Vol. I/Edisi 5/2009
D E S A N TA R A R E P O R T
DEPORT EDITORIAL
05 on minority issues
Sepenggal Kisah Dari Pinembani:
Menampik Berkah Sejarah keberagaman dan keberagamaan di Indonesia melewati masa yang panjang. Sejak zaman Majapahit abad ke-8, candi Borobudur sebagai situs agama Budha justru didirikan pada masa Dinasti Syailendra yang beragama Hindu Syiwa. Kita perlu mencatat sejarah ini sebagai tonggak bagi semangat toleransi di Indonesia. Sayangnya, masa lalu itu kini tergusur oleh semangat saling mencurigai, menghakimi terhadap sesuatu yang dianggap beda. Adalah karunia Tuhan jika bangsa Indonesia diberkahi dengan keragaman agama, etnis, bahasa dan ras. Secara geopolitik, posisi Indonesia sejak masa yang lampau berada di wilayah persimpangan yang memungkinkan pertemuan beragam individu/kelompok dari beragam agama, etnis, bahasa dan ras tadi. Jika kita semua bisa merawat lalu lintas nusantara ini sebagai ruang pertemuan yang damai dari beragam individu/ kelompok itu, mungkin hari ini kita telah menjadi yang besar dan menjadi contoh yang baik bagi Negara-negara lain yang sampai kini masih diselimuti kekerasan dan perang. Sayangnya, kita melewati begitu saja anugerah itu. Editor
To Pakava, Orang-orang Yang Terlupakan
Oleh: Ewin Laudjeng
Mau Koe Kodi Bulu Siora, (Meskipun Kecil Gunung Siora) Ne Nuepe Kanja Rede Kadana, (Jangan Kau Peduli Tubuhnya Yang Pendek) Njisi Ri Vana, Nalabu Savana (Meresap ke Rimba, Karamlah Sevanah) Njisi Ri Lemba, Nalabu Salemba, (Meresap ke Lembah, Karamlah Selembah) Njumampipi Vana Manggasuvia (Sekeliling Rimba memberi Penghormatan)
A
lkisah, seorang lelaki bertubuh pendek datang dari pegunungan. Dia bermaksud meminang seorang puteri bangsawan di Lembah Palu, Sulawesi Tengah. Sang puteri bangsawan dan keluarganya tak berkenan menerimanya. Tapi, ketika lelaki itu melantunkan syair di atas, dengan serta merta Sang puteri dan keluarganya menerima lelaki itu dengan penuh penghormatan. Akhirnya, lelaki itu pun bisa mewujudkan keinginannya: menikah dengan Sang puteri. Perkawinan ini, kemudian menghasilkan beberapa keturunan yang pada berikutnya menjadi pemuka-pemuka masyarakat terkenal di Palu. Mereka menyebar di berbagai tempat, tidak berkumpul di satu lokasi. Syair dan kisah perkawinan lelaki dari pegunungan dengan puteri bangsawan di Lembah Palu tersebut datang dari masa silam. Tapi, syair dan kisah itu masih melekat kuat dalam ingatan orang-orang tua di daerah Pakava, Kabupaten Donggala dan Lembah Palu. Menurut Andreas K, Rayu (37), salah seorang
anak-anak pakava
tokoh masyarakat Pakava, lelaki bertubuh pendek yang menggubah syair legendaris tersebut adalah Pue Panda namanya. Ia berasal dari Boya Bavoaya, sebuah kampung di wilayah Komunitas Masyarakat Adat Pakava. Sekarang ini, Boya Bavoaya termasuk di wilayah Desa Palintuma, Kecamatan Pinembani. Syair dan kisah tersebut menunjukan dan memberi pelajaran pada masyarakat saat ini, betapa pentingnya keberadaan atau peran politik pada masa itu, terutama bagi masyarakat di Lembah Palu dan sekitarnya. Tapi, masa kejayaan itu telah lama berlalu. Kenyataan masa kini menunjukan, keberadaan orang Pakava nyaris tak diperhitungkan sama sekali. Bahkan, tanah adat tempat mereka tinggal saat ini direcoki oleh Negara. Lihat saja, hampir seluruh wilayah perkampungan orang Pakava selalu masuk dalam kawasan hutan negara dengan status hutan lindung dan hutan produksi. Tindakan pemerintah itu, dilakukan tanpa penjelasan dan persetujuan orang Pakava.
Desantara Report
DEPORT
INSIDE THIS ISSUE: Desantara Report
1
Testimony
5
Local Community
6
Profile
7
Vox Vocis
8
Multicultural Women
9
Citizenship
10
Representation
11
Desantara’s Activities
12
S U S U NAN
RE D AK S I
Penetapan tersebut, demikian cerita Haji Ando Andi Pelang (65), salah seorang pemuka masyarakat adat setempat, hanyalah semacam klaim sepihak dari pemerintah atas hampir seluruh tanah yang ada di wilayah adat. Ia juga menyebut bahwa peraturan ini mengingatkannya atas kepada politik agraria yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui Domein Verklaring tahun 1870. Hingga kini, masyarakat Pakava tidak memahami apa arti patok-patok yang dipasang pemerintah di wilayah adat mereka. Dengan adanya penetapan kawasan tersebut, setiap perkampungan orang Pakava yang terdapat di dalam kawasan hutan adalah illegal. Padahal, perkampungan-perkampungan itu sudah dihuni sejak ratusan tahun yang silam. Kenapa bisa seperti itu? “Karena menurut Undang-Undang Kehutanan, tinggal atau berkampung di dalam kawasan hutan Negara, adalah perbuatan kriminal,” tutur Andreas menjelaskan. Berdasarkan penetapan kawasan hutan Negara tersebut, rumah-rumah orang Pakava di Desa Bamba Kanini dibakar, dan mereka dipaksa pindah ke dataran Palolo.
Penanggung Jawab: M. Nurkhoiron
Sekretaris: Noviyana
Editor Bhs. Indonesia: M. Nurkhoiron Editor Bhs. Inggris: Becca Taufiq Penerjemah: S. B. Setiawan Staf Redaksi: Franditya Utomo Distributor: Noviyana Dokumentasi: Rustam Kontributor: Jawa Barat: Abu Bakar, Isa Nur Zaman, Diphie. Jawa Tengah: Moh. Sobirin. Jawa Timur: Mashuri, Oryza Ardyansyah W., Ishomuddin, A’ak Abdullah Al-Kudus, Ahmad Rifa’i. Bali: Ni Komang Erviani. NTB: Muhammad Irham. Sulsel: Mubarak Idrus, Hasmi Baharuddin. Sulteng: Ewin Laudjeng. Sulbar: Tamsil Kanang. Kaltim: Asman Azis, Abdullah Naim. Kalbar: Chatarina P. Istiyani. Sumbar: Ka’bati. Sumut: Farid Aulia. Aceh: Raihana. Alamat Redaksi: DESANTARA Foundation Komplek Depok Lama Alam Permai Blok K3, Depok 16431 Website: www.desantara.org Email Redaksi:
[email protected],
[email protected] (DEPORT) Tlp: +62 21 77201121 Fax: +62 21 77210247
Selain itu, penggusuran dan pengingkaran terhadap hak adat orang Pakava juga terjadi di Duria Talunggayu, Dasengguni, Bamba Raba, dan sekitarnya. Sejumlah lokasi tersebut diambil secara paksa untuk kepentingan proyek transmigrasi. Sekarang, tempat tersebut telah berganti menjadi Mertajaya dan Mertasari yang masuk dalam wilayah Pasangkayu, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Sementara itu, perkampungan mereka di Sampoa, Bamba Raiya, Simarege dan sekitarnya telah digusur untuk dijadikan areal perkebunan Kelapa Sawit milik PT Pasangkayu, anak perusahaan dari Astra Group.
Atas semua kisah pilu itu, Andreas menyisipkan harapan, agar pemerintah bisa menghargai dan mengakui hak orang Pakava atas sumber daya alam.[].
Keuangan: Darningsih
Tata Letak/Desain: M. Isnaini “Amax”
Peristiwa itu menjadi kenangan pahit dalam hidup orang-orang Pakava. Mereka diusir dari tanahnya sendiri tapi tidak diterima di tempat baru. Nasib mereka terluntalunta karena tidak jelas tempat tinggalnya. “Itu sangat memilukan hati kami,” kenang Andreas.
Sekarang, nama-nama tempat (kampung) itu telah berganti menjadi Afdeling Alfa, Delta, Fanta hingga Afdeling Golf.
Pemimpin Redaksi: Muhammad Kodim
Redaktur Pelaksana: Ingwuri H.
Perpindahan itu memunculkan persoalan baru yang tak kalah peliknya. Di Palolo, mereka bersengketa lagi dengan pihak Balai Taman Nasional Lore Lindu yang tidak ingin wilayahnya dijarah.
ORANG PAKAVA DI SULBAR
Walikota Depok Cabut Izin
Gereja HKBP Gandul Oleh: Ingwuri
I
r. Nur Mahmudi Ismail, Walikota Depok, tanggal 27 Maret 2009 lalu, mengeluarkan Surat Keputusan bernomor 645.8/144/Kpts/Sos/Huk/2009 tentang pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gedung serba guna HKBP di Jalan Puri Pesanggerahan IV Kav. NT-24 Kelurahan Cinere Kecamatan Limo, Depok. Alasan pencabutan itu berdasar dari rekomendasi dari Muspida, Komite Intelijen Daerah (Kominda) dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Nur Mahmudi membuat ribuan jemaat HKBP
Gandul, pun melakukan protes. Persekutuan Gereja-gereja Setempat (PGIS) Kota Depok pun menolak pencabutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) Tempat Ibadah dan Gedung Serbaguna atas nama Jemaat Huria Kristen Batak Protestan di Jalan Pesanggrahan Cinere, Kecamatan Limo, Kota Depok, Jawa Barat. “Umat Kristen di Kota Depok sangat prihatin dan menolak atas keluarnya keputusan Pencabutan IMB pembangunan Gereja HKBP di Cinere yang hanya mendengar pendapat sebagian warga yang
Desantara Report
menolak,” kata Ketua Umum PGIS Kota Depok, Pendeta Simon Todingallo, tulis Kompas 29 April 2009. Sebenarnya, sudah sejak 1998 lalu, sejak diterbitkannya IMB oleh Pemda Tingkat II Bogor, yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober 1998, muncul reaksi keberatan terutama dari Forum Komunikasi Persatuan Umat Islam Kecamatan Limo dan sekitarnya (FKPUI). Pada bulan Mei 1999, muncul reaksi pernyataan keberatan dari warga masyarakat. Mereka menulis Surat Pernyataan keberatan kepada aparat keamanan, bahkan memasang 2 (dua) buah spanduk di depan lokasi gereja. Alasannya keberatan adalah soal lingkungan dan keabsahan IMB. Karena situasi memanas, maka Wali Kota Depok pada saat itu, Badrul Kamal, memutuskan untuk menghentikan sementara pembangunan gereja. Penundaan tersebut berjalan terus-menerus tanpa adanya penyelesaian yang jelas. Sejarah HKBP Pangkalan Jati – Gandul HKBP Pangkalan Jati - Gandul didirikan pada tahun 1980. Di awal berdirinya, jemaatnya berjumlah kurang lebih sebelas kepala keluarga. HKBP ini ada di Kompleks Hankam, Kompleks TNI AL Pangkalan Jati dan Perumahan BPK Gandul yang waktu itu, secara administratif, berada di bawah pembinaan HKBP Resort Kebayoran Selatan.
Saat ini, jemaat gereja telah mencapai sekitar 350 KK, yang berasal dari sekitar Cinere, Limo, Meruyung, Pangkalan Jati, Gandul, Rawa Kopi, Pondok Labu, Pondok Cabe, Cirendeu, Desa Pisangan/Ciputat dan Cilandak. Meskipun usianya 20 tahunan, jemaat belum mempunyai bangunan gereja dan masih menumpang di rumah ibadah Bahtera Allah, Jl. Baros No.1 Pangkalan Jati milik persekutuan Oikumene warga Kristen Kompleks TNI AL. Kebutuhan akan pentingnya memiliki sebuah Gereja sendiri, maka tanggal 11 September 1988, Majelis Gereja membentuk panitia pembangunan gereja, dengan tugas membangun gereja yang lokasinya mudah dijangkau oleh seluruh anggota jemaat. Realisasi dari pelaksanaan tugas tersebut, Panitia Pembangunan Gereja HKBP Pangkalan Jati, memperoleh tanah seluas 1000 m2, dari HKBP Distrik VIII Jawa - Kalimantan yang berlokasi di Bukit Cinere Indah. Tanah tersebut, dibeli HKBP Distrik VIII Jawa - Kalimantan dari PT. Urecon Utama. Dalam Master Plan yang dibuat oleh Ketua Bappeda Tingkat II Bogor, sesuai SK. Gub. Propinsi Jawa Barat No. 26/AII/6/SK/1975 dan No. 27/AII/6/SK/1975 tanggal 12 Januari 1975, secara jelas dicantumkan peruntu-
kannya untuk bangunan gereja HKBP. Gereja HKBP, pada mulanya terletak di Jalan Pesanggrahan II Blok N Cinere. Tetapi karena pengelolaan tanahnya dialihkan dari PT. Urecon Utama kepada PT. Bukit Cinere Indah, maka tanah gereja direkolasi ke lokasi baru di Jalan Puri Pesanggrahan IV Kav. NT-24, yang berbatasan dengan Jalan Bandung. Lokasi baru ini, menurut PT. Bulit Cinere Indah peruntukannya adalah untuk fasilitas sosial (fasos). Di lokasi baru inilah gereja HKBP akan dibangun. HKBP, kemudian mendapatkan IMB yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor dengan Nomor 453.2/229/TKB/1998 pada tanggal 13 Juni 1998. Setelah Panitia Pembangunan Gereja HKBP Pangkalan Jati - Gandul memperoleh tanah untuk bangunan gereja, maka dimulailah usahausaha pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja kepada Pemda Tingkat II Bogor. IMB tersebut dikeluarkan Pemda Tingkat II Bogor setelah mempertimbangkan semua persyaratan administrasi yang diperlukan termasuk Surat Pernyataan persetujuan warga masyarakat setempat. Selain itu, sebelum IMB dikeluarkan lokasi tanah gereja pun ditinjau dua kali oleh sebuah Tim dari dinas/kantor terkait di lingkungan Pemda Tingkat II Bogor, yakni pada tanggal 18 Januari 1982 dan 17 April 1996.[]
doc. hkbplimo.wordpress.com
DEPORT
TEMPAT IBADAH HKBP LIMO Vol. II/Edisi 5/2009
3
Desantara Report
DEPORT
Dari Masalah Rumah Tangga
Menjadi Aliran Sesat Oleh: Abdullah Naim
E
ntah kebetulan atau disengaja, pemberitaan media nasional dan lokal pada medio Agustus 2009, sibuk memberitakan sebuah kabar tentang seorang anak Abu Jibril yang diduga terkait dengan aksi terorisme di Jakarta. Pada waktu yang bersamaan warga kota Samarinda juga dikejutkan dengan kabar mengenai sebuah keluarga yang beraliran sesat yang konon katanya mengaku dirinya sebagai malaikat Jibril. Jika di Jakarta ada Abu Jibril, maka di Samarinda ada malaikat Jibril. Begitu kesan yang ditangkap sebagian warga Samarinda dari pemberitaan berbagai media. “Ah itu bisa-bisanya wartawan aja yang mengait-ngaitkan karena mungkin supaya heboh, jadi ditulislah Malaikat Jibril. Kan kebetulan di Jakarta juga ramai Abu Jibril,” Ujar Ibu Ita warga perumahan Solong Durian Sempaja, Samarinda Utara yang juga tetangga yang di cap sebagai aliran sesat tersebut. Kabar yang membuncah di awal bulan puasa 2009 ini bermula dari percekcokan suami istri yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah cerita yang seolah-olah bernarasi faham keagamaan. Di tahun 2006 silam, adalah ibu Gina yang mengalami sakit, konon sakitnya karena diguna-guna karena ia menolak cinta seorang laki-laki yang dulu pernah cinta mati dengannya. Ia kemudian berusaha berobat ke berbagai pengobatan alternatif mulai dari Samarinda hingga ia juga pernah ke Jawa. Namun sakit yang diderita Ibu Gina ini bukannya malah berkurang, tetapi terus menerus bertambah. Di suatu waktu, ia pernah mati suri. Dalam matinya ia mengaku ketemu dengan malaikat Jibril dan memberikan wangsit kepadanya, jika ingin sembuh maka ia harus menemui dan menemani pak Bagus untuk membantu mengobati penyakitnya. Setelah bangun dari mati surinya, pesanpesan dari malaikat tersebut ia lakoni sepenuh jiwa. Dan benar, iapun merasa perasaan tersiksa tidak lagi ada setelah ia diobati oleh Bagus. Belakangan sosok Pak Bagus dikenal sebagai dukun yang dianggap bisa
4
Vol. II/Edisi 5/2009
mengobati warga. Gina bukan hanya menjadi pasien yang telah berhasil disembuhkan, ia juga kemudian bergabung dalam pengobatan alternative yang dilakukan Bagus. Menurut Keyakinan mereka, gabungan antara Bagus dan Gina menjadi kekuatan besar. Berdasarkan itulah mereka kemudian menyewa rumah di sebuah perumahan yang dihuni oleh Gina dengan suaminya, Zaman dan Pak Bagus. Di rumah itu, mereka menerima pasien secara sembunyi-sembunyi. ”Sebagai tetangga saya juga tidak tahu persis bagaimana kegiatannya. Setiap malam ada saja mobil dan sepeda motor yang datang. Saya kira saja mungkin keluarga dia. Belakangan baru saya tahu setelah membaca koran,” ujar Ita.
“Kami justru terganggu sekali dengan keadaan ramai seperti ini. Ada FPI, Polisi dan wartawan, dan masyarakat luar. Saya takut kalau-kalau terjadi rusuh. Ada yang melempar, boleh jadi, kami yang tidak tahu apa-apa juga kena. Jadi lebih baik mereka pindah rumah. Kami aman mereka juga tidak usik-usik lagi,”
Tepat pada awal bulan puasa tahun ini, Istri Bagus yang bernama Tri mendatangi Pak ketua RT setempat untuk minta diantar ke rumah dimana suaminya berada. Kedatangan mereka kemudian disambut dengan teriakan histeris dan kemarahan Gina. Ia mengalami trance
dan mengeluarkan kata-kata “lindungi bayi suci anaknya dan malaikat belum datang”. Tafsirnya lalu dikembangkan sendiri dengan menyebut bahwa mereka menganggap bayi suci itu adalah tetesan malaikat dan sementara diri Gina adalah malaikat Jibril. Selain tafsir yang dijadikan senjata Ibu Tri ini, ia juga memiliki foto yang ditunjukkan kepada pak RT, MUI, dan Polisi untuk meyakinkan bahwa peraktek suaminya adalah tidak senonoh. Warga perumahan Solong Durian semula biasa-biasa saja. Mereka menganggap bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Bagus biasa-biasa saja karena juga tidak mengganggu warga lainnya. “Saya juga tidak tahu persis bagaimana model pengobatan yang dilakukan oleh mereka, dan yang saya tahu, bukan soal faham agama tetapi soal cek-cok keluarga. Justru saya heran ketika didatangi oleh mereka yang mengaku FPI yang mengatakan ada aliran sesat di warga dia. FPI itu taunya baca Koran dan saya katakan yang penting jangan anarkis. Untung mereka tidak anarkis,” kata Syamsul yang juga ketua RT 27. Setelah gencarnya pemberitaan media, justru orang-orang luar seperti FPI, polisi dan wartawan terlihat ramai mengawasi rumah yang dianggap sebagai penganut aliran sesat. “Kami justru terganggu sekali dengan keadaan ramai seperti ini. Ada FPI, Polisi dan wartawan, dan masyarakat luar. Saya takut kalau-kalau terjadi rusuh. Ada yang melempar, boleh jadi, kami yang tidak tahu apa-apa juga kena. Jadi lebih baik mereka pindah rumah. Kami aman mereka juga tidak usik-usik lagi,” tutur Ita lagi. Kini ibu Gina, suaminya dan Bagus telah meninggalkan rumah yang sudah lima bulan mereka sewa atas desakan dari berbagai pihak seperti FPI, MUI dan masyarakat sekitarnya. Bagus mengaku bahwa apa yang disangkakan kepada Gina sebagai malaikat Jibril tidaklah benar. Tuhan Kami Hanya satu Allah SWT dan Rasulnya Muhammad SAW. Hanya orang lah yang membelokkan dan berusaha mempengaruhi istri saya,” kata Bagus.[]
Testimony
DEPORT
K
ehidupan orang-orang Pakava di berbagai tempat yang bermukim di pedalaman dan hutan-hutan tanpa status tanah yang pasti, sebenarnya bukan pemandangan baru. Sejarah penekanan dan pengingkaran terhadap hak-hak Masyarakat Adat Pakava di Sulawesi Tengah telah berlangsung sejak abad ke-17.
kepentingan ekonomi. Mereka datang ke kampung-kampung meminta sejumlah harta benda dari masyarakat dengan mengatasnamakan Panteua. Akibatnya, banyak masyarakat yang merasa dirugikan, sehingga terjadi represi yang luar biasa terhadap orang Pakava pada saat itu.
Berikut kesaksian dari Haji Ando Andi Pelang (65), salah seorang pemuka masyarakat adat setempat, mengenai kisah orang-orang Pakava yang terusir dari tanah adat mereka sendiri:
Hampir bersamaan dengan peristiwa itu, pasukan pemberontak DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Mudzakar menjadikan wilayah adat kami sebagai salah satu basis logistik. Akibatnya, kami mengalami represi militer dari pemerintah Indonesia.
Sejarah itu dimulai dengan adanya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Mamuju di
Sejarah Penyingkiran Orang-orang Pakava
Oleh: Ewin Laudjeng
ORANG PAKAVA
Sulawesi Barat terhadap wilayah adat kami, orang Pakava. Akibat peristiwa itu, kami mengalami kehilangan banyak wilayah adat.
Kedua peristiwa itu meninggalkan trauma panjang bagi kami, orang Pakava. Kami menjadi begitu takut dengan simbolsimbol militer.
Kami kemudian terdesak dan menyingkir, bertahan di suatu puncak bukit yang bernama Samaribu dekat Desa Randomayang, (sebelah utara Mamuju dekat perbatasan Sulawesi Tengah sekarang). Oleh masyarakat setempat, lokasi itu dikenal dengan nama Benteng Samaribu. Tidak sedikit nyawa yang melayang dalam pertempuran di Benteng Samaribu pada saat itu.
Ketakutan ini kemudian sering digunakan orang lain untuk menyingkirkan kami dari tanah sendiri. Sekitar tahun 1978, pemerintah mendatangkan transmigran asal Pulau Bali secara bergelombang ke wilayah adat kami. Kedatangan mereka membuat kami tergusur dari Boya-boya (perkampungan) di Pasinjuru, Padongga, Bamba Raba, Dasengguni, dan Bamba Luu.
Upaya penekanan terhadap keberlangsungan hidup kami tidak berhenti sampai di situ saja. Pada awal berdirinya Republik Indonesia, setidaknya ada dua peristiwa penting yang berpengaruh bagi kami, yaitu munculnya semacam ajaran Mesianis Salamagavu dan pemberontakan DI/TII. Ajaran Salamagavu yang dikembangkan sekitar tahun 1958 oleh Panteua, salah seorang tokoh di Boya Bavoaya (salah satu pemukiman orang Pakava), intinya bermaksud mengajak orang untuk segera meninggalkan kehidupan yang ada sekarang karena dinilai telah gagal membawa kemakmuran dan ketenteraman bagi kehidupan orang Pakava, menuju ke dunia lain yang lebih menjanjikan. Sayangnya, ajaran tersebut kemudian disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk
Terhadap kasus ini kami tidak bisa berbuat banyak, kecuali pasrah. Kami tidak bisa bertahan, karena Polisi mengancam akan menembak jika masyarakat menolak menyerahkan tanahnya. Kami akhirnya menyingkir lebih ke pedalaman lagi dan membuat perkampungan baru di Bamba Raiya, Sampoa, Morokapi, Bamba Mone, dan Petunggu. Akan tetapi, ketenangan warga tidak berlangsung lama. Sekitar tahun 1991, kami kembali mengalami penggusuran yang kali ini dilakukan oleh sebuah perusahaan perkebunan Kelapa Sawit, PT Pasangkayu, yang bernaung di bawah Astra Group. Pihak perkebunan mengatakan kepada penduduk, bahwa perkebunan Kelapa Sawit tersebut adalah kepunyaan ibu Tien
Soeharto. Karena itu, bagi siapa saja yang berani melawan, akan berhadapan dengan tentara. Hal ini membuat nyali warga menjadi ciut dan mereka semakin tergusur ke pedalaman. Aroma militer di perkebunan sawit pada saat itu memang terasa begitu kental. Pada pintu gerbang masuk areal perkebunan, berdiri sebuah pos penjagaan yang dicat loreng seperti seragam tentara. Karena itu, populer disebut Pos Loreng. Kepala Satpamnya saja memakai seragam Kopassus. Selain merampas tanah, memusnahkan pemukiman, rumah ibadah dan tanaman perkebunan, aktivitas perkebunan kelapa Sawit itu juga menimbulkan kerusakan ekosistem yang cukup berarti bagi kami, orang Pakava. Peristiwa penekanan dan penggusuran terhadap orang Pakava yang dilakukan oleh rejim Orde Baru menunjukkan, betapa hak adat orang Pakava telah diabaikan oleh pemerintah. Bagi kami, orang Pakava, klaim tanah negara yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah masalah agraria yang belum pernah kami alami sebelumnya. Karena, kekuasaan pemerintah dan penetrasi kapital di zaman Hindia Belanda tidak sampai merampas hak-hak kami atas sumber daya alam. Ini adalah sebuah ironi sejarah.[] Vol. II/Edisi 5/2009
5
Local Community
DEPORT
K
ini, gemuruh suara dan lantunan puji-pujian itu tak terdengar lagi di desa Jahab, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Sebab, arena kandangan Saukng Salakng (ring sabung ayam), tongkok dan dadu yang selama ini menjadi tempat bersoraksorai para petarung Botor Buyang dalam mengiringi ritual Kwangkay, Paramp Api, Kenyau (ritus kematian) dan Gugu Taun (ritus bersih bumi dan penyembuhan) sudah tidak ada lagi. Tempat itu telah dibakar warga pada akhir November 2008 dengan persetujuan kepala adat besar Dayak Benuaq, Bahron Osik atas desakan Kapolres, MUI, dan Depag yang menganggap Botor Buyang sebagai judi dan menyimpang dari ajaran agama. Muski tetua adat Bahron Osik dan Hamtolius menandatangani surat pernyataan untuk tidak menyelenggarakan ritual Botor Buyang, namun tidak sertamerta menghentikan ritual tersebut. “Ya, saya tandatanganilah. Kita tidak ingin ribut. Kita juga tahu bahwa Kapolres juga ditekan dari atasannya. Tetapi memang akan ada perbaikan ulang tentang proses ritualnya sebagaimana ketentuan dalam tradisi Benuaq,” tutur Bahron Osik. Mulanya, tepatnya pada Juni 2002 para kepala adat se-Kutai Kartanegara ramairamai mendapat SK dari Bupati, Syaukani HR, yang dibarengi kampanye invensi tradisi demi menemukan kembali eksotisme, untuk kepentingan mendulang kunjungan wisata. Demi mewujudkan ambisi tersebut, Dinas Pariwisata membentuk 4 desa budaya, termasuk Jahab. Program pemerintah ini disambut gegap-gempita oleh warga Jahab yang mayoritas petani. Dan, untuk pertama kalinya Botor Buyang disertai ritus Gugu Taun digelar secara terbuka yang berlangsung selama 2 bulan. Tanpa harus malu-malu lagi, alunan pujapuji untuk Latalah (Tuhan Yang Kuasa) dan para Nayuk dikumandangkan oleh para Balian dan Penyentangis (pemimpin spiritual dan ritual) di dalam salah satu rumah warga. Alunan pujian itu terus terdengar di siang dan malam hari, mengiringi hiruk-pikuk para petarung dari berbagai suku, seperti Dayak, Jawa, Bugis, Banjar, Kutai dalam Botor Buyang. Permainan tongkok dan dadu berlangsung tiap hari selama ritus berlangsung, sementara sabung ayam digelar tiap hari Minggu. Namun belakangan ini, sejak tahun 2005, Pemerintah Kabupaten mulai gusar dengan keramaian Botor Buyang. Pihak kepolisian kemudian meminta komunitas Dayak 6
Vol. II/Edisi 5/2009
Akal Panjang Mempertahankan
Botor Buyang
Oleh: Abdullah Naim
Benuaq yang berpenduduk 3000 orang itu untuk menghentikan aktivitas Botor Buyang karena dianggap sebagai judi dan berpotensi menimbulkan kekacauan. Tercatat sudah tiga kali polisi merazia tempat Botor Buyang yang ada di Jahab. Namun warga dan tokoh adat selalu melawan. Untung saja hingga saat ini belum ada benturan fisik langsung. “Saya bilang sama warga untuk berhenti bermain agar mereka (Polisi) mau pulang. Dan setelah polisi pulang kan kami di sini main lagi,” kata Bahron Osik.
secara umum dianggap sama dengan perjudian (Benuaq; Botor Buyang, Saungk Salankng) dijamin oleh hukum adat sehingga tidak dapat dipersalahkan atau dituntut oleh siapapun dengan alasan apapun”. Tak ketinggalan, Dewan Adat Kutai Barat, Yustinus Dullah, dan guru besar adat Dayak Benuaq, Tonyoi, Bentian dan Paser mengeluarkan maklumat pada Februari 2008 agar permainan Botor Buyang berjalan dengan tenang, aman dan kondusif tanpa diganggu oleh pihak manapun, termasuk aparatus kepolisian.
Tidak puas dengan pendekatan represif, Pemkab setempat dan DPRD kemudian mengeluarkan jurus baru dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No. 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Kemasyarakatan dan Lembaga Adat. Campur tangan berlebihan pemerintah terhadap urusan tradisi lokal tercermin dalam pasal 19 ayat 3 yang berbunyi: “Pembentukan lembaga adat difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten” dan ayat 5 yang menyebut bahwa: ”Pengurus lembaga adat disahkan dengan Surat Keputusan Bupati”.
Bagi warga Dayak Benuaq, Botor Buyang adalah permainan yang sarat makna. Dadu dimaknai sebagai lungun (peti mati dari kayu bundar), sementara tongkok adalah simbol permainan para Nayuk. “Makanya dalam ritus kami, darah binatang seperti kerbau, babi dan ayam selalu dipercikkan ke tanah dan hutan sebagai bentuk penghormatan kepada Nayuk Seniang (dewa kehidupan) dan Nayuk Kelaungun (dewa kematian) karena dia yang memelihara tanah, hutan dan sumber-sumber kehidupan manusia dan memelihara roh-roh para leluhur,” terang Zainudin, tokoh pemuda setempat.
Menghadapi hal itu, para tetua adat Dayak Benuaq menggelar Musyawarah Besar Kepala Adat Se-Kalimantan Timur pada Juni 2007 di desa Putak, Kabupaten Kutai Kartanegara. Salah satu hasil dari musyawarah itu adalah mengatur tentang Botor Buyang sebagaimana tertuang dalam pasal 3 yang berbunyi: “Permainan yang
Karena itulah, bagi Zainudin, Botor Buyang harus dipastikan tetap menjadi sumber penyandang dana dan sebagai bentuk partisipasi sosial bagi acara adat. “Karena kami tidak punya lagi madu, kayu dan hutan. Semuanya telah diambil oleh perusahaan batubara dan Sawit,” tuturnya.[]
Profile
DEPORT Gerigit:
“Menghancurkan Alam Itu Bukan Ritual Kami, Tapi Perusahaan” Oleh: Abdullah Naim
roh para leluhur karena jasa-jasanya, dan ada Gugu Taun untuk memelihara tanah agar tetap subur. Bagaimana tanggapan miring yang menghubungkan banjir di Kaltim dengan ritus, seperti Botor Buyang dan Kwangkai, sebagai upacara kekafiran?
S
osok pria yang biasa disapa Gerigit (51) ini berperan penting dalam setiap upacara kematian atau Kwangkai di Jahab, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim). Ia disebut Penyentangis yang bertugas menyapa dewa-dewa penguasa langit, bumi dan roh-roh leluhur. Kondisi yang terjadi di Kutai Kartanegara dan Kaltim menjadi sorotannya. Ia berpendapat bahwa ritus dalam kehidupan orang Dayak sangat besar maknanya. Baginya, banjir dan tanah longsor lebih karena manusia yang terlalu serakah. Manusia tidak lagi menari dalam keindahan alam, tetapi menari-nari di atas linangan air mata kaum papa (kaum miskin). Untuk menelusuri lebih jauh arti penting ritus bagi orang Dayak, pertengahan Februari 2009 lalu, Abdullah Naim, kontributor DEPORT Kaltim, menyambangi rumahnya di Jahab. Meskipun baru datang dari ladang untuk membuat gula aren sambil mempersiapkan tanam padi gunung, namun pria bersahaja ini tak menampakkan lelah. Berikut petikan wawancara dengan Gerigit: Bagaimana orang Dayak Benuaq melihat ritus dalam siklus kehidupannya? Inilah yang menjadi penting bagi kami, orang Dayak Benuaq. Kehidupan kami selalu diiringi acara adat demi menyelamatkan manusia. Misalnya menanam padi, kita harus menaruh hormat kepada Lolankng Luinkng (Dewi Padi), agar ia selalu memberi kehidupan. Ada kematian kami Kwangkai untuk menghormati roh-
Hal-hal seperti itulah yang menjadi soal. Kadang-kadang orang lain menilai orang Dayak dengan mengukur dirinya, ajaran agamanya, padahal kami memiliki ajaran yang perlu dihargai oleh semua pihak. Kami menilai justru sebaliknya, bencana hadir karena umat manusia tidak lagi melakukan upacara. Makanya, Gugu Taun besar artinya bagi orang Dayak Benuaq. Itulah maknanya setiap ritual yang mengorbankan binatang darahnya dipercikkan ke dalam sungai agar banyak ikannya. Dihamburkan ke hutan agar pohon-pohon berbuah. Disimburkan ke atas langit supaya hujan turun. Jadi upacara itu maknanya memelihara kehidupan. Menghancurkan alam itu bukan ritual kami, tetapi mereka, perusahaan seperti sawit dan batubara. Lalu kalau hutan dan goa sudah hilang, sungai sudah tercemar dan tertutup, sawah banjir, apa fungsi ritual di sini? (Pak Gerigit diam sejenak). Memang berat ya. Seperti ritual tidak ada maknanya jika alam beserta isinya ini sudah seperti itu. Apa yang mau diupacarakan kalau hutan sudah beralih fungsi. Ratusan hektar tanah di sini sudah menjadi milik perusahaan sawit dan batubara. Kami saja kalau mau upacara adat harus menyediakan Blontang (patung manusia terbuat dari kayu ulin dengan tinggi 4 meter). Anehnya, kami harus membeli di tempat yang jauh. Jadi, selain menghabisi alam juga diam-diam nantinya akan menghilangkan tradisi dan agama kami. Apakah karena agama baru yang tidak membolehkan ritual ini ? Ada makna-makna yang dibuat oleh agama. Begitu juga dengan agama adat ini. Saya sendiri ya penganut Katolik lah, tetapi saya juga menjalankan adat-
istiadat. Orang lain kadang-kadang tidak tahu dan tidak merasakan bagaimana memaknai kehidupan. Saya sendiri kalau tidak melaksanakan ritual itu merasa tidak nyaman. Begini sajalah, bagaimana kalau sesuatu yang diyakini baik itu lalu tidak dilaksanakan? Repot juga kan! Apa ada pengalaman spiritualnya berkaitan dengan pemaknaan ritus Kwangkai ini? Pernah ada seorang Dayak Benuaq yang meninggal lalu karena tidak sempat di-Kwangkai, pihak keluarga ketemu di alam mimpi. Orang meninggal tersebut mengeluh karena hanya diberi kembang. Ia katakan kembang tidak penting baginya. Tetapi ia perlu di-Kwangkai. Itulah sebabnya setiap kali saya memimpin upacara Kwangkai, saya berdialog dengan Luin Tuha. Ini adalah dewa yang menyambungkan saya dengan dewadewa lainnya agar roh-roh itu diantar ke tempatnya yang baik. Bisa diucapkan sepotong bait mantra nyayian tersebut? Bawe Luing Tuha pakenankng Luing Boyas, tempuk bayaq asunkng. Lalo rampan tengkayua, tendong palang Karnuan. Tenong ranpa ruang mulunkng tenong sampean solai. Itu dialog untuk mengantar roh-roh dari tangga satu ke berikutnya hingga mencapai tempatnya yang mulia. Apa salah satu inti ajaran agama adat yang selama ini Bapak yakini? Bagi kami, hutan belantara adalah tempat keramat di mana roh-roh bersemayam. Oleh karena itulah, di samping memelihara hutan, sungai dan goa, juga kami harus tetap memastikan ajaranajaran yang menyertainya. Misalnya kita tidak diperkenankan menebang pohon sembarangan sebelum ada acara adatnya. Dalam ajaran kami, pohon itu bukan diperjualbelikan, tetapi untuk kebutuhan membangun rumah dan kayu bakar saja. Kami juga tidak dibolehkan untuk mengolok orang lain hanya karena perbedaan keyakinan dan adat.[] Vol. II/Edisi 5/2009
7
Vox VOCIS
DEPORT
Hero Suprayitno, S.Sos. M.Si., Dosen Fisipol Universitas Kutai Kartanegara
Lebih Menonjol Aspek Judinya
Oleh: Abdullah Naim
M
eskipun berbagai ritual (seperti Kwangkay, Paramp Api, Kenyau, Gugu Taun, dan Botor Buyang) yang dijalankan masyarakat Jahab itu telah ada sejak nenek moyang mereka, namun keberadaannya sampai hari ini masih terus dipersoalkan. Hadirnya agama-agama baru yang memiliki tatanan nilai tersendiri, juga munculnya negara yang melahirkan hukum positif kadang dijadikan alat untuk menggugat dan menyangsikan ritual-ritual itu. Salah satu orang yang tidak sepakat dengan adanya ritual tersebut adalah Hero Suprayitno, S.Sos. M.Si., Dosen Fisipol Universitas Kutai Kartanegara. Menurutnya, ritual di Jahab lebih dominan sisi judinya dari pada ritualnya. “Memang ritual itu dimaksudkan untuk
membantu orang sakit, tetapi banyak disimpangkan oleh masyarakatnya sendiri. Misalnya aspek judinya lebih menonjol dari pada adatnya,” ujar pria yang juga dosen Unikarta ini. Baginya, upacara itu selain melanggar ketentuan hukum positif yang ada, juga melanggar kaidah agama. Namun ada juga agama yang bersikap longgar, ”Kalau di Jahab kelihatan agama bersikap longgar, sedangkan Islam melarang praktik ritual tersebut,” tegasnya. Meskipun Hero tidak sepakat karena dianggap lebih kental sisi judinya, namun ia tidak memungkiri bahwa ritual tersebut memberi manfaat berarti bagi masyarakat setempat, utamanya soal pengobatan murah. Karenanya, lebih jauh ia mengusulkan agar ada komunikasi budaya
antara masyarakat Jahab yang masih menganut animisme dan mempercayai kekuatan supranatural dengan pemerintah, agar tidak jalan sendiri-sendiri. ”Upacara seperti di Jahab itu memang dimaksudkan untuk membantu bagi mereka yang tidak mampu. Oleh karena itu, pemerintah harusnya ikut dalam konteks tradisi, seperti harus ada pembinaan dan pemeliharaan tradisi. Dinas Kesehatan juga mestinya aktif dalam menyadarkan masyarakat tentang bagaimana hidup sehat,” serunya. Sebab, baginya, tak semua penyakit bisa diselesaikan dengan cara tradisi. “Pemerintah itu mestinya memberi penjelasan mana penyakit yang bisa diobati secara tradisi dan mana yang tidak bisa,” ucapnya.[]
Roedy Haryo Widjono AMZ, Pegiat Diskusi Silang Budaya
Mendayung Di antara Dimensi
Profan dan Illahiyah oleh masyarakatnya,” terang Roedy Haryo Wijono, pegiat lintas budaya di Kaltim.
D
alam mitologi dan kosmologi Dayak Benuaq, Botor Buyang menjadi arena pertemuan dan Riyeek (permainan) para Nayuk dalam menyelesaikan sengketa di antara mereka. Kebiasaan ini dimulai dari Nayuk Seniang. Mereka meyakini Botor Buyang tidak terpisah dari ritus lain seperti Kwangkai dan Gugu Taun. Sebab itulah, bagi warga Dayak Benuaq, ritus Botor Buyang ini mendayung di antara ritus profan dan illahiya. “Titik lahir dari Botor Buyang berawal dari Kwangkai. Itu memang salah satu bagiannya ada adu ayam sebagai simbol antara yang hidup dan yang mati, tetapi tidak disertai makna ekonomis. Karena itu, ayam yang mewakili kematian harus kalah. Belakangan ini, berkembang dalam makna ekonomis karena konstruksi ulang 8
Vol. II/Edisi 5/2009
Menurutnya, Botor Buyang yang dalam pengertian berjudi memang tidak menjadi “bagian” dari ritus Kwangkai yang bermakna ilahiyah. Tetapi itu adalah efek samping dan hasil kreativitas masyarakat dalam merekonstruksi media publik untuk menjaga agar Botor Buyang yang dinilai profan ini masih bisa dilaksanakan, yang juga dimanfaatkan untuk membiayai proses adat. Konstruksi masyarakat seperti ini juga dipicu oleh hegemoni negara yang selama ini memperlakukan mereka sebagai obyek. “Misalnya pemerintah daerah membentuk lembaga-lembaga adat untuk melokalisir ritual adat agar kekuasaan adat masuk dalam ranah kekuasaan negara,” tuturnya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa soal ritual di Jahab ini menjadi pelik jika dilihat dalam konteks Polisi yang menilai bahwa ritual tersebut melanggar ketentuan hukum. Tapi di sisi lain, ia melihat bahwa
bukan hanya masyarakat setempat yang berkepentingan dengan acara tersebut melainkan juga banyak kelompok di luar mereka, termasuk Pemerintah Daerah. Pada konteks yang lebih luas, Roedy juga menyoroti soal stigmatisasi yang dilekatkan pada masyarakat Dayak Benuaq. Kata dia, keyakinan yang konon dari langit dan sering membuat definisi kafir, sesat, dan lainya justru banyak membuat kekacauan di bumi. “Sudah datang jauhjauh dari langit, kerjanya di bumi hanya membuat kekacauan saja,” sentilnya sambil tersenyum. Sekali lagi ia menegaskan bahwa ajaran inti dari ritual dalam siklus kehidupan orang Dayak Benuaq adalah membangun dan memastikan relasi kosmologi tetap terjaga. Kematian bagi mereka bukanlah jalan pemisah. Namun ada rangkaian perpindahan ke alam lain. “Proses harmonisasi dalam masyarakat Dayak Benuaq diwujudkan dalam bentuk ritus seperti Kwangkai,” jelasnya.[]
Multicultural Women
DEPORT
Gerwani dan Front Nasional. Namun pengakuannya itu ternyata tak cukup untuk menghentikan perlakuan kejam aparat. Penyiksaan pun terus berlangsung. Ketika ia dibebaskan, Ibu Pasek harus lapor tiap minggu ke Kodim. Menurutnya, selama di tahanan, Polisi Militer masih lebih manusiawi jika dibandingkan dengan perlakuan di penjara Pakambingan, satusatunya rutan di Kabupaten Badung.
IBU PASEK
Memori Represi Perempuan
Gerwani Bali
Oleh: Franditya Utomo
M
eskipun sebagian besar tahanan eks Tapol/Napol 1965 sudah dibebaskan, tidak mudah bagi mereka hidup di luar tahanan dan pengasingan. Kenangan pahit, trauma dan stigma sebagai gembong komunis masih sering mereka rasakan. Ibu Ruminti dan Ibu Pasek contohnya. Mereka adalah dua tokoh Gerwani di Bali. Gerwani di Bali mulai didirikan pada tahun 1956. Di awal gerakan, Gerwani menuntut kasus pemerkosaan yang dilakukan dengan sadis terhadap seorang perempuan Bali di bawah umur oleh dua orang laki-laki. Berkat perjuangan Gerwani, si pemerkosa akhirnya dihukum masing-masing 20 tahun dan 15 tahun, serta dibuang ke penjara Nusa Kambangan. Selain berkecimpung dalam kegiatan sosial, Gerwani juga mendirikan TK Melati di Kabupaten Bangli dan di Kabupaten Badung, Ibu Pasek juga aktif di kegiatan adat menjadi pembantu kelian adat (ketua adat) mengurus pura. Pun pula, ibu tiga orang anak itu memiliki keahlian menjahit yang ia pergunakan sebagai alat penopang ekonomi keluarga. Menjelang peristiwa G 30 S, Ibu Pasek masih larut dalam suasana ritual ngaben di kediaman orang tuanya di Kabupaten Karangasem. Ia mengetahui telah terjadi pergolakan politik di Jakarta, setelah mendengarkan siaran radio. Tanggal 24 November 1965, rumah Wakil DPD Gerwani Bali itu pun dibakar massa. Berlanjut pada tanggal 7 Desember 1965,
terjadi pembantaian massal di Desa Pekambingan, tempat ia tinggal. Guruguru dibunuh, buruh tani juga dibantai di rumahnya sendiri. Tak hanya rumah milik Ibu Pasek yang dibakar, rumah mertuanya pun ikut menjadi sasaran amuk massa, hingga luluh lantak. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim tiga anaknya ke rumah Sang suami. Tapi sungguh naas, sang suami ternyata lebih dulu tertangkap di Kabupaten Karangasem. Ia pun prihatin dan bingung. Ia tak tahu bagaimana cara mengamankan anakanaknya. Si bungsu yang baru berusia 6 bulan terpaksa ia ajak mengungsi ke alun-alun (Lapangan Puputan Badung), sampai akhirnya mereka diperiksa di Kodim. Nampaknya, banyak perempuan yang diperiksa di sana dalam kondisi hamil, bahkan ada juga diantara mereka yang melahirkan di penjara. Begitu pun dengan Ibu Pasek, anak-anak terpaksa menemaninya di penjara --Si bungsu juga sudah mampu berjalan dan berlari. Pada bulan Januari 1966, seorang Polwan menginterogasi Ibu Pasek di Kodim Badung. Ia memperlakukan perempuan Gerwani dengan keji. Atas dasar tuduhan “menanam manusia”, Polwan itu pun memukul, menjambak, dan beragam siksa lain kepada Ibu Pasek. Darah terus mengalir di sekujur tubuh, seiring paksaan Sang Polwan kepada Ibu Pasek agar mengakui bahwa dirinya adalah anggota
Pada tahun 1971, Ibu Pasek menyekolahkan anaknya di Akademi Perawat di Surabaya. Ia merasa kesulitan mengurus perizinan agar anaknya bisa sekolah. Akhirnya, izin itu ia peroleh , meskipun harus wajib lapor ke Kodim. Selama dua minggu berturutturut, ia mendampingi Sang buah hati menempuh pendidikan di Surabaya. Sampai akhirnya, Bu Pasek kembali ke Bali. Tujuannya, agar dirinya tetap bisa beker ja di Bali sehingga anak tak sampai putus sekolah. Berjualan nasi bungkus sedari pukul dua dini hari pun ia lakoni. Kemudian, pukul enam pagi ia sudah siap duduk di depan mesin jahit, hingga pukul empat sore. Setiap hari, aktivitas itu ia jalani. Tidur pun paling lama hanya satu jam. Di tengah kesibukan menyambung hidup, panggilan dari Kodim kembali datang. Nampaknya mereka mengenali Ibu Pasek melalui nama “Penjahit Pass” yang biasa didatangi oleh para pelanggan. Akhirnya, Ibu Pasek harus mencicipi dinginnya sel Kodim sekali lagi, mendekam di ruangan yang sangat sempit, dan ditahan selama 16 hari sebelum akhirnya dipindah ke sel yang lebih besar. Pada tahun 1977, Ibu Pasek baru benarbenar bisa menghirup udara bebas, tak wajib lapor. Sehari-hari, ia pun berjualan pisang goreng, telur dadar, dan nasi bungkus.[]
LOKASI PEMBANTAIAN ORANG-ORANG KIRI DI BALI
Vol. II/Edisi 5/2009
9
Citizenship
DEPORT
Dicerai Gara-gara
Dia Ahmadiyah Oleh: Imas Didah Deliah
T
ahun 2007 barangkali tahun paling menggelisahkan bagi jemaat Ahmadiyah. Di berbagai tempat, mereka disatroni, diserang, diteror oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan agama tertentu. Tempat-tempat ibadah mereka dibakar, dihancurkan, dan ditutup secara paksa. Hingga kemudian, segala kekisruhan yang menimpa komunitas tersebut merembet ke dalam kehidupan pribadi jemaatnya. Coba lihat kisah pahit yang dialami Umi (bukan nama sebenarnya), salah satu jemaat Ahmadiyah asal Bandung. Ia ditekan oleh suaminya untuk keluar dari Ahmadiyah dan berpindah ke keyakinan Sang suami, yang non-Ahmadiyah. Karena menampik ajakan suaminya, Umi pun harus rela dicerai. Sudah enam belas tahun lamanya Umi membina rumah tangga bersama Abi (bukan nama sebenarnya). Pasangan yang telah dikaruniai dua orang putri ini memilih Bandung sebagai tempat tinggalnya. Kehidupan rumah tangga yang mereka rajut selama ini boleh dibilang cukup harmonis. Tak hanya meminta nyebrang dari keyakinan, Abi juga menginginkan Umi dan putri-putrinya pindah ke Bekasi, tempat orang tua Abi tinggal. Mulanya, kedua permintaan suaminya itu dianggap lelucon oleh Umi karena ia tak menemukan alasan yang logis kenapa Abi menginginkan dirinya keluar dari Ahmadiyah, lebih-lebih harus pindah domisili. Namun Umi terhenyak ketika Abi mengungkapkan bahwa orang tuanya malu memiliki menantu seorang Ahmadiyah. Padahal, pada saat menikah dulu, orang tua Abi tahu bahwa pasangan ini beda keyakinan. Keluarga kedua belah pihak pun merestui pernikahan mereka, tanpa memersoalkan perbedaan yang ada. Umi menyatakan keberatan atas permintaan suminya untuk keluar dari Ahmadiyah karena, baginya, keyakinan dan akidah bersifat prinsipil. Akhirnya, ia mengajukan opsi kepada suaminya untuk
10
Vol. II/Edisi 5/2009
menjalankan keyakinan masing-masing saja tanpa harus mengorbankan keluarga kecilnya, serta meminta waktu setahun untuk mempertimbangkan tawaran suami beserta keluarga mertuanya untuk pindah ke Bekasi. Sayangnya, permintaan Umi itu ditolak mentah-mentah. Perundingan demi perundingan di antara keduanya tak juga menemukan titik kesepakatan. Umi gagal membujuk suaminya agar tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Tiba-tiba, di bulan Mei 2008, Abi meninggalkan Umi dan putri-putrinya. Abi pindah ke Bekasi, menuruti permintaan kedua orang tuanya. Selama tiga bulan berpisah, tak ada upaya dari Abi untuk menjalin komunikasi, baik dengan istrinya maupun anak-anaknya. Pada 19 Agustus 2008, Umi terkejut bukan kepalang setelah mengetahui kalau suaminya ternyata melayangkan gugatan cerai terhadap dirinya, terdaftar di salah satu Pengadilan Agama di Bandung. Dengan berat hati, Umi menjalani sidang demi sidang gugatan perceraiannya. Pada 2 September 2008, sidang pertamanya digelar di salah satu Pengadilan Agama di Bandung. Ketika Hakim bertanya alasan kenapa Abi menceraikan Umi, Abi menjawab karena ia tidak bisa meneruskan membina keluarga dalam kondisi istrinya masih anggota Jemaat Ahmadiyah. Awalnya, hakim menyarankan kedua pasangan tersebut berunding dan berdamai, namun Abi menolaknya. Ia tetap kukuh meminta Umi mengikuti ajaran yang ia
Namun dalam proses berikutnya, hakim malah memojokkan Umi agar mau mengikuti ajaran suaminya, keluar dari jemaat Ahmadiyah, dengan alasan bahwa sepantasnya istri mengikuti suami.
anut. Sementara Umi pun tetap bertahan dengan prinsipnya, bahwa akidah adalah hak pribadi. Menurutnya, agama dan keutuhan keluarga adalah dua hal yang berbeda dan tak bisa dijadikan suatu pilihan. Namun dalam proses berikutnya, hakim malah memojokkan Umi agar mau mengikuti ajaran suaminya, keluar dari jemaat Ahmadiyah, dengan alasan bahwa sepantasnya istri mengikuti suami. Sidang kemudian diteruskan pada 18 September 2008 dengan hasil yang sama. Bedanya, Umi kali ini lebih pasrah, siap memilih bercerai daripada pindah keyakinan/ajaran. Sikap hakim kali ini pun sama, menyarankan Umi mengalah dan berpindah keyakinan. Sementara tak ada satupun saran yang ditujukan kepada Abi untuk mengambil tindakan bijaksana demi keutuhan keluarganya. Karena pihak penggugat dan tergugat tak menemui kesepakatan dan tetap berpegang pada prinsip masing-masing, hakim akhirnya membacakan kewajiban-kewajiban Abi kepada anak-anaknya. 9 Oktober 2008, sidang ketiga digelar, pihak penggugat dan tergugat pun ‘menyodorkan’ saksi masing-masing sesuai permintaan hakim. Kedua saksi ditanya seputar masalah gugatan cerai yang dilayangkan Abi. Saksi penggugat membenarkan, bahwa gugatan tersebut didasarkan pada perbedaan akidah antara penggugat dan tergugat. Sedangkan saksi tergugat menyatakan tidak tahu menahu alasan atau masalah kenapa Abi berniat menceraikan Umi. Pada akhirnya, Umi harus menerima semua getir itu. Menurutnya, keadilan tak berpihak padanya. Sidang tersebut memenangkan pihak penggugat, artinya ia harus menerima dicerai hanya karena ia Jemaat Ahmadiyah. Sidang putusan pun dibacakan di Pengadilan Agama pada 4 Desember 2008, bahwa Umi resmi diceraikan suaminya, serta hak perwalian atas putri-putrinya diserahkan kepadanya.[]
Representation
DEPORT
Di Mana Suara Ibu Peduli? Oleh: Franditya Utomo
T
ampaknya Susan Blackburn menyepelekan Peristiwa penting pada permulaan tahun 1998 lalu. Meski aksi demonstrasi para aktivis perempuan di Jakarta yang mengusung isu ‘susu untuk bayi’ itu menjadi titik penentu bagi lahir dan tumbuh-kembangnya institusi-institusi perempuan di kemudian hari, namun kasus itu sepertinya tak seberapa mendapat ulasan dalam buku yang ia tulis dalam judul “Perempuan dan Negara dalam Era Indonesia Modern”. Susan Blackburn adalah seorang sarjana ilmu politik dan gender asal Australia, ia mencoba menapaki persoalan perempuan di Indonesia dengan tesis awal tentang nasionalisme Indonesia. Sebenarnya, cakupan analisis Susan adalah politik pembangunan di Asia Tenggara. Namun di dalam buku yang diterjemahan dari buku yang dalam versi Inggris bahasa di beri judul “Women and the State in Modern Indonesia”(2004) ingin membedah diskursus perempuan dalam pergulatan politik representasi. Secara eksplisit, ia ingin merekam ekspresi politik perempuan Indonesia dalam rentang sejarah mulai periode kolonial sampai era reformasi. Misalnya pada era kolonial, Hindia Belanda, Susan melihat tatanan ideologi gender yang kemudian diintrodusir menjadi ideologi negara. Pemikiran tentang negara dan gender didominasi oleh kelas menengah laki-laki Belanda. Begitu pula dengan masa kemerdekaan, ideologi gender negara bertitik tolak pada gagasan-gagasan laki-laki kaya, muslim moderat dengan latar pendidikan Barat. Selanjutnya dalam bab lainnya, penulis merangkum sejumlah isu penting yang menjadi basis perjuangan gerakan perem puan di seputar abad Ke-20. Misalnya isu pendidikan, perkawinan dini, dan hak kewarganegaraan diulasnya dengan berbagai data yang cukup relevan dengan ekspresi politik perempuan Indonesia saat itu. Di ranah pendidikan, Susan menegaskan bahwa konsep sekolah modern merupakan salah satu produk kolonial yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh besar seperti R.A.
Kartini, Siti Sundari (Editor Wanita Sworo), Dewi Sartika, dan Zubaedah Rahma Juwita (Editor Sunting Melayu). Mengenai persoalan perkawinan dini, Susan sendiri mencoba melihatnya dari berbagai perspektif yang sebenarnya berujung pada praktik poligami dan diskriminasi pada perempuan dan anak. Sosok perempuan yang penulis anggap berperan melawan poligami dan poligini antara lain Suwarni Pringgodigdo, seorang nasionalis dari organisasi Istri Sedar, Ny. Mahmudah Mawardi dari NU, serta Rasuna Said asal Sumatra Barat.
juga memberikan kontribusi besar pada lengsernya rezim otoritarian, Orba, bersama dengan para mahasiswa itu hanya dijelaskan dengan beberapa penggal kalimat saja. “Bulan Februari 1998, aktivis pemimpin SIP (Suara Ibu Peduli) mulai berkumpul di tempat-tempat terkenal di Jakarta melakukan protes dalam bentuk ‘doa bersama untuk susu’, yang mendapat liputan luas dari media massa karena kegiatan itu diadakan oleh perempuan kelas menengah terdidik...” [Hal. 290-291]
Tercatat hanya tiga paragraf yang menyoal aksi suara ibu peduli. Susan menjelaskannya sebagai bentuk ekspresi politik perempuan dari tebal buku yang mencapai 451 halaman.
ACARA BEDAH BUKU SUSAN BLACKBURN
Masuk dalam isu hak asasi manusia dan kewarganegaraan, Susan terlihat mulai mengkompilasi peran-peran perempuan yang berkontribusi pada terlembaganya prinsip kesetaraan gender dalam lembaga perkawinan dan perspektif hukum. Seorang pengacara perempuan, Maria Ulfah Santoso, dan seorang aktivis Nursyahbani Katjasungkana, disebutnya sebagai perempuan-perempuan yang gencar memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan di ruang publik, serta mencerminkan gerakan feminisme di era Indonesia modern. Ketika memasuki periode akhir Orde Baru dan awal Orde Reformasi, Susan menulis sub-judul tentang “kembalinya ibu-ibu politis” dalam mengawal era transisi demokrasi. Namun aksi suara ibu peduli yang tak hanya menginspirasi gerakan perempuan berikutnya tapi
Padahal pada bab-bab sebelumnya, ulasan-ulasan tentang sejarah peran politik perempuan di Indonesia ia jelaskan dengan data yang cukup mapan. Susan tak membuat analisis lebih jauh tentang pelembagaan isu perempuan yang sangat signifikan dengan konteks perjuangan hak perempuan di Asia Tenggara. Aksi suara ibu peduli dalam frame politik dan gender sebenarnya sangat penting untuk diulas lebih jauh dalam perkembangan perjuangan politik perempuan di Indonesia, terlebih untuk menandai peralihan dari masa Orba ke era reformasi. Sebab, peristiwa itu telah menjadi pintu masuk bagi terbentuknya organisasi-organisasi perempuan dan lembaga independen perempuan anti kekerasan untuk menghapuskan berbagai diskriminasi dan pelanggaran terhadap hak-hak perempuan. Mendekati bagian akhir tulisan, Susan kembali mengkompilasi data-datanya untuk mendukung penjelasan tentang peristiwa Mei 1998 dan isu kekerasan dalam rumah tangga yang mewarnai era transisi demokrasi, sebelum ia melanjutkan pada kesimpulan akhir. Dan pembaca masih bertanya, siapa ibu-ibu politis yang berjuang bersama-sama mahasiswa dan rakyat saat itu?[] Vol. II/Edisi 5/2009
11
Desantara’s Activities
DEPORT
HALAL BI HALAL DAN PENTAS SENI
juga menekankan apapun sebenarnya pilihan terhadap pabrik semen, tidak lah menjadikan mereka harus bertengkar.
Oleh: Ari Ujianto
Selain itu, acara ini diharapkan bisa menepis isu-isu yang selama ini muncul di kalangan orang yang anti terhadap pabrik semen, bahwa orang-orang Islam telah ditunggangi Sedulur Sikep.
DI RUMAH KENDENG
S
lamet Gundono, seniman yang kondang dengan wayang suketnya itu, bersama tiga orang lainnya tak hentihentinya melakukan improvisasi. Keempat orang itu menari, bergerak, dan terkadang mengajak orang-orang yang hadir di tempat itu untuk bernyanyi.
Pentas yang digelar pada 2 Oktober 2009 ini adalah bagian dari halal bi halal yang dikolaborasi dengan seni. Balutan kesenian dengan pengajian itu pun berasa gayeng. Tengok saja, lima ratusan orang yang hadir tetap tak beranjak hingga acara kelar hingga tengah malam.
Mereka, keempat seniman itu sedang melakonkan celeng (babi hutan) yang merusak mata air. Dalam cerita yang dipentaskan di Omah Kendeng, Misik Sukolilo ini digambarkan bahwa, celeng bisa berupa apa saja, siapa saja. Ia bisa jadi tentara, ia juga bisa jadi birokrat, bahkan jadi ulama. Tampaknya, pesan yang hendak disampaikan oleh Gundono dan kawankawannya adalah pentingnya menjaga lingkungan termasuk gunung Kendeng dan sumber airnya dari para celeng, sehingga celeng-celeng itu harus diwaspadai.
Selain Slamet Gundono, juga ada Sosiawan Leak, budayawan asal Solo, Markaban, pelawak sekaligus dai yang berasal dari Pati, juga Anis, orang arab yang punya kesenian musik. Banyaknya penonton juga membuat rumah Kendeng tak cukup menampung para hadirin hingga meluber di sisi kiri kanan rumah, bahkan sampai ke jalan-jalan.
Dalam kesempatan itu, M. Nur Khoiron, yang didaulat untuk memberi orasi juga menyampaikan pentingnya toleransi keberagamaan maupun keberagaman di Indonesia.
Dalam setiap babak dalam acara yang diberi tema Acara yang bertema Halal bi Halal Merajut Keberagaman dalam Cahaya Fitri ini, MC dan para pembicara halal bi halal di omah kendeng
BEDAH BUKU KIAI, MUSIK, DAN KITAB KUNING Oleh: Ingwuri
A
da yang tak lazim dengan model bedah buku yang dilakukan di STAIN Kudus, Jawa Tengah itu: sebelum diskusi, bedah buku dibuka dengan iringan musik. Di lingkungan STAIN, acara ini mungkin tak lazim karena biasanya, jika sebuah acara dihadiri kiai, hampir tak ada bau-bau musiknya. Tetapi kelaziman itulah yang tampaknya hendak ditampik. Mungkin, dibuka dengan musik mengacu dari semangat buku yang dibeli label Kiai, Musik dan Kitab Kuning terbitan Desantara itu. Dalam acara yang digelar tanggal 13 Agustus 2009 itu, ada tiga pembedah: Kiai Adib Masruhan, pengasuh pondok pesantren al Maghfur Mranggen Demak sekaligus penulis buku Hadis-Hadis Kebudayaan, Prof. Dr. Abdul Hadi, ketua STAIN yang juga pengasuh pesantren Futuhiyyah Mranggen, serta Zamhuri S.Ag, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Budaya (LS2B) Sumur Tolak Kudus.
Isi buku, ini adalah melihat pandangan habib, kiai, ustadz tentang musik, tidak sekadar halal haramnya tetapi juga pengalaman keseharian para pemuka agama ini terhadap musik, termasuk juga adalah jenis musik apa yang menjadi favorit mereka. Buku ini juga mengupas persoalan teksteks kitab kuning mengenai kesenian dan alat-alat seni yang dihubungkan dengan kompleksitas realitas Muslim di Nusantara
bedah buku di stain kudus
yang masyarakatnya, sangat lekat dengan kesenian dan alat-alat seni dalam kehidupan rutin sehari-hari. Buku yang merupakan olahan dari hasil wawancara dengan habib, kiai, ustadz ini merupakan refleksi dan pengalaman dari pribadi dari kiai, ulama, ustad tentang seni dan alat-alatnya berkait dengan kitab kuning. Bedah buku sendiri, dihadiri oleh lebih dari 60-an peserta. Selain mahasiswa STAIN, acara juga dihadiri oleh santri dan para pelajar dari berbagai sekolah di Kudus. Yang menarik, Kiai Adib, yang menjadi salah seorang pembicara sekaligus nara sumber buku ini, memberikan pandanganpandangan yang berbeda dari yang diketahui oleh orang awam. Karena keberbedaan inilah yang tampaknya, saat giliran Prof Abdul Hadi berbicara, ia menyebut bisa jadi Kiai Adib menjadi salah satu yang disebut sebagai kelompok liberal. []