The WAHID Institute
Edisi Oktober 2011
37
The WAHID Institute
Monthly Report on Religious Issues
S
ungguh patut disyukuri ketika provokasi bernuansa SARA lewat pesan pendek di Lombok tidak menjadi kenyataan. Usaha dari berbagai phak, terutama anak muda dan kelompok civil society, demi mencegah kerusuhan di Lombok layak disaluti. Pun demikian penyelesaian ketegangan antara berbagai kelompok dengan pemahaman keyakinan yang berbeda di Palembang. Mereka menempuh dialog, padahal di tempat lain solusi kekerasan dan atau dengan kriminalisasi keyakinan lebih dipilih. Kita patut prihatin karena perda pelarangan aktivitas Ahmadiyah tidak berhenti terbit. Kali ini giliran Kota Bekasi. Teriring rasa prihatin kepada minimnya toleransi dalam dunia penyiaran di Ponorogo atau penangkapan semena-mena di Lumajang. Akhirnya, selamat membaca.
1
2
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVII, Oktober 2011
Walikota Bekasi Terbitkan Peraturan Walikota Larang Ajaran Ahmadiyah Oleh: Oleh : Taufik Nurrohim (INCReS Bandung)
P
elarangan terhadap ajaran Ahmadiyah terus berlangsung di berbagai daerah di Jawa Barat. Baru-baru ini pelarangan Jemaat Ahmadiyah terjadi di Kota Bekasi Jawa Barat. Seperti diberitakan Harian Pikiran Rakyat, Kamis (13/10) Pemerintah Kota Bekasi menerbitkan Peraturan Walikota Bekasi (Perwal) yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Perwal tersebut menegaskan pernyataan yang sebelumnya sudah tertuang di dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005, keputusan bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, serta Jaksa Agung, dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat.
”Aktivitas jemaat Ahmadiyah di Kota Bekasi mulai meresahkan bagi masyarakat yang lain. Demi menghindari munculnya konflik dan gesekan antarwarga, diterbitkanlah Perwal ini supaya isinya lebih ketat mengikat ke dalam dan keluar pihak,” ucap Kepala Kesbangpolinmas Kota Bekasi Agus Dharma
Seluruh unsur Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida) Kota Bekasi terlibat dalam penyusunan Perwal tersebut, mulai dari Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) di Pemerintah Kota Bekasi, Kepolisian Resor Kota (Polresta) Bekasi Kota, Komando Distrik Militer (Kodim) 0507, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Kantor Kementerian Agama Wilayah Kota Bekasi, dan lain-lain. Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) Kota Bekasi Agus Dharma mengatakan, alasan terbitnya Perwal karena kondisi yang berkembang sekarang ini memang membutuhkannya. ”Aktivitas jemaat Ahmadiyah di Kota Bekasi mulai meresahkan bagi masyarakat yang lain. Demi menghindari munculnya konflik dan gesekan antarwarga, diterbitkanlah Perwal ini supaya isinya lebih ketat mengikat ke dalam dan keluar pihak,” ucap Agus. Agus mengatakan, jemaat Ahmadiyah di Kota Bekasi tersebar hampir di seluruh kecamatan. Jika ditotal, jumlahnya sekitar 200 orang. Mereka biasa berkumpul di Kecamatan Jatibening untuk menjalankan peribadatannya. Dalam seminggu, dua kali para jemaatnya berkumpul. Yakni pada Jumat untuk melaksanakan salat Jumat serta Minggu untuk menyelenggarakan pengajian. Sebagai bentuk pembelaan, JAI (Jemaat Ahmadiyah Indonesia) terus melakukan upaya hukum menyusul semakin banyaknya daerah yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pelarangan kegiatan Ahmadiyah.
Juru Bicara JAI Mubarik Ahmad mengatakan masih menunggu uji materi yang mereka ajukan ke Mahkamah Agung soal pelarangan ajaran Ahmadiyah. Ia menilai pelarangan ini bentuk pelanggaran kebebasan dan kemerdekaan sebagai warga negara Indonesia. ”Kami cenderung sebagai warga negara yang baik dan berorganisasi bukan untuk melawan pemerintah. Kami cenderung tidak melakukan pembangkangan terhadap halhal seperti itu. Bukan berarti kami menerima. Pasti kami tidak menerima, tapi bukan membangkang. Kami tidak menerima dan akan lakukan upaya hukum yang dibolehkan negeri ini,” terang Mubarik seperti ditulis KBR68 H (13/10). Sebelumnya, pelarangan terhadap jemaat Ahmadiyah juga terjadi di Kota Banjar, Jawa Barat. Seperti diberitakan KBR68H (30/09). Pelarangan tersebut berupa penyegelan masjid jemaat Ahmadiyah. Walikota mengeluarkan Surat Keputusan untuk menyegel masjid jemaat Ahmadiyah di daerah itu. Ketua JAI Jawa Barat Sjafwan Adenan mengatakan, penutupan masjid dilakukan karena jemaat Ahmadiyah di Banjar dianggap telah melanggar Peraturan Gubernur Jawa Barat yang membatasi kegiatan JAI. Padahal Menurut Sjafwan, Pergub Jawa Barat tidak melarang jemaat Ahmadiyah melakukan ibadah rutin. “Kita sebetulnya akan melakukan upaya hukum, tapi kemarin kan yang melakukan penyegelan itu kan pemerintah kota, jadi seolaholah mereka itu punya hak untuk melakukan itu. Kita sebagai warga
3
The WAHID Institute
negara nurut aja. Tapi hak mereka itu dasarnya dari mana? Mereka ada SK dari Walikota untuk menggembok mesjid Ahmadiyah agar tidak bisa digunakan. Alasannya, keberadaan mesjid itu melanggar Pergub dan SKB. Tetapi di dalam SKB jelas-jelas ditulis tidak ada larangan jemaat Ahmadiyah untuk beribadah.” Sjafwan Adenan menambahkan, penyegelan masjid Ahmadiyah di Banjar dilakukan petugas Satpol Pamong Praja. Menurut Sjafwan, hingga hari ini masjid tersebut masih digembok. Akibatnya, jemaat Ahmadiyah di Banjar tidak bisa menjalankan ibadah. Selain itu Jemaat Ahmadiyah Indonesia Jawa Barat memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan jemaatnya di wilayah itu. Ini menyusul pernyataan Majelis Ulama Indonesia Jawa Barat yang mengirim surat kepada Presiden agar membubarkan Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Jawa Barat Sjafwan Adenan mengatakan, aktivitas beribadah yang dilakukan jemaat Ahmadi di Jawa Barat tidak melanggar Peraturan Gubernur Jawa Barat serta Surat Keputusan Bersama
Tiga Menteri soal Ahmadiyah. Karena itu, tidak ada alasan MUI meminta Presiden untuk membubarkan Ahmadiyah. “Kita dilarang menyebarkan keyakinan, tapi di dalam SKB tidak ada larangan bagi jemaat Ahmadiyah melakukan aktivitas sehari-hari. Di dalam Pergub Jabar ada tambahan, Ahmadiyah dilarang menulis papan nama sebagai Ahmadiyah, itu sudah kita ikuti. Tidak boleh menyebarkan edaran-edaran yang bersifat menyebarkan ajaran Ahmadiyah, itu juga sudah kita ikuti. Jadi tidak ada pelanggaran yang dilakukan jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat atas SKB dan juga Pergub” tuturnya. Sebelumnya, MUI Jawa Barat mengaku telah mengirim surat permohonan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bulan lalu. Isi surat itu antara lain permintaan agar Presiden segera membubarkan Ahmadiyah di Jawa Barat. Alasannya, jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat telah melanggar Peraturan Gubernur karena tetap menjalankan aktivitasnya.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengaku belum mengetahui kasus penggembokan masjid milik jemaat Ahmadiyah di Kota Banjar. Padahal, penggembokan itu sudah terjadi sejak kemarin. Juru Bicara Pemprov Jawa Barat Ruddy Gandakusumah mengatakan, dia mengetahui kasus ini dari media massa. Dia berjanji akan mencari tahu masalah ini kepada instansi lainnya. ”Oiya, kapan, tuh, di mana? Kemarin? Oiya. Harus saya pelajari dulu kebenaran informasinya. Saya gali informasinya dulu ke Kesbanglinmas. Masalahnya saya takut mengeluarkan statement nanti berdasarnya apa. Pasti ada kasus posisi latar belakang alasan pertimbangannya. Saya harus mencari tahu dulu. Saya, kan, minimal koordinasi dengan Kesbanglinmas. Pak Gubernur belum terlapori? Belum terlapori, informasinya seperti apa. Saya juga perlu koordinasi dengan Pemda Banjarnya. Nanti kita baru keluarkan statement manakala sudah jelas” tuturnya. Akibat kejadian ini jemaat Ahmadiyah tidak bisa beribadah di masjid tersebut.
Seprti dilansir KBR68H (30/09),
[M]
SMS SARA Yang Meresahkan Oleh: Yusuf Tantowi (LenSA NTB)
P
ERTENGAHAN Oktober lalu, warga Mataram diresahkan dengan beredarnya SMS berbau SARA. Dalam SMS itu disebutkan akan terjadi kerusuhan massa pada hari Jumat (28/10). SMS itu menyebutkan, aksi massa itu akan menyasar warga non-Muslim, khususnya warga Kristen di Kota Mataram. Isu itu menjadi ‘buah bibir’
setelah munculnya pemberitaan dari media massa lokal. Banyak pihak mengkaitkan SMS SARA itu dengan momentum hari Sumpah Pemuda 28 Oktober, sepuluh tahun Kasus 171 dan kedatangan SBY ke Lombok untuk meresmikan Bandara Internasional Lombok (BIL). Ada juga yang mengkaitkannya dengan isu reshuffle kabinet di Jakarta. Menanggapi
isu
itu,
warga
Kristen di Kota Mataram langsung meminta perlindungan keamanan dari kepolisian. Menurut mereka, sebagian warga Kristen di Mataram mengalami ketakutan. Mereka sudah ada yang meninggalkan Mataram, sebagian lagi tidak berani membuka tokonya. Warga Kristen semakin resah sebab pelaku penyebar SMS itu bahkan sudah menandai rumah
4
orang Kristen dengan tanda tertentu di beberapa tempat. Maka untuk mengamankan asetnya, penulis menemukan bengkel sepeda motor milik etnis Cina menggantung bingkai bertuliskan Allah di dalam bengkelnya. Pada hal sebelum isu ini menyebar bingkai bertuliskan Allah itu tidak ada – karena penulis sendiri sering memperbaiki motor di bengkel tersebut.
”Saya ingin mengatakan tiga hal. NTB aman, jangan forward isu itu dan tegakkan hukum,” terang Kapolda NTB, Brigjen Polisi Drs. Arif Wahyunadi Kejadian ini mengingatkan kita dengan kerusuhan SARA tahun 2000 silam. Waktu itu, warga Kristen menuliskan kalimat Allahu Akbar, Muhammad di tembok rumahnya agar aset propertinya tidak dijarah atau dibakar oleh massa. Ada juga yang membentangkan sajadah di halaman rumahnya. Beredarnya isu kerusuhan itu membangkitkan trauma kasus 171. Ia disebut kasus 171 –kerusuhan massa yang terjadi pada tanggal 17 bulan 1 (Januari, Pen.) tahun 2000. Trauma akan kasus itu bukan saja dirasakan oleh warga non-Muslim tapi dampaknya juga sangat dirasakan oleh warga Muslim di Lombok. Gereja, rumah, dan toko dijarah dan dibakar. Dampak kerusuhan itu telah melumpuhkan ekonomi Kota Mataram, termasuk sektor pariwisata Lombok yang saat itu mulai tumbuh. Para wisatawan berbondongbondong meninggalkan Lombok. PHK karyawan hotel pun tidak bisa
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVII, Oktober 2011
dihindarkan. Dan sektor pariwisata mulai agak normal setelah lima tahun lebih. “Kita tidak akan tinggal diam. Aparat keamanan di daerah ini akan segera bertindak atas indikasi akan potensi terjadinya keributan ataupun amuk massa. Sekali lagi, masyarakat jangan terprovokasi, aparat keamanan di daerah ini sudah sangat siap,” katanya Drs.H.Ahyar Abduh, Wali Kota Mataram menanggapi isu tersebut. Untuk itu pihaknya memerintahkan semua Camat, Lurah, Kepala Lingkungan dan RT se-Kota Mataram agar melakukan pemantauan dan pengamanan akan kemungkinan terjadinya kerusuhan yang membawa isu SARA di tengah masyarakat. Meski demikian, ia tetap menghimbau agar masyarakat tidak terprovokasi akan isu tersebut. “Isu-isu menyesatkan yang ditujukan agar masyarakat kita resah. Itu sengaja dihembuskan oleh piha-pihak yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, seluruh warga kota Mataram diminta tetap tenang, jangan mudah diprovokasi untuk mengacaukan situasi keamanan yang sudah kondusif,” katanya kepada wartawan, Sabtu (22/10). Pemerintah Provinsi NTB juga tidak tinggal diam dalam menanggapi isu itu. Gubernur NTB Dr.TGH.Zainul Majdi, MA bahkan melakukan pertemuan tertutup dengan segenap anggota Form Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) diruang rapat gubernur untuk membahas isu tersebut. Anggota FKPD terdiri dari Kapolda NTB, Dandrem, Danlanal, Danlanut, Ketua Pengadilan Tinggi, Wali Kota Mataram, dan pihak-pihak terkait. Dalam
keterangan
persnya
Gubernur NTB Dr.TGH.Zainul Majdi, MA menjelaskan kondisi NTB dalam kondisi aman dan terkendali. “Saya bersama segenap FKPD memastikan NTB aman. Adanya isu-isu (SMS SARA) yang beredar di tengah masyarakat, kami harap agar masyarakat mengabaikan isu itu dan jangan terprovokasi,” jelasnya. Hal yang sama juga ditegaskan Kapolda NTB, Brigjen Polisi Drs.Arif Wahyunadi.”Saya ingin mengatakan tiga hal. NTB aman, jangan forward isu itu dan tegakkan hukum,” ungkapnya kepada wartawan. . Kalangan masyarakat sipil dan pemuda pun tidak mau ketinggalan menyikapi isu itu. Mereka melakukan konsolidasi di rumah Makan Yugisah, Mataram dengan PW GP Ansor NTB sebagai pengagasnya. Hadir dalam pertemuan tersebut, Gerakan Pemuda Islam (GPI) NTB, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cab.Mataram, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cab.Mataram, Kasatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Pemuda Katolik NTB, Lembaga Studi Kemanusiaan (LenSA) NTB, dan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) NTB. Selain melakukan sharing dan konsolidasi, pertemuan itu juga disepakati membentuk Forum Pemuda Kebangsaan (FPK) NTB. FPK mengeluarkan beberapa peryataan. Pertama, SMS SARA itu adalah isu politik yang sengaja disebarkan oleh kelompok tertentu. Kedua, mendukung langkah pemerintah dan aparat keamanan untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusuhan massa (chaos). Ketiga, menghimbau kepada tokoh agama dan masyarakat agar memberikan penjelasan yang benar dan edukatif kepada umat agar tidak mudah terpancing provokasi dari pihakpihak tertentu. Keempat, membuka
5
The WAHID Institute
posko pengaduan dan dialog bagi seluruh komponen masyarakat beragama di NTB.
Meski SMS berbau SARA itu telah beredar dan meresahkan banyak pihak, kerusuhan massa itu tidak terjadi. Berbagai pihak merasa
bersyukur, mengingat kasus serupa sempat melumpuhkan ekonomi dan menghancurkan citra pariwisata NTB sepuluh tahun silam. [M]
Warga Digerebek, Diduga Mendalami Aliran Sesat Oleh: M Mabrur L Banuna (LAPAR Makassar) dan Nurun Nisa’
S
ebuah rumah di Jl Jambu, Kelurahan Jepee, Kecamatan Tanete Riattang, Kabupaten Bone digerebek warga dan anggota kepolisian, Minggu (25/09) siang. Warga menduga rumah yang terletak dekat Kantor Kelurahan Jepee tersebut dihuni penganut aliran sesat. Warga curiga sejak satu bulan lalu. Pasalnya, tiap kali para penghuni rumah menggelar ritual, kegaduhan terdengar hingga rumah tetangga sekitarnya. Warga tersebut diketahui bernama Jamaluddin, Nursiah, Aldiansyah, Muliana, Muliani, Sudirman, Fadillah, Armadi, dan Yulinar. Seperti yang dilansir oleh Tribunes.
“Saat itu kami hanya membaca ayat kursi, dan bacaan lain yang saya yakini bisa menyembuhkan dua anak saya. Perihal luka bakar dan luka lainnya, itu disebabkan karena keduanya saling serang saat di bawah kendali mahluk halus,” terang Jamaluddin com (25/09), seluruh penghuni rumah yang berjumlah sembilan orang dalam keadaan tidak sadar. Polisi langsung melarikan dua perempuan yang luka ke rumah sakit setempat. Sedangkan tujuh orang lain diamankan di Mapolsek Tanete Riattang untuk dimintai keterangan.
Kedua orang yang dilarikan ke rumah sakit umum daerah Teriawaru Watampone adalah Muliani dan Muliana yang tak lain merupakan putri dari pasangan Nursiah dan Jamaluddin. Keduanya mengalami luka bakar di bagian kelamin, hal itu disebutkan akibat pengaruh ritual aliran tertentu. “Dugaan sementara kami, mereka sedang mempelajari suatu aliran. Sehingga, satu keluarga tersebut mengalami kesurupan” Kata Kapolsek Tanete Riattang Kab. Bone, Ali Syahban seperti ditulis Fajar Online (26/09). Sementara itu, menurut Metrotvnews. com (26/09), aliran ini mengharuskan kaum perempuan tampil tanpa busana alias telanjang bulat. Mulanya, warga memergoki mereka tengah menggelar ritual namun ada yang ganjil karena perempuan yang terlibat tampak bugil. Mereka terus dipukuli bahkan nyaris dibakar. Sebelum benar-benar dibakar, warga dan polisi cepat mendobrak pintu rumah tempat ritual digelar.
Sempat ada perlawanan, tapi tak lama. Polisi lalu menggelandang mereka ke Markas Kepolisian Sektor Tanete Riatang. Jasmaluddin menolak kebenaran kabar bahwa keluarganya telah melakukan ritual tertentu hingga menyakiti dan membakar dua anak perempuannya. Melainkan, tutur Jasmaluddin, saat itu keluarganya tengah menggelar doa secara Islam untuk mengusir mahluk halus yang mengganggu anaknya. “Saat itu kami hanya membaca ayat kursi, dan bacaan lain yang saya yakini
bisa menyembuhkan dua anak saya. Perihal luka bakar dan luka lainnya, itu disebabkan karena keduanya saling serang saat di bawah kendali mahluk halus,” sebut buruh bangunan ini sebagaimana dikutip Tribunnews.com (27/09). Apa yang dilakukan Jamaluddin bersama enam anggota keluarganya adalah mengobati kedua puterinya, bukan mempraktekkan ajaran aliran tertentu. ”Jadi tidak benar kalau keluarga saya mengikuti aliran sesat seperti selama ini diberitakan. Saya mau nama baik keluarga saya dikembalikan,” kata Jamaluddin. Ani, tetangga korban, mengaku kaget dan tidak percaya mendengar berita. Menurutnya, seperti ditulis Makassar TV (27/09), tidak terdapat gejala yang aneh pada keluarga korban. Mereka bahkan cenderung bersikap ramah dan sopan kepada tetangga sekitar. Polisi masih melanjutkan pemeriksaan. Sementara ini, status Jamaluddin sekeluarga hanya korban karena tidak melakukan perekrutan. Kedua puteri mereka masih dirawat dan karenanya belum ada keterangan dari mereka. Sementara itu, FKUB bersama MUI setempat akan menemui keluarga korban. “Kami ingin mereka tidak terpengaruh aliran-aliran yang bertentangan dengan ajaran agama,” terang Ketua FUKB Bone Syarifuddin Latif seperti ditulis Seputar Indonesia (28/09). [M]
6
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVII, Oktober 2011
Menyebarkan Radikalisme, Radio Didemo Oleh: Nurun Nisa’
R
atusan elemen masyarakat yang tergabung dalam AMAR (Aliansi Masyarakat Anti Radikalisme) melakukan demo di jalan protokol Ponorogo dan Radio Idza’atul Khoir pada Kamis pagi (29/09). Mereka memprotes siaran radio yang baru beroperasi beberapa bulan ini dinilai menyebarkan radikalisme dan sikap merasa benar sendiri.
“Kami tidak rela kalau tradisi reog, kenduri, atau selamatan dianggap sebagai ajaran ‘bid’ah’ (sesat), seperti selama ini kerap dipropagandakan ajaran mereka,” ucap koordinator aksi, Ahmad Subekhi Anggapan ini didasari dengan isi radio yang menganggap tahlilan dan selamatan dan bahkan reogdianggap sebagai bid’ah. Bid’ah adalah perbuatan atau ajaran yang tidak pernah dipraktekkan Nabi tapi kini dipraktekkan. Namun, dalam perjalanannya bid’ah memiliki konotasi negatif sehingga bid’ah sama dengan sesuatu yang buruk yang erat dengan neraka. “Kami tidak rela kalau tradisi reog, kenduri, atau selamatan dianggap sebagai ajaran ‘bid’ah’ (sesat), seperti selama ini kerap dipropagandakan ajaran mereka,” ucap koordinator aksi, Ahmad Subekhi sebagaimana dikutip Surya Online (30/09). Lima orang saksi, menurut Subekhi, bahkan menyatakan bahwa dalam siaran radio ini mengkafirkan sesama muslim. Selain menyakitkan, karena mengeksklusi orang muslim yang lain, sikap semacam ini disebarkan kepada publik sehingga dapat memicu konflik. Selain itu, pada
kesempatan lain amalan warga Ahlus Sunnah wa al-Jamaah misalnya—yang diidentikkan dengan NU—dianggap bersumber dari agama lain
yang sudah terjadi sebelumnya. Kedua belah pihak juga, tutur Kapolres, saling menyadari dan memaafkan sebab yang terjadi hanyalah kesalahpahaman saja.
Karenanya AMAR yang terdiri dari Banser, PMII, IPPNU, dan Komunitas Peduli Budaya Ponorogo meminta agar siaran yang bernuansa SARA dihentikan. “Kami mengecam keras adanya praktik-praktik menyesatkan, adu domba, apalagi pemaksaan keyakinan terhadap masyarakat. Pemerintah harus menghentikan propaganda tersebut, agar tidak memicu konflik horizontal,” tegas koordinator lapangan, M. Asrofi.
Sebelumnya, KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) Jatim menyatakan akan menyikapi serius kasus ini. “Apalagi ini kasus pertama, ada sebuah radio digeruduk oleh massa ormas,” terang Ketua KPID Jatim, Fajar Arifianto Isnugroho. Pihaknya juga akan memantau siaran ini. Jika benar radio ini menyebarkan siaran masyarakat, maka KPID akan mengambil tindakan dan sanksi tegas berupa sanksi administratif, teguran, penghentian sementara, pengurangan jam siar hingga pemberian rekomendasi agar izinnya dicabut atau tidak memperpanjang izinnya.
Sesampai di radio, mereka mengepung dan menyatakan akan menurunkan massa lebih banyak jika siaran radio ini tidak dihentikan. Pengurus radio memberikan dalih. “Kami hanya berpedoman pada ajaran Islam yang sesungguhnya,” terang pengurus radio, Mukhlis. Sementara pihak polisi berjaga dan tidak memperbolehkan pihak radio untuk keluar untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tak terhindarkan. Pengelola Islamic Center Abdulloh Ghohim Assam’il ini menyatakan bersedia berdialog dengan damai kepada pihak para pengunjuk rasa dengan fasilitasi pemerintah setempat. Dialog ini akhirnya terlaksana pada esok harinya. Hadir dalam pertemuan ini, selain pihakpengelola radio dan perwakilan dari MUI Kabupaten Ponorogo, pengurus NU, Muhammadiyah, serta pengelola Islamic Center. ”Siang tadi semua diundang. Hasilnya, semua bersepakat tidak akan lagi membahas perbedaan pemahaman agama dan memaafkan radio komunitas tersebut,” tutur Kapolres Ponorogo, AKBP Yuda Gustawan seperti ditulis Surya Online (01/11). Selain itu, kedua belah pihak menyatakan berkomitmen untuk menghindari gesekan-gesekan seperti
Pemprov Jatim sendiri cukup responsif. Tidak lama setelah konflik terdengar, Gubernur Jatim Soekarwo menyatakan langsung menghubungi Bupati, Kapolres, dan Komandan Kodim Ponorogo agar menyelesaikan masalah itu secepatnya agar masalah ini tidak berlarut-larut. “Tapi jangan sampai ada kekerasan, harus dilakukan negosiasi dan pembicaraan terhadap mereka,” terang Soekarwo seperti ditulis Surya Online, Jumat (30/9). Ia juga meminta Forum pimpinan daerah (Forpimda) di kabupaten/kota lainnya juga pro aktif mewaspadai gejala serupa karena tidak menutup kejadian ini terjadi di tempat lain di Jatim. Gubernur yang memiliki panggilan akrab Pakdhe Karwo ini juga meminta agar mereka memahami dua fungsi media. Yaitu, memberitakan sesuatu namun bertanggung jawab terhadap kondisi masyarakat sehingga tidak terlalu vulgar membeberkan masalah SARA yang jelas dilarang.
[M]
7
The WAHID Institute
FPI Ancam Serang Upacara Nikah Jemaat GPdI Jatinangor Oleh: Dindin Abdullah Ghazali (INCReS, Bandung)
S
edianya pasangan Fernando Simanjuntak dan Luciana akan melangsungkan pemberkatan pernikahan di gedung Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Jatinangor Kabupaten Sumedang pada Sabtu (24/09). Namun, rencana bahagia yang telah disusun sejak jauh hari ini harus berantakan gara-gara diancam akan diserang oleh ormas FPI (Front Pembela Islam). Pihak keluarga terpaksa harus memindahkan lokasi acara ke tempat lain karena merasa terancam keamanannya. FPI berdalih gereja tersebut tidak boleh digunakan kegiatan apa pun sebab sudah ditutup karena tidak memiliki IMB.
”Kalau kami tetap melaksanakan pemberkatan di sini, FPI mengancam akan memporak-porandakan pernikahan jemaat kami. Mereka berkata Sabtu nanti akan berkumpul di IPDN dan menyerang pernikahan jemaat kami,” terang Pendeta GPdI, Bernhard Maukar Liputan berbagai media menyebutkan bahwa keputusan memindahkan lokasi pernikahan itu sesungguhnya diambil setelah melalui pembicaraan antara pihak geraja, Camat dan Polsek Jatinangor, serta Koramil, pada dua hari menjelang acara. Camat Jatinangor, Nandang Suparman memutuskan agar pernikahan dipindah ke kantor kecamatan. ”Tadi sudah disepakati oleh yang mau menikah jika tempat pernikahan kita pindahkan ke kantor kecamatan,” kata Nandang seperti dikutip VHRmedia.com (23/09).
Menurut Pendeta GPdI, Bernhard Maukar, keputusan itu diambil demi keamanan. ”Kalau kami tetap melaksanakan pemberkatan di sini, FPI mengancam akan memporakporandakan pernikahan jemaat kami. Mereka berkata Sabtu nanti akan berkumpul di IPDN dan menyerang pernikahan jemaat kami,” terangnya. Sementara itu dikatakan oleh Kapolsek Jatinangor, Kompol Sujoto bahwa dirinya tetap akan menurunkan personil untuk mengamankan meski telah berkoordinasi dengan FPI agar tidak mengganggu acara pernikahan tersebut. ”Saya sudah telepon pihak FPI untuk tidak mengganggu. Ini kan hanya upacara pernikahan jadi mereka tidak berhak mengganggu,” aku Sujoto. Namun, pihak keluarga rupanya tidak kuat menghadapi berbagai tekanan yang menghantui persiapan pernikahan anak mereka. Maka pihak keluarga Luciana memutuskan untuk memindah lokasi pernikahan di Tasikmalaya, sehari menjelang acara dilangsungkan. Ancaman FPI pun terbukti. Sekelompok orang melakukan aksi di depan gereja pada Sabtu (24/09). Mereka dengan gaduh menggoyang-goyang pintu gerbang gereja. Mereka mengira pernikahan berlangsung di sana karena acara yang mestinya dilaksanakan di kantor kecamatan dibatalkan. Pendeta Benhard menduga bahwa massa yang melakukan aksi demonstrasi merusak pintu gerbang gereja pada Sabtu itu dikerahkan oleh Kepala Desa Mekargalih, Arief Saefuloh. Sebab menurut kesaksian pekerja gereja, pada saat itu Kepala Desa Mekargalih terlihat di belakang gereja memobilisasi massa. “Waktu saya di Tasik untuk melakukan pemberkatan pernikahan Fernando, massa bayaran Lurah (Mekargalih)
Arief berdemo di depan gereja. Mereka pikir kami menggelar pernikahannya di gereja. Padahal, kami sudah ada di Tasik,” kata Pendeta Bernhard seperti dikutip VHRmedia.com (28/09). Istri Pendeta Bernhard, Corry Pianaung, juga meyakini bahwa massa yang berdemonstrasi tersebut dimobilisasi oleh Arief. Menurutnya, sang lurah ribut ketika pertama kali gereja ini dibangun. Namun sikap ini berubah drastis setelah ia mendapat pinjaman uang Rp 2 juta. Setelah gereja dijaga dan karenanya aman, kini suasana gaduh lagi. sang lurah membuat gaduh dengan mengerahkan ormas serta preman bayaran. “Mungkin dia mau minta uang lagi,” kata Corry Pianaung. GPdI diserang pertama kali pada Minggu 17/07). FPI menggeruduk gereja yang sedang menyelenggarakan misa kebaktian minggu. FPI berhasil masuk ke lokasi dan membuat jamaah kocarkacir serta rusaknya properti gereja. Pendeta Bernhard dan istrinya sendiri bersembunyi di gereja setelah keadaan terkendali. Ternyata dia dipaksa untuk menandatangi surat pernyataan gereja dengan sukarela—dengan klausul “tanpa paksaan” di dalamnya. Anggota FPI, Camat, Kapolsek, serta anggota Koramil Jatinangor “berhasil” memaksa Pdt Bernhard beberapa hari kemudian. Tetapi, tujuh kemudian gereja ini diserang oleh kelompok yang sama. Mereka menyatakan bahwa hal ini merupakan upaya membantu proses hukum karena GPdI tidak memiliki izin. Lagipula, penutupan gereja merupakan aspirasi masyarakat seperti halnya dikemukakan Kepala Desa Mekar Galih, Arief Saefuloh. Camat Nandang Suparman memfasilitasi ibadah jemaat ke gereja IPDN tetapi IPDN tidak mau menerimanya sebab sudah kelebihan tampung. [M]
8
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVII, Oktober 2011
Padepokan Den Bagus Klarifikasi Tudingan Sesat Oleh: Alamsyah M. Dja’far
M
erasa tak mengajarkan kesesatan, pengelola Padepokan Den Bagus memberi klarifikasi lewat surat yang dirilis Kamis, (17/10). Padepokan ini hanya tempat berkumpulnya warga Dusun Tetelan, Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Kebanyakan mereka berasal dari suku Tengger.
”Sangat tak wajar jika pihak kepolisian tak mampu mengungkap hal ini. Lha wong warga binaan saya yang belum jelas salahnya saja, tanpa surat penangkapan sudah ditahan dan bahkan dicari-carikan kesalahan dan barang buktinya,” jelas Pembina Padepokan Den Bagus, Akhmad Nurhuda Padepokan berarti panggon ndepok alias tempat duduk dan berkumpul, den berarti orang, bagus, baik atau sempurna. ”Maksudnya, tempat ini diharapkan menjadi tempat berkumpulnya orangorang baik,” kata Pembina Padepokan Den Bagus, Akhmad Nurhuda, Kamis (17/10). Padepokan itu didirikan Lembaga Kajian Pengembangan Masyarakat Forum Insan Kamil Indonesia tiga tahun lalu. Bersama sejumlah lembaga swasta dan pemerintah, mereka menggelar kegiatan kemasyarakatan. Beberapa lembaga yang pernah bekerjasama: Lumajang Law Office (LLO), Badan Amil Zakat (BAZ) Lumajang, BAZ Jatim, BAZ Nasional dan STAIN Jember, dan Bank Jatim.
Padepokan menggelar pertemuan dan pembinaan rutin setiap minggu, pembibitan dan penanaman tanaman keras tahunanan, ternak kambing bergulir, dan kegiatan koperasi untuk warga pinggiran hutan. Bersama masyarakat kelompok mendirikan musala yang dinamai Mushalla Insan Kamil. Letaknya di depan Padepokan Den Bagus. Menjelang hari raya Padepokan menggelar bantuan paket alat sholat, al-Quran, Surat Yaasin, bukubuku panduan Islam terhadap 25 kepala keluarga. Untuk pendidikan anak-anak, komunitas ini berencana menggelar pendidikan diniyah dan pendidikan pola sekolah alam. Padepokan ini sendiri diberitakan sebagai aliran sesat di sejumlah media. Berita itu dimuat Radar Jember, 10 Oktober 2011 pada halaman tiga. ”Ajaran Padepokan Diduga Menyimpang,” begitu judulnya. Sumber yang dimuat dalam berita, Badan Pembina Desa (Babinsa) Desa Wono Cepokoayu, Sersan Dua Seno, dan Asisten Perhutani (Asper) Senduro Misbakhul Munir. Suara mereka yang dituding, tak ada. Berita serupa juga muncul di Radar Banyuwangi dan Bali Kolom Baljebol di halaman satu. Menurut keterangan Akhmad, tiga hari sebelumnya (Jumat, 07/10) padepokan itu diobrak-abrik petugas Perhutani bersenjata lengkap. Mereka mengambil diesel dan loud speaker musala, sel tenaga surya, aki, buku-buku dan beberapa perlengkapan shalat. Pada Rabu, (12/10) sekitar sekira pukul 22.00 WIB, giliran musala dibakar orang tak dikenal. Hingga saat ini pelaku pembakaran musala belum berhasil ditangkap. ”Sangat tak wajar jika pihak kepolisian tak mampu mengungkap hal ini. Lha wong warga binaan saya yang belum jelas salahnya saja, tanpa surat penangkapan sudah ditahan dan bahkan dicari-carikan kesalahan dan barang buktinya,” kata
Achmad yang biasa disapa Mamak. Misbakhul Munir sendiri mengecam aksi pembakaran. ”Saya mengecam pelaku pembakaran mushola itu,” katanya seperti dikutip media lokal Senin (17/10). Ia bahkan bersedia membantu pembangunan musala asal tidak berada di hutan lindung dan dicarikan di lahan produksi sebagai tempat ibadah. Pihak pengurus Padepokan Den Bagus membantah klaim ini. Dalam surat klarifikasi yang disebar, konflik dengan warga itu menurut Akhmad mulai memuncak setelah penangkapan empat orang warga binaan Padepokan Den Bagus. keempat orang itu dipanggil ke rumah Kepala Kampung bernama Edi pada Senin (03/10) Setelah pertemuan itu keempatnya ditahan Polisi Sektor (Polsek) Senduro dengan alasan telah melakukan perambahan hutan serta pembalakan liar di petak 24B, di Desa Wonocempoko Ayu, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka ini adalah Surya, Halimah, Jumat, serta Legiman yang merupakan warga Desa Kandang Tepus dan Desa Wonocempoko Ayu. Akhmad tahu keempat warga itu ditangkap setelah pihak Polsek menghubungi via telpon sore harinya, pukul 15.00 WIB. Oleh Polsek ia diminta datang. Tapi, baru selepas Isya Akhmad datang. Tiba di kantor polsek keempat orang itu sudah dititipkan ke Polisi Resort (Polres) Lumajang. Tak terima dengan cara penangkapan itu, esok harinya Akhmad memprotes Polsek Senduro. Melalui sambungan telpon, Akhmad memprotes Kanit Serse Polsek Senduro atas tindakan mereka menangkap keempat warga. Penangkapan itu dianggap Akhmad melanggar hukum. Dari informasi yang diperoleh, mulanya mereka hanya diundang ke rumah kampung tapi tiba-tiba ditangkap. Pihak polsek,
9
The WAHID Institute
kata Akhmad, tak bisa menjawab dan menyarankannya datang ke Polsek Senduro pukul 12.00 WIB. Tiba di Polsek Senduro pada jam yang ditentukan, di sana perwakilan padepokan bertemu Kapolsek Senduro, Asper Perhutani dan Kanit Serse. Di pertemuan itu, Pdepokan Den Bagus ditanya-tanya seputar kegiatan dan telah dijelaskan panjang lebar. Pihak Polsek dan Asper memahami dan menyatakan kalau peristiwa itu hanya salahpaham. Kasus itu diharapkan diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Rencana bertemu Asper Senduro
untuk menyelesaikan kasus belum bisa terealisir, dan baru bisa ditemui, kamis (06/10). Bertemu pukul 12.00 WIB, pertemuan menghasilkan satu kesimpulan: Asper enggan mencabut aduan terhadap keempat warga tersebut. ”Alasannya lebih ngeman (sayang) jabatannya sebagai Asper,” kata Akhmad. Saat ini proses pendampingan hukum dan penyelesaian konflik masih terus dilakukan. ”Keempat warga sekarang sudah berada di rumah tahanan. Belum tahu kapan bisa keluar,” kata Akhmad kepada MRoRI, Jumat (28/10). Ia juga menceritakan, dirinya telah mengajukan protes terkait tuduhan sesat Babinsa
Wono Cepokoayu, Sersan Dua Seno terkait kepada kesatuannya. Tuduhan pencemaran nama baik ia sampaikan juga ke kepolisian terkait pernyataan Misbakhul Munir. ”Sayangnya sampai sekarang belum tahu kejelasannya,” katanya mengeluh. Akhmad meminta dukungan moril kepada pihak-pihak yang peduli agar masalah ini bisa diluruskan seluruslurusnya dan putusan seadil-adilnya sekaligus berpihak kepada keadilan rakyat.
[M]
Miss Universe 2011 Ditolak Datangi Kota Agamis Oleh : Taufik Nurrohim (INCReS Bandung)
K
edatangan Miss Universe 2011 Leila Lopes ke Indonesia menuai berbagai kecaman dari berbagai kalangan. Berita kedatangan Miss Universe memanas saat Miss Universe dikabarkan akan datang berkunjung ke Kota Bandung pada 11 Oktober 2011.
”Ini sesuai dengan keberadaan Miss Universe sekarang ini yang sudah menjadi Duta PBB untuk masalah sosial, kemanusiaan dan pariwisata dunia. Apalagi sekarang ini misi utama Miss Universe adalah Go Green yang sedang gencar pula dilakukan Kota Bandung,” terang Direktur PT Esa Communication Dadan Hendaya Sekitar delapan wanita yang mengaku dari Suara Perempuan Jawa
Barat menyatakan menolak kedatangan Miss Universe 2011 Leila Lopez ke Kota Bandung. Penolakan ini mereka sampaikan ke MUI Jawa Barat, di Jalan Citarum, Kamis (06/10). Mereka mengklaim Suara Perempuan Jawa Barat terdiri dari ormas Islam dan berbagai elemen masyarakat dan juga kampus. Koordinator Suara Perempuan Jabar Euis Rizki, menyatakan bahwa kedatangan Miss Universe ke Kota Bandung akan makin merusak moral dan akhlak bangsa, karena Indonesia memiliki adat ketimuran dan juga berpegang pada agama. ”Akar segala masalah di bangsa ini adalah moral dan akhlak. Dengan kedatangan Miss Universe akan ikut mempengaruhi akhlak dari generasi muda,” ujarnya usai bertemu dengan MUI Jabar sebagaimana ditulis Detik.com (06/10). Menurutnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang latah. Ia khawatir yang diikuti dari Miss Universe itu bukan kecerdasannya yang sering didengungkan. ”Mending yang dicontohnya kecerdasan. Kalau Indonesia itu kan latah, seperti saat Inul muncul, yang ditiru apanya?” tandas Euis. Selain itu ia menyatakan jika Miss Universe 2011 tetap memaksakan datang ke Bandung,
ia khawatir kejadian pada 2007 silam terulang, di mana Miss Universe 2007 Riyo Mori yang terus didemo massa, bahkan hingga depan hotelnya di Savoy Homann. Akhirnya Riyo pun memilih kembali ke Jakarta daripada hadir pada gala dinner yang digelar oleh EO. ”Kalau dia datang ke sini atas kehendak sendiri, misal untuk belanja, tak masalah. Tapi kalau sengaja didatangkan untuk dipamerkan sebagai contoh teladan, kami menolaknya,” tegas Euis. ”Kalau misalnya dia ke sini mengenakan jilbab, kami malah merasa dilecehkan. Karena kami tahu bagaimana keseharian dia,” ujarnya. Protes-protes serupapun dilontarkan oleh MUI Jawa Barat. “Lebih baik kita hindari kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial maupun hura-hura seperti mendatangkan Miss Universe. Apa sih keuntungannya bagi kita?” kata Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar, KH. Hafizh Utsman, ketika dihubungi Harian Pikiran Rakyat, Rabu (05/10). Lebih jauh Kiai Hafizh mengatakan, bangsa Indonesia harus berpikir lebih jauh ke masa depan seperti membangun pendidikan anak-anak bangsa. “Di Harian PR sering diberitakan
10
sekolah-sekolah yang roboh bahkan ada siswa meninggal dunia karena tertimpa bangunan sekolah. Apakah kita tidak merasa prihatin?” katanya. Dampak kedatangan Miss Universe, kata Kiai Hafizh, tidak berdampak banyak, namun uang yang dikeluarkan banyak karena untuk mengadakan acara bisa Rp 100 juta per jam, ujarnya. “Dana Rp 100 juta kalau diserahkan ke lembaga pendidikan bisa membuat dua ruang kelas baru. Dana itu juga amat berarti misalnya untuk dana bergulir bagi pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah,” katanya. Apabila alasan promosi produk, pariwisata maupun malam amal, menurut Kiai Hafizh, lebih baik menggunakan cara lain yang lebih murah. “Apakah dampaknya efektif bila mengundang Miss Universe? Panitia malam amal sudah mengeluarkan dana beratus-ratus juta untuk mengundang Miss Universe, padahal kalau dana itu untuk amal bisa lebih bermanfaat,” katanya. Keberatan kedatangan Miss Universe juga dikatakan Ketua Penasihat Persatuan Umat Islam (PUI) Jabar, KH. Djadja Djahari. “Sewaktu Orde Baru pemerintah melarang gadis Indonesia untuk ikut kontes-kontes kecantikan karena mengumbar aurat. Mengapa saat ini malah kita merasa amat bangga apabila perwakilan Indonesia masuk kontes?” katanya. Djadja Djahari juga maklum apabila ada sebagian ormas Islam juga siap mengadakan aksi penolakan atas kedatangan Miss Universe tersebut. “Di Bandung banyak artis atau perempuan yang tak kalah cantik dan cerdas dengan Miss Universe. Lebih baik kita mengundang para pemenang Nobel ilmu pengetahuan agar generasi muda bisa belajar daripada Miss Universe,” katanya. Seperti diketahui, Miss Universe 2011, Leila Luliana da Costa Vieira Lopes dipastikan batal menghadiri acara peringatan Hari Kesatuan Gerak Bhayangkari (HKGB) ke-59 di Graha Bhayangkara (11/10). Semula, Miss asal Angola yang baru berumur 25 tahun itu direncanakan akan bertemu dengan Wali kota Bandung Dada Rosada. Kini giliran Wali Kota Bandung, Dada Rosada yang menyatakan diri tidak akan menghadiri
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVII, Oktober 2011
kegiatan Miss Universe asal Angola ini di Kota Bandung. Dada diundang dalam kegiatan Miss Universe asal Angola itu di Imah Seniman pada Selasa (11/10). Karena banyaknya penolakan dari berbagai lapisan masyarakat, Dada pun bersikap untuk tidak menghadiri undangan kegiatan Miss Universe. ”Saya tidak akan datang. Dari awal juga kan rencana itu sudah banyak ditentang,” tegasnya kepada Galamedia ketika ditemui di Pendopo Kota Bandung, Jln. Dalem Kaum, Jumat (07/10). Ditambahkannya, pada acara yang digelar di Imah Seniman itu, dirinya hanya dalam kapasitas sebagai undangan saja. Panitia pelaksana, ujarnya, hanya mengajaknya bergabung untuk mengikuti acara tersebut. ”Kembali saya tegaskan, saya tidak akan datang. Apalagi setelah adanya penolakan dan ketersinggungan dari beberapa ormas, termasuk perwakilan Suara Perempuan Jawa Barat. Masa setelah mereka menolak, saya tidak berpihak,” katanya. Ia menyatakan, dirinya akan berpihak kepada masyarakat banyak. Sementara itu, pendapat berbeda datang dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung, K.H. Miftah Faridl secara tersirat sama sekali tidak melarang kedatangan Miss Universe ke Kota Bandung sebagaimana sikap yang ditunjukkan MUI Jawa Barat. Hanya saja Miftah berpesan agar Miss Universe selama kegiatannya di Kota Bandung, lebih selektif dalam hal berpenampilan serta lebih mengikuti kaidah budaya ketimuran. ”Sebagai kota wisata dan kota metropolitan, Bandung saya kira tidak bisa tertutup terhadap siapa pun,” ujarnya. Seperti diberitakan harian Pikiran Rakyat, belasan ibu rumah tangga dan mahasiswa yang tergabung dalam Suara Perempuan Jawa Barat itu melanjutkan protesnya dengan melakukan aksi unjuk rasa di halaman Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bandung, Senin (10/10). Pengunjuk rasa diterima oleh Ketua DPRD Kota Bandung Erwan Setiawan, di ruang rapat Ketua DPRD. Dalam audiensi tersebut, Erwan mengatakan dirinya tidak mempermasalahkan kedatangan Lopes ke Bandung, jika hanya sekedar untuk
berbelanja. ”Namun dengan catatan, Lopes harus mengenakan pakaian yang sopan sesuai adat ketimuran,” katanya. Protes dengan isu yang sama datang dari Aliansi Pergerakan Islam (API) Jabar. API mendatangi Komisi E DPRD Jabar di Gedung DPRD Jabar, Jln. Diponegoro Bandung, Selasa (11/10). Mereka mendesak dibubarkannya Yayasan Putri Indonesia (YPI) dan mengecam segala pihak yang berkepentingan dengan kehadiran Miss Universe demi meraih keuntungan semata, dan mengabaikan moral bangsa yang berbudaya Timur. ”Kami juga mengecam perusahaan kecantikan dan perusahaan lainnya yang menjadi sponsor pemilihan Puteri Indonesia untuk mengikuti kontes/ pemilihan Miss Universe. Kita juga mengimbau segenap masyarakat Indonesia untuk memboikot produk perusahaan yang menjadi sponsor,” ungkap Koordinator API Jabar, Asep Syarifudin seperti ditulis Galamedia (12/10). Ia mengajak segenap perempuan Indonesia, khususnya muslimah untuk tidak mengikuti pemilihan Puteri Indonesia dan sejenisnya apabila dalam prosesnya ada hal yang bertentangan dengan norma dan agama. Lili Lopes akhirnya tetap ke Bandung dengan agenda berkunjung ke Imah Seniman di Lembang dan factory outlet Fashion World di Jalan Setiabudi. Ditemani Putri Indonesia 2011, Maria Selena, Lopes disambut dengan tarian Merak disertai pengamanan dari 500 personel aparat mengingat resistensi dari beberapa kelompok. Pihak panitia menyatakan bahwa resistensi ini terjadi karena belum adanya kesepahaman tujuan kunjungan Lopes: bukan untuk tujuan pornografi dan semacamnya melainkan untuk promosi pariwisata dan misi sosial. ”Ini sesuai dengan keberadaan Miss Universe sekarang ini yang sudah menjadi Duta PBB untuk masalah sosial, kemanusiaan dan pariwisata dunia. Apalagi sekarang ini misi utama Miss Universe adalah Go Green yang sedang gencar pula dilakukan Kota Bandung,” terang Direktur PT Esa Communication Dadan Hendaya selaku panitia penyelenggara kunjungan ini seperti ditulis Tribun Jabar (07/10). [M]
11
The WAHID Institute
Tudingan “Imam Bersertifikat” Diakui Keliru Oleh: Sirajudin (LKHI Palembang) & Alamsyah M. Dja’far
K
epada kontributor MRORI Indrak (35 tahun) bercerita. “Keresahan” itu terjadi ketika, sebut saja MN, bersama komunitasnya tak mau melakukan ibadah shalat tarawih berjamaah dan mendaras al-Quran di Mushalla Al-Ikhlas di perumahan Green Wijaya Persada, Kelurahan Srimulya, Sematang Borang, Palembang. Alasannya, masih menurut versi warga perumahan Green Wijaya Persada itu, MN mengantongi ijazah sebagai imam dan khotib Jumat setelah mengikuti sebuah kegiatan pelatihan. Sedang imam di Mushalla Al-Ikhlas tak punya ijazah itu. MN, merasa lebih berhak mengimami.
“Apa yang disampaikan MN tak terdapat dalam ajaran empat mazhab,” terang Sekretaris MUI Kecamatan Sematang Borang Suparman Badary Bukan hanya itu, lanjut Indrak, saat MN tak menghadiri hajatan tetangga, komunitasnya juga diarang hadir. “Warga resah dengan peristiwa ini,” kata Mukhtar ketua RT 23 kepada MRORI akhir Agustus silam . Sayangnya, MRORI belum dapat mewawancari langsung MN dan mengonfirmasi kebenaran berita tersebut. Bagi warga sekitar MN dikenal sebagai figur dengan latar belakang pendidikan tinggi. Ia dosen di salah satu perguruan tinggi Islam di Palembang dan kini tengah menempuh pendidikan doktoral di Yogyakarta. Kepada MRORI, Ismail ketua Rukun Tetangga (RT) 24 Kelurahan Srimulya
juga menjelaskan. Buntut “deklarasi” itu sebetulnya dilatarbelakangi akibat konflik pasca kekalahan MN di pemilihan ketua musala Al-Ikhlas, Agustus 2011. Calon lain Nur Ahmad dan Hendra. Keduanya warga Green Wijaya Persada. Pemilihan yang dihadiri warga RT 23 dan RT 24 itu dimenangkan Hendra. Nur Ahmad mengundurkan diri. Informasi yang berkembang di tengah warga ini akhirnya sampai ke pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan setempat. Sekretaris MUI Kecamatan Sematang Borang Suparman Badary lantas berinisiatif memanggil MN untuk memberi klarifikasi atas pernyataan itu. Jika benar begitu, ia juga tak setuju dengan cara pandang dan sikap MN. “Apa yang disampaikan MN tak terdapat dalam ajaran empat mazhab,” kata pria yang juga menjadi mubaligh itu. “Sertifikat imam atau khotib Jumat itu juga tak mengikat”. Selain MUI, Lurah Srimulya Jhohan Syarif dikabarkan sudah mengetahui peristiwa itu dan memerintahkan stafnya mempelajari dan menyelediki segera. Pertemuan yang diharap itu akhirnya jadi digelar, 17 Oktober. Dihadiri MN, pemimpin dan fasilitator pertemuan dilakukan Kepala Kepala Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sako Abu Bakar. Selain mereka berdua, hadir juga Ketua MUI Kecamatan Sematang Borang H. Muhammad Daim, Ketua Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Kecamatan Sematang Borang H.M. Ali Hasan, Pegawai Pencatat Pernikahan (PPN) Kelurahan Srimulya H.M. Suparman Badari, PPN Kelurahan Karya Mulya M. Romli, Sekretaris Lurah Srimulya, Kepala Seksi Kessos Kelurahan Srimulya M. Hatta, Ketua pengurus Musholla Al–Ikhlas
Srimulya Didi Supriyadi, Ketua RT 23 Srimulya Muchtar, dan Tokoh Masyarakat Kusmayadi serta Lukman Hakim. Di pertemuan itu MN memberi klarifikasi. Ia membantah tudingan yang berkembang selama ini. Dirinya tak pernah mengatakan memiliki sertifikat iman yang mengharuskan agar dirinya menjadi imam dan tak boleh jadi makmum. Tapi memang pernah menyatakan untuk memimpin zikir, seperti zikir taubat, seseorang biasanya harus memiliki ijazah dari gurunya. Dan dalam memimpin zikir, MN mengaku telah memiliki ijazah dari gurunya, tradisi yang lazim dalam dalam tarekat. Ijazah yang dimaksud adalah restu dalam bentuk amalan atau doa yang diberikan kepada guru tarekat kepada muridnya. Bukan dalam pengertian ijazah formal. Dari penjelasan itu, peserta sepakat selama ini tudingan tersebut keliru. Di masyarakat terjadi kesalahpahaman soal sertifikat imam dan informasi jika MN dan kelompoknya tak mau berjamaah dengan orang lain. Karenanya, peserta yang hadir, terutama pengurus musala Al– Ikhlas diminta berusaha mengklarifikasi kesalahpahaman itu kepada jemaah musala dan warga masyarakat. MN, bersama-sama pengurus musala lain juga diminta menyusun program kegiatan mushalla agar lebih berkembang dan turut memperkuat kerukunan. Soal pengelolaan musala ke depan juga muncul dalam rapat. Peserta rapat akan meminta Camat dan pemerintah terkait melakukan pendekatan kepada pengembang perumahan Green Wijaya Persada agar pengelolaan musala dialihkan ke Pemerintah Kota Palembang. Selanjutnya diurus pembuatan sertifikat wakafnya. [M]
12
Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXXVII, Oktober 2011
Analisa dan Rekomendasi Analisa 1. Perda pelarangan aktivitas Ahmadiyah kini bertambah. Walikota Bekasi baru saja mengukuhkannya dengan alasan aktivitas kelompok ini meresahkan warga. Selain memperpanjang berderetnya peraturan yang membatasi ekspresi keyakinan, peraturan ini berpotensi menimbulkan masalah baru. Seperti yang sudah terjadi di beberapa tempat, alih-alih menghilangkan keresahan, peraturan sejenis justru menimbulkan keresahan baru karena pihak yang kontra bukan saja ingin membatasi aktivitas tetapi membubarkan kelompok ini. Peraturan atas nama keresahan ternyata tak mampu menghilangkan keresahan 2. Intoleransi masih merebak di negeri ini. Seperti terjadi di Ponorogo, media penyebaran sikap intoleransi telah merambah media massa yang mampu dijangkau oleh banyak golongan. Sikap ini bukan saja merusak hubungan antar-kelompok dalam Islam namun juga dapat merusak harmoni dalam masyarakat yang sudah dijahit dengan susah payah 3. Intimidasi oleh FPI di Jatinangor semakin parah. Bukan saja terhadap soal pendirian gereja dan misa mereka akan ‘turun tangan’ tetapi juga adalam urusan pernikahan. Situasi ini kian parah karena aparat tak mampu bertindak sigap. Aparat hanya meminta yang bersangkutan memindahkan tempat upacara pernikahan, bukan mengamankannya atas nama perlindungan sebagai warga negara 4. Di Lumajang, modus sesat menjadi mungkin untuk digunakan pihak yang berwenang demi mencapai tujuannya. Dengan modus yang “baru” ini pula pihak yang dianggap sesat dapat ditahan tanpa surat dan asetnya dirusak. 5. Keterlibatan elemen sipil dalam penyelesaian provokasi bernuansa SARA di NTB dan problem keagamaan di Palembang patut disaluti. Mereka menggunakan dialog dan anti- kekerasan serta menghormati perbedaan yang merupakan barang mahal saat ini. Biasanya perbedaan mendatangkan keresahan, seperti terjadi di Bone, dan kemudian aparat yang dilibatkan untuk menyelesaikan persoalan meskipun dengan jalan pemidanaan
Rekomendasi 1. Para pemimpin daerah seharusnya mempertimbangkan pelarangan aktivitas Ahmadiyah dalam bentuk legal formal. Menurut fakta di lapangan, penyelesaian jenis ini ternyata tidak mengatasi permasalahan semula. Beberapa kelompok justru memanfaatkan keputusan ini sebagai legitimasi untuk menuntut pembubaran Ahmadiyah 2. Insan media hendaknya mematuhi etika penyiaran, termasuk dalam menyiarkan siaran keagamaan. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) baik di pusat dan di daerah pun mesti secara aktif melaksanakan tugasnya sebagai pemantau dan pengawas siaran di Indonesia 3. Aparat hendaknya bersikap tegas terhadap bentuk segala bentuk ancaman dan penyerangan dari kelompok manapun. Sebab, tugas aparat adalah melindungi warga negara tanpa memandang identitasnya, termasuk dari kelompok yang dianggap sesat maupun tidak 4. Masyarakat hendaknya mampu menyaring informasi secara selektif. Termasuk dalam hal ini adalah menggunakan dalih agama untuk mencapai tujuan tertentu, meskipun aktornya adalah aparat negara itu sendiri
Penerbit: The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa’ | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, M. Subhi Azhari | Staf Redaksi: Alamsyah M. Dja’far, Badrus Samsul Fata | Desain & Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Akhol Firdaus (Jawa Timur), Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), A. Mabrur (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantowi (NTB) Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation.