan, karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Faktanya justru penyiaran di Indonesia banyak di gunakan oleh kepentingan yang sebetulnya bisa mengacaukan dan merusak kepentingan publik. Lalu KPI dalam hal ini saya melihat harus mempertajam taringnya untuk itu, kalau tidak ini KPI sebagai sebuah lembaga yang independen tidak ada manfaatnya kalau kemudian penyiaran ini masih digunakan untuk kepentingan yang kemudian bisa merusak kepentingan publik. Apalagi yang kedua, bahwa semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah, dengan memberikan sistem siaran berjaringan itu juga menjadi tugasnya KPI. Teman saya tadi sudah menyinggung jangan sampai siaran-siaran lokal mati oleh siaran-siaran yang sebetulnya dia bukan TV nasional, karena tidak ada lagi hanya TVRI yang punya itu. Tapi fakta di lapangan kan tidak seperti itu, singgah TV-TV lokal itu mati karena apa karena memang TV-TV swasta yang sudah ada itu memang berjaringan national faktanya seperti itu, dan sampai sejauh ini menurut saya KPI perlu untuk mengingatkan, untuk mengatur, agar itu jangan sampai terjadi. Nah, sudah barang tentu harus berdasarkan sistim penyiaran nasional yang kepada kita mungkin perlu disampaikan bagaimana sistem penyiaran nasional kita ini. Jadi bagaimana konsep sistem penyiaran nasional kita seperti apa sih, ini KPI memegang tugas untuk itu karena berdasar itu, berdasar regulasi kemudian KPI melaksanakan tugasnya. Masih ada beberapa Pak Ketua, yang mau singkat saja. Fakta dilapangan juga masih ada lembaga penyiaran yang kita golongkan ilegal, tidak mempunyai IPP, lalu apa yang dilakukan KPI terhadap mereka ini. Dan ada berapa banyak kalau saya boleh tahu lembaga penyiaran yang tidak punya IPP. Yang sudah siaan pun, apakah juga sudah diteliti bahwa mereka betul-betul sudah punya IPP. Sudah curi start ini, sudah melangkah siaran dulu padahal IPP-nya belum punya. Nah, terkait dengan anggaran yang diblokir senilai 32 milyar, mungkin teman dari anggaran bisa menjawab kalau ini masih bisa ditolong, karena sekarang sudah November pertengahan, jadi kelihatannya sudah tidak bisa ditolong lagi. Saya ingin meminta juga masukan mengenai migrasi analog ke digital, karena digitalisasi penyiaran itu tidak serta merta oleh penonton bisa diikuti. Siaran digital itu ketika resever tidak menggunakan alat yang diperlukan, maka siaran digital itu juga tidak bisa diterima oleh penonton, khususnya untuk RRI dan TVRI. Saya minta masukan betul ini, karena swasta sudah lebih dulu, tapi RRI dan TVRI akan menyusul ya, tetapi memang itu tidak bisa dihindari, yang saya pertanyakan adalah ketika digitalisasi siaran itu diaplikasikan oleh TVRI apakah memang mempunyai efektivitas yang cukup tinggi atau tidak. Demikian Pak Ketua pertanyan saya. Wassalamu;alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih Pak Gamari.
Tadi juga sudah memberikan informasi soal PFN ya, produksi film negara yang sekarang sejak tahun 1988 menjadi Perum sehingga mitra Komisi VI DPR RI. Saya tidak tahu sudah pernah rapat belum dengan Komisi VI DPR RI, dan dulu PPFN sekarang PFN salah satu produksi yang fenomenalnya sejak tahun 1981 itu adalah serial si Unyil ditayangkan di TVRI. Dan tadi saya coba cek begitu produksi film terakhir dari PFN itu judulnya "Pelangi di Nusa Laut", itu tahun 1992 Pak Gamari. Berarti memang tidak rapat di Komisi VI DPR RI sejak tahun 1993 berarti. Bapak dan Ibu sekalian, ini menjadi menarik karena kita mulai mengidentifikasi entitas besar di dunia perfilman ya, ada PFN juga, sehingga saya membayangkan memang sulit kalau kita bicara film sebagai satu sistem, tapi ini rumahnya itu kaplingnya beda-beda dan beda provinsi pula. Baik, kita lanjut dulu masih ada 5 menit muda-mudahan bisa dimanfaatkan oleh 3 anggota berikutnya Pak Joko, dilanjut Pak Dave, dan terakhir sesuai catatan Pak Biem. Silakan lanjut dulu Pak Joko. F-DEMOKRAT (IR. DJOKO UDJIANTO): Terima kasih Pimpinan. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Saya tidak akan bertanya apa yang sudah ditanyakan kawan-kawan. Yang jelas Pak Ketua, RDP ini kita harus kembali apa yang menjadi permintaan daripada LSF dan KPI. Tapi sebelum ke sana, saya akan mengetahui terlebih dahulu terutama di LSF apa yang dimaksud dengan lembaga ini bersifat tetap dan independen. Ini yang mesti tahu dulu ya, supaya duduknya itu firm LSF ataupun KPI nantinya. Yang kedua, saya hanya mengkaji setelah mendengar paparan yang sangat bagus ini dari segi keterbatasan saya. Saya akan mengkaji dari segi logika, kemudian dari segi estetika, yang terakhir dari segi etika. Nah, saya melihat di sini dari segi etika dari LSF ini yang mesti harus diperkuat dan saya yakin di LSF ini banyak pakar yang sangat luar biasa. Saya tidak akan dan saya tidak ada sedikit pun ragu terhadap keanggotaan daripada LSF ini, tetapi apa yang terjadi di lapangan adalah masih banyak temuantemuan yang katanya sudah lolos dari sensor, tapi tidak layak untuk ditayangkan. Karena apapun ini adalah produknya adalah penyiaran yang sangat berpengaruh terhadap pertimbangan mencerdaskan bangsa dari segi akhlak dan moral. Nah, tentunya Pak Ketua saya sangat berharap LSF ini betul-betul keberadaannya ini betul-betul mempunyai taring, kalau perlu setelah kita punya rumah sorry LSF itu punya rumah mitra kita di bawah di Komisi I DPR RI ini coba kita akan mengetahui apa sih yang diminta era digital mesti harus di revolusi atau diperbarui peralatannya. Statusnya beliau ini minta status ini sekarang, sebelum ditutup presentasiinya tadi, ada yang belum di barangkali tadi kurang jelas untuk penyampaianya bahwa minta didudukkan statusnya dari eselon 3 menjadi eselon 2, ini mungkinpenting sekali bagi LSF ini, sehingga punya taring. Kalau dudukan ini tidak barangkali ya sekedar begini. Kemudian bagaimana terhadap tayangan yang live, apakah itu tidak ada sanksinya kalau nanti ternyata tayangan itu tidak bermanfaat, malah merusak ahklaq dan moral yang menontonnya. Ini barangkali yang perlu di tindaklanjuti. Kemudian saya melihat di sini banyak terutama KPI ya, banyak penyiaran-penyiaran berita atau informasi yang tidak balance, artinya apa itu dibiarkan ketidak balance itu dibiarkan, sehingga nampak sekali contoh saja TV One sama Metro itu kita mesti harus jujur untuk bicara kadang-kadang tidak balance. Mudah-mudahan KPI bisa berperan, kalau KPI bisa berperan saya rasa penyiaran ini akan mendidik bangsa ini menjadi bangsa yang berbudaya. Bagaimana cara menyampaikannya, makanya tadi saya bilang kalau dari segi logika dan dari segi estetika barangkali sudah masuk tapi dari segi etika ini barangkali yang mesti mendapatkan porsi yang lebih banyak. Kembali lagi saya yakin dengan keanggotaan KPI maupun LSF mampu untuk memberikan apa namanya nuansa yang lebih baik. Yang terakhir saya berharap Pak Ketua, saya berharap 2 institusi inimendapatkan porsi yang benar dan mesti harus kita dorong dan menjadikan satu institusi yang bergengsi, yang betul-betul mampu mencirikan dirinya, bahwa kalau sudah keluar dari LSF ini betul-betul layak ditonton, kalau ini sudah di KPI ini betul-betul sudah informasi yang betul-betul bermanfaat, ini sama-sama kita jaga. Nah, kalau begitu nanti Komisi I DPR RI kita berjuang untuk apa? untuk mengajukan anggaran saya rasa kalau dengan demikian banyaknya ada lebih dari 20 berapa tadi 26 ribu judul film ya dan anggarannya cuma di bawah 50 milyar, saya rasa juga ini sesuatu yang pasti tidak mungkin ini sanggup. Pertanyaan saya sedikit saja, apakah product-product yang masuk ke dalam LSF itu bayar? bayar tidak? ini bayar tidak Pak? bayar ya.
Nah, ini tidak disampaikan di sini apakah bayar itu bisa mengcover operasional daripada LSF sendiri. Kalau masalah anggaran Ketua, nanti kita juga sama-sama berjuang kebetulan dari Komisi I DPR RI ini i juga banyak di Badan Anggaran. Kalau saya nanti saya masih dipercaya dari partai masih menjadi Pimpinan Badan Anggaran, saya juga akan memfokuskan ini karena ini penting sekali, di dalam rangka apa? mencerdaskan dan memberikan anak bangsa ini yang berbudaya, berakhlak dan bermoral yang baik. Saya rasa itu Pimpinan, terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih Bapak Joko Udjianto. Beliau ini adalah Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI, memang sengaja kita minta di Komisi I DPR RI untuk mem-back up banyak urusan-urusan yang selama ini jadi keprihatinan kita di beberapa mitra. Saya lanjut ke sekarang sudah jam 13.00 WIB tepat di jam saya, kita perpanjang dulu karena tadi ketika sepakati jam 13.00 WIB, kita perpanjang sampai jam 14.00 WIB ya. Setuju? (RAPAT SETUJU) Baik, mudah-mudah selesai 14.00 WIB, tapi kalau jam 14.00 WIB ternyata belum selesai kita akan break dulu untuk shalat dan makan siang, setelah itu jam 14.30 WIB kita bisa lanjut ya, mudah-mudahan 14.00 WIB bisa selesai. Silakan Pak Dave. F-PG (DAVE AKBARSHAH FIKARNO, ME.): Terima kasih Bapak Ketua, atas waktu yang diberikan. Bismillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh. Yang terhormat Pimpinan dan Anggota dari Lembaga Sensor Film dan juga dari Komisi Penyiaran Indonesia. Di antara delegasi dari lembaga sensor film ini ada 2 orang yang sangat saya hormati, tentu ini yang tadi idolanya Pak Ketua ini Ibu Raesita Supit ini satu sahabat daripada orang tua saya, sama-sama orang Menado. Cantiknya kayak orang Menado, itu satu dan Ibu Raesita Supit juga dosen pembimbing saya waktu di Lemhanas 2011 yang lalu. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Pak Dave, saya uji dulu coba sebutkan 3 film yang dibintangi Ibu Raesita. F-PG (DAVE AKBARSHAH FIKARNO, ME.): Saya tidak pernah nonton filmnya Ibu Raesita. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Ibu Raesita, ini ada pengakuan belum pernah nonton filmnya ternyata. F-PD (IR. DJOKO UDJIANTO): Pak Ketua, ada judulnya "Cintaku di Kampus Biru". KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Apa lagi Pak Joko? F-PG (DAVE AKBARSHAH FIKARNO, ME.): Terus kedua, ada Kombes Bambang di sini, saya kira sudah jadi Kapolda ternyata masih di LSF rupanya beliau ini Pak. Baik, Bapak dan Ibu sekalian yang saya hormati. Lembaga Sensor Film dan juga KPI ini memang memang miliki tugas dan fungsi yang sangat berta, karena saya sendiri mengalami, saya sendiri melihat sudah tergerusnya kecintaan apakah itu pengamalan Pancasila dan juga kenegarawan di antara generasi muda Indonesia. Derasnya arus informasi masuk dari luar, dari selphone, dari tablet dan segala macam itu sementara di antara anak-anak kita ini kurang diberikan istilahnya ini penyaring dari informasi yang masuk, jadi informasi yang masuk itu sangat deras karang-karang juga berbau pornografi, berbau potensi memecah belah bangsa hal ini yang kurang diberikan pemahaman pada anak-anak dan adik-adik kita terhadap apa hal yang mestinya boleh diserap dan harus dibuang.
Nah, dan fungsi daripada KPI dan Lembaga Sensor Film mestinya ini adalah garda terdepan untuk mendidik anak-anak kita dan juga menahan jangan sampai hal-hal yang negatif terus dengan mudahnya masuk ke Indonesia. Kita lihat juga banyak pembunuhan di antara anak-anak AGB istilahnya, lalu belum lagi kehidupan perilaku sex bebas. Hal-hal ini mestinya menjadi PR utama daripada kami di DPR juga ada juga dari lembaga-lembaga pemerintah untuk jangan sampai hal ini terjadi. Maka itu, dengan adanya RDP ini saya ingin lebih menggali apa fungsi dan saya juga agak terkejut melihat bahwa begitu rendahnya perhatian pemerintah terhadap kedua lembaga ini yang terlihat dari betapa kecilnya anggaran, sementara banyaknya film, puluhan ribu TV swasta yang begitu banyak bersiaran berjam-jam setiap harinya, tapi pengawasannya sangat minim. Ini justru menjadi bahan bagi kita ke depan untuk memperkuat lembagalembaga ini dan juga memperbaiki kinerjanya ke depan, sehingga bisa lebih memberikan yang terbaik dan juga bisa menjadi garda yang lebih kuat di bangsa kita. Nah, pertanyaan yang ingin saya tanyakan itu sedikit saja, karena dari tadi senior-senior saya, saya baru masuk di DPR RI dan kebetulan daerah pemilihanya sama juga dengan Bapak Ketua juga di daerah Jabar VIII Kota Cirebon dan Kabupaten Indramayu. Pertanyaan yang ingin saya tanyakan kepada LSF ini, kemarin kita sudah diberikan surat dari Presiden untuk pemilihan anggota LSF yang akan datang, di situ dilampirkan 17 calon anggota LSF, sementara berdasarkan Pasal 15 di Undang-Undang Tentang LSF Pasa 15 Ayat (1) itu menteri mengajukan 2 kali jumlah anggota LSF kepada presiden, jadi semestinya diajukan 34 ya Pak. Jadi yang saya tanyakan kenapa hanya diajukan 7 orang. Jadi juga ada baiknya, apabila surat tersebut di revisi diskusi lagi dengan kementerian. Saya juga ingin bertanya sekarang ini kementeriannya kemana apakah ke Kementerian Pendidikan atau Kementerian Kebudayaan atau syukur-syukur Kementerian Pertahanan mungkin ya. Dan juga kepada KPI saya juga memberikan apresiasi yang luar biasa atas kinerjanya, dan saya harapkan hubungan kerja kita itu berjalan dengan baik ke depan. Sekian dari saya, terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih pak Dave. Beliau memang Anggota baru, dan saya jadi mengerti kenapa beliau belum pernah menikmati filmfilm Ibu Raisita, karena memang bisa jadi beliau belum cukup umur saat itu, tapi kalau Pak Joko era-era itu sudah cukup umur. Bahkan mungkin di drive tumbuh kembangnya juga karena film-film itu juga. Sedikit untuk mengenang Pak Joko ya, tadi beliau menyebut Ibu Raisita ini film awalnya itu atau awal-awal film yang populer itu "cintaku di Kampus Biru". Karena itulah beranjak ke "gaun pengantin" ya Bu. Dan setelah mengenakan gaun pengantin masuklah ke "pengalaman pertama" Bu ya? yang berakhir "di ujung malam". Itu judul-judul film beliau, karena saya penikmatnya film Ibu Raesita. Cuma kita menunggu kapan kita punya film-film yang sehebat itu di zaman sekarang ini. Baik, kita lanjut Bang Biem. F-GERINDRA (H. BIEM TRIANI BENJAMIN, BSC., MM.): Bismillahirohmanirohim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Terima kasih Pimpinan. Rekan-rekan Anggota Dewan yang saya hormati. Bapak Mukhlis dari Lembaga Sensor Film dan jajarannya. Bapak Yudha dari KPI dan kawan-kawan yang kemarin juga sempat ketemu. Ini sangat menarik sekali dan saya senang sekali, tadinya saya pikir saya akan di Komisi X DPR RI, tetapi saya ditugaskan di Komisi I DPR RI apalagi ternyata lembaga sensor ada di sini juga, jadi pas ya. Bapak dan ibu sekalian, saya Biem Benjamin memang banyak yang tanya apa hubungannya sama Almarhum Benyamin Sueb, saya putra ketiga dari almarhum Benyamin. Tapi kalau ditanya soal seni itu jauh bedalah, kalau peribahasanya itu buah jatuh tidak jauh dari pohonnya memang iya, tapi buahnya jatuh gelinding jauh ke empang sana, saya hanya penikmat saja bukan masuk di dalam seni, Nah, Bapak dan Ibu sekalian. Ini era konvergensi apa yang disampaikan Saudara saya tadi Pak Elnino memang ini membuat kita kucar kacir di dalam regulasi, ya itu memang harus kita antisipasi kita sekarang tidak tahu apa perbedaan TV, sama komputer, sama HP, itu masuk semua di situ, sekarang banyak juga nonton TV itu dari internet. Ini sesuatu yang memang agak sulit juga nanti seperti apa, penjagaan-jagaannya ya, untuk menjaga hal-hal yang negatif, pengaruh negatif untuk bangsa dan negara kita. Satu hal saya sarankan mungkin nanti ini dibuat tim yang lebih kecil, yang lebih fokus begitu antara Lembaga Sensor Film, Komisi Penyiaran Indonesia dan juga Dewan Pers yang dilibatkan di situ. Nah, kita
juga tahu sekarang ini masalah TV yang dua itu kan kita tahu ya kita sebutkan sajalah Metro TV dan TV One, siapa itu yang menghandle itu masalah penyiaran itu, kemarin saya juga tanyakan juga kepada Pak Yuda siapa sih yang menangani, KPI atau Dewan Pers, karena kita tahu dampaknya luar biasa terhadap anak-anak kita, bangsa dan negara, bisa mempengaruhi persepsi masyarakat itu saya sampaikan, saya sasaran karena nanti ada tim yang lebih intens lagi biar tadi soal macam-macam yang abu-abu itu bisa jadi clear, jelas mana tugas fungsi dan fungsi daripada LSF, dari Komisi Penyiaran Indonesia dan juga Dewan Pers dan nanti masuk lagi biar kita lebih memahami memang ini tugas kita semua kalau sampai terjadi halhal buruk ya kena semua, LSF kena, KPI kena, kita apalagi di Dewan memang tugasnya untuk memantau hal-hal yang tidak baik akan kita luruskan seperti itu. Bapak dan Ibu, keseharian saya di penyiaran kebetulan di radio ini era digitalisasi ini sangat hal itu ditekankan dari KPI memang orang media khususnya radio itu sangat belum siap mungkin ya, jangankan konvergensi untuk digitalisasi saja mereka sangat mempernyatakan itu, karena sekarang dipenyiaran di radio itu ada 1800 dari 900 yang masuk ke SNI itu ada izin lagi masuk di situ ada itu mau dikemanakan nanti kalau sampai terjadi digitalisasi itu. Nah, berikutnya tadi disampaikan bahwa Komisi I DPR RI ini sekarang menangani LSF, itu juga baik sekali karena unsur untuk LSF itu ada 5 dari pemerintahan ya Pak ya dari dari agama, dari pendidikan, saya juga mengusulkan seperti apa yang disampaikan Mas Dave dari pertahanan masuk di situ, karena memang soal sensor ini memang arusnya luar biasa untuk ketahanan negara kita. Saya rasa itu dari saya dan satu hal lagi ini antara KPI Pusat dan KPI Daerah sama juga kayaknya mengenai lembaga sensor, hubungannya antara yang di pusat sama di daerah itu seperti apa, itu mungkin nanti harus di clearkan Pak, itu berkenaan juga nanti anggaran kalau memang itu menjadi bagian dari terintegrasi dengan pusat, karena bagus juga kalau memang KPI Daerah atau lembaga sesor daerah itu bagian daripada pusat, itu artinya kan melekat mereka bisa dipantau oleh pusat itu sendiri. Kalau sekarang masing-masing agak sulit kan, apalagi anggarannya kan dari daerah. Nah, itu tolong diusulkan nanti dari anggaran kan juga kita melihat kalau memang itu terintegrasi bisa membantu untuk angggaran itu. Saya rasa itu Pak, terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pak, sebelum ditutup saya juga mau menyampaikan terima kasih pada KPI, waktu itu penyairan Yuk Keep Smile itu dikasih teguran, karena memang perhentian sementara tapi akhirnya ditutup ya Pak ya. Itu saya cerita sedikit bahwa Trans TV itu menyiarkan hal-hal hipnotis, ketika itu seorang hipnotis dan melihat seakan-akan anjing itu Almarhum Benyamin Sueb, ini anjing Benyamin lucu, itu yang akhirnya diprotes oleh banyak masyarakat itu di demo ke Trans TV sendiri dan saya juga datang ke sana bersyukur KPI menyetop tayangan itu, karena kalau tidak itu masyarakat pasti tidak hanya ke TV tersebut, tetapi akan ke KPI, karena waktu itu sangat marah mereka. Terima kasih sekali Pak Yudha. Wassalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih Bapak dan Ibu sekalian. Tadi beberapa anggota saya simak, mengangkat tantangan terkait dengan perkembangan teknologi media informasi terutama internet. Tadi ketika Bapak Mukhlis Pa'eni menginformasikan salah satu film yang tidak lolos sensor itu bad neighbors yang diproduksi 2014 oleh Zack Evron Movie, ternyata kalau kita buku youtube sudah ada Pak. Jadi dan persoalannya adalah orang Indonesia sekarang banyak yang mengakses youtube. Jadi inikan pertanyaan seriusnya, oke di bioskop tidak keluar di TV tidak keluar, tetapi bagaimana dengan youtube, ini over the top media ini yang yang memang menjadi diskursus yang ramai sekarang dan yang saya iseng saya coba cek Pak, durasinya masih 1 jam 30 menit ini di youtube bisa kita buka. Ini hal-hal baru yang saya pikir kita juga perlu mendapat masukan-masukan dari LSF dan juga KPI. Baik, kita lanjut dulu semakin banyak yang ingin menggali lebih jauh, Pak Sukamta, Pak Zainuddin, Ibu Kartika, dan terakhir saya minta Pak DR. Syarif Hasan nanti untuk mengelaborasi juga. Silakan kalau bisa kita gunakan 10 menit maksimal untuk 4 anggota ini. F-PKS (DR. H. SUKAMTA): Terima kasih Pimpinan. Saya kira secara umum sudah banyak disampaikan, oleh teman terdahulu dan semuanya menyinggung satu background umum dan saya kira kita juga Anggota Komisi I DPR RI Bapak-Bapak dari LSF dan KPI.
Salah satu bidang di Komisi I DPR RI inikan terkait dengan ketahanan nasional dan kalau kita bicara ketahanan nasional salah satu yang paling penting adalah perlindungan terhadap sumberdaya manusia kita, karena mungkin dalam waktu beberapa puluh tahun lagi ini sumber daya alam kita habis dan kita ini tinggal mengandalkan sumber daya manusia kita. Pertanyaannya kan bagaimana kita melakukan design untuk mengarahkan sumber daya manusia kita ini betul-betul nanti bisa bermanfaat, berfungsi dan menambah ketahanan nasional kita. Kalau saya lihat KPI, LSF ini menjadi salah satu instrumen yang cukup penting walaupun tidak seluruh persoalan human resources ini menjadi kewenangan KPI dan LSF ya. Saya lihat juga dari berbagai negara ini mensikapi perkembangan media film mulai dari yang online seperti yang disampaikan Pimpinan tadi, media-media sosial facebook, twitter, dan segala macam media yang lain di media sosial ini berbeda beda. Di Cina mereka menggunakan media sosial produk bangsanya sendiri untuk mengatasi dinamika media sosial global yang itu sudah menjadi barangkali ya kalau kita lihat alat bagi negara-negara tertentu yang sudah lebih advan untuk melakukan pemasaran dan propaganda mulai dari ideologi sampai berbudayanya. Saya juga tahu bahwa di Korea Selatan negara yang sangat pro Amerika dan mereka mengalami lompatan kemajuan ekonomi, budaya, yang sangat signifikan dibandingkan negara kita yang dulu merdekanya duluan kita. Ketika kami berdialog dengan unsur pendidikan yang ada di negara itu, mereka mengatakan bahwa satu-satunya yang kami punya itu hanya manusia, sumberdaya alam kami tidak punya. Oleh karena itu, kami berusaha melindungi kuat anak-anak kami. Oleh karena itu, mereka mengambil langkah yang sangat drastis, mereka tidak membolehkan yang namanya twitter, facebook, dan seterusnya itu hadir di negara itu dan mereka menggunakan mereka menciptakan produknya sendiri yang betul-betul sesuai dengan tujuan ketahanan nasional mereka. Nah, saya kira ini juga penting untuk kita diskusikan kalau di negara kita ini kan boleh dibilang mengambil jalan yang sangat bebas dan hampir tidak ada kata tidak untuk urusan ini semuanya. Nah, tadi juga sudah banyak disinggung kira-kira kalau harus men-sensor semua ini kira-kira LSF itu apakah punya kemampuan, kalau tidak punya kemampuan apa usulnya, dan apa terobosannya, karena kalau dilihat dari kemenangannya ini kewenangan LSF untuk mengatasi ini. Nah, tetapi faktanya kita bisa melihat sepertinya ini belum masuk, belum dijangkau sama sekali, jadi LSF masih tradisional urusan film yang tayang di bioskop, yang di TV gitu kan, belum menyangkut masuk ke media online. Nah, KPI juga begitu karena saya berasumsi seluruh yang masuk ke dalam ruang-ruang kita baik itu menggunakan frekuensi atau media digital itu harus tetap peran negara tetap harus ada, karena ini untuk perlindungan SDM kita, manusia kita. Nah, tadi mulai dari yang TV berbayar sampai media online saya belum melihat yang ada kan baru televisi dan radio di dalam paparan yang tadi disampaikan juga baru televisi dan radio. Nah, saya kira ini memang harus ada desain sebenarnya, Bapak-Bapak ini mau menggunakan kewenangan sedalam apa, ikut partisipasi mengalahkan sumberdaya manusia kita itu. Yang kedua, yang teknis sekali terkait dengan televisi kita yang tidak berbayar, saya ingin tahu sebetulnya kalau Pimpinan tadi itu bertanya desain perfilman kita. Nah, saya ingin bertanya desain peta penyiaran kita itu seperti apa sebetulnya, apakah sudah ada atau belum, sebab TV kita ini kacau jam siarnya dan contentnya itu, saya tidak melihat ada desain di situ, apakah memang desainnya dibiarkan kacau begitu. Ada jam siar anak-anak ketika anakanak belum berangkat sekolah, kemudian mestinya ada jam tayang ketika anak sudah di sekolah diisi dengan siaran-siaran yang sesuai dengan itu nanti anak pulang sekolah harus ada jam tayang yang sesuai dengan itu, kemudian sore hari ketika mestinya dulu kita punya tradisi anak-anak kita ini karena kita negara religius dan atau mayoritas kita beragama Islam banyak anak-anak kita itu waktu Ashar sampai Isya itu waktu untuk belajar agama, tapi isi tayangannya apakah sudah sinkron dengan budaya itu atau tidak gitu. Terus nanti setelah Isya itukan mestinya untuk keluarga, apakah jam tayangnya itu sudah dipikirkan isinya sesuai dengan konten keluarga. Nah, yang saya lihat ini belum ada Pak. Waktu acara untuk anak-anak isinya orang dewasa, kalau toh ada film anak-anak isinya juga iklan dewasa gitu. Filmnya memang Tom And Jerry jam 4, jam 5 sore tapi begitu iklan pakaian dalam wanita, mohon maaf ya. Inikan tidak mendidik, jam 7 masih film keluarga adegannya ada adegan untuk 21 tahun ke atas menurut LSF tadi ya, atau kalau tidak iklannya iklan yang berkonotasi seksual. Nah, ini menurut saya harus ada desain apakah KPI juga sudah membuat desain itu bukan hanya wasit terhadap content kalau ada disemprit, kalau ada itu diberi peringatan, tapi harus ada
desain itu dan kemudian karena KPI ini kewenangannya luar biasa, membuat regulasi sekaligus mengawasi dan kemudian memberi sebagai pengadil ya kan, kewenangannya melebihi trias politica ya. Jadi semua ngumpul di KPI, tolong ini digunakan dengan serius, sebab apa? sebab saya punya asumsi bahwa budaya yang ada di masyarakat itu memang mencerminkan nanti produk budayanya ada di dalam product product film dan hiburan televisi, tetapi produk hiburan dan televisi itu pada akhirnya mengarahkan membentuk budaya baru masyarakat, contoh praktis yang saya ingin ungkap misalnya mulai dari beberapa isu ya teknis, yang pertama misalnya isu ini no to every body perceraian setiap hari ada pemberitaan tentang kawin cerai ya dulu dizaman saya kecil pak, mendengar orang bercerai itu aib tapi karena itu terus di bombardir setiap hari dan itu bisa kata cerai itu mungkin bisa 10.000 kali sehari muncul di TV sehingga orang menjadi imun kebal akhirnya memaklumi menjadi sebagai suatu yang biasa mungkin kita sekarang memaklumi itu tapi ingat Pak apa yang akan terjadi di Indonesia kira-kira 20 tahun lagi kalau untuk urusan ini mungkin menjadi biasa di segmen masyarakat tertentu, tapi mungkin 20 tahun lagi akan menjadi persoalan bangsa tahun 2003 di Inggris itu ada survei tentang perceraian jadi di tahun itu waktu itu 11 tahun yang lalu di negara Inggris itu survei mengatakan 85% penduduk yang nikah itu mengalami perceraian mbak dan hanya 25% yang bercerai itu yang nikahnya lebih dari 5 tahun dan kini telah menjadi persoalan ketahanan nasional di sana karena ini mengakibatkan persoalan sosial yang sangat besar karena banyak anak-anak yang kemudian bermasalah karena keluarganya nah apakah kita Indonesia ini akan membiarkan ini menjadi persoalan dimasa yang akan datang karena ternyata mereka mengalami masa itu, itu belum lama, jadi ketika saya telusur itu kira-kira 30 tahun yang lalu dari disurvei itu, itu masih tabu perceraian itu pak, sama dengan perciuman di publik ya ciuman kissing, itu juga ternyata mulainya dari televisi pak jadi mula-mula tahun 70-an masih tabu orang cipika-cipiki, tapi kemudian tahun akhir 90-an itu orang ciuman berat dimuka publik itu sudah akseptable nah mulainya juga, sekali lagi dari infotainment televisi media massa cetak nah kira-kira design kembali kan, design kita ini mau seperti apa, dan saya kira ini tanggung jawab besar KPI yang punya tadi, amanah berat mulai dari regulasi sampai penghakiman nah saya mohon penjelasan dan kira-kira akan seperti apa designnya, kalau belum ada, kapan akan diadakan dan kalau sudah ada bagaimana penegakannya,karena ini persoalan yang sebetulnya bisa dianggap remeh tengah tetapi saya menganggap ini serius karena ini persoalan yang akan menggerus ketahana nasional kita kira-kira 20-30 tahun yang akan datang Bapak, karena ini mempengaruhi budaya dan sosial, psikologi anak-anak bangsa kedepan pak. Terima kasih. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih DR. Sukamta. Kalau beliau ngambil contoh Inggris rasanya apa? belasan karena beliau lama memang di Inggris jadi mengikuti perkembangan masyarakatnya lanjut pak Ahmad Zainudin F-PKS (AHMAD ZAINUDIN, LC.) : Terima kasih Pimpinan. Yang saya hormati Pimpinan dan juga Ketua LSF dan KPI berserta jajarannya. Pertama di rapat ini tampaknya saya orang pertama yang harus minta maaf ke LSF, kalau selama ini tidak pernah diundang DPR karena 4 tahun saya jadi Komisi X DPR RI dan memang baru engeh saat ini Pak kalau LSF itu mitranya Komisi X DPR RI. Di Komisi X DPR RI kita sering mengadakan rapat Raker atau pun RPU dengan Dirjen Kebudayaan kita banyak berbicara masalah film, tetapi lebih kepada bagaimana film ini menjadi saranan pendidikan dan sarana pembangunan kebudayaan, tentang bagaimana sensornya memang kelewatan selama ini. Oleh karenanya kalau dipindah ke Komisi I DPR RI, Komisi Pertahanan karena ini bagian dari pertahanan kita di bidang media, saya kira kebijakan ini sudah sangat tepat. Berikutnya, sudah banyak kawan-kawan dari Komisi I DPR RI yang membahas panjang lebar tentang apa yang disampaikan oleh LSF dan KPI, saya hanya ingin menambahkan sedikit. Pertama, tentu kita semua sepakat bahwa media terutama media visual merupakan sarana yang paling efektif untuk mendidik masyarakat, media visual, film televisi, termasuk juga sebenarnya media audio radio juga sarana yang paling efektif untuk membangun karakter dan budaya bangsa. Kita dikenal bangsa yang berbudaya, bangsa yang punya karakter, tapi karakter dan budaya bangsa kita semakin hari semakin tergerus, semakin tidak jelas identitas kebudayaannya dan karakternya. Sebaliknya media visual juga sarana yang sangat efektif untuk menghancurkan bangsa ini, kalau kita coba baca buku Silent Weapon for Quiet Wars itu bisa kita lihat, dan cari di google ini sebenarnya buku yang merupakan hasil riset yang sangat lama oleh intelijen Amerika setelah perang dunia pertama dan kedua. Intinya adalah
bagaimana mereka bisa menguasai bangsa-bangsa lain tanpa harus menggunakan senjata yang mematikan dan menghancurkan jutaan manusia. Perang dunia pertama dan kedua kita tahu jutaan manusia menjadi korban, mereka berpikir bagaimana menguasai bangsa-bangsa itu tanpa harus menggunakan senjata yang mematikan. Hasil riset itu mereka punya 3 senjata utama, pertama pendidikan, sehingga mereka merancangan pendidikan dunia-dunia berkembang yang menjadi objek mereka itu pendidikan yang tidak berkualitas, sampai sekarang pun kita masih ribut ujian nasional, kurikulum 2013 dan lain sebagainya. Yang kedua adalah media, dan yang ketiga adalah entertainment. 3 senjata ini yang digunakan oleh bangsa lain dalam menghancurkan bangsa-bangsa yang ingin mereka kuasai, saya kira termasuk Indonesia. Nah, dalam hal ini kita melihat LSF dan KPI ini merupakan Benteng terakhir kita untuk menangkap adanya senjata-senjata yang bisa menghancurkan kebudayaan dan juga karakter bangsa kita . Oleh karenanya saya sangat setuju kalo LSF dan KPI ini diperkuat, harus menjadi lembaga yang kuat, kalau KPI tadi disampaikan oleh Pak Sukamta lembaga yang punya hak mengatur menindak, saya kira LSF pun juga perlu, bukan hanya mensensor tetapi juga memberikan tindakan kalau kita lihat dalam aturan yang ada LSF ya melaporkan pelanggaran-pelanggaran kepada pemerintah, yang menindak adalah pemerintah atau penegak hukum . Nah kalau LSF dan KPI ini kita perkuat, tentu kita kembalikan pertama kepada LSF dan KPI siap atau tidak. Kalau siap, apa sih sebenarnya aturan perundang-undang yang harus diperbaiki, ya kira perlu masukan dari Bapak/Ibu semuanya apa ya Undang-Undang 2009, Undang-Undang 33/2009, Peraturan Pemerintahnya baru keluar kemarin Pak . Ini juga kelemahan pemerintah saya kira. Nah karena juga sekian tahun tidak RDP dengan DPR, DPR pun juga tidak tahu, tidak bisa membantu menekan pemerintah agar segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah . Selain aturan perundang-undangan, saya kira juga anggaran tapi anggaran ini juga terkait dengan kesanggupan LSF dan KPI sendiri untuk membuat grand design pengembangan dan penguatan lembaga itu ke depan . Kami punya pengalaman ada suatu badan yang anggarannya kecil, kita dorong, kita kasih anggaran yang besar tapi karena ya SDM yang ada disitu tidak punya program, tidak punya perencanaan yang baik, ya ditambah banyak pun juga tidak mampu, mampunya hanya 50 Milyar, ya 50 Milyar saja selama 5 tahun. Ini contoh. Oleh karenanya, kita ingin mendapat tanggapan ini dari LSF dan KPI kemungkinan lembaga ini diperkuat, sisi apa yang harus diperkuat, aturan perundang-undangan yang mana yang harus diperbaiki dan juga program strategi penguatan itu yang nanti konsekuensinya adalah pada anggaran dan anggaran ini adalah bentuk kewajiban kita selain juga pemerintah juga mengajukan tetapi kalau hal itu disampaikan ke kita, kita pun Insya Allah akan memperjuangkan bagaimana masalah anggaran ini bisa menjadi salah satu faktor penguat LSF dan KPI. Itu yang pertama. Yang kedua tadi disampaikan bahwa ya ada film-film atau tayangan-tayangan yang diproduk di daerah yang tayang di daerah tetapi juga kelewatan tidak lolos sensor, pertanyaannya adalah film dan iklan film ini ada keharusan tidak untuk mendapatkan surat tanda lulus sensor. Kalau ada keharusan mengapa masih lolos? Kenapa masih bisa lolos? Demikian juga darat ya, saya kira aturannya juga sudah cukup bagus tetapi kita melihat juga masih banyak ya kebocoran-kebocoran, tayangan-tayangan yang tidak apa namanya, yang tidak sesuai dengan aturan, nah ini pertanyaannya adalah komunikasi KPI dengan pemilik media sejauh mana sehingga membangun kesepakatan untuk memberikan, menyampaikan siaran ataupun tayangan yang memang sesuai dengan aturan yang ada atau pertanyaan lebih dalam, sejauhmana sih komitmen para pemilik media itu dalam menjadikan media massa itu sebagai sarana membangun karakter bangsa, menjadi sarana pendidikan masyarakat, menjadi sarana pembangunan kebudayaan bagi bangsa kita, yaini saya kira perlu juga disampaikan dalam forum Yang Mulia ini.Terima kasih Pimpinan. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Terima kasih pak Zainudin, kita lanjut Ibu Kartika F-PPP (HJ. KARTIKA YUDHISTI, B.ENG., M.SC.) : Terima kasih Ketua Komisi I yang saya hormati dan juga para Pimpinan lembaga Sensor Film dan apa, KPI yang saya hormati perkenalkan, nama saya Kartika Yudisti dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan saya sudah diwakili oleh para rekan-rekan saya di Komisi I ini ya, tadi telah menyampaikan pertanyaan dan pendapatnya yaitu juga terkait tentang, tadi saya apa, tertarik tentang perkembangan film yang beredar di Indonesia ini bagaimana tidak hanya berada di bioskop dan juga TV tapi juga telah dapat beredar di media online yang dapat diakses oleh banyak masyarakat Indonesia yang mana tadi juga telah di di, apa di dimensiion ya dia disebut oleh rekan-rekan saya dan juga saya ingin bertanya film-film yang ditayangkan di tv kabel, TV berbayar dan juga tayangan-tayangan apa, televisi yang di tayangkan di TV kabel itu apakah sudah melewati LSF dan juga apakah KPI melakukan kontrol terhadap isi tayangan dicanel-canel yang ada di TV kabel tersebut dan lalu yang kedua saya juga tertarik saya membaca tujuan dari perfilman yang ada di Undang-Undang Nomor 33 tahun 2009 yang tadi telah di sampaikan oleh Ketua yaitu perfilman bertujuan a. terbinanya ahlak Mulia lalu terwujudnya kecerdasan kehidupan bangsa, terpeliharanya persatuan-persatuan bangsa meningkat kan harkat dan martabat bangsa dan seterusnya dan seterusnya dimana ini dalam prakteknya belum terwujud sepenuhnya dan saya tertarik juga dengan pendapat pak Gamari bahwa harus, bukan harus, apa namanya adanya fungsi pembinaan ya dari LSF atau KPI agar tujuan ini bisa terwujud karena sepertinya sekarang berbagai pihak yang terlibat dalam penyiaran ataupun pembuatan perfilman seperti lupa akan tujuan ini, jadi yang diutamakan adalah keuntungan keuntungan profit dan profit sehingga apa tujuan ini seperti terlupakan dan lalu juga tentang perfilman bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa saya kira perlu juga diadakan pembinaan untuk para insan perfilman didunia seni bagaimana sekarang mungkin ini adalah juga pengaruh dari era reformasi atau demokrasi dan juga era kebebasan yang seluas-luasnya, sehingga para pelaku seni ini akan merasa bebas mengekspresikan dirinya dengan seberkas-bebasnya, tapi tidak merunut kepada undang-undang. Jadi seperti saya contohkan mungkin ada beberapa juga insan artis yang merasa bahwa kalau mereka dapat total berperan dalam film mereka walaupun itu mereka misalnya harus beradegan yang terbuka atau harus beradegan yang kontroversial justru mereka bangga dengan keberanian mereka untuk melakukan adegan-adegan yang mungkin tidak sesuai dan tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa. Mungkin ini yang dapat diperhatikan. Lalu yang terakhir juga tentang di sini saya baca bahan dari KPI, bahwa spektrum frekuensi yang dipinjamkan kepada lembaga penyiaran merupakan milik publik yang harus dimanfaatkan dengan sebaik baiknya untuk kepentingan publik yakni memberikan informasi, hiburan yang sehat, dan menjadi alat kontrol dan perekat sosial. Namun seperti kita ketahui di dalam kenyataannya banyak lembaga-lembaga penyiaran stasiun televisi yang di sini juga disebutkan bahwa stasiun televisi ini kebanyakan dimiliki oleh orang-orang yang juga adalah aktif sebagai pemilik partai, sehingga mau tidak mau kita akhirnya menyaksikan bagaimana lembaga penyiaran ini menjadi alat politik yang bukannya malah menjadi perekat sosial justru apa namanya berpotensi melakukan pemecah belah bangsa begitu. Bagaimana tanggapan KPI terhadap halhal seperti ini, apakah pernah di lakukan teguran atau adakah sanksi yang dapat mencegah dan juga mengembalikan fungsi mereka sebagai alat kontrol dan perekat sosial. Mungkin itu sedikit dari saya. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahamatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih Ibu Kartika. Bapak dan Ibu sekalian, Ibu Kartika ini back groundnya jauh dari penyiaran, beliau master dibidang kimia tapi karena peduli persoalan film dan penyiaran beliau punya komitmen masuk ke Komisi I DPR RI. Bapak Ibu sekalian, Komisi I DPR RI ini membidangi komunikasi dan informasi, kemudian pertahanan dan intelijen, dan yang terakhir luar negeri. Nah, bidang kerja Komisi I DPR RI ini penting untuk di pahami, dicerna karena ini akan mempengaruhi cara pandang kami di dalam melihat masalah atau urusan penyiaran dan perfilman. Tadi Bapak DR. Gamari Sutrisno yang rupanya rekan lama atau mungkin juniornya Pak siapa tadi? di sedang serius beliau, karena kelihatannya ada kontrak film. Jadi kami memang memandang penyiaran dan perfilman ini sebagai tools dalam kita melakukan komunikasi massa, dalam konteks pembangunan tentu saja, juga tools di dalam kita membangun national defense bahkan sesungguhnya seperti yang dilakukan oleh Amerika dia bagian dari tools of intelligance. Kalau kita berbicara sosial media tadi kan sebenarnya itu instrumen mereka untuk melakukan surveillance.
Dan juga yang lebih penting dia menjadi tools di dalam diplomasi luar negeri, internasional diplomasi. Nah, cara pandang ini saya yakin akan sanggup mempengaruhi wacana kita, gagasan-gagasan kita, ketika berbicara penyiaran dan perfilman. Makanya tadi saya meng-underline di Undang-Undang perfilman cuma satu point saja yang menempatkan film itu sebagai kita kaitkan dengan dunia internasional, itu pun hanya untuk mengenalkan saja, setelah kenal so what gitu loh kata anak muda. TV-TV orang lain sudah buka kanal di sini, tapi TV kita ini justru kita sedang sibuk untuk semprit sana-sini, atau kalau bicara TVRI sedang sibuk untuk merevitalisasi. Jadi banyak hal dan saya tidak tahu mungkin ini lintasan ide saja, saya kok melihat perbincangan kita ini mestinya LSF ini tidak lagi menjadi LSF, LSF ini menjadi Badan Perfilman Nasional, dimana censorship itu hanya jadi salah satu fungsi atau Tupoksi dari badan ini. Sehingga nanti pembinaan, pengembangan perfilman nasional, termasuk desain kebijakan dan rencana induk perfilman ya di sinilah, di sinilah. Nanti perlu kita elaborasi, karena entitas perfilman dan penyiaran ini sangat banyak. Baik terakhir ini menjadi penting karena yang akan berbicara dulu adalah the former member commission one and the former minister of apa namanya itu ya small and medium interprices. Silakan sekaligus beliau berbicara mewakili our formal president, karena beliau ketua umum. F-PD (DR. H. SJARIFUDDIN HASAN, SE., MM., MBA.): Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Salam sejahtera untuk kita semua. Terima kasih Bapak Ketua, saya ini Anggota DPR RI Anggota Nomor A-416 Pak. Yang saya hormati Ketua KPI dan Ketua LSF, beserta seluruh jajarannya. Pimpinan. Ketua Komisi dan rekan-rekan Anggota Komisi I DPR RI yang saya muliakan. Seperti Pak Ketua sampaikan tadi ini adalah rapat perdana, tentunya saya juga hanya menyampaikan yang sifatnya juga perdana. Dan apa yang saya sampaikan ini tidak perlu dijawab, hanya sekedar masukan untuk 5 tahun ke depan, karena Pak Ketua partai saya menginginkan agar kinerja 5 tahun ke depan ini lebih bagus daripada yang sudah kami lakukan. Itu semangatnya, sehingga saya mengatakan ini adalah merupakan sifatnya informasi saja tidak perlu dijawab, dan karena memang juga baru sifatnya perdana, terlalu awal rasanya untuk kita memberikan hal-hal yang sangat signifikan, karena masih panjang perjalanan kita. Tetapi tekadnya bahwa kita menginginkan agar fungsi daripada KPI dan LSF ini lebih maksimal. Yang kedua, saya belum melihat bahwa akan diperlukan penguatan terhadap kedua lembaga ini. Yang penting menurut saya harus dilakukan secara signifikan dulu, secara maksimal dulu, untuk itu saya ingin menyimak sendiri bahwa menurut keputusan MK Satuan 3 dari semua kementrian dan lembaga itu sudah tidak menjadi domain daripada DPR. Jadi saya menyarankan agar kerjasama di antara kedua lembaga ini ataupun dengan lembaga-lembaga yang terkait tentang fungsi dan tujuan daripada kedua lembaga ini perlu ditingkatkan. Perlu untuk dilakukan dan tentunya ini adalah tergantung daripada management Pak Ketua, untuk melakukan itu. Anda berdua diberikan ruang yang cukup luas untuk melakukan itu demi untuk kepentingan dan memaksimalkan kinerja 5 tahun ke depan. Itu yang paling penting dan bahwa belum sinergi antara LSF, belum maksimal maksud saya antara LSF dan KPI saya pikir itu merupakan bahan evaluasi untuk 5 tahun ke depan lagi. Dan tentunya kita menginginkan agar betulbetul yang penting adalah proaktif bukan menunggu di gawang, tetapi harus proaktif dalam arti kata ya lakukanlah kerjasama dengan semua kementrian, semua mitra termasuk mungkin adik-adik kita produserproduser itu fungsi dan tujuan LSF dan KPI itu akan secara maksimal. Yang terakhir, ingin saya hanya berikan masukan juga bahwa disamping dari pada apa yang sudah disampaikan oleh rekan-rekan saya Anggota DPR yang kami muliakan, sudah begitu banyak tetapi perlu juga untuk disikapi bahwa selama ini mungkin ada secara eksplisif tidak melanggar peraturan, tetapi itu merugikan bagian dari suatu komunitas yang perlu juga untuk dilindungi. Nah, tentunya di mana kira-kira domain yang relatif agak subjektif untuk menilai. Bapak-bapak juga mengetahui bahwa selama 2 tahun sebelum Pemilu banyak stasiun televisi yang memberikan menayangkan program-program yang sifatnya tanda tanya, di satu sisi meng-upgrade posisi tertentu dan di sisi lain mendegradasi komunitas tertentu. Nah, ini juga harus dibaca karena ini juga tentunya akan merugikan masyarakat tertentu, karena ada kepentingan yang didominasi oleh pemilik stasiun televisi tertentu. Saya tidak perlu memberikan penjelasannya yang rinci, saya pikir Pak Ketua sudah bisa memaklumi apa yang saya sampaikan.
Nah, harapan saya sekali lagi ini untuk ke depan harapan saya tolong hal ini analisa secara dari semua aspek hukumnya, aspek masyarakat dan sosialnya dan aspek kepentingan komunitas tertentu tersebut. Nah, apakah ini juga ada betul-betul entry point untuk KPI bisa masuk, sehingga bisa dapat melegakan kita semua, khususnya di dalam hal menghadapi kondisi politik 5 tahun ke depan. Harapan saya ini kalau ini dilakukan, maka tentunya tadi sudah disampaikan oleh rekan kita Kartika dari sisi aspek politik itupun juga terakomodir. Jadi bukan saja dari sisi aspek-aspek lainnya tetapi dari sisi aspek politik juga terakomodir, karena kalau kepentingan politik terganggu tentunya kepentingan-kepentingan lain juga ikut terganggu, karena ini kita kan merupakan satu bagian. Harapan saya itu dan mudah-mudahan kalau itu kita lakukan tentunya 5 tahun ke depan kita harapkan kinerja pemerintah ini akan lebih bagus. Saya pikir itu saja Bapak Ketua. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih Pak Syarif Hasan. Masih ada? rasanya sudah semua dari yang hadir di sini dari anggota, sekarang saya tawarkan dari meja Pimpinan Bapak Hanafi Rais. WAKIL KETUA KOMISI I DPR RI/F-PAN (H. A. HANAFI RAIS, S.IP, MPP.): Terima kasih Bapak Ketua. Yang saya hormati Bapak dan Ibu, Pimpinan dan Anggota Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia. Ada 2 hal ingin saya keingintahuan lebih dalam dari Bapak dan Ibu semua. Kalau melihat banyak sekali wacana yang dominan yang disampaikan oleh para anggota tadi atau kita yang ada di sini soal siaran konten yang berbau kekerasan, pornografi, mungkiin mistisisme dan lain sebagainya, itu menurut pengamatan kami itu memang entitas penyiaran itu tidak bisa dilepaskan atau bahkan mungkin hanya dipahami sebagai satu-satunya entitas, yaitu entitas bisnis atau industri. Tidak lagi sudah dipahami bukan lagi sebagai entitas budaya entitas yang lainnya, tapi betul-betul hanya sebuah industri komersial bisnis, lost or profit, kalau lost berarti dihentikan acaranya, kalau profit ya terus dikejar bahkan seekstrim mungkin gitu. Melihat industri penyiaran kita ini terutama pasca reformasi ini, setelah 14 tahun ini rupanya ini tidak jauh dari politik juga, kalau dunia penyiaran ini ya sama, kalau politik itu ukurannya lembaga survei, dunia penyiaran itu juga nampaknya ukurannya juga lembaga survei. Politik masih mending, karena ada banyak lembaga survei termasuk yang abal-abal sekalipun. Tapi kalau di dunial penyiaran seperti yang monolitik hanya ada satu lembaga survei yang paling dominan bahkan mungkin satu-satunya, saya tidak tahu mungkin menurut KPPU bisa jadi mungkin ini salah ya, yang kemudian bisa seakan-akan secara langsung maupun tidak, mungkin menentukan isi content atau contenst acara itu sehingga faktanya kita melihat contents acara itu yang iklannya tinggi, yang rating-nya tinggi, yang disukai menurut people meter lembaga survei ini adalah yang pornografi, yang violance, yang mistik dan terus seperti itu ya. Padahal kita kalau mau lebih jujur banyak atau mungkin banyak inovasi yang berasal dari mungkin segelintir atau sekelompok budayawan atau seniman atau mungkin bahkan dari televisi lokal, yang secara content juga bagus bahkan bisa mengalahkan conten-content yang semacam tadi itu ya. Nah, karena lembaga survei penyiaran tadi Bapak menyebut salah satunya atau mungkin satusatunya itu adalah misalnya Elsie Nelson, itu sudah menjadi berhala ya dalam industri penyiaran yang namanya berhala kan tidak baik Pak, sehingga perlu dikonstruksi apa ukuran baru yang bisa ditawarkan oleh lembaga kita ini yang terhormat Bapak dan Ibu di Lembaga Sensor Film dan Komisi Penyiaran Indonesia ini untuk mari mungkin perlu membuat proyek bersama yaitu kalau sekarang bahasa populernya tandingan begitu ya, ya bikin Elsie Nelson tandingan atau survey tandingan begitu, yang ini artinya lebih positif ya. Bukan lagi sekedar untuk cari popularitas, sehingga kita punya ukuran yang jelas, meterannya itu jelas, dan ini hasil genuin dari kegelisahan-kegelisahan yang selama ini muncul di antara kita ini, apakah sebagai orang tua, apakah sebagai konsumen dan lain sebagainya. Saya kira kalau kedua lembaga punya proyek bersama, dalam arti menawarkan kepada publik ukuran acara yang disukai dan juga positif, dan saya yakin itu ada, karena selama ini juga sudah pernah muncul itu kenapa tidak bisa kita mulai, sehingga kita tidak selalu didikte oleh satu-satunya lembaga survei penyiaran tadi itu, yang kemudian yang untung adalah mereka atau pemilih-pemilih itu industri tv itu, tetapi kemudian the expense of public, mengorbankannya kepentingan audiens atau bahkan mungkin anak-anak dan generasi masa datang. Saya kira itu mungkin usulan dari saya pribadi yang bisa jadi kalau dikerjakan sebagai proyek kolektif kedua lembaga ini.
Yang kedua, ini kepada KPI khususnya saya ingin mungkin meminta komitmen kembali saja, karena salah satu hal yang akan kita dorong nanti kan kita merevisi Undang-Undang Penyiaran di program legislasi kita yang akan datang ini. Dan saya ingin televisi-televisi lokal yang jumlahnya itu mungkin sudah ada ratusan, tadi saya ketemu ketika ke Jakarta bertemu dengan salah satu pemilik TV lokal di Jogya itu ada mungkin 300-an itu ya, yang dari dulu sampai sekarang ya ceritanya sama soal kembang kempis, sementara kalau kita punya Undang-Undang Penyiaran yang sistem siaran berjaringan itu dijaga dengan sungguh-sungguh ada harapan ya. Tidak tahu harapannya seberrapa besar ya, tapi saya kira mohon komitmen teman-teman dari KPI untuk mari kita dorong supaya demokratisasi kepemilikan media dan demokratisasi konten siaran melalui pemberdayaan televisi lokal itu harus kita konsisten untuk kita lakukan, inikan dalam industri itu ada perang lah, mungkin beberapa pertempuran sebelumnya sudah kalah. Nah, ini kita masuk dalam pertemuan baru lagi, ini the new game ya, yang kita harus menangkan, sehingga saya kira akan indah kalau penyiaran nasional kita itu demokratis secara kepemilikan dan juga demokratis secara isi dan saya kira komitmen dari teman-teman KPI itu yang kita butuhkan sangat. Saya kira itu, terima kasih banyak Bapak Ketua. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Mohon maaf Bapak dan Ibu, tadi kami hadir terlambat di tengah-tengah ini, karena kabut asap dari Jogya, 2 jam baru delay sehingga baru hadir jam 12 lebih. Terima kasih. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik, terima kasih Bapak dan Ibu sekalian. Kalau menyimak gaya bicara Bapak Hanafi Rais, mungkin kita ingat cara bicara tokoh nasional ya, Pak Amin Rais, beliau titisannya ini. Sebagaimana Pak Biem ini titisan dari Bapak Benyamin, tapi tidak ada mirip-miripnya kalau Pak Biem ini cuma hidungnya yang mirip, berarti rezekinya sama ini. Baik, terima kasih. Bapak dan Ibu sekalian, saya memang tidak ingin menghalangi anggota di Komisi I DPR RI ini untuk menggunakan waktu yang cukup banyak, karena ini pertemuan pertama jadi saya ingin biarkan ada proses adaptasi orientasi yang memadai, sehingga saya tidak membatasi secara rijid waktu yang dipakai dan sekarang sudah jam 14.00 WIB, bukan hanya 14.00 WIB, perut kita juga sudah kosong. Jadi saya usul kalau Bapak/Ibu tidak berkeberatan kita break dulu untuk makan siang sudah disiapkan, dan kami siapkan menu khusus untuk LSF dan KPI, dan juga memberi kesempatan bagi yang ingin sholat dzuhur dulu, tapi kita lakukan seefisien mungkin jam 14.30 WIB kita kembali ke ruangan ini. Bagaimana Bu? oh tambah 10 menit, oke. Oke, yang jelas jam 14.40 WIB kita kembali ke ruangan ini dan saya mohon Bapak/Ibu anggota, karena kita lihat KPI dan LSF ini menunjukkan atensi yang luar biasa hadir full tim, dan bagi LSF ini kehadiran perdana dan syukur alhamdulillah Komisi X DPR RI sudah mengatakan pengakuan dosanya, diwakili Pak Ahkmad Zainuddin. Jadi kita break dulu sampai jam 14.40 WIB bisa kita setujui diwakili Bapak Akhmad Zainuddin setuju ya? (RAPAT SETUJU) Baik, terima kasih. Kami persilakan untuk menikmati makan siang dan juga sholat, (RAPAT DISKORS) Ada ruang mushola di ujung sebelah kanan, yang ingin menggunakan mushola di ruang Pimpinan sebelah sini juga ada kami persilakan. Yang merasa kehilangan handphone ada biaya ininya Pak lost and found-nya. (SKORS DICABUT) Bapak dan Ibu sekalian, kita lanjutkan kembali Rapat Dengar Pendapat dan dengan mengucapkan bismillahirohmanirohim break saya buka. Bapak dan Ibu sekalian, saya yakin tadi pertanyaan-pertanyaan klarifikasi dan beberapa usulan yang sudah disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI sudah tercatat, terklasifikasi dengan baik dan benang merahnya bisa di ambil, sehingga nanti Bapak dan Ibu dari LSF dan KPI bisa menjawab umum, dan kalau ada hal-hal yang lebih detail yang itu juga perlu jawab kami persilakan dan untuk kesempatan pertama saya berikan kepada LSF. Kami persilakan.
KETUA LEMBAGA SENSOR FILM (DR. MUCHLIS FAINI) : Terima kasih Bapak Ketua. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Pertama-tama izinkan saya menyampaikan rasa haru dan terima kasih saya, bahwa baru kali inilah setelah saya menjadi Ketua Lembaga Sensor Film merasa ada yang memperhatikan institusi ini. Ini betulbetul satu apa namanya yang membuat hati saya sangat terharu, bahwa ada institusi yang mau memberi payung dan tempat sandaran terhadap berbagai persoalan dari LSF ini. Ada beberapa hal yang penting, saya ulangi dari permintaan atau pertanyaan yang penting saya jawab mungkin nanti ada teman-teman bisa membantu. Ada pertanyaan yang menarik dari Pak Budi tadi, sangat menarik saya terkesan pada pandangan, bahwa NKRI ini adalah suatu ke-Bhinekaan ini memang satu hal yang sangat penting, bahwa ke-Bhinekaan ini juga bisa sebenarnya di perlihatkan dalam apa namanya dalam konten perfilman kita, bisa memperlihatkan keanekaragaman masyarakat kita dari perfilman karena itu melihat content perfilman yang menyangkut mengenai ke-Bhinekaan tahun lalu kami menolak sebuah film minta untuk merevisi, yaitu judulnya "Perawan Dayak", kalau saya tidak salah "Perawan Dayak". Dan itu sangat membuat orang Dayak menjadi keberatan kalau itu di pakai istilah "Perawan Dayak", kami minta untuk diganti judul menjadi "Perawan dari Seberang", saja dan ada beberapa adegan-adegannya dipertahankan. Memang film bisa menjadi satu apa namanya, satu alat untuk memperlihatkan bagaimana pluralisme di negeri kita ini, tetapi sebenarnya pluralisme dalam bentuk film itu belum selesai, belum cukup tetapi ada sesuatu yang lebih dari pemahaman pluralisme didalam perfilmannya yang penting dikemukakan yaitu pemahaman mengenai multikulturalisme didalam film yang perlu juga ditonjolkan bukan hanya pada pluralismenya ialah bahwa semua orang yang ada di negeri kita ini mempunyai peluang yang sama untuk muncul difilm, mempunyai kedudukan yang sama untuk muncul difilm tahun lalu kami melakukan sosialisasi di Papua teman-teman dari Papua sangat keberatan dan meminta supaya memperhatikan masalah pluralisme di dalam dunia perfilman itu, dan dia katakan kami orang Papua tidak mendapat porsi yang bagus didalam film nasional dalam kerangka NKRI kalaupun ada film-film yang bertemakan Papua ketika kami ikut didalam film itu kami hanya menjadi bahan tertawaan ketika kami muncul didalam film itu, jadi dimana letak pemahaman apa namanya, multikulturalisme didalam perfilman itu kami orang Papua minta diberikan juga peran di dalam adegan atau di dalam perfilman, kami di pakai di dalam perfilman tetapi hanya dipakai sebagai latar dan dipakai sebagai bahan tertawaan saja di dalam adegan-adegan perfilman, ini juga saya kira sangat penting itu untuk menjadi perhatian kita semua. Dalam film pendek apakah juga menjadi perhatian utama dari LSF 2 hari yang lalu ada satu pemutaran film "senyap" dii Festifal Film Borobudur di Jogyakarta, saya diundang sebagai pembicara dalam seminar itu, tetapi karena saya tahu posisi saya sebagai Ketua Lembaga Sensor Film dan di Festival itu diputar sebuah film pendek yang tidak mendapat tanda lulus sensor dari LSF saya putuskan untuk tidak datang di festival itu dan tidak membawakan makalah di festival itu. Tahun lalu di dalam skala yang sama, sutradaranya Yoshua Abenhamer juga memberikan filmnya ke Indonesia, yaitu "jagal", "The act of killing", juga sama mengenai pembunuhan di Indonesia pada tahun 1965 ini juga film pendek yang tidak melalui lembaga sensor. Jadi saya kira bagaimanapun juga sekali lagi peranan negara menjadi sangat penting dalam hal ini. Masih banyak dari Pak Budi, tetapi saya anggap sebagai satu masukan yang sangat berharga. Mengenai Pak Elnino saya kira ini sangat menarik Pak, bahwa memang persoalan yang menyangkut mengenai dominasi Amerika terhadap content penyiaran juga melalui hollywood di Indonesia memang luar biasa dan ini bukan baru sekarang awal abad yang lalu lebih dari hampir satu abad yang lalu ketika pemerintah Nirland Hindia membentuk badan sensor di Indonesia itu kerena pemerintah Nirland India itu diterpa oleh film-film hollywood tahun 1916, di film-film Amerika itu sudah memperlihatkan bagaimana kulit putih membunuh orang-orang Indian, bagaimana kulit putih berciuman di mana-mana tempat, sehingga orang Belanda merasa kulit putih ini tidak ada harganya di mata pribumi, karena itu dia membentuk badan sensor untuk melihat film-film itu dan merangsang produk produk film Indonesia di Nirland Hindia ini untuk membuat film-film yang memperlihatkan keindahan Indonesia, kemudian budaya Indonesia, munculah film yang mengambil tema tradisi Indonesia "Lutung Kasarung" dari Jawa Barat tahun 1926 dan ini saya kira sangat penting, dan apakah pertanyaannya di negeri kita ini dalam kebijakan perfilman juga akan menjadi satu hal menggunakan film ini sebagai alat politik atau alat-alat memberikan kekuatan pada generasi muda. Di Malaysia kalau kita melihat film "Ipin dan Upin" sekarang itu walaupun film itu dibuat oleh anak-anak Indonesia tetapi konten-kontennya Malaysia yang ingin memperlihatkan bahwa generasi Malaysia itu ada 3 anak muda, ada India, ada China, dan ada ada Melayu maka di situ akan diperlihatkan bahwa ketika anak Indonesia melihatnya itu sekarang di usia sekarang 5 tahun atau di
usia 7 tahun sekarang, 20 tahun yang akan datang, 30 tahun yang akan datang, anak Indonesia yang sudah berumur 30 tahun itu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap orang-orang Malaysia, ketika dia melihat sama juga ketika anak-anak kita melihat dulu di Unyil persepsinya mengenai Pak Raden, dan beberapa tokoh-tokoh disekitanya seperti Pak Ogah dan segala macam. Nah, pertanyaannya apakah Indonesia juga mempunyai strategi dalam perfilman yang bermuatan strategi politik untuk pembangunan generasi muda, seperti yang dilakukan oleh Malaysia sekarang. Malaysia sebenarnya tidak pada anakanaknya tetapi serangan pada anak muda Indonesia, anak-anak Indonesia sekarang untuk memahami masyarakat Malaysia 20 tahun yang akan datang. Nah, itu saya kira PR untuk kita. Maaf, nah kemudian ada pertanyaan mengenai sinkronisasi LSF dan KPI saya kira ini satu permulaan yang sangat baik, dan baru kali inilah ada satu institusi yang memperhatikan 2 2 kutub yang memperhatikan soal tayangan di Indonesia ini saya kira ini adik saya, saya pikir akan lebih baik masamasa depan, tadi seperti nasihat Pak Syarif Hasan nasihat beliau masih sangat menyejukan, sama dengan 5 tahun yang lalu, saya kira untuk masa depan juga kita harus memperhatikan kerjasama ini begitu juga Pak pak Rizaldi mengenai kordinasi KPI dengan LSF sekira ini juga menjadi hal yang sangat penting, mengenai lembaga penyiaran apakah berbayar, dari tadi pertanyaan saya kira nanti akan dijelskan oleh salah seorang kawan kami dari LSF mengenai pembayaran itu. Pak Gamari sebenarnya pak Gamari saya ingin belajar banyak dari Bapak, bukan soal radio dan soal televisi, soal yang Bapak ceritakan malam itu yang saa ingin pelajari bukan yang sekarang ini. Ya, tapi kapan-kapan Pak itu khusus itu Pak. Memang film hanya dilihat dari segi seni budaya saja, tetapi tidak dilihat dari media komunikasi massa, itu saat betul Pak Gamari dan saya kira dengan keberadaan Lembaga Sensor Film kesini maka dimensi pemahaman kita terhadap seni budaya juga akan bertambah, multidimensi media komunikasi massa ini sangat penting untuk ke kedepan mengenai film yang sudah disensor kemudian ditarik Pak Gamari selama saya menjadi Ketua Lembaga Sensor Film belum ada film yang tayang kemudian ditarik, itu sebelum saya ada film "buruan cium gue" itu pernah ditarik, tapi nanti akan dijelaskan. Yang baru-baru ini ada film yang diturunkan bukan ditarik, diturunkan oleh produsernya tetapi diturunkan karena memang penontonnya sudah tidak ada jadi bukan ditarik sebentar pak Ketua karena Ram Punjabi kan pernah komplain mengenai masalah ini Pak. Filmnya sudah diloloskan tapi ditarik lagi, itu kalau bisa dikonfirmasi. Ya, itu saya kira Pak Jamalul yang akan menjawabnya nanti. Jadi kalau di era saya, film yang ditarik itu tidak ditarik, tetapi diturunkan oleh oleh pemiliknya sendiri karena penontonnya tidak ada pak Joko, ya terima kasih pak Joko memang kalau berbicara mengenai anggaran saya kira Bapak lebih tahu dari kami, bahwa kami bekerja itu lebih banyak sebenarnya pada pengabdian untuk itu dan mengenai apakah anggaran LSF perlu ditambah untuk memacu kreativitas, saya katakan itu perlu Pak, itu sangat perlu kalau enggak perlu ya nggak ditambah kebangetan pak memang itu sangat diperlukan Masih banyak temuan-temuan yang lolos tetapi tidak layak, nah itu ada persoalan begini Pak negeri kita ini seperti ditanyakan pak Budi tadi, negeri ini kan sangat pluralis pak ada tayangan-tayangan yang layak bagi orang di Sulawesi Utara tetapi tidak layak oleh orang di Sumatera Barat ada tayangan-tayangan yang layak di Sumatera Barat tidak layak di Sulawesi Selatan atau ditempat lain, jadi ini persoalan yang sangat menarik Nah, kalau misalnya suara-suara yang protes itu lebih banyak misalnya masuk dari yang mengatakan tidak layak, itu maka seringkali dianggap bahwa waduh film ini kok tidak layak ditonton tapi diloloskan di dalam sensor, tetapi di daerah lain itu mengatakan itu tidak ada masalah apaa-apa. Jadi persoalan kebhinekaan di sini menjadi ini sangat penting, bagaimana lembaga sensor film bisa menayangkan satu memberikan surat tanda lulus sensor kepada satu produk film yang bisa diterima oleh banyak orang, terlepas dari itu pasti ada yang tidak senang terhadap film yang di loloskan oleh lembaga sesnsor film, dan tidak semua bisa merasa senang, tidak semua bisa menerima karena varian dari multi kulturalisme dan prularisme yang ada pada kita. Bahkan dalam banyak hal ada film yang sebenarnya bagi kita itu tidak layak untuk ditayangkan, tetapi ada ormas tertentu yang meminta supaya itu ditontonkan saja, karena tidak ada persoalan apa-apa. Ini seringkali bermasalah, kita juga seringkali memberi izin untuk ditonton, tetapi ada ormas tertentu minta itu diturunkan, karena katanya itu akan merusak akhlaq bangsa dan kalau itu di tayangkan semua bioskop akan dibakar di seluruh Jakarta. Tetapi belum lagi kami menyatakan bahwa film itu harus ditinjau kembali, ormas yang sama juga datang lagi maka mengatakan "oh tidak apa-apa kok kmai sudah melihat", jadi ini ada masalah apa sebenarnya dalam kelayakan dan ketidak layakan dalam suatu tayangan. Ada satu hal yang menarik, ialah bahwa di Malaysia yang namanya baddan penafis film di Malaysia itu memang sangat berwibawa dibanding dengan lembaga sensor film di Indonesia. Badan Penafis Film di Malaysia itu punya kekuatan, dia punya polisi, dia punya borgol, dia punay senjata, dan dia mempunyai hak untuk mengeksekusi kalau sesuatu tayangan
yang tidak layak. Karena itu kalau kita berjalan di Malaysia tidak ada VCD-VCD bajakan yang dijual di mana-mana, karena Badan Penafis Film mempunyai hal untuk langsung mengeksekusi hal-hal yang seperti itu. Jadi saya kira kekuatan-kekuatan ini sebenarnya kalau perlu di diperkuat di lembaga ini. Tadi ada pertanyaan dari Bapak Dave, saya kira beliau sudah tidak ada, tapi ini mengenai surat dari Presiden ke DPR mengenai Anggota Lembag Sensor Film yang baru. Kami dari anggota Lembaga Sensor Film, saya sendiri sebagai Ketua tidak tidak tahu-menahu mekanisme itu, karena ini ditangani oleh Sekretariat Jenderal Pendidikan dan Kebudayaan. Dari Pak pak Ben kami sangat setuju bahwa ada tim yang lebih terfokus untuk membangun apa namanya?, kinerja ke depan antara LSF dan KPI, ini sangatsangat penting Pak, kami sangat setuju Pak Sukamto Sumber daya alam akan habis, ini sangat-sangat penting Pak, saya sangat setuju ini bahwa Sumber daya alam kita memang akan habis, cepat atau lambat bauksit kita akan habis, Batubara akan habis, minyak akan habis timah akan habis dan dalam waktu tidak sampai 100 tahun semuanya akan habis tetapi yang namanya SDM yang namanya budaya, yang namanya apa namanya, tradisi kita tidak akan habis selama manusia Indonesia masih ada kalau itu pun juga dipelihara dan ini juga menjadi satu deposit budaya kita. Budaya kita sebagai satu deposit dalam dalam industri yang baru dan ini biasa juga disebut sebagai industri budaya dan biasa juga disebut dengan ekonomi kreatif tetapi ini adanya di di otak manusia mengkreat itu tetapi kreativitas yang dimiliki oleh SDM yang mempunya kreativitas ini juga tidaklah satu kreativitas yang bebas tidak satu kreativitas yang bisa dibuat seenaknya, kreatifitas ini ada bingkainya, karena negeri kita ini adalah suatu negara yang mempunyai etika, negara yang punya moral karena itu lembaga LSF sebenarnya dan KPI ada bingkai agar orang berkreasi di dalam bingkai yang sudah ada, sebab kalau bingkai nggak ada dia bisa membuat lukisan meleber ke mana-mana tanpa tanpa batas-batas tertentu nah karena itu saya sangat setuju bahwa kreatifitas di dalam industri ini sangat penting karena SDM yang punya daya kreativitas ini adalah suatu deposit yang tidak habis-habisnya, ini sangat penting pak, tapi bagaimana menciptakan SDM yang berkreatif dan mempunyai tanggung jawab itu yang sangat penting karena sekali lagi negeri kita ini kan bukan satu negara yang seperti adonan lumpur tanpa, tanpa sekat, tanpa batas dia harus juga mengetahui bahwa apa yang diciptakan kedalam kreatifitas itu akan bermanfaat untuk orang lain. Saya kira itusangat penting, saya setuju pak itu. Tetapi lagi-lagi wawasan untuk menciptakan SDM itu sangat, sangat kompleks sifatnya dan sangat berhubungan dengan institusi-institusi lain, tidak hanya pada Lembaga Sensor Film dan KPI saja, tetapi juga pada lembaga pendidikan yang lebih penting saya sangat setuju Pak pak Zainudin pendidikan ini juga memang menjadi sangat penting saya sangat setuju pak, dimana KPI dan LSF harus menjadi satu lembaga yang yang kuat, ini sekali lagi menjadi sangat penting untuk diperhatikan tetapi satu kunci yang menjadi sangat mendasar ialah bahwa Undang-Undang Nomor 33, 2009 adalah Undang-Undang perfilman yang nafasnya dari film seloloit karena itu UndangUndang perfilman 33, 2009 yang kemudian baru lahir PP nya tahun 2014, 5 tahun kemudian pp nya belum lahir sebenarnya Undang-Undang sudah daluarsa saya kira ini penting untuk dipikirkan, bagaimana Undang-Undang Perfilman ini bisa di direvitalisasi atau bisa direvisi untuk melihat aktualisasinya dengan perkembangan teknologi yang sekarang, karena ini boleh dikatakan Undang-Undang Perfilman ini UndangUndang masih film selaloit dan diera orang datang menonton film pakai kuda yang dikasih besi dimulutnya itu jadi saya kira ini perlu direvisi menurut Undang-Undang yang ada menurut Undang-Undang Perfilman,sekalipun ini perlu direvisi tetapi tidak seluruhnya, ada juga yang masih tetap harus dipertahankan seperti misalnya bahwa semua tayangan film yang akan ditayangkan kepada halayak harus melalui Lembaga Sensor Film ini perlu untuk tetap dijaga pertanyaan Ibu Kartika mengenai TV kabel saya kira itu bukan wewenang Lembaga Sensor Film, mengenai TV kabel negara sebenarnya yang harus melakukan suatu eksekusi terhadap ini, tetapi lagi-lagi ini menyangkut masalah internasional, masalah bisnis dan masalah perdagangan yang banyak kaitannya dengan dunia perekonomian dan dunia industri di Indonesia pak Sharif Hasan, kinerja selama ini perlu menjadi evaluasi saya setuju pak, bahwa kinerja selama 5 tahun yang lalu bisa dievaluasi begitu juga hubungan antara LSF dengan KPI perlu di dimediasi dengan baik oleh Komisi I DPR, saya kira itu pak tanggapan saya untuk sementara pak Jamalul barangkali bisa ditambah mengenai tarif sensor. LSF (JAMALUL) : Baik, terima kasih pak Ketua LSF, pak Ketua Komisi I dan segenap anggota Komisi I yang terhormat. Sedikit barangkali tambahan dari Pak Ketua tadi mengenai rencana induk perfilman yang pertama sekali disampaikan oleh Pak Ketua Komisi I tadi memang selama ini kalau kita mengacu kilas balik bahwa sejak Kabinet Indonesia I, II di reshufle pada bulan Oktober 2011 yang lalu maka film itu kalau
istilah kasarnya didunia perfilman disebut poligami Pak perfilman, karena ada yang diurus oleh Kementerian Parekraf dan ada yang diurus oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sehingga itu sampai sekarang jadi masalah sehingga sebab itulah mungkin ya 5 tahun setelah Undang-Undang Perfilman itu di terbitkan 8 Oktober 2009 baru pada tanggal 11 Maret 2014 PP tentang LSF terbit sedangkan PP yang lain, Peraturan Pemerintah yang menyangkut sanksi administratif itu sampai sekarang belum terbit dan juga ada 10 Peraturan Menteri yang seharusnya sudah ada itu belm ada, itu terkait semuanya dengan rencana induk perfilman nasional seperti tentang kegiatan dan usaha perfilman, tentang pertunjukkan film, tentang tata edar film tentang insan perfilman tentang izin usaha perfilman, tentang pengarsipan film tentang kriteria sensor klasifikasi usia sensor dan penarikan film dari peredaran seperti yang disampaikan oleh pak Gamari tadi, itu memang diatur dalam PP nomor 18 tahun ...itu disebutkan bahwa apabila sebuah film itu menimbulkan keresahan didalam masyarakat itu pemerintah dapat menarik film itu dari peredaran dulu pada Undang-Undang Perfilman nomor 32 tahun 1992 di sana tercantum Pak, tapi dalam Undang-Undang 33 itu tidak ada lagi tapi ternyata dalam pelaksanaan di lapangan itu terjadi Pak sepertinya tadi sudah dicontohkan, buruan cium gue dulu waktu ada Badan Sensor Film, Sum kuning di Jogja itu tidak boleh beredar kemudian film Marsinah di Jawa Timur itu tidak boleh beredar kemudian long road to heaven tentang bom Bali itu tidak boleh beredar di Bali karena menganggu wisata di Bali, kemudian terakhir ini Pak cinta tapi beda, itu tidak boleh berbeda di Sumatra Barat karena itu dianggap melecehkan adat Minangkabau, Sumatra Barat jadi sebab itulah keluar Peraturan Menteri nantinya tentang penarikan film dari peredaran, selama ini dulunya ada Badan Perfilman Nasional BP2N namanya, itu yang memberikan, merupakan .....daripada menteri yang membidangi film dan mereka memberikan pertimbangan kepada menteri dan menteri memutuskan untuk ditarik dari peredaran, tapi sekarang BP2N itu tidak ada lagi Pak yang ada itu adalah Lembaga Sensor Film,....dalam PP Nomor 18 itu disebutkan apabila menimbulkan keresahan didalam masyarakat maka menteri dapat menarik dari peredaran setelah mendapat masukanmasukan dari Lembaga Sensor Film itu tadi mungkin kontroversi menurut pak Gamari, kenapa LSF sudah mengeluarkan STLS, kenapa LSF kembali menarik, mengusulkan penarikan dari peredaran, bukan mengusulkan Pak, tapi karena permintaan dari menteri dan memberikan masukan-masukan pada menterinya ini masalah yang dikait dengan rencana induk perfilman Indonesia kemudian juga tadi disampaikan oleh Pak Ketua mengenai yang berbayang, yang berbayar ini memang Lembaga Sensor Film itu dalam Undang-Undangnya pasal 65 disebutkan dapat menarik pungutan dari pemilik film terhadap film yang disensorkan itu tapi bukan merupakan Penerimaan Bukan Pajak bukan PNBP dan itu harus di audit oleh akuntan publik, dan disampaikan pada masyarakat luas, inilah yang agak kontroversi dengan UndangUndang generalisnya Undang-Undang Keuangan, Undang-Undang Keuangan Nomor 17 menyatakan bahwa semua penerimaan negara itu adalah PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak, sehingga sampai sekarang itu kami di Lembaga Sensor Film belum dapat melaksanakan amanat Undang-Undang itu sampai hingga sekarang ini ini masalah tentang tarif sesor, sehingga kami hanya memperlakukan tarif yang lama, yang 2002 Pak sudah lama sekali yang sudah 14 tahun, tarifnya masih rendah sekali untuk sebuah film itu hanya Rp.40,- per Meter Rp.40,- per meter bayangkan Pak untuk cari uang Rp.50,- aja sulit sekarang ini, tapi kita harus menarik ini Rp.40,- per meter dan Rp.1.000,- untuk satu menit, satu ribu rupiah, sedangkan biaya pembuatan film sekarang itu luar biasa meningkatnya, kalau dulu membuat film bisa 500 juta sebuah film, sekarang menjadi 5 milyar sebab itulah kenapa kami masukkan supaya kenaikan tarif sensor juga, kemudian nah honorarium dari kami-kami ini, dari LSF ini yang dari dulu tidak berubah pak, hanya 5 juta dari 2007 sampai sekarang ini inilan anggota-anggota LSF yang ada sekarang, ada Profesor macemmacem itu honornya hanya Rp.5.000.000,- per bulan dibandingkan dengan KPI pak Yudha barangkali jauh lebih tinggi Pak ini biaya tambahan mengenai tarif, kemudian dalam Undang-Undang Penyiaran disebutkan bahwa ada TV publik, ada TV swasta, ada TV Berlangganan, ada TV komunitas dan yang selama ini menyensorkan ke kami itu hanyalah TV swasta yang ada dipusat yang katanya TV berjaringan tapi itu TV yang ada di Jakarta aja yang 10 itu saja, itupun tidak semuanya tapi TV-TV Lokal itu sama sekali belum menyensorkan, sebab itulan ada perwakilan LSF di daerah yang diharapkan dan tadi Pak Jainudin barangkali yang menanyakan soal bedaannya KPID dengan perwakilan LSF, perwakilan LSF di daerah itu adalah perpanjangan tangan LSF jadi dia vertikal merupakan perpanjangan kita di Lembaga di daerah tapi KPID itu seperti dikatakan oleh pak Yudha tadi punya hak wewenang yang berbeda dengan KPI pusat, sehingga sulit dalam pelaksanaannya, tapi kalau perwakilan LSF itu adalah tangannya LSF pusat, itu yang ada di daerah ini sebagai tambahan. Terima kasih. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA LEMBAGA SENSOR FILM (DR. MUCHLIS FAINI) : Silahkan, masih ada lagi, pak
LSF (…..) : Terima kasih bapak Pimpinan, ibu dan bapak-bapak yang sangat saya hormati tadi ketika berangkat, salah seorang teman saya mengatakan kita kenapa di Komisi I kenapa bukan di Komisi X lalu saya jawab ini kan undangan yang istimewa belum pernah kita mendapat undangan dari DPR RI jadi dari komisi manapun komisi berapapun pokoknya kami hadir pak mungkin saya bisa menambahkan beberapa catatan karena tadi ada apa namanya ada saran, ada permintaan dari ibu dan bapak-bapak misalnya yang berkaitan dengan bagaimana memperkuat keberadaan Lembaga Sensor Film ke depan mungkin salah satu yang perlu di soroti tadi sudah dikemukakan juga apakah Undang-Undang yang sudah ada sekarang ini sudah memenuhi persyaratan memenuhi apa, mendukung sepenuhnya keberadaan Lembaga Sensor Film barangkali pada kesempatan ini saya ingin menambahkan satu hal yang tadi sebenarnya sudah dikemukakan oleh Pak Jamalul mengenai Pasal 65 tentang tarif tadi Pak jadi tarif itu di pasal itu disebutkan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak, artinya boleh digunakan oleh Lembaga Sensor Film tetapi dalam kenyataan ini bertentangan dengan Undang-Undang yang ada di Kementrian Keuangan jadi saya kira kedepan ini perlu di perlu di apa, dilihat lagi supaya tidak terjadi apa ya tidak tepat artinya rumusan di dalam pasal ternyata tidak bisa dilaksanakan karena bertentangan dengan Undang-Undang yang lain yang kedua yang ingin kami usulkan menjadi program yang mungkin nasional tadi sudah banyak disinggung bahwa proses pembuatan film itu mengalami perkembangan yang luar biasa teknologinya dan sampai sekarang ini sampai pada era yang disebut dengan era digital tadi ada satu kesulitan mekanisme penyensoran dalam hal ini apa namanya, kalau dulu seleluit itu bisa dipotong, sekarang ini tidak bisa dipotong itu salah satu kelemahan tapi yang lain media-media yang lain seperti internet dan sebagainya tentu ini sangat berpengaruh atau berkaitan dengan masalah keberadaan Lembaga Sensor Film oleh karena itu barangkali yang kedepan yang perlu kita betul-betul siapkan didalam melindungi anak-anak kita dari pengaruh negatif film yaitu tentang kemampuan masyarakat untuk melakukan swasensor ini yang saya kira tadi sudah disinggung oleh pak Muchlis bahwa ini menjadi program kita tetapi selama ini program ini hanya terbatas terbatas dalam arti hanya ketika kita melaksanakan sosialisasi ke daerah dan itupun biasanya dihadiri tidak lebih dari 100 orang dan provinsinya pun tidak lebih dari 5 atau 6 provinsi, jadi masih banyak yang harus kita apa namanya kita berikan penjelasan kepada masyarakat tentang pentingnya swasensor ini oleh karena itu barangkali ke depan bagaimana dengan dukungan dari DPR program swasensor ini betul-betul dilaksanakan atau diprogramkan secara matang sehingga kemudian masyarakat itu mampu melakukan sensor sendiri karena internet sudah susah dibendung pornografi sudah ada di dalam gengaman anak-anak kita oleh karena itu yang penting adalah menyadarkan bagaimana masyarakat, orangtua anak untuk mampu menyeleksi tontonan atau tayangan yang akan dilihat saya salut dengan Pak Elnino tadi ya yang betul-betul sudah melaksanakan prinsip swasensor tadi self sensorship sampai TV saja nggak ada ya pak dirumah jadi barangkali tidak seekstrem itu tapi yang penting adalah bagaimana masyarakat bisa memilah dan memilih sendiri karena sudah susah Pak untuk membendung ini susah jadi usul saya bagaimana agar program ini dengan dukungan Komisi I menjadi suatu program nasional tentu ini nanti kaitannya dengan lembaga-lembaga pendidikan seperti kementrian kementriannya namanya apa sih?, kebudayaan, pendidikan dasar dan menengah tapi terakhir ini berubah menjadi Pendidikan dan Kebudayaan kemudian juga Kementrian Agama saya kira juga terkait ke sana jadi barangkali itu bisa menjadi satu program yang serius kita laksanakan lalu yang kedua yang selama ini juga belum mendapatkan perhatian dari Lembaga Sensor Film ini karena wadahnyaatau di Undang-Undang juga tidak disebutkan secara eksplisit yaitu keberadaan video game video game ini sepertinya tidak ada masalah karena itu hanya game hanya hiburan untuk anak-anak tapi tolong bapak-bapak, ibu perhatikan content dari video game itu berbagai kejadian kekerasaan itu banyak yang dilatarbelakangi karena anakanak itu kecanduan video game nah ini barangkali kedepan juga menjadi bagian yang perlu mendapatkan perhatian dan juga menjadi bagian dari Lembaga Sensor Film karena selama ini memang kita tidak atau belum menjangkau ke arah itu yang terakhir barangkali mengenai pencegahan atau proteksi terhadap internet yang mungkin ada di rumah masing-masing bagaimana mencegahnya sampai sekarang ini juga belum ada satu program yang nyata dari pemerintah baik itu Kominfo maupun Lembaga Sensor Film juga tidak Kementerian lain juga tidak ada satu proyek atau program yang disebut Nawala project ini dibuat oleh relawan artinya sukarelawan yang bikin program sendiri kemudian ditawarkan program ini sangat mudah dan sangat efektif untuk melindungi anak-anak dari apa namanya men down load atau mengakses ke situs-situs pornografi jadi barangkali ini juga perlu menjadi catatan kita bagaimana program, apa namanya, nawala project yang itu di ditangan atau disusun oleh relawan ini barangkali itu suatu ketika bisa dijadikan program dari pihak pemerintah, saya kira itu mungkin tambahan tentang keberadaan Lembaga Sensor Film. Terima kasih.
KETUA LEMBAGA SENSOR FILM (DR. MUCHLIS FAINI) : Masih ada? Silakan . LSF (.........) : Terima kasih bapak ketua. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Kepada seluruh Anggota Dewan yang terhormat saya mencatat ada 12 anggota yang bertanya dan semuanya indah, bagus, sangat berbobot tapi pada intinya perlu saya juga menyampaikan penambahan daripada beliau-beliau didepan bahwasanya dulu adalah Badan Sensor yang didirikan pada tahun 1950 sudah ada ditempat berkas dan Lembaga Sensor berubah dari badan menjadi, di tahun 1999 kemudian di tahun 2003 di bawah pariwisata berubah lagi tahun 2011 dibawah Parekraf, jadi dia mengombang-ambing, it's ok kami jalan langsung tetap jalan sebagaimana mestinya tapi dan supaya jelas bahwa lembaga sensor bukanindustri kami bukan eksekutor kami menerima bahan untuk disensor yang sudah jadi dahulu di masa adanya Depen beliau-beliau dari RTF tau betul, bahwa itu skenariopun itu dipersoalkan judul dipersoalkan, syaratnya kalau bikin film nasional 3 dapat impor 2, atau sebaliknya, semakin baik, semakin baik bikin film nasional boleh impor, bikin 5 film soalnya itu dimasa lalu ya pak ya dari RTF dan juga pak Narto, nah ini memang perubahan-perubahan yang drastis dan film-film Indonesia semakin meyakinkan, lucu-lucu dan kumaha-kumaha begitu tapi bahwa kita ini yang jelas bukan eksekutor, kami tidak berhak, kami menerima bahan untuk disensor yah sudah jadi didepan, kami tidak tahu anggota yang lain yang akan hadir siapa-siapa jadi ini 5 orang dalam satu ruangan kemarin ya ini kami berembuk dan ini adalah hasil-hasil yang sekarang bedar, kenakalan-kenakalan yang terjadi di luar dari kami sudah dikatakan harus ada revisi atau pemotongan dan dulu waktu itu tapi sekarang kalau menurut buku ini sudah nggak boleh lagi potong-potong yang ada ya sudah meski diapakan-diapakan, nah ini, ini masalah memang lanjutnya adalah bahwa kami-kami ini merasakan sekali bahwa kenakalan, kelucuan atau apapun namanya karena mereka membuat film yang sudah begitu mahal tahu-tahu ada yang minta direvisi dan tidak bisa, seperti contoh buruan cium gue itu itu sudah divermak habis-habisan, akhirnya memang nggak laku dia hanya karena muah buruan cium gua gitu mulutnya ada dulu judul yang ditayangkan di daerah namanya virgin masih ingat di Sulawesi, ditentang harus gantinya judul, silahkan antara daerah dengan produser bukan kami, ada lagi yang namanya maaf saya menghamili istri anda kita merasa edan didaerah lain masa lucu, aneh memang bagaimana persepsi wilayah-wilayah, oleh karena itulah memang penting bahwa kepanjangan tangan dari pusat kepada daerah itu memang harus sinkron pertanyaan itu semua dilakukan dari MoU dengan pusat LSF nya dengan daerah melalui Gubernur tetapi kepanjangan permasalahannya adalah kesinkronan memang oleh karena itu perlu dana siapa yang membayar siapa, gedungnya dimana, bayar sewanya tidak dan sebagainya, itu memang ada maslah kedepan itu gunanya untuk karena daerah wilayah-wilayah yang akan mudah masuk import film, import DVD dan sebagainya ini siapa yang nyensor, kalau dikirim ke Jakarta bermasalah biaya seperti juga kalau di daerah, di provinsi ada kondangan kondangan itu pernikahan, sunatan itu apa segala macam, itu ada pertunjukan musik , ada macem-macem dikirim ke Jakarta tapi kalau dangdut pakainnya kumaha-kumaha ya kita tolak, marah karena yang punya hajat bikin komersil jualan pertunjukan itu juga ada di kita tetapi never the less kami sensor itu memang garda bangsa garda bangsa banyak sekali waktu yang lalu, masuk DVD VCD what ever names itu dengan troduksi bagaimana menjadi teroris yang baik nah itu langsung di Cut tidak bisa beredar, kami minta tolong bantuan dari departemen keamanan tolong dilihat yes, what, how, how tidak boleh dia beredar,langsung disita, disita oleh tentu dari Lembaga Sensor, karena kami juga ada ruangan untuk pemusnahan yang disita kemudian banyak hal-hal yang kita lihat ini, bahwa masalah jam tayang jam tayang dari LSF sudah jelas yang dewasa ada yang sesudah jam 12 malam baru boleh tapi yang terjadi apa, karena kontrak dengan iklan kontrak dengan ilkan, jam pagi buat anak-anak, jam sore buat anak-anak kebobolan, kami yang ditegur, yang ditegur oleh KPI malah kita, ini gimana sih jam segini beredar kontrak ini masalah yang juga dilema, antara segitiga ini antara stasiun iklannya lalu KPI dengan kami Jadi ada hal-hal yang kadang-kadang ngelus dada juga sih, tapi karena memang tidak mengerti persoalan yang sesungguhnya, pertama tadi yang dikatakan oleh para Anggota yang terhormat, bapak Bobi kalau dia punya anak filmnya kartun-kartun dan sebagainya nah itu memang jadi masalah, karena itu banyak di kartun-kartun Disney, Disney World nya banyak sekali sekarang Disneynya, itu memang kekerasannya banyak so, kami mau tidak mau juga memotongm, memotong tidak boleh sekarang menolak lebih baik begitu, dan ini juga jadi masalah, dilema bagi kami semua dan dari semua yang saya catat disini nama-namanya ada yang lengkap pak Budi pak Helmi dari Gerindra mana dia temennya pak Bobi, pak
Sutrisno bekas RTF, ada yang menarik lagi pak Joko Wiyanto ada pak Dave Laksono ada Pak Benjamin putra, ada pak John Brainer di awal kami tidak dapat namanya dengan jelas, langsung katanya Johnl Brainer yang sekarang pakai kacamata oh baru tahu namanya pak .... Diawal nggak tahu, dari partai mana, fraksi mana, nggak tahu semua, ah John Brainer saja deh yang pakai kacamata sekarang lalu ada lagi tambahan, oh ya nomor 9, eks Komisi X, nggak tahu namanya nggak jelas tadi kalau ibu Katrika, oh ternyata putri dari PPP kabel TV, semuanya kabel itu tidak melalui kami, Kominfo ngapain gitu lho, pertanyaan kami juga saya pribadi Kong info kapan laki bercaping yang salah wo kumaha-kumaha gitu lho dadanya lalu yang terakhir, saya juga tadi nggak jelas namanya, yang ganteng muda yang ganteng muda, rupanya anaknya pak Amin Rais ini yang saya tulis disini meja pimpinan yang terdepan, namanya belum masuk tadi, nggak kedengeran ..... : Hanafi bu. LSF (……) : Tadi anda menanyakan mengenai bisnis, yes ...is business film is a business tapi not with us tidak dengan kami Karena itu juga ada masalah dengan tadi yang telah disampaikannya mengenai pendaftaran untuk disensor harganya masih Rp.40,- parkir berapa sekarang parkir nah ini semua ada tentu untuk ditilik kembali dengan pimpinan aksi untuk ...kepada monolotik, apa monoletik ya tadi baru dengar saya lupa mengenai mistik, kekerasan, pornografi well ayo kita bergabung betul-betul kita mendapatkan anugerah hari ini, bawa kami diterima dengan baik , dengan sangat terharu kami dengan, demikian Ketua LSF bahwa kami pertama kali diterima di DPR dan banyak masalah yang terselubung yang perlu dibuka dan diluruskan karena keberadaan kami ini sangat-sangat garda bangsa sangat-sangat penting, bukan cuma sekadar sensor sinetron, drama, bukan sekedar film dan tolak bukan didalam itu ada pendidikan teroris, ada pendidikan pengkhianat dan sebagainya, nah ini sudah otomatis kami berhubungan dengan ahli sejarah dari arsip, dari mabes dan seterusnya jadi pekerjaan itu memang sangat-sangat menarik, sangat-sangat konsentrasi dan satu ruangan itu pada waktu yang lalu itu 5 orang saja dengan segala macam ragamnya. Demikian terima kasih bapak Ketua, Pimpinan. ....... : Pimpinan, interupsi sedikit Pimpinan sebelah kanan, ya ini mengingatkan saja itu apa yang sampaikan ibu, ibu kita bu Raesita bahwa inikan garda, garda bangsa itu ya tadi saya sampaikan juga supaya nggak lupa dan dicatat jadi unsur pemerintah yang ada di dalam Lembaga Sensor Film itu nggak ada dari bidang pertahanan keamanan yang ada pendidikan, kebudayaan, agama, komunikasi, informasi dan ekonomi kreatif jadi saya minta dimasukkan juga unsur dari Pertahanan Keamanan, karena mengingat apa yang disampaikan bu ibu Raisita tadi. Terima kasih Pimpinan KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Baik kalau yang sekarang ada lengkap ya dari unsur TNI ada, unsur Baisnya juga ada, unsur BIN nya ada kalau yang sekarang ya yang 45 ini kalau mengacu ke Undang-Undang yang baru dan 17 nama yang diajukan Presiden untuk dikonsultasikan ke DPR itu memang ada perubahan komposisi ya dan kriteria saya fikir itu juga bagian yang nanti perlu kita dalami bapak ibu sekalian ada hal yang tadi rasanya belum dijawab, ini agak detil, agak teknis maksud saya tapi ini penting dan menarik tadi, dijelaskan bahwa Undang-Undang yang ada sekarang tidak memungkinkan LSF itu melakukan apa itu, pemenggalanpemenggalan begitu ya, karena proses sensorship itu dilakukan dalam satu tahap ya nah kalau saya amati di Pasal 59, Pasal 60 ya itu kan jika ada hal-hal yang dianggap menyalahi kriteria yang layak atau lulus sensor itu maka Lembaga Sensor mengembalikan film ya untuk kemudian pihak apa, pembuat film itu melakukan penyesuaian nah tadi dari KPI pak Idi kalau tidak salah tadi, ada apa namanya striping, striping pak, kejar tayang. ............. : Nah sekarang kalau ada kasus seperti itu dan ini saya yakin menjadi trend juga ya karena TV-TV banyak sinetron kejar tayang itu kira-kira bagaimana LSF ini kalau dengan catatan-catatan dan mengembalikan untuk direvisi, sementara itu kejar tayang gimana LSF memastikan bahwa proses revisinya itu memang dilaksanakan sebelum ditayangkan pak Ketua.
............ : Ya umumnya pada film yang layar lebar itu mereka tetap punya waktu untuk memperbaiki setelah diadakan dialog dan revisi tapi yang untuk apa namanya, sinetron yang kejar tayang itu memang kita balas dengan kejar sensor jadi kejar sensor itu kita meminta kepada pemilik sinetron itu untuk melakukan, memperhatikan sensor sebelum ditayang pada awalnya memang boleh dikatakan tidak adalagi kejar tayang itu terjadi tetapi lama kelamaan mulai lagi, muncul satu persatu kejar tayang itu, jadi kejar tayang itu dilawan dengan kejar sensor karena itu Lembaga Sensor Film membuka satu paket pekerjaan yang sebenarnya tidak terhalang oleh waktu dan jadwal, hari Sabtu, Minggu bahkan hari besar pun kami masuk kalau memang diperlukan untuk menyensor suatu produk yang harus dikejar untuk disensor, itu sudah di lakukan sekarang KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : baik masih ada yang belum terjawab dari LSF bapak ibu baik, kalau gitu kita lanjut dulu ya ke KPI, kami persilahkan. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Baik, terima kasih pimpinan. Pak Jamal tadi bicara soal honor jangan dibandingkan dengan KPI Pak karena KPI juga sedang meminta perbaikan honor. Ibu-Bapak yang saya hormati, pertanyaan-pertanyaannya luar biasa dan ada ekspektasi yang sangat tinggi terhadap Komisi Penyiaran Indonesia ini kami lihat dari gambaran pertanyaan-pertanyaan dan argumentasi yang dibangun oleh Teman-teman Anggota Komisi I, tetapi mungkin saya ingin terpaksa flashback ke 2003 ketika Undang-Undang 2002 ini, Undang-Undang kita kan Undang-Undang 32 Tahun 2002 dibuat oleh Komisi I DPR RI waktu itu yang merupakan hak inisiatif. Jadi memang gagasan Undang-Undangnya dari DPR dan itulah Undang-Undang pertama di Indonesia tidak ditandatangani oleh Presiden mengikuti aturan main bahwa setelah 30 hari tidak ditandatangani itu kemudian dia berlaku. Nah Undang-Undang Penyiaran kan Undang-Undang Pertama. Oleh karena posisinya dan kemudian sejarahnya seperti itu, akhirnya kita flashback untuk melihat bahwa ternyata pada Tahun 2003 ada usulan untuk melakukan judicial review terhadap Undang-Undang ini oleh beberapa pihak. Nah ini yang akan menjadi awal kisah mengapa sampai Komisi Penyiaran Indonesia ini seperti sekarang. Alhasil dijudicial review itu ada hal-hal yang sangat substansial yang diubah . Ibu/Bapak kalau baca Undang-Undang Penyiaran yang sekarang itu jangan mengatakan bahwa itulah yang sebenarnya berlaku, karena sebenarnya tidak seperti itu sekarang saya kasih contoh misalnya di dalam batang tubuh Undang-Undang Penyiaran, disitu dikatakan bahwa segala peraturan pelaksana atau ketentuan lebih lanjut diatur oleh KPI bersama pemerintah itu ada perintah Undang-Undang bahwa Undang-undang pelaksanaan dari Undang-Undang Penyiaran itu harus dibuat KPI bersama pemerintah tetapi Pasal 62 Undang-Undang Penyiaran itu kemudian mengunci bahwa ketentuan-ketentuan yang dimaksud pada pasal-pasal yang saya katakan tadi yang harus diatur oleh KPI bersama Pemerintah itu harus dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah inilah yang kemudian diendors kedalam Judicial Review, yaini mengatakan bahwa kewenangan untuk membuat Peraturan Pemerintah tentu saja bukan pada KPI dan alhasil secara konstitusional itu memang benar apa namanya, keputusan MK sehingga Peraturan Pemerintah itu hanya dibuat oleh Pemerintah ironinya kata KPI bersama itu dihapus Pak sejak saat itu rezim yang kemudian meletakkan sesungguhnya bahwa Undang-undang Penyiaran itu regulator tunggalnya itu sesungguhnya adalah KPI tetapi karena revisi di judicial review itu mengakibatkan pemerintah kembali mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan membuat Peraturan-peraturan Pemerintahnya dan kemudian jadilah KPI diposisikan hanya sebagai Pengawas Isi Siaran jadi kalau tadi ada mengatakan wah KPI ini berarti memiliki kekuasaan yang luar biasa, bisa mengatur segala dan seterusnya, ini saya harus klarifikasi bahwa sejak ada putusan Judicial Review, posisi Peraturan Pemerintah meletakkan kami hanya pada posisi seolah-olah Pengawas Isi Siaran Nah 1 pasal yang telah saya endorce ketika dalam pertemuan Komisi I terakhir pada periode yang lalu adalah persoalan perizinan ketika KPI ditanya apakah KPI siap ketika memang ada persoalan perizinan juga diberikan oleh UndangUndang. Di Undang-Undang 32, persoalan peizinan sesungguhnya mutlak kewenangan KPI. Kenapa? Karena dalam pasal proses perizinan itu dikatakan begini, permohonan diberikan melalui Komisi Penyiaran Indonesia. Jadi permohonan awal oleh pemohon. Kemudian oleh KPI dilakukan evaluasi dengar pendapat untuk menerbitkan rekomendasi kelayakan dalam suatu forum rapat bersama, KPI bertemu dengan Pemerintah untuk melihat apakah
rekomendasi itu comply dengan frekuensi yang tersedia yang ijinnya dikeluarkan oleh Pemerintah. Jadi sebenarnya rezimnya Undang-Undang Penyiaran kita itu sudah membagi antara izin penyiaran dengan izin frekuensi, izin frekuensi diberikan kepada Pemerintah. Nah kemudian ada 1 pasal yang mengunci , izin penyelenggara penyiaran diberikan oleh negara melalui KPI. Mohon maaf, Peraturan Pemerintah menegasikan kata "negara" itu hanya kepada Kementerian Kominfo sehingga hari ini ijin itu keluarnya ditandatangani oleh Menteri. Ada yang kemudian mengatakan itu memang seperti itu, karena tata usaha negara kita dan hukum administrasi kita katanya perizinan itu masih di bawah pemerintah, harus pemerintah katanya . Sementara saya sudah bertanya kepada siapa pun, Guru Besar Administrasi Negara mengatakan jika memang Undang-Undang hanya menujukan kepada satu pihak tertentu, maka swasta pun kalau ditunjuk mengeluarkan izin maka dia berhak mengeluarkan izin, apalagi lembaga negara yang seperti KPI. Itulah kira-kira proses awal sampai kemudian akhirnya KPI seperti sekarang, dan mohon maaf Lembaga Penyiaran itu lebih takut ketika izinnya dipersoalkan dibandingkan dikasih sanksi teguran administratif-teguran administratif . KPI sampai sekarang hanya memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif . Ini yang terjadi Pak, ini yang kondisi yang mungkin mudah-mudahan bisa dibahas kembali kepada Undang-Undang yang baru, dan mohon maaf kami sangat menyesalkan karena Revisi Undang-Undang Penyiaran yang kemarin itu tidak sempat diselesaikan pada masa sebelumnya, karena komisi satu versi sebelumnya itu telah menguatkan posisi KPI kembali seperti yang diharapkan ada penguatan disana semua kewenangannya diberikan, jadi kalau tadi ekspektasinya pak Elnino, kami seperti KPK, itu sudah mau diwujudkan tetapi tidak berhasil disahkan namun yang sangat ironi adalah ketika DPR memberikan daftar apa namanya, Rancangan Undang-Undang, pemerintah kemudian memberikan juga draft tandingan daftar isian masalahnya dan alhamdulillah versi pemerintah mengatakan Komisi Penyiaran Indonesia nggak perlu ada yang ada adalah Komisi Pengawas Isi Siaran dibawah Kementerian kominfo nah sekarang ini paradigmanya balik kepada, tadi Bang Hanafi mengatakan apakah ini memulai pertempuran baru dan seterusnya, saya kira ini adalah medan baru yang akan dihadapi oleh teman-teman yang baru bergabung di komisi ini nah mengapa saya perlu, sangat penting untuk menjelaskan ini akhirnya apa namanya, sejak 2003 sampai sekarang ini, persoalan ini yang akan terus menerus atau telah kami hadapi secara terus menerus dari sisi kewenangan dan seterusnya dan ini, kemudian pak Joko sebagai apa namanya wakil ketua anggaran ini juga memahami bahwa akibat dari kondisi ini, maka kelembagaan KPI ini kami sebutnya sebagai komisi bukan-bukan, kenapa komisi bukan-bukan? kami Lembaga Negara pak, disebutkan di Undang-Undangnya, tapi posisi pejabatnya, komisionernya itu tidak ada dalam numenklatur Menpan dan RB ya Menteri Aparatur Negara dan birokrasi Reformasi Birokrasi, itu tidak ada nomenklaturnya komisioner KPI kami menanyakan di Direktorat Jendral Anggaran, posisi fasilitasi Anggaran KPI itu masuk kategori mana, Eselon mana, Eselon mana, tidak ada juga pak jadi kami bukan Pejabat Negara, juga bukan pejabat-pejabat eselon itu, jadi kami pejabat bukan bukan nah itu makanya pak singgung soal honor, mumpung saya gitu kan jadi ini mungkin menjadi PR kami dan kami berharap ini menjadi lebih jelas karena ini terkait dengan fasilitasi dan juga bagaimana negaraini memposisikan Komisi Penyiaran Indonesia sebagaimana yang diharapkan karena kita tahu bahwa dasar filosofi dari Komisi Penyiaran Indonesia kan adalah dasar filosofi demokrasi yang kita telah sama-sama anut atau kita sepakati ketika kita mereformasi diri dari rezim terdahulu berikutnya pertanyaan tentang migrasi analog tadi ada, penyiaran, tapi sebelum kesana saya ingin ke grand strategi penyiaran dulu persoalan apakah KPI mempunyai sebuah visi gitu ya, tentang strategi penyiaran Indonesia terus terang secara kelembagaan kami punya tetapi sekali lagi karena posisi KPI itu seolah hanya pengawas, kami seringkali tidak bisa atau tidak mampu untuk menyampaikan grand strategi penyiaran ini bahkan seringkali kami menantang, bukan menantang tapi mengusulkan dan juga mencoba berdiskusi dengan pemerintah terkait dengan apasih grand strategi penyiaran kita, bagaimana kita mengatur ekonomi penyiaran karena kita ketika kita berbicara sudah ekonomi penyiaran, disana masuk SSJ ,disana masuk stasiun lokal, disana masuk radio, disana masuk komunitas itu Kami bicarakan Pak tapi secara politik itu tidak ada dukungan ini yang kemudian sangat berdampak ketika kita bicara soal migrasi penyiaran teristerial dari analog ke digital saya harus melaporkan ini kepada Komisi I yang baru karena pemerintah melalui kementrian kominfo telah membuat sebuah design migrasi penyiaran teresterial yang UHV ini dari analog ke dijital dengan mekanisme dan konsep mereka setelah kami amati dan setelah kami analisis menurut kami konsep itu memiliki potensi yang menimbulkan apa, persoalan dikemudian hari dan ternyata betul 2011 kami sudah mengatakan pertama adalah dasar hukumnya tidak jelas Kementerian hanya mendasarkan pada Peraturan Menteri, hanya Permen 28, 2011 padahal ini akan mengubah sebuah sistem penyiaran yang luar biasa saya mengatakan, ini harus Undang-Undang tetapi ternyata menteri mengabaikan usulan KPI, mentri mengabaikan, bahkan Komisi I DPR pun waktu itu sudah minta ini jangan dilaksanakan tapi itu terjadi terus- menerus jalan terus gitu ya menterinya kemudian melakukan lelang frekwensi, melakukan tender
konsep digitalnya jalan, yaiitu ada konsep pembagian muks dan content provider jadi TV-TV yang sudah punya frekwensi ini akan hilang frekwensinya, dan mereka harus menyewa kepada penyelenggara muks menyelenggara muks itu ada content maaf pemilik infrastruktur di sana kemudian yang punya apa, frekwensi yang tidak memenangkan ini harus menyewa kepada pemilik muks yang telah pemenang tender ini ini ada persoalan terkait dengan bagaimana prinsip keadilan, bagaimana deversity of ownership, bagaimana melindungi TV-TV lokal karena informasi yang terakhir satu muks itu sewanya sampai 300 juta per-bulan ini kan jadi persoalan, nah sehingga kami di KPI telah membuat blue print digital nanti kami akan share kepada Anggota DPR yang baru ini untuk memahami bagaimana konsep yang kami sampaikan, tetapi yang paling penting adalah bahwa kami mengusulkan digital ini harus dibicarakan secara bersama oleh seluruh stakeholders. Disitu ada banyak sekali stakeholders yang harus dilibatkan terutama karena ITnya sendiri memberikan guide line atau pedoman bahwa itu harus ada pelibatan seluruh stakeholders, ada tim nasional yang diharapkan untuk terbentuk . Nah itu sekitar, kalau mau bicara soal migrasi analog dan digital saya kira ini suatu persoalan yang harus kita bicarakan secara tuntas tidak dalam waktu yang sangat singkat seperti ini. Nanti mungkin kita bisa di RDP berikutnya . Terakhir sebelum saya serahkan ke teman-teman untuk menambahkan jawaban-jawaban itu, terkait dengan konvergensi. Ini menarik, karena memang paradigma kita sekarang adalah bukan paradigma konvensional ya, bahwa sekarang TV dan radio itu tidak lagi harus kita nikmati dan kita tonton dalam sebuah ruangan tertentu , tetapi dia sudah bisa sangat mobile dengan gadget, dengan tablet dan seterusnya . Nah ini yang jadi persoalan kita sekarang, apakah penyiaran dalam Undang-Undang Penyiaran ini menjangkau kesana, ini memang masih debatable dan masih perlu duduk bersama seperti misalnya penyiaran sekarang kita bisa menikmati dengan cara streaming, dengan internet broadcasting, kita kenal sekarang ada IP TV, IP TV itu Internet Protocol Television , kita mengenal ada OTT (Over The Top Television) dan seterusnya , ditambah lagi dengan misalnya tadi ada pertanyaan soal sosial media, apakah kemudian itu menjadi milik atau kewenangan KPI, ini semua belum ada aturannya Pak. Ini semua memang perlu kita duduk bersama sejauhmana apakah misalnya memang ini menjadi kewenangan KPI berikutnya atau seperti apa, itu saya kira harus kita bicarakan dan tentu fasilitas untuk arah kesana juga memang diperlukan jika KPI memang diberikan kewenangan untuk itu. Ini sekedar gambaran tentang kelembagaan secara umum mungkin jawaban-jawaban khusus saya persilakan teman-teman yang lain dimulai dari Mas Amir, terkait dengan hal-hal yang terkait dengan SSC mungkin. Silahkan KPI (AMIR) : Baik, terima kasih Ketua, yang kami hormati Pimpinan Komisi I, Ibu dan bapak-bapak semuanya Anggota Komisi I yang saya hormati. Kami melanjutkan penjelasan dari Ketua KPI pusat mengenai beberapa hal yang pertama yang sempat saya catat adalah soal kepemilikan, kemudian sistem stasiun berjaringan kemudian LPB (Lembaga Penyiaran Berlangganan) yang ilegal bersama lembaga penyiaran yang ilegal yang pertama soal kepemilikan kami sungguh menyadari bahwa Undang-undang Penyiaran itu semangatnya adalah 2, soal demokratisasi penyiaran dan desentralisasi dan intinya adalah pada kepemilikan diantaranya di situ tentu harus mencerminkan 2 sifat, yang pertama adalah beragam dan ada protection pada yang minoritas, jadi protection pada yang minor ya nah memang ada masalah terkait dengan ini, tadi dikatakan bahwa persoalan kewenangan ya sebenarnya standar mengenai kepemilikan ini sudah ada, karena memang Undang-Undang mengamanatkan bahwa kepemilikan harus dibatasi standarnya sudah diatur dalam peraturan yang ada, di PP 50 tahun 2005 di mana kalau untuk TV itu satu badan Hukum hanya boleh 1, 2 IPP untuk di 2 wilayah provinsi bahkan juga sudah diatur mengenai pembatasan kepemilikan sahamnya gitu, untuk badan hukum yang pertama 100% sahamnya boleh kemudian yang kedua 49, ketiga 20%, yang kelima dan seterusnya, yang keempat dan seterusnya maksudnya itu 5% itu jadi sudah ada pengaturan mengenai pembatasan, persoalannya adalah pada pengawasannya itu implementasinya itu dan pengawasannya siapa yang punya otoritas sesungguhnya terkait dengan terutama pengawasannya itu karena dalam proses perijinan itu KPI hanya diberikan kewenangan untuk memberikan rekomendasi mengenai content, tapi ekomendasi mengenai administrasi, kepemilikan, dan teknis itu ada pada pemerintah kalau dalam logika ini maka sesungguhnya yang berhak untuk mengawasi persoalan kepemilikan adalah pemerintah gitu sekalipun demikian kami sudah mendorong agar ada pengawasan bersama karena terkait dengan problematika ....ini berdampak pada problem content gitu jangan sampai nanti kemudian ada monopoli informasi atau monopoli siaran karena kepemilikan itu, karena itu kami sudah mendorong sehingga sampai lahir MoU antara KPI dengan Kominfo, khususnya terhadap pembentukan tim Wasdal (pengawasan dan pengendalian) yang diantaranya nanti mestinya ada pengawasan bersama
terkait dengan keberadaan IPP yang telah diterbitkan itu sampai kepada persoalan kepemilikan tapi sejauh ini SK nya kami belum tahu persis apakah sudah ditandatangani atau belum, dan rapat terkait dengan blue print nya juga belum dilaksanakan kemudian yang kedua yang terkait dengan sistem stasiun berjaringan kami sampaikan kepada pak Elino tadi menanyakan hal ini sebenarnya esensi ini dasarnya adalah disamping Undang-undang Penyiaran itu Permen 43 tahun 2009 ada 2 problem terkait dengan implementasi SSC ini, yang pertama adalah problem kelembagaan ya jadi bagi TV nasional yang memiliki stasiun transmisi di daerah-daerah itu lalu dengan adanya sistim perjaringan mereka harus melepaskan kepemilikan stasiun relaynya itu menjadi stasiun TV Lokal gitu, dengan kepemilikan saham yang variatif harus memasukkan saham-saham lokal itu kemudian yang kedua terkait dengan persoalan kewajiban, komitmen untuk menyiarkan muatan siaran lokal gitu nah terhadap masalah kelembagaan ini memang sebagian besar stasiun TV Nasional itu sudah melepaskan kepemilikannya gitu, jadi dapat dikatakan l80% lah saya kira itu TV-TV Nasional itu sudah berjaringan, yang sudah berjaringan hanya yang terkait dengan kewajiban untuk bagi stasiun lokal tadi itu yang sudah menjadi stasiun lokal itu untuk menyiarkan itu siaran lokalnya itu yang 10%, ini yang sebagian besar itu belum melaksanakannya, jadi kira-kira masing-masing TV itu yang TV Nasional yang telah Lokal itu berkewajiban untuk menyiarkan 2 jam lah kira-kira itu siaran lokalnya itu nah ini dalam pantauan kami yang sebagian besar belum melaksanakan, paling rata-rata masih sekitar 5% lah siaran lokal itu dilaksanakan karena itu KPI dalam Rakornas telah menetapkan kebijakan dengan menerbitkan Surat Edaran terhitung 24 Agustus 2014 kemarin semua stasiun berjaringan itu segera untuk melaksanakan kewajiban yang 10% itu dengan tata caranya itu kami meminta kepada KPD sejak tanggal 24 Agustus itu untuk berkoordinasi kepada Lembaga Penyiaran Lokal itu untuk menanyakan komitmennya ya kapan? nanti berdasarkan pada berkomitmen itu kemudian kalau tidak terpenuhi komitmen itu maka akan diterbitkan sanksi teguran sampai pada pengurangan durasi sejumlah kewajiban yang belum dipenuhi, kalau misalnya mereka masih belum memenuhi 5% ya pengurangan durasi 5% itu itu yang terkait dengan, kemudian yang terkait dengan lembaga penyiaran berlangganan yang ilegal untuk Pak Gamari tadi ya, penanganan terhadap Lembaga Penyiaran yang berlangganan ini memang harus hati-hati karena disisi lain sebenarnya potensi apa ya, kalau bicara mengenai pasar ya, potensi pasar LPB ini ini sampai dengan sekarang ini baru 9% yang yang dapat terpenuhi gitu dari angka 17 juta ya Kepala Keluarga, jadi LPB ini baru mencapai aksesnya itu sekitar ya 1,7 lah atau sampai 2 juta Kepala Keluarga itu, sebenarnya masih banyak kemudian disisi lain banyak daerah yang blank spot terutama daerah-daerah tertentu yang tertinggal maupun yang perbatasan kemudian tidak semua lembaga penyiaran swasta yang sudah berizin itu bisa mampu mengakses atau memenuhi kewajiban minimal 50%, jadi masih ada darah-darah tentu yang akses informasinya itu tidak semuanya dapat dipenuhi oleh lembaga penyiaran yang ada itu karena itu dan ada 3 jenis lembaga penyiaran berlangganan satu adalah TV kabel, ini yang banyak sekali yang muncul didaerah-daerah tertentu, Kabupaten kota yang illegal tadi itu ini disebut sebagai LO ya, Lokal Operator kemudian yang satelit dan yang teresterial yang problem adalah yang TV Kabel ini yang LO nah kami menanganinya diantaranya adalah ada sosialisasi terlebih dahulu pada mereka ya kepada mereka itu terkait dengan peraturan-peraturan tentang penyiaran kemudian yang kedua, kami telah berkordinasi dengan pemerintah karena terkait dengan LO ini ada 2 problem, satu problem yang menyangkut retransvision konsen ini ya jadi karena dia LO bekerjasama dengan TV LPB yang besar, nah disitu ada hak siar mestinya yang harus dijamin ada sama problem pengelaran kabel gitu, jangan sampai nanti kabel-kabel yang digelar didaerah itu justru membahayakan masyarakat sekitar ada prinsip pertimbangan perlindungan kepada publik maka ada koordinasi antara KPI dengan Pemerintah Daerah terkait dengan ini bahkan sekarang sudah banyak sekali Pemda yang melahirkan Perda terkait dengan persoalan infrastruktur TV Kabel ini nah itu baik. Terima kasih, saya kembalikan kepada Ketua, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : terima kasih mas Amir, mas Fajar menambahkan dari sisi kelembagaan lagi. KPI (FAJAR) : Baik, terima kasih Ketua. Yang saya hormati Pimpinan Komisi I dan para Anggota. Menjawab pertanyaan pak Hanafi Rais tadi tentang rating, perlu kami sampaikan kami sekarang di KPI pusat menggagas sebuah survei kepemirsaan yang melibatkan KPI Daerah di 33 daerah, kami akan menggandeng kampus sebagai rating pelengkap karena kami sadar bahwa rating yang dilakukan secara
apa namanya, tunggal oleh Nelson ini tidak menguntungkan karena Nelson itu semenarnya memotret survei audience dengan asumsi untuk kepentingan pemasang iklan dan pemilik lembaga penyiaran. Nah kami ingin memulai 2015, kebetulan anggaran dari Bappenas sudah oke, kami diminta untuk merancang sebuah desain survei kepemirsaan yang setidaknya meskipun tidak head to head dengan Nelson itu memberi warna, kami akan publish sebulan sekali Pak Hanafi Pak Makhfud bahwa kami akan continue saja, semoga ini berjalan dengan baik sampai setahun 2015 akan kita evaluasi, mohon dukungan dari Komisi I, sementara ini kami akan, TV ya, sebentar Pak, karena kami akan mencoba memberikan warna dalam rating survei kepemirsaan itu. Mudah-mudahan survei kepemirsaan dari KPI diperhatikan oleh pemasang iklan, karena bagaimana pun sekarang dari pemasang iklan sudah kita berikan, kami sudah berkomunikasi karena bagaimana pun mereka jangan sampai memasang iklan di acara-acara yang bermasalah, karena rating tertinggi dari Nelson sebenarnya banyak acara yang juga pelanggarannya begitu. Itu yang pertama. Yang kedua di bidang kelembagaan, kami juga merancang sebuah standar kompetensi profesi penyiaran ini adalah upaya kami di hilir untuk membenahi organisasi penyiaran di mana orang-orang yang bekerja di lembaga penyiaran ini adalah orang-orang yang tepat. Mestinya ketika mereka sebagai seorang Program Director, ini mempunyai kompetensi. Kami khawatir banyaknya pelanggaran itu karena orang-orang yang duduk di jabatan tertentu, ini belum mampu memenuhi standard kompetensi. Nah kami sedang menggagas itu. Mudah-mudahan ini berjalan dengan baik, kami akan melibatkan Asosiasi, ATVSI dan beberapa kampus untuk sebagai lembaga yang bisa mengeluarkan sertifikasi. Kami mensyaratkan bahwa kompetensi profesi penyiaran itu menjadi penting begitu. Jadi terima kasih. Kemudian Pak Zaenudin, Pak Sukamta dan beberapa Anggota Komisi I yang memberikan support kepada KPI saya berterima kasih, namanya adalah penguatan KPI secara kelembagaan, dan kami berharap melalui perubahan Undang-Undang Penyiar, memperluas kewenangan kami apa tugas KPI, apa tugas Kominfo, apa tugas LSF, semua menjadi jelas dalam Undang-Undang Penyiaran yang sudah jelas karena sesungguhnya regulator penyiaran ini sampai sekarang belum jelas ada Pemerintah, ada KPI yang sesungguhnya pemerintah sendiri jangankan menyerahkan berbagi sedikit kewenangan saja, ini tidak rela, tapi dengan menteri yang baru, kemarin kami sudah bersilaturahmi Pak Makhfud ke Menkominfo Pak Rudiyantara akan mencoba mengkaji lagi satu persoalan digital, yang kedua persoalan sistem stasiun berjaringan yang bagi TV-TV Lokal kenapa itu tadi mematikan ataupun membuat TV Lokal tidak berdaya. Mudah-mudahan kebijakan ini bisa dievaluasi dengan komunikasi yang intens antara KPI dengan pemerintah yang merupakan mitra strategis bisa menjawab beberapa solusi dinamika penyiaran di tanah air harapan kami design penyiaran itu bisa terwujud dengan komunikasi yang baik antara Kementerian Kominfo dengan KPI didukung oleh regulasi yang jelas perubahan Undang-Undang Penyiaran. Terima kasih tambahan dari saya. KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Terima kasih mas Fajar. Bagian isi siaran siahkan mas Idi dan mbak Lily untuk menjawab persoalan-persoalan isi siaran KPI (IDI) : Baik, terima kasih. Bapak Pimpinan dan para Anggota Komisi I yang saya hormati. Mungkin secara umum saja saya akan mulai dari pak Elnino tadi yang menanyakan kepada kami apa yang bisa kami lakukan selaku Komisi I terhadap KPI dan mungkin LSF yang bisa dan mungkin harus telah Memberikan safa'at kepada KPI dan LSM safa'at itu dalam jangka Panjang maupun jangka pendek kau jangka pendek saya kira beberapa penguatan yang perlu kita lakukan misalnya tadi supporting anggaran kemudian juga fasilitasi terhadap apa yang telah menjadi kewenangan KPI misalnya begini kita sudah berkali-kali juga,bukan mengeluh, cuma curhat saja soal gedung misalnya yang perlu kita benahi karena kami hanya menempati sementara ini adalah satu saja lantai dari 8 lantai di gedung Bapeten di Gajah Mada, kita campur dengan nuklir pak jadi kita sudah kena penyiaran, radiasi penyiarang, kita campur radiasi nuklir itu mungkin begitu dan kalau bicara fasilitasi tentu itu akan berpengaruh juga terhadap kompetensi kita melakukan pengawasan penyiaran, karena bicara tadi dikatakan konsep pengawasan kita adalah kita ini memantau televisi yang berjaringan selama nasional itu secara real time itu 24 jam jadi di KPI itu ada sekian ratus orang yang diberikan tugas untuk memantai TV secara real time 24 jam dibagi 5 sift pak setiap sift ada sekitar 10 orang, 11 orang, tapi itu untuk TV yang berjaringan hanya 11
ini sementara, tapi tahun depan kita akan melakukan penambahan nah itu sesuai dengan kapasitas ruangan, nanti jangan sampai nanti ruanggannya melengkung karena nggak kuat kemudian secara juga kalau bicara Undang-Undang kita kan belum tahu Undang-Undang Penyiaran yang baru itu mau akan selesai kapan, ya semoga kan lebih cepat lebih baik kan begitu tapi di tenggang waktu sebelum rampungnya Undang-undang Penyiaran kan tidak boleh ada satu kekosongan nah untuk itu dalam jangka pendek ataupun menengah bila perlu, gitu kan karena beberapa hal yang menjadi kewenangan KPI itu sebenarnya kan terserobot, tersabotase, katakanlah begitu, mungkin pak Ibnu juga tahu oleh beberapa PP itu kan PP 50, PP 51, 52 dan sebagainya, sehingga ini kan ada terobosan di Kementerian lain, misalnya merubah PP kalau mungkin, menunggu adanya perubahan Undang-Undang mengapa tidak, sehingga beberapa pasal yang mungkin sudah di GR di Undang-Undang Penyiaran itu bisa sebagiannya dikembalikan dengan adanya PP yang baru itu tentu itu dengan dorongan dari Komisi I karena di kementerian lain di Kementerian Kelautan misalnya kan bisa juga merubah PP merubah Permen tentang kelautan yang berkewenangan dengan otoritas kelautan, nah untuk penyiaran mengapa tidak beberapa poin yang memang itu menjadi spirit Undang-undang Penyiaran awal, termasuk misalnya soal anti monopoli Undang-Undang sudah jelas mengatakan monopoli dibatasi, tapi PP itu sebenarnya kalau kita kaji secara cermat itu melegalisasi monopoli karena itu memberikan permakluman kepada yang sudah existing nah ini kan sebenarnya nggak adil, tapi itu PP nya sudah pernah kita gugat ke MA, itu memang ternyata regulatif begitu nah ini saya kira dalam jangka menengah PP mungkin dengan Kementerian yang baru ini bisa kita hasilkan beberapa hal yang itu bersifat perubahan kearah yang lebih baik menunggu selesainya Undang-Undang penyiaran yang nanti berisi beberapa muatan KPI kedepan nah saya akan fokus kemudian pada soal dengan LSF ini mumpung ini ketemu saya kira ini memang pertemuan yang luar biasa dan menjadi langkah awal tadi ...dari LSF memang di Pasal 47 Undang-Undang Penyiaran tidak ada kata LSF ya, yang ada adalah isi siaran dalam bentuk film dan atau ikan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang memang lembaga yang berwenang itu mungkin tidak ada hari ini kecuali LSF, sehingga kemudian rujukannya adalah LSF, maka kalau kemudian Pasal 47 ini adalah yang dimaksud adalah LSF maka kita berikan penguatan kepada LSF karena kalau ceritanya sedihkan 11, 12 antara KPI dan LSF soal Fasilitasi tadi sehingga kalau LSF ini diberikan penguatan termasuk melakukan sensor secara lebih ketat terhadap film dan iklan yang akan tayang di TV, maka setengah masalah penyiaran dari sisi content akan selesai sebenarnya karena dari sisi hulunya sudah selesai, tentu kemudian tadi dengan penguatan, karena kalau kemudian posisinya sementara ini sampai seperti sekarang ini ya kita tentu tidak bisa, makanya kemudian kami setuju tadi dengan usulnya Pak Bim untuk pasca pertemuan ini akan ada semacam tim untuk mengawal betul-betul bagaimana pola kerjasama dan koordinasi antara KPI dan LSF, ibaratnya satu payung ada 2 kamar prata yang LSF pasca tayang KPI untuk film dan ilkan di media penyiaran, wah itu luar biasa enak itu luar biasa enak nah tentang design tadi saya kira sudah saya kira dari saya cukup itu untuk melengkapi beberapa hal yang tadi disampaikan, silahkan mbak, oh tadi satu lagi yang kurang ini saya kira untuk penguatan KPI kedepan, ini terkait dengan sanksi betul tadi Pak Yudha mengatakan sanksi yang sementara ini ada itukan sanksi administratif yang itu sebenarnya tidak kompatibel dengan dunia bisnis penyiaran yang itu menyangkut uang maka sebenarnya kita sudah lama mengusulkan untuk bagaimana ada sanksi berupa tidak sekedar surat, tapi sanksi denda di beberapa negara yang lebih maju, sanksi denda itu diberlakukan, misalnya kalau ada pelanggaran content itu saksinya denda, sehingga apa tadi kalau dikatakan internal sensor atau swasensor atau internal sensorship itukan harus punya apa, tekanannya, penekanannya penekannyha adalah denda tadi, sehingga akan dilakukan swa-sensor yang semakin apa, ketatlah begitu, karena kita akan bersepakat bahwasannya penyiaran itukan katanya regulity yang ketat, ketatnya itu dimana kok longgar begini gitu lho kan berarti nggak ketat ini. Nah pengetatan itu saya kira ya dari LSFnya ketat, kemudian masih tambah lagi swasensornya juga ketat dan pemantauan dari KPI adalah ketat sehingga arah penyiaran yang untuk kebangsaan, dan sebagainya itu menjadi memiliki penguatan sanksi yang lain saya kira yang saya juga aneh di UndangUndang Penyiaran yang lama ini adalah mengapa tidak ada satu sanksi yang bersifat tetap terhadap mata acara yang ada kan penghentian sementara, karena sementara berhenti sementara muncul nah untuk itu kenapa tidak dibuat satu sanksi kalau memang ada program yang memang secara badan program, secara speed, secara ruhnya tidak kompatible dengan tujuan penyiaran, ya kenapa tidak menghentikan secara tetap mungkin ini untuk konteks program yang non jurnalistik, tapi saya kira itu harus ada untuk kedepannya untuk tadi antisipasi saya kira. Terima kasih. Demikian.
KPI (LILIS) : Baik, terima kasih. bapak-bapak mohon maaf ini mas Idi agak emosi kalau sudah bicara isi siaran. Saya akan coba melanjutkan mengenai Undang-Undang Penyiaran tadi bapak coba ada beberapa minta agar ada masukan terkait penyempurnaan Undang-Undang penyiaran selain adik sangsi jangan hanya penghentian sementara, penghentian tetap kemudian juga mungkin dari alur cerita, karena selama ini kami belum bisa masuk sampai ke alur cerita, jadi sanksi yang kami berikan harus ada bukti pelanggarannya yaitu kontens, saya ambil contoh yuk keep smile padahal kita tahu Persis bahwa berbulanbulan bahkan hampir setahun ya Pak tayangan itu tidak mendidik atau membodohi masyarakat tapi KPI tidak bisa serta merta menghentikan itu saya ambil contoh lagi sinetron siapa yang tidak tahu yang namanya sinetron ganteng-ganteng Srigala itu membodohi anak-anak kita apa ada sih guru yang jadi Srigala muridnya juga jadi Srigala apa ada sekolah yang membiarkan anaknya memakai seragam begitu ketat dan mini, kemudian kancing bajunya bisa dibukan seperti itu kemudian berciuman, berpelukan di sekolah tapi sekali lagi ketika KPI menegur kemudian muncul lagi dengan versi-versi lainnya, nah sekarang ini muncul ada manusia harimau muncul lagi ada 7 manusia harimau, ada lagi cakap-cakap Sakti, ketika kami mulai mengintervensi bahwa program ini hampir serupa dengan yang sebelum-sebelumnya, mereka mengatakan kami udah lulus sensor kok itu jadi ini memang pertemuan ini saya pikir baik sekali ya, supaya tidak saling melempar apa, bola, kita selesaikan sama-sama masalah ini kemudian kegelisahan bapakbapak terkait dengan sosial media semakin marak, itu juga menjadi kegelisahan kami sekarang kalau saya ambil contoh kita coba klik Mohon maaf, kita klik aja di google kata make out bapak-bapak bisa melihat betapa tayangan-tayangan itu sangat vulgar sekali, ada adegan berciuman, bersetubuh kalau youtube hanya melarang menampilkan alat kelamin, tetapi kita bisa lihat disitu ada adegan bersetubuh tanpa memperlihatkan alat kelamin tetapi sangat vulgar sekali dan kalau saya boleh saran kalau mungkin Bapakbapak ini akan merampungkan Undang-Undang Penyiaran itu diperjelas saja siapakah badan yang berwenang untuk mengawasi konten siaran ini. Kalau memang KPI, tentu juga harus diperkuat dari sisi anggaran, kelembagaan, juga SDM-nya. Saya melanjutkan Mas Idi tadi, Kantor KPI Pusat ini luasnya 1.100 meter persegi karyawannya 200 lebih bapak-bapak tahu dari tata ruang kami ruangan itu udah miring pak . Kalau Bapak-bapak sempat lewat KPI silakan datang melihat bagaimana pemantauan KPI itu dilakukan bukan di dalam ruangan tetapi di koridor begitu saja. Jadi mereka ada kurang lebih 100 orang menonton tayangan TV kenapa kata mas Idi nanti mau diundang bapak-bapak itu mereka memantau tayangan TV, menonton, kemudian mencatat semua pelanggaran itu bukan di dalam sebuah ruangan yang layak, jadi koridor di depan ruangan-ruangan apa namanya, di ruangan komisioner, jadi kami kalau mau masuk ruangan itu juga sempit sekali Pak harus miring apa jalannya, karena takut mengganggu mereka yang sedang memantau siaran televisi dan radio kemudian Lembaga Righting mas Hanafi, saya setuju sekali. Memang ada beberapa lembaga rating yang berusaha ingin menandingi Nelson. Kalau tidak salah Frank Moor dari Perancis itu pun gagal. Nah mudahmudahan survei minat kepemirsaan ini bisa berjalan dengan baik untuk menandingi Nelson, karena jujur saja kita sudah melakukan uji coba ya beberapa kali merelease program-program anak, kartun dan juga sinetron yang bermasalah dan ini cukup berpengaruh, beberapa pengiklan pun marah kepada stasiun TV ketika dapat list daftar merah dari KPI. Nah mudah-mudahan ke depan ini bisa lebih baik kemudian terkait dengan grand design penyiaran Pak Ketua Komisi I beberapa kali mengingatkan KPI, kami jangan seperti wasit yang lari-larian, larinya juga nggak jelas kemana, saya setuju tetapi saya mungkin ingin meminta dukungan dari Komisi I, jika berkenan sekali-sekali mengundang para owner TV hadir kesini karena setiap kami ingin menyampaikan sesuatu dan mengundang owner, mereka tidak pernah hadir, karena urusan mereka adalah perijinan, kalau Menkominfo yang mengundang pasti mereka hadir alangkah baiknya bapak-bapak bisa mengundang mereka, kita sama-sama bicarakan mengenai Grand design penyiaran Indonesia kedepan seperti apa begitu nah kemudian mengenai selain punishment kami juga memberikannya kami juga memberikan apresiasi kepada stasiun TV jika bapak-bapak danibu berkenan hadir besok bisa hadir ke studio Indosiar di Daan Mogot jam 8 malam sampai jam 11 ada siaran live, ini adalah sebagai bentuk apresiasi kami terhadap karya-karya terbaik, ada apresiasi untuk program dokumenter terbaik, talk show, berita investigasi, program anak dan juga program sinetron atau program FTV tentunya pasti lolos sensor ya bapak-bapak dari LSF kemudian juga kami berikan live time achievement kepada tokoh yang berperan dalam bidang penyiaran itu mungkin sekilas dari saya mudahmudahan cukup melengkapi. Terima kasih. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
KETUA KPI (YUDHA RIKSAWAN) : Terima kasih mbak Lilis, sebelum saya serahkan ke Pimpinan, ada saya ingin menyampaikan 2 hal penting. Pertama undangan dari bu Aghata Lili tadi saya ingin mengulang perkenankan kami Komisi Penyiar Indonesia mengundang bapak-bapak, ibu Anggota Komisi I, undangan disusulkan hari ini, agak terlambat karena kemarin kami meminta informasi kesediaan bapak Presiden tapi belum ada informasi sehingga proses pengiriman undangan itu masih agak berbelit tapi kemungkinan besar tidak hadir, jadi mungkin sore ini undangannya sudah akan sampai kehadapan bapak-bapak, Ibu kami berharap supaya bisa melihat bagaimana dan apa yang kami kerjakan di besok itu di Indosiar jam 8 malam ada anugerah KPI 2014, kami memberikan penghargaan kepada program-program yang menurut kami baik sesuai dengan Peraturan Perundang-Undang dan bermanfaat bagi masyarakat, itu ada penganugerahannya terakhir sekali mungkin menjawab berbagai pertanyaan yang atau rasa penasaran dari Anggota Komisi I yang baru, yang belum mengetahui duduk persoalan kasus 2 TV berita yang kami berikan sanksi bahwa ketika Pemilu kemarin kan tadi sudah diceritakan ada persoalan kepemilikan ada persoalan kepentingan dan subyektifitas dari berbagai stasiun TV untuk tala jatuh dalam rangka pemilihan umum legislatif dan presiden nah terkait dengan Pemilu sejarak satu tahun sebelum Pemilu itu dimulai, kami telah mengeluarkan surat edaran untuk mengingatkan bahwa Lembaga Penyiaran itu wajib untuk bersifat netral dan tidak untuk memenuhi kepentingan atau untuk kepentingan kelompok tertentu sesorang atau kelompok tertentu khususnya pemilik nah surat edaran sudah kami berikan tapi kemudian dalam perjalanannya memang kami melihat ada kecenderungan untuk melanggaritu, sehingga kemudian kami mengeluarkan surat peringatan kepada seluruh televisi setelah surat peringatan kami berikan kepada seluruh televisi kami melihat ada beberapa TV yang taat dan kemudian ada beberapa yang mencoba-coba gitu ya, untuk melakukan upaya-upaya yang di apa, di kamuflase atau dibuat program-program yang kira-kira tidak melanggar tapi kami menemukan lagi ada beberapa program yang menurut kami itu melanggar untuk itu beberapa TV telah kami berikan teguran tertulis sebagai sanksi administratif ada beberapa TV yang sampai teguran tertulis kedua dan bahkan ada beberapa TV yang programnya kami minta untuk dihentikan jadi ya tadi ada beberapa kuis yang sudah disampaikan tapi ada 2 TV berita yang akhirnya sampai kami panggil khusus pemimpin redaksinya untuk kami berikan pembinaan dan seterusnya kami meminta untuk mereka tetap netral dan menghormati Peraturan Perundang-undangan yang ada tapi sampai dengan menjelang pemilihan presiden kami menilai bahwa upaya itu tidak berhasil dan upaya pembinaan kami tidak berhasil bahkan kecenderungannya sangat-sangat tidak netral, sangat berpihak, sangat partisan kami telah menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Komunikasi dan Informatika, Menkominfo untuk mengevaluasi izin penyelenggara penyiaran kedua TV tersebut agar apa?, agar menteri mengevaluasi apakah memang ijinnya yang bersangkutan ini layak untuk dipersoalkan atau dicabut yang terjadi adalah satu bulan kemudian baru surat rekomendasi kami direspon dan alhamdulillah responnya adalah Menteri mengeluarkan hanya peringatan saja itu tanpa keras itu, itu kondisi yang terjadi, dan itulah dinamika penyiaran Indonesia, saya pribadi dan kami dari Komisi Penyiaran sangat-sangat setuju, sangat-sangat bangga dengan Komisi I yang sekarang, karena memang sangat mengedepankan persoalan strategi budaya tadi, pertahanan keamanan memalui informasi dan mudah-mudahan semangat diawal ini kita bisa jaga bersama-sama dan kemudian bisa melahirkan penyiaran yang lebih baik saya kira itu Pimpinan, lebih kurangnya dari kami mohon dimaafkan, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : terima kasih bapak ibu dari LSF dan KPI masih ada yang ingin mendalami lagi sedikit oke silakan Pak Gamari, satu menit ya maksimal F-PKS (DR. H.M. GAMARI) Saya tertarik dengan usulan bu Agatha untuk mengundang owner TV swasta termasuk juga TVRI barangkali hanya kalau mereka kita dengar pendapat dan pandangannya nggak masalah tapi ketika kita membuat regulasi mereka kita libatkan, pasti nggak bakal selesai ini regulasi oleh sebab itu begini, saya justru ingin mengusulkan balikkepada KPI tolonglah buat design sistem penyiaran nasional kita seperti apa ya lalu kemudian kami nanti akan menggunakannya sebagai bahan penyempurnaan Undang-Undang Penyiaran kami bisa menggali informasi dari beberapa tempat gitu ya tapi kalau mereka kita libatkan menyusun, yakinlah itu nggak bakal jadi karena sudah terbukti di masa yang lalu itu oleh sebab itu PR buat teman-teman KPI, tolong buat konsep itu, konsep mengenai grand design penyiaran nasional seperti apa lalu kemudian sampaikan ke kami untuk kemudian kami gunakan sebagai bahan penyempurnaan RUU Penyiaran. Terima kasih pak Ketua.
KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Masih ada? Pak Hanafi?, Baik bapak ibu sekalian, tidak terasa kita mulai tadi 10.30 sekarang jam 16 30 berapa jam itu ya 6 jam tapi untuk pertemuan pertama okelah ya 6 jam apalagi ini pertemuan 2 lembaga dan ya mudahmudahan, walaupun kita menghabiskan waktu cukup panjang tapi ada hal-hal yang penting, yang signifikan yang akan kita sepakati untuk kita tindak lanjuti bapak, Ibu sekalian satu hal penting yang perlu kita apa, keep our minded bahwa sekarang kita bicara dengan LSF, ini hanya subsistem saja dari sistem perfilman nasional kita bicara dengan KPI yang ya curhatnya, ya kami ini hanya dibatasi pada pengawasan oke lah eksistingnya begitu, begitu ya tapi ini hanya satu subsistem saja dari sistem penyiaran nasional mau tidak mau kita memang akhirnya harus juga berbicara lebih kontekstual, bagaimana sistem perfilman nasional, bagaimana industri perfilman nasional, bagaimana misi perfilman nasional saya tadi ketika teman-teman LSF bicara begitu, saya sedang berimajinasi kalau saya sebagai Presiden Jokowi pulang dari Brisbane itu, Brisbane atau mana Brisbane saya paparkan konsep Indonesia sebagai negara maritim ya , one saya tiba di Jakarta yang pertama saya udang adalah semua stakeholder perfilman saya katakan saya punya ide, Indonesia harus menjadi negara maritim, dan saya ingin anda mengkomunikasikan ini bukan hanya ke Indonesia tetapi ke seluruh dunia, so what can of ideas kira-kira begitu film apa yang perlu kita buat dan setelah banyak gagasan itu saya akan undang semua Kementerian Kemhan, TNI bikin film lah tentang bagaimana patriotisme Angkatan Laut Indonesia sehingga orang cinta dengan kapal perang, kirakira begitu ya ya mungkin kita perlu filmkan lagi itu film Gajahmada, Majapahit ya, bagaimana 400 armada kapal dagangnya dan sekian ratus armada kapal perangnya begitu sehingga ya memang film danTV itu menjadi tulus ya dalam kita mendesiminasi ide dalam kita mensosialisasikan gagasan sehingga apa yang menjadi tujuan film dan penyiaran itu betul-betul terwujud Saya sedih juga kalau kemudian kita bicara sistem penyiaran, sistem apa namanya perfilman tapi setiap kali kita rapat kita hanya bicara bagaimana motong film, bagaimana nyemprit dan mengeluarkan teguran, tidak banget gitu loh, kira-kira gitu. Masa kita negara besar lalu kita hanya berbicara hal-hal yang sebenarnya kalau sistemnya sudah jelas, arahnya sudah jelas, pekerjaan ini akan menjadi semakin kecil gitu ya. Banyaknya pelanggaran karena memang kita tidak punya sistem yang kita tegakkan kira-kira begitu, dan cerminan itu sehari-hari kita temukan di jalan raya. Jadi sampai-sampai Polisinya ikut pusing dan ikut menjadi aktor-aktor yang melanggar juga. Itu cerminan dan saya kira ini yang harus kita ubah, saya bersyukur teman-teman di Komisi I DPR RI ini walaupun baru tapi terlihat punya atensi dan ide-ide yang penting untuk kita. Kemudian Bapak Mukhlis terkait surat Presiden mengenai calon Anggota LSF ya, sedang kami pelajari memang, sedang kami bahas dan kami juga konsultasikan dengan Pimpinan Dewan, karena harus ada sinkronisasi dulu ya. Kami di sini di Komisi I DPR RI tetapi di Undang-Undang Perfilman yang memproses itu adalah Kementerian yang bukan mitra Komisi I DPR RI, ini sedang kita kaji termasuk juga kami menerima sejumlah aduan dari masyarakat, masukan dari masyarakat itu juga sedang kami pelajari ya. Dan untuk KPI memang RUU Penyiaran yang diproses pada periode lalu tidak selesai, kalau di DPR tidak ada sistem carry over, jadi memang begitu periode baru ini harus dimulai proses dari nol ya, yaitu konsekuensi yang ada yang harus kita jalani dan saya sudah seing dan kita sekarang mendengar lagi gagasan dari KPI untuk bagaimana memperkuat kelembagaan dan juga kewenangan ya. Tetapi pesan orang tua kita dulu ya apa yang tak bisa dijangkau semua jangan ditinggalin semua, yang ada maksimal saja dululah sampai nanti Undang-Undang nya memberikan kita kewenangan yang lebih tegas dan jelas ya. Itu beberapa catatan penting dan izinkan saya di meja pimpinan untuk mengusulkan 2 point saja kesimpulan dari RDPU kita ini, tidak usah banyak tetapi yang bisa kita tindaklanjuti, yang pertama Bapak/Ibu sekalian saya bacakan rancangan kesimpulan RDP kita. 1. Komisi I DPR RI akan melakukan kajian terhadap Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran khususnya terkait dengan kelembagaan Lembaga Sensor Film (LSF) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk selanjutnya dilajutkan dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas 2015-2019. Saya jelaskan kenapa melakukan kajian, karena memang ini tahapan di dalam proses penyusunan perundang-undangan, tahap pertama adalah kajian, kajian hukumnya walaupun untuk Undang-Undang Penyiaran kajiannya sudah ada, tinggal buka lagi hasil kajiannya, karena teman-teman di sini banyak yang baru di Komisi I DPR RI. Untuk Undang-Undang Perfilman kami baru terima naskahnya, teman-teman juga pasti nanti butuh waktu untuk kita dalami lagi. Itu yang pertama Bapak/Ibu sekalian, yang kedua Komisi I DPR RI meminta LSF dan KPI untuk meningkatkan kordinasi terkait dengan proses sensor terhadap film dan ilkan yang ditayangkan di lembaga penyiaran, karena tadi kordinasi sudah ada walaupun masih ada beberapa perbedaan-perbedaan Komisi I DPR RI meminta 2 lembaga ini meningkatkan kordinasi. Dan ini di luar rumusan ini saya pikir salah satu look hole-
nya untuk mengatasi itu perlu dikaji bersama antara LSF dan KPI mengenai peraturan Lembaga Sensor Film Nomor 1 Tahun 2014 di Pasal 25 Ayat (5) isinya saya bacakan salah satunya penyensoran terhadap rekaman video atau cakram optik isi untuk ditayangkan melalui lembaga penyiaran televisi, selain mempergunakan pedoman dan kriteria penyensoran sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang LSF, juga memperhatikan pedoman penilaian penyiaran dan standar program siaran atau P3SPS aplikasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Ya ini masalah Semantik saja, kalau di atas menggunakan pedoman kriteria penyensoran, tapi berikutnya adalah juga memperhatikan istilah memperhatikan itu ya setelah diperhatikan boleh diacu boleh tidak, kira-kira begitu. Dan kalau nanti 2 lembaga ini duduk lagi, bahkan barangkali ada kesepakatan baru dan kita mendorong itu, bahwa untuk film atau iklan yang nanti ditayangkan di lembaga penyiaran, di TV misalnya itu memang kalau menggunakan pedoman dan kriteria penyensoran LSF dan juga menggunakan P3SPS, jadi ada 2 pedoman yang digunakan. Jadi bukan yang satu digunakan, yang satu diperhatikan. Mungkin ini bisa menjadi bahan diskusi dan kordinasi 2 alat lembaga ini. Itu rumusan 2 rumusan kesimpulan yang kami usulkan. Saya minta pandangan dulu dari Bapak dan Ibu Anggota ya Pak elnino. F-GERINDRA (ELNINO M. HUSEIN MOHI, ST, M.SI): Ya, mungkin ditambah sedikit Pak, bahwa entah dalam tahapan apa itu ya, apakah dalam kajian atau dalam tahapan apa di Komisi I DPR RI, yang perlu untuk mengundang kembali kedua lembaga ini untuk entah dalam kajian kita atau dalam pembahasan RUU-nya atau apanya gitu, supaya bisa lebih baik untuk hasilnya itu. Terima kasih. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Yang lain? Pak Sukamta, siapa tadi Ibu Raisita dipanggilnya siapa? Zul Brainner Mr. Brainner ada? Cukup. Pak Gamari? pak Joko? cukup. Dari LSF dulu ada usulan tambahan? cukup. KPI? KETUA KOMISI PENYIARAN INDONESIA (YUDHA RIKSAWAN) : Pak, kalau boleh yang kedua ditambahkan dan proses pengawasan, karena kami KPI tidak melakukan sensor Pak. Terima kasih. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Ya. KETUA KOMISI PENYIARAN INDONESIA (YUDHA RIKSAWAN) : Sama editan saja itu Pak Ketua, "DPR RI minta", "DPR RI meminta". KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Ya silakan Bapak Fajar. KPI (FAJAR) : Mohon izin Bapak Ketua, nomor satu setelah dikaji kami mohon penguatan kelembagaan, jadi penguatan kelembagaan LSF dan KPI. Melakukan kajian penguatan kelembagaan, inikan substansinya adalah menguatkan LSF dan KPI. Terima kasih. KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Pak, yang minta dikuatkan bukan cuma KPI, tentang penyiaran khususnya terkait dengan penguatan kelembagaan LSF dan.... Oke, ya. Ada lagi dari KPI? Baik, kalau sudah cukup, Bapak/Ibu cukup ya? Baik, Pak Biem silakan. F-GERINDRA (H. BIEM TRIANI BENJAMIN, BSC., MM.): Ingin menanyakan saja Pak Ketua, Kemarin kan kita harus menyampaikan draft ke Baleg tentang Prolegnas, itu apakah sudah masuk atau belum?, karena memang ini sesuatu yang baru tentang perfilman yang harus kita usulkan, kalau kemarin kan belum ada, kalau penyiaran iya sudah ada. Terima kasih.
KETUA RAPAT (DRS. MAHFUDZ SIDDIQ, M.SI.) : Mengenai usul Komisi I DPR RI untuk Prolegnas 2015-2019 itu belum kita ajukan, karena kita masih menunggu saudara-saudara kita yang sebentar lagi akan datang. Dan kenapa kita perlu sedikit mengelus-elus 2 TV berita, maksudnya supaya mereka tidak berantem terus kita jadi ikut tambah panas di sini. Begitu Pak Idi ya, it's politic ya. Baik, kalau tidak ada lagi Bapak dan Ibu sekalian ini menjadi dua kesimpulan kita dan Insya Allah dalam waktu dekat Komisi I DPR RI akan mengajukan usul Komisi I DPR RI untuk penyusunan program legislasi nasional. Nah, mudah-mudahan nanti kajian Komisi I DPR RI kalau memang dilihat disimpulkan ada hal-hal yang signifikan perlu revisi Undang-Undang Perfilman ini juga akan ikut kita ajukan. Kita sepakati ya? (RAPAT SETUJU) Alhamdulillahirrabil'alamin. Akhirnya kita bisa selesaikan Rapat Dengar Pendapat kita pada hari ini. Saya sedikit buka rahasia sengaja rapat ini saya agak panjang-panjangin, karena memang kita agak minim rapat sekarang Pak. Kita ngundang menteri ya kita sudah siapkan catering yang terbaik yang ada di Indonesia pun sudah kita hadirkan di sini, tapi ternyata tiba-tiba menterinya berhalangan hadir dengan alasan yang rada gagap juga disampaikan. Jadi kebetulan LSF mau hadir ya kita perpanjanglah biar pulang ke rumah kita ditanya anak "Pak, habis rapat ya?" "iya", sehingga nanti tanggal 1 kita gajian ada alasan bahwa kita sudah rapat. Baik, terima kasih banyak kami apresiasi dan kita berikan applause untuk KSF dan KPI dan terima kasih banyak dan Insya Allah Pak Biem saya mengusulkan memang ke Sekretariat nanti kita membentuk tim untuk melakukan kunjungan kerja lapangan ke LSF dan ke KPI. Biar teman-teman nanti bisa lihat langsung bagaimana teman-teman LSM bekerja, catatannya satu tidak boleh bawa pulang potongan film yang disensor yah. Biar kita tahu perangkat teknologi yang digunakan seperti apa gitu ya, sehingga kita nanti bisa lebih tepat menyikapi termasuk apa namanya KPI. Mungkin kalau Pimpinan harus menseleksi anggota yang ke KPI, kami mohon maaf disesuaikan dengan bobot dan kemampuan biar tidak goyang gedungnya ya, atau diatur Pak Gamari boleh naik setelah yang lain turun. Terima kasih banyak, sekali lagi Rapat Dengar Pendapat ini kami tutup. Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. (RAPAT DITUTUP PUKUL 16.36 WIB) Jakarta, 17 November 2014 a.n Ketua Rapat SEKRETARIS RAPAT, ttd. SUPRIHARTINI, S.IP. NIP. 19710106 199003 2 001