Monthly Report on
edisi
13
Religious Issues Agustus
Sinopsis
D
alam Monthly Report edisi XIII ini, ada dua kasus penodaan agama, yaitu kasus Ishak Suhendra di Tasikmalaya dan Dedi Mulyadi, Bupati Purwakarta. Ishak dituduh melakukan penodaan agama karena buku setebal 29 halaman yang ditulisnya berjudul Agama dalam Realitas dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Kini kasusnya sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Ishak diancam hukuman lima tahun penjara. Sedangkan Dedi Mulyadi dituduh menistakan agama karena ucapannya dalam pengajian Bale Paseban di pendopo Kabupaten (7/8/08) lalu. Di depan jamaah pengajian yang juga dihadiri KH. Masdar Farid Mas’udi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Bupati Dedi Mulyadi membuat tamsil antara suling (alat musik sekaligus simbol kultural masyarakat Sunda) dan al-Qur’an. Menurut Dedi, bagi orang yang bisa memaknai, dengan mendengar alat musik seperti suling seseorang bisa mengingat Allah. Sebaliknya tak ada jaminan seseorang akan bergetar hatinya ketika mendengar ayat suci al-Qur’an, jika ia tidak tahu maknanya. Kini kasusnya sedang diproses di Polres Purwakarta meski Dedi sudah minta maaf. Kasus penodaan agama inilah yang menjadi sorotan utama edisi XIII ini. Di samping itu, kasus pendirian gereja, kisruh di STT Setia Jakarta, Kisruh Majelis Mujahidin, aksi sweeping FPI dan elemen-elemen lain menjelang dan saat bulan Ramadhan dan sebagainya, juga kami laporkan. Isu-isu keagamaan agaknya akan senantiasa menjadi isu publik yang tak ada habisnya. Selamat membaca! ■
Susunan Redaksi
Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Nurul H Ma’arif, Nurun Nisa Staf Redaksi: M. Subhi Azhari Lay out: Widhi Cahya Alamat Redaksi: The Wahid Institute Jln Taman Amir Hamzah No. 8 Jakarta - 10320 Website: www.wahidinstitute.org Email:
[email protected] Kontributor: Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Makassar) Kerjasama dengan TIFA Foundation
2008
Hantu Penodaan Agama 1. Tuduhan Menodai Agama Kian Jadi Ancaman a. Menggugat Buku Sesat, Massa Bertindak Anarkis
S
ekitar 100 orang mendatangi rumah Ketua Perguruan Pencak Silat (PPS) Panca Daya Cabang Tasikmalaya Jawa Barat, H. Ishak Suhendra, SH. (60), Kamis, 28/8/08. Massa yang memakai pakaian putih, bercelana, bersarung dan sebagiannya mengenakan sorban ala ninja itu merusak 2 buah papan nama Panca Daya, mencabut dan mematahkannya serta membuangnya ke kolam. Massa dari Forum Rakyat Madani ini juga menggedor pintu dan mencabut stiker berlogo Panca Daya di kaca rumah-rumah warga pengikut ajaran yang mereka sebut Ishakiyah. Sekitar jam 12.00, massa yang datang menggunakan tiga mobil itu langsung melakukan orasi ditimpali teriakan dan yel-yel kecaman: “Ishakiyah Gantung! Ishakiyah Bunuh! Bakar saja Rumahnya!” Sekitar 30 menit mereka berorasi menuntut warga pengikut Ishakiyah dan warga Panca Daya bertaubat untuk kembali ke ajaran Islam yang benar. Menurut mereka, Ketua PPS Panca Daya Tasikmalaya telah membuat buku menyesatkan dan menuntutnya dihukum. Ishak Suhendra dituduh melakukan penodaan agama setelah menulis buku setebal 29 halaman berjudul Agama dan Realitas. Buku itu dinilai MUI Kab. Tasikmalaya menyesatkan. Massa yang datang saat itu, awalnya hendak menghadiri sidang Ishak sebagai terdakwa kasus penodaan agama. Mereka pun sebelumnya membakar puluhan buku karya Ishak Suhendra. Karena Ishak tidak datang dan tidak jelasnya alasan ketidakhadiran terdakwa dalam persidangan, Majelis Hakim memerintahkan petugas kejaksaan untuk menjemput paksa Ishak dari rumahnya. Massa ���������������� pun mengi kuti penjemputan itu. Namun massa yang juga hendak membakar rumah Ishak tidak dapat menerobos penjagaan ketat pihak kepolisian yang datang menggunakan tiga truk besar. Sosok tua dengan sorot mata tajam dan berwibawa ini ting-
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 gal di sebelah timur Kota Tasikmalaya, di Jl. Raya ����� Garut-Tasikmalaya Km 29, Kampung Tagog RT 10/03 No. 109 Ds. Karangmukti, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya. Jiwa sosialnya menjadikan warga sekitar simpatik. Kepeduliannya terhadap kehidupan orang lain juga mendorongnya menjadi ahli penyembuhan penyakit secara spiritual. Kete narannya menyebabkan pasiennya kian bertambah hingga mencapai 25 ribu orang yang terdaftar dalam buku tamunya. Saban hari, ramai orang berkunjung ke rumah yang pagarnya bercat biru putih itu. Melalui Panca Daya, Ishak mampu memberdaya kan 200-an anggotanya, termasuk mengantarkan lingkungannya menjadi RT teladan tingkat Jawa Barat. Kelompok Panca Daya memang memiliki kepedulian dalam penghijauan, posyandu dan siskamling. Mereka juga memiliki kelompok usaha sablon, peternakan ikan dan pembuatan lapak berdagang bagi masyarakat. Bahkan pada 2007 mereka berhasil membangun 15 rumah warga yang tidak layak huni menjadi layak huni. Meski demikian, ada saja yang tidak suka dengan Panca Daya. Itu terbukti, ketika sebuah RT datang meminta bantuan untuk pembuatan Poskamling, ada ajengan (baca kiai) yang menolak bantuan itu. Bahkan ia mengharamkan bantuan apapun dari Panca Daya. Puncaknya, pada Minggu, 6/1/08, sekitar jam 11 WIB, H. Ishak Suhendra membagikan buku karyanya pada anggota PPS Panca Daya, tepat ketika ulang tahun PPS Panca Daya di lapangan volly Kamp. Tagog, Ds. Karangmukti, Kec. Salawu Kab. Tasikmalaya. Buku kecil ini dicetak 150 buah, di covernya tercantum logo Panca Daya dan ditulis oleh Ketua PPS Panca Daya. Hanya saja, buku hasil kajian Ishak dengan warga Panca Daya setiap malam Jum’at itu me nuai protes seorang tokoh NU Salawu. Menurut Ishak, karyanya dilaporkan oleh tokoh NU itu ke MUI Kab. Tasikmalaya, lantaran dinilai mengan dung kesesatan. Menurut hasil kajian MUI Kab. Tasikmalaya, buku tanpa daftar pustaka ini berisi berbagai penyimpangan ajaran Islam. Hal ini mendorong keluarnya fatwa sesat terhadap buku hasil kajian selama setahun itu. Ishak pun membantah hasil kajian MUI yang sepihak, mengingat dirinya tidak pernah diajak dialog. Beberapa ajaran yang dianggap sesat oleh MUI,
antara lain: pertama, penafsiran terhadap basmalah. Ishak mengartikan dengan bis=hidup, mil=hati, lahi=rasa, rahman=akal dan rahim=budi. Kedua, ajaran Ishakiyah (sesuai istilah demonstran) meng anggap semua agama benar dan ujungnya mencampuradukkannya. Ketiga, terkait urutan rukun iman. Menurut MUI, urutan itu harus percaya kepada kitab-kitab Allah terlebih dahulu baru kepada Rasul Allah, sementara Ishakiyah sebaliknya. Keempat, Allah wajib membutuhkan makhluk. Kelima, Ishakiyah menjelaskan agama tidak berdasarkan dalil dan ketentuan kaidah syara’. Keenam, pelaksanaan shalat jumlahnya 50 rakaat dalam 24 jam. Atas dakwaan itu, Ishak dipanggil Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Selama enam kali mengikuti persidangan, aku Ishak, dirinya merasa tertekan karena banyaknya hujatan dan ungkapan kotor massa yang memakai atribut ormas Islam NU, Ansor, Banser, FPI dan lainnya. Mereka selalu memojokkan dirinya ketika memberi penjelasan di pengadilan. Pada persidangan ketujuh, emosi Ishak memuncak akibat perilaku massa yang hadir. Di depan hakim, Ishak lantas menyatakan dirinya tak akan mengikuti persidangan selanjutnya, bila suasana persidangan tidak kondusif dan rentan konflik. Benar saja, persidangan yang sejatinya digelar Kamis, 28/8/08 pukul 10.00 WIB untuk agenda pembacaan tuntutan jaksa urung dilaksanakan karena ketidakhadiran Ishak. Menurut keterangan Ishak, selain karena tidak nyaman dalam persidang an, ia pun diminta polisi urung hadir karena alasan keamanan. Namun, �������������������������������� sekitar pukul 11.30 WIB, aparat kepolisian dari Kejaksaan Negeri Kab. Tasikmalaya datang ke rumah Ishak untuk menjemput paksa dan menahannya. Tim eksekusi yang diketuai Dwi Harto memasuki rumah Ishak, membawa Ishak dan menahannya di Lapas Tasikmalaya. Ketika itu, tim eksekusi meminta Ishak segera memakai celana – karena waktu itu Ishak mengenakan sarung – dan membawa cepat karena menurut tim eksekusi massa sedang menuju Salawu, ke rumah Ishak. Ketika proses negosiasi penjemputan paksa te ngah dilakukan polisi dari Kejaksaaan, polisi dari Polres Kab. Tasikmalaya pun menjaga dua ruas jalan utama sekitar 100 meter dari rumah Ishak. Berbarengan dengan kumandang azan Dhuhur, sekitar jam 12.00, rombongan massa datang menggunakan tiga mobil dan langsung melakukan orasi ditimpali teriakan dan yel-yel kecaman. Akhirnya terjadilah tindak anarkis itu. ������������������ H. Ishak Suhendra SH diancam pidana pasal 156a KUHP dengan ancaman maksimal hukuman 5 tahun penjara. (sumber: hasil ��������������������������� pemantauan langsung, www.freedomreligion.org, Senin, 04 Agustus 2008, www.berita.prianganonline.com, Sabtu, 05 Juli 2008).[] The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■
b. Bupati Purwakarta Dituduh Menistakan Agama
B
upati Purwakarta, Dedi Mulyadi (37 tahun), tak membayangkan penafsirannya tentang al-Qur’an membuat situasi Purwarkarta “mendidih”. Semuanya bermula dari pengajian Bale Paseban di pendopo Kabupaten (7/8/08) lalu. Itu merupakan pengajian yang diikuti pimpinan dan pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Di depan jamaah pengajian, Bupati Dedi Mulyadi membuat tamsil. Bagi yang memaknai, ungkapnya, dengan mendengar alat musik seperti suling seseorang bisa mengingat Allah. Sebaliknya tak ada jaminan seseorang akan bergetar hatinya ketika mendengar ayat suci al-Qur’an. Pernyataan mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta inilah yang membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Purwakarta gerah. Beberapa hari kemudian mereka menggelar rapat khusus, yang juga dihadiri beberapa perwakilan ormas sekitar Purwakarta. Hasilnya, MUI sepakat mengecam pernyataan Sang Bupati yang dianggap telah menyejajarkan eksistensi al-Qur’an dengan suling. Bupati dianggap telah melakukan penistaan agama. “Ini persoalan serius. Jika dibiarkan, maka kami khawatir akan terjadi keresahan di kalangan umat. Jadi, kalau Bupati tidak segera meminta maaf, maka kami akan melaporkan tindakannya ke aparat kepolisian,” kata juru bicara MUI KH. Abdullah AR Joban, Rabu (13/8/08) seperti dikutip Antara. Masih menurut KH. Abdullah, MUI Purwakarta tak akan minta Dedi mengklarifikasi pernyataannya. Apa yang dilontarkan alumnus Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman 1999 itu dianggap sudah terang-benderang mengandung penistaan agama. Karena itu, KH. Abdullah minta Dedi mohon maaf pada umat Islam di kabupaten berpenduduk 700 ribu jiwa itu dan kembali melafalkan dua kalimat syahadat. MUI akan melayangkan pula surat ke Kejaksaan Negeri Purwakarta, Pengadilan Negeri, dan Pemkab Purwakarta, terkait hal ini. “Saya meminta maaf kepada umat Islam di Purwakarta. Itu memang kekhilafan saya. Saya tidak bermaksud menyejajarkan eksistensi al-Qur’an dengan alat musik suling. Itu hanya perbedaan interpretasi dan pemahaman saja. Saya tidak mau berargumen lebih jauh, dan saya tak ingin berdebat”, kata Dedi menanggapi desakan MUI. Soal syahadat? Tak perlu diminta pun, ia mengaku selalu membaca syahadat setiap hari. ”Keresahan” seperti dikhawatirkan KH. Abdullah memang bukan isapan jempol. Jum’at siang (15/8/08), dari alun-alun Kian Santang ratusan orang dari sejumlah ormas Islam seperti Forum Umat Islam (FUI), Front Pembela Islam (FPI), dan The Wahid Institute
Gerakan Moral Masyarakat Purwakarta (GMMP) meluruk Kantor Pemkab dan Gedung Negara tempat sang Bupati bertugas. Demo juga diselingi insiden pembakaran Baliho, spanduk, dan umbul-umbul berlogo Dedi Mulyadi yang terpasang di lingkungan pemkab yang berhasil diturunkan paksa. Sebagian massa meneriakkan tuntutan agar Dedi mundur dari jabatannya. Seperti dikutip www.okezone.com (15/8/08), Ketua FPI Purwakarta Asep Hamdani di sela-sela aksinya menyatakan, perilaku Dedi Mulyadi sudah tak dapat dibiarkan. Persoalan seperti ini, menurutnya sudah terjadi untuk ketiga kalinya. Namun tak jelas betul dua kasus apa yang pernah dilakukan Dedi sebelumnya. Keesokan harinya Sabtu, (16/8/08), permintaan maaf secara lisan Sang Bupati dari Partai Gokar ini diperkuat lagi dengan pembubuhan tanda tang an pada Surat Pernyataan Bersama antara dirinya, Ketua Umum MUI Purwakarta KH. Otoillah Mustari, dan Kapolres Purwakarta AKBP Sufyan Sya rif. Prosesinya digelar di aula Kepolisian Resor Purwakarta. Sayangnya, surat permohonan maaf itu tak menyurutkan langkah sekelompok orang yang mengatasnamakan Komunitas Umat Islam Purwakarta untuk tetap mengadukan Dedi ke kepolisian, meski akhirnya pengaduan mereka ditolak. “Semua yang terjadi, saya jadikan pelajaran berharga agar tidak terulang kembali. Apalagi mengenai agama, harus hati-hati. Jangan sampai menimbulkan multi-tafsir,” kata Dedi usai acara penandatanganan (www.mediaindonesia.com, Sabtu, 16/8/08).
Ancam Usir
Atas peristiwa ini, MUI Purwakarta sempat mengancam mengusir Bupati Purwakarta. Juru bicara MUI Purwakarta, KH. Abdullah AR Joban misalnya, mengancam akan menggelar unjuk rasa dan mengusir Bupati Purwakarta jika dalam waktu 1x24 jam tidak meminta maaf secara resmi pada seluruh umat Islam di Purwakarta. “Dia (Dedi) memang sudah menyampaikan maaf ketika mendapat kecaman, pada Rabu (13/8/08). Tapi, itu tidak secara resmi,” kata KH. Abdullah. Secara pribadi, kata KH. Abdullah, dirinya telah memaafkan Dedi, karena dirinya sudah ditemui Bupati Purwakarta. “Saya adalah satu dari sekian banyak umat Islam di Purwakarta. Jadi, saya mendesak agar Bupati tidak hanya menyampaikan permohonan maaf kepada saya, tapi juga kepada umat Islam yang lain,” katanya (www.antara.co.id, 14/8/08). Tapi karena bupati sudah minta maaf, sehingga pengusiran
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 urung dilaksanakan. Kabar terakhir menyebutkan, kasus dugaan penodaan agama Bupati Purwakarta ini dialihkan ke Kepolisian Daerah Jawa Barat. Sebelumnya, kasus ini ditangani Kepolisian Resor Purwakarta. Kapolres Purwakarta Ajun Komisaris Besar Sufyan Syarif mengatakan, polisi saat ini terus memeriksa sejumlah saksi tambahan. “Hasilnya kami kumpulkan dan akan kami serahkan ke Polda Jawa Barat,” kata Sufyan. Sampai Rabu (13/8/08) lalu, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Purwakarta sudah menyita sejumlah barang bukti, antara lain kamera
video, cakram rekaman gambar, dan kaset rekaman. Polisi juga telah memeriksa empat saksi, baik saksi dari MUI maupun panitia pengajian. Selain Dedy, nara sumber asal Jakarta, KH. Masdar F. Mas’udi, juga dilaporkan. Dalam pengajian itu, Masdar mengatakan kata “Ilah” sama dengan Sang Dwiwasa. Ketua PBNU ini juga mengatakan, di tanah Sunda dan Jawa pernah turun seorang nabi. Tata Sukayat dari UIN Bandung yang menjadi moderator pengajian juga ikut dilaporkan, karena sama-sama dinilai menodai agama Islam. (www.antara.co.id, Jum’at, 22/8/08).[]
2. Non-muslim Jadi Panitia Isra’ Mi’raj di Maluku Utara
S
ebuah pemandangan unik menghiasi peringatan Isra’ Mi’raj di Halmahera Barat, Maluku Utara (Malut). Peringatan hari besar umat muslim di tempat itu sepenuhnya diurusi pemeluk agama lain. “Ini sengaja dilakukan untuk mempererat silaturahmi antar umat beragama. Selain itu, kami juga ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa Maluku Utara, khususnya Halmahera Barat sudah aman dan kelompok-kelompok yang bertikai di waktu lalu sudah kembali hidup berdam pingan dalam suasana damai dan penuh toleransi,” ujar Bupati Halmahera Barat Namto Hui Roba dalam sambutannya di Halmahera Barat, Selasa (5/8/08).
Namto menjelaskan, latar belakang dihelatnya kegiatan ini karena masih kuatnya anggapan masyarakat luar bahwa Maluku Utara termasuk daerah konflik. “Padahal konflik tersebut sudah lama berlalu dan mulai dilupakan warga Maluku Utara,” terangnya. Acara dzikir dan tabligh akbar yang mendominasi jalannya acara dihadiri dai kondang Ustad Achmad al-Habsy. Kehadiran tokoh ini pula yang menyedot antusiasme warga untuk datang ke lokasi. Bahkan, warga dari golongan non-muslim pun turut berbondong-bondong menghadirinya. (www. okezone.com, Selasa, 5/08/2008).[]
3. Pemerintah Sumsel Diminta Keluarkan Perda Halal
L
embaga Pengkajian, Pangan dan Obat-obat an dan Kosmetik (LP POM) MUI Sumsel meminta pemerintah daerah mengeluarkan perda tentang sertifikat halal. Humas LP POM Muhamad Jamhur, (21/8/08) mengatakan, perda itu diperlukan karena upaya sertifikasi halal di daerah ini belum maksimal. “Sampai saat ini baru enam produk usaha yang memiliki sertifikasi halal yang dikeluarkan MUI,” katanya. Selama ini, kata dia, sangat sedikit pengusaha yang mau melakukan sertifikasi halal karena memang masih bersikap sukarela dan tidak ada unsur memaksa. Jamhur juga mengatakan, saat ini pihaknya sudah mengajukan legal drafting peraturan daerahnya kepada pemerintah provinsi untuk dibahas. “Kalau Pak Gubernur mau meninggalkan kenangan manis di masa jabatannya ini, maka sudah selayaknya dia memperjuangkan perda halal yang
kita sudah ajukan itu,” katanya. Isi perda itu, kata Jamhur, terkait pentingnya label halal, juga soal saksi dan aturan untuk mendapatkan label halal tersebut. Selain itu, dia juga menggugah masyarakat untuk peduli terhadap label halal ini (www.tempointeraktif.com, 21/8/2008).
100 % Halal
Sebelumnya, MUI Malang Jawa Timur, meminta masyarakat berhati-hati jika melihat makanan yang menuliskan kata-kata 100 % halal. Ini karena kesadaran masyarakat akan produk berlabel halal dirasa masih cukup rendah. Ketua Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP POM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim, Prof. Dr. H. Sugijanto dalam semiloka Makanan Aman dan Halal di Dome Universitas Muhammadiyah The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■ Malang (UMM), Selasa (5/8/08) mengemukakan, hasil survei menunjukkan 27,7 persen masyarakat masih tetap membeli produk yang tak memiliki label halal. Kebutuhan label halal dan aman baru meningkat jika beredar berbagai isu tentang enzim makanan yang terbuat dari babi hingga penggunaan borax dan berbagai jenis bahan kimia berbahaya lainnya. Jika sudah diterpa isu itu, masyarakat baru jeli memperhatikan label halal sebuah produk. “Ironisnya, saat ini Depag sedang menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaminan Produk Halal, justru banyak mendapat protes dari orang Islam
sendiri. Kalau begini kapan muslim di tanah air terlindungi?” sela Ketua LP POM MUI Pusat Dr. Ir. M Nadratuzzaman Hosen. Karenanya, masyarakat dihimbau teliti memilih produk makanan yang akan dikonsumsi. Setiap produk yang akan dibeli sebaiknya sudah dilabeli halal dari LP POM MUI. “Kalau ada label 100 persen halal harus dipertanyakan, mengingat LP POM tak pernah mengeluarkan label yang berbunyi 100 % halal. Yang ada hanya kata halal dalam bahasa Arab di atasnya dan bahasa Indonesia di bawahnya,” tandas Nadratuzzaman. (www.surya. co.id, Rabu, 6/8/08).[]
4. Warga Kampung Pulo Serbu Kampus SETIA
R
atusan warga Kampung Pulo terlibat bentrok dengan penghuni Kampus Sekolah Tinggi Injili Arastamar (SETIA), di Kampung Pulo Pinang Ranti Jakarta Timur, Jum’atAhad (25-27/7/08). Menurut Ketua Forum Komunikasi Muslim Kampung Pulo Rusman Hadi, bentrokan yang menyebabkan puluhan korban luka ini bukanlah kejadian pertama. Bentrokan pertama terjadi pada 1991. Saat itu warga menolak rencana pembangunan kampus SETIA. Tahun 1993 kembali terjadi penolakan warga. Bentrokan juga terjadi pada 1995, diawali aksi penolakan warga terhadap pembangunan asrama SETIA. Kala itu terjadi pemukulan pada seorang warga. Bentrokan ini diikuti bentrokan keempat pada tahun yang sama. Sedang bentrok pada Juli 2008 lalu, menurut Rusman dipicu tertangkapnya seorang mahasiswa SETIA bernama Julius Coli, yang tengah melakukan percobaan pencurian mesin pompa milik Samiranto, warga Kampung Pulo Rt. 02 Rw. 04. pada pukul 22.45. Peristiwa pencurian oleh mahasiswa SETIA ini bukan yang pertama. Menurut Rusman, pada 7/11/07 juga terjadi usaha pencurian sepeda motor milik Sugino, seorang warga dan anggota kepolisian Tebet oleh Saverianus, mahasiswa SETIA. Selain itu, izin pembangunan kampus SETIA di Kampung Pulo juga dinilai bermasalah. Awalnya hanya izin membuat pagar. Tetapi berubah menjadi bangunan. Warga Kampung Pulo pun komplain. “Dari tahun 1991-1992, SETIA telah memanipulasi data. Yang berawal dari perizinan pagar berubah menjadi bangunan,” kata Rusman di Masjid Baiturrahman, (26/7/08). Menurutnya, warga tidak pernah menerima SETIA karena tidak mungkin mendirikan yayasan di tengah pemukiman padat dan mayoritas muslim. “Lalu dengan banyaknya jumlah mereka sampai 7.400 orang berdasarkan data tahun 2007, ini meThe Wahid Institute
mancing kerawanan sosial,” ujarnya. Selain itu, kata Rusman, mahasiswa SETIA sering terlibat bentrok antarsuku. “Mereka melakukan suka-suka mereka. Ini dilakukan di tengah warga. Dari awal, sesepuh masyarakat di sini sudah menolak, karena akan menimbulkan konflik lebih global,” tuturnya. Kampus SETIA didirikan pada 11 Mei 1987. SETIA memiliki 6 program studi yakni Teologi, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Guru TK/ SD (PGTK/PGSD), PGSLTP jurusan matematika dan bahasa Inggris, D3 Akademi Perawatan, dan Sekolah Menengah Teologi Kristen. Juru Bicara Kampus SETIA Senny Mafei membantah terjadi penyalahgunaan izin tanah dan penggunaan gedung kampus sebagai tempat ibadah. Untuk membuktikannya, Senny meminta warga mengeceknya ke Dinas Tata Kota DKI Jakarta. “Kalau saya bilang semua sesuai, nanti dibilang membela. Buktikan saja ke dinas perizinan. Menurut kami, semua sudah sesuai aturan,” kata Senny di Jakarta, Minggu (27/7/08). Terkait keberatan warga Kampung Pulo deng an aktivitas misa yang terkadang digelar SETIA, menurut Senny, misa hanya dilakukan pada Ming gu. “Misa juga dilakukan di salah satu kelas di SETIA. Tidak ada gereja di dalam sini,” kata Senny. Senny melanjutkan, pertimbangan misa dilakukan di SETIA karena efektivitas waktu. Sebab lokasi gereja cukup jauh (+ 6 hingga 7 km) dari kampus, di Bandara Halim Perdanakusuma. “Masa sekali ke gereja, mahasiswa kami 800 orang. Bisa macet jalan. Lagi pula misa hanya berdoa. Undang-undang juga tidak melarang kami sebagai umat beragama mengekspresikan keyakinan kami kepada Tuhan,” kata Senny. KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menengarai, penyerbuan terhadap Kampus SETIA Jum’atAhad (25-27/7/08) terjadi lantaran kebijakan
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 pemerintah yang tidak tegas dan berat sebelah. “Ini akibat policy pemerintah yang nggak karu-karuan. Sekarang ini terjadi sikap berat sebelah,” katanya saat Kongkow Bareng Gus Dur di Green Radio Jl. Utan Kayu No. 68 H, Jakarta Timur, Sabtu (2/08/2008). Gus Dur berharap, pemerintah terutama Polri berimbang menyikapi masalah ini. Misalnya, Polri harus menindak tegas para provokator dan pen yerang. “Mestinya terhadap orang yang mulai dan yang mukul, itu ada tindakan tegas dari Polri,” pintanya. Jika ternyata Polri tidak menindak mereka, lanjut Gus Dur, berarti Polri ikut terlibat di balik tragedi yang menyebabkan 17 mahasiswa SETIA luka-luka ini, baik luka akibat bacokan, pukulan batu, benda tumpul maupun siraman air raksa. Makanya, menurut Gus Dur, yang paling bersalah dalam kasus ini tak lain adalah Polri. Mereka yang seharusnya melindungi korban, nyatanya tidak. Ketika ada isu pencurian berhembus di sana, imbuhnya, Polri juga diam saja. “Ini bagaimana? Itu sebabnya yang paling bersalah adalah Polri, bukan siapa-siapa,” ujarnya. Gus Dur lantas meminta pihak Kampus SETIA untuk terus maju berjuang. “Saudara-saudara kita di SETIA jangan takut. Teruskan saja,” kata Gus Dur. “Bikin sekolah boleh di mana saja,” sambungnya memberi semangat.
Perwakilan Kampus SETIA, Bayu menceritakan, paska penyerangan hingga kini kampusnya sepi tanpa penghuni, karena seluruh mahasiswa laki-laki dan perempuan diungsikan ke Wisma Transito yang belum ada listriknya. “Kampus kami status quo. Ada gedung tapi tak berpenghuni,” katanya. Karenanya, Bayu sangat menyesalkan tindakan anarkis yang dilakukan warga dan sikap diam Polri pada pelaku penyerangan. “Kami yang punya rumah malah diusir dan yang bawa pentungan di biarin. Nggak jelas mau dibawa ke mana negara ini,” sindirnya. “Pemerintah harus tegas. Yang salah, yang melakukan provokasi dan anarki harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku,” imbuhnya berharap. Dalam ceritanya, Bayu juga heran adanya korban luka yang tersiram air raksa. Baginya, tidak masuk akal jika air raksa bisa masuk ke kampusnya mengingat kampusnya yang tertutup bagi masyarakat umum. “Mengapa ada air raksa di sana?” tanya nya heran. Soal tidak adanya ijin pendirian bangu nan yang dipersoalkan warga, Bayu menyatakan tuduhan itu tidak benar. “Kami punya ijin. IMB ada,” ungkapnya. Hanya satu hal yang saat ini diinginkan Bayu dan kawan-kawannya. “Kami ingin kembali ke kampus untuk belajar,” harapnya. (sumber: www.okezone.com, Minggu, 27 Juli 2008, www. detik.com, Minggu, 27 Juli 2008, www.gusdur.net).[]
5. Penolakan Pembangunan Gereja a. Puluhan Umat Islam Tolak Pembangunan Gereja di Pondok Cabe
P
uluhan umat Islam melakukan unjuk rasa di Jl. Moh. Toha, Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Banten sekitar pukul 10.30 WIB, Rabu (13/8/08). Mereka menuntut Pemerintah Daerah Tangerang dan umat Kristen di Pamulang membatalkan rencana pembangunan Gereja Barnabas. Massa memulai aksinya dengan melakukan long march dari Mushalla Darussalam di Jl. Moh. Toha arah Parung menuju Ciputat. Sembari berjalan, massa meneriakkan yel-yel dan membentangkan sejumlah spanduk dan poster bertuliskan “Tolak Pembangunan Gereja” dan “Hindari Konflik, Warga Pamulang Tolak Pembangunan Gereja.” Dalam orasinya, Koordinator Aksi Abdul Rahim Tabrani menegaskan, pihaknya menolak keras rencana pembangunan Gereja Barnabas, karena jumlah gereja di Pamulang sudah banyak. “Namun umatnya sedikit. Jadi untuk apa dibangun gereja baru lagi?” tanyanya heran. Tabrani juga menyayangkan sikap Pemda Tangerang yang tidak mendengarkan aspirasi warga Pamulang. Karenanya,
ia menuding Bupati Tangerang mendapat imbalan dari pihak yang berkepentingan dengan pembangunan gereja itu. “Kami akan kumpulkan bukti-bukti dan akan membawa kasus ini ke proses hukum,” ancamnya. Aksi ini mendapat pengawalan ketat aparat kepolisian. Pasalnya, pada waktu bersamaan rencana nya akan dilakukan prosesi peletakan batu pertama pembangunan gereja. Namun, untuk menghindari bentrokan, acara peletakan batu itu diurungkan. Setelah puas berorasi, massa pun membubarkan diri pukul 11.30 WIB. Aksi ini bisa dibilang sebagai lanjutan aksi Kamis, 22 November 2007. Saat itu, puluhan orang yang mengaku anggota remaja masjid dan mu shalla Pondok Cabe menggelar unjuk rasa di depan lahan seluas dua kali lapangan sepak bola itu. Rencananya, di atas lahan yang dikelilingi pagar besi itu akan didirikan gereja. “Tiap akhir pekan, di tanah lapang ini diadakan misa bersama dan akan dibangun Gereja Barnabas. Kami menolak, karena mayoritas warga di The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■ sini muslim,” kata koordinator aksi, Zarkasih, saat itu. Menurutnya, hampir seluruh jemaat misa berasal dari luar Pondok Cabe. Makanya, rencana pembangunan gereja di lahan seluas 4.000 m2 itu dinilai tidak tepat. “Kalau akhir pekan ini masih ada misa, kami akan melakukan tindakan tegas dan membubarkannya,” ancam Zarkasih usai me-
masang dua spanduk penolakan pembangunan gereja di pagar lahan. Diberitakan juga, unjuk rasa yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB kala itu tak lain buntut aksi setahun sebelumnya yang bahkan sempat terjadi kerusuhan, karena ada perlawanan dari pihak gereja. (sumber: www.detik.com, 22/11/07 dan www. okezone.com, 13/8/08).[]
b. Warga Punggolaka Tolak Pembangunan Gereja
P
uluhan warga Kelurahan Punggolaka, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) menolak pembangunan gereja di lingkungan mereka, karena dinilai tidak memenuhi salah satu syarat yang tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri. Namun, aksi itu tidak mengganggu jalannya proses peletakan batu pertama yang dilakukan Walikota Kendari, Asrun yang didampingi Camat Puuwatu dan Lurah Punggolaka serta panitia pembangunan Gereja di Kendari (7/8/08). Tokoh masyarakat setempat, Muh. Amin Tombili mengatakan, pembangunan rumah ibadah harus berpedoman pada SKB 3 Menteri. Misalnya, di sekitar pembangunan rumah ibadah harus dihuni minimal 90 warga penganut agama yang bersangkutan. “Silahkan membangun jika persyaratan yang diamanatkan dalam SKB pada Bab IV pasal 13 dan 14 tentang pendirian rumah ibadah dipenuhi,” ujar Amin Tombili. Pihaknya mengakui, panitia pembangunan
sudah tiga kali melakukan sosialisasi pada tokoh agama dan masyarakat setempat, namun tidak pernah menghasilkan kesepakatan, sehingga rencana pembangunannya dianggap bertentangan dengan keputusan warga. “Kami tidak bermaksud menghalang-halangi pembangunan gereja di tempat ini. Tetapi kami ingin, sebelum dibangun pihak panitia sudah memperoleh dukungan dari warga setempat,” katanya. Warga hanya mengetahui, bahwa lokasi pembangunan gereja tersebut selama ini dipasangi papan bertuliskan “jual tanah kapling”, sehingga warga kaget saat mengetahui lokasi itu akan dibangun gereja, sementara penganut agama sementara peng anut agama Kristen di wilayah itu hanya sekitar 10 kepala keluarga (KK). Ketua RT setempat, H. Wahid mengakui, sosialisasi yang dilakukan panitia dengan warga sekitar tidak pernah mencapai kesepakatan, sehingga pembangunannya diprotes. (www.antara.co.id, 7/8/08).[]
6. Isu Pemurtadan di Kalicode
I
su pemurtadan masih saja menjadi momok di kalangan sebagian muslim di Yogyakarta. Salah satunya di sekitar Kalicode, Kel. Wirogunan, Kec. Mergangsan. Sebagian masyarakat Islam di Mergangsan melihat fenomena pindah agama sebagian muslim menjadi nonmuslim di kalangan masyarakat sekitar bantaran Kalicode, yang basis profesinya banyak sebagai pemulung, tukang becak, ojek, dan sejenisnya. Isu ini berkembang kencang di kalangan sebagian masyarakat muslim sekitar Kalicode pada 26/7/08, sampai akhirnya diadakan rapat antara unsur MUI, Dewan Masjid Indonesia, dan peng urus takmir masjid di Mergangsan. Pertemuan diadakan di Masjid al-Huffazh Mergangsan Kidul, yang menghasilkan perlunya pengajian dan gera kan melawan pemurtadan. Pertemuan kemudian membicarakan isu Kristenisasi di pinggir Kalicode sebelah barat dan sebelah timur yang melintasi wilayah Kec. Mergangsan. The Wahid Institute
Dalam pertemuan itu, disinggung-singgung adanya sebagian warga Kalicode yang dulunya muslim seka rang beralih menjadi non-muslim, tidak kurang dari 20-an orang. Modus yang dipakai, menurut pertemuan itu, adalah pengentasan kemiskinan dengan memberi modal usaha dan sembako pada sebagian muslim yang ada di sekitar Kalicode. Pertemuan di Kalicode berusaha membuat pengajian besar-besaran di sekitar Kalicode, yang sebelumnya tidak pernah ada. Pengajian diadakan oleh unsur-unsur MUI Kec. Mergangsan, DMI, dan beberapa pengurus takmir di Mergangsan. Pengajian dadakan pada awal Agustus 2008, bertepatan dengan peringantan Isra’ Mi’raj di Masjid al-Huffazh, dengan alasan masjid itu dekat dengan Kalicode, berjarak sektar 30-an meter. Pengajian itu mendatangkan Dr. Muhammad MAg, yang membicarakan bahaya Kristenisasi dan penyakit yang disebut sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Selain Muhammad,
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 juga ada muallaf Bambang Miswanto yang berbicara tentang kebenaran Islam melampaui semua agama. Selain dua tokoh itu, ada juga dari unsur kecamatan, KUA (memimpin doa), DMI, dan beberapa pengurus takmir masjid sekitar. Pengajian ini terhitung besar di Kalicode setelah ada konsolidasi isu pemurtadan dan Kristenisasi. Tidak kurang 600-an orang hadir. Setelah pengajian selesai, dibagikan sembako kepada sebagian muslim di sekitar Kalicode yang hidup miskin, tidak kurang dari 300 bungkus. Setelah pengajian di Masjid al-Huffadz yang mengusung isu Kristenisasi dan pemurtadan di Kalicode, muncul pembatasan-pembatasan sosial yang menjurus ke arah konflik. Di antaranya, di kalangan sebagian masyarakat Kalicode mulai berkembang pemetaan melalui ungkapan: “Hatihati dia Kristen.” Anak-anak kecil TPA yang melihat anak non-muslim, mereka lantas menjauh dan mengatakan: “Kowe non-muslim to?”
Pengajian akbar di Kalicode ini akhirnya menambah amunisi bagi ustadz-ustadz di sekitar Kalicode untuk selalu mengatakan tentang bahaya sekularisme, pluralisme dan liberalisme, termasuk di pengajian ibu-ibu di beberapa masjid, meskipun perpindahan agama sebagian masyarakat Kalicode itu tidak ada kaitannya dengan perdebatan soal sekularisme. Bagi sebagian ustadz di sekitar Kalicode, pengajian itu menambahi amunisi mereka untuk menghujat dan membesarkan isu Kristenisasi. Meski begitu, menurut Joko yang tinggal di sekitar Kalicode, kalau masyarakat muslim resah karena adanya perpindahan muslim ke non-Islam, dan sebabnya soal ekonomi, maka sebaiknya elit agama memberikan santunan ekonomi atau dana buat usaha masyarakat, bukan dengan pengajian dan menghujat agama lain, karena akan menimbulkan konflik berkepanjangan.[]
7. Kisruh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
K
eputusan mengejutkan diambil Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Ba’asyir (ABB). Ia mundur dari organisasi penegak Syariah Islam itu, terhitung 13/8/08, tepatnya pada rapat AHWA (Ahlul Halli Wal Aqdi) MMI di Kantor MMI Jl Karanglo Kotagede Yogyakarta. Alasannya, sistem organisasi tak sesuai Syariat Islam dan cenderung menggukanan pola sekuler. Dalam akuannya, Ba’asyir yang tidak cocok sejak awal MMI didirikan pada 2000 ini telah memberikan peringatan pada jajaran MMI untuk memperbaiki sistem, namun diacuhkan. Ba’asyir melihat, sistem organisasi MMI layaknya organisasi jahiliyah yang menjadikan pemimpin sebagai simbol belaka. Pemimpin tidak memiliki otoritas apa pun untuk mengambil keputusan jika bertolak belakang dengan hasil rapat. ”Sistem kepemimpinan seperti ini tidak ada dalam sejarah Islam. Islam hanya mengenal sistem berorganisasi jamaah wal imamah yaitu pemimpin mempunyai otoritas penuh untuk mengambil keputusan setelah bermusyawarah dengan majelis syura, lalu amirlah yang mengambil keputusan akhir walaupun keputusan itu tidak populer dalam majelis syura, dan seluruh anggota baik di majelis syura hingga tingkat bawah harus sami’na wa atha’na,” kata Ba’asyir. Ba’asyir telah melayangkan surat pengunduran pada 19/7/08 ke Kantor Pusat MMI dan berbagai LPW dan LPD MMI di daerah. Ba’asyir sendiri menyatakan masih siap bekerja sama dengan MMI dalam hal-hal yang sesuai syariat Islam. (www.solopos.co.id, 6/8/08).
Menanggapi hal ini, Ketua Lajnah Tanfidziyah MMI Irfan S. Awwas mengaku tidak risau. “Mundurnya Amir Mujahidin justru akan memunculkan calon-calon pemimpin baru,” terangnya di Markas MMI, Rabu (6/8/08). Lebih lanjut Irfan menyatakan, mundurnya Ba’asyir akan memperjelas mana yang loyal terhadap sistem perjuangan MMI dan mana yang tidak loyal. “Yang jelas saya optimis, mundurnya Abu Bakar akan berdampak positif bagi soliditas anggota,” katanya. Terkait tuduhan MMI tidak menjalankan sistem Islam, Irfan membantahnya. MMI, katanya, hanya tidak sesuai keinginan Ba’asyir. “Yang benar, bukan tidak sesuai Syariat Islam tapi tidak sesuai keinginan beliau (Ba’asyir),” tegasnya. Ia meminta, Syariat Islam tidak dipandang melalui perspektif seseorang, sebab Syariat Islam itu luas (www.detik. com, 6/8/08). Pernyataan mengejutkan dilontarkan Mohammad Thalib, yang terpilih sebagai Amir MMI menggantikan Ba’asyir untuk periode 2008-2013 dalam Kongres MMI ke-3, Sabtu-Minggu (9-10/8/08), di Gedung Mandala Bakti Wanitatama, Yogyakarta. Menurut Thalib, ideologi keagamaan Ba’asyir bukanlah ahlus sunnah wa al-jamaah melainkan Syiah dan Ahmadiyah. Indikasinya: pertama, imam berlaku seumur hidup dan tidak boleh ada penggantian selama sanggup memimpin umat. Kedua, imam tidak bertanggungjawab pada rakyat. Kalau imam menggunakan kekayaan, rakyat tidak berhak bertanya dan minta pertanggungjawaban. “Ini doktrin Mirza Ghulam Ahmad,” jelas Thalib. Misalnya lagi, ulama dikatakan mendapat nur The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■ dari Allah sehingga tidak bisa salah. Musyawarah, karenanya tidak bisa mengikat imam. Dan tentu saja, hasilnya juga tidak wajib diikuti imam. “Ini keyakinan Syi’ah,” kata Thalib. Ba’asyir menganggap tuduhan ini pembunuhan karakter. “Saya dituduh Syi’ah tulen, juga Ahmadi, tapi tidak berani berhadap-hadapan. Kesimpulan saya, ini pembunuhan karakter supaya orang tidak percaya kepada saya,” jelas Ba’asyir. (Majalah GATRA, 13/8/08, h. 99 dan 100).
Organisasi Baru
Usai resmi keluar dari tubuh MMI, Abu Bakar Ba’asyir akan mendirikan organisasi baru yang se suai Syariat Islam. Organisasi ini didirikan bersama para aktifis muslim dan mantan anggota MMI yang kecewa. Ini disampaikan Ba’asyir di Kompleks Pesantren al-Mukmin, Ngruki Solo Jateng, Rabu
(6/8/08). Menurutnya, organisasi ini diselenggarakan sesuai tuntunan Nabi SAW, yaitu seorang amir (pimpinan tertinggi) adalah pengambil keputusan tunggal. “Sesuai sunah Nabi SAW, sebuah organi sasi harus menganut konsep al-jamaah wal imamah. Para anggotanya bisa sekedar memberikan masukan, sedangkan pengambil keputusan tunggal ada di tangan amir. Selanjutnya semua anggota harus patuh dengan keputusan itu,” papar Ba’asyir. Menurutnya, paling lambat 17 Ramadhan ini, organisasinya dideklarasikan. “Saat ini sedang dilakukan pertemuan-pertemuan intensif. Namanya juga sedang ditimbang-timbang. Alternatifnya Jamaah Anshorullah, Jamaah Anshorussunah, Jamaah Muslimin Anshorullah, Jamaah Anshoruttauhid dan lain-lain,” kata Ba’asyir. (www.detik.com, 6/8/08).[]
8. Pro-Kontra Rencana Fatwa Haram Rokok
M
UI didesak mengeluarkan fatwa haram rokok. Ini terkait aduan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Seto Mulyadi (Kak Seto) yang mendatangi kantor MUI guna memintanya mengeluarkan fatwa haram rokok. Alasannya, fatwa ini penting untuk melindungi anak-anak dari bahaya rokok. “Kak Seto datang ke sini untuk minta dukungan. Minta agar hak anak-anak dilindungi. Karena itu, anakanak jangan merokok,” ujar Sekretaris MUI Anwar Abbas di Kantor MUI Jl Proklamasi No. 51, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/08). Namun hingga kini, fatwa haram itu tak kunjung muncul. Diduga ada pro kontra di kalangan ulama. “Secara personal, banyak ulama yang masih merokok. Organisasi keagamaan juga banyak yang diuntungkan rokok,” ujar Ketua Harian dan Koordinator Tim Litigasi YLKI Tulus Abadi, Rabu (13/8/08). Produsen rokok PT HM Sampoerna Tbk tampaknya tidak keberatan jika MUI melarang anakanak merokok. “Wacananya bukanlah untuk mengharamkan rokok,” jelas Direktor Corporate Affairs PT HM Sampoerna Tbk Yos Ginting, Rabu (13/8/2008). Yos mengatakan, terkait pelarangan anak-anak merokok karena bisa merusak masa depan, Sampoerna sepaham dengan MUI. “Kami bahkan mendukung upaya pemerintah membuat peraturan mengenai pelarangan rokok bagi anakanak,” pungkasnya.
Respon Kiai
Rencana MUI ini menuai kecaman sejumlah kiai. Salah satunya Pimpinan Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jatim KH. Idris Marzuki. Dia menoThe Wahid Institute
lak fatwa itu karena masih adanya silang pendapat di kalangan ulama. “Dari silang pendapat itu, lebih banyak ulama yang mengatakan boleh daripada yang makruh. Ini berarti tidak ada larangan sama sekali untuk merokok, apalagi haram,” terang Mbah Idris di Kompleks Ponpes Lirboyo, Kamis (14/8/08). Sebagian ulama, misalnya, menganggap merokok tidak patut dilakukan (makruh), sementara ulama lainnya tidak mempermasalahkan. Namun tak ada ulama yang mengharamkan sama sekali. “Ketentuan makruh itu pun memiliki pertimbangan, yaitu bisa mengganggu kesehatan. Sehingga jika mungkin, lebih baik dihindari,” tambahnya. Pendapat ini, menurut Mbah Idris, tertuang dalam kitab Irsyadul Ikhwan karya Syekh Ihsan bin Syekh Muhammad Dahlan dari Pondok Pesantren Jampes Kediri. Kitab ini, antara lain mengulas hukum minum kopi dan merokok. Karena itu, Mbah Idris menegaskan tidak akan mendukung fatwa MUI karena memiliki landasan berbeda. Mbah Idris juga menyatakan tidak akan mengeluarkan larangan merokok bagi 10.000 santrinya, kecuali bagi santri kecil karena alasan kesehatan. “Saya tidak akan melarang santri Lirboyo merokok, sebab saya sendiri merokok. al-Hamdulillah sampai saat ini tidak ada masalah kesehatan,” ujar Mbah Idris. Kalangan pesantren besar di Jawa Timur lainnya juga menolak rencana MUI ini. “Saya yakin akan lebih banyak menimbulkan mudarat (dampak negatif, red.) dari pada manfaat jika masalah merokok disikapi MUI dengan fatwa haram,” kata Pengasuh Ponpes Tebuireng, KH. Sholahuddin Wahid (14/8/08). Dampak negatif itu antaranya adalah
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 terganggunya kebutuhan ekonomi masyarakat. “Bisa dibayangkan, berapa ratus ribu orang akan kehilangan pekerjaan,” kata adik kandung Gus Dur itu. Karenanya, Gus Sholah menyarankan MUI agar bijak menyikapi masalah rokok. “Akan sangat bagus, kalau disampaikan dalam bentuk imbauan melalui media. MUI bisa bekerja sama dengan praktisi periklanan, bagaimana pesan itu efektif diterima masyarakat,” kata Gus Sholah yang bukan perokok itu. Pendapat serupa disampaikan Pengasuh Ponpes al-Falah, Ploso Kediri, KH. Zainuddin Djazuli (Gus Din). “Saya yakin tidak akan efektif. Buktinya orang merokok masih banyak, padahal di mana-mana ada peringatan larangan merokok,” katanya. Gus Din malah mengingatkan MUI agar melihat sisi positif rokok bagi kontribusi negara. “Rokok sudah menyumbang cukai Rp 9 miliar per hari pada negara. Ini kan sisi positif rokok,” kata Gus Din. Penolakan juga disuarakan pengusaha rokok yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Ro-
kok (Gapero) Kediri. Pelaksana Harian (Plh) Gapero Kediri, Kasiati meminta MUI berkoordinasi terlebih dulu dengan pemerintah dan pengusaha. Sebab konsekuensi fatwa ini adalah hilangnya jutaan mata pencaharian pekerja rokok akibat tutupnya usaha rokok di Indonesia. “Kalau tujuannya untuk menyelamatkan generasi muda, mengapa tidak dibuat area bebas rokok? Tidak perlu MUI membuat fatwa haram segala,” katanya. Kondisi usaha rokok, katanya, saat ini untuk kelas menengah ke bawah sudah sangat terpuruk. Dari 160 pengusaha rokok yang tergabung dalam Gapero Kediri, tinggal 20 pengusaha saja yang bertahan. Sisanya tidak mampu berproduksi akibat penghentian jatah cengkeh dari pemerintah serta kenaikan pita cukai. Melihat respon yang demikian kuat, MUI akhirnya mengalah dan tidak akan membuat fatwa haram rokok. (sumber: www.detik. com, Selasa dan Rabu, 12 dan 13/8/08, www.okezone.com, Rabu, 13/8/08, www.antara.co.id, Kamis, 14/8/08, dan www.seputarindonesia.com, Kamis, 14/8/08).[]
9. Ketua Laskar Tempur FPI Lamongan Ditangkap Polisi
A
10
ksi kekerasan Front Pembela Islam (FPI) yang berdalih amar ma’ruf nahi munkar terjadi lagi di Lamongan. Kali ini, aksi razia minuman keras (miras) digelar FPI Lamongan dalam rangka Jelang Ramadhan. Aksi razia ini berbuntut panjang. Komandan Laskar Tempur FPI, Umar alFarouq ditangkap polisi, Senin (11/08/08). Penangkapan dipimpin langsung Kasatreskrim AKP Agus I Supriyanto di rumah istri al-Farouq, di Kel. Blimbing, Kec. Paciran Lamongan. Al-Farouq langsung dibawa ke Mapolres untuk dimintai keterangan. Hanya saja, hingga menjelang Maghrib polisi belum berani mene gaskan status yang bersangkutan. “Tunggu hasil pemeriksaan. Apakah akan dinyatakan sebagai tersangka atau tidak, kita masih menunggu,” kata Kapolres Lamongan AKBP Imam Sayuti. Selama ini, aparat kepolisian tidak pernah mengambil langkah pencegahan yang tegas terhadap berbagai aksi kekerasan FPI di kawasan basis Muhammadiyah Kabupaten Lamongan, Jawa Timur ini. Padahal, FPI Lamongan seringkali melakukan aksi kekerasan secara membabi buta sejak lima tahun terkahir. Jika sebelumnya pihak kepolisian terkesan permisif terhadap aksi-aksi kekerasan FPI, Kapolres Imam Sayuti yang belum genap sebulan menduduki jabatannya ini ingin memberi warna lain. Ketika ditanya dasar penangkapan al-Farouq, Ka-
polres baru ini menyatakan itu didasarkan laporan warga yang menjadi korban, yakni tindakan tidak menyenangkan terhadap orang lain dan mengganggu ketenangan masyarakat. “Berdasarkan aturan hukum, siapapun yang melakukan tindak pidana pasti berurusan dengan polisi. Jadi jelas, siapapun orangnya kan?” katanya. Dalam kasus ini, al-Farouq dkk melakukan perampasan terhadap harta berupa sejumlah miras dan melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti menyiramkan tuak ke pemiliknya. “Jadi penangkapan yang kita lakukan bukan berdasarkan pemberitaan media massa. Itu hanya penunjang. Polisi menangkap harus berdasarkan laporan korban, saksi dan barang bukti,” imbuh Kapolres. Sebelumnya, puluhan anggota FPI Lamongan pada Minggu (10/8/08) menggelar razia miras. Razia ini dilaksanakan untuk membersihkan penyakit masyarakat di wilayah pantai utara (pantura) guna menyambut Ramadhan. Operasi ini dipimpin langsung oleh Ketua FPI Lamongan Zainal Anshori dan Komandan Laskar Tempur FPI Umar al-Farouq. Saat men-sweeping, anak buah Rizieq Shihab yang berpakaian serba putih itu mengamankan sebuah mobil Daihatsu W 7574 FD yang memuat delapan jerigen dan satu tong besar tuak. Setelah mobil dipaksa berhenti, al-Farouq memeriksa The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■ KTP dan kartu identitas. Dari pemeriksaan itu diketahui, pemilik tuak itu bukanlah sopir mobil. Pemilik tuak adalah Rumadji (40), asal Ds. Tegalbang, Kec. Palang Tuban. Dia diduga pemasok tuak di sepanjang pesisir pantura, dengan menumpang mobil yang lewat. Setelah diamankan, tuak di mobil boks diturunkan. Rumadji, si pemilik tuak, diminta duduk. Selanjutnya satu-persatu anggota FPI membuka tutup jerigen dan mengguyurkan isinya ke tubuh Rumadji. Seketika itu bapak dua anak ini terken cing-kencing. Dia pun lantas dibiarkan pulang begitu saja. Di tengah-tengah pengguyuran tuak pada Rumadji, Zaenal Anshori mengatakan, razia yang dilakukan pihaknya baru permulaan. Dia berjanji terus melakukan razia hingga menjelang Ramadhan. “Tujuannya agar masyarakat bisa tenang melaksanakan ibadah puasa,” tandasnya. Dalam perkembangannya, ���������������� Polres Lamongan menetapkan dua orang anggota FPI bernama nama Yoyon (26 tahun) dan al-Farouq (28 tahun) sebagai tersangka. Keduanya ditangkap pada Selasa dini hari (12/8/2008) di kawasan Brondong, Paciran. Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Senin sore (11/8/2008) mereka juga dimintai keterangan polisi. Saat ini keduanya diamankan di markas Polres Lamongan. Tindakan Yoyon dan al-Farouq yang menyiram jerigen tuak ini, menurut Agus Supriyanto, akan dijerat Kitab Undang Undang Hukum Pidana pasal 170 tentang pengeroyokan dan
perusakan. Ketua FPI Lamongan, Anshori membenarkan dua anggotanya, yaitu Yoyon dan al-Farouq ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi. Pihaknya kini tengah menyiapkan upaya pembelaan terhadap dua anggotanya. Anshori mengatakan, tindakan yang dilakukan anggotanya itu karena spontanitas untuk menyambut bulan suci Ramadhan. “Jadi niat kami suci,” tegasnya. (www.tempointeraktif.com, 12/8/08). Menanggapi kejadian ini, Ketua Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab mendukung dua anggota FPI Lamongan diproses hukum. “Seluruh aktivis FPI dan LPI wajib berakhlak dan beradab dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Jangan bengis dan kasar, tapi tegas dan lugas. Razia miras di Lamongan bagus, tapi menyiram pedagang yang sudah tua dengan miras itu over acting. Sudah sepatutnya yang bersangkutan diproses secara hukum,” kata Rizieq melalui pesan singkat (SMS) yang diterima media, Rabu (13/8/08). Menurut Ketua Bidang Ekonomi Keuangan Industri di DPP FPI Mustafa M Bong, tindakan anggota FPI Lamongan bukan cermin ajaran FPI. “Kami terpukul dengan adanya ulah sweeping seperti itu. Karena itu, FPI mendukung agar yang bersangkutan diproses secara hukum,” imbaunya. Mustafa menuturkan, pihaknya akan mengeluarkan siapapun yang terkait sweeping itu dari keanggotaan FPI. (www.okezone.com, 13/8/08).[]
10. Mendagri Minta Pasal Tes Baca al-Qur’an Dicabut
T
es baca al-Qur’an bagi para calon anggota legislatif (caleg), yang sebelumnya sempat menimbulkan kontroversi, akhirnya dilaksanakan. Hanya saja, sistem penilaiannya tidak diberlakukan ketat, tapi cukup asal bisa baca alQur’an walaupun tidak lancar dan tidak memakai tajwid. Ketua Pokja Pencalonan Komisi Indepen den Pemilihan (KIP) Aceh, Yarwin Adi Dharma mengatakan, teknis penilaian tes kemampuan membaca al-Qur’an bagi caleg pada Pemilu 2009 mendatang, tidak diberlakukan ketat seperti pada Pilkada. “Tapi cukup sekedar melihat kemampuan membaca, walaupun tidak lancar dan tidak pakai tajwid,” katanya di Banda Aceh, (21/8/08). Sebelumnya, dalam draf yang disusun KIP Aceh tentang pedoman teknis penilaian uji baca al-Qur’an, KIP memberlakukan sistem penilaian berdasarkan standar saat seleksi kepala daerah Aceh 2006. Namun, saat draf itu diajukan ke DPRA dalam sebuah forum konsultasi, DPRA The Wahid Institute
menyatakan agar KIP meninjau kembali sistem penilaian dalam draf KIP tersebut untuk disesuaikan dengan Pasal 13 Qanun Nomor 3/2008. Alasannya, sistem penilaian dalam draf itu terlalu tinggi dan mengikuti sistem penilaian dalam pelaksaaan Pilkada 2006 yang poin penilaiannya, antara lain, dari segi akhlak (sopan santun), fashahah (kefasihan) dan tajwid. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 13 Qanun Nomor 3/2008, sistem penilaiannya tidak terlalu ketat. Faktor yang dinilai adalah, caleg yang bersangkutan mampu membaca, walau tidak memenuhi kesempurnaan tajwid atau aspek lainnya sebagaimana sistem penilaian pada Pilkada. Menurut Yarwin, menyusul lahirnya keputusan KIP tersebut, maka pihaknya mulai melakukan penjajakan pada beberapa pihak yang dinilai berkompeten menjadi tim penilai independen. Salah satunya adalah Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Tilawatil Quran (LPPTQ). Na-
11
kasus-kasus bulan ini
■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 mun, kata Yarwin, setelah pihaknya mendatangi pengurus LPPTQ diperoleh kabar, lembaga tersebut tidak bisa terlibat menjadi tim penilai karena kurang lengkap personil. “Untuk itu kita akan menjajaki tim independen lain,” jelasnya. Yarwin mengakui, KIP tidak bisa ikut terlibat menguji kemampuan caleg membaca al-Qur’an yang jumlahnya mencapai 1.386 (untuk DPRA) baik dari partai politik nasional maupun lokal. “Di samping soal waktu, soal sistem penilaian yang tidak terikat tajwid itu, KIP akan mengkomunikasikannya lebih lanjut dengan tim penilai,” katanya. Sebelumnya, Qanun Nomor 3/2008 yang mewajibkan caleg partai nasional dan lokal dites baca al-Qur’an sempat memunculkan kontroversi, baik dari kalangan DPRA maupun para pengurus partai peserta Pemilu. Menteri dalam Negeri (Menda
gri) dalam klarifikasinya juga meminta Pemerintah Aceh mencabut Pasal 36 dalam Qanun tersebut yang mengatur caleg partai nasional wajib dites kemampuan baca al-Qur’an karena dinilai bertentang an dengan UU No. 10/2008 tentang Pemilu. Sedang Pasal 13 dalam Qanun yang sama, yang mewajibkan uji kemampuan baca al-Qur’an terhadap caleg dari partai lokal, Mendagri hanya meminta pertimbangan dan kebijakan lokal dari pemerintah Aceh. Meski begitu, sampai saat ini DPRA tetap bersikukuh menggunakan Qanun No. 3/2008 sebelum adanya Peraturan Presiden (Perpres) yang bisa membatalkan Pasal 36 dalam Qanun tersebut. “Sejauh Perpres belum ada, maka KIP tetap merujuk pada aturan Qanun yang ada,” pungkas Yarwin Adi Dharma. (www.serambinews. com, Jum’at, 22/8/08).[]
11. Perda Wajib Diniyah di Cilegon Tidak Efektif
D
isahkannya Perda No. 1/2007 tentang Wajib Diniyah ternyata tak berdampak banyak terhadap peningkatan jumlah siswa Madrasah Diniyah (MD) di Cilegon Banten. Malah tahun ajaran baru ini sejumlah MD di Cilegon mengalami penurunan siswa hingga 50 persen. Kepala Sekolah Madrasah Diniyah al-Ittihadiyah Lingkungan Temuputih, Kecamatan Cilegon, Arifudin misalnya mengatakan, penurunan jumlah siswa ini diduga lantaran adanya kesamaan tahun ajaran antara MD dengan sekolah umum yang merupakan salah satu ketentuan dalam Perda Diniyah. “Kalau dulu, kurikulum yang digunakan MD adalah bilangan tahun hijriyah. Tapi dengan ada nya perda, sekarang semuanya disamakan sekolah umum. Akibatnya, awal masuk sekolah antara MD, SD, SLTP ataupun SLTA jadi sama. Akhir nya berdampak terhadap beban orang tua murid yang semakin berat, dan MD mungkin tidak lagi
diprioritaskan,” kata Arif, Jum’at (25/7/08). Hal senada dikatakan Humas Madrasah Diniyah alJauharotunnaqiyah Baidowi. “Kami juga tidak tahu mengapa terjadi penurunan seperti ini, padahal pemerintah sudah mengeluarkan Perda Wajib Diniyah,” katanya. Sementara itu, Kepala Seksi Pendidikan Keagamaan Pondok Pesantren dan Pendidikan Agama Islam pada Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid (Pekapontren dan Penamas) Kantor Departemen Agama (Kandepag) Cilegon Badri Hasun mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti kasus menurunnya jumlah siswa di sejumlah MD ini. “Kami sendiri bingung. Padahal pemerintah daerah Kota Cilegon sudah mengeluarkan perda wajib diniyah. Seharusnya dengan adanya perda ini jumlah siswa madrasah diniyah meningkat, bukan malah menurun,” kata Badrun heran. (sumber: www.radarbanten.com, Senin, 28 Juli 2008 dan www.banten.go.id, Senin, 28/7/08).[]
12. Rancangan Qanun Pers Islami
S
ejumlah kalangan menilai, rancangan Qanun pers dan penyiaran islami yang sedang digagas pihak legislatif Aceh dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tidak terlalu penting (krusial) untuk dirumuskan menjadi qanun. Pasalnya, Undang-undang Pers dan penyiaran nasional yang ada sekarang dianggap sudah sangat islami. “Menurut saya, yang terpenting sekarang bagaimana caranya agar undang-undang yang telah ada itu diimplementasikan dengan benar,” kata Ketua Pokja P3/SPS Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Aceh, Safir SH pada acara diskusi
12
publik bertema Plus Minus Eksistensi tentang Pers dan Penyiaran Islami di Kantor Forum LSM Aceh, Selasa (20/8/2008). Safir mengatakan, pedoman penyiaran itu pen ting untuk dirumuskan oleh pihak DPRA dan Pemerintah Aceh. Namun, undang-undang tentang qanun pers islami, menurutnya tidak terlalu penting dijadikan sebagai qanun. “Kita harus bisa membedakan antara pers dan penyiaran, dimana pers itu menyangkut pemberitaan yang dilakukan jurnalis, sementara penyiaran dilakukan oleh stasiun TV dan Radio. Jadi dalam hal ini tidak semua The Wahid Institute
kasus-kasus bulan ini
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■ yang ditayangkan di TV dan Radio itu kegiatan pers,” jelas Safir. Beberapa pendapat yang muncul dalam diskusi itu, menyatakan bahwa rancangan qanun pers dan penyiaran islami yang sedang digagas pihak eksekutif dan legislatif Aceh hanya akan menghambat proses demokrasi para pekerja pers dalam melaksanakan tugas-tugas persnya di lapangan.
Maimun dari Lembaga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Aceh umpamanya mengatakan, pihaknya tidak setuju adanya qanun pers islami, karena hal itu akan menyebabkan proses demokrasi para pekerja pers terhambat. Di samping itu, tambah Maimun, tidak ada satu masalah krusial pun yang bisa menjadi landasan pembuatan qanun pers islami. (www.serambinews.com, 21/8/08).[]
13. MK Tolak Uji Materiil UU Peradilan Agama
M
ahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. “Mahkamah menyatakan permohonan pemohon ditolak seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Jimly Asshiddiqie, saat membacakan putusan perkara 19/PUU-VI/2008 perihal pengujian UU Peradilan Agama, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (12/8/08). Majelis hakim MK berpendapat, dalil-dalil pemohon tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama. “Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu,” kata mantan Ketua MK ini. Namun, Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang melin dungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing tanpa terkecuali. Penolakan majelis hakim MK tersebut dinilai pemohon, Suryani, tidak logis dan tak beralasan. Sebab, tidak hanya dirinya saja yang merasa UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945, tetapi banyak orang, terutama yang beragama Islam. Namun demikian, Suryani menyatakan menghormati setiap putusan MK. “Karena setiap
The Wahid Institute
putusan MK bersifat final, maka harus saya terima putusan ini walau dengan perasaan yang kurang puas,” ujarnya. Seandainya ada upaya banding atau kasasi atas putusan MK, Suryani menyatakan akan menempuhnya. “Saya masih merasa ada yang mengganjal dalam putusan MK terkait UU Peradilan Agama ini. Sayangnya, saya tidak memiliki sarana lagi untuk mengajukan keberatan,” tuturnya. Pemohon tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan uji materiil atas UU yang sama pada waktu mendatang. Namun, tentu saja dengan persiapan dan pendalaman yang lebih cermat dan matang. Suryani kemudian menunjuk al-Qur’an yang begitu rinci dan cermat mengatur soal hidup warga pemeluk agama Islam. “Yang ada dalam alQur’an ini pun kalau bisa dilaksanakan dalam hidup sehari-hari sudah bagus. Jadi, untuk apa lagi diatur dalam UU Peradilan, mubazir,” katanya. Suryani, yang warga Kabupaten Serang, Banten, sebelumnya menyatakan keberatannya atas sejumlah pasal dalam UU Peradilan Agama. Ia menilai pasal-pasal dalam UU Peradilan Agama bertenta ngan dengan Pasal 28 e ayat (1), Pasal 28 i ayat (1) dan ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Suryani berpendapat peradilan agama harus mengatur pula perkara-perkara pidana, dan bukan hanya perkara perdata saja. Menurut majelis hakim MK, Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan Pasal 28 e ayat (1), Pasal 28 i ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. “Pasalpasal dalam UU Peradilan Agama itu sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama, dan menurut agamanya,” tutur majelis hakim. Sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28 e ayat (1), Pasal 28 i ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, maka dalil-dalil pemohon yang menyatakan sejumlah pasal dalam UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945 tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. (sumber: www.suarakarya-online.com, Rabu, 13 Agustus 2008 dan www.mahkamahkonstitusi.go.id, Rabu , 13 Agustus 2008).[]
13
13 Juni 2008
16 Juni 2008
18 Juni 2008
10 Juni 2008
13 Juni 2008
18 Juni 2008
18 Juni 2008
19 Juni 2008
20 Juni 2008
20 Juni 2008
20 Juni 2008
13 Juli 2008
28 Juli 2008
30 Juli 2008
1 Agustus 2008 8 Agustus 2008
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
20
19
19 Agustus 2008 1 September 2008
12 Juni 2008
2
18
Waktu
9 Juni 2008
1
14
No.
Peristiwa
Pelarangan aktivitas
Penyegelan masjid
Penyegelan mushalla dan masjid Pengrusakan masjid dan mushalla
Penyegelan masjid
Penyegelan tempat ibadah Desakan pembubaran Pelarangan aktifitas
Penyegelan
Demonstrasi
Ancaman kekerasan Tuntutan pembubaran Pengucilan
Penyegelan tempat ibadah Ancaman kekerasan Intimidasi
Penggerudukan
Ancaman penyegelan masjid Penyegelan masjid
Pelarangan aktivitas
Kamp. Dukuh, Serua, Ciputat, Tangerang Banten Sumatra Selatan
Kantor Kapolsek Kudupandak, Cianjur Jabar Kp. Talaga dan Kp. Sindankerta, Cianjur Jabar Talaga & Parabon Cianjur Jabar Kebon Muncang & Kebon Kalapa Parakansalak, Sukabumi
Jalan Anuang No 112, Makassar Sulsel Cipeuyeum & Haurwangi, Cianjur Madura Jawa Timur
RW 02, Kel Babagan Tangerang Banten
Majalengka Jawa Barat
Monumen Mandala Makassar, DPRD dan sekretariat JAI Sul-Sel Monumen Mandala Makassar dan sekretariat Ahmadiyah Istana Negara Jakarta
Ds Sukadana dan Panyairan Cianjur Jawa Barat Medan, Sumut
Jl Erlangga Raya, Semarang
Ds. Kalisoro, Tawangmangu, Karanganyar Jateng Jl. Perintis Kemerdekaan, Bogor
Jakarta
Lokasi
100-an massa Forum Masyarakat Muslim Ciputat Pemprov Sumsel
Kepala KUA dan MUI (Kiai Burdah) Kadupundak Kiai Burdah, Kiai Hamdan & Kiai Z. Arif (FPI) Sejumlah massa IFKAF dipimpin FPI Masyarakat RT.02/03 dan 03/03 Ds. Lebak Sari & Warga 03/05 Ds. Parakansalak
MUI se-Madura
Puluhan massa Front Pemuda Islam (FPI) Seratusan massa Hisab & Garis
Warga setempat
Warga non-Ahmadiyah
Sekitar 45 orang Aliansi Umat Islam dan FUI FUI
Ketua FPI Sumut Najid Hasan Sanusi Sekitar 20 orang Aliansi Umat Islam dan FUI
Ribuan warga dari 14 ormas Islam se-Bogor 10-an mahasiswa Aliansi Mahasiswa Islam 100 massa ahlussunnah waljamaah
Mendagri, Menag dan Jaksa Agung Elemen-elemen Islam setempat
Pelaku
Masjid Mahmud & Masjid Taher 1 mushalla & 1 masjid Masjid Baiturahman & Mushalla Baitud Do‘a JAI Lebaksari Masjid Baitul Qoyyum JAI JAI Sumsel
JAI Kudupandak
JAI
Warga JAI Majalengka JAI yang akan shalat Jum’at di Masjid an-Nur Masjid an-Nusrat & PW JAI Sulsel Masjid al Ghofur
Ahmadiyah
JAI Sulsel
JAI Sulsel
JAI Sumut
Masjid al-Fadhl milik JAI Kantor Ahmadiyah Semarang 6 masjid JAI
Masjid milik JAI
JAI
Korban
Keterangan SKB Ahmadyah
SK Gubernur Sumsel No.: 563/KPTS/BAN. KESBANGPOL & LINMAS/ 2008
Penyegelan dengan spanduk
Perintah FPI, GARIS, IFKAF tutup masjid JAI Kadupundak Memakai kayu milik JAI tanpa ijin untuk menyegel masjid Mengepung rumah Wahyudin, seorang JAI
Minta Presiden keluarkan Kepres
Penyegelan dilakukan kala JAI setempat sedang shalat Jum’at Warga JAI ibadah di rumah masing-masing
JAI batal shalat Jum’at karena demonstrasi
Tempelkan stiker di kios milik warga JAI
Pernyataan akan menindak keras JAI pada aksi selanjutnya Buntut SKB 3 Menteri
10-an mahasiswa mendesak Ahmadiyah dibubarkan. Warga Ahmadiyah memilih beribadah di rumah masing-masing Jika atribut JAI tak diturunkan, ancaman direalisasikan Provokatif pada JAI& Gus Dur. JAI diminta turunkan papan nama.
1 peleton Dalmas Polres Karanganyar amankan lokasi Penyegel berunjuk rasa di depan masjid
Peristiwa Kekerasan dan Diskriminasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia Pasca SKB Tiga Menteri 9 Juni 2008
kasus-kasus bulan ini ■
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008
The Wahid Institute
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XIII, Agustus 2008 ■
Matriks Razia Ramadhan 1429 H/2008 M No.
Daerah
Waktu
Peristiwa
Pelaku
Korban
1.
Tirtonirmolo, Kec. Kasihan, Kab. Bantul Kota Yogyakarta
25������������� Agustus 2008
Anggota LPI
Yang diduga penjudi sabung ayam dan penjual miras Pemilik warung miras, tempat judi, dan salon ‘plus’
3.
Kab. Maros, Sulawesi Selatan
01 Agustus 2008
4.
Kota Batu, Malang
13 Agustus 2008
5.
Kediri
14 Agustus 2008
6.
Aceh Tenggara
14 Agustus 2008
7.
Palembang
12 Agustus 2008
8.
Balikpapan
14 Agustus 2008
9.
Cilegon Banten
11 Agustus 2008
10.
Tangerang
04 September 2008
Massa Laskar Pemuda Islam (LPI) merazia tempat judi sabung ayam dan penjualan miras FPI Jogja men-sweeping Kota Jogja untuk membersihkan maksiat, penjual miras, tempat judi dan salon ‘plus’ MUI Maros edarkan surat larangan buka warung selama Ramadhan, kecuali sore. Pelanggar akan dibongkar paksa Satpol PP MUI Kota Batu kirim surat ke Wali Kota Batu agar menerbitkan edaran pembatasan jam operasi tempat hiburan dan warung Satuan Samapta Polres Kediri merazia toko yang memasarkan miras tanpa izin Bupati Aceh Tenggara, Hasanuddin minta para camat mendukung pemberantasan maksiat dan mengawasi warung di siang Ramadhan. Pelanggar ditangkap dan dicambuk Pemkot Palembang keluarkan surat edaran penutupan tempat hiburan selama Ramadhan dan mengatur jam buka restoran, rumah makan, dan tempat video game Lokalisasi Lembah Harapan Baru (LHB) Kota Balikpapan selama Ramadhan ditutup sejak 30 Agustus hingga 4 September. Jika dilanggar tempat ini akan ditutup sesuai SK Walikota Tempat hiburan di Kota Cilegon dilarang membuka usahanya selama Ramadhan sesuai SK Walikota Cilegon. Yang membandel akan ditindak tegas Satpol PP Sepuluh kafe di Tangerang disegel Distramtib Pemkot Tangerang karena tidak mengindahkan Surat Edaran Walikota Tangerang
2.
27 Agustus 2008
FPI Jogja
MUI Maros dan Satpol PP Kab. Maros
Pemilik warung
MUI Kota Batu
Pemilik tempat hiburan dan warung makan
Satsamapta Polres Kediri
Toko Pracangan milik Anik Darwati, asal Desa Grogol Pemilik warung makanan dan minuman
Bupati Aceh Tenggara, Hasanuddin Pemerintah Kota Palembang
Pemilik tempat hiburan, restoran, dan rumah makan
Walikota Balikpapan dan Satpol PP Kota Balikpapan
Pemilik tempat hiburan dan restoran
Walikota Cilegon Tb, Aat Syafa’at dan Satpol PP Cilegon Walikota Tangerang, Wahidin dan Distramtib Pemkot Tangerang
Pemilik tempat hiburan, restoran, dan rumah makan siap saji Pemilik sepuluh kafe yang disegel
Analisis 1. Kembali maraknya isu penodaan agama bukanlah pertanda bahwa umat semakin peduli dengan agamanya, tapi justru menjadi pertanda semakin menyempitnya wawasan keberagamaan umat. Berbagai kasus penodaan agama senantiasa diikuti amarah massa yang merasa terganggu keimanannya. Namun, substansi masalah yang diperkarakan tak lebih persoalan tafsir agama. Apa yang dialami Ishaq Suhendra di Tasikmalaya dan Dedi Mulyadi di Purwakarta, tak lebih sebagai akibat dari sikap kekanak-kanakan dalam beragama. Sikap kenak-kanakan dalam beragama itu ditunjukkan dengan perilaku mudah marah, tersinggung dan akhirnya dihabisi dengan tuduhan penodaan agama. Aktor-aktor utama kelompok yang gemar menuduh penodaan agama simpulnya tidak berubah. MUI tingkat daerah tetap menjadi vocal point, yang didukung organisasi-organisasi seperti FPI. Yang agak The Wahid Institute
15
merisaukan adalah terseretnya NU, seperti kasus Ishak Suhendra, dalam pusaran konflik tersebut. NU mestinya bisa menjadi kekuatan masyarakat yang lebih bisa memberi penjelasan dari perspektif ke-sufi-an atas apa yang diajarkan Ishak Suhendra, daripada menghajar dengan hukum fiqih yang formalistik dan cenderung hitamputih dalam melihat persoalan. 2. Persoalan pendirian tempat ibadah akan senantiasa menjadi problem. Meski sudah ada Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 9 dan 8 tahun 2006, namun regulasi ini tidak bisa menyelesaikan seluruh problem pendirian tempat ibadah. Persoalan tempat ibadah tidak bisa semata dilihat sebagai soal prosedur administratif. Ada dimensi lain yang tidak bisa diatasi hanya dengan menggunakan prosedur administratif, yaitu persoalan hubungan antar umat beragama yang masih diliputi suasana permusuhan dan saling curiga daripada ketulusan dan kepercayaan satu atas yang lain. Memang tempat ibadah terkait dengan penyebaran agama, namun jika ketulusan, kejujuran dan sikap saling mempercayai sudah tertanam maka persoalan tempat ibadah akan mudah dicarikan jalan keluar. 3. Penolakan MK atas judicial review UU. No. 3 Tahun 2006 yang ingin menambahkan hukum pidana (Islam) menjadi kompetensi Pengadilan Agama cukup melegakan. Apabila judicial review ini diterima, maka hukum pidana Islam akan berlaku di Indonesia melalui pengadilan agama. Apakah dengan penolakan ini cita-cita pemberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia selesai? Tidak! Ruang “infiltrasi” pidana Islam masih dimungkinkan melalui berbagai jalur seperti revisi KUHP. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana kita memaknai upaya memasukkan hukum pidana Islam dalam hukum Indonesia? Kenyataan ini menunjukkan, keinginan untuk memasukkan hukum pidana Islam menjadi hukum nasional bukanlah isapan jempol belaka. Keputusan MK seharusnya bisa memastikan bahwa hukum pidana Islam tidak secara telanjang bisa diterapkan di Indonesia. Pidana Islam hanya menjadi salah satu inspirasi perumusan hukum pidana.
Rekomendasi 1. Pasal 156a KUHP memang seperti pasal karet (hatzaai artikelen) yang bisa ditarik ke mana-mana. Ancaman penodaan agama melalui pasal ini dalam implementasinya tidak sepenuhnya memenuhi asas-asas pemidanaan. Kesan bahwa pengadilan penodaan agama sekedar memenuhi selera massa cukup kuat, karena kasus penodaan agama senantiasa melibatkan massa. Dalam kaitan ini, majlis hakim harus benar-benar bertindak independen. Di sisi lain, pasal 156a ini tidak boleh dijadikan sebagai alat yang justru mengancam kreatifitas berpikir dan penafsiran agama. 2. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai eksponen penting dalam memproses ijin tempat ibadah sudah saatnya untuk ikut mendorong proses pendewasaan umat beragama. FKUB yang didirikan di tiap daerah dan diberi dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tidak sekedar sibuk dengan persoalan adminis tratif, tapi harus terlibat dalam persoalan yang lebih substantif, yaitu membangun kehidupan beragama yang tulus, jujur dan penuh kedewasaan.[]
Akhdiansyah (NTB), Suhendy (Jawa Barat), Nur Kholik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Alamsyah M. Dja’far, Nurul Huda Maarif, Subhi Azhari, Rumadi (DKI Jakarta), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal (Makassar)