DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS
SITI HOLIJAH RANGKUTI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Siti Holijah Rangkuti NIM B04100107
ABSTRAK SITI HOLIJAH RANGKUTI. Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis. Dibimbing oleh YUSUF RIDWAN dan FADJAR SATRIJA. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari derajat infeksi kecacingan akibat Haemonchus contortus berdasarkan jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) pada domba ekor tipis. Sampel tinja diambil dari 20 ekor domba yang diinfeksi oleh Haemonchus contortus dengan dosis infeksi 500, 1000, 2000, 4000 larva infektif dan kelompok non infeksi sebagai kontrol. Cacing dewasa dikoleksi dari domba infeksi pada akhir percobaan pada minggu kedelapan setelah infeksi. Hasil penelitian menunjukkan establishment tertinggi terjadi pada kelompok dosis 500, 1000, 2000 dan 4000 dengan persentase 50.1%, 14.6%, 6.1% dan 3.6%. Analisis regresi linear menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara jumlah TTGT dan jumlah cacing Haemonchus contortus. Derajat infeksi dikategorikan berdasarkan jumlah cacing terlihat infeksi ringan dengan 1 – 250 ekor cacing menghasilkan TTGT sebanyak 50 – 4400 telur, infeksi sedang dengan 251 – 500 ekor cacing menghasilkan TTGT sebanyak 4400 – 8800 telur dan infeksi tinggi dengan >500 ekor cacing menghasilkan TTGT >8000 telur. Kata Kunci : derajat infeksi, Estabilishment, Haemonchus contortus, TTGT
ABSTRACT SITI HOLIJAH RANGKUTI. Degree of Haemonchosis based on the number of worm and worm egg per gram (EPG) of faeces on thin tail sheep. Supervised by YUSUF RIDWAN and FADJAR SATRIJA. The aim of this experiment was to study the degree of helminth infection caused by Haemonchus contortus based on the number of worm and egg per gram of faeces (EPG) on thin tail sheep. Faecal samples were collected from 20 sheeps infected by Haemonchus contortus with the doses of 500, 1000, 2000, 4000 infected larva and non infected group as control. Adult worms were collected from the experimental sheeps at the end of experiment. In eighth week after infection, the results showed the highest establishment occurred on the infected groups of 500, 1000,2000 and 4000 larvae with the percentage of 50.1%, 14.6%, 6.1% and 3.6%, repectively.. Linear regression analysis showed strong relationship between the number of EPG and the number of worms of Haemonchus contortus. Degree infection were categorized based on the number of worms showed a mild infection with 1-250 worms produced as many as 504400 EPG, medium infection with 251-500 worms produced as many as 44008800 EPG and heavy infection with >500 worms produced >8000 EPG. Key words : degree infection, Estabilshment, Haemonchus contortus, EGP
DERAJAT HAEMONCHOSIS BERDASARKAN JUMLAH CACING DAN TELUR TIAP GRAM TINJA (TTGT) PADA DOMBA EKOR TIPIS
SITI HOLIJAH RANGKUTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah infeksi Haemonchus contortus dengan judul Derajat Haemonchosis Berdasarkan Jumlah Cacing dan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) pada Domba Ekor Tipis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Drh Yusuf Ridwan MSi dan Drh Fadjar Satrija MSc, PhD selaku pembimbing, serta Bayu Febram Prasetyo, SSi, Apt selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi saran. Penghargaan tidak lupa penulis sampaikan kepada Bapak Eman, Bapak Kosasih dan rekan sepenelitian yaitu Eniza Rukisti, Pika Sati S dan Hayatullah Frio M yang telah banyak membantu selama penelitian serta ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ira, Wiwit, Laras dan teman-teman ACROMION 47 yang telah memberikan semangat. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, Aisyah, Nuraini dan Fauzi atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2014 Siti Holijah Rangkuti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
1
Manfaat Penelitian
1
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
4
Tempat dan Waktu Penelitian
4
Hewan Coba
4
Prosedur Penelitian
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
SIMPULAN
9
DAFTAR PUSTAKA
9
RIWAYAT HIDUP
11
DAFTAR TABEL 1 Data jumlah cacing jantan dan betina dan persentase estabilishment 2 Jumlah telur tiap gram tinja berdasarkan derajat infeksi
7 8
DAFTAR GAMBAR 1 Organ reproduksi cacing dewasa Haemonchus contortus 2 Grafik hubungan jumlah cacing dengan TTGT
3 7
PENDAHULUAN Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara di Indonesia. Domba merupakan komoditi ternak penting dalam usaha peternakan rakyat dan mempunyai peran strategis bagi kehidupan ekonomi masyarakat di pedesaan. Peternak umumnya memelihara domba secara semi intensif dengan jumlah ternak antara 3-5 ekor. Domba digembalakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Pakan domba berupa rumput diambil dengan mengandalkan alam sekitar (Sudarmono dan Sugeng 2005). Pemeliharaan domba dengan cara digembalakan dan pakan seadanya menyebabkan domba mudah terserang oleh berbagai penyakit. Penyakit penting yang umumnya mengganggu kesehatan ternak domba adalah orf, skabies dan penyakit akibat parasit yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas ternak. Penyakit parasitik yang penting pada ternak domba adalah haemonchosis. Hemonchosis disebabkan oleh cacing Haemonchus contortus yang mempunyai kebiasaan menghisap darah. Kebiasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya anemia yang ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit dan Packed Cell Volume (PCV). Infeksi kronis yang disertai dengan rendahnya asupan nutrisi ternak dapat berakibat terjadi penurunan protein dan penurunan berat badan (Lastuti et al. 2006). Kerugian ekonomi dapat pula terjadi seperti penurunan produksi daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta dapat menyebabkan kematian ternak (Lastuti et al. 2006). Derajat keparahan infeksi dipengaruhi oleh jumlah cacing yang menginfeksi yang dapat didiagnosis melalui pemeriksaan tinja untuk mengetahui jumlah telur tiap gram tinja (TTGT). Selama ini, standar penentuan derajat infeksi yang digunakan berdasarkan data TTGT berasal dari penelitian luar negeri. Hal ini yang mendorong dilakukannya penelitian mengenai derajat infeksi cacing pada domba ekor tipis yang mengalami haemonchosis, sehingga dapat diketahui derajat haemonchosis melalui pemeriksaan tinja. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keberhasilan larva infekti (L3) menjadi cacing dewasa, korelasi antara jumlah cacing dengan TTGT serta derajat infeksi kecacingan yang diinfeksi oleh L3 H. contortus pada domba ekor tipis. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau acuan mengenai derajat infeksi H. contortus melalui pemeriksaan TTGT pada domba ekor tipis.
2
TINJAUAN PUSTAKA Domba di Indonesia Domba merupakan ruminansia kecil hasil domestikasi yang diklasifikasikan pada sub famili Caprinae dan genus Ovis aries. Devendra dan McLeroy (1982), Tillman (1981) dan Manson (1978) melaporkan bahwa jenis-jenis domba yang banyak diternakkan di Indonesia adalah domba ekor tipis, domba ekor gemuk (domba gibas) dan domba priangan. Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang tersebar luas di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah (Shodiq dan Abidin 2008). Ciri-ciri dari domba ekor tipis adalah berwarna dominan putih dengan warna hitam di sekitar mata, hidung dan beberapa bagian tubuh lainnya. Domba jantan mempunyai tanduk kecil dan melingkar, sedangkan domba betina tidak memiliki tanduk. Ciri lainnya memiliki ekor tipis dan tidak berlemak. Keunggulan domba ekor tipis adalah mempunyai sifat prolifik yaitu mampu melahirkan anakan kembar. Domba ini dapat melahirkan 2-5 anak setiap kelahiran. Menurut penelitian Krisnayana (2011) domba ekor tipis memiliki kekebalan terhadap infeksi Haemonchus contortus. Domba ekor tipis memiliki gen yang dapat terekspresi dan berpengaruh terhadap mekanisme ketahanannya terhadap infeksi Haemonchus contortus. Domba yang berasal dari Indonesia seperti domba sumatera dan domba persilangan antara domba Sumatera dengan domba ekor gemuk dilaporkan tidak memiliki ketahanan terhadap infeksi Haemonchus contortus (Romjali et al. 1996). Klasifikasi dan morfologi H. contortus Haemonchus contortus adalah cacing dari kelas Nematoda, Ordo Strongylida dan super famili Trichostrongyloidea. Cacing dewasa hidup di dalam abomasum ruminansia kecil termasuk domba dan kambing. Cacing jantan panjangnya 10-20 mm dan betina 18-30 mm. Cacing jantan dan betina dapat dibedakan melalui pengamatan morfologi organ reproduksi (Urquhart et al. 1987). Cacing betina berwarna merah, mempunyai pola spiral merah dan ukurannya lebih besar dari pada cacing jantan. Sedangkan cacing jantan tidak mempunyai pola spiral merah dan ukurannya kecil. Organ reproduksi cacing betina terdiri dari ovarium, oviduct, uterus dan diakhiri dengan vagina pendek yang bermuara pada vulva. Uterus dan vagina dihubungkan dengan ovijector. Cacing betina mempunyai vulva flap yang berfungsi dalam proses kopulasi dan pengeluaran telur. Setiap ekor cacing betina dewasa dapat bertelur sampai 10.000 butir perhari. Cacing jantan mempunyai organ reproduksi yang terdiri dari testis tunggal yang memanjang dan vas deferens berujung di duktus ejakulatori. Terdapat organ asesoris yang terdiri dari sepasang spikulum dan gubernakulum. Pada ujung posterior tubuh ditemukan pelebaran kutikula yang disebut bursa kopulatriks. Organ ini berfungsi membantu proses pelekatan cacing jantan dan betina pada saat kopulasi.
3 A
B
C
V
S
BK
G
Gambar 1 Organ reproduksi cacing dewasa H. contortus A. Betina dan Jantan, B. Betina, C. Jantan, V. Vulva flap, BK. Bursa kopulatriks, S. Spikulum dan G. Gubernakulum. (Sumber : [BVA] British Veterinary Association 2010) Siklus hidup, Patogenesis, Gejala klinis, dan Diagnosa Haemonchosis Siklus hidup Haemonchus contortus bersifat langsung, tidak membutuhkan inang antara, terdiri dari fase pre-parasitik (hidup bebas) diluar tubuh induk semang, dan fase parasitik didalam tubuh inangnya. Cacing dewasa hidup di abomasum. Cacing betina dalam abomasum memproduksi telur yang keluar bersama pengeluaran tinja. Pada suhu dan kelembaban optimal telur akan menetas mengeluarkan larva stadium 1 (L1). Setelah melalui dua kali molting, L1 berkembang menjadi L2 dan selanjutnya menjadi L3 yang merupakan stadium infektif dalam waktu 4 sampai 6 hari. Larva infektif menempel pada rumputrumputan atau batang semak. Domba akan terinfeksi jika memakan rumput yang mengandung L3. Didalam tubuh inang L3 tumbuh dan berkembang menjadi L4 atau disebut tahap pradewasa. Selanjutnya L4 berkembang menjadi L5 atau tahap dewasa yang siap bertelur pada hari ke-15 sampai hari ke-20 setelah infeksi (Urquhart et al. 1987). Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan infeksi diantaranya status kekebalan individu, umur hewan, kejadian penyakit seperti diare dan anemia dan kejadian kronis pada hewan yang pernah terinfeksi H. contortus. Patogenesis dari haemonchosis dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur domba, ukuran dan berat badan, lama infeksi dan status nutrisi. Infeksi H. contortus menyebabkan hewan mengalami anemia dan hipoproteinemia. Patogenitas dipengaruhi oleh jumlah cacing yang menginfeksi. McKenna (1987) mengelompokkan derajat infeksi berdasarkan hasil penghitungan telur tiap gram tinja (TTGT) ke dalam tiga kelompok yaitu kategori rendah dengan infeksi telur ≤500, infeksi sedang 600-2000 telur dan infeksi tinggi >2000 telur pada domba berumur kurang dari 12 bulan. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi cacing H. contortus pada domba yaitu domba mengalami anemia dan penurunan Packed Cell Volume (PCV), diare, dehidrasi dan terjadinya akumulasi cairan pada jaringan sub mandibular (bottle jaw), abdomen, rongga thoraks dan dinding usus. Infeksi cacing ini juga dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan domba yang lebih rendah, mengurangi kinerja reproduksi yang terlihat nyata, memiliki kerentanan yang lebih tinggi terhadap paparan penyakit dan menyebabkan kematian (Browning 2006).
4 Diagnosis haemonchosis dapat dilihat berdasarkan gejala klinis yang ditimbulkan. Selain itu, dapat pula ditentukan dengan mengidentifikasi telur-telur cacing di bawah mikroskop. Bedah bangkai pada ternak yang mati juga akan membantu dalam penetapan diagnosis penyakit ini. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian H. contortus pada domba Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian infeksi cacing Haemonchus contortus pada domba dikawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia diantaranya faktor lingkungan akibat suhu tinggi, kelembaban dan curah hujan. Pada musim hujan, derajat infeksi cacing parasit lebih tinggi dibandingkan pada musim kemarau. Genetik juga merupakan salah satu faktor yang membuat domba rentan terhadap infeksi cacing ini. Faktor lainnya yaitu berkembangnya populasi parasit yang resistensi terhadap anthelmintik akibat penggunaan yang berlebihan (Browning 2006). Faktor lain yang dapat mempengaruhi diantaranya adalah kepadatan ternak, lamanya ternak merumput, masa selama menyapih sampai beranak kembali, disatukannya berbagai jenis ternak yang merumput bersama dan perbandingan antara jumlah ternak muda dan dewasa.
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Helmintologi dan kandang ruminansia kecil Unit Pengelola Hewan Laboratorium (UPHL), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung mulai bulan Juli hingga Oktober 2013. Hewan Coba Hewan yang digunakan adalah domba jantan berumur antara 6 hingga 8 bulan digunakan dalam penelitian ini. Berat badan domba yang digunakan berkisar antara 14-19 Kg pada awal penelitian. Sebelum digunakan untuk penelitian domba diberi anthelmintik Albendazol agar domba bebas dari infeksi cacing yang dibuktikan dengan tidak ditemukan telur cacing pada pemeriksaan tinja. Desain Penelitian Sebanyak 20 ekor domba jantan dengan umur 6 hingga 8 bulan dibagi menjadi 5 kelompok, masing-masing terdiri dari 4 ekor domba. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol tidak diinfeksi, kelompok kedua sampai lima merupakan kelompok domba yang diinfeksi masing-masing dengan dosis 500, 1000, 2000 dan 4000 larva H. contortus. Sampel tinja diambil dari setiap domba percobaan untuk diperiksa dan memastikan domba tidak terinfeksi sebelum domba diinfeksi. Pada minggu kedelapan setelah diinfeksi, tinja kembali diperiksa untuk mengetahui jumlah TTGT, kemudian domba disembelih dan dihitung jumlah cacing H. contortus yang terdapat dalam abomasum domba. Data
5 jumlah cacing dan TTGT di analisis untuk mengetahui korelasinya serta untuk menentukan kategori derajat infeksinya. Prosedur Penelitian Penyiapan Larva Infektif (L3) Haemonchus contortus Larva infektif yang digunakan untuk menginfeksi hewan percobaan diperoleh dari hasil pupukan telur cacing H. contortus. Telur cacing diperoleh dari cacing H. contortus betina yang diisolasi dari abomasum yang diperoleh dari tempat pemotongan hewan di Empang. Cacing betina dewasa yang diperoleh dari abomasum digerus menggunakan gerusan hypofise agar telur cacing dapat keluar. Telur cacing yang diperoleh ditambahkan beberapa tetes aquades dicampur dengan tinja sapi yang bebas cacing dan dicampur dengan bahan penambah vermikulit dengan perbandingan 1:3. Pupukan diaduk dan jika terlalu kering ditambahkan dengan aquades beberapa tetes. Pupukan diinkubasi selama 7 hari pada suhu ruangan agar semua larva menjadi larva infektif. Pemupukan dilakukan setiap hari sampai diperoleh jumlah larva infektif yang diperlukan. Pengumpulan larva dilakukan menggunakan metode Baermann. Gelas Baermann yang diisi dengan pupukan tinja lalu ditambah dengan aquades sampai terendam dan dibiarkan selama 1 hari. Prosedur Infeksi Buatan Larva yang telah terkumpul kemudian dihitung sesuai dosis yang telah ditentukan yaitu 500, 1000, 2000 dan 4000 larva infektif. Masing-masing dosis dimasukkan ke dalam kapsul gelatin, kemudian diinfeksi secara peroral menggunakan aplikator kapsul ke dalam abomasum domba. Penghitungan Telur Tiap Gram Tinja (TTGT) Jumlah telur cacing tiap gram tinja (TTGT) diperiksa pada minggu kedelapan pasca infeksi dengan melakukan pemeriksaan sampel tinja. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan metode McMaster. Sebanyak 2 gram sampel tinja dimasukkan ke dalam gelas. Tambahkan larutan gula jenuh sebanyak 58 ml sehingga volume seluruhnya menjadi 60 ml, lalu diaduk dan disaring menggunakan saringan teh. Suspensi tinja diambil menggunakan pipet lalu segera dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Diamkan 2-3 menit kemudian diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Telur cacing H. contortus yang ditemukan dihitung untuk mengetahui jumlah TTGT. Jumlah TTGT dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : TTGT = n x Keterangan : n BT V total V kamar hitung
x
= Jumlah telur = Berat tinja (gr) = Volume total (ml) = Volume kamar hitung (ml)
6 Penghitungan Jumlah Cacing Dewasa Domba disembelih pada minggu kedelapan akhir percobaan untuk dihitung jumlah cacing H. contortus dewasa yang terdapat di dalam abomasum. Abomasum dibuka pada bagian curvatura mayor, isi Abomasum di tampung di dalam ember plastik. Abomasum kemudian dicuci menggunakan air dan ditampung di dalam nampan. Cacing dikoleksi dengan menggunakan alat khusus seperti sonde untuk mempermudah dalam mengambil cacing yang terlihat. Cacing yang diperoleh dari isi lumen abomasum dan yang terdapat pada bilasan dikumpulkan di dalam cawan yang berisi NaCl fisiologis untuk mengetahui jumlah cacing jantan dan cacing betina. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium di tabulasikan menggunakan program Microsoft Excel. Data TTGT dan jumlah cacing dewasa H. contortus dianalisis dengan metode Anova sederhana dan dilanjutkan dengan metode regresi linear menggunakan software SPSS 16.0 untuk mengetahui hubungan antara TTGT dengan jumlah cacing dewasa.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah cacing Haemonchus contortus dan establishment Data rata-rata jumlah cacing jantan dan betina H. contortus dapat dilihat pada Table 1. Rata-rata jumlah cacing betina lebih banyak dibandingkan dengan rata-rata jumlah cacing jantan dengan perbandingan antara cacing jantan dan betina adalah 1 : 1.17. Hal ini menunjukkan bahwa cacing betina lebih dominan dari pada cacing jantan. Telur cacing merupakan produk biologis yang dihasilkan cacing betina produktif. Jumlah telur cacing yang dikeluarkan bersama tinja mencerminkan jumlah cacing yang ada di dalam tubuh inang. Jumlah telur yang keluar melalui tinja domba yang terinfeksi H. contotus biasanya tergantung pada jumlah cacing dan perbandingan antara jumlah cacing jantan dan betina dalam abomasum domba (Roberts and Swan 1981). Hasil penelitian berupa jumlah cacing dan persentase establishment disajikan pada Tabel 1. Persentase establishment atau keberhasilan perkembangan larva menjadi cacing dewasa antar kelompok dosis infeksi berbeda nyata (p<0.05). Keberhasilan perkembangan larva menjadi cacing dewasa tetinggi terdapat pada dosis infeksi 500 L3 dengan persentase 50.1 %, diikuti dosis 1000 L3, 2000 L3 dan 4000 L3 dengan persentase establishment masing-masing kelompok sebesar 14.6 %, 6.1 % dan 3.6 % (Tabel 1). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendrayani (2000) yang menyatakan bahwa semakin kecil dosis larva infektif yang diberikan maka semakin besar persentase establishment. Dosis infeksi yang tinggi menyebabkan respon imun atau kekebalan tubuh inang semakin tinggi. Larva infektif yang masuk ke dalam tubuh inang dapat merangsang kekebalan sehingga terbentuk reaksi tanggap kebal yang dapat menghambat perkembangan larva menjadi cacing dewasa (Hendrayani
7 2000). Hal ini dapat dilihat dari hasil persentase establishment yang rendah pada dosis infeksi yang tinggi pada penelitian ini. Tabel 1 Data rata-rata jumlah cacing dan persentase establishment Kelompok dosis (L3) 0 500 1000 2000 4000
Jantan 0 98.75 ± 111.22 74.50 ± 76.87 72.75 ± 89.62 58.50 ± 57.54
Jumlah cacing (ekor) Betina 0 151.75 ± 160.87 71.25 ± 66.81 49.75 ± 63.11 83.75 ± 70.70
Total 0 250.50 ± 272.08 145.75 ± 143.67 122.50 ± 119.44 142.25 ± 127.03
Establishment (%) 0 50.1 % 14.6 % 6.1 % 3.6 %
Hubungan Jumlah Cacing dan TTGT Hasil analisis regresi menunjukkan hubungan yang kuat (P<0.05) antara TTGT dan jumlah cacing. Jumlah TTGT berbanding lurus dengan jumlah cacing dan mempunyai garis linear yang semakin ke kanan semakin besar. Berdasarkan hasil analisis tersebut terlihat bahwa hubungan antara TTGT dan jumlah cacing pada Gambar 2 (B) lebih akurat dengan nilai R yang lebih besar (R = 0.948) dibandingkan hubungan antara TTGT dengan jumlah cacing pada Gambar 2 (A) (R = 0.851).
A TTGT (telur)
TTGT (telur)
B
Y=471.584 + 27.257X Cacing betina (ekor)
Y=102.659 + 17.491X Cacing jantan dan betina (ekor)
Gambar 2 Grafik Hubungan antara jumlah cacing dengan TTGT Keterangan : A. jumlah cacing betina (R = 0.851) B. jumlah cacing jantan dan betina (R = 0.948) Jumlah cacing yang ditemukan pada akhir penelitian ini paling sedikit terdapat 6 cacing dan paling banyak 630 cacing. Hal ini menunjukkan tingkat infeksi H. contortus pada domba termasuk ke dalam infeksi mulai dari ringan hingga berat. Domba yang terinfeksi cacing 1-250 ekor termasuk dalam kategori infeksi ringan, 251-500 ekor termasuk dalam kategori sedang dan kategori berat apabila terdapat lebih dari >500 ekor cacing (Kusumamihardja et al. 1990). Berdasarkan hasil analisis regresi didapatkan rumus persamaan Y = 102.659 +
8 17.491X, maka data TTGT berdasarkan derajat infeksi jumlah cacing melalui penghitungan rumus tersebut diperoleh data seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah telur tiap gram tinja (TTGT) berdasarkan derajat infeksi Derajat Infeksi Ringan Sedang Tinggi
Cacing 1-250 251-500 >500
TTGT 50 – 4400 telur 4400 – 8800 telur > 8000 telur
Berdasarkan jumlah cacing pada Tabel 2, maka derajat infeksi dapat dikatagorikan derajat ringan apabila jumlah TTGT sebanyak 50 – 4400 telur, infeksi sedang dengan jumlah TTGT sebanyak 4400 – 8800 telur dan domba yang mengalami infeksi tinggi dengan TTGT sebanyak > 8000 telur. Walaupun sampai saat ini penghitungan TTGT merupakan penduga derajat infeksi, namun keakuratannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kepadatan atau kosistensi tinja yang semakin padat tinja maka nilai TTGT semakin kecil, jumlah tinja yang dikeluarkan tiap hari, distribusi telur dalam tinja tidak selalu merata, perbandingan antara cacing jantan dan betina dan reaksi immunologik dari cacing terhadap inang. Derajat infeksi H. contortus akan mempengaruhi perubahan patologi anatomi (PA) dan gejala klinis pada domba yang mengalami haemonchosis. Domba yang terinfeksi ringan dapat mengakibatkan terhentinya pertumbuhan tubuh atau bobot badan, infeksi sedang dapat mengakibatkan penurunan berat badan dan infeksi berat dapat menyebabkan kematian (Kusumamihardja et al. 1990). Domba yang menderita haemonchosis dapat mengalami anemia akibat kekurangan darah. Gejala klinis anemia dapat muncul mulai dari derajat infeksi ringan. Menurut Symon (1989) Kehilangan darah sebanyak 5 – 50 ml perhari dapat menyebabkan gejala klinis seperti kepucatan selaput lendir, anoreksia dan oedema. Derajat infeksi berat yaitu dengan jumlah > 500 ekor cacing maka inang dapat kehilangan darah sebanyak 25 ml darah/hari. Hal tersebut dapat menimbulkan anemia. Haemonchus contortus merupakan cacing penghisap darah. Cacing dewasa yang melekat pada abomasum dapat menghisap darah sebanyak 0.05 ml/ekor cacing/hari. Beberapa menit setelah cacing hisapannya perdarahan pada abomasum tetap terjadi (Soulsby 1982). Faktor yang dapat mempengaruhi derajat anemia tergantung dari banyaknya cacing yang terdapat dalam tubuh inang dan jumlah sel darah merah yang hilang akibat hisapan cacing (Symons 1989). Semakin tinggi derajat infeksi maka semakin parah anemia yang ditimbulkan. Terdapat tiga tahap anemia yang terjadi pada domba yang mengalami haemonchosis. Tahap pertama disebut dengan haemonchosis akut, kejadian ini berlangsung 7-25 hari setelah infeksi. Domba akan kehilangan sebagian besar darah sebelum sistem eritropoietiknya mampu menghasilkan darah pengganti (Dargie dan Allonby 1975). Kehilangan darah ini diikuti dengan menurunnya sel darah merah, PCV dan kadar haemoglobin pada tubuh inang. Anemia tahap kedua terjadi antara hari ke-6 hingga hari ke-14 sesudah infeksi. Kehilangan darah pada tahap ini dapat diimbangi dengan peningkatan eritropoiesis, sehingga terjadi keseimbangan antara kehilangan dan produksi sel darah merah, nilai PCV akan stabil meskipun berada pada angka dibawah normal. Anemia tahap ketiga akan
9 terjadi kelelahan sistem eritropoiesis akibat kurangnya zat besi dan protein. Menurut Abbot et al. (1986) kekurangan zat besi dan protein dapat disebabkan akibat domba mengalami penurunan nafsu makan.
SIMPULAN Persentase establishment cacing Haemonchus contortus dipengaruhi oleh dosis infeksi. Semakin kecil dosis larva infektif yang diberikan maka semakin besar persentase establishment. Terdapat hubungan positif yang kuat antara TTGT dengan jumlah cacing. Berdasarkan jumlah cacing, derajat infeksi ringan dengan jumlah cacing 1 – 250 ekor menghasilkan TTGT sebanyak 50 – 4400 telur, infeksi sedang dengan jumlah cacing 251 – 500 ekor menghasilkan TTGT sebanyak 4400 – 8800 telur dan domba yang mengalami infeksi tinggi dengan jumlah cacing > 500 ekor menghasilkan TTGT sebanyak > 8000 telur.
DAFTAR PUSTAKA Abbot EM, Parkins JJ, Holmes PH. 1986. The effect of dietary protein on the pathophysiology of acute haemonchosis. Veterinary Parasitology. 20:291306. [BVA] British Veterinary Association. 2010. Towards a Vaccine Against H. contortus. Journal of The British Veterinary Association. [Internet]. [diunduh 2014 Mei 13] : 166:5 doi : 10. 1136/vr.b5621. Tersedia pada: http://veterinaryrecord.bmj.com/content/166/1/5.1/F1.expansion.html. Browning MLL. 2006. Haemonchus contortus (Barber Pole Worm) Infestation in Goats. Extension Animal Scientist. Brazil (US): Alabama A & M University. Coadwell WJ, Ward PFV. 1982. The use of faecal egg counts for estimating worm burdens in sheep infected with Haemonchus contortus. Parasitology. 85:251-256. Dargie JD, Allonby EW. 1975. Pathophysiology of single infection of Haemonchus contortus in Merino sheep : Study on red cells kinetics and self cure phenomenon. International Journal for Parasitology. 81:213-219. Devendra C, McLeroy GB. 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics. New York (US): Longman. Hendrayani N. 2000. Fluktuasi Produksi Telur Cacing dan Fekunditas Cacing Haemonchus contortus (Rudolphi 1803) pada Domba Lokal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Krisnayana PMI. 2011. Pengaruh Infeksi Larva-3 Haemonchus contortus terhadap Potensi Kekebalan dan Gambaran Darah domba Ekor Tipis [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kusumamihardja S, L Zalizar, EB Retnani, R Tiuria. 1990. Hubungan antara Jumlah Telur Cacing Haemonchus contortus Tiap Gram Tinja dengan Kesakitan pada Domba Jantan Lokal [Laporan Penelitian]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lastuti NDR et al. 2006. Deteksi protein Haemonchus sp pada domba dan kambing dengan uji dot blot menggunakan antibodi poliklonal protein
10 ekskresi dan sekresi Haemonchus contortus. Media Kedokteran Hewan. 22(3):162. Manson IL. 1987. Sheep in Java. World Animal Review. 27:17-22. McKenna PB. 1987. The estimation of gastrointestinal strongyle worm burdens in young sheep flocks: a new approach to the interpretation of faecal egg counts. New Zealand Veterinary Journal. 35:94-97. Roberts JL, Swan RA. 1981. Quantitative studies of ovine haemonchosis relationship between feacal egg counts and total worm counts. Veterinary Parasitology. 8:165-171. Romjali E, Mariyono. 1996. Comparison of resistance of four genotypes of rams to experimental infection with Haemonchus contortus. Veterinary Parasitology. 65:127-137. Sodiq A, Abidin Z. 2008. Sukses Menggemukkan Domba. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka. Soulsby EJL. 1982. Helmints, Artropods, and Protozoa of Doesticated Animals (Monnig). Ed Ke-7. New York (US) and London (GB): Academic Press. Sudarmono AS, Sugeng YB. 2005. Beternak Domba Seri Agribisnis. Edisi Revisi. Jakarta (ID): Penebat Swadaya. Symons LEA. 1989. Pathophysiology of Endoparasitic Infection Compared with Ectoparasitic Infestation and Microbial Infection. Australia (AU): Academic Press. Tillman AD. 1981. Animal Agriculture in Indonesia. Ed ke-1. Arkansas (US): Winrock International. Urquhart AH, Alderson JC. 1987. Longman Scientific and Technical. Ed ke-1. New York (US): Churchill Livingstone Inc.
11
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 05 Maret 1992 dari pasangan Bapak H. Syahbudin Rangkuti dan Ibu Hj. Sarianun Nasution. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SD Rimba Putra Bogor dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) AlGhazaly Bogor hingga lulus pada tahun 2007. Pendidikan sekolah menengah umum diselesaikan pada tahun 2010 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 2 Bogor. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Semasa menjadi mahasiswa FKH IPB penulis aktif dalam kegiatan eksternal dan internal kampus yaitu sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik (HKSA) FKH IPB serta mengikuti kegiatan PKM dan berbagai kepanitiaan di dalam dan di luar kampus.