DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT (RDP) KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : 2010-2011 Masa Persidangan : II Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Dirut LPP TVRI, dan Dirut LPP RRI Sifat Rapat : Terbuka Hari/Tanggal : Senin, 6 Desember 2010 Waktu : 14.00 WIB Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1 DPR RI Ketua Rapat : Tubagus Hasanuddin, S.E., MM., Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sekretaris Rapat : Suprihartini, S.IP., Kabagset. Komisi I DPR RI Acara : Memberikan Masukan terhadap Perubahan atas UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Hadir : 1. .... orang dari 48 orang Anggota Komisi I DPR RI 2. a. Ketua KPI Pusat, Dadang Rahmat Hidayat b. Dirut LPP TVRI, Dra. Immas Sunarya, MM c. Dirut LPP RRI, Rosarita Niken Widiastuti beserta jajaran Jalannya Rapat: KETUA RAPAT (TUBAGUS HASANUDDIN, S.E., MM./F-PDI PERJUANGAN): Bapak dan Ibu yang saya hormati. Yang saya cintai rekan-rekan Komisi I, kemudian Dirut LPP TVRI beserta jajarannya, Ketua KPI beserta jajarannya, kemudian Dirut LPP RRI juga beserta jajarannya. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Merupakan kehormatan pada siang ini, kami dari Komisi I bisa bertemu dengan Bapak dan Ibu sekalian. Kemudian Rapat Dengar Pendapat ini merupakan kelanjutan kami di dalam mencari informasi-informasi atau saran-saran yang diperlukan dalam rangka revisi UndangUndang Penyiaran yang sedang kami akan segera selesaikan. Beberapa hari yang lalu, kami pernah juga berbicara dengan, antara lain misalnya Asosiasi Televisi Swasta Indonesia, kemudian Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), kemudian Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, dan lain-lain pada tanggal 2 Desember. Pada hari ini kami mengundang Bapak dan Ibu dari Komisi Penyiaran Indonesia, Lembaga Penyiaran Publik TVRI, dan juga RRI, tentu untuk memberikan masukan atas revisi perubahan Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kemudian susunan acara akan diagendakan sebagai berikut: yang pertama, masukan dari Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kemudian nanti akan ada tanya jawab dan terakhir penutup. Jadi tidak ada kesimpulan, kami hanya mendengar, menampung, dan barangkali bertanya. Kemudian nanti akan pertama, saya mohon dengan hormat Bapak Ketua Komisi Penyiaran dulu memaparkannya saran-saran dan usul, kemudian Ibu Direktur Utama TVRI, kemudian dan nanti disusul oleh Direktur Utama RRI. Kemudian kami seluruhnya atas nama Komisi I mengucapkan selamat kepada Ibu Dirut LPP RRI yang konon baru saja dilantik dan masih gress, selamat datang di Komisi I, kemudian selamat bertugas untuk bangsa dan negara. Kemudian selesai ketiga pemapar terakhir, tentu kami akan 1
pendalaman sedikit dan selesai itu penutup. Kami kira itu saja yang akan kita paparkan. Barangkali sampai jam 16.00 itu cukup saya kira sampai jam 16.00. Kalau nanti perlu penambahan kita akan tambah sampai jam 17.00. Saya kira itu saja dan yang pertama saya nyatakan dulu acara ini dibuka. (RAPAT : DIBUKA) Saya persilahkan Pak Dadang, masih tetap Pak Dadang ya namanya? Untuk memulai ya saran-saran, usulan apa saja dari KPI, terima kasih Pak, kami persilahkan. KETUA KPI PUSAT (DADANG RAHMAT HIDAYAT): Baik, terima kasih. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Yang saya hormati Pimpinan Komisi I beserta para Anggota Komisi I yang kami hormati, rekan-rekan Komisioner KPI pusat, rekan-rekan dari TVRI, Linmas, dan kawan-kawan dan (suara tidak jelas) dan kawan-kawan dari RRI. Pimpinan, tadi kalau menanyakan saya masih Pak Dadang, kalau di sini masih Pak Dadang, tapi kalau di tempat kami sudah ganti Pak, jadi KD Pak saya itu, bukan Krisdayanti, tapi Kang Dadang, teman-teman dipanggil. Baik, terima kasih atas waktu yang diberikan kepada kami. Kami ingin menyampaikan usulan revisi Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Untuk pembuatan urusan revisi ini, kami sengaja membuat tim yang terdiri dari beberapa teman dari KPI pusat, KPI daerah, kemudian beberapa tim ahli dari yang lain-lain, dan mudah-mudah-mudahan ini juga bisa memberikan masukan yang berarti bagi perubahan Undang-Undang 32 Tahun 2002, yang pertama. KETUA RAPAT: Sebentar, Staf Komisi I sudah ada ya? Kemudian dari Tim ini ya Setjen sudah ya? Baik. KETUA KPI PUSAT: Terima kasih Pak. Dasar dari usulan kami ini, pertama kami ingin sampaikan landasan filosofisnya saja, yang kita lihat bahwa reformasi sistem ketatanegaraan dan amandemen UUD 1945 yang dikaitkan dengan demokratisasi, yang pertama adalah ciri negara demokratis pada modern state authority inventing government meninggalkan paham Trias Politica, ini pandangan filosofis yang tentu mudah-mudahan bisa dipahami bersama. Kemudian meminimalisasi intervensi, ini mohon maaf bahasanya sangat, ini intervensi pemerintah terhadap ranah publik. Mengembalikan urusan-urusan publik kepada publik, dimana kita ketahui bahwa penyiaran ini adalah betul-betul masalah publik, karena menggunakan ranah publik, dalam hal ini frekuensi. Penyiaran adalah domain publik, dimana spektrum frekuensi radio dan man stakeholder-nya adalah publik. Oleh karena itu, demokratisasi penyiaran berbasis diversity of ownership dan diversity of content, keberagaman kepemilikan dan keberagaman isi. Berikutnya adalah landasan normatif. Barangkali ini hanya menambahkan BapakBapak dan Ibu-Ibu Komisi I sudah sangat paham tentang ini, lanjut saja. Kemudian ini landasan sosiologi yang kami alami dalam beberapa lama di KPI, baik di KPI pusat maupun di KPID-KPID Indonesia. Pertama, masih ada permasalahan tentang KPI seolah-olah tidak berwenang membuat Peraturan Pelaksana Undang-Undang. Ini pernah ada debat tentang ini. Oleh karena itu, mungkin barangkali kami berharap nanti dalam revisi ini sangat tegas dijelaskan. KPI kemudian tidak memiliki legal standing dalam beberapa hal. Kemudian KPI dinegasikan kewenangannya oleh Peraturan Pemerintah. Ada 8 Peraturan Pemerintah yang sebetulnya menurut pandangan kami sudah menegasikan kewenangan-kewenangan KPI yang ada di dalam Undang-Undang 32 Tahun 2002. Kemudian juga ada anomali lain, dimana KPI hanya mengatur isi siaran. Ini menjadi masalah sebetulnya, seolah-olah bahwa memang menjadi fokus KPI, tapi
2
sesungguhnya akan menjadi masalah pada saat nanti KPI menegakan kewenangannya di bidang isi siaran. Oleh karena itu, isu krusial yang kami usung dalam perubahan revisi undang-undang ini, pertama adalah komitmen atas prinsip keanekaragaman isi siaran (diversity content) dan keanekaragaman kepemilikan atau diversity ownership melalui penguatan atas pengaturan terhadap Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Kemudian yang kedua, penguatan hak publik atas pengawasan dan peningkatan mutu isi siaran melalui penguatan secara penuh kewenangan KPI dalam mengatur, mengawasi, dan memberi sanksi administratif atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Kemudian penguatan hak publik atas pengawasan terhadap pemindahtanganan ijin penyelenggaraan penyiaran dan kepemilikan lembaga penyiaran dalam satu wilayah siaran. Ini tampaknya menjadi masalah penting, karena perubahan kepemilikan sepertinya tidak tersentuh atau kalaupun ada dimasalahkan tidak bisa dibuktikan dan segala macamnya. Kemudian yang berikutnya, penguatan kelembagaan KPI dari sisi kewenangan integral dalam pengaturan tentang infrastruktur penyiaran dan perijinan yang tidak dapat dipisahkan dengan kewenangan isi siaran. Yang kelima, ini menjadi masalah pokok juga di dalam beberapa diskusi dan masukan dari beberapa pihak, yaitu penguatan kelembagaan KPI dari sisi internal. Melalui pengaturan yang lebih jelas tentang hubungan hirarkial atau struktural dan kewenangan KPI pusat demikian KPI daerah. Kemudian juga terutama dirasakan di KPID-KPID kedudukan komisioner terhadap kesekretariatan. Kemudian penegasan bahwa status komisioner adalah bagian atau disamakan dengan pejabat negara. Ini kenapa kami sampaikan, sebetulnya bukan sekedar kami meminta kedudukan pejabat negaranya, tetapi karena memang ketidakjelasan di dalam Undang-Undang, terutama kalau di KPID, KPID itu terasa sekali untuk bicara tentang hak untuk kaitan dengan kewenangan itu, misalnya penyebutan hak untuk perjalanan dinas saja, misalnya ini juga tidak jelas, apakah kalau di pemerintahan kan, di sistem administratif mengenal perjalanan dinas untuk golongan berapa, eselon berapa. Nah, beberapa daerah itu bingung, komisioner ini kedudukannya, level-nya seperti apa, sehingga implementasi dukungan administratifnya pun juga menjadi masalah, serta pengaturan anggaran tersendiri dan bersifat nasional untuk memaksimalkan kinerja lembaga. Sampai saat ini anggaran kita masih nomenklaturnya berada di bawah Kementerian Kominfo. Kemudian yang berikutnya adalah penguatan dasar hukum peraturan KPI dalam mengatur hal-hal yang terkait dengan regulasi penyiaran. Nomor 7 memperjelas hubungan antar lembaga terkait dalam pengaturan tentang penyiaran, misalnya hubungan antara KPI dengan Pemerintah, KPI dengan Dewan Pers, serta KPI dengan Lembaga Sensor Film. Kemudian isu yang terakhir adalah respon terhadap perkembangan teknologi multimedia yang berpengaruh secara langsung terhadap struktur dan bisnis penyiaran. Substansi pokok usulan kami. Yang pertama, bidang infrastruktur, KPI melakukan fungsi mengatur infrastruktur penyiaran. Yang kedua, ijin dan perpanjangan ijin diberikan oleh KPI setelah memperoleh ijin alokasi frekuensi dan ijin stasiun radio dari pemerintah. Ketiga, tata cara dan persyaratan perijinan ditetapkan dengan Peraturan KPI. Yang ke empat, forum rapat bersama. Forum rapat bersama ini adalah forum tertinggi dalam proses perijinan antara KPI dengan Pemerintah dapat dilakukan di daerah oleh KPID bersama Pemerintah Daerah dan Balai Monitoring, dimana ketiga lembaga ini merupakan lembaga yang bisa menjadi perwakilan, bisa diberikan kewenangannya oleh aparatur pusat, baik KPI Pusat, Pemerintah Pusat, maupun Balai Monitoring itu di bawah Dirjen Postel. Kemudian di bidang program. Di bidang program, usulan kami KPI berwenang menetapkan ijin dan peluang usaha berdasarkan format siaran. Isi siaran wajib berdasarkan format siaran yang telah disetujui melalui EDP. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, Ini maksudnya adalah pada saat evaluasi dengar pendapat, Lembaga Penyiaran itu melakukan janji publik di depan kami, baik KPI Pusat maupun KPI Daerah. Mereka yang sudah berjanji dan menandatangani siap mematuhi pedoman perilaku penyiaran dan peraturan perundang-undangan lainnya, ini biasanya bisa kita pegang, cuma masalahnya dalam beberapa hal sampai saat ini ada beberapa lembaga penyiaran yang belum EDP, terutama yang eksisting, karena telah mendapatkan ijin perpanjangan dari Pemerintah tanpa melalui EDP, sehingga tidak bisa kita pegang janjinya.
3
Kemudian perubahan dan/atau penggantian format siaran wajib menyampaikan laporan dan memperoleh persetujuan KPI. Seperti kita ketahui ada beberapa lembaga penyiaran radio dan televisi merubah formatnya, merubah tampilannya dengan berbeda sama sekali dengan keberadaan lembaga penyiaran pada saat awalnya, dan sampai saat ini pelaporanpelaporan tersebut tidak pernah didapatkan oleh KPI atau KPID-KPID. Salah satunya juga kami usulkan adalah salah satu unsur penilaian untuk perpanjangan ijin adalah rekapitulasi teguran KPI. Dimana ada sistem, katakanlah rapor dari lembaga penyiaran jika akan melakukan perpanjangan dinilai sejauhmana mereka patuh terhadap peraturan perundang-undangan. Kemudian di bidang kelembagaan, substansi pokok usulannya. Pertama, status dan kedudukan komisioner sebagai pejabat negara atau setidaknya jelas kedudukan komisioner ini sebagai apa, setidaknya jelas, tapi usulan kami adalah pejabat negara. Kemudian masa jabatan 5 tahun, ini hasil dari Rapat Koordinasi Nasional KPID seluruh Indonesia mengusulkan 5 tahun. Kenapa 5 tahun? Salah satu pertimbangannya adalah ijin penyelenggaraan penyiaran yang paling pendek, yaitu untuk radio itu selama 5 tahun. Untuk televisi itu 10 tahun ijinnya. Kemudian hubungan administratif KPI Pusat dan KPID bersifat struktural, sedangkan hubungan fungsionalnya bersifat koordinatif. Ini tentu ada konsekuensi nanti kalau struktural itu seperti apa. Kemudian KPID memiliki otonomisasi dalam pelaksanaan fungsional berdasarkan pada Peraturan KPI, ini maksudnya bersifat koordinatif dalam konteks fungsinya. Kita tidak ingin meniadakan kekhasan daerah, kita tidak ingin meniadakan ciri-ciri tertentu dari daerah yang mungkin saja sangat penting dilakukan tidak dilakukan sentralisasi, tapi masih menganut desentralisasi dalam konteks fungsionalnya. Ini juga yang memang harus dibicarakan lebih jauh adalah usulan kami tentang anggaran pembiayaan KPI melalui APBN itu tidak ada masalah, karena kalau sudah berjalan pembiayaan Sekretariat KPID dan program KPID oleh APBD, tapi apakah mungkin nanti apabila struktural atau hirarkis apakah mungkin dibiayai seluruhnya oleh APBD, maaf oleh APBN, sehingga tidak ada masalah-masalah yang berdekatan dengan hubungan KPI Pusat dan KPI Daerah atau mungkin juga masalah-masalah yang muncul karena perbedaan operasional fungsi tata kerja dan sebagainya dari KPID-KPID yang berpengaruh kepada kinerja KPI secara keseluruhan. Terakhir, Bapak dan Ibu, rekomendasi dari kami, KPI meminta agar revisi terbatas Undang-Undang Penyiaran tidak mengubah landasan filosofi Undang-Undang Penyiaran yang berlandaskan diversity of content dan diversity of ownership serta menyerahkan urusan publik untuk diatur secara mandiri oleh publik sesuai konsep negara modern dan semangat reformasi. Kedua, KPI meminta agar revisi terbatas mengembalikan hakikat dan peran Komisi Penyiaran sebagai representasi publik yang mengatur urusan publik dalam hal penyiaran. Ketiga, KPI meminta agar revisi menegaskan peran dan fungsi kewenangan Komisi Penyiaran secara holistik sesuai Undang-Undang Penyiaran yang menyatakan secara tegas bahwa lembaga yang mengatur penyiaran adalah Komisi Penyiaran. Keempat, KPI meminta agar revisi didasari atas kepentingan dan partisipasi publik seluas-luasnya, karena penyiaran merupakan ranah publik. Yang kelima, KPI meminta agar revisi dilakukan dengan semangat untuk memperbaiki demokratisasi penyiaran, bebas dari pengaruh kepentingan yang bersifat otoriter maupun liberalistik. Barangkali itu point-point yang ada di dalam naskah akademik maupun usulan draft revisi terbatas Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan pada waktu sebelumnya sudah kami serahkan kepada Komisi I. Barangkali itu saja, terima kasih atas perhatiannya. Wabillaahittaufik Walhidayah, Wassalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih Pak Dadang. Kami persilahkan Ibu Imas, masih juga tetap Ibu Imas namanya. DIRUT LPP TVRI/Dra. IMMAS SUNARYA, MM.: Terima kasih Bapak Pimpinan. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. 4
Selamat sore dan salam sejahtera untuk kita semua. Yang kami hormati Bapak Pimpinan Rapat, Bapak Ibu Anggota Komisi I DPR RI yang kami hormati, Ketua KPI pusat beserta jajarannya, Direktur Utama RRI beserta jajarannya, dan Para Direksi TVRI, serta seluruh peserta rapat yang kami hormati. TVRI sebetulnya bersama-sama dengan RRI telah membentuk tim untuk memberikan masukan kepada Komisi I DPR RI dalam rangka revisi Undang-Undang No. 32 tentang Penyiaran Tahun 2002. Jadi kami telah melakukan rapat bersama masing-masing, baik dari RRI maupun TVRI. Sekilas kami ingin menyampaikan hasil dari Tim Gabungan antara TVRI dan RRI, mungkin nanti Ibu Niken juga akan menambahkan, bahwa hasil dari kami sebagai masukan juga telah sampai kepada Bapak Ibu sekalian, antara lain sebetulnya Lembaga Penyiaran Publik RRI dan TVRI menginginkan ada sebuah undang-undang tersendiri, khusus mengenai UndangUndang tentang Penyiaran Publik. Namun demikian, pada dasarnya kami juga ingin memberikan masukan untuk revisi dari Undang-Undang No. 32 ini. Hasil dari tim ini telah dipresentasikan kepada para tokoh masyarakat, juga kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kominfo. Kami juga mengundang Kementerian Keuangan, BKN, BRTI, Bappenas, dan juga Bapak-Bapak yang terhormat dari Komisi I telah hadir dalam rangka mendiskusikan masukan seperti ini. Baik, yang pertama, kami ingin menambahkan masukan pada point untuk menimbang, kami bacakan saja, bahwa siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan, serentak, dan bebas memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pendapat, sikap, dan perilaku khalayak, maka penyelenggara penyiaran wajib memuliakan harkat dan martabat manusia, serta bertanggungjawab dalam menjaga nilai moral tata susila, budaya, kepribadian, dan persatuan bangsa yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Alasan kami menambahkan hal ini, karena kami ingin bahwa sebagai lembaga penyiaran secara normatif juga merupakan dan mempunyai tanggungjawab moral dalam mendorong kegiatan penyiaran yang menghargai harkat dan martabat manusia. Pencantuman landasan nilai-nilai Pancasila juga untuk mencakup secara keseluruhan aspek penyiaran, agar mewujudkan siaran yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Kami juga pada menimbang menambahkan bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf terdahulu, bahwa penyiaran perlu disempurnakan sesuai dengan kepentingan nasional, perkembangan kebutuhan masyarakat dan kemajuan teknologi penyiaran, karena kami menyampaikan bahwa perkembangan teknologi penyiaran sebuah keniscayaan ke depan harus diantisipasi dalam Undang-Undang Penyiaran. Baik, Bapak-Bapak sekalian, Kami lanjut kepada Bab I dari Undang-Undang No.32 bahwa ada point 2, kami menambahkan di dalamnya adalah mengantisipasi media baru, jadi penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi darat di laut dan di udara dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara kabel dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran dan/atau perangkat penerima lainnya. Ini untuk mengantisipasi media baru. Lalu kami juga menambahkan masukan melalui media baru. Penyiaran media baru adalah penyiaran yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Lalu kami juga membatasi siaran iklan, yaitu siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat melalui penyiaran radio, televisi, dan media baru tentang tersedianya jasa barang dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Bapak, Ibu sekalian, Jadi ada beberapa point di halaman 4, ini tidak saya bacakan seluruhnya, karena sangat banyak. Jadi pada dasarnya kami menyampaikan beberapa gagasan-gagasan, baik untuk mengantisipasi media baru, maupun juga berdasarkan pengalaman empiris yang dihadapi oleh Lembaga Penyiaran Publik. Baik berikutnya Pak, secara langsung saja kami beralih kepada asas, tujuan, fungsi, dan arah. Kami juga pada Pasal 3 menambahkan, penyiaran penyelenggaraan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, memuliakan harkat dan martabat manusia demi terbinanya watak dan jati diri bangsa yang berakhlak mulia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, 5
demokratis, adil, dan sejahtera, menumbuhkan industri penyiaran Indonesia, serta menjaga citra bangsa di dunia internasional. Jadi kami mencantumkan kembali, memuliakan harkat dan martabat manusia untuk mendorong terbinanya watak dan jati diri bangsa yang tentunya kita inginkan. Lalu pencantuman menjaga citra bangsa di dunia internasional, karena kami menyadari bahwa siaran televisi, baik LPP maupun LPP TVRI dan juga RRI, serta siaran televisi swasta sudah bisa diterima oleh negara-negara tetangga dan juga negara-negara yang sampai kepada Arab Saudi, sehingga kami tetap ingin bahwa siaran televisi menjaga citra bangsa di dunia internasional. Lalu di Pasal 14 ini adalah pasal yang khusus mengenai Lembaga Penyiaran Publik, Bapak Ibu sekalian yang kami hormati. Kami juga menambahkan pada Pasal 14 itu adalah pada ayat (1) bahwa Lembaga Penyiaran Publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (11) dan Pasal 13 ayat (2) huruf a adalah Lembaga Negara yang menyelenggarakan penyiaran radio, televisi, dan media baru, yang bersifat independen, netral, non komersial, serta berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Mengapa kami ada penyebutan secara eksplisit mengenai Lembaga Negara, hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan dan mempertegas status Lembaga Penyiaran Publik sesuai dengan kelembagaan yang ada. Jadi ini merupakan penegasan Bapak Ibu sekalian. Lalu kami juga mengusulkan dalam kaitan ini adalah rencana penggabungan kedua lembaga penyiaran publik, sehingga kami mengusulkan nama lembaga penyiaran publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) sebelumnya adalah Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia, jadi nama Republik Indonesia tetap harus melekat kepada lembaga penyiaran publik, karena lembaga penyiaran publik didirikan oleh negara dan bertanggungjawab kepada negara. Mengenai anggaran, kami tetap Pak seperti semula. Kemudian berikutnya adalah usulan dari kami bahwa di dalam Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia itu ada Dewan LPP RI, ini merupakan mengapa ada Dewan Lembaga Penyiaran Publik ini merupakan representasi dari publik yang juga dipilih secara proporsional dan juga profesional, memiliki integritas yang teruji, imparsial, dan mampu berlaku adil. Jadi kami juga mengusulkan namanya Dewan Lembaga Penyiaran Publik, kemudian secara operasional dipimpin seorang Kepala Lembaga Penyiaran Publik. Ini kami sampaikan di sini bagaimana tata cara pemilihan dari Dewan LPP RI dan juga Kepala LPP RI. Sebelumnya mengenai struktur organisasi ini ada di dalam PP 11 dan 13, tetapi sebagai penguatan kami mengusulkan untuk dimasukan ke dalam Undang-Undang Penyiaran. Dan di sini juga kami mengusulkan bahwa pemilihan Kepala Lembaga Penyiaran Publik ini dan para Deputinya sebagai jabatan eksekutif dan profesional ditetapkan oleh Presiden, jadi tidak oleh Dewan LPP atas usul dari Dewan Lembaga Penyiaran Publik. Kemudian hal yang sangat penting juga di sini, karena kami berharap bahwa nantinya Lembaga Penyiaran Publik ini dalam Undang-Undang Keuangan Negara dapat diberikan bagian anggaran tersendiri, sehingga struktur organisasinya juga ada kesekjenan. Mungkin di belakang nanti bisa dilihat bagaimana struktur organisasi yang kami ajukan. Bapak Ibu sekalian, Kami beralih kepada pasal-pasal berikutnya, saya tidak dibacakan seluruhnya. Pasal berikutnya adalah di Pasal 34 dan Pasal 31 di ayat (2) kami ajukan Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia menyelenggarakan siaran dengan sistem stasiun jaringan yang menjangkau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menyelenggarakan siaran luar negeri. Jadi ini adalah penguatan bagi kami sebagia Lembaga Penyiaran Publik bahwa kami mempunyai kewajiban melayani seluruh warga Negara Republik Indonesia atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga bersiaran ataupun menyelenggarakan siaran luar negeri, meskipun oleh RRI sudah dilakukan, namun TVRI baru akan ke depan. Dan yang paling terakhir adalah saya melompat saja ke Pasal 38. ini juga merupakan pembayaran selama ini dari kantong kanan dan kantong kiri. Kami mengusulkan pada UndangUndang Penyiaran bahwa negara membebaskan Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia dari kewajiban membayar biaya penggunaan frekuensi, karena ini juga kami dibayar dari APBN, sehingga sebaiknya supaya tidak masuk dari kantong kanan, keluar dari kantong kiri. Jadi kami mengusulkan saja dalam undang-undang bahwa Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia dibebaskan dari kewajiban. (suara kurang jelas) karena bahasa Indonesia tetap kami usulkan
6
menjadi bahasa yang wajib dan yang paling terakhir di halaman terakhir adalah usulan dari struktur organisasi Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia. Bapak Ibu sekalian, Antara lain demikian usulan-usulan dari kami, masih banyak usulan lain, nanti akan ditambahkan juga oleh Ibu Direktur Utama RRI. Demikian, bila ada kekurangan mohon dimaafkan. Terima kasih. Wassalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih Ibu Imas yang kami hormati. Barangkali yang terakhir akan dilanjutkan oleh Ibu Niken, mohon tidak dibanting itunya ya dan sebelum paparan barangkali semua mengusulkan ada baiknya perkenalan dulu, karena tidak sayang kalau tidak kenal katanya, terima kasih, kami persilahkan Ibu Niken. DIRUT LPP RRI/ROSARITA NIKEN WIDIASTUTI: Terima kasih Bapak Pimpinan. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Salam sejahtera untuk Ibu Bapak sekalian. Yang saya hormati Pimpinan Rapat Dengar Pendapat. Yang saya hormati Bapak Ketua dan Anggota Komisi I DPR RI yang kami muliakan. Yang saya hormati Ketua KPI beserta jajaran, Ibu Dirut TVRI beserta jajaran. Perkenankan kami memperkenalkan diri, memang betul kami masih gress, belum ada dua bulan Bapak, masih satu setengah bulan ada pergantian Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik RRI, kemudian terpilih Dewan Direksi. Kalau pada periode 5 tahun terakhir, Dewan Direksi Lembaga Penyiaran Publik RRI ada 5 orang, sekarang ini kami ada 6 orang. Kami perkenalkan, di sebelah kiri saya adalah Pak Dadi Sumihadi, Direktur SDM dan Umum, di belakang ada Pak Anhar Ahmad, Direktur Keuangan, kemudian Pak Erik Hermawan, Direktur Teknologi dan Media baru, serta saya sendiri, Niken Widiastuti, tadinya Direktur Program Produksi, kemudian Direktur Keuangan, sekarang syukur alhamdulillaah saya dipercaya menggantikan Bapak Parni Hadi menjadi Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik RRI. Dua Direktur saat ini sedang berada di luar negeri, perlu kami sampaikan Bapak, bahwa RRI membuka studio produksi luar negeri, yaitu di Hongkong, Korea, Jepang, Malaysia kemudian Brunei Darussalam juga Arab Saudi. Ini adalah memberikan pelayanan informasi dan advokasi, khususnya untuk Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri, karena seperti di Hongkong ini ada 150 ribu Nakerwan, memang kebanyakan mayoritas Tenaga Kerja Wanita dan mereka sangat membutuhkan informasi, terlebih dari itu advokasi, karena berbagai permasalahan dan RRI melalui Pro-3 menyelenggarakan siaran dari 7 negara, kebetulan 2 Direktur sedang menyelenggarakan siaran di luar negeri. Bapak Ibu sekalian yang saya hormati, Menambahkan apa yang disampaikan oleh Ibu Immas, Dirut TVRI, bahwa Lembaga Penyiaran Publik RRI bersama TVRI memang sudah bersinergi dan hasil ataupun draft yang kami sampaikan kepada Bapak Ibu, ini adalah hasil diskusi dari RRI dan TVRI. Jadi tidak ada perbedaan antara yang disampaikan oleh Ibu Imas Sunarya dengan apa yang dilakukan oleh RRI, karena RRI dan TVRI draftnya hanya satu Bapak dan sebetulnya ini merupakan tindak lanjut dari keinginan Bapak Ibu Komisi I DPR RI pada RDP setahun yang lalu, bahwa RRI, TVRI ada wacana untuk penggabungan, namun penggabungan yang ada di dalam revisi UndangUndang Penyiaran ini adalah penggabungan operasional, seperti yang tertera di dalam struktur organisasi, bahwa RRI dan TVRI bukan melebur, RRI tetap eksis sebagai RRI, TVRI tetap eksis sebagai TVRI, namun ada hal-hal yang intersection, yaitu ada hal-hal yang bisa disinergikan, diantaranya adalah mengenai teknologi, kemudian juga SDM, seperti yang tertera di dalam struktur organisasi, dimana ada Deputi Teknologi dan Pengembangan serta Deputi Siaran Internasional dan Media Baru. Mengacu pada Lembaga Penyiaran Publik di luar negeri, di sana pun tetap ada perbedaan untuk radio maupun televisi, tapi ada hal yang bisa disatukan. Oleh karena itu, saat ini RRI TVRI sudah merintis ke arah tersebut, yaitu penggunaan peralatan, khususnya tower TVRI, 7
ini RRI ikut memanfaatkan tower yang ada di TVRI. Kemudian Puslitbang Diklat RRI juga dimanfaatkan oleh TVRI. Jadi selama ini RRI TVRI memang sudah ada training yang bersamasama, yaitu di Multimedia Training Centre di Yogya, dimana siswa atau mahasiswa dari MMTC ini adalah dari RRI maupun TVRI dengan materi pelajaran yang sama. Jadi karyawan RRI bisa mengoperasikan peralatan TVRI, demikian juga TVRI bisa mengoperasikan atau membuat program-program radio. Jadi perintisan ke arah sana memang sudah ada dan di dalam revisi undang-undang ini sudah tertera di dalam struktur organisasi Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia. Kemudian yang kami mohonkan kepada Bapak Ibu Komisi I DPR RI yang terhormat, bahwa revisi Undang-Undang Penyiaran yang akan segera dilaksanakan ini, kami mohon bisa memperkuat kelembagaan RRI maupun TVRI, karena pada kenyataannya saat ini RRI TVRI dalam posisi Lembaga Penyiaran Publik seperti sekarang ini masih ada hal-hal yang sangat mengganjal atau menjadi permasalahan utama, yaitu RRI TVRI belum mendapatkan bagian anggaran sendiri dan pembina kepegawaian sendiri. Hal ini akan menyulitkan bagi RRI maupun TVRI, karena RRI saat ini anggaran berada di bawah Departemen Keuangan, kemudian pembina kepegawaian juga dari Departemen Keuangan, sedangkan TVRI pembina kepegawaian ada di Departemen atau Kementerian Komunikasi dan Informatika. Nah, adanya revisi ini kami mohon dengan sangat, supaya RRI dan TVRI bisa mendapatkan bagian anggaran sendiri, kami sudah melakukan pengkajian yang mendalam, karena ada lembaga yang ternyata bukan kementerian, bukan lembaga non struktural, tapi memiliki bagian anggaran sendiri, yaitu BP Batam, ini bisa dimungkinkan untuk mendapatkan bagian anggaran sendiri. Oleh karena itu, kami mohon dukungan bantuan dari Bapak Ibu Anggota DPR agar di dalam pasal-pasal revisi Undang-Undang Penyiaran ini bisa dikuatkan kelembagaan RRI untuk mendapatkan bagian anggaran sendiri maupun pembina kepegawaian sendiri. Saya kira itu tambahan dari kami dan kami berharap mudah-mudahan usulan dari kami ini bisa diterima dan bisa masuk di dalam pasal-pasal ataupun ayat-ayat revisi Undang-Undang Penyiaran. Sekian, terima kasih. Wassalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih Ibu Niken. Dan sampailah kita pada sesi tanya jawab dan mohon nanti, baik Staf Ahli maupun Staf dari Setjen membantu mencatatkannya. Saya persilahkan dari sebelah kanan dulu, barangkali ada yang mau bertanya? Sebelah kiri Pak Dadoes, Ibu Nurhayati, Pak Tantowi, kemudian Pak Helmy, nanti menyusul 4 dulu barangkali , nanti kita lempar lagi. Saya persilahkan Pak Dadoes.
hormati,
F-PDI PERJUANGAN (Ir. DADOES SOEMARWANTO, M.Arch.): Terima kasih Pimpinan. Bapak-Bapak Ibu Anggota Komisi I dan Bapak Ibu dari KPI, TVRI, dan RRI yang saya
Pertama-tama, saya ingin kejelasan dari tim TVRI dan RRI ini yang setelah menyusun usulan revisi ini, karena kami menerima dua usulan yang berbeda. Yang satu, usulan tertanggal 19 November, yang satu tanggal 24, dimana dua ini ada perbedaan isi yang sangat esensi, terutama berkaitan dengan kelembagaan. Yang satu berkas setiap halaman ditandatangani oleh ada beberapa paraf di situ, sedangkan yang satu lagi hanya diparaf oleh satu paraf saja. Ini perlu kejelasan dulu yang mana dari dua usulan ini? Karena nomornya sama, tanggalnya berbeda. Kami mohon dari RRI atau TVRI menjelaskan dulu kenapa ada dua yang sampai ke meja saya yang berbeda isinya. Terima kasih Pak. KETUA RAPAT: Terima kasih. Ibu Nurhayati kami persilahkan. 8
RRI.
F-PD (DR. NURHAYATI ALI ASSEGAF, M.Si.): Terima kasih Pimpinan. Bismillaahirrahmaanirrahiim. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Yang kami hormati dan banggakan Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR RI. Yang saya hormati dan banggakan para Pimpinan dan jajaran dari TVRI, KPI, dan
Dan saya mau kasih selamat, karena saya bangga sekali, ternyata dari Lembaga Penyiaran Publik RRI, Ibu Niken perempuan dan Ibu Imas dari TVRI. Jadi memang membanggakan ini Komisi I ini punya perempuan-perempuan yang memang kapasitasnya sangat membanggakan. Tepuk tangan dong buat dua perempuan yang hebat dan bersuara indah katanya, memang penyiar-penyiar ya jadi luar biasa ini, itu potensi yang luar biasa, anugerah dari Allah yang luar biasa memang perempuan mempunyai kelebihan-kelebihan yang patut membanggakan, banyak kelebihannya. Baik, saya senang sekali ya, bahwa inisiatif ini ada keinginan merevisi Undang-Undang Penyiaran. Dan saya juga berharap ke depannya tidak hanya Undang-Undang Penyiaran, tapi juga Undang-Undang Pers ya. Jadi kita mungkin bisa melakukan yang sama untuk revisi Undang-Undang Pers, karena saya pikir itu satu dan lain sangat terkait erat. Kemudian kalau saya boleh sarankan, sekarang ini kan kita tahu dengan adanya globalisasi, TVRI, RRI juga didengar bisa dari negara-negara lain, misalnya kemarin kita di Kamboja bisa mendapat siaran TVRI langsung, kemudian RRI juga sudah lebih jauh jangkauannya. Nah, ini mohon juga diperhatikan, kalau misalnya dalam kebijakan-kebijakannya ya itu lebih menjual Indonesianya begitu, jadi kental, nasionalis, banyak artinya ke-Indonesiaannya. Kemudian yang kedua, karena sekarang ada dua orang perempuan yang membanggakan, saya berharap bahwa di siaran-siaran itu kalau misalnya punya 4 narasumber itu ditulis saja harus, jadi tidak bias gender lagi, jadi harus mewakili, kalau ada 4 narasumber itu paling tidak 2 atau 1 itu perempuan, itu buat kebijakan gitu ya, supaya jangan hanya Pimpinannya, pucuk Pimpinannya perempuan, tapi yang dibawa tetap saja implementasinya tetap saja perempuan. Politisi banyak sekarang perempuan. Jadi kalau boleh butuh politisi dari Komisi I, banyak juga yang perempuan, Komisi II, dan lain sebagainya. Jadi ini mohon bisa diinikan, karena ke depannya untuk revisi Undang-Undang Penyiaran ini, tadi saya katakan bahwa berkaitan dengan Undang-Undang Pers, jadi segera supaya kaitannya erat sekali. Kemudian tadi ada permintaan bagaimana kalau penyiaran publik ini punya untuk tersendiri. Nah, ini juga tidak ada tadi kita lihat dari paparannya terungkap itu. Kalau misalnya ada keinginan begitu, ya mohon bisa diutarakan, itu saja dari saya Ketua, kurang lebihnya mohon maaf. Wabillaahi taufik Walhidayah, Wassalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih Ibu. Pak Tantowi, kemudian nanti Pak Helmy ya. F-PG (TANTOWI YAHYA): Terima kasih Pimpinan. Selamat sore Pimpinan dan Anggota Komisi I yang terhormat. Selamat sore rekan-rekan dari KPI, kemudian Lembaga Penyiaran Publik TVRI, dan RRI. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita semua. Sebelum saya bertanya, saya ingin men-share berita gembira buat kita semua bahwa Bapak Rahmat Gobel selaku Ketua Ocean Sea Games ke XXVI 2011 di Palembang, melalui berbagai upaya dan tidak mudah meyakinkan Anggota Ocean lainnya, akhirnya menetapkan tanpa proses tender dan seterusnya, Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan RRI sebagai official broadcast Sea Games 2011. Jadi ini adalah suatu upaya nyata keberpihakan kepada LPP di tengah serbuan dari Lembaga Penyiaran Swasta yang menginginkan hak serupa, karena 9
walaupun bagaimana nilai komersialnya tetap ada dan ini adalah kita anggap sebagai exercise nyata bagi Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan RRI menjelang penyatuan yang tadi sudah diwacanakan akan baik oleh TVRI maupun RRI, demikian beritanya. Berita selanjutnya, ya saya ingin bertanya kepada Pak Dadang ya, tadi anda menyebut mengenai sekarang suara sebagai Anggota DPR ini, pemberlakuan masa berlaku ijin IPP ini Pak Dadang, IPP televisi dan radio, tadi anda menyebut bahwa radio itu 5 tahun, sedangkan televisi 10 tahun. Tolong Pak jelaskan kenapa harus berbeda? Kenapa tidak disamakan saja, misalnya 5 tahun? Dan ijin itu memang tidak harus berlaku selamanya, seperti sekarang yang berlaku, ijin itu harus ada masa berlaku, setelah berakhir, maka ijin tersebut harus dikembalikan kepada negara, bisa kepada Kemkominfo ataupun kepada KPI sesuai dengan amanat undang-undang dan pemerintah dalam hal ini bisa juga atau tepatnya memegang hak untuk memperpanjang atau tidak ijin yang diberikan kepada lembaga penyiaran tersebut, tolong dijelaskan Pak Dadang. Kalau saya, menurut saya kenapa tidak disatukan saja? Unless anda mempunyai semacam alasan yang sangat kuat, kenapa lembaga penyiaran ini harus berbeda jangkanya? Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, Pak Dadang tadi saya harapkan membawa suatu isu yang belum pernah kita bahas sebelumnya. Mengenai pembatasan, kita kan sudah mengenal bahwa siaran niaga, baik di televisi maupun di radio harus dibatasi. Kalau tidak salah itu 20% betul Pak Dadang ya? Tapi kita lihat sekarang ini terjadi pembiaran yang menjadi-jadi sesungguhnya. Kalau kita lihat sekarang ini siaran-siaran televisi khususnya yang sangat diminati pemirsa alias yang mempunyai rating tinggi, itu konten iklannya itu lebih dari 20%, saya berani taruhan. Malah ada satu acara televisi itu yang konten iklannya 50%. Nah, ini saya tidak bermaksud untuk mengadili, karena KPI yang sekarang ini baru, tapi mohon dijelaskan juga ini kenapa anda kurang begitu tegas terhadap lembaga penyiaran swasta terkait dengan pelanggaran quota itu. Nah kemudian yang ingin saya tanyakan itu, apakah tidak baik teman-teman dari KPI, kita juga membuat batasan konten asing dan konten lokal. Saya rasa ini belum diatur, baik di P3SPS maupun di Undang-Undang Penyiaran sebelumnya. Kalau kita tidak memberlakukan ini, maka seperti sekarang ini ada lembaga penyiaran yang konten asingnya itu lebih dari 50%, dimana keberpihakan kita terhadap konten lokal, kalau kita melakukan pembiaran terhadap konten-konten asing ini? Kemudian terkait dengan radio Pak Dadang, menurut saya KPI juga harus membuat pasal bahwa radio juga harus berlaku sama. Kita lihat sekarang ini lembaga penyiaran radio juga tidak kalah, ada radio tidak menyiarkan lagu Indonesia sama sekali. Bangga dengan lagu barat. Ini harus diatur Pak Dadang, tidak bisa dibiarkan begitu saja, kapan lagi produk kita menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri, tanpa diberikan payung hukum. Mumpung sekarang kita melakukan revisi. Kemudian yang terakhir dari saya tadi, Bu Niken dan juga Bu Immas, yang kita maksud dengan penyatuan TVRI dan RRI itu tidak hanya sebatas operasional atau status saja, tapi peleburan. Artinya sudah tidak ada lagi yang nama ya saya tetap orang RRI, Ibu Immas orang TVRI, bukan itu maksud kita. Yang dimaksud dengan penyatuan itu persis seperti RTM (Radio Television Malaysia), tidak ada disebut RRI Malaysia, Televisi Malaysia, itu sama juga bohong. Kalau disatukan ya kita satukan semua. NHK ya sudah dilebur semua radio televisi menjadi satu atau RAI atau BBC. Jadi yang kita maksud di sini itu adalah bukan sebagai kamuflase semata, tapi adalah penyatuan dalam pengertian sesungguhnya, bahwa dari tingkat operasional, tingkat manajemen, dan penyiaran harus bersatu padu menjadi satu entity yang baru, mungkin namanya ya ngarang-ngarang saja, RTRI misalnya Radio Televisi Republik Indonesia, dimana sudah tidak ada lagi perbedaan distingtive antara RRI dan Televisi Repubilk Indonesia. Semua menjadi satu kesatuan yang baru. Jadi mohon ditanggapi. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih Pak Tantowi. Dan barangkali dari wing kanan ada yang bertanya. Kalau tidak ada, nanti terakhir Pak Tantowi mohon dijawab secara berurutan mulai dari Pak Dadang.
10
masukan.
F-PKB (DR. H.A. EFFENDY CHOIRIE, M.H.): Ketua, kita dengerin dulu semua, toh nanti kita yang membahas kan masukanTerima kasih. KETUA RAPAT: Ya, silahkan.
F-PDI PERJUANGAN (HELMY FAUZY): Terima kasih Pimpinan. Pimpinan dan Anggota Komisi I yang saya banggakan. Rekan-rekan Ketua KPI dan jajarannya. Rekan-rekan dari Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan RRI yang kami banggakan. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, Saudara-saudara. Kalau kita lihat secara filosofis, Undang-Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebenarnya sudah cukup baik ya. Secara filosofis misalnya, saya tekankan kembali di sini adalah suatu pengakuan bahwa spektrum frekuensi adalah suatu aset publik ya, dipergunakan sebesarbesarnya bagi kemaslahatan publik ya. Selain itu juga secara filosofis penyiaran juga harus menjaga integrasi nasional serta karakter kita sebagai suatu bangsa yang multikultural atau majemuk. Nah, berdasarkan turunan dari sini, maka tak mengherankan kemudian ada krido soal demokratisasi penyiaran, yakni menyangkut soal diversifikasi, ownership, maupun diversifikasi konten ya. Berkali-kali di dalam forum ini sebenarnya hal ini mengemuka, namun berkali-kali pula sebenarnya pelaksanaan prinsip-prinsip ini tidak bisa direalisasikan. Salah satu pertimbangannya adalah perlunya sinkronisasi Undang-Undang Penyiaran dengan undang-undang lainnya menyangkut soal misalnya undang-undang rezim-rezim korporat kita ya yang sangat sulit ya kita memastikan atau menegaskan kembali prinsip-prinsip diversifikasi ownership ini agar sepenuhnya bisa dilaksanakan, karena alasan bahwa ini kan ada undang-undang soal PT dan lain sebagainya. Saya pikir dalam undang-undang yang akan kita revisi nanti harus lebih dijelaskan, ditegaskan kembali posisi Undang-Undang Penyiaran ini sebagai lex specialis. Artinya apa? Artinya ada undang-undang penafsirannya berbeda, tapi Undang-Undang Penyiaran inilah yang lebih diutamakan dalam mengatur hal-hal yang menyangkut lembaga penyiaran. Jangan sampai kemudian prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Penyiaran ini tidak bisa dilaksanakan dengan alasan bahwa berbenturan dengan undang-undang yang lain. Yaitu di satu sisi kita perlu melakukan sinkronisasi Pak dan ini saya belum melihat usulan-usulan untuk melakukan sinkronisasi perundang-undangan kita agar senafas dan sejalan dengan Undang-Undang Penyiaran. Itu yang pertama. Dan yang kedua ya, Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga secara tegas menyatakan bahwa frekuensi ini tidak bisa dipindahtangankan. Namun nampaknya dalam hal ini juga KPI belum membuat suatu peraturan yang tegas soal ini. Nah, ini saya ingin tanyakan ada apa kenapa kita tidak bisa bersikap lebih tegas? Tadi rekan Tantowi juga telah menyatakan bahwa soal konten saja ya, jelas-jelas 20% adalah batas maksimal, itu dengan gampang bisa dilanggar. Nah, apakah di sini memang karena format KPI itu sendiri yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengefektifkan sanksi, sehingga menyebabkan ragu-ragu dalam mengedepankan sanksi atau penindakan terhadap lembaga-lembaga penyiaran yang katakanlah membandel ya. Ini yang perlu kita tegaskan kembali jangan sampai KPI sebagai sebuah institusi negara. Ya, memang dibuat dirancang untuk mengawasi program-program penyiaran agar program-program ini sesuai dengan semangat filosofis Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 ini bisa berjalan dengan efektif ya. Jangan sampai gara-gara karena tidak dalam bahasa yang gampang, karena tidak ditakuti. Jadi ini ada sanksi seperti apapun yang diberikan KPI ya lembaga penyiaran akan tenang-tenang saja, karena akan sadar bahwa ini tidak akan bisa dieksekusi. Nah, jadi dalam hal ini juga KPI saya pikir juga perlu menyiapkan ya suatu rancangan undang-undang yang di dalamnya juga mengatur bagaimana mengefektifkan KPI sebagai suatu lembaga negara yang memang diberi kewenangan untuk mengawasi, termasuk menindak 11
lembaga-lembaga penyiaran. Efektifnya seperti apa? Apakah kalau perlu ditegas di situ, apakah juga dalam hal ini KPI merupakan pihak yang harus membawa ini ke pengadilan atau melakukan penuntutan atau pencabutan ijin frekuensi. Nah, ini yang saya pikir jangan sampai kemudian kasus seperti kasus 4 mata misalnya, dilarang atau ditindak, muncul lagi dengan nama yang lain. Nah, tanpa kemudian secara efektif KPI bisa melakukan penindakan-penindakan. Di sisi lain, andaikata KPI juga tergantung kepada lembaga-lembaga lain untuk mengefektifkan sanksi-sanksinya. Nah, nanti ini juga menimbulkan semacam ketidakefektifan dalam merealisasikan sanksi kepada lembaga-lembaga penyiaran. Saya kira Pimpinan, dalam hal ini kita juga harus memperkuat lembaga KPI untuk melengkapi lembaga KPI ini dengan suatu kemampuan atau kapasitas untuk secara efektif menerapkan sanksi kepada lembaga-lembaga penyiaran, demikian Pimpinan. KETUA RAPAT: Terima kasih. Saya tanya kepada floor, mau ditambah dulu atau? Ada yang sudah siap? Oke, satu saja, yang terakhir dulu untuk sesi pertama. Baik, Pak Yahya, saya persilahkan. F-PD (MAYJEN TNI (PURN) YAHYA SACAWIRIA, S.IP, MM.): Terima kasih. Karena ini sangat menggelitik yang satu ini, maka saya mau minta penjelasan yang lebih rinci, karena ini berkaitan dengan kata lembaga negara. Saya minta karena di sini reasoning-nya hanya penyebutan secara eksplisit lembaga negara dimaksud untuk memperkuat. Jadi kalimatnya hanya untuk memperkuat kedudukan dan mempertegas status. Seperti kita ketahui, kalau kita sudah langsung mencantumkan kata-kata lembaga negara, ada dampak, dan ada implikasi hukum. Nah, saya minta reasoning yang lebih rinci mengapa kok dimasukkan katakata itu, karena nanti kan ada kaitannya contohnya yang lama, bahwa Lembaga Penyiaran Publik itu kalau (suara kurang jelas), maka konsekuensi bahwa sumber pembiayaan ini pasti dari APBN, tetapi ada sumber pembiayaan lain, seperti iuran iklan dan sebagainya yang harusnya menjadi pendapatan negara bukan pajak. Nah, ini pemanfaatannya juga diatur oleh undangundang. Nah, bagaimana implikasi bila Lembaga Penyiaran Publik dengan dijadikan sebagai lembaga negara tersebut iklannya dihapus ya, sehingga Lembaga Penyiaran Publik ini murni beroperasi sebagai sumber informasi masyarakat dan tidak bersifat nirlaba. Jadi ada implikasiimplikasi ini. Nah, saya minta penjelasan yang lebih detil supaya oh memang harus lembaga negara, karena begini-begini. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Kami persilahkan dari Bapak dan Ibu untuk barangkali ini bukan menjawab dalam rangka seperti rapat dengar pendapat seperti biasanya, tapi argumentasi yang tadi Bapak sampaikan, lalu kami pertanyakan untuk apa, untuk diperdalam lebih lanjut, dan sebagai bahan revisi, itu barangkali . Saya persilahkan Pak Dadang ya. KETUA KPI PUSAT: Baik, terima kasih Pimpinan. Mungkin nanti teman-teman juga akan melengkapi beberapa halnya. Yang pertama, kalau dari Pak Dadoes, mungkin itu nanti ke TVRI. Ibu Nurhayati juga ke RRI dan TVRI. Kemudian yang saya jawab mungkin dari Pak Tantowi terlebih dahulu. Pak Tantowi, mungkin keberpihakan kita terhadap RRI dan TVRI sepakat kita harus lebih perbesar lagi dan untuk tahun ini pula kami sampaikan juga berita yang ingin kami sampaikan setiap tahun kami melaksanakan KPI Award, dan untuk tahun ini kami putuskan dilaksanakan di TVRI Pak. Kenapa RRI tidak? Karena belum award-nya untuk radio, mungkin Tahun 2011 kita akan menyelenggarakan award untuk juga radio.
12
Baik, pertanyaan tadi mengenai masa berlakunya IPP, kenapa 5 tahun dengan 10 tahun? Itu memang, karena ini ada di undang-undang yang sebelumnya Pak, betul. Barangkali kenapa ini berbeda, saya tidak tahu persis kenapa dulu dirancang seperti itu. Mungkin saja pertimbangannya karena investasi barangkali, investasi untuk lembaga penyiaran televisi itu relatif lebih besar dibandingkan dengan investasi untuk penyelenggaraan lembaga penyiaran radio misalnya. Nah, mungkin ini yang menjadi pertimbangan, tetapi sebetulnya kalau juga boleh kami menyampaikan, bukan tidak mungkin jika nanti di rancangan undang-undang yang akan direvisi itu juga disamakan, misalnya apakah 10 tahun atau sama 5 tahun. Tetapi juga harus dipertimbangkan barangkali bagaimana proses itu dilaksanakan. Maksudnya begini, jika perpanjangan ijin itu tentu harus melalui sebuah mekanisme. Nah, mekanisme terhadap lembaga penyiaran yang menyelenggarakan perpanjangan itu antara lain memang ada proses yang relatif sama, relatif sama dengan pada saat mereka mendirikan lembaga penyiaran baru. Dengan mengajukan proposal, tentu proposalnya berbeda dengan (suara kurang jelas) baru, tapi yang namanya evaluasi dengar pendapat atau katakanlah penyampaian janji publiklah, visi misi, program mereka di dalam memperpanjang ijin berikutnya itu tetap harus menyampaikannya kepada KPI. Nah, jika semuanya ini bersamaan, ini barangkali nih, jika ini juga bersamaan, maka KPI dan KPID pada saat bersamaan akan tanda petik harus siap untuk direpotkan untuk memperpanjang proses ijin yang bersamaan tadi. Nah, sedangkan radio ini juga kan sangat banyak sekali, kalau televisi tidak terlalu banyak. Jika memang akan disamakan masa perijinannya, mohon dipertimbangkan avibilitas dan kapabilitas lembaga KPI sendiri, baik KPI Pusat maupun KPI Daerah untuk memproses perijinan itu sendiri. Kami sampaikan di sini, mungkin pemerintah juga sudah pernah menyampaikan kepada forum yang terhormat di sini, bahwa proses perijinan sejak Tahun 2005 sampai sekarang saja, itu banyak tertunggak, artinya banyak proses yang belum selesai proses perijinan, terutama untuk radio dan televisi komunitas dari kurang lebih 560 pemohon itu baru bisa diselesaikan kurang lebih 12 sampai 13% saja. Artinya, di Pemerintah dan KPI masih ada kendala-kendala yang menyebabkan proses perijinan itu terhambat gitu ya. Ini mungkin perlu juga koordinasi kami dengan pemerintah untuk lebih jauh lagi. Kemudian yang lain tentang isi siaran, nanti mungkin Bu Esih bisa menambahkan, tapi satu hal saja soal iklan. Memang betul Pak, bahwa itu harus 20% maksimal untuk lembaga penyiaran swasta iklan itu 20%. Kami seringkali ini membahas masalah ini untuk menghitung iklan-iklan, tapi ternyata di dalam pembahasan revisi P3SPS seperti kemarin, kita sendiri harus firm tentang iklan yang dimaksud. Kalau iklan niaga mungkin tidak terlalu masalah, tapi ada iklaniklan yang menurut satu pihak itu bukan iklan, tapi di pihak lain itu termasuk iklan. Misalnya sebuah program yang dibiayai oleh sebuah lembaga, bukan hanya lembaga swasta, bahkan lembaga pemerintah, misalnya ada talkshow, talkshow itu dibiayai oleh sebuah lembagalah misalnya, apakah itu langsung kita masukan kriteria sebagai iklan layanan masyarakat atau tidak. Di beberapa penyelenggara praktisi periklanan pun juga ada sedikit perbedaan ya, antara P3I, itu ada perbedaan juga beberapa kriteria itu. Nah oleh karena itu, mungkin ini menjadi bagian dari kesulitan nanti KPI untuk menentukan apakah itu iklan atau tidak. Ini pun juga dibarengi karena KPI sampai saat ini kita belum mempunyai peraturan KPI, khusus tentang iklan, tapi masih bercampur dengan atau di dalam pedoman perilaku penyiaran. Jadi ada perbedaan persepsi belum kuatnya regulasi, juga mungkin ini kita akui saja bahwa KPI belum mampu untuk mempunyai perangkat infrastruktur untuk bisa menghitung dari setiap lembaga itu berapa persen, sampai saat ini belum mempunyai, tapi bukan berarti ini tidak kita melakukan pembiaran. Informasi dari APINA, misalnya APINA itu Asosiasi Pengiklan, Asosiasi Pengiklan menyatakan salah satu misalnya satu vendor yang cukup besar, misalnya Unilever sepakat dengan Pak Tantowi bahwa mereka mengatakan sebetulnya di beberapa televisi tidak semua televisi itu iklannya melebihi, menurut pandangan mereka adalah di atas 20%, tetapi juga ada beberapa yang lainnya tidak ah tidak segitu. Nah, ini juga ada perbedaanperbedaan ini, kita sendiri belum mempunyai data. Tapi Pak Tantowi, percayalah kami akan mencoba dari sekarang barangkali pertama untuk membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan periklanan ini, kemudian juga kami harus mempunyai perangkat infrastruktur yang bagus untuk bisa menilai sejauhmana pentaatan lembaga penyiaran terhadap ketentuan ini. Mungkin untuk televisi-televisi besar, karena kita memonitor, televisi besar maksudnya televisi yang ada di siaran di Jakarta, KPI pusat sudah mempunyai perangkat monitoring yang bisa memonitor 13
mereka selama 24 jam, sehingga mungkin dari siaran itu, dari rekaman itu kita bisa menghitung berapa durasi iklannya, itu sudah bisa, tetapi untuk televisi-televisi yang sekarang bersiaran di beberapa daerah, apalagi radio barangkali, kita belum mempunyai perangkat untuk bisa mengawasi, kecuali kalau kita meminta laporan, laporan kepada mereka berapa persen iklan yang sudah ditayangkan oleh lembaga penyiaran yang bersangkutan. Juga tidak salah apa yang tadi diketahui oleh Pak Tantowi, mungkin bahkan di satu daerah, bahkan di Jakarta sendiri ada kita lihat kalaulah misalnya iklan yang berkaitan dengan Lejel Home Shopping dan segala macamnya itu kan hampir 1 jam Pak, bahkan diulang-ulang, bahkan ada lembaga penyiaran yang masih baru yang belum kuat modalnyalah barangkali seperti itu, mungkin bukan lagi 20-30% bisa sampai 50-60%. Nah, ini juga menjadi suatu masalah, karena mereka sendiri tidak mampu barangkali untuk membuat program-program yang tentu biayanya sangat tinggi, apalagi misalnya mereka sendiri masih menghadapi kendalakendala infrastruktur, menghadapi masalah-masalah kapasitas sumber daya manusianya, dan segala macamnya. Tentu kita harus melihat ini secara lebih luas. Tapi pada suatu saat apabila semua persepsi interpretasi tentang regulasi kapasitas KPI dan KPID sudah memenuhi untuk melakukan pemantauan itu, tidak ada alasan bagi KPI untuk melakukan pembiaran itu. Saya pikir itu pendapat dari kami soal iklan. Nanti mungkin Ibu Eski kalau mau menambahkan silahkan untuk sesi sekarang. Yang berbahasa asing, konten ya. Sebetulnya kalau konten itu di dalam undangundang maupun di dalam peraturan P3SPS, kita tidak spesifik menyebutkan tentang lagu misalnya, tidak spesifik. Intinya bahwa ada persentase tertentu yang harus dipatuhi oleh lembaga penyiaran merupakan konten lokal, konten katakanlah konten Indonesia misalnya begitu. Tidak disebutkan khusus tentang lagu atau pemberitaan dan segala macamnya. Tapi kalau misalnya bahwa siaran-siaran atau lagu-lagu, maaf lagu-lagu asing itu mendominasi di salah satu radio, saya pikir ini sebuah masukan kepada kami, kami ingin mengetahui sejauhmana, kenapa seperti itu. Bahkan di Bandung, kebetulan saya mengetahui persis ada sebuah radio, bukan lagi soal lagu, tapi dari jam 00.00 dia mulai siaran sampai berhenti itu berbahasa asing semua, berbahasa asing, bukan lagi lagunya, tetapi bahasa asing semua, yaitu berbahasa mandarin. Padahal di undang-undang jelas disebutkan harus berbahasa Indonesia, menggunakan bahasa Indonesia, dan mohon maaf, saya sudah cari-cari, ternyata wajib menggunakan bahasa Indonesia, tapi di belakangnya tidak ada sanksinya. Di depannya pakai kata wajib, tapi di undang-undang yang lama ini tidak ada sanksinya. Nah, ya akhirnya kami koordinasikan ini dengan pemerintah, kami pernah menyampaikan ini koordinasi dengan pemerintah bagaimana pada saat mereka nanti melaksanakan perpanjangan. Kalau dibilang celakanya, celakanya, pada saat kami mempermasalahkan itu, pemerintah baru saja memperpanjang ijinnya dan itu tanpa EDP, boleh ditanyakan kepada pemerintah, ada beberapa lembaga penyiaran yang diperpanjang ijinnya tanpa melalui proses EDP, sehingga KPI atau KPID tidak bisa membuat tanda petik janji publik kepada yang bersangkutan. Nah ini juga satu masalah, tapi barangkali ini harus kita selesaikan juga. F-PG (TANTOWI YAHYA): Pendalaman Pimpinan. Pak Dadang dan teman-teman, jadi ini kita mengambil momentum yang baik, karena kita sekarang lagi merevisi Undang-Undang No. 32 ini. Jadi kita mengambil momentum ini untuk juga KPI itu melakukan pembenahan-pembenahan. Saya tidak tahu kapan P3SPS itu kan masih P3SPS yang lama kan Pak Dadang ya? 2009. Baik, nah mungkin nantinya setelah undangundang ini direvisi itu barengi juga dengan pembaharuan dari P3SPS, karena banyak sekali menurut saya yang ini kelalaian yang sudah berlangsung lama, misalnya monitoring KPI terhadap radio. Ya, memang di anggaran juga kita lihat itu kan sangat tidak memadai, padahal radio itu juga adalah domain yang harus diawasi oleh KPI. Kita setuju bahwa sekarang ini kita membuka keran yang selebar-lebarnya bagi masyarakat atau etnis manapun untuk mendapatkan juga kesempatan yang sama. Namun ingat, harus ada yang harus dipatuhi, yaitu undang-undang itu sendiri. Jadi kita tidak bisa membenarkan ada satu radio yang 100% siaran menggunakan bahasa asing, kemudian lagu-lagu yang dipergunakan juga lagu-lagu asing. Mari kita lihat di Malaysia itu saya tidak tahu, tapi benar-benar ada regulasinya, ada beberapa radio memang tidak boleh memutar lagu Indonesia, karena ini kaitannya dengan pasar mereka yang terdesak 14
dan itu sah-sah saja menurut saya. Jadi hendaknya konsep pemikiran atau idealisme yang sama kita bisa adopsi, bukan bahwa kita anti asing, tapi juga harus ada keberpihakan terhadap produk kita, terhadap konten kita. Kemudian yang kedua Pak Dadang, kalau anda perhatikan di luar negeri itu, walaupun perusahaan itu kaya, dia tidak bisa memonitor satu jam acara itu pertama buat dia, buat produk yang sama. Kemudian kedua, dia bisa membeli slot, tapi produk yang sama itu tidak bisa diputar berulang-ulang iklannya itu. Jadi kalau anda lihat, ada satu acara yang disponsori oleh satu perusahaan di luar negeri. Kita tidak lihat habis jeda iklan dia lagi, habis jeda iklan dia lagi, tidak bisa seperti itu. Jadi boleh dia tetap beli berapa persen dari slot yang ada, tapi jarak penayangannya itu pun harus diatur melalui P3SPS. Jadi alangkah baiknya kalau misalnya KPI ini melakukan sarasehan misalnya dengan YLKI, dengan P3I, Perusahaan Periklanan ya terkait, karena kenyamanan penonton juga harus menjadi pusat perhatian, bukan sekedar bahwa satu perusahaan berani atau sanggup membeli slot gitu. Jadi momentum ini Pak Dadang dan teman-teman dari KPI yang juga harus dimanfaatkan untuk revisi dari P3SPS ke depan. Terima kasih. KETUA KPI PUSAT: Baik, barangkali Pak yang lain-lainnya akan ditambahkan, termasuk juga pertanyaan dari Pak Helmy mungkin akan dijawab oleh Pak Judha, karena betul-betul mendalami soal revisi ini. Kemudian juga Pak Triyanto. Pak Judha dulu silahkan atau Pak Riyanto dulu silahkan. ANGGOTA BIDANG STRUKTUR PENYIARAN KPI PUSAT (MOCHAMAD RIYANTO): Terima kasih. Mohon ijin Pimpinan dan Bapak-Bapak Ibu Anggota yang terhormat. Pertama, kita coba dalam spektrum hukum ada persoalan terhadap undang-undang ini berkaitan dengan ketundukan undang-undang yang lain. Kalau tadi Pak Helmy dikatakan butuh lex specialis itu yang nanti kita harapkan ke depan, termasuk pengaturan yang apa disampaikan oleh Pak Tantowi dengan posisi durasi, posisi konten, dan jam tayang yang dimaksudkan oleh undang-undang ini, kita tidak bisa mengingkari, karena kewenangan kita hanya terbatas. Contoh kasus, pada Tahun 2008, kami telah tidak memberikan rekomendasi ijin terhadap lembaga penyiaran yang 60% di atas 60% ijinnya isi siarannya atau konten siarannya adalah bahasa asing dan itu pun kami lakukan, namun mereka melakukan perlawanan secara hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Nah, kami bukan satu lembaga yang punya imunitas terhadap konteks perbuatan hukum kami. Ini juga nanti menjadi satu bagian dari acuan itu, karena prinsipnya, menurut kaidah hukum dalam Undang-Undang Penyiaran, seharusnya harus bersifat imperative, artinya bisa mengatur, bisa memberikan larangan, sekaligus bisa memberikan perintah. Nah, di dalam Undang-Undang Penyiaran ini yang sekarang ada, memang sangat ambiguitas sifatnya, sehingga kewenangan-kewenangan bersifat administratif, kami ada hambatan-hambatan dalam hal otoritas atau right writing dalam bahasa hukum untuk memberikan sanksi ataupun mengambil hak-hak yang harus menjadi hak-hak publik, itu satu. Yang kedua, dalam perspektif bisnis penyiaran, memang secara substansi belum diatur secara detil. Artinya, kalau kita memberikan perijinan, itu bukan aspek legal formalnya saja, tetapi harus bisa memotret dari aspek proses dan bisnis penyiaran itu sendiri. Yang di dalam perintah undang-undang masih sangat terbatas. Diperintahkan dalam undang-undang untuk menjaga persaingan usaha yang sehat, tetapi substansi pengertian persaingan usaha yang sehat juga tidak mengena, karena kami pernah menangani kasus dalam monopoli penyiaran pada waktu itu direkomendasikan oleh KPPU bahwa isi siaran ini atau monopoli ini tidak masuk ke dalam kategori dalam Undang-Undang Persaingan Usaha, umpamanya begitu. Ini satu problem-problem yang memang dalam kapasitas undang-undang yang bersifat mengatur, kapasitas undang-undang yang bersifat memerintahkan yang bersifat imperative, tidak bisa berbuat banyak bagi KPI sebenarnya. Ke depan kami harapkan menjadi satu momentum yang betul-betul bisa kita kaji secara mendalam, maka kami berharap kami yang sangat terlibat di
15
dalam satu kerangka sistem di situ bisa secara intens berdiskusi dengan Bapak-Bapak yang mulai untuk membicarakan atau melengkapi fungsi undang-undang ini. Selanjutnya, pada satu sisi undang-undang ini bersifat doctrinally yang sifatnya adalah doctriner. Pada sisi lain juga harus merespon tentang legal realizm, dimana dinamika dan perintah undang-undang terhadap isi siaran itu dan pengaturan selalu berkembang, Cuma kewenangan haken writing yang dilakukan oleh lembaga negara, seperti KPI yang sekarang itu sangat tidak memungkinkan, karena sanksinya hanya bersifat administratif. Sanksi administratif bisa dilakukan perlawanan melalui Tata Usaha Negara dan bahkan bisa dibatalkan oleh Peradilan Tata Usaha Negara. Kalau ini terjadi, kita tidak punya kewenangan apapun. Ini satu contoh, makanya tadi dalam konteks masukan-masukan, kami menempatkan posisi sebagai lembaga negara itu menjadi sangat penting dengan hak-hak dan perbuatan hukum yang dilindungi undang-undang, yang memang diperintahkan secara deklaratur dan atribusi terhadap undang-undang jelas, kalau tidak, seperti apa yang kita lakukan sekarang. Jadi kami akhirnya menjadi lembaga riset yang hanya memberikan kajian-kajian, mencoba pendekatan non dokumatis untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap isi siaran dan lain-lainnya. Itu yang secara fakta kita lihat demikian faktanya. Itulah kira-kira, maka kami sangat menyambut baik apabila ada diskursus yang sangat dinamis dan dialektikanya ini harus berkembang dengan penajaman-penajaman, termasuk memposisikan penggunaan frekuensi, karena kami punya perspektif bahwa penggunaan frekuensi itu bukan hak yang bersifat absolut terhadap lembaga penyiaran, tetapi diposisikan sebagai hak sewa negara, karena yang punya adalah negara dan publik, ini yang tidak jelas, sehingga seakan-akan kalau lembaga penyiaran yang berbadan (suara kurang jelas) punya hak investasi terhadap penggunaan frekuensi, tetapi pada waktu mencabut pun termasuk dalam satu klausul Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah kalau KPI ingin mencabut ijin siaran, mengusulkan kepada pemerintah setelah ada putusan pengadilan tetap. Ini juga ada persoalan akhirnya terhadap kewenangan itu bagaimana mau mengawal dan menjaga tentang keberadaan lembaga penyiaran nantinya ke depan yang berorientasi hanya pada aspek bisnis semata, itu kira-kira dari kami. Terima kasih Pak Tantowi. F-PDI PERJUANGAN (HELMY FAUZY): Sedikit pendalaman Ketua, jika diijinkan. Saya ingin suatu contoh yang sangat praktis saja ya. Jika pada posisi seperti sekarang ini, KPI memberi sanksi kepada suatu lembaga penyiaran, karena dinilai telah melanggar pedoman penyiaran dan kemudian lembaga tersebut mengabaikan sanksi KPI. Mekanisme apa yang masih tersedia oleh di KPI untuk mengefektifkan sanksi tersebut? Jadi percuma, ada satu lembaga mengeluarkan sanksi, pada saat bersamaan sebenarnya dia tidak punya kemampuan untuk menjamin bahwa sanksi ini bisa berlaku secara efektif. Saya mohon dijelaskan. ANGGOTA BIDANG KELEMBAGAAN KPI PUSAT (JUDHARIKSAWAN): Baik, terima kasih. Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Perkenankan saya Pak Helmy untuk menjawab pertanyaan itu. Berdasarkan UndangUndang Penyiaran, kita mengenal ada sanksi administratif, ada tindakan-tindakan berupa pelanggaran administratif dan ada juga tindakan-tindakan yang bersifat pidana. Kalau kategori pelanggarannya itu masuk dalam tataran pidana, maka tentu di situ bukan kewenangannya KPI untuk melaksanakan penegakkan itu, itu kami melimpahkannya kepada lembaga yang berwenang. Nah, itulah yang kemudian yang terjadi belakangan ini, dimana KPI membawa sebuah kasus ke lembaga yang memang mempunyai kewenangan untuk tindak pidana tersebut. Jadi ini mungkin salah satu klarifikasi juga terhadap sebuah kasus yang baru saja terjadi. Kaitannya dengan kalau terjadi pelanggaran administratif dan ketika KPI kemudian telah memberikan sanksi admnistratif, kemudian sanksi tersebut tidak dilaksanakan. Undang-Undang Penyiaran juga memberikan sebuah alternatif. Yang pertama adalah peningkatan sanksi. Jadi dalam Undang-Undang Penyiaran dan juga P3SPS, kita kenal ada beberapa kategorisasi dan kemudian kami memandang itu sedikit bukan secara full itu adalah berjenjang, tetapi karena dalam pasalnya dikatakan dapat berubah gitu ya, sehingga kami memandang itu tidak berjenjang, tidak struktural, tetapi kami melihat ketika kami menganalisis jenis sanksi itu ternyata 16
ada klasifikasi yang berbeda dan ada berat sanksinya yang berbeda antara satu dengan yang lain. Sehingga ketika terjadi kasus yang seperti Pak Helmy katakan, maka alternatif yang dapat kami lakukan adalah meningkatkan status sanksi. Misalnya saya berikan contoh, jika kami memberikan teguran, kemudian sanksi itu tidak dijalankan, maka kami bisa melakukan penghentian sementara. Jika penghentian sementara tidak juga bisa dilakukan, maka ada jenis sanksi berikutnya, yaitu pembatasan durasi. Jika pembatasan durasi tidak dilaksanakan, maka ada yang disebut dengan pembatasan durasi untuk waktu siar. Jadi kalau pembatasan durasi awalnya pada program, misalnya ketika satu jam berubah menjadi setengah jam, maka ada namanya pembatasan waktu siaran. Itu diberikan kepada lembaga penyiaran yang kalau siaran 24 jam kita berikan sanksi hanya 12 jam untuk peningkatan sanksi tersebut. Kalau itu juga tidak memberikan efek jera kepada yang bersangkutan, maka ada istilah dalam Undang-Undang Penyiaran berupa sanksi pembekuan lembaga penyiaran. Pembekuan siaran sementara kepada lembaga penyiaran yang oleh putusan Mahkamah Konstitusi itu ternyata sudah harus melalui putusan Pengadilan, sehingga untuk menjatuhkan sanksi tersebut kami harus menyampaikan dulu ke Pengadilan prosesnya, nanti Pengadilan yang memutuskan bahwa sanksi pembekuan waktu siaran sementara itu dapat dilaksanakan dan yang terakhir adalah pencabutan ijin yang juga melalui proses Pengadilan. Itu tahapan-tahapan yang bisa kami lakukan jika itu terjadi Pak. Satu hal yang mungkin saya tambahkan berkaitan dengan pertanyaan awal dari Pak Helmy adalah bahwa jika memang selama ini dipandang KPI tidak seolah-olah tidak mempunyai kekuatan untuk menegakkan sanksi, sesungguhnya jika dianalisis secara sosiologis kita melihat bahwa menyambung dengan pernyataan Pak Riyanto bahwa lembaga penyiaran itu tidak pernah takut dengan KPI, karena seolah-olah ijin itu bukan KPI yang berikan Pak Helmy. Ini seolah-olah gitu ya, kenapa, karena mereka berpikir kami akan tetap terus bisa eksis, karena bukan KPI yang mencabut ijin kami, perpanjangannya pun itu bukan KPI yang berwenang. Nah, padahal kalau misalnya kita bahas atau kita analisis secara mendalam tentang Undang-Undang Penyiaran yang lama, Pasal 7 ayat (2) itu sudah sangat jelas mengatakan KPI adalah lembaga penyiaran yang mengatur hal-hal tentang penyiaran. Tidak ada satu pun lembaga lain di luar KPI yang mengatur itu. Dalam kenyataannya secara sosiologis, kita lihat pasca yudicial review itu ternyata kewenangan itu dinegasikan sedikit demi sedikit dan akhirnya seolah-olah KPI hanya mengatur soal isi siaran. Jadi kalau momentum untuk revisi ini ingin mengembalikan kewenangan KPI, maka berikan kewenangan itu kembali kepada KPI. Terima kasih Pak. KETUA KPI PUSAT: Sedikit saja yang tadi dari Pak Tantowi. Pak Tantowi, P3SPS ini memang orientasi kita untuk perubahan di 2010, yang mungkin nanti sebentar lagi akan kita sahkan P3SPS-nya, itu stretching-nya ada di siaran iklan anak dan program jurnalistik atau non jurnalistik atau infotainment atau bukan itu yang kemarin juga jadi masalah. Stretching-nya ada di tiga itu, di samping juga memang memperkuat yang iklan tadi berkaitan dengan bagaimana cara KPI melakukan pemantauan, termasuk juga di awalnya adalah menginterpretasikan seperti apa, apa yang namanya iklan. Ini juga terus terang saja kami sudah mendapatkan masukan dari berbagai stakeholders yang ada. Tetapi pada saat nanti implementasi, kami butuh infrastruktur untuk melakukan pemantauan-pemantauan itu. Barangkali itu sebagai tambahan. Ibu Azi, silahkan tambahan? KOORDINATOR BIDANG KELEMBAGAAN KPI PUSAT (AZIMAH SOEBAGIJJO): Assalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Jadi Pak Tantowi, ketika kami membuat revisi, itu ada tim, lalu kita bikin FGB beberapa kali, termasuk iklan, itu semua hadir. Jadi dari ATVSI hadir, P3I hadir, AVINA ada, lalu dari YLKI hadir, gitu ya, dari wakil-wakil masyarakat hadir, dan persoalan dari mereka ketika kita bicarakan juga yang 20% tadi adalah mereka mengatakan bahwa mereka siaran 24 jam. Jadi memang dipush di prime time iklan itu untuk subsidi di jam-jam yang tidak prime time, itu alasannya mereka gitu. Tetapi P3I waktu itu punya argumen-argumen yang sangat bagus dan kami akan masukan dalam P3SPS yang baru nanti InsyaAllah. Dan mereka mempertanyakan apakah 20% itu perhari, karena di sini hanya waktu siaran di undang-undang. Apakah per minggu, apakah per tahun, itu 17
yang menjadi yang lembaga penyiaran waktu itu dari ATVSI yang menanyakan soal itu. Sedangkan P3I mengatakan waktu itu juga ada AC Nielson juga ketika itu presentasi, bahkan di AC Nielson itu mengatakan lembaga penyiaran itu membuat iklan, tapi program namanya, misalnya seperti apartemen. Itu program, kalau di lembaga penyiaran itu bukan iklan. Lalu ada di beberapa siaran, misalnya seperti infotainment itu built in, jadi artis minum obat apa, vitamin, atau apa gitu loh. Nah, itu sampai saat ini kita masih itu terlewat gitu, itu tidak terhitung. Nah, itu dan itu di AC Nielson sendiri juga tidak dihitung. Tapi menurut P3I itu harus dihitung menurut P3I. Bahkan iklan layanan masyarakat selamat hari raya lebaran, tahun baru, natal itu harus dihitung menurut P3I itu sebagai iklan juga gitu. Jadi kami sedang menggodok soal itu bersama tim yang sekarang sudah terbentuk. F-PG (TANTOWI YAHYA): Baik, mohon ijin Ketua. Sekali lagi ini Bu, mumpung ini momentum perubahan gitu ya. Kita ambil kata depannya saja. Jangan lihat bahwa iklan itu dibayar atau tidak. Semua itukan namanya iklan. Ada iklan layanan masyarakat yang memang tidak bayar, tapi iklan, ada iklan biasa. Nah, itu yang harus diperjelas, bahwa ya kalau iklan ya iklan. Kemudian kedua, jangan sampai begini, diambil basis siaran 24 jam, kemudian diambil 20% itu bocengli kalau bahasa itunya. Nanti akan ada satu program yang penuh dengan iklan, ada program lain itu kan yang kosong, kita sekarang ini melihat kenyamanan penonton. Kita berbicara 20% ditarik dari durasi program, bukan masa siaran dia perhari. Durasi program ditarik 20%. Ini harus jelas Bu, harus masuk ke P3SPS-nya. Kemudian kedua, yang tadi saya terlupakan, terima kasih Ibu Azi tadi mengangkat masalah Nielson. Nielson ini sebagai satu-satunya perusahaan yang membuat rating program, karena satu-satunya, maka hasilnya itu dianggap sebagai agama oleh lembaga penyiaran swasta. Ini seyogyanya ada satu badan yang mengaudit hasil dari Nielson tersebut dan menurut saya sesuai dengan Tupoksi yang ada, KPI itu pantas untuk melakukan audit hasil yang disampaikan oleh Nielson. Kalau dia tidak mau diaudit, ya jangan beroperasi di sini, kan begitu, tapi tidak bisa, suka-suka hasil dia lantas diterima apa adanya, dan hasil dari itu, itulah yang menjadi ideologi, yang menjadi basis siaran dari Lembaga Penyiaran Swasta, ini sangat membahayakan Bu. Terima kasih. KETUA RAPAT: Bisa ditanggapi? KETUA KPI PUSAT: Sedikit saja menanggapi. Baik Pak, mungkin ini benar juga perdebatan soal 20% itu memang apakah perprogram, perhari, perminggu, atau bahkan pertahun, dengan asumsi dengan macam-macam. Tapi barangkali sebuah ide yang cukup bagus bahwa di setiap program pun adalah maksimal 20% misalnya dan untuk secara keseluruhan pun tidak boleh lebih dari 20%. Kalau setiap program tidak lebih dari 20% itu otomatis pasti mau per hari, per bulan, atau per tahun pasti tidak akan lebih dari 20%, tapi kalau misalnya kita ngambil per minggu, bisa jadi ada satu hari penuh dengan iklannya atau kita ambil dalam satu hari bisa jadi sebuah tayangan yang sangat menarik, iklannya sangat banyak sekali. Contoh yang juga masih perdebatan kemarin itu ada sinetron, mungkin tidak usah sebutkan namanya, ada sinetron, sudah kalau orang Bandung bilangnya sudah mah iklannya banyak, jadi setiap berapa menit berhenti iklan banyak, di dalam sinetron itu sendiri pun ada branding-branding gitu. Branding-branding, ada nama pelumas, minuman, dan segala macam. Jadi dalam sinetron sendiri banyak dengan branding-branding. Nah, apakah ini juga akan dihitung atau tidak ini juga menjadi sebuah tantangan bagi kami. Soal audit rating, terus terang saja ini juga jadi perdebatan Pak, apakah KPI mempunyia legal order untuk melakukan audit itu. Nah, tetapi sebenarnya KPI pada posisi apabila itu ditugaskan kepada KPI, tentu KPI harus menerima itu. Nah, sampai saat ini memang perdebatan ini jangan sampai yang pasti kami tidak merekomendasikan, tidak mengusulkan jika KPI menjadi penyelenggara dari rating itu sendiri. Tapi kalau misalnya KPI ditugaskan untuk 18
menjadi lembaga yang bisa melakukan audit rating, itu barangkali cukup baik juga dan kami siap untuk melaksanakan itu, selama secara regulasinya juga, kemudian infrastruktur, dan dalam tataran-tataran lainnya bisa dilakukan oleh kami, barangkali itu. KETUA RAPAT: Kami persilahkan untuk Ibu Immas melanjutkan. DIRUT LPP TVRI: Terima kasih Bapak Pimpinan Rapat. Yang pertama, kepada Bapak Dadoes, bahwa masukan dari kami adalah tanggal 24 November Pak Dadoes, yang ditandatangani oleh RRI dan TVRI itu yang ingin kami sampaikan. Yang kedua, kepada Ibu Nurhayati Assegaf, kami ucapkan terima kasih Bu atas masukannya, bahwa ada kebijakan-kebijakan tambahan nanti untuk keseimbangan atau balance atau narasumber yang akan ditampilkan dalam siaran-siaran kami dan juga sama Bu, kami juga sangat bangga bahwa di Komisi I juga banyak Ibu-Ibu yang ada menjadi Anggota Komisi I. Jadi kebanggaan kami semua buat Ibu-Ibu di Komisi I. Lalu untuk keinginan lex specialis, nanti undang-undang tersendiri untuk Lembaga Penyiaran Publik, kami nanti bersama-sama dengan RRI mungkin akan menyusun lagi untuk masukan-masukannya, karena ini dikejar oleh waktu untuk Tahun 2010 ini, untuk ke depan mungkin kami juga akan memberikan masukan apabila dimungkinkan dan ini sangat baik sekali untuk penguatan dari kedua Lembaga Penyiaran Publik. Kepada Pak Tanto, terima kasih Pak Tanto bahwa TVRI dan RRI oleh Ocean sudah ditunjuk sebagai host broadcaster untuk Sea Games. Baik Bapak, jadi sekaligus juga Bapak Ibu di Komisi I, kami juga mohon dukungannya bahwa penyelenggaraan Sea Games ini di dua tempat, di Palembang dan Jakarta Tahun 2011, karena kami juga ingin acara hajat negara ini juga bisa sukses, tidak hanya untuk siaran di dalam negeri, tetapi juga untuk keluar negeri dan membawa nama bangsa dan negara. Lalu Bapak Tanto tadi menggarisbawahi mengenai rencana penggabungan Lembaga Penyiaran Publik TVRI dan RRI, pada prinsipnya Bapak, kami ini adalah masa-masa transisi, sehingga namanya juga Lembaga Penyiaran Publik Republik Indonesia pada ke depannya adalah kami sangat sepaham dengan Bapak, bahwa ini merupakan suatu peleburan, namun saat ini masih pada masa-masa transisi, sehingga induknya adalah sebuah Lembaga Penyiaran Publik, tetapi pada operasionalnya nanti setahap demi setahap kami tetap bersama Bapak. Jadi memang setahap adalah dari sisi teknis dulu, kemudian karena karakteristik dari penyajian siaran sangat berbeda, kami sekarang juga masih meniru beberapa Lembaga Penyiaran Publik, seperti di Korea misalnya, KBS itu masih terpisah dari sisi konten Pak. Lalu berikutnya kepada Bapak Yahya, tadi Bapak menyampaikan bahwa Lembaga Penyiaran Publik ingin menjadi lembaga negara, memang demikian Pak disampaikan di dalam undang-undang tersebut, ini merupakan keinginan bahwa penguatan dari dua lembaga ini sebagai lembaga negara agar juga bisa sinkron dengan undang-undang yang ada, yang mengatur berbagai sisi, seperti keuangan, kemudian pengaturan dalam ketenagakerjaan, sehingga sebagai lembaga negara akan lebih menguatkan posisi dua Lembaga Penyiaran Publik ini. Selain itu juga kami menginginkan bahwa apabila Lembaga Penyiaran Publik ini sebagai lembaga negara, maka sangat dimungkinkan nantinya akan mempunyai bagian anggaran tersendiri, sehingga kedua lembaga ini bisa betul-betul eksis, meskipun di dalam undang-undang disebutkan beberapa pendanaan yang bisa diperoleh oleh dua lembaga tersebut. Dan selain itu tentu saja kami berharap bahwa sebagai tanggung jawab moral, bahwa dua Lembaga Penyiaran Publik ini juga merupakan pilar pengaman dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi ini sebagai penguatan bagi kami di dua Lembaga Penyiaran Publik. Mungkin dari kami tanggapan demikian. Terima kasih. Wassalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Mungkin ada tambahan dari Ibu Niken?
19
DIRUT LPP RRI: Terima kasih Bapak Pimpinan. Menjawab pertanyaan Bapak Dadoes, saya kira sudah dijelaskan oleh Ibu Immas. Untuk Ibu Nurhayati, terima kasih juga masukan dari Ibu. Kami akan usahakan RRI untuk terus meningkatkan kesetaraan gender, khususnya di dalam siaran-siaran, karena Ibu sendiri beberapa waktu lalu rajin mengisi siaran wanita di RRI, namun sekarang memang agak lama tidak pernah berkunjung ke RRI. Dan kami juga mengundang Ibu-Ibu, tidak hanya Ibu-Ibu, tapi semua Bapak Ibu untuk siaran di RRI, karena rakyat ini sangat mengharapkan pembicaraan ataupun masukan-masukan dari Anggota DPR. Untuk Pak Tantowi Yahya, terima kasih sekali atas dukungan Pak Tantowi Yahya. RRI dan TVRI mendapatkan hak siar untuk siaran Sea Games yang akan datang, namun ada harapan yang kami sampaikan kepada Bapak Ibu Komisi I, karena RRI TVRI akan membawa nama negara, sedangkan peralatan-peralatan RRI TVRI ini sangat ketinggalan jaman. Oleh karena itu, kami mohon dengan sangat agar DIPA ataupun anggaran RRI TVRI yang akan datang bisa ditambahkan, khususnya untuk menyukseskan Sea Games Tahun 2011, karena terus terang untuk Sea Games ini belum kami masukan di dalam RKA-KL Tahun 2011, karena datangnya atau informasi dari Bapak Tantowi Yahya baru kami dapat sekitar 1 bulan yang lalu Pak Tantowi ya. Kemudian mengenai keinginan dari Bapak Ibu DPR, khususnya Pak Tantowi Yahya, mengenai peleburan RRI TVRI, barangkali untuk ke depan setelah RRI TVRI memiliki undangundang tersendiri, lex specialis mungkin bisa. Namun di dalam revisi undang-undang ini perlu ada masa transisi, seperti juga penerapan teknologi digital di Indonesia, ini membutuhkan masa transisi migrasi dari analog ke digital sekitar kurang lebih 10 tahun, karena perlu adanya budaya baru, perlu adanya peralatan, SDM, keterampilan, dan banyak hal yang perlu dipersiapkan, mengingat teknologi ke depan dengan adanya multifleksing ini memang menuntut lembaga penyiaran harus melakukan konvergensi media. Jadi untuk masa transisi ini, yang kami langkah dari RRI TVRI adalah sementara penggabungan separoh, mungkin ini merupakan embrio dari peleburan RRI TVRI Pak Tanto. Kemudian dari Pak Yahya, mengenai lembaga negara, ini kenapa RRI maupun TVRI menginginkan lebih kuat lagi sebagai lembaga negara, karena mengingat khususnya RRI, di daerah perbatasan ini sangat luar biasa, masyarakat menginginkan adanya saluran informasi, baik radio maupun televisi yang bisa menjangkau mereka. Di hampir sekarang di setiap daerah perbatasan itu meminta kepada RRI untuk mendirikan studio-studio produksi atau stasiun di daerah perbatasan, kurang lebih ada 1.075 kilometer perbatasan Indonesia – Malaysia ini yang sama sekali tidak pernah tersentuh oleh informasi dari Indonesia. RRI berinisiatif mendirikan studio produksi di Nunukan, kemudian Entikong, Putusibau, Malinou, namun itupun ternyata belum cukup, karena banyak sekali tuntutan masyarakat untuk supaya RRI didirikan dan kalau mengandalkan adanya pemasukan dari iklan, di daerah-daerah tersebut sama sekali tidak ada potensi sedikit pun RRI mendapatkan iklan. Oleh karena itu, menjadi lembaga negara ini merupakan usulan dari kami RRI agar bisa menjangkau melayani seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saya kira itu, terima kasih dan satu lagi, dengan adanya RRI dan TVRI sebagai lembaga negara, RRI siap menjadi state diplomacy atau state diplomat selain untuk kepentingan bangsa dan negara, RRI juga menjaga citra positif bangsa di dunia internasional dengan bekerja sama dengan radio-radio asing, kita mendapatkan slot waktu di radio Jeddah 2 jam, di radio televisi Hongkong juga mendapatkan slot waktu. Ini akan kita perluas, karena memang visi RRI untuk 5 tahun ke depan ini kita perkuat, yaitu mewujudkan... F-KB (DR. H.A. EFFENDY CHOIRIE, M.H.): Ketua, yang terkait dengan khusus misalnya cerita soal RRI, cerita soal TVRI itu nanti kalau rapat kerja. Tapi ini saya kira kita harus memberi gambaran secara umum, masukan umum tentang dunia penyiaran itu bagaimana ya, itu saya kira. Jadi bukan spesifik cerita-cerita soal program-program RRI dan TVRI dan semacamnya itu, itu nanti kalau rapat kerja saya kira begitu ya.
20
DIRUT LPP RRI: Baik, terima kasih Bapak. Wassalaamu 'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. KETUA RAPAT: Baik, rekan-rekan yang saya hormati. Kita tadi sepakat sampai jam 16.00, tetapi kalau masih ada kami persilahkan. Ada 3 orang, yang pertama Gus Coy, kedua nanti Pak Hari, Pak Dadoes, dan Pak Hayono. Kami persilahkan Gus Coy. F-PKB (DR. H.A. EFFENDY CHOIRIE, M.H.): Terima kasih Ketua. Saya hanya meminta yang pertama, yang kedua komentar. Permohonan saya bagaimana teman-teman KPI, TVRI, RRI dan LSM yang punya perhatian di bidang ini, kelompokkelompok yang punya perhatian di dunia penyiaran itu memiliki konsep bersama tentang bagaimana membangun dunia penyiaran. Revisi-revisi mana yang paling penting, misalnya ada satu punya pandangan harus satu pandangan tentang bagaimana eksistensi posisi tentang KPI. Diapakan KPI ini? Harus bagaimana seharusnya KPI? Apakah seperti sekarang yang dipreteli fungsinya oleh pemerintah? Atau seperti sebelumnya yang memang dia satu-satu lembaga yang mengurus penyiaran? Mulai ijin, proses, sampai pengawasan tentang dunia penyiaran, seluruh aturan diatur oleh KPI. Jadi negara atau pemerintah bukan negara ya pemerintah dalam hal ini Departemen Kominfo tidak punya hak lagi di situ, karena sesungguhnya kalau departemen menteri itu mewakili presiden saja. Kalau lembaga misalnya KPI yang kita sebut di sini lembaga negara, dia mewakili publik 3 kaki dari presiden, DPR, dan mewakili publik di sini ya presiden, DPR cukup kan nanti kan Ketua dan mewakili publik. Ini menurut saya penting untuk menjadi rumusan yang final dari semua pelaku, pemikir, pengamat, pelaksana dunia penyiaran harus satu pandangan tentang KPI mau diapakan, sehingga ketika kita berhadapan dengan pemerintah kita, satu. Yang kedua, tentang Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Publik itu bukan yang keluar otaknya masing-masing dari RRI dan TVRI, kepentingan birokrasi yang sudah berpuluh-puluh tahun dari orang-orang pelaku di RRI dan TVRI. Kotak-kotak ini yang sesungguhnya tidak ada kepentingannya langsung dengan publik, ini kemudian mewarnai rumusan kepentingan di sini, kepentingan birokrat lagi yang ada di situ, yang sesungguhnya di luar kehendak publik. Kalau kita nilai secara keseluruhan, sebetulnya lembaga-lembaga penyiaran itu lebih berpihak kepada publik, konten-kontennya lebih banyak untuk kepentingan publik, kan cuma RRI dan TVRI dan seterusnya. Oleh karena itu, otak dan pikiran ketika kita mau revisi ini, unsur-unsur birokratis yang punya ciri korup, punya ciri lamban, punya ciri tidak efektif, punya ciri yang sering tidak berpihak kepada publik itu, itu ditinggalkan. Kemudian kita berpihak kepada akal yang sehat apa sesungguhnya yang dipikirkan oleh publik sekarang. Di sini Lembaga Penyiaran Publik harus diperbaiki melalui pikiran yang sehat, tidak dibumbui oleh kepentingan-kepentingan internal atau apa. Nah oleh karena itu berarti harus siap, bukan dia harus begini, kita nanti begini, semua nanti bisa dicari alasan, bagi orang yang tidak mengerti itu bisa diberi alasan-alasan seperti itu. Nah, di sini berarti kepemimpinan moral, mental harus siap untuk itu berubah. Nah, konsep Lembaga Penyiaran Publik juga harus satu pandangan. Nanti begitu masuk di sini, usulannya itu konkrit. Itu memang usulan dari mayoritas publik. 1-2 orang tidak setuju itu biasa. Nah oleh karena itu menurut saya KPI memprakarsai ini. Prakarsai kemudian membuat hukum atau Undang-Undang Penyiaran yang lebih komprehensif. Mungkin di ruangan ini yang masih tersisa untuk membuat undang-undang yang lama ini, 2002 ini tinggal saya, karena itu roh lama itu belum hilang saya itu. Belum dilaksanakan, sudah mau direvisi. Belum dilaksanakan sepenuhnya, belum diimplementasikan sepenuhnya, tapi tidak apa-apa, kita memang harus siap selalu berubah. Mana yang harus, karena ini bukan kita Al-Quran ini, bukan Injil bukan apa, setiap saat bisa kita ubah sepanjang itu untuk perbaikan. Tapi intinya ke depan jangan sampai side back. Justru dengan revisi ini side back dari demokrasi dunia penyiaran. Side back, yang semula misalnya sudah di sini memuat hal-hal yang bersifat adil untuk dunia penyiaran, justru kemudian memberi peluang untuk konglomerasi media. Semakin merajalela atau semakin 21
mengukuhkan yang ada sekarang ini. Monopoli-monopoli di dunia penyiaran itu semakin kita kukuhkan, ini akan bahaya, kita berdosa, lebih besar lagi dosa kita, karena sesungguhnya mau merevisi ini lebih baik, tetapi kemudian mengukuhkan apa yang ada. Saya kira ini juga harus menjadi perhatian Bapak-Bapak, Saudara-saudara, dan sekali lagi saya inginkan konsep sandingan. Jadi kira-kira bentuknya kaya begini langsung sandingan. Konsep dari dunia penyiaran mungkin kalau yang swasta besar-besar tidak mau diajak, ya tidak apa-apa. Misalnya tidak mau diajak untuk berembug mestinya begini-begini, dengan konsep yang lebih utuh, nanti disandingkan di sini. Konsep lama, konsep baru, versi masyarakat penyiaran tarok di sebelahnya perubahannya begini. Jadi lebih konkrit, nanti kemudian kita jelas pertarungannya itu, termasuk tadi kalau disebut tidak ada sanksinya dan segala macam itu jelas, semua harus lebih jelas lagi. Saya kira begitu Ketua antara komentar sama harapan saya dan dari pihak KPI tidak usah dikomentari juga tidak apa-apa, tapi yang baik-baik dilaksanakan. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Saya persilahkan Pak Hari. F-PD (Ir. H. HARI KARTANA, MM.): Ya, terima kasih Pak Ketua. Ada beberapa yang kami sampaikan kepada KPI, khususnya Pak Dadang. Ini di Pasal 36 kalau tidak salah ya, itu memuat siaran-siaran yang dilarang ya mungkin yang Pasal 5 dan Pasal 6. Ini juga demi artinya kelancaran dari Bapak sendiri, kelihatannya perlu ya (suara kurang jelas) apakah sudah termaktub di sini atau belum? Tapi saya belum lihat, itu mengenai hal-hal yang dilarang. Jadi kelihatannya Bapak perlu membuat suatu definisi ataupun suatu katakanlah hal-hal yang jelas, sebenarnya apa saja yang dilarang. Jadi jangan sampai nanti malah jadi satu masalah untuk misalnya saja di satu negara barat dan kita, ataupun antara kita dan negara Arab misalnya pun sudah berbeda mengenai istilah definisi cabul ya misalnya saja Pak atau kekerasan yang mana gitu, tapi Bapak begitu nuntut pun akan terkendala gitu akan muncul kesulitan menurut dia, oh ini bukan istilah cabul, mungkin kalau buat kita kalau orang (suara tidak jelas) saja sampai dengkul bagaimana, kalau di atas dengkul bagaimana Pak. Jadi itu kelihatannya harus menjadi satu lampiran yang mengikat. Jadi hal-hal yang betul-betul yang jadi pegangan gitu Pak. Saya khawatir nanti Bapak sendiri begitu nuntut loh mana istilah cabul, mungkin di Jakarta tidak masalah, tapi begitu Bapak ke daerah, itu sudah lain, itulah yang sering kami temukan di wilayah-wilayah ya di daerah-daerah yang terpencil, kebetulan kami juga harus datangi konstituante Pak, itu kok terlalu vulgar atau semacam gitu. Termasuk juga istilah kekerasan Pak. Mungkin buat orang Jakarta, ah biasa kayak koboy, tapi ke daerah itu pengaruhnya itu cukup besar. Jadi nanti kami harapkan ini cukup butuh waktu Bapak harus tanya kanan kiri mana yang definisi ini, sehingga bisa diterima seluruh lapisan masyarakat Pak. Saya kira tolong itu yang diperhatikan, demikian Pak. Terima kasih. KETUA RAPAT: Saya persilahkan Pak Dadoes dan nanti barangkali terakhir Pak Hayono. F-PDI PERJUANGAN (Ir. DADOES SOEMARWANTO, M.Arch.): Terima kasih Pak. Hanya catatan saja Pak pada Sekretariat, dalam rangka pembahasan undang-undang nantinya, mohon hal-hal seperti ini perlu diperhatikan untuk Sekretariat bahwa kita menerima dua naskah yang berbeda, yang secara substansi juga isinya berbeda, itu saja Pak. Terima kasih. KETUA RAPAT: Silahkan Pak.
22
WAKIL KETUA (H. HAYONO ISMAN, S.IP./F-PD): Terima kasih Pimpinan. Yang terhormat rekan-rekan Komisi I. Para tamu undangan yang saya hormati sekaligus saya banggakan. Ya saya pikir kita semua sepakat bahwa rekan-rekan Komisi I terdahulu jamannya yang terhormat Pak Effendy Choirie melahirkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 yang sering disebut sebagai anak kandungnya DPR RI melalui Komisi I adalah untuk memperkuat publik, karena hanya publik yang kuat berdasarkan jati diri bangsa kita bisa bangkit dan menghadapi berbagai masalah ke depan. Nah oleh karena itu, saya setuju roh ini harus diperkuat ya, sehingga KPI harus punya kemampuan secara hukum untuk penegakkan hukum, apabila terjadi pembiaran saya khawatir justru akan memperlemah posisi publik itu sendiri. Kemudian kepada TVRI dan RRI, ya saya pikir di Komisi I kita paham sejarah kelahiran RRI sebagai saudara tua, TVRI yang lebih muda. Jadi tetap ada dua tanggal kelahiran yang nanti akan dihormati terus diperingati kita semua, khususnya oleh lembaga yang nanti diharapkan bisa mengayomi, baik RRI maupun TVRI. Saya setuju ada proses, namun saya khawatir waktunya tidak banyak. Contoh yang terdekat Sea Games, sedangkan kita ketahui untuk mendorong TVRI dan RRI mencapai suatu tahapan yang kita inginkan dalam waktu dekat tidak mudah. Nah, sehingga kita mohon masukan di RUU perubahan undang-undang ini apa kira-kira yang bisa mempercepat proses tersebut, karena anggaran itu sangat tergantung dari bunyi undang-undang. Kalau bunyi undang-undangnya biasa-biasa saja terhadap RRI dan TVRI, ya anggarannya juga biasa-biasa saja keluarnya. Padahal kita ketahui bersama ABC Australia itu menghabiskan Rp.7,2 triliun per tahun melayani 21 juta jiwa. RRI TVRI mungkin kurang lebih Rp.1 triliun melayani 230 juta jiwa. Jadi jauh di bawah, padahal kita sepakat RRI TVRI adalah tidak hanya ya untuk menjadi gardanya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak punya pilihan, dia harus memiliki kemampuan yang sangat baik untuk mengaktualisasikan berbagai konten, materi yang enak dilihat, sejuk untuk didengar, tetapi kemasannya tidak kalah dengan televisi swasta. Nah, ini dimana kira-kira di dalam undang-undangnya ini nanti bisa masuk ya. Dan ya harapan saya ke depan, TVRI RRI tidak boleh mengambil dana iklan. Jadi harus diatur itu apakah nanti di Undang-Undang atau di Peraturan Pemerintah. Iklan itu domainnya swasta, jadi menurut saya, RRI sebagai TVRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik itu harus sepenuhnya dari dana negara ya, sehingga ada suatu apa kehadiran yang sehat antara swasta dengan publik. Kekhawatiran swasta adalah nanti TVRI kalau RRI kuat, dia akan mengambil dana iklan, nah ini yang saya pikir suatu pemikiran yang tidak sehat berkembang ya. Jadi ke depan ini salah satu pemikiran. Satu lagi adalah Pimpinan yang terakhir, pasalnya jelas sekarang masih berlaku bahwa penyiaran itu masuk di sini. Yang saya mau tanya LSF, posisinya dimana sebetulnya yang terbaik? Supaya terjadi koordinasi yang intensif, sinergik antara LSF, KPI, dan Dewan Pers. Sekarang ini masih di Komisi VIII kalau tidak salah ya, padahal film itu menyangkut penyiaran sampai kepada nanti di sini jadi bisa nonton film nanti. Itu masuk penyiaran. Nah, ini dimana baiknya? Itu kira-kira Pimpinan. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, kami persilahkan Pak Dadang, Ibu Immas nanti ditambahkan yang lain. Terima kasih Pak Dadang. KETUA KPI PUSAT: Baik, terima kasih. Dari Gus Coy terima kasih berbagai penguatannya kepada KPI ini sudah tentu kami akan membicarakan Gus Coy. Pada minggu kedua kebetulan kita juga memang sengaja akan membuat draft revisi KPI ini akan kita undang beberapa stakeholders untuk membahasnya dan mudah-mudahan kita juga bisa pada prinsipnya nanti memberikan masukan-masukan yang lebih konkrit lagi untuk revisi undang-undang, termasuk kami juga ingin sampaikan, tadi agak kami lupa sampaikan, kami juga ingin mendorong kalau soal TVRI dan RRI, tentu kami juga punya konsen sangat kuat untuk mendorong menjadi Lembaga Penyiaran Publik yang kuat, tapi juga kami ingin mencoba menempatkan bagaimana tentang lembaga penyiaran komunitas, yang 23
tampaknya kalau di undang-undangnya ada beberapa yang cukup bagus, kuat, tetapi dalam impelementasi peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan yang lainnya, ini tampaknya belum mendapatkan tempat yang cukup baik. Ini khusus untuk Lembaga Penyiaran Komunitas. Jadi prakarsa tentang roh itu tetap ada, kami juga sepakat KPI bulat, KPI Pusat, dan KPI Daerah bahwa perubahan Undang-Undang Penyiaran ke depan tidak mengubah rohnya, mungkin disampaikan juga oleh Pak Hayono. Kemudian dari Pak Hari Kartana, tentang berbagai istilah di Pasal 36 tentang hal-hal yang dilarang itu. Memang kalau penjelasan di undang-undangnya cukup jelas disebutkan, tentang kekerasan, cabul, dan segala macamnya, tetapi kami sudah mempunyai rumusanrumusan yang lebih operasional lagi, yaitu di Pedoman Perilaku Penyiaran P3SPS. Jadi kekerasan itu apa saja yang misalnya boleh dan tidak boleh. Tentu kekerasan sebetulnya tidak boleh, tetapi kekerasan seperti apa yang menjadi boleh dalam konteks seperti apa. Cabul, kekerasan, kemudian hal-hal yang dilarang cukup banyak Pak di sini, tetapi memang kami akui juga bahwa perubahan P3SPS ini kalau katanya di saya pernah lihat memang di FCC di Amerika itu cukup tebal Pak, sangat mendetil mengaturnya, tetapi kami ya baru sampai saat ini baru seperti ini. Mungkin nanti tiap tahun akan tetap makin akan makin tebal lagi, karena makin detil lagi, dan aturan yang sangat tegas dan jelas ini juga bisa membantu perbedaan persepsi dengan lembaga penyiaran itu sendiri, termasuk juga dengan misalnya katakanlah ada masyarakat yang satu sisi mengklaim itu sebagai sebuah tindakan pelanggaran atau yang mungkin di sisi yang lain juga tidak, karena perbedaan budaya atau perbedaan-perbedaan persepsi, dan lain-lainnya. F-PKB (DR. H.A. EFFENDY CHOIRIE, M.H.): Sedikit ya. Tadi itu, nanti kalau diajukan itu jangan hanya draft KPI itu draft bersama, draft bersama perubahan tentang Undang-Undang Penyiaran dan saya minta juga seperti RRI dan TVRI itu jangan berpikir yang membengkak-bengkak, ingin Sekretariat Jendera lah, segala macam, harus semakin efektif. Jadi nanti itu di situ mungkin bayangan saya, Lembaga Penyiaran Publik itu selain disatukan, total disatukan, tidak usah nyontoh-nyontoh negara lain mana-mana, tidak usah, kita punya formula sendiri. Nanti akan semakin efisien dalam organisasi, semakin efisien dari banyak hal, efektif dalam penyiaran, dan segala macam, dan semakin bisa menjangkau seluruh rakyat Indonesia, teknologinya semakin canggih. Nah, hal-hal yang seperti itu mungkin nanti bisa dimasukan supaya lebih dasar, tetapi jangan berpikir birokrasinya, jangan berpikir wah ini nanti kita dilayani, ini ada Sekretariat Jenderal, bahkan pikiran saya nanti Komisaris ini tidak perlu lagi, Dewan Pengawas itu langsung Direksi dipilih oleh DPR, diusulkan oleh Presiden. Lebih efektif, organisasinya juga biar lebih efektif. Jadi mengefisienkan struktur. Mungkin sekarang di dalam salah satu ayat TVRI Lembaga Penyiaran Publik dapat menyelenggarakan siaran dengan di daerah itu stasiun-stasiun apa di daerah itu, suatu saat tidak perlu lagi ada seperti itu, langsung per siaran dari Jakarta di daerah itu cukup perwakilan, tidak perlu ada seperti sekarang ini. Yang itu kita kaitkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang harus 24 jam menerima siaran dari TVRI itu dari siarannya itu, ada daerah yang karena dia menyelenggarakan siaran 3 jam sendiri, 2 jam sendiri putus hubungan pusat dengan daerah, tidak boleh itu, itu memutus Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang itu sering tidak disadari, tidak dipahami oleh TVRI dan RRI. Jangan sampai putus informasi dari Jakarta yang dipancarkan seluruh Indonesia gara-gara TVRI di lokal, lokal padahal TVRI tidak ada lokal, nasional. Yang lokal itu diselenggarakan oleh pemerintah lokal, oleh publik lokal, DPRD, Gubernur, atau Bupati itu menyelenggarakan. Nah, ini ada kan 4 jam atau 2 jam atau 3 jam, Jakarta putus tidak bisa diterima di daerah itu. Nah, yang begini-begini suatu saat harus diperjelas, supaya tidak salah beda interpretasi, beda pemahaman. Akibatnya tidak sampai cinta hukum atau perundang-undangan yang kita bikin, saya kira gitu. Terima kasih. KETUA KPI PUSAT: Ya, sebenarnya cukup Pak, hanya memang betul Pak Effendy Choirie, jadi draft yang sudah dibuat oleh KPI ini akan kami sampaikan juga kepada beberapa stakeholders. Mudahmudahan nanti menjadi draft bersama dengan masyarakat penyiaran yang lainnya. Barangkali itu saja. 24
Terima kasih. KPI PUSAT: Yang berkaitan dengan Dewan Pers, sebetulnya permasalahan yang sering muncul adalah pada saat ada sebuah peristiwa siaran yang katakan itu muatannya pemberitaan. Perdebatannya sekarang ini kami secara katakanlah ini konvensi ya, sebetulnya masih konverensi Pak. Jadi begitu ada kejadian yang mereka berkaitan dengan pemberitaan, kami berkoordinasi dengan Dewan Pers. Kami juga sedang menggagas katakanlah peraturan bersama atau MoU atau apapun namanya dengan Dewan Pers dalam hal menangani pemberitaan di lembaga penyiaran, tetapi sesungguhnya juga menjadi ironi, di satu sisi tadi disampaikan oleh Pak Helmy tampaknya memang Undang-Undang Penyiaran ini belum menjadi lex specialis terhadap perundang-undangan yang lain, termasuk juga Undang-Undang Pers, karena perdebatannya apakah memang Undang-Undang Pers ini, maaf, Undang-Undang Penyiaran ini bisa tidak menjadi lex specialis dari Undang-Undang Pers, khusus untuk pemberitaan di lembaga penyiaran. Ini juga memang menjadi masih jadi perdebatan. Itu kedudukan dengan Dewan Pers juga kami di salah satu pasal juga memberikan masukan tentang di situ disebutkan bahwa sebelumnya di undang-undang, wartawan penyiaran harus tunduk kepada kode etik jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nah, di usulan kami, di revisi, kami konkritkan bahwa wartawan penyiaran harus tunduk kepada P3SPS, kode etik penyiaran, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi tidak hanya kepada kode etik penyiaran. Apalagi di undang-undang juga didorong dibentuknya kode etik penyiaran tersendiri. Artinya, lex specialis Undang-Undang Penyiaran terhadap undang-undang yang lain sebetulnya sudah digagas di dalam undang-undang sebelumnya. Mungkin itu juga akan kami pertegas lagi di usulan revisi kami. Tapi sebetulnya sudah kami cantumkan di usulan kami. Kemudian dengan LSF ini memang agak unik Pak, uniknya kenapa? Karena LSF ini kan tidak semua produk LSF ini pasti akan ditayangkan di lembaga penyiaran, karena mungkin ada saja yang tidak di lembaga penyiaran, tapi potensial memang disiarkan di lembaga penyiaran. Yang sekarang terjadi adalah kami belum tahu persis, tapi kami mendengar sebetulnya yang terjadi bukan sensor, tapi lebih kepada labelisasi barangkali, labelisasi bahwa ini dewasa, remaja, atau anak-anak. Nah, kemudian keluarlah yang namanya Surat Keterangan Sensor (STLS). Nah ini dijadikan oleh lembaga penyiaran sebagai bukti bahwa kami kalau sudah lulus dari LSF berarti tidak ada masalah dong mestinya disiarkan. Nah perbedaan-perbedaan yang tadi juga Pak Hari sampaikan, penafsiran dari satu undang-undang dengan undang-undang lain, atau mungkin perbedaan tugas dan fungsi dari LSF dengan KPI, ini dibenturkan oleh lembaga penyiaran. Nah, terus terang saja kami sering mendapat keluhan, kami sudah lulus di LSF, kenapa KPI masih menegur kami. Contoh ada yang bernuansakan kekerasan, cabul, dan segala macamnya. Oleh karena itu, kami sampai saat ini bahwa surat tanda lulus sensor itu sebagai salah satu acuan saja. Jadi tidak satu-satunya program yang sudah lulus itu menjadi lulus juga dan tidak bermasalah di mata Undang-Undang Penyiaran. Oleh karena itu, kami menggunakan P3SPS. Setelah lolos dari, kalaupun itu lolos dari LSF, di dalam Pasal 23 P3SPS kita, kita juga meminta kepada Lembaga Penyiaran untuk melaksanakan sensor internal. Itu mungkin tambahan-tambahan yang juga mudah-mudahan sebagian dari peraturan, sebagian isi dari P3SPS ini ada yang kami endorse juga untuk menjadi isi dari Undang-Undang Penyiaran. Nanti kami akan tunjukan pasal-pasal mana di P3SPS yang kami endorse untuk menjadi bagian dari Undang-Undang Penyiaran, sehingga menjadi lebih kuat kedudukannya Pak, itu mungkin. Terima kasih. KETUA RAPAT: Menambahkan? ANGGOTA RAPAT: Pak Hayono, tentang posisi LSF dalam formulasi konstruksi hukum Undang-Undang Penyiaran memang perlu ada penegasan dalam konteks program yang masuk di tayangan televisi yang di on air-kan. Kenapa demikian? Kalau kami hanya berbicara tentang P3SPS Peraturan KPI, mengintervensi sesuatu produk hukum atau produk yang diatur oleh undangundang, sebenarnya dalam logika hukum kami tidak terlalu kuat ya, kalau itu tidak disebutkan, 25
kalau memposisikan Undang-Undang Penyiaran sebagai lex specialis itu baru bisa memasukkan. Jadi minimal sebagai satu filter, minimal sebagai satu kontrol terhadap peran -peran yang akhirnya masuk pada ranah yang diatur oleh lembaga penyiaran yang diatur oleh UndangUndang Penyiaran. Saya pikir saya sependapat kalau hal itu diatur, tetapi harus ada klasifikasi secara jelas tentang objek yang diatur atau ruang lingkup tentang tugas LSF berkaitan dengan produk mereka. Kalau mereka kan intinya untuk kepentingan film di bioskop dan sebagainya, tapi kalau masuk ranah di lembaga penyiaran bagaimana? Itu yang secara substansi menjadi pendekatan materil dalam hukum ini saya pikir perlu, supaya pada waktu apa yang dikatakan secara empirik, apa yang menjadi kasus, dan dikatakan oleh Pak Dadang bisa kita antisipasi secara materil dan formatnya jelas diatur di situ melalui undang-undang. Jadi kalau tadi Dewan Pers sudah diatur di dalam posisi itu, di dalam Undang-Undang Penyiaran, kita ada alasan untuk berkoordinasi, ada alasan kita mau memberikan fungsi kontrol. Jadi tidak diposisikan para pihak yang seakan-akan bisa bersengketa Pak, ini yang kami bahaya. Kalau dengan Dewan Pers jelas dalam undang-undang posisinya adalah kemitraan, tapi kalau LSF bisa diposisikan kita para pihak yang bersengketa dengan LSF itu yang saya khawatirkan, maka diakomodir dalam pengaturan ini lebih bagus menurut saya. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, ada tambahan mungkin dari Ibu Immas? DIRUT LPP TVRI: Terima kasih Bapak Pimpinan, sedikit saja. Pertama, terima kasih kepada Bapak Effendy Choirie masukan-masukannya dan support-nya kepada kami. Kami akan membaca kembali dan akan duduk bersama-sama lagi untuk memperbaiki draft usulan-usulan. Dan kepada Bapak Hayono, kami juga ucapkan terima kasih Bapak, bahwa penguatan Lembaga Penyiaran Publik, baik TVRI maupun RRI ini harus lebih jelas lagi dimasukan ke dalam Undang-Undang Penyiaran dan kami juga sangat berterima kasih bahwa seandainya Lembaga Penyiaran Publik itu tidak perlu iklan, sehingga anggaran itu betul-betul didedikasikan kepada publik secara keseluruhan untuk melayani seluruh bangsa dan negara ini Pak. Jadi kalau iklan itu memang kami berpikir agak sedikit komersial, sehingga akan memberikan juga kekhawatiran bagi televisi swasta saya pikir. Jadi kalau untuk Lembaga Penyiaran Publik memang akan sebaiknya apabila anggaran itu betul-betul fix dari negara saja, sehingga tanggung jawab moral kami betul-betul untuk melayaninya Pak. Lalu pasal demi pasal yang Bapak sampaikan tadi, kami juga akan mencoba kembali agar bisa lebih eksplisit Pak untuk penguatan Lembaga Penyiaran Publik, baik TVRI maupun RRI. Demikian Pak. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Mungkin dari Ibu Niken? DIRUT LPP RRI: Terima kasih Bapak Pimpinan Saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Effendy Choirie yang memberikan masukan bahwa Lembaga Penyiaran Publik ke depan kita formulasikan sendiri sesuai dengan kepentingan publik, kepentingan bangsa dan negara, dan keinginan dari Bapak Effendy untuk menyusun konsep bersama ini segera kita tindak lanjuti dari KPI, TVRI, maupun RRI. Dan Bapak Hayono Isman terima kasih sekali masukan dari Bapak untuk lebih memperkuat Lembaga Penyiaran Publik, tentu ini nanti akan menjadi kajian di dalam tim bersama antara RRI, TVRI, KPI, ataupun stakeholders lainnya, saya kira itu. Terima kasih Bapak. KETUA RAPAT: Terima kasih.
26
Baik, barangkali dari kiri, dari kanan, dan sebagainya tidak ada, kita sudah hampir mendekat ke setengah lima sore, dan sudah cukup hal-hal yang kita diskusikan. Bapak dan Ibu yang kami hormati, Bahwa kesempatan masih tetap terbuka, seandainya di dalam beberapa hari atau minggu ke depan ada barangkali pemikiran-pemikiran, sampaikan saja kepada kami untuk kita bahas bersama-sama untuk revisi undang-undang yang harus jauh lebih baik. Kami atas nama seluruh rekan-rekan dari Komisi I mengucapkan terima kasih atas kehadirannya, dan mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau ada hal yang kurang berkenan, dan demikian rapat dengar pendapat kami tutup dengan Wassalaamu ’alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. (RAPAT : DITUTUP PUKUL 16.30 WIB)
Jakarta, 6 Desember 2010 a.n Ketua Rapat SEKRETARIS RAPAT, SUPRIHARTINI, S.IP. NIP. 19710106 199003 2 001
27